Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TEKNIK MENERJEMAHKAN ISIM

Makalah Ini Disusun

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tafsir

Dosen Pengampu :

Abdul Kholiq, MA

Penyusun

Armin Asri

Ahmad Ifdal Sy

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN

JAKARTA

2022 M / 1444 H
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah yang berjudul Teknik Menerjemahkan Isim dapat selesai..
Begitu pula shalawat dan salam semoga senantiasa kita lantunkan kepada baginda
RASULULLAH SAW yang menjadi suri tauladan dari segala aspek dalam
kehidupan ini.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap dosen dan teman-
teman yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca dan teman-teman sekalian.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
dosen dan teman-teman sekalian demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 27 September 2022

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................................................... i

Daftar Isi.............................................................................................................. ii

BAB 1 ................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2

1.3 Tujuan Makalah ..................................................................................... 2

BAB 2 ................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .................................................................................................. 3

2.1 Pola Jamak Beraturan dan Tidak beraturan ............................................ 3

2.1.1 Pola Jamak Beraturan (Jamak Mudzakkar salim & Muannats Salim)
3

2.1.2 Pola Jamak Tak Beraturan (Jamak Taksir) ...................................... 4

2.2 Pola Isim Fa’il dan Isim Maf’ul ............................................................. 7

2.2.1 Pola Isim Fail ................................................................................. 7

2.2.2 Pola Isim Maf’ul ............................................................................. 9

2.3 Pola Masdar Tsulazi Mazid .................................................................. 11

2.4 Isim Makrifat dan Nakirah ................................................................... 16

2.4.1 Isim Makrifat ................................................................................ 16

2.4.2 Isim Nakirah ................................................................................. 18

2.5 Pola Takdim dan Takhir ....................................................................... 20

2.5.1 Pola Takdim ................................................................................. 20

2.5.2 Pola Takhir ................................................................................... 20

2.5.3 Kaidah Taqdim dan Takhir...................................................... 21

ii
2.5.4 Sebab-Sebab Taqdim dan Takhir ........................................... 22

2.6 Praktek Terjemah Qur’an Surah Nur ayat 3 – 5 .................................... 24

BAB 3 ............................................................................................................... 26

PENUTUP ......................................................................................................... 26

3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 26

3.2 Saran ................................................................................................... 27

Daftar Pustaka ................................................................................................... 28

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam menerjemahkan suatu bahasa tentu seorang penerjemah harus faham
dan menguasai ilmu-ilmu kaidah dasar bahasa , baik bahasa asal dan bahasa ynag
diterjemahkan, karena dengan begitu seorang penerjemah akan lebih mudah
menerjemahkan dengan baik dan benar, dan penikmat bacaan juga akan lebih
mudah memahami hasil dari penerjemahaan tersebut.
Menerjemah merupakan seni yang rumit dan menuntut adanya bakat serta
pengetahuan mendalam tentang bahasa Ibu dan bahasa sasaran yang akan
diterjemahkan di samping menuntut penguasaan kosa kata bahasa sasaran, rasa
bahasa, susunan, dan strukturnya. 1
Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa
yang lain. Secara luas, terjemah dapat diartikan sebagai semua kegiatan manusia
dalam mengalihkan seperangkat informasi atau pesan balik verbal maupun non-
verbal, dari informasi asal atau informasi sumber ke dalam informasi sasaran.
Sedangkan, secara keseharian dalam pengertian dan cakupan yang lebih sempit
terjemah bisa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat dalam
teks bahasa pertama atau bahasa sumber dengan padanannya di dalam bahasa kedua
atau bahasa sasaran. 2
Didalam bahasa arab terbagi menjadi tiga bagian dasar yaitu isim, fi’il dan
huruf, dan pada kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang penerjemahan
bahasa arab kedalam bahasa indonesia dari segi penerjemahan isim, agar tidak
terjadi kesalahfahaman dalam menerjemahkan bahasa asal kedalam bahasa sasaran.

1
Dr. Achmad Satori, Problematika Menterjemah (Suatu Tinjauan Linguistik Kontrast), hlm. I
2
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik, (Bandung: Mandar
Maju, 1994), hlm. 8

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pola jamak beraturan dan tidak beraturan?


2. Bagaimana pola isim fa’il dan isim maf’ul ?
3. Bagaimana pola masdar tsulasi mazid ?
4. Apa itu isim ma’rifah dan nakirah ?
5. Bagaimana pola takdim dan ta’khir ?
6. Contoh praktek menerjemahkan QS. An-nur ayat 3- 5 ?

1.3 Tujuan Makalah

1. Mengetahui & memahami pola jamak beraturan dan tidak beraturan


2. Mengetahui & memahami pola isim fa’il dan isim maf’ul
3. Mengetahui & memahami pola masdar tsulasi mazid
4. Mengetahui & memahami isim ma’rifah dan nakirah
5. Mengetahui & memahami pola takdim dan ta’khir
6. Mengetahui terjemahan QS. An-nur ayat 3 – 5

2
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Pola Jamak Beraturan dan Tidak beraturan
2.1.1 Pola Jamak Beraturan (Jamak Mudzakkar salim & Muannats Salim)
a. Jamak Muzakkar Salim
Jamak mudzakkar salim adalah jamak yang diperuntukan untuk laki-
laki menunjukkan makna lebih dari dua, ditandai dengan adanya huruf
tambahan berupa wawu+nun ketika rafa', dan ya'+nun ketika nashab dan jer.
Penyematan kata salim pada jenis isim jamak ini sebab ketika perubahan
bentuknya dari mufrad ke jamak susunannya tidak rusak. Contohnya kata
‫زيد‬, ketika dibuat jamak mudzakkar salim menjadi ‫ زيدين‬/ ‫ وزيدون‬tanpa
merusak susunan awal. Oleh karena itulah, isim mudzakar jenis jamak ini
disebut salim yang berarti selamat, lawan kata dari taksir (rusak).
1.) Cara pembentukan jama' muadzakkar salim

Tata cara pembentukan jama' mudzakkar salim adalah dengan


mengubah isim mufrod yang menunjukkan laki-laki atau tidak ada ta'
marbutoh ( ‫ ) ة‬diakhirnya dengan menambahkan ‫ ن & و‬di akhimya ketika
rafa’ atau ‫ ن & ي‬diakhirnya ketika nashab dan jar.

b. Jamak Muannats Salim


Jamak muannats salim adalah isim yang susunannya tidak rusak
ketika perubahannya dari bentuk mufrad ke jamak. Contohnya seperti lafadz
(muslimah), ketika dibuat jamak muannats salim menjadi dengan ‫مسلمات‬
para muslimah) atau) ‫ مسلمات‬dibaca kasrah tanwin, tanpa merusak susunan
awal. Jamak muannats salim merupakan isim yang tidak dapat digunakan
untuk mudzakkar, ia hanya diperuntukkan untuk isim-isim jenis muannasts,

3
dan begitu sebaliknya. Jika ada isim jamak muannats salim digunakan untuk
mudzakkar, maka hukumnya adalah syadz atau langka. 3

Contoh :

ٍ ٰ‫ت سٰٰۤ ِٕىح‬


ٍ ‫ت ث َ ِي ٰب‬
ً ‫ت َّوا َ ْبك‬
( ٥ ‫َارا‬ ٍ ‫ت ٰٰۤت ِٕى ٰب‬
ٍ ‫ت عٰ ِب ٰد‬ ٍ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ٍ ٰ‫طلَّقَكُ َّن ا َ ْن يُّ ْب ِدلَ ٓٗه ا َ ْز َوا ًجا َخي ًْرا ِم ْنكُ َّن ُم ْس ِلم‬
ٍ ‫ت ُّمؤْ مِ ٰن‬ َ ‫عسٰ ى َرب ُّٓٗه ا ِْن‬
َ
)5 :66/‫التحريم‬

Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang berserah diri, yang
beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, dan yang berpuasa, baik yang
janda maupun yang perawan. (At-Tahrim/66:5)

2.1.2 Pola Jamak Tak Beraturan (Jamak Taksir)


Jamak taksir adalah bentuk jamak yang tidak beraturan (rusak). Jamak ini untuk
semua benda mati maupun hidup, mudzakar maupun muannats. Bentuk jamak taksir ini
sima'i, artinya mengikuti apa yang diucapkan oleh orang Arab. Oleh karena itu maka harus
dihafalkan. Kita dapat mengetahui sebuah isim berjamak taksir atau salim dapat dilihat di
dalam kamus. Kamus bahasa Arab yang baik tentu mencantumkan bentuk jamak dari suatu
isim. 4
Perubahan bentuk jamak taksir adakalanya melalui proses penambahan,
adakalanya melalui proses pengurangan, adakalanya melalui proses perubahan bunyi,
adakalanya melalui proses penambahan dan perubahan bunyi, adakalanya melalui proses
pengurangan dan perubahan bunyi, dan adakalanya melalui proses pengurangan,
nenambahan dan perubahan bunyi.
Dikutip dari buku Bahasa Arab Autodidak 2 oleh Ustadz Rusdianto, untuk
membentuk jamak taksir terkadang harus mengurangi atau menambahkan huruf
pada kata tunggalnya. Tak jarang pula dengan cara mengubah harakat kata
tunggalnya.

3
Nahwu shoraf online, Contoh Jamak Muannats Salim, dalam https://www.maskuns.my.id.
Diakses pada 03 Juni 2021.
4
Bahauddin Abdullah Ibnu Aqil, Terjemahan Alfiyyah 2, (Bandung: Sinar Baru Algens indo,
2006), hlm. 855

4
Dengan kata lain, bentuk jamak taksir mengalami banyak perubahan dari bentuk
tunggalnya. Isim jamak taksir ini juga tidak memiliki tanda khusus, sehingga pola-
polanya perlu dihafal.
Penulis telah merangkum beberapa pola yang biasa digunakan dalam jama’
taksir sebagai berikut :
1. Pola ‫ أ َ ْفعَال‬- ‫فعل‬
Pola pertama ini adalah pola yang paling banyak ditemui. Wazan bentuk mufrodnya
adalah fa'alun dan bentuk jamaknya adalah af'aalun.
Polanya : Dari huruf fa, ain, lam -> ditambah huruf awal hamzah qatha (alif dan
hamzah) serta tambahan huruf alif sebelum huruf terakhir.
Contoh:
Mufrad: ‫( َباب‬baabun) = pintu
Jamak: ‫( أَب َْواب‬abwaabun) = pintu-pintu
2. Pola ُ‫ ا َ ْفعُل‬- ‫فعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'lun dan bentuk jamaknya adalah af'ulu.
Polanya : Dari huruf fa, ain, lam -> ditambah huruf awal hamzah qatha (alif dan
hamzah) serta mengganti harakat fa' menjadi sukun, dan ain menjadi dhommah
Contoh:
Mufrad : ‫( نَ ْفس‬nafsun) = seorang diri
ُ ُ‫( ا َ ْنف‬anfusu) = banyak orang
Jamak: ‫س‬
3. Pola ‫ فِ ْعلَة‬- ‫فعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'lun dan bentuk jamaknya adalah fi'latun.
Polanya: Dari huruf fa, ain, lam -> ditambah huruf ta' marbutah di akhir
Contoh:
Mufrad: ‫( فَت َى‬fataa) = pemuda
Jamak: ‫( فِتْيَة‬fityatun) = banyak pemuda
4. Pola ‫ فُعَّال‬- ‫فاعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah faa'ilun dan bentuk jamaknya adalah fu'aalun.
Contoh:
Mufrod: ‫( كَاتِب‬kaatibun) = penulis
Jama': ‫( كُتَّاب‬kuttaabun) = penulis-penulis

5
5. Pola ‫ فِعَال‬- ‫فعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'alun dan bentuk jamaknya adalah fi'aalun.
Polanya: dari huruf dasar fa, ain, lam -> hampir sama dengan huruf dasarnya, hanya
saja ditambah huruf alif sebelum huruf akhir.
Contoh:
Mufrad: ‫( َج َبل‬jabalun) = gunung
Jamak: ‫( ِجبَال‬jibaalun) = gunung-gunung
6. Pola ‫ فُعُ ْول‬- ‫فعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'lun dan bentuk jamaknya adalah fu'uulun.
Polanya: dari huruf dasar -> ditambah huruf waw sebelum akhirnya.
Contoh:
Mufrad: ‫( قَ ْلب‬qalbun) = hati
Jamak: ‫( قُلُوب‬quluubun) = banyak hati
7. Pola ‫ فُعُل‬- ‫فعال‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fi'aalun dan bentuk jamaknya adalah fu'ulun.
Contoh:
Mufrod ‫س ْول‬
ُ ‫( َر‬rasuulun) = utusan
Jamak: ‫( ُرسُل‬rusulun) = banyak utusan
8. Pola ‫ فُعَ ََل ُء‬- ‫فاعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah faa'ilun dan bentuk jamaknya adalah fu'alaa-u.
Contoh:
Mufrad: ‫عالِم‬
َ ('aalimun) = orang alim
jamak: ‫علَ َما ُء‬
ُ ('ulamaa-u) = orang-orang alim
9. Pola ‫ أ َ ْف ِعَلَ ُء‬- ‫فعيل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'iilun dan bentuk jamaknya adalah af'ilaa-u.
Contoh:
Mufrad: ‫ص ِديْق‬
َ (shadiiqun) = teman
ْ َ ‫( أ‬ashdiqaa-u) = teman-teman
Jamak: ‫ص ِدقَا ُء‬
10. Pola ُ‫ فَعَائِل‬- ‫فعيلة‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah fa'iilatun dan bentuk jamaknya adalah fa'aa-ilu.
Contoh:

6
Mufrod : ‫( َح ِق ْيقَة‬haqiiqatun) = hakikat; fakta
Jamak : ُ‫( َحقَائِق‬haqaa-iqu) = fakta-fakta
11. Pola ُ‫ َمفَا ِعل‬- ‫مفعل‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah maf'alun dan bentuk jamaknya adalah mafaa'ilu.
Contoh:
Mufrad: ‫( َم ْركَز‬markazun) = markas; pusat
Jamak: ‫( َم َراك ُِز‬maraakizu) = markas-markas
12. Pola ُ‫ َمفَا ِع ْيل‬- ‫مفعال‬
Wazan bentuk mufrodnya adalah maf'aalun dan bentuk jamaknya adalah
mafaa'iilu.
Contoh:
Mufrod: ‫( ِم ْفت َاح‬miftahhun) = kunci
Jama': ‫( َمفَاتِي ُح‬mafaatiihu) = kunci-kunci

2.2 Pola Isim Fa’il dan Isim Maf’ul

2.2.1 Pola Isim Fail


Fa’il (Subjek) adalah : Isim marfu’ yang terletak setelah Fi’il Mabni Lil
Ma’lum dan menunjukkan atas siapa yang melakukan perbuatan tersebut atau yang
disifatkan dengannya. 5

Setiap kalimat isim yang berkedudukan sebagai fa’il pada jumlah fi’liyyah
harus dibaca rafa’ (marfu’), dan jika Fa’il itu berupa isim zhahir, maka tanda
Rafa’nya tergantung kepada bentuk kalimatnya.

Isim Fa’il bagi Fi’il Tsulatsi Mujarrad

5
Ahmad Fauzan, Qoidah-qoisah ilmu nahwu dan contoh-contoh kalimatnya beserta I’rabnya,
2017, hlm 6.

7
Terdapat beberapa ketentuan isim fa’il dalam fi’il tsulasi mujarrad, yang akan
penulis jaabarkan dibawah ini.

 Ketentuan yang pertama adalah pada pola 1, 2, 3 atau pola fa-‘a-la, berikan
tambahan huruf Alif pada huruf setelah kata pertama. Cara ini akan mengubah
pola menjadi fa-a-‘a-la atau dalam kode huruf yaitu huruf 1, a, 2, 3.
 Ketentuan lainnya adalah, ketika terdapat pola fa-‘a’-la dengan huruf tengahnya
adalah huruf Alif, maka huruf Alif tersebut diganti dengan huruf hamzah.
Selanjutnya pola akan berubah menjadi fa-a-‘a-la akan menjadi fa-hamzah-‘a-
la.
 Ketentuan untuk kedua syarat di atas adalah, merubah harakat pada huruf
tengah atau huruf dua dari fathah sehingga menjadi kasrah.
Contoh:

Fi’il arti Isim Fa’il arti

Orang yang
‫ب‬
َ ‫ض َر‬
َ memukul ‫ارب‬
ِ ‫ض‬َ
memukul

َ ‫َكت‬
‫َب‬ menulis ‫َكاتِب‬ yang menulis

َ‫قَال‬ berkata ‫قَائِل‬ yang berkata

Pada Isim Tsulatsi Mazid dan Isim Ruba’i memiliki kesamaan dalam
merubah fa’il.

 Merubah bentuk fi’il madhiy pada bentuk fi’il mudhari. Cara ini akan
merubah pola dari fa-‘a-la kemudian menjadi yu-fa-‘a-la.
 Merubah huruf “yu” sehingga menjadi “mim” berharakatmu (dhammah).
 Merubah harakat ‘a dari fathah, akan menjadi kasar atau dari ‘a menjadi ‘i.

8
Mudhari Isim Fa’il Bahasa Indonesia
‫أ َ ْك َر َم – يُ ْك ِر ُم‬ ‫ُم ْك ِرم‬ orang yang memuliakan

ُ‫ت ََوا َجهَ – يَت ََوا َجه‬ ‫اجه‬


ِ ‫ُمت ََو‬ orang yang menghadap

2.2.2 Pola Isim Maf’ul


Maful bih menurut bahasa Indonesia sama dengan penderita, karena dia
dikenai suatu pekerjaan, atau dengan kata lain berfungsi sebagai obyek. Dalam
istilah Maful Bih adalah Isim manshub Syaratnya adanya fi'il dan fa'il atau
kesempurnaan kalimat. Dengan kata lain maf ul bih hanya dibutuhkan oleh jenis
fi'il muta'adi, sedangkan fi'il lazim tidak.

Contoh :
Anak itu telah memulis pelajaran : ‫الدرس الولد كتب‬

Maful bih adalah objek penderita, yang dikenai suatu perbuatan. Jika fi'ilnya
"memukul berarti maful bih-nya "yang dipukul". Jika fi'ilnya "menolong" maka
maful bib-nya "yang ditolong". 6
Pembagian Maf’ul bih
Maf’ul bih terbagi dua yaitu maf’ul bih yang sharih dan yang ghairu sharih. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
1. Maf’ul bih sharih,
Maf’ul bih sharih ada dua bagian, yaitu :
a. Maf’ul bih Zhahir
Yaitu Maf’ul bih yang terdiri dari isim zhahir (bukan kataganti).
Contoh : Ali memukul anjing: ‫ضر ٌَ ب عل ٌي كلبا‬

b. Maf’ul bih Dhamir

6
Syekh Syamsuddin Muhammad Arazini. 2004, Ilmu Nahwu Terjemahan Mutummimah
Ajurumiyyah, hlm. 123

9
Yaitu Maf’ul bih yang terdiri dari isim dhamir (kata ganti). Maf’ul bih
dhamir terbagi menjadi dua, yaitu :
1.) Dhamir Muttashil (bersambung)
Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas,yaitu :

ُُ‫ٌَ ضر َبه‬ ‫ُ ٌَ وضر َبكُ ٌَ وضر َب ُكماُ ٌَ و ٌَ ضرب ُكمُ ٌَ و ٌَ ضرب ُكنُ ٌَ و‬
‫وضر َبنِي ُ ٌَ و ٌَ ضر َبنَاٌَُ وضربك‬. ‫ٌَ و ُ ٌَ وضربهمُ ٌَ وضر َبهن‬
‫ٌَ ضر َبهماُو ٌَ ضر َبها‬

2.) Dhamir Munfashil (terpisah)


Maf’ul bih dhamir Munfashil ada dua belas, yaitu :

ُ‫وا ُ وا ٌَ ٌيا ٌُ كمُ وايَّا ُكنُ وا ٌيَاهُُ وا ٌَ ياهاُ وا ٌَ ٌياهماُ وايَّا ٌُ هم‬
‫وايَّاهُن‬. ‫ٌٌَ ياكماُ وايَّا ٌِكُ وا ٌَ يا ٌَ كُ وا ٌ َيانَا ُا ٌيا ٌَ ي‬

2. Maf’ul bih ghairu sharih

Maf’ul bih yang ghairu sharih ada tiga bagian :

a.) Muawal bi Masdar.


Contoh :
‫علمت أنك مجتحد‬
Pada contoh diatas dapat ditakwilkan menjadi :
‫اجتحادَك علمت‬
b.) Muawwal bi mufrodin
‫ظننتُك تَجتَحد‬
Pada contoh diatas dapat ditakwilkan menjadi :
‫ظنَنتُك مجتَحدا‬
c.) Manshub binaz’il Khofid
Yaitu dinasobkan karena dibuang huruf yang
menjarkannya

10
Contoh:

‫دَخلت البَيت‬
Kata Al-Baita menjadi Maf’ul bih Manshub binaz’il
Khafid yaitu membuang huruf yang menjarkannya.
Ditakdirkan kepada ‫دَخلت في البَيت‬
2.3 Pola Masdar Tsulazi Mazid
A.Pengertian Fi’il Tsulasi Mazid
Secara sederhana, fi’il tsulasi mazid dapat kita artikan sebagai fi’il yang
terdiri dari tiga huruf dan selanjutnya berubah ruba’i ( ‫ ( )خماسى‬Khumasi, ‫)رباعى‬
dan sudasi ( .karena adanya penambahan huruf pada fi’il tersebut‫)سداسى‬
Penambahan huruf pada fi’il tsulasi terbagi tiga yaitu:
1. Fi’il tsulasi yang bertambah satu huruf ( ‫بحرف‬ ‫)ثَّلث مزيد‬
Tsulatsi mazid biharfin (tambahan 1 huruf) adalah setiap kalimah atau kata kerja
yang tersusun dari 3 huruf asli sedangkan huruf yang satunya adalah sebagai (tambahan).
Pada kelompok tsulasi mazid biharfin ini juga bisa disebut Fi’il Ruba’i, dikarenakan
jumlah keseluruhan hurufnya menjadi empat bukan tiga lagi, adapun wazannya ada tiga
macam, yaitu antara lain :
a. ُ ‫يُ ْف ِع‬-‫)أ َ ْفعَ َل‬
Af’ala-yuf’ilu (‫ل‬
Pada wazan yang pertama ini fi’il ruba’i yaitu Af’ala-yuf’ilu “‫يُ ْف ِع ُل‬-‫”أ َ ْفعَ َل‬.
Mempunyai tambahan satu huruf hamzah didepan fa' fi'ilnya yang berharokat
fatkah. Adapun faedah dari Wazan tsulasi mazid biharfin ini secara umum memiliki
faedah ta’diyah. Artinya merubah fi’il yang semula lazim (tidak memerlukan
ma’mul manshub) menjadi muta’addi (membutuhkan ma’mul manshub).
Sebagai contoh pada kata kerja karuma-yakrumu “‫يَ ْك ُر ُم‬-‫( ”ك َُر َم‬mulia), ketika
diikutkan wazan af’ala-yuf’ilu “‫يُ ْف ِع ُل‬-‫ ”أ َ ْفعَ َل‬menjadi akroma-yukrimu (memuliakan).
Akan tetapi ada juga beberapa fi’il tsulatsi mujarrod biharfin yang menjadi lazim
(tidak butuh ma’mul manshub), seperti ashbaha-yushbihu “‫صبِ ُح‬ ْ َ ‫( ”أ‬terjaga di
ْ ُ‫ي‬-‫ص َب َح‬
waktu pagi).

11
b. Fä’ala-yufä’ilu (ُ‫يُفَ ِعل‬-‫)فَعَّ َل‬
Untuk bab yang kedua dari fi’il tsulasi mazid biharfin, yaitu dengan wazan
fä’ala-yufä’ilu “‫يُف َِع ُل‬- َ‫”فَعَّل‬. Dengan perbedaan yang khusus adanya tambahan huruf
sejenis atau sama di antara fa’ fi’il dan ain fi’il, yang digantikan dengan tasdid.
Kebanyakan pada fi’il yang mengikuti wazan ini mempunyai faedah taktsir “‫”تكثير‬
(menunjukkan suatu perbuatan yang berulang-ulang).
Yang mengikuti wazan pada bab ini seperti contoh kata qaththa’a-
َّ َ‫( ”ق‬memotong-motong), asal kata dari fi’il qatha’a-yaqtha’u
yuqaththi’u “‫يُقَ ِط ُع‬-‫ط َع‬
َ ‫يَ ْق‬-‫ط َع‬
“‫ط ُع‬ َ َ‫( ”ق‬memotong). Untuk bab dua wazan tsulatsi mazid biharfin ini terkadang
ada pula yang mempunyai faedah sebagai ta’diyah. Sebagaimana contoh pada fi’il
ُ ‫ َي ْف َر‬-‫( ”فَ ِر َح‬bahagia), ketika mengikuti wazan fä’ala-yufä’ilu “- َ‫فَعَّل‬
fariha-yafrahu “‫ح‬
ُ ‫يُف َِر‬-‫”فَ َّر َح‬, bermakna membuat
‫ ”يُف َِع ُل‬maka akan berubah menjadi farraha-yufarrihu “‫ح‬
bahagia atau membahagiakan.

c. َ ‫)فَا‬
Faa’ala-yufaa’ilu (‫يُفَا ِع ُل‬-‫ع َل‬
Bab yang paling akhir dari fi’il ruba’i atau tsulatsi mazid biharfin (1 huruf
َ ‫”فَا‬. Setiap fi'il yang
tambahan) adalah memakai wazan faa’ala-yufaa’ilu “‫يُفَا ِع ُل‬- َ‫عل‬
mengikuti pada wazan ini ditandai dengan alif zaidah (tambahan) yang letaknya
setelah fa’ fi’il. Umumnya berfaedah musyarakah “‫( ”مشاركة‬saling melakukan
perbuatan).
Contohnya kata qatala-yaqtulu “‫ َي ْقت ُ ُل‬-‫( ” َقت َ َل‬menghabisi), apabila setelah
ditambahkan huruf alif di antara fa’ fi’il dan ain fi’il menjadi qaatala-yuqaatilu “- ‫َقات َ َل‬
‫( ”يُقَاتِ ُل‬saling menghabisi).

2. Fi’il tsulasi yang bertambah dua huruf ( ‫)ثَّلث مزيد بحرفين‬


Tsulatsi mazid biharfain adalah kelompok kata yang tersusun dari 3 huruf
asli dan 2 huruf ziyadah (tambahan). Pola susunan kalimah ini juga biasa disebut
dengan fi’il khumasi, yaitu setiap kata yang terdiri dari 5 huruf hijaiyah, dan
memiliki lima bentuk wazan, yaitu:

12
a. Infa’ala-Yanfa’ilu (‫يَ ْنفَ ِع ُل‬-‫)إِ ْنفَعَ َل‬
Pada bab ini untuk yang pertama tsulatsi mazid biharfain (2 huruf) atau
Khumasi (5 Huruf), kita dipertemukan dengan wazan infa’ala-yanfa’ilu “- َ‫ِإ ْنفَ َعل‬
‫“ َي ْنفَ ِع ُل‬. Untuk khumasi ini mempunyai tanda penambahan hamzah dan nun pada
awal kalimah. Semua kata yang termasuk ke dalam bab ini merupakan fi’il lazim,
sehingga berfaedah muthawa’ah “‫( ”مطاوعة‬terjadinya sesuatu sebab sesuatu yang
lain).
Seperti lafadz inqasama-yanqasimu “‫يَ ْنقَ ِس ُم‬-‫س َم‬
َ َ‫( ”إِ ْنق‬terbagi), berasal dari fi’il
qasama-yaqsimu “‫يَ ْق ِس ُم‬-‫س َم‬
َ َ‫( ”ق‬membagi). Contoh lain adalah kata inkasara-yankasiru
“‫ َي ْن َكس ُِر‬-‫س َر‬
َ ‫” ِإ ْن َك‬ (pecah), berangkat dari wazan kasara-yaksiru “‫ َي ْكس ُِر‬-‫س َر‬
َ ‫” َك‬
(memecahkan).

b. Ifta’ala-Yafta’ilu (‫يَ ْفت َ ِع ُل‬-‫)إِ ْفتَعَ َل‬


Wazan tsulatsi mazid biharfain (2 huruf) yang satu ini mempunyai faedah
muthawa’ah. Cirinya adalah terdapat alif zaidah di awal kata dan huruf ta’ di antara
fa’ dan ain fi’il.
Misalkan kata jama’a-yajma’u “‫يَ ْج َم ُع‬-‫( ” َج َم َع‬mengumpulkan), asalnya adalah
muta’addi. Ketika mengikuti wazan ifta’ala-yafta’ilu “‫يَ ْفت َ ِع ُل‬-‫ ”إِ ْفتَعَ َل‬menjadi lazim,
yakni ijtama’a-yajtami’u “‫يَ ْجتَمِ ُع‬-‫( ” ِإ ْجت َ َم َع‬berkumpul). Bab kedua tsulatsi mazid
biharfain ini juga bisa merubah fi’il yang semula muta’addi menjadi lazim. Seperti
contoh yang kami sebutkan tadi.

c. If’alla-Yaf’allu (‫يَ ْفعَل‬-‫)إِ ْفعَ َّل‬


Wazan if’alla-yaf’allu “‫يَ ْفعَ ُّل‬-‫ ”إِ ْفعَ َّل‬berfaedah mubalaghah (melebih-
lebihkan), ada juga ulama ahli shorof yang mengatakan bahwa wazan ini berfaedah
lil alwaan wal ‘uyuub “‫( ”لاللوان والعيوب‬warna dan aib (cacat)).
Contoh fi’il tsulatsi mazid biharfain ini seperti ihmarra-yahmarru “-‫ِإ ْح َم َّر‬
‫( ” َي ْح َم ُّر‬memerah/menjadi merah), i’warra-ya’warru “‫ َي ْع َو ُّر‬-‫( ” ِإع َْو َّر‬buta sebelah),
i’rajja-ya’rajju “‫يَ ْع َر ُّج‬-‫( ”إِع َْر َّج‬pincang). Cirinya adalah penambahan huruf hamzah di
awal kalimah dan huruf yang sejenis dengan lam fi’il.

13
d. Tafä’ala-Yatafä’alu (‫يَتَفَعَّ ُل‬-‫)تَفَعَّ َل‬
Wazan tafä’ala-yatafä’alu “‫يَتَفَعَّ ُل‬-‫ ”تَفَعَّ َل‬mempunyai faedah takalluf “‫”تكلف‬,
yaitu hasilnya suatu perbuatan sebab sesuatu yang lain. Tandanya adalah ziyadah
huruf ta’ di awal kata dan ziyadah huruf yang sejenis dengan ain fi’il.
Contohnya kalimat ta’allamtu al-ilma al-mas’alata ba’da mas’alah “ ُ‫ت َ َعلَّ ْمت‬
‫( ”الع ِْل َم ال َم ْسأَلَةَ بَ ْعدَ َم ْسأَلَ ٍة‬aku mempelajari ilmu penyelesaian masalah setelah ada
masalah). Ada juga yang mengatakan wazan ini berfaedah muthawa’ah, sama
seperti wazan bab 1 dan dua tsulatsi mazid biharfain sebelumnya. Seperti fi’il
takassara-yatakassaru “‫يَت َ َكس َُّر‬-‫( ”ت َ َكس ََّر‬patah), dampak dari pekerjaan kassara-
yukassiru “‫يُكَس ُِر‬-‫( ” َكس ََّر‬mematahkan).

e. َ ‫يَتَفَا‬-‫ع َل‬
Tafaa’ala-Yatafaa’alu (‫ع ُل‬ َ ‫)تَفَا‬
Bab terakhir tsulatsi mazid biharfain (2 huruf) adalah wazan tafaa’ala-
yatafaa’alu “‫ع ُل‬
َ ‫يَتَفَا‬-‫ع َل‬
َ ‫”تَفَا‬, yang berfaedah musyarakah sama seperti wazan faa’ala-
yufaa’ilu “‫يُفَا ِع ُل‬- َ‫( ”فَا َعل‬bab 3 tsulasi mazid biharfin).
Akan tetapi, terdapat perbedaan di antara kedua wazan tersebut. Letak
perbedaannya adalah pada pelaku atau subyek. Wazan faa’ala-yufaa’ilu “‫يُفَا ِع ُل‬-‫”فَا َع َل‬
berfaedah musyarakah bainal itsnaini “‫( ”مشاركة بين اإلثنين‬saling berbuat di antara dua
orang), ada juga musyarakah lil wahid “‫( ”مشاركة للواحد‬untuk Dzat yang satu).
Sedangkan wazan tafaa’ala-yatafaa’alu “‫ َيتَفَا َع ُل‬- َ‫عل‬
َ ‫ ”تَفَا‬berfaedah musyarakah
bainal isnaini fashaaidan “‫( ”مشاركة بين اإلثنين فصاعدا‬di antara dua orang bahkan
lebih).
Contoh fi’il tsulatsi mazid faedah musyarakah bainal itsnaini:
‫ع ْم ٌرو قَات ََال‬
َ ‫زَ ْيد ٌ َو‬
Artinya Zaid dan Amr saling menghabisi
Contoh fi’il tsulatsi mazid faedah musyarakah lil wahid:
ٰ ‫قَاتَلَ ُه ُم‬
َ‫ّللاُ اَنٰى ي ُۡـؤفَكُ ۡون‬
Artinya Allah membinasakan mereka, bagaimanakah mereka dapat
dipalingkan (dari kebenaran.) QS. Al-Munafiqun Ayat 4
Contoh fi’il tsulatsi mazid faedah musyarakah bainal itsnaini fashaaidan:

14
َ ‫ع ْن‬
‫ع ْم ٍرو‬ َ ٌ ‫عدَ زَ ْيد‬
َ ‫ تَبَا‬Artinya Zaid menjauh dari Amr.

3. Fi’il tsulasi yang bertambah tiga huruf ( ‫)ثَّلث مزيد بثَّلثة‬


Tsulatsi mazid bitsalatsati ahrufin adalah setiap fi’il yang terdiri dari 3 huruf
asli dan 3 huruf ziyadah (tambahan). Dilihat dari jumlah hurufnya, kelompok tsulasi
mazid ini juga bisa disebut fi’il sudasi. Karena total keseluruhan hurufnya ada
enam, dan memiliki 4 pola wazan, yaitu:
a. Istaf’ala-yastaf’ilu (‫ست َ ْف ِعل‬
ْ َ‫ي‬-‫ست َ ْف َع َل‬
ْ ‫) ِإ‬
Wazan istaf’ala-yastaf’ilu “‫يَ ْست َ ْف ِع ُل‬-‫ ”إِ ْست َ ْفعَ َل‬menjadi wazan pembuka bagi bab
tsulatsi mazid bitsalatsati ahrufin. Cirinya adalah ziyadah huruf hamzah, ta’, dan
sin di awal kalimahnya. Umumnya setiap fi’il yang mengikuti pola ini berfaedah
ta’diyah, namun ada juga beberapa yang berlaku lazim.
ُ ‫يَ ْست َْخ ِر‬-‫( ” ِإ ْست َْخ َر َج‬mengeluarkan), dari
Contohnya istakhraja-yastakhriju “‫ج‬

ُ ‫يَ ْخ ُر‬-‫خَر َج‬


fi’il kharaja-yakhruju “‫ج‬ َ ” (keluar). Disebutkan juga bahwa wazan tsulasi
mazid 3 huruf ini berfaedah thalab “‫( ”طلب‬memohon/meminta), seperti istaghfara-
ِ ‫ َي ْست َ ْغ‬-‫( ” ِإ ْست َ ْغ َف َر‬memohon ampunan).
yastaghfiru “‫ف ُر‬

َ ‫) ِإ ْف َع ْو‬
ِ ‫ َي ْف َع ْو‬-‫ع َل‬
b. Ifau’ala-yafau’ilu ( ُُ‫عل‬

َ ‫ ” ِإ ْف َع ْو‬adalah wazan tsulatsi mazid


ُ ‫ َي ْف َع ْو ِع‬- َ‫عل‬
Wazan ifau’ala-yafau’ilu “‫ل‬
bitsalatsati ahrufin yang memiliki huruf tambahan berupa hamzah di awal kalimah,
huruf sejenis dengan ain fi’il, dan wawu zaidah setelah ain fi’il pertama.
Wazan ini berfaedah mubalaghah (melebih-lebihkan), dan seluruhnya
adalah lazim. Contohnya i’syausyaba-ya’syausyibu “‫ِب‬
ُ ‫ َي ْعش َْوش‬-‫َب‬
َ ‫( ” ِإ ْعش َْوش‬tumbuh
rerumputan), fi’il barusan menunjukkan makna lebih banyak dibanding fi’il asyiba
“‫ِب‬
َ ‫عش‬
َ ” (tumbuh rumput).
c. ُ ‫يَ ْفعَ ِو‬-‫)إِ ْفعَ َّو َل‬
Ifawwala-yafawwilu (‫ل‬
Ini merupakan wazan tsulasi mazid bitsalatsati ahrufin yang sama seperti
wazan sebelumnya, yakni sama-sama berfaedah mubalaghah dan seluruhnya lazim.
Ditandai dengan tambahan hamzah di awal kata serta wawu tasydid di antara ain
dan lam fi’il. Akan tetapi jarang digunakan dalam kalimat bahasa Arab.
Contohnya ijlawwadza-yajlawwidzu “ُ ‫يَجْ لَ ِوذ‬-َ‫( ”إِ ْجلَ َّوذ‬berjalan cepat).

15
d. If’aalla-yaf’aallu (‫يَ ْف َعال‬-‫) ِإ ْف َعا َّل‬
Wazan ini juga memiliki faedah yang sama dengan wazan ifau’ala-yafau’ilu
َ ‫”إِ ْفعَ ْو‬, yaitu mubalaghah dan semuanya adalah lazim.
“‫يَ ْفعَ ْو ِع ُل‬-‫ع َل‬
Contohnya ihmaarra-yahmaarru “‫ار‬
ُّ ‫يَ ْح َم‬-‫ار‬
َّ ‫” ِإ ْح َم‬. Wazan barusan hampir
serupa dengan ihmarra-yahmarru “‫ َيحْ َم ُّر‬-‫” ِإ ْح َم َّر‬, padahal jika kita teliti maknanya
berbeda. Lalu di mana letak perbedaannya, fi’il ihmaarra “‫ار‬
َّ ‫ ” ِإ ْح َم‬itu lebih kuat atau
lebih banyak tingkat kemerahannya dibandingkan ihmarra “‫إِ ْح َم َّر‬.

2.4 Isim Makrifat dan Nakirah


2.4.1 Isim Makrifat

Menurut Moch. Anwar dalam Ilmu Nahwu; Terjemahan Al-Jurumiyah dan


Imrithy Berikut Penjelasannya, isim ma’rifah ialah lafaz yang menunjukkan benda
tertentu.13 Isim ma’rifah atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan kata
definite (pasti). Secara sederhana definisi atau ta’rifnya adalah isim yang memiliki
arti yang bersifat khusus atau spesifik. Contoh: kata zaidun menunjukkan , ‫ٌَ ز ٌْيد‬
‫ الرجل‬orang yang bernama zaidyang berarti seorang laki-laki. 7
Dari pengertian yang disebutkan diatas, baik seacara etimologi dan
terminology dapatlah disimpulan bahwa isim mar’ifah adalah isim-isim yang
menunjukan pada sesuatu yang tertentu yang dapat dikenal dengan pengenalan
yang sempurna. Apa yang dimaksudkan tersebut sudah terekam dengan baik
didalam hati, dantidak akan tercampurkan dengan hal-hal yang lain. Sebaliknya, al-
nakirah menunjukan kepada sesuatu yang tidak tertentu.

A. Macam-macam Isim Ma’rifah

7
Moch. Anwar, Ilmu Nahwu; Terjemahan Al-Jurumiyah dan Imrithy Berikut Penjelasannya, (
Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2005 ),hlm.108

16
1. Isim dhamir (kata ganti) ialah lafadz yang menunjukkan pada mutakallim,
mukhathab dan ghaib.

Contoh: , ‫ ٌِهي‬, ‫هُما‬, ‫هُن‬, ‫أ َ ٌْنت‬, ‫أ َ ٌْنتُما‬, ‫أ َ ٌْنتُم‬, ‫أ َ ٌْنت‬, ‫أ َ ٌْنتُما‬, ‫أ َ ٌْنتُن‬, ‫أَنَا‬, ‫ٌَ نحن‬

‫هُو‬, ‫هُما‬, ‫ٌُ هم‬

2. Isim ‘alam (nama) ialah isim yang menentukan sesuatu barang yang diberi nama
secaramutlak.
Contoh: ‫ٌْيب‬ ‫ب‬
ِ ‫ح‬ ,‫فَاطمة‬

3. Isim isyarah (kata tunjuk) ialah isim yang digunakan untuk sesuatu yang
diisyaratkan/ditunjuk.

Contoh: ,‫ٌِلك‬ ‫ذَا‬, ‫هذا‬ ‫ٌَ ك‬ ‫تِل‬, ‫ٌِه‬ ‫ٌَ هذ‬

4. Isim maushul (kata sambung) ialah isim yang menunjukkan suatu kalimat
tertentudan membutuhkan jumlah (kalimat).

Contoh: ‫ٌَ ن‬ ‫الَّذي‬, ‫الَّتِي‬, ‫الَذي‬

5. Isim yang disertai (.alif lam‫)ال‬

Contoh: ُ ‫ٌْست َاذ‬ ُ ‫اْل‬, ‫ل‬


ُ ‫ٌْالرج‬ ,‫ٌْرأَة‬ ‫اْلم‬
Akan tetapi berbeda dengan alif lam yang terdapat pada isim maushul, karena alif
lam tesebut lazimah (tetap) yang tidak dapat dipisahkan.

6. Isim yang diidhafahkan pada salah satu di antara isim ma’rifat.

17
2.4.2 Isim Nakirah
Menurut Moch. Anwar dalam Ilmu Nahwu; Terjemahan Al-Jurumiyah dan
Imrithy Berikut Penjelasannya, isim nakiroh ialah isim yang jenisnya bersifat
umum yang tidak menentukan suatu perkara dan lainnya.11 Isim nakiroh atau
dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan kata indefinite (belum pasti). Secara
sederhana, definisi atau ta’rifnya adalah isim yang memiliki arti yang bersifat
umumatauglobal. 8
Pakar nahwu lainnya memndefinisikan isim nakirah sebagai isim yang layak
masuk alif lam (artinya laki-laki (yang tidak ditentukan siapa ‫ ٌَ ر ٌُ جل‬Contoh. ‫)ال‬
di atas maknanya ‫ ٌَ ر ٌُ جل‬laki-lakiitu sehingga masih bersifat umum). Pada kata
masih umum dan masih butuh penjelasan, oleh karena itu isim nakirah harus diberi
.yang bisa mema’rifatkan (mengkhususkan) isim tersebut‫ ( )ال‬alif lam9

A. KARAKTERITIK ISIM NAKIRAH


1.) Ciri-ciri isim nakirah
Berikut ini adalah beberapa poin yang harus kita ketahui tentang ciri-ciri
nakiroh dan ma’rifah di bawah ini :
 Isimnya bertanwin
 Biasanya tidak ditandai dengan huruf Alif-Lam ( ‫) ال‬
 Menunjukan kata umum, bukan nama orang tertentu.
Contohnya: ‫بَيْت‬
Kata ٌ‫ َبيْت‬merupakan isim nakiroh, karena terlihat jelas ciri-cirinya terdapat
tanwin di akhir huruf, tidak terdapat alif-lam, maka menunjukan sesuatu yang
umum.

2.) Pembagian Nakirah

 Nakirah Tammah (‫)نكرة تامة‬

8
Moch. Anwar, Ilmu Nahwu; Terjemahan Al-Jurumiyah dan Imrithy Berikut Penjelasannya,
( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2005 ),hlm.108
9
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 254

18
‫هي التي يكون معناها شائعا لكنها بتقييد‬
Nakirah tammah merupakan nakirah yang mempunyai makna luas dan tidak
ada batasannya. Misalnya kata (‫)ر ُج ٌل‬,
َ yang artinya laki-laki dari sekian banyaknya
kaum laki-laki yang tidak diketahui secara pasti oleh pembicara. Lelaki tersebut
tanpa dikenali apabila terdapat suatu tanda pengenal.

 Nakirah Naqisah (‫)نكرة ناقصة‬


‫هي التي يكون معناها شائعا لكنها بتقييد‬
Nakirah naqisah merupakan nakirah yang maknanya luas, akan tetapi
َ ‫)ر ُج ٌل‬,
terdapat batasannya berupa sifat. Misalnya kata ( ‫صال ٌح‬ َ yang artinya laki-laki
dari banyaknya kaum laki-laki yang shalih.

3.) Sebab-Sebab Penggunaan Nakirah


 Menginginkan Arti Tunggal
Dalam hal ini pembicara ingin menunjukkan benda atau orang secara umum
berjumlah satu.
‫ظ ْرتُ ِإلَى َر ُج ٍل َيقُ ْو ُم أ َمامِي‬
َ َ‫ن‬
“Saya melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan saya”
 Ta’dzim
Ta’dzim artinya pengagungan. Pembicara ingin menunjukkan bahwa suatu
benda atau orang akan lebih agung jika disebutkan.
ٍ ‫فَأْذَنُ ْوا ِب َح ْر‬
‫ب‬
“Maka umumkanlah perang”
Kata ‘perang’ yang dimaksud dalam kalimat tersebut memiliki makna
pertempuran apa saja.
 Taksir
Taksir memiliki arti memperbanyak. Kata benda yang digunakan dapat
menunjukkan sesuatu hal dalam jumlah banyak dan kompleks.
‫أ َ ِئنَّا لَنَا أل َ ْج ًرا‬
“Apakah kami akan mendapat ganjaran”. Kata ‘ganjaran’ dalam kalimat
tersebut mempunyai maksud yang banyak dan sempurna.

19
 Taqhir
Taqhir atau meremehkan adalah terpojoknya nilai suatu benda hingga dalam
kondisi tidak pantas untuk dijelaskan.
َ َّ‫ِإ ْن نَظُ ُّن ِإال‬
‫ظنَّا‬
“Kamu tidak beda hanya berprasangka dengan suatu prasangka”. Kata
‘prasangka’ dalam kalimat tersebut memiliki maksud prasangka hina yang tidak
bisa digunakan untuk pedoman
 Taqlil
Taqlil memiliki arti menyedikitkan.
ُ ‫َو ِرض َْوا ٌن مِنَ هللاِ أ َ ْكبَر‬
“Dan keridhoan dari Allah adalah lebih besar”. Maksud dari keridhoan
tersebut adalah tidak banyak namun nilainya sangat besar. Hal tersebut dikarenakan
keridhoan-Nya merupakan puncak kebahagiaan tiap orang.

2.5 Pola Takdim dan Takhir


2.5.1 Pola Takdim
Kata taqdim berakar kata dari huruf-huruf ) ‫ ق – د – م (قدم‬yang berarti
mendahului, menyegerakan. Kemudian kata ‫ قدم‬mengalami perubahan wazan
(afiksasi) dengan menambahkan satu huruf pada ‘ain fi’ilnya (infiks) dengan cara
mentasydidkannya (‫) قدَّم‬, sehingga mengalami transformasi makna, dari makna
mendahului atau menyegerakan menjadi mendahulukan , mendatangkan, memilih
atau lebih menyukai.

2.5.2 Pola Takhir


Sedangkan takhir berakar kata dari huruf-huruf ) ‫ ر (أخر‬- ‫ أ–خ‬merupakan
َّ ‫ أ‬juga mengalami afiksasi dengan menambahkan
antonim dari kata taqdim. Kata ‫خر‬
َّ ‫ )أ‬yang berarti penundaan,
satu huruf pada ‘ain fi’ilnya, sehingga menjadi (‫خ َر‬
penangguhan, dan perlambatan. Maka kata taqdim dan takhir, keduanya adalah

20
berasal dari kata kerja yang dibendakan (mashdar) dari kata ‫ تقديما‬- ‫ قد ََّم – يق ِدم‬dan

‫يؤخر – تأخيرا‬
ِ – ‫أ َّخ َر‬. Yakni sesuatu hal yang mendahulukan dan yang mengakhirkan.

2.5.3 Kaidah Taqdim dan Takhir


Adapun kaidah-kaidah taqdim dan takhir itu ada dua:
Pertama, mendahulukan penyebutan pada satu lafaz atau pada satu
ayat bukan berart i lebih terjadi dalam realit as dan hukumnya. Kaidah ini
butuh penjelasan karena bentuk-bentuk taqdim dan takhir dalam al-
Qur’an mempunyai beberapa art i.
Kadang redaksi ayat didahulukan karena beberapa alasan.
Misalnya karena realitanya memang terdahulu, atau didahulukan karena
mengandung makna kemuliaan atau terkadang didahulukan karena
sulit nya untuk dijelaskan (musykil) dan setelah dikaji dengan
pendekatan taqdim dan takhir maka maknanya menjadi jelas.
Sebagai contoh atas kaidah ini, kita lihat firman Allah Q.S. al-Fat ihah
ayat 5:
Art inya: Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu
lah kami memohon pertolongan.
Coba kit a amat i ayat berikut ini. Kenapa lafaz iyyaka
na’budu lebih didahulukan daripada iyyaka nasta’in? Dalam hal ini, kit a
bisa mengetahui maknanya secara jelas dengan menggunakan kaidah ini.
Kalimat iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’in karena
ibadah adalah tugas dan kewajiban. Sedangkan isti’anah (pertolongan)
adalah hak.
Perlu kita ketahui bahwa, kata “ibadah”, menurut al-Isfahani,
mengandung dua pengertian. Yaitu puncak keterhinaan atau puncak
penghambaan dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Dalam
penjelasan yang lain dinyatakan, bahwa term ‘abada
ya’budu mengandung t iga makna. Yaitu totalitas, kepasrahan,
ketertundukan/kepatuha n dan keterhinaan.

21
Term ‘abada itu harus disandarkan kepada Allah Swt. Karena
tidak ada yang lebih berhak untuk disandarkan selain dari pada -Nya.
Dalam hal inilah kita sebagai manusia sudah semest inya untuk beribadah
dan mengabdi kepada Allah Swt.
Karena itu, sangat lah tepat meletakkan term na’budu lebih
dahulukan dari pada nasta’in. Karena melaksanakan tugas dan
kewajiban harus lebih didahulukan dari pada menuntut hak.
Kedua, kebiasaan orang Arab t idak akan mendahulukan suatu kata
kecuali apa yang telah me njadi perhat iannya. Penjelasan dari kaidah ini
yakni pada ungkapan yang menyatakan bahwa sebab-sebab suatu
perkataan didahulukan oleh karena kemuliaan, keagungan atau apa yang
menjadi perhat ian padanya.
Salah satu contoh ayat dari kaidah yang kedua ini ada lah firman Allah
Q.S. al-Baqarah ayat 43 yang art inya:
Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang
yang rukuk.
Pada ayat di atas mengandung taqdim dan takhir, di mana kata
shalat didahulukan pengucapannya karena lebih diprioritaskan. M.
Quraish Shihab menjelaskan dalam kitab tafsirnya al-Misbah, bahwa
dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis. Shalat
merupakan hubungan harmonis secara vert ikal (antara manusia dengan
Allah), dan zakat merupakan hubungan harmonis secara horizontal
(hubungan sesama manusia). Keduanya sama pent ingnya akan tetapi
shalat tentunya lebih didahulukan.
Kedua kaidah ini jika dikaitkan dengan al-Qur’an, maka dapat
dipahami bahwa keharmonisan dan keteraturan yang timbul dalam kata-
kata dan susunan kalimat dalam al-Qur’an selalu ada dalam set iap lafa l
dan ayatnya, baik yang didahulukan maupun yang diakhirkan. Dan
maknanya yang mendalam dapat diketahui melalui kajian takdim dan
takhir.
2.5.4 Sebab-Sebab Taqdim dan Takhir

22
Adapun sebab-sebab taqdim dan takhir menurut al-‘Allamah
Syamsu al-Din Ibn al-Soig yang dijelaskan dalam kit abnya al-
Muqaddimah fi Sir al-Fad al-Muqaddamah sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Suyut i dalam al-Itqon fi ‘ulumil Qur’an adala :
Pertama, at-Tabarruk sepert i mendahulukan nama Allah pada hal-hal
yang pent ing. Kedua, at-Ta’dzim, yakni kalimat yang mengandung
pengagungan. Ket iga, at-Tasyrif (pemuliaan) seperti penyebutan laki-
laki sebelum wanit a. Keempat, al-Munasabah (persesuaian), yait u
berupa penyesuaian terhadap yang lebih dahulu disebutkan dalam
konteks pembicaraan. Kelima, mendorong untuk mengerjakannya dan
mewant i-want i untuk tidak meremehkannya, seperti penyebutan wasiat
terlebih dahulu sebelum hutang. Keenam, keterdahuluan yait u bisa
berupa keterdahuluan masa. Sepert i penyebutan malam sebelum siang,
kegelapan sebelum cahaya, penyebutan malaikat sebelum manusia, atau
penyebutan mengantuk sebelum t idur.
Ketujuh, syababiyyah (menunjukkan sebab). Misalnya mendahulukan
sifat ‘alimnya Allah dari pada sifat bijaksananya, mendahulukan tobat
dari mensucikan diri karena tobat merupakan penyucian diri. Kedelepan,
menunjukkan yang lebih banyak. Sepert i mendahulukan orang kafir dar i
orang mukmin. Kesembilan, meninggikan (meningkat dari yang lebih
rendah kepada yang lebih t inggi). Kesepuluh, merendah dari yang lebih
tinggi kepada yang lebih rendah.
Kesepuluh sebab ini mengandung hikmah bahwa sesuatu yang
didahulukan lebih pent ing untuk dijelaskan dan untuk diperhat ikan.
Sekaligus merupakan pembukt ian bahwa bahasa al-Qur’an sangat tinggi
nilai keindahannya. Bahwa sampai kapanpun al-Qur’an akan
tetap survive, autent ik, baik aspek bahasa maupun nilai-nilai yang
terkandung didalamnya

23
2.6 Praktek Terjemah Qur’an Surah Nur ayat 3 – 5

Qs. An-Nur Ayat 3


‫علَى‬َ َ‫ان أ َ ْو ُم ْش ِركٌ ۚ َو ُح ِر َم ٰذَلِك‬ َّ ‫ٱلزا ِنى َال َين ِك ُح ِإ َّال زَ ا ِن َيةً أ َ ْو ُم ْش ِر َكةً َو‬
ٍ َ‫ٱلزا ِن َيةُ َال َين ِك ُح َها ٓٗ ِإ َّال ز‬ َّ
َ‫ْٱل ُمؤْ ِمنِين‬
Terjemahan menurut Kementerian Agama RI :
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang mukmin.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab :
Laki-Laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina atau perempuan
musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina
atau laki-laki musyrik, dan demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Hamka :
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mukmin.
Qs. An-Nur Ayat 4
َ ‫وا لَ ُه ْم‬
ً ‫ش ٰ َهدَة‬ ۟ ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْت‬
۟ ُ‫وا ِبأ َ ْربَ َع ِة شُ َهدَآٗ َء فَٱجْ ِلد ُوهُ ْم ث َ ٰ َمنِينَ َج ْلدَة ً َو َال ت َ ْقبَل‬ ِ َ‫ص ٰن‬
َ ْ‫َوٱلَّذِينَ يَ ْر ُمونَ ْٱل ُمح‬
ٗٓ
َ‫أ َبَدًا ۚ َوأ ُ ۟و ٰلَئِكَ هُ ُم ْٱل ٰفَ ِسقُون‬
Terjemahan menurut Kementerian Agama RI :
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik kemudian mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh

24
kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-
lamanya dan mereka itulah, merekalah orang-orang fasik.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Hamka :
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina),
kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka didera
delapan
puluh kali deraan, dan janganlah diterima kesaksian dari mereka selama lamanya.
itulah orang-orang fasik.
Qs. An-Nur Ayat 5
ٌ ُ‫غف‬
‫ور َّر ِحي ٌم‬ َ َّ ‫وا فَإ ِ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬ ْ َ ‫ُوا ِم ۢن بَ ْع ِد ٰذَلِكَ َوأ‬
۟ ‫صلَ ُح‬ ۟ ‫إِ َّال ٱلَّذِينَ ت َاب‬
Terjemahan menurut Kementerian Agama RI :
kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab :
Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Masa Penyayang.
Terjemahan menurut Prof. Dr. Hamka :
Kecuali orang yang taubat sesudah itu dan memperbaiki. Sesungguhnya
Tuhan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

25
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jamak Muzakkar Salim Jamak mudzakkar salim adalah jamak yang
diperuntukan untuk laki-laki menunjukkan makna lebih dari dua, ditandai dengan
adanya huruf tambahan berupa wawu+nun ketika rafa', dan ya'+nun ketika nashab
dan jer. Cara pembentukan jama' muadzakkar salim Tata cara pembentukan jama'
mudzakkar salim adalah dengan mengubah isim mufrod yang menunjukkan laki-
laki atau tidak ada ta' marbutoh ( ‫ ) ة‬diakhirnya dengan menambahkan ‫ و & ن‬di
akhimya ketika rafa’ atau ‫ ي & ن‬diakhirnya ketika nashab dan jar. Jamak Muannats
Salim Jamak muannats salim adalah isim yang susunannya tidak rusak ketika
perubahannya dari bentuk mufrad ke jamak dan menunjukkan jamak perempuan.

Perubahan bentuk jamak taksir adakalanya melalui proses penambahan,


adakalanya melalui proses pengurangan, adakalanya melalui proses perubahan
bunyi, adakalanya melalui proses penambahan dan perubahan bunyi, adakalanya
melalui proses pengurangan dan perubahan bunyi, dan adakalanya melalui proses
pengurangan, nenambahan dan perubahan bunyi.

Pola Isim Fail Fa’il (Subjek) adalah : Isim marfu’ yang terletak setelah Fi’il
Mabni Lil Ma’lum dan menunjukkan atas siapa yang melakukan perbuatan tersebut
atau yang disifatkan dengannya. Setiap kalimat isim yang berkedudukan sebagai
fa’il pada jumlah fi’liyyah harus dibaca rafa’ (marfu’), dan jika Fa’il itu berupa isim
zhahir, maka tanda Rafa’nya tergantung kepada bentuk kalimatnya.

Isim ma’rifah ialah lafaz yang menunjukkan benda tertentu.13 Isim


ma’rifah atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan kata definite (pasti). Secara
sederhana definisi atau ta’rifnya adalah isim yang memiliki arti yang bersifat
khusus atau spesifik. Isim nakiroh ialah isim yang jenisnya bersifat umum yang
tidak menentukan suatu perkara dan lainnya. Secara sederhana, definisi atau
ta’rifnya adalah isim yang memiliki arti yang bersifat umumatauglobal.

26
Kaidah Taqdim dan Takhir Adapun kaidah-kaidah taqdim dan takhir itu ada
dua: Pertama, mendahulukan penyebutan pada satu lafaz atau pada satu ayat bukan
berarti lebih terjadi dalam realitas dan hukumnya Penjelasan dari kaidah ini yakni
pada ungkapan yang menyatakan bahwa sebab-sebab suatu perkataan didahulukan
oleh karena kemuliaan, keagungan atau apa yang menjadi perhatian padanya.
Kedua, kebiasaan orang Arab tidak akan mendahulukan suatu kata kecuali apa yang
telah menjadi perhatiannya

3.2 Saran

Sekiranya dalam makalah kami ini terdapat kesalahan maka kami mohon dari
teman-teman dan bapak dosen untuk memberikan kritikan yang bersifat
membangun dan dapat dijadikan acuan sehingga kedepannya kami dapat membuat
makalah yang lebih baik lagi.

27
Daftar Pustaka

Anwar, Mochammad. Ilmu Nahwu; Terjemahan Al-Jurumiyah dan Imrithy


Berikut Penjelasannya, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2005.

Aqil, Bahauddin Abdullah Ibnu. Terjemahan Alfiyyah 2, Bandung: Sinar Baru


Algens indo, 2006.

Arazini, Syamsuddin Muhammad. Ilmu Nahwu Terjemahan Mutummimah


Ajurumiyyah, 2004.

Fauzan, Ahmad. Qoidah-qoisah ilmu nahwu dan contoh-contoh kalimatnya


beserta I’rabnya, 2017.

Mu’minin, Iman Saiful. Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, Jakarta: Amzah, 2009.

Satori, Achmad. Problematika Menterjemah (Suatu Tinjauan Linguistik Kontrast.

Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik,


Bandung: Mandar Maju, 1994.

28

Anda mungkin juga menyukai