Anda di halaman 1dari 37

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Pantai

Pantai yang merupakan batas antara daratan dan lautan mengalami kondisi
yang sangat dinamis yang disebabkan faktor alam. Proses pembentukan kawasan
pantai sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya dinamis yang berada di sekitarnya.
Gaya-gaya dinamis utama dan dominan yang mempengaruhi kawasan pantai
adalah gaya gelombang. Menurut Bambang Triatmodjo (1999), pantai selalu
menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian rupa sehingga mampu
menghancurkan energi gelombang yang datang.
Apabila gelombang yang terjadi membentuk sudut dengan garis pantai,
maka terjadi dua proses angkutan sedimen yang bekerja secara bersamaan, yaitu
komponen tegak lurus dan sejajar garis pantai. Sedimen yang tererosi oleh
komponen tegak lurus pantai terangkut oleh arus sepanjang pantai sampai ke
lokasi yang cukup jauh. Akibatnya apabila ditinjau di suatu lokasi, pantai yang
mengalami erosi pada saat terjadi badai tidak dapat terbentuk kembali pada saat
gelombang normal, karena material yang tererosi telah terbawa ke tempat lain.
Dengan demikian, untuk suatu periode waktu yang panjang, gelombang datang
membentuk sudut terhadap garis pantai dapat menyebabkan mundurnya (erosi)
garis pantai. Pada Gambar 2. 1 berikut menunjukkan proses pembentukan pada
pantai berpasir. Pada saat terjadi badai, terjadi erosi pada pantai yang
menyebabkan sedimen berupa pasir terangkut ke arah laut dan kemudian
mengendap. Saat badai berlalu, kondisi gelombang kembali normal. Gelombang
ini membawa kembali sedimen yang mengendap ke arah pantai yang membentuk
kembali profil pantai. Dengan membandingkan profil pantai sebelum dan sesudah
badai, dapat diketahui volume sedimen yang tererosi dan mundurnya garis pantai
(Triatmodjo, 1999).
Gambar 2. 1 Proses pembentukan pantai berpasir
Sumber : Triatmodjo (1999)

2.2 Transformasi Gelombang


2.2.1 Refraksi dan
an difraksi
Gelombang yang terjadi di laut dalam, menjalar menuju pantai dan
mengalami proses transformasi gelombang. Peristiwa yang mempengaruhi
transformasi gelombang dari laut dalam menuju laut dangkal adalah refraksi,
pendangkalan (shoaling
shoaling), difraksi, disipasi akibat gesekan, disipasi akibat
perkolasi, gelombang pecah, dan interaksi gelombang (Lin,Lihwa et al, 2008).
2008)
Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut seperti
pada Gambar 2. 2 berikut. Pada daerah di mana kedalaman air lebih besar dari
setengah panjang gelombang, yaitu di laut dalam, maka gelombang menjalar
tanpa dipengaruhi oleh dasar laut. Tetapi di laut tr
transisi
ansisi dan dangkal, dasar laut
mempengaruhi gelombang. Di daerah ini, apabila ditinjau suatu garis puncak
gelombang, bagian puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan
menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian di air yang lebih
l
dalam. Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan berusaha untuk
sejajar dengan garis kontour dasar laut seperti pada Gambar 2. 2 berikut.
Gambar 2. 2. Refraksi gelombang
Sumber : Anonim (2006)
Prinsip refraksi gelombang menyerupai peristiwa refraksi pada cahaya yang
melewati dua media yang berbeda. Hukum Snellius yang terjadi pada refraksi
cahaya dapat digunakan dalam menentukan refraksi gelombang yang disebabkan
oleh perbedaan kedalaman (Sorensen, 1993). Berikut ini adalah persamaan
refraksi berdasarkan kondisi tersebut :
sin 𝜑 = sin 𝜑 (1)

Dimana :
φ1 = Sudut datang gelombang di dekat pantai
φ0 = Sudut datang gelombang di laut dalam
C1 = Cepat rambat gelombang di dekat pantai
C0 = Cepat rambat gelombang di laut dalam
Gelombang yang menjalar dari laut dalam akan mengalami transformasi
berupa difraksi. Difraksi adalah perubahan tinggi dan arah gelombang yang
diakibatkan oleh adanya halangan berupa bangunan pantai ataupun akibat
terhalang pulau. Gelombang yang menjalar menuju suatu rintangan, sebagian atau
seluruh gelombang tersebut akan dipantulkan kembali. Dimana besaran
gelombang yang dipantulkan tergantung pada bentuk dan jenis rintangan
(Sorensen, 1993). Pada Gambar 2. 3 berikut digambarkan perubahan gelombang
akibat sebuah rintangan.
Gambar 2. 3. Difraksi gelombang
Sumber : Sorensen (1993)
2.2.2 Metode pembangkitan gelombang (hindcasting)
Dalam proses pembangkitan gelombang rencana (hindcasting), diperlukan
analisa terhadap daerah pembentukan gelombang (fetch) dan analisa terhadap data
angin hasil pengamatan jangka panjang. Berikut adalah masing-masing proses
analisa.
2.2.2.1 Perhitungan fetch efektif
Fetch adalah daerah pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki
kecepatan dan arah angin yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin
bertiup dalam arah yang bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur
dari titik pengamatan dengan interval 5o. Panjang fetch dihitung untuk 8 (delapan)
arah mata angin dan ditentukan berdasarkan rumus berikut:
∑ .
𝐹 = ∑
(2)

Dimana:
Feff = Fetch effektif diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch
xi = Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke
ujung
akhir fetch.
α = Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan
pertambahan 5o sampai sudut sebesar 45o pada kedua sisi dari arah angin
2.2.2.2 Analisa data angin
Angin yang berhembus di atas permukaan perairan membangkitkan
gelombang laut, peristiwa tersebut merupakan transfer/perpindahan energi dari
udara yang bergerak ke permukaan air, karena itu data angin dapat dipakai untuk
memperkirakan tinggi dan arah gelombang yang terjadi di lokasi yang dikaji. Hal
ini menyebabkan data angin sangat diperlukan sebagai masukan dalam peramalan
gelombang.
Menurut Triatmodjo (1999), angin yang berhembus ke permukaan ini
memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada
permukaan laut sehingga permukaan air yang awalnya tenang terganggu dan
menimbulkan riak gelombang kecil pada permukaan air.
Dalam pembangkitan gelombang, faktor tekanan angin (wind stress factor)
merupakan parameter utama yang digunakan. Dalam proses merubah kecepatan
angin menjadi wind stress factor dilakukan beberapa tahap sebagai berikut:

2.2.2.3 Koreksi ketinggian


Wind stress factor dihitung dari kecepatan angin yang diukur dari
ketinggian 10 m di atas permukaan. Bila data angin diukur tidak dalam ketinggian
ini, koreksi perlu dilakukan dengan persamaan berikut ini (persamaan ini dapat
dipakai untuk z <20m):
/
𝑈(10) = 𝑈( ) (3)

Dimana:
U(10) = Kecepatan angin pada elevasi 10 m (m/s)
U(z) = Kecepatan angin pada ketinggian pengukuran (m/s)
z = Ketinggian pengukuran (m)
2.2.2.4 Koreksi stabilitas
Koreksi stabilitas ini berkaitan dengan perbedaan temperatur udara tempat
bertiupnya angin dan air tempat terbentuknya gelombang. Persamaan koreksi
stabilitas ini adalah sebagai berikut:
U = R T U(10) (4)
Dimana:
U = Kecepatan angin setelah dikoreksi (m/s)
U(10) = Kecepatan angin sebelum dikoreksi (m/s)
RT = Koefisien stabilitas (RT = 1.10)
2.2.2.5 Koreksi efek lokasi
Umumnya tidak terdapat data pengamatan angin pada lepas pantai sehingga
digunakan data pengamatan angin yang dilakukan didaratan. Data angin dari
daratan inii memungkinkan untuk dikonversi menjadi angin laut jika data tersebut
merupakan hasil dari gradient tekanan yang sama dengan perbedaan utama adalah
pada kekasaran permukaan (Resio DT dan Vincent,CL, 1977).. Untuk merubah
kecepatan angin yang bertiup di atas daratan menjadi kecepatan angin yang
bertiup di atas air, digunakan grafik yang ada pada SPM (Vol I, Figure 3-15),
3 atau
pada Gambar 2. 4 berikut ini.

Gambar 2. 4. Grafik koreksi efek lokasi


Sumber : SPM (1984)
Jika posisi pengamatan angin sangat berdekatan dengan pantai, maka tidak
perlu dilakukan koreksi lokasi terhadap data tersebut sehingga diasumsikan
diasumsika RL=
1.0 (USACE, 1984).
2.2.2.6 Konversi ke wind stress factor

Setelah koreksi dan konversi kecepatan di atas dilakukan, tahap selanjutnya


adalah mengkonversi kecepatan angin tersebut menjadi wind stress factor, dengan
menggunakan persamaan berikut.
U A = 0.71 U 1.23 (5)
Dimana:
UA = Wind stress factor (m/s)
U = Kecepatan angin (m/s)
2.2.2.7 Peramalan gelombang
Dalam Shore Protection Manual, 1984, pembentukan gelombang di laut
dalam dianalisa dengan formula-formula empiris yang diturunkan dari model
parametrik berdasarkan spektrum gelombang JONSWAP (Joint North Sea Wave
Project). Prosedur peramalan tersebut berlaku baik untuk kondisi fetch terbatas
(fetch limited condition) maupun kondisi durasi terbatas (duration limited
condition) sebagai berikut:

= 0.243 (6)

= 8.134 (7)

= 7.15 𝑥 10 (8)

Dimana:
Hm0 = tinggi gelombang signifikan berdasarkan spektrum gelombang
Tp = periode puncak gelombang pada spektrum gelombang
UA = wind stress factor (m/s)
t = durasi angin bertiup (detik)
Gambar 2. 5 berikut menjelaskan tentang bagan alir peramalan gelombang
dengan mengidentifikasi kondisi batas gelombang:
Mulai
Ya
/
( Non Fully /
Tidak
𝑔𝐹 𝑈 Developed) 𝑔𝑡 𝑔𝐹 ( Fully Developed)
𝑡 = 6.88 . ≤𝑡 = 6.88 ≤ 7.15 𝑥 10
𝑈 𝑔 𝑈 𝑈

/
Tidak 𝑔𝑡 𝑈 𝐻 = 2.48 𝑥 10 𝑥 𝑈
( Duration Limited) 𝐹 = . 𝑇 = 8.3 𝑥 10 𝑥 𝑈
6.88 . 𝑈 𝑔
𝑡 = 7.296 𝑥 10 𝑥 𝑈

Ya 𝐻 = 5.112 𝑥 10 𝑥 𝑈 𝑥 𝐹 /
( Fetch Limited) 𝑇 = 6.238 𝑥 10 𝑥 (𝑈 𝐹) / F = Fmin
𝐹
𝑡 = 3.215 𝑥 10 𝑥 ( ) /
𝑈

Selesai Selesai

Hs = tinggi gelombang signifikan


Tp = periode puncak gelombang
F = panjang fetch efektif

Gambar 2. 5. Diagram alir proses peramalan gelombang berdasarkan data angin


Sumber : Anonim (1984)
2.2.3 Pemodelan transformasi gelombang dengan STWAVE (Steady-State
Spectral Wave Model)
Tujuan dilakukan permodelan transformasi gelombang adalah untuk
menggambarkan secara kuantitatif perubahan parameter gelombang (tinggi,
periode, arah dan bentuk spektral gelombang) akibat proses penjalaran gelombang
dari laut dalam menuju daerah pesisir. Tidak seperti gelombang yang terjadi
dilepas pantai dimana gelombang tersebut homogen pada skala kilometer,
gelombang dekat pantai sangat bervariasi yang diakibatkan oleh bathimetri, arus
dan fluktuasi air. Besaran gelombang lepas pantai yang diperoleh dari hasil
bangkitan ataupun pencatatan, ditransformasikan ke wilayah dekat pantai
(nearshore zone) dengan model ini. Gelombang dekat pantai ini diperlukan untuk
desain atau kajian daerah pesisir pantai, dan dengan menggunakan permodelan ini
kompleksitas gelombang dapat diketahui dan relatif lebih murah daripada
pembuatan model fisik (Smith, 2001).
Asumsi yang digunakan dalam proses permodelan STWAVE adalah sebagai
berikut :
a. Gelombang, arus dan angin dimodelkan dalam keadaan mantap (Steady state
condition) untuk mengurangi dan menyederhanakan permodelan.
b. Refraksi dianggap linier, dimana STWAVE menggabungkan refraksi,
pendangkalan (shoaling) dan penjalaran gelombang secara linier. Dengan
demikian, keadaan gelombang asimetri tidak diperhitungkan.
c. Arus dikedalaman yang merata. Interaksi gelombang dan arus dianggap
konstan diseluruh bagian kolom air.
Persamaan sebaran gelombang dalam STWAVE menggunakan persamaan
gelombang amplitudo kecil sebagai berikut (Jonsson, 1990) :
𝜔 = 𝑔𝑘 tanh (𝑘𝑑) (9)
Dimana :
ω = Frekuensi gelombang
g = Percepatan gravitasi
k = Angka gelombang
d = Kedalaman laut
2.2.3.1 Input dan output
Input dan output dari program STWAVE dapat dilihat pada Gambar 2. 6.
Seluruh input pada STWAVE dapat dibangkitkan dengan menggunakan SMS
(Surface Modeling System).

Gambar 2. 6. Input dan output pada STWAVE


Sumber : Smith (2001)
Berikut adalah penjelasan input pemodelan berdasarkan Gambar 2. 6 diatas.
a. Model parameter
Parameter model pada STWAVE mengatur model dan simulasi yang akan
diterapkan. Pilihan input pada parameter model adalah input angin (untuk
bangkitan gelombang lokal) dan input interaksi arus gelombang (wave-current
interaction).
b. Bathimetri
Input bathimetri untuk menggambarkan dimensi pada grid STWAVE yaitu
jarak serta kedalaman pada masing-masing grid. Input ini harus didefinisikan
dalam sistem koordinat bumi.
c. Gelombang dan elevasi muka air
Input gelombang dimasukkan pada batas grid dilepas pantai sebagai spektrum
gelombang. Spektrum ini dapat diperoleh dari proses hindcasting, hasil dari
model numerik atau pengukuran langsung dilapangan. Spektrum gelombang
ini juga dapat dibangkitkan berdasarkan tinggi gelombang, periode dan arah
hasil analisa yang kemudian digeneralisasi kedalam bentuk standar spektral.
Sedangkan untuk input muka air dapat digunakan hasil pengamatan pasang
surut yang sesuai dengan referensi datum bathimetri (Smith, 2001).
d. Arus
Data input arus diperlukan jika pada parameter model dipilih interaksi arus
gelombang (wave-current interaction). Input arus ditentukan pada tiap grid-
cell dalam kecepatan arah x dan y. Arus dapat diinterpolasi dari output
pemodelan pembangkitan arus.
Output pada STWAVE adalah tinggi, periode, dan arah gelombang pada
masing-masing grid-cell akibat terjadinya transformasi gelombang. Hasil ini yang
digunakan sebagai input pada pemodelan perubahan garis pantai.
2.2.3.2 Validasi hasil pemodelan
Validasi hasil pemodelan gelombang menggunakan ukuran statistik sebagai
metrik kesalahan (goodness of fit) untuk menggambarkan korelasi antara hasil
pemodelan dan data hasil pengamatan (Demirbilek, and Rosati, 2011).
∑ ( , )( , )
𝑅= (10)
∑ , ∑ ,

Dimana :
R = Koefisien korelasi
Xm = Hasil pengukuran
Xc = Hasil pemodelan
Tabel 2. 1 berikut adalah kualifikasi tingkat korelasi berdasarkan nilai R.
Tabel 2. 1 Kualifikasi tingkat korelasi hasil pemodelan berdasarkan nilai R
No Nilai Batas Korelasi
1 0.7 < R2<1 Korelasi kuat (strong correlation)
2 0.4 < R2<0.7 Korelasi sedang (medium correlation)
3 R2<0.2 Korelasi lemah (weak correlation)
Sumber : Demirbilek, Zeki and Rosati,Julie (2011)
2.3 Kerusakan Pantai
Proses kerusakan pantai berupa abrasi/erosi pantai dapat terjadi karena
sebab alami dan buatan. Pemahaman sebab abrasi/erosi merupakan dasar yang
penting dalam perencanaan perlindungan pantai. Perlindungan pantai yang baik
seharusnya bersifat komprehensif dan efektif untuk menanggulangi permasalahan
kerusakan yang ada. Hal itu dapat tercapai apabila penyebab kerusakan pantai
dapat diketahui, yaitu:
2.3.1 Kerusakan pantai secara alami
Perubahan kondisi alam dapat berdampak terhadap kondisi pantai. Dalam
CEM (Coastal Engineering Manual) kerusakan pantai secara alami terjadi akibat :
2.3.1.1 Kenaikan muka air laut
Terjadinya kenaikan muka air laut relatif terhadap daratan di muka bumi
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan erosi pantai dan kerusakan
properti di pantai.
2.3.1.2 Berubahnya suplai sedimen ke arah pantai
Perubahan pola cuaca dan musim di bumi mengakibatkan kekeringan pada
bulan-bulan tertentu sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir dan
suplai sedimen dari sungai ke arah pantai berkurang, mengakibatkan terjadinya
erosi di pantai.
2.3.1.3 Gelombang badai
Akibat gelombang yang besar, maka pasir akan terdorong ke arah pantai
(onshore transport) dan berpindah tempat di daerah pantai, tetapi kemudian
setelah datang gelombang biasa datang, pasir tersebut akan kembali tertarik ke
bagian laut yang lebih dalam (offshore transport).
2.3.1.4 Gelombang dan ombak overwash
Ombak overwash terjadi saat ombak sangat besar dan badai sehingga
menghasilkan gelombang yang besar dan berputar-putar ketika sampai ke pantai
sehingga mengakibatkan berpindahnya sedimen pantai.
2.3.1.5 Deflasi
Deflasi yaitu berpindahnya material pantai (sedimen) akibat angin sehingga
mengakibatkan erosi. Sedimen yang terangkut oleh angin dapat membentuk
gundukan di sebelah pantai arah daratan yang disebut dune.
2.3.1.6 Transpor sedimensejajar garis pantai
Tranpor sedimen sejajar garis pantai terjadi akibat gelombang yang datang
membentuk sudut tertentu terhadap garis pantai. Sedimen yang dibawa gelombang
ini akan di endapkan di tempat lain sejajar garis pantai dan mengakibatkan erosi
pada daerah asal sedimen tersebut.
2.3.1.7 Faktor biologis
Jika manusia melakukan penggalian pada karang laut sehingga pada jangka
waktu yang lama akan menimbulkan kerusakan pada karang.
2.3.2 Kerusakan pantai akibat campur tangan manusia
Dalam CEM (Coastal Engineering Manual) dijelaskan bahwa kerusakan
pantai juga dapat disebabkan akibat campur tangan manusia. Campur tangan yang
dimaksud adalah:
2.3.2.1 Pembangunan dam/bendungan
Pada beberapa wilayah pantai, supplai sedimen berasal dari aliran sungai.
Dam dan bendungan menghambat pengangkutan sedimen menuju pantai dengan
adanya bangunan penangkap sedimen pada Dam. Struktur ini juga membatasi arus
puncak, sehingga mengurangi laju angkutan sedimen menuju pantai. Jika hal ini
tidak diimbangun dengan penambahan pasokan ke pantai, akan menyebabkan
daerah pantai menyusut dan terjadi erosi.
2.3.2.2 Pembuatan bangunan pelindung pantai dan pengontrol erosi
Pembangunan struktur pantai seperti jetty, groin, seawall dan revetment
mungkin penyebab dramatis kerusakan pantai yang terjadi (Shore Protection
Manual, 1984). Setiap struktur pengaman pantai memiliki efek terhadap sedimen
disekitarnya bahkan ada yang berdampak sekian kilometer pada bagian hilir
(downdrift) bangunan.
2.3.2.3 Perusakan perlindungan alami pantai
Gangguan terhadap perlindungan alami pantai seperti perusakan bukit pasir
(sand dunes), perusakan vegetasi pantai, dan pembangunan daerah di belakang
pantai dapat menyebabkan terjadinya overwash selama badai.
2.3.2.4 Peremajaan pantai (beach renourishment)
Perbaikan pantai tanpa bangunan pelindung seperti pengisian pasir pantai
dengan alat berat dari offshore ke lokasi. Pekerjaan ini memerlukan perencanaan
dan desain yang matang dan memperhatikan prosedur geologi. Ini merupakan
konservasi pantai dengan menambah pasir kembali pada daerah pantai.
2.3.2.5 Penambangan
Penambangan material dari pantai secara langsung mengurangi ketersediaan
sedimen di daerah pantai. Hal ini juga terjadi pada beberapa pantai di daerah Bali,
terjadinya penambangan coral menyebabkan berkurangnya suplai sedimen di
daerah pantai yang menyebabkan terjadinya erosi.
2.3.2.6 Pengalihan aliran sungai
Perubahan aliran sungai, baik secara alami maupun akibat aktifitas manusia
dapat menyeabkan terganggunya suplai sedimen ke arah pantai. Hal ini terjadi
akibat perubahan kecepatan aliran sehingga memperlambat pergerakan sedimen
yang menuju pantai.
2.3.2.7 Aktifitas pertanian
Aktifitas perluasan lahan pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan
laju erosi tanah. Tanah yang tererosi mudah terbawa oleh aliran sungai dan
akhirnya terjadi sedimentasi di muara sungai. Konsekuensi dari proses ini adalah
terjadinya pengendapan sehingga dapat mengganggu suplai sedimen kearah
pantai.
2.3.2.8 Penebangan hutan
Penebangan hutan merupakan masalah penting yang terjadi pada banyak
negara berkembang, dimana terjadi penggundulan hutan yang menyebabkan tidak
adanya penahan longsoran tanah dan menyebabkan erosi. Tanah ini kemudian
dibawa kelaut melalui aliran sungai dan menyebabkan terjadinya banjir bandang
dan mengganggu keseimbangan sedimen di pantai.
Tabel 2. 2 merupakan rangkuman dari faktor penyebab erosi, dampak yang
ditimbulkan serta jangka waktu terjadinya erosi/akresi.
Tabel 2. 2 Faktor alam dan aktifitas manusia yang memengaruhi garis pantai
Jangka Waktu
Faktor Dampak
Detik Jam Hari Bulan 1 Th 10 Th 50 Th 100 Th
Faktor Alam
Short Wave Period Erosi
Wave of Small Stepness Akresi
Large Wave Height Erosi
Storm Surge Erosi
Alongshore Current Erosi/Akresi
Rip Current Erosi
Underflow Erosi
Overwash Erosi
Wind Erosi
Sediment Supply Erosi/Akresi
Inlet Presence Net Erotion
Sea Level Raise Erosi
Land Subsidence Erosi/Akresi
Aktifitas Manusia
Pengerukan Erosi/Akresi
Pengaman Pantai Erosi/Akresi
Penebangan Vegetasi Erosi
Pengembangan Pelabuhan Erosi/Akresi
Bendung/Dam Erosi
Reklamasi Erosi
Sumber : NRC (1990) (NRC, 1990)
2.4 Bangunan Pengaman Pantai
Menurut (Pope, 1997) penanganan kerusakan pantai akibat erosi/abrasi
dilakukan dari membiarkan kondisi pantai tanpa pengamanan (do nothing) hingga
pembuatan berbagai struktur pengaman pantai untuk mengubah pola atau suplai
sediment pantai. Seluruh upaya pengamanan pantai dapat digolongkan kedalam 5
(lima) kelas yaitu perlindungan tebing pantai (armoring), pengurangan laju erosi
(moderation), restorasi pantai (restoration), dibiarkan (do nothing) dan
penyesuaian (adaptation). Tiga kelas pertama merupakan pendekatan teknis
(engineering approaches) dan sisanya merupakan pendekatan manajemen pantai
(management approaches).
Penanganan Pantai Kuta digolongkan kedalam upaya perlindungan tebing
melalui pembuatan revetment, pengurangan laju erosi dengan pembangunan
breakwater dan sand stopper, serta restorasi pantai melalui pengisian pasir.
Berikut adalah penjelasan dari masing
masing-masing jenis bangunan pengaman
gaman pantai
yang dibangun pada Pantai Kuta.
2.4.1 Revetment
Revetment adalah bangunan yang memisahkan daratan dan perairan pantai,
yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi dan limpasan gelombang
(overtopping)) ke darat. Daerah yang dilindungi revetment adalah daerah tepat
dibelakangnya. Permukaan bangunan biasanya berbentuk miring dan tersusun dari
tumpukan batu, geobag, bronjong ((gabion) dan blok beton seperti pada Gambar 2.
7 berikut.

Gambar 2. 7 Berbagai bentuk revetment


Sumber : CEM (2006)

Revetment atau armoring dapat berupa struktur flesksibel ataupun kaku


(rigid).
). Revetment berupa tumpukan batu ((quarry stone dan rip-rap
rap) dapat
mengakomodasi terjadinya penurunan akibat pergerakan pondasi dampak gaya
gelombang yang terjadi. Kegagalan pada revetment umumny disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut (USACE, 2006).
a. Kerusakan pada lapisan armor se
sehingga
hingga terjadi ekspose bagian inti struktur
b. Overtopping dan hilangnya material pondasi
c. Kegagalan pada kaki bangunan ((toe failure)
d. Tekanan air tanah yang berlebih dan rembesan pada celah batu penyusun
e. Longsor ada permukaan revetment
2.4.2 Sand Stopper/Groin
Sand stopper atau groin merupakan bangunan pantai yang umum digunakan
sebagai stabilisasi pergerakan sedimen di pantai. Banyak terjadi kesalahan dalam
penempatan dan perencanaan groin yang menyebabkan erosi di sebuah pantai
menjadi semakin parah. Groin biasanya tegak lurus terhadap garis pantai atau
membentuk sudut tertentu dan tidak terlalu panjang jika dibandingkan dengan
jetty yang dipasang pada muara ataupun untuk navigasi dermaga.
dermaga. Bentuk groin
umumnya adalah lurus dan tegak lurus terhadap garis pantai. Gambar 2. 8
menunjukkan beberapa bentuk groin yang umum digunakan (USACE, 2006).
2006)

Gambar 2. 8 Berbagai bentuk groin


Sumber : USACE (2006)

Gambar 2. 9 Perubahan garis pantai akibat groin


Sumber: CEM (2006)

Garis pantai mengalami perubahan bentuk akibat respon pantai terhadap


keberadaan groin. Gambar 2. 9 menunjukkan bahwa terjadi perubahan garis pantai
akibat adanya groin tunggal maupun sistem groin. Dalam beberapa interval waktu,
terjadi penambahan pasir (akresi)
( pada bagian updrift dan terjadi erosi pada
bagian downdrift. Pola penyesuaian garis pantai selama tahun pertama pasca
konstruksi merupakan indikator yang baik dalam menentukan arah transpor
sedimen yang terjadi.
Alternatif penggunaan sistem groin bertujuan untuk melindungi garis pantai
dan kehilangan sedimen pada suatu area. Berikut ini adalah kondisi pantai yang
memerlukan sistem groin dan manfaatnya (Kraus, N. C., et al, 1994) :
a. Sistem groin ditempatkan pada daerah downdrift pada pemecah gelombang
pelabuhan untuk mengurangi difraksi pada pantai.
b. Pada sisi updrift dari sebuah muara untuk mencegah terjadinya transpor
sedimen kedalam muara.
c. Mengurangi kehilangan pasir isian, tetapi menyediakan material untuk daerah
downdrfit secara terkontrol.
Sedangkan groin tidak berfungsi dengan baik jika terjadi kondisi seperti
berikut ini (Kraus, N. C., et al, 1994) :
a. Jika terjadi tunggang pasang surut yang terlalu besar, dimana akan terjadi
bypassing pada saat surut dan terjadi overpasing pada saat pasang.
b. Penempatan groin tidak efektif apabila pada daerah tersebut dominan terjadi
pergerakan sedimen menuju lepas pantai (cross shore sediment transport).
c. Apabila dibangun terlalu panjang dan kedap air (impermeable) yang
menyebabkan pasir bergerak kearah laut.
2.4.3 Pemecah gelombang (breakwater)
Breakwater atau pemecah gelombang merupakan bangunan pantai yang
difungsikan untuk mereduksi energi dan tinggi gelombang yang menuju pantai.
Fungsi breakwater ini menyerupai reef, terumbu karang dan pulau didekat pantai
dimana energi gelombang berkurang ketika terhalang oleh sesuatu. Penurunan
energi gelombang akan memperlambat pergerakan sedimen dan menghasilkan
endapan sedimen dan akhirnya akan terbentuk tonjolan (cuspate) dibelakang
breakwater (USACE,2006).
Pengaruh pemecah gelombang terhadap perubahan bentuk garis pantai
terjadi apabila garis puncak gelombang pecah sejajar dengan garis pantai asli,
terjadi difraksi di daerah terlindung di belakang bangunan, dimana garis puncak
gelombang membelok dan berbentuk busur lingkaran. Perambatan gelombang
yang terdifraksi tersebut disertai dengan angkutan sedimen menuju ke daerah
terlindung dan diendapkan di perairan pada belakang bangunan pemecah
gelombang. Pengendapa sedimen tersebut menyebabkan terbentuknya cuspate di
belakang bangunan. Proses tersebut akan berlanjut sampai garis pantai yang
terjadi sejajar dengan garis puncak gelombang terdifraksi. Pada keadaan tersebut,
transport sedimen sepanjang pantai menjadi nol. Seperti terlihat pada Gambar 2.
10 dimana arah gelombang dominan hamper tegak lurus garis pantai asli, garis
puncak gelombang dari sisi kiri dan kanan pemecah gelombang berpotongan di
titik A. Puncak cuspate akan terjadi pada titik A (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2. 10 Pembentukan cuspate


Sumber: Triatmodjo (1999)

Dengan demikian pembentukan tombolo tergantung pada panjang pemecah


gelombang (Lp) dan jarak antar bangunan dengan garis pantai (D). Biasanya
tombolo tidak akan terbentuk apabila Lp < D. Jika bangunan menjadi lebih
panjang daripada jaraknya terhadap garis pantai, kemungkinan terjadinya tombolo
semakin tinggi. Pola pengendapan yang akan ditimbulkan akibat pemecah
gelombang dapat diprediksi dengan perbandingan antara panjang breakwater dan
jarak ke garis pantai seperti pada Tabel 2. 3 berikut.
Tabel 2. 3. Pola sedimentasi akibat breakwater
No Kondisi Pola Sedimentasi
1 L/D > 3 Tombolo permanen
2 L/D = 2 s/d 3 Tombolo permanen atau periodik
3 L/D = 2 s/d 1 Terjadi tonjolan (salient) mengarah ke terbentuk tombolo baru
4 L/D = 1 s/d 0.5 Terjadi sedikit tonjolan
5 L/D = 0.5 s/d 0.2 Baru akan terbentuk salient
6 L/D < 0.2 Tidak terjadi sedimentasi
Sumber : Van Rijn (2013) (Van Rijn, 2013)
2.4.4 Pengisian pasir (beach fill)
Pengisian pasir dilakukan untuk mengembalikan lebar pantai sebelum
terjadinya erosi. Sumber pasir yang biasanya digunakan dalam kegiatan beach fill
adalah deposit pasir pada lepas pantai, sedimentasi pada teluk dan muara, tambang
(quarry), dan sedimentasi pada alur pelayaran (navigation channel). Isian pasir
yang bersumber dari teluk dan muara seringkali tidak stabil karena ukuran butiran
yang terlalu halus. Material isian pasir yang efektif harus memiliki ukuran partikel
dan distribusi yang sesuai dengan kemiringan pantai serta gelombang pada lokasi
tersebut. Semakin kasar ukuran butiran pasir isian, akan menyebabkan pantai hasil
isian lebih stabil dan efektif (Sorensen, 1993).
Jenis struktur pengaman pantai yang umumnya digunakan untuk menjaga
isian pasir adalah groin, dan pemecah gelombang lepas pantai. Ketika struktur ini
dibangun, secara alami pada sisi atas (updrift) akan terjadi sedimentasi dan pada
sisi bawahnya (downdrift) akibat pergerakan sedimen sejajar garis pantai
(longshore sediment transport). Hal ini dapat diminimalisir dengan melakukan
pengisian pasir pada area yang akan terjadi deposisi. Kegiatan pengisian pasir
yang berhasil dengan baik harus melalui proses desain dan pemahaman yang jelas
tentang proses dan fenomena hidro-oseanografi yang terjadi pada daerah tersebut
agar pantai yang tercipta atraktif dan berkualitas (Van Rijn, 2006). Berikut adalah
profil pantai hasil pengisian pasir.
Gambar 2. 11 Perubahan profil pantai hasil pengisian pasir
Sumber : Van Rijn (2006)
2.5 Sistem Bangunan Pengaman Pantai
Sistem bangunan pengaman pantai adala
adalah kesatuan bangunan pengaman
pantai yang berfungsi secara bersamaan untuk menjaga suatu pantai dari erosi.
Sistem ini dapat berupa kombinasi struktural (bangunan pantai) dan nonstruktural
(regulasi/peraturan). Menurut Pope (1997), sistem pengaman pantai yan
yang umum
digunakan adalah kombinasi struktural antara pengisian pasir dan pembangunan
struktur pantai. Sedangkan nonstruktural melalui regulasi pengembangan daerah
pesisir dan pengaturan konstruksi baru disekitar pantai. Berikut adalah sistem
bangunan pengaman
an pantai dari kombinasi struktural (Pope, 1997).
2.5.1 Sistem seri groin
Sistem seri groin dapat menjadi solusi efektif dan ekonomis dalam suatu
permasalahan pantai. Sistem ini dapat meningkatkan keberhasilan pengurangan
erosi jika dilakukan dengan penambahan suplai sedimen, sehingga tidak
dianjurkan pembangunan seri groin tanpa penambahan sedimen. Penanganan
dengan sistem ini tidak dianjurkan berakhir pada daerah yang masih mengalami
transpor sedimen sejajar pantai ((longshore sediment transport)) sebab dapat
menahan sedimen yang menuju area tersebut. Gambar 2. 12 berikut
erikut adalah sistem
seri groin yang diterapkan di pantai Long Beach, New York.
Gambar 2. 12 Sistem seri groin pada Long Beach Island, New York
Sumber: CEM (2006)
2.5.2 Sistem seri breakwater
Pemecah gelombang umumnya berada di lepas pantai dengan posisi yang
sejajar dengan garis pantai yang berfungsi untuk mengurangi energi gelombang
yang menuju pantai. Sistem pengaman pantai berupa seri breakwater secara umum
bertujuan untuk (USACE, 2006)
2006):
a. Menjaga keberadaan sedimen (alami ataupun isian pasir)
b. Melindungi area daratan dari kerusakan akibat badai
c. Menyediakan pantai yang lebar untuk rekreasi akibat terbentuknya
tombolo/salient
d. Membuat atau menstabilkan area wet land
Dalam
lam merencanakan sistem seri breakwater, tujuan utama yang ingin
dicapai adalah terbentuknya tombolo/salient. Pembentukan ini sangat bergantung
pada jarak antar breakwater, jarak ke garis pantai, serta panjang masing
masing-masing
breakwater seperti yang dijelask
dijelaskan pada Tabel 2. 3 diatas.

Gambar 2. 13 Sistem seri breakwater pada Presque Isle, Pennsylvania


Sumber: CEM (2006)
2.5.3 Sistem kombinasi
2.5.3.1 Kombinasi struktur stabilisasi pantai dan pengisian pasir
Pembangunan groin dan breakwater merupakan struktur stabilisasi dari
proses pengisian pasir. Kombinasi ini bertujuan untuk memitigasi dampak pada
sisi hilir (downdrift) dan meningkatkan kestabilan pasir hasil pengisian. Umur
ekonomis dan dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh kombinasi ini
mungkin kurang jika diterapkan secara selektif dan efektif. Pembangunan struktur
stabilisasi tanpa diikuti dengan pengisian pasir, cenderung akan merusak pantai
disekitar sistem tersebut. Gambar berikut adalah contoh penerapan kombinasi ini.

Gambar 2. 14 Kombinasi struktur pantai dan pengisian pasir di Pantai Sanur


Sumber : Onaka (2013)
2.5.3.2 Kombinasi seawall, revetment dan pengisian pasir
Kombinasi seawall dan pengisian pasir dilakukan pada Pantai Virginia.
Desain seawall awal adalah struktur beton yang dilengkapi dengan jagaan berupa
wave reflector. Untuk meningkatkan estetika pantai tersebut, maka dilakukan
perubahan bentuk seawall dan dilakukan pengisian pasir untuk mengurangi
rayapan dan energi gelombang seperti pada Gambar 2. 15 berikut.

Gambar 2. 15 Kombinasi seawall dan pengisian pasir di Pantai Virginia


Sumber: USACE (2006)
2.5.3.3 Kombinasi pembangunan gumuk pasir (sand
( dunes)) dan pengisian pasir
Kombinasi sand dunes dan pengisian pasir ini termasuk dalam kategori soft
alternative karena tidak menggunakan struktur keras dalam penanganan erosi.
Sistem ini lebih mnguntungkan dari sisi ekonomi dan lingkungan jika
dibandingkan dengan pembangunan revetment di sepanjang pantai Dam Neck,
Virginia yang didesain untuk mengatasi 1% probabilitas
probabilitas terjadinya badai.

Gambar 2. 16 Kombinasi sand dunes dan pengisian pasir di Pantai Dam


Neck,Virginia
Sumber: CEM (2006)
2.5.4 Pemodelan perubahan garis pantai akibat sistem bangunan pantai
Pembangunan sistem bangunan pantai menyebabkan
menyebabkan terjadinya perubahan
garis pantai akibat respon pantai. Untuk mengetahui dampak perubahan garis
pantai, dapat dilakukan dengan model fisik dan numeris. Model fisik sangat mahal
karena dimensi pantai/objek yang dimodelkan besar sehingga dibutuhkan model
mo
dan ruang laboratorium yang besar pula. Model fisik tidak luwes pemakaiannya.
Setiap model yang dibuat hanya berlaku untuk objek bersangkutan saja. Selain itu
untuk membuat model pasang surut, intrusi air asin, transport sedimen, dan
gelombang sangat sulit (Triatmodjo, 1999).
1999)
Model matematis/numeris merupakan penyelesaian numerik dari
persamaan-persamaan
persamaan matematis yang menggambarkan fenomena alam yang
berpengaruh pada objek permodelan. Pemakaian model numeris dalam bidang
hidraulika telah berkembang dengan pesat, terutama sejak meluasnya pemakaian
computer. Model numeris memiliki banyak keuntungan, yaitu lebih murah, lebih
luwes, dan lebih cepat. Program computer (software) yang dibuat dapat digunakan
untuk beberapa pantai berbeda hanya dengan merubah data input.
Dalam memodelkan perubahan garis pantai digunakan software GENESIS.
GENESIS merupakan permodelan perubahan garis pantai yang dikembangkan
oleh USACE (U.S Army Corps of Engineer), dimana dalam proses analisanya
menggunakan konsep one line model. Konsep one line model didasarkan atas
pengamatan secara umum bahwa profil pantai mempertahankan bentuk rerata dari
sebuah pantai, terlepas dari terjadinya perubahan ekstrim seperti badai.
Walaupun terjadi perubahan musim dalam iklim gelombang yang
menyebabkan pergerakan garis pantai menuju darat ataupun laut secara berulang,
perubahan yang terjadi hanya pada bentuk dan kemiringan rerata dari profil
pantai. Gambar 2.17 terlihat jika bentuk profil pantai tidak berubah, suatu titik
pada profil tersebut telah mampu menggambarkan perubahan yang terjadi
sepanjang garis dasar tersebut. Sebuah garis tersebut dapat digunakan untuk
menggambarkan perubahan bentuk dan volume sedimen pantai mengalami erosi
atau akresi (Hanson, H., dan Kraus, N. C, 1989).

Gambar 2.17 Perubahan garis pantai dan profil dasar yang terkait
Sumber: Hanson (1989)
Asumsi berikutnya adalah bahwa pasir diangkut sejajar diantara dua titik
yang didefinisikan sebagai titik yang membentuk garis pantai (Gambar 2.18).
Sedangkan batas pergerakan pasir kearah darat berada pada posisi berm dan batas
kearah laut pada closure depth. Pembatasan tersebut merupakan cara yang
sederhana dalam menentukan daerah yang mengalami perubahan volume yang
menyebabkan terjadinya perubahan posisi garis pantai. Dengan demikian,
diasumsikan bahwa profil pantai bergerak kearah laut dan darat sepanjang pantai
tanpa berubah bentuk selama waktu tertentu (Δt). Perubahan garis pantai adalah
Δy (Gambar 2.18), panjang segmen pantai adalah Δx, dan profil pantai bergerak
kearah vertikal didefinisikan oleh ketinggian berm (Db) dan kedalaman arah laut
(Dc). Perubahan segmen pantai adalah ΔV = Δx.Δy (DB + DC) dan ditentukan oleh
sedimen yang masuk dan keluar pada kedua sisi profil tersebut. Perubahan volume
dihasilkan jika terjadi perbedaan laju angkutan sedimen sejajar pantai (Q) pada
cell tersebut. Perubahan volume tersebut didefinisikan dengan ΔV = ΔQΔt.
Penyusunan syarat batas tersebut menghasilkan persamaan untuk perubahan garis
pantai sebagai berikut:
∆ ∆
+ =0 (11)
∆ ( ) ∆

Gambar 2.18 Definisi perhitungan untuk perubahan garis pantai


Sumber: Hanson (1989)
Prediksi laju transpor sedimen dalam GENESIS menggunakan persamaan
berikut (Hanson, H., dan Kraus, N. C, 1989) :
𝑄 = (𝐻 𝐶𝑔) (∝ sin 2 ∝ +∝ sin 2 ∝ + )

(12)
Dimana:
H : tinggi gelombang
Cg : kecepatan kelompok gelombang
b : tanda menunjukkan gelombang pecah
αbs : sudut gelombang pecah terhadap garis pantai
Sedangkan parameter α1 dan α2 dinyatakan dengan persamaan berikut:

∝ = ( )( )
(13)

∝ = ( )( )
(14)

Dimana :
K1, K2 : koefisien empiris
s : perbandingan masa jenis pasir dan air laut
W : faktor numeris
tan β : kemiringan dasar laut rerata
Gambar berikut menunjukkan perubahan garis pantai pada beberapa profil
pantai yang diakibatkan oleh sebuah groin pendek.

Gambar 2.19 Perubahan garis pantai pada beberapa cell akibat groin
Sumber: Hanson (1989)
Permodelan dengan GENESIS memiliki beberapa kemampuan dalam
melakukan pendekatan untuk kondisi yang terjadi di pantai. Pendekatan pada
GENESIS juga mampu mempresentasikan kontour lepas pantai, koefisien
transmisi dari pemecah gelombang dan pembentukan tombolo. Berikut ini adalah
ketiga pendekatan tersebut:
a. Representasi kontour lepas pantai (offshore contour)
Pada GENESIS, gelombang datang dibiaskan akibat adanya perubahan
kontour dasar laut dan sudut datang gelombang tersebut disesuaikan dengan garis
pantai. Hal ini memastikan bahwa kejadian gelombang mendekati kondisi riil
dilapangan ketika terjadi perubahan profil pantai yang disebabkan perubahan
gelombang tersebut.
Metode ini memiliki 2 (dua) keterbatasan yaitu, bentuk bathimetri yang
dominan tidak terwakili dengan baik dan garis pantai menjadi lurus jika
dijalankan dalam waktu yang lama jika tidak terdapat bangunan pantai ataupun
suplai sedimen dari luar. Gambar 2.20 menunjukkan bahwa keterbatasan ini dapat
diatasi dengan menetapkan kontour yang mewakili kondisi dominan di lokasi
penelitian. Kondisi ini menyebabkan model mengikuti bentuk kontour yang
dipilih seperti kelengkungannya sehingga model dapat mempertahankan bentuk
kelengkungan garis pantai jika dijalankan pada waktu yang lama (Hanson, H., dan
Kraus, N. C, 1989).

Gambar 2.20 Pengaruh dari garis kontour lepas pantai yang telah ditentukan
Sumber: Hanson (1989)
b. Representasi dari variabel koefisien transmisi pemecah gelombang
Koefisien transmisi (Kt) dari sebuah pemecah gelombang merupakan
parameter utama dalam mengendalikan respon pantai terhadap kebedaraan
breakwater. Dalam GENESIS, pengguna dapat menentukan keofisien transmisi
gelombang dari bangunan tersebut berdasarkan bentuk pemecah gelombang
(tinggi jagaan, lebar dan slope) berdasarkan metode perhitungan yang telah
dilakukan dalam tahapan desain struktur.

Gambar 2.21 Parameter dalam penentuan transmisi gelombang


Sumber: Hanson (1989)
c. Representasi dari pembentukan tombolo
Kondisi batas yang digunakan untuk mewakili pembentukan tombolo pada
groin dan breakwater dianalogikan dengan sebuah struktur tembok laut dimana
akan terjadi akumulasi dibelakang struktur tanpa terjadi proses bypassing. Namun
penerapan batas pembentukan tombolo lebih kompleks karena mencakup difraksi
gelombang, halangan terhadap pergerakan sebuah cell yang sebelumnya dianggap
terbuka, dan pergerakan sedimen disisi darat dan laut. Konsep tombolo
menyatakan bahwa pantai dapat mencapai struktur namun tidak dapat
melewatinya. Dengan konsep tersebut, maka laju transpor sedimen disesuaikan
dengan tingkat transpor menuju struktur tersebut.
Prosedur pembentukan tombolo (Gambar 2.22), digambarkan sebuah pantai
yang dilindungi oleh pemecah gelombang pada waktu tertentu. Sebuah tombolo
telah terbentuk pada sel i+1 pada langkah sebelumnya. Dalam sel yang berdekatan
dengan sel I, menyebabkan masuknya sedimen dari sel sebelumnya (i-1), hal ini
menyebabkan garis pantai maju. Proses ini berlanjut untuk sel berikutnya hingga
ujung breakwater.
Gambar 2.22 Proses pembentukan tombolo pada GENESIS
Sumber: Hanson (1989)
2.6 Kinerja Sistem Bangunan Pengaman Pantai
Kinerja sebuah bangunan ataupun sistem pengaman pantai dinilai terhadap
fungsi bangunan dan kondisi fisik bangunan tersebut. Fungsi bangunan yang
dimaksud adalah kemampuan bangunan dalam mempertahankan dan melindungi
properti dibelakangnya sedangkan kondisi fisik ditinjau berdasarkan kerusakan
yang terjadi pasca konstruksi.
2.6.1 Kondisi fisik bangunan
Kondisi fisik sebuah bangunan pantai ditinjau berdasarkan kerusakan yang
terjadi pada bangunan tersebut akibat gelombang yang terjadi. Kerusakan struktur
pada bangunan yang tersusun dari tumpukan batu (rubble mound) didefinisikan
sebagai jumlah unit atau luasan area dari batu penyusun yang terlepas ataupun
bergeser (USACE, 2006).
Secara umum, fungsi dari lapis lindung (armour layer) adalah untuk
mereduksi energi gelombang dan rayapan sehingga dapat melindungi lapis
penyusun dibawahnya dari struktur pemecah gelombang ataupun revetment dari
peristiwa erosi dan hanyutnya lapis penyusun lainnya. Untuk memenuhi fungsi
tersebut, unit lapis lindung harus memiliki stabilitas hidrolis dan struktural
terhadap serangan badai dan tidak terjadi perpindahan, serta harus mampu
melindungi lereng tanpa kerusakan yang parah (Kamali,Babak, 2009).
Gelombang yang terjadi di struktur pengaman pantai menyebabkan
goncangan naik dan turun pada unit armor penyusunnya. Gerakan naik turun pada
unit armor ini menyebabkan berbagai jenis perpindahan. Berikut adalah beberapa
jenis pergerakan pada batu lapis lindung (armor) (Losada, 1986).

Gambar 2. 23 Jenis pergerakan unit armor


Sumber: Losada (1986)
Berdasarkan gambar diatas, pergerakan dati unit lapis lindung dapat
dikategorikan sebagai berikut :
1. Tidak bergerak (no movement), dikategorikan jika batu penyusun tidak
mengalami pergeseran atau terguncang.
2. Terguncang (rocking), dikategorikan jika batu penyusun terguncang namun
tidak berpindah tempat (Gambar 2. 23.a)
3. Pergerakan kecil (small displacement), dikatergorikan jika terjadi perpindahan
kurang dari 2 unit (2D) (Gambar 2. 23.b & c)
4. Berpindah (displacement), dikategorikan jika terjadi perpindahan lebih dari
2D (Gambar 2. 23.d)
Terdapat 3 parameter yang digunakan untuk mendefinisikan kerusakan lapis
pelindung. Parameter tersebut adalah:
a. Perpindahan relatif ((relative displacement) :
𝐷= (15)

Dimana :
D = perpindahan relatif
nd = jumlah unit yang berpindah
n = jumlah unit keseluruhan
b. Perpindahan segmen (strip
( displacement) (Van der Meer, 1988):

𝑁 = (16)
Dimana :
Nod = perpindahan segmen
nd = Jumlah unit yang berpindah
B = panjang struktur (m)
Dn = diameter lapis lindung rerata (m)
c. Area terkikis
kis relatif (relative eroded area) (Broderick, 1982) :
𝑆= (17)

Dimana :
S = area terkisis relatif
Ae = luas area yang tererosi (m2)
D2n = diameter lapis lindung rerata kuadrat (m2)
Definisi area tererosi (Eroded
Eroded Area
Area) diilustrasikan dalam Gambar 2. 24 berikut
ini.

Gambar 2. 24 Definisi erosi pada struktur


Sumber : Broderick (1982)
Tingkat kerusakan untuk struktur berupa batu (rubble mound) dengan 2
(dua) lapis lindung didefinisikan sebagai berikut:
Tabel 2. 4. Tingkat kerusakan berdasarkan S untuk 2 lapis lindung
Intermediate
Kemiringan (Slope) Initial Damage Failure
Damage
1 : 1.5 2 3–5 8
1:2 2 4–6 8
1:3 2 6–9 12
1:4–1:6 3 8 - 12 17
Sumber : Van der Meer (1988)
2.6.2 Kinerja bangunan pengaman pantai
Pengukuran kinerja suatu pengaman pantai sangat rumit, disebabkan pasca
konstruksi terjadi kemungkinan erosi ataupun sedimentasi secara alami yang
terlepas dari campur tangan manusia. Oleh karena itu, dalam penilaian kinerja
suatu bangunan memerlukan seri data pengukuran lapangan yang lebih terperinci.
Kinerja bangunan pengaman pantai ditinjau berdasarkan kondisi struktur
pengaman pantai, lahan sekitar serta pantai di depan struktur. Setiap pengujian
didasarkan atas kondisi baik, cukup dan kurang dengan skala penilaian seperti
pada Tabel 2. 5 berikut (Hunt, 2014).
Tabel 2. 5 Penilaian kinerja bangunan pantai
No Tinjauan Nilai Keterangan
1 Kondisi struktur pengaman pantai
Baik 2 Terjadi kerusakan minor (initial damage)
Cukup 1 Terjadi kerusakan sedang (intermediate damage)
Buruk 0 Rusak parah hingga gagal konstruksi (failure)
2 Kondisi lahan dibelakang struktur
Baik 2 Tidak terjadi erosi yang signifikan dan properti aman
Sebagian mengalami erosi dan properti terancam oleh
Cukup 1
gelombang
Sejumlah lahan mengalami erosi dan properti
Buruk 0
dibelakang tidak utuh bahkan hilang
3 Kondisi pantai di depan struktur
Baik 2 Terdapat lebar pantai yang cukup
Cukup 1 Pantai mulai tererosi dan gerusan pada toe struktur
Tidak terdapat pantai di depan struktur dan struktur
Buruk 0
terancam mengalami kegagalan
Sumber : Hunt (2014)
Selanjutnya nilai yang dihasilkan dari ketiga tinjauan tersebut dijumlahkan.
Jumlah dari keseluruhan nilai dapat menggambarkan kondisi bangunan/sistem
pengaman pantai dalam kondisi efektif, cukup atau tidak efektif seperti pada
Tabel 2. 6 berikut.
Tabel 2. 6 Klasifikasi tingkat efektifitas bangunan pengaman pantai
No Kinerja Bangunan Pantai Nilai
1 Efektif 6–5
2 Cukup 4–3
3 Tidak Efektif 2-0
Sumber : Hunt (2014)
2.7 Studi Kasus Kinerja Bangunan Pengaman Pantai
Beberapa penelitian dan pedoman membahas mengenai penilaian kinerja
sistem atau sebuah bangunan pantai. Berikut adalah penelitian dan pedoman
tersebut:
2.7.1 Kajian efektifitas bangunan pantai Kota Pekalongan
Penelitian ini mengkaji mengenai penybab terjadinya erosi di Kota
Pekalongan dan efektifitas kinerja bangunan pantai yang ada melalui perubahan
garis pantai yang terjadi. Selanjutnya ditentukan strategi penanganan untuk
mempertahankan stabilitas garis pantai untuk mendukung kegiatan wisata.
Dari penelitian ini diperoleh bahwa penambahan seri breakwater lepas
pantai dan penambahan suplay sedimen merupakan solusi yang efektif untuk
menangani permasalahan erosi dan mengembalikan kondisi pantai. Analisa
perubahan garis pantai dengan metode parabolik form dapat mengetahui
perubahan garis pantai yang disebabkan oleh penambahan seri breakwater
tersebut (Kusli, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Kusli (2008) ini hanya mengkaji efektifitas
bangunan pantai melalui perubahan garis pantai dan tidak mengkategorikan
efektifitas bangunan tersebut. Sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan
penulis, mengkategorikan kinerja sistem bangunan pantai secara keseluruhan dari
segi fungsi dan kondisi bangunan pasca konstruksi yang selanjutnya dikategorikan
dalam kriteria efektif, cukup dan tidak efektif.
2.7.2 Kajian efektifitas pengaman Pantai Kuta Bali secara struktural
dengan menggunakan NEMOS
Penelitian ini melakukan analisis erosi pantai yang terjadi di Pantai Kuta
akibat bangunan yang ada (eksisting) dan menentukan bangunan pantai paling
optimal untuk mengamankan pantai dengan software NEMOS. Berikut adalah
hasil dari penelitian tersebut (Wijayanti, 2012).
a. Tinggi gelombang lebih besar di daerah Outer Reef, dimana rata-rata
permusimnya >1 meter, sementara di Inner Reef hanya mencapai 0.4 meter
permusimnya. Arah gelombang di perairan Inner Reef dominan dari arah
Barat dan Barat Laut, di perairan Outer Reef dominan dari arah Barat
Daya.
b. Hasil output model prediksi perubahan garis pantai di setiap sel/grid
menunjukkan bahwa garis pantai mundur paling besar berada di depan
Santika Hotel, yaitu di area breakwater III, hal ini terjadi karena jarak
breakwater II dan III jauh dan posisinya berada pada lokasi yang
membentuk sudut 450 dari Arah Utara, sehingga tidak efektif menangkap
sedimen.
c. Hasil simulasi model dari beberapa skenario menunjukkan bahwa
pengamanan Pantai Kuta Bali akan efektif dengan menambahkan
breakwater sepanjang 100 meter dengan memadukannya dengan groin
sepanjang 60 meter, sejumlah 3 buah pada kondisi eksisting.
Penelitian oleh Wijayanti (2012) ini tidak menganalisis kategori/kriteria
efektifitas sistem pengaman Pantai Kuta secara keseluruhan dan hanya mengkaji
perubahan garis pantai yang terjadi serta skenario pengaman pantai yang perlu
ditambahkan pada Pantai Kuta. Sedangkan pada penelitian ini, penulis
mengkategorikan kinerja sistem bangunan pantai secara keseluruhan dari segi
fungsi dan kondisi bangunan pasca konstruksi yang diklasifikasikan dalam kriteria
efektif, cukup, dan tidak efektif. Jika hasil penelitian menunjukkan kondisi cukup
atau tidak efektif, maka dilakukan pemodelan numeris beberapa skenario
penanganan.
2.7.3 Kinerja pemecah gelombang ambang rendah (submerged breakwater)
dalam meningkatkan efektifitas pengisian pasir di Gdynia, Polandia
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian efektifitas pemecah
gelombang ambang rendah (submerged breakwater) dalam mempertahankan isian
pasir (beach fill) (Marcinkowski, 2013). Pada daerah kajian dibangun system
pemecah gelombang dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengurangi gaya gelombang dan arus yang menuju pantai sehingga
dapat meminimalisir perubahan garis pantai
2. Untuk mengontrol pergerakan sedimen ke area offshore (lepas pantai)
3. Mengurangi defisit sedimen dan mempertahankan pantai hasil pengisian pasir
Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap beberapa parameter yaitu
perubahan dasar laut (seabed), kemampuan pemecah gelombang dalam
mengurangi energi gelombang, dampak breakwater dalam perubahan profil
pantai, serta dampak pemecah gelombang dalam perubahan pergerakan sedimen.
Berikut adalah hasil penilaian tersebut :
a. Perubahan dasar laut (seabed change)
- Pasir hasil pengisian tertahan di zona run-up dan secara bertahap hanyut
kearah lepas pantai, tetapi waktu yang diperlukan lebih lama akibat
adanya pemecah gelombang.
- Pada saat badai tahun 2009, tidak menyebabkan gerusan yang
signifikan terhadap lahan yang berada dibelakang pemecah gelombang.
- Terjadi gerusan lokal disekitar breakwater dengan tinggi 0.7m dimana
gerusan ini signifikan terhadap stabilitas segmen breakwater.
b. Reduksi energi gelombang dan arus
- Semakin tinggi elevasi ambang breakwater dapat mereduksi energi
gelombang lebih besar.
- Pada saat gelombang normal, efektifitas breakwater semakin besar.
- Secara umum, untuk tinggi muka air laut rerata saat terjadi badai
menyebabkan reduksi gelombang hanya sebesar 45% saat melewati
breakwater. Sedangkan pada saat pasang tinggi dan terjadi badai,
efektifitas breakwater menurun menjadi 20% dalam mereduksi energi
gelombang.
- Dampak adanya pemecah gelombang dalam mereduksi kecepatan aliran
ekstrim hanya sebesar 20-30%.
c. Perubahan transportasi sedimen dan volume isian pasir
- Keberadaan breakwater mampu memperpanjang waktu tinggal pasir
hasil pengisian.
- Efektifitas pemecah gelombang dalam mempertahankan volume isian
pasir hanya sebesar 15-20%.
Penelitian oleh Marcinkowski (2013) ini mengkaji kemampuan breakwater
dalam mereduksi gelombang serta efektifitasnya dalam mempertahankan volume
isian pasir.
2.7.4 Analisis penilaian kinerja bangunan pengaman pantai terhadap
abrasi di Kota Padang
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bangunan pengaman
pantai berupa groin yang dibangun disepanjang pantai Kota Padang. Metode
penilaian kinerja bangunan adalah dengan mengamati secara visual kondisi
bangunan pantai yang selanjutnya diberi nilai 1 sampai dengan 4 sesuai dengan
keadaan bangunan. Dimana secara umum angka 1 bermakna kondisi bangunan
dalam keadaan baik dan diberi nilai 4 jika kondisi bangunan rusak. Bagian
bangunan itu sendiri terdiri dari bagian puncak, lereng, dan tumit (Istijono, 2014).
Total ada 86 groin yang disurvey dalam penelitian ini. Dari segi bentuk
bangunan groin, sebagian besar groin mempunyai tipe I dan ada beberapa groin
yang mempunyai tipe T yang tersusun dari tumpukan batu. Hasil penilaian kondisi
bangunan, dengan penilaian angka 1 sampai 4, disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. 7 Nilai kondisi fisik bangunan groin
Kondisi fisik bangunan
Nilai Puncak Lereng Luar Lereng Dalam Tumit Luar Tumit Dalam
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
1 7 8% 2 2% 1 1% 1 1% 4 5%
2 24 28% 30 35% 62 72% 29 34% 58 67%
3 47 55% 46 53% 20 23% 48 56% 21 24%
4 8 9% 8 9% 3 3% 8 9% 3 3%
Sumber : Istijono (2014)
Penelitian yang dilakukan oleh Istijono (2014) ini hanya meninjau secara
visual kondisi bangunan groin untuk memberikan penilaian terhadap kinerja
bangunan tersebut. Sedangkan pada penelitian ini, penulis mengkategorikan
kondisi bangunan berdasarkan perbandingan/perubahan profil bangunan
pengaman pantai yang dikategorikan berdasarkan luas area tererosi.
2.7.5 Evolusi perubahan garis pantai setelah pemasangan bangunan pantai
Penelitian ini dilakukan pada Pantai Sanur yang telah dilakukan kegiatan
pengisian pasir dan pembangunan groin tegak lurus dan sejajar pantai. Dalam
penelitian ini, dilakukan pemodelan numeris dengan GENESIS untuk melakukan
prediksi evolusi garis pantai akibat adanya bangunan pantai. Hasil prediksi dari
pemodelan ini selanjutnya diverifikasi dengan data hasil pengukuran langsung.
Pada penelitian ini dilakukan juga pemodelan numeris untuk merekomendasikan
alternatif penanganan untuk menciptakan kondisi Pantai Sanur yang lebih stabil
(Soni Senjaya Efendi dan IG. B. Sila Dharma, 2015). Berikut adalah hasil
penilaian tersebut :
a. Bangunan pantai berupa groin berbentuk I,L, dan T yang berada di Pantai
Sanur menunjukkan kinerja yang baik dengan adanya kantong-kantong
pasir diantara groin.
b. Dari hasil pemodelan, diketahui terjadi kemunduran garis pantai Sanur
pada 3 (tiga) ruas groin.
c. Dengan pemodelan GENESIS, untuk meningkatkan kestabilan garis pantai
maka dilakukan modifikasi terhadap struktur groin eksisting serta
penambahan bangunan.
d. Melalui modifikasi dan penambahan bangunan, maka kemunduran di GN4
dari 6.15 meter menjadi 5.34 meter, kemunduran di GA2 dari 3.4 meter
menjadi 2.85 meter, sedangkan kemunduran garis pantai di G32 dari 3.69
meter menjadi 2.98 meter.

Anda mungkin juga menyukai