Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA II

DISPERSI KASAR

DOSEN PENGAMPU:
Laela Febriana, M. Farm

DISUSUN OLEH:
Faruq As’ad Thohir
202208058

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2023/2024
BAB IV
DISPERSI KASAR

I. TUJUAN
Mahasiswa mampu mengetahui dispersibilitas suatu zat dalam pelarut air dengan
menggunakan suspensing agent pada berbagai konsentrasi.

II. DASAR TEORI


Sistem dispersi secara sederhana dapat diartikan sebagai larutan atau campuran
dua zat yang berbeda maupun sama wujudnya. Sistem dispersi ditandai dengan
adanya zat yang terlarut dan zat pelarut. Contohnya, jika tiga jenis benda, yaitu pasir,
gula dan susu masing-masing dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi air,
kemudian diaduk dalam wadah terpisah, maka kita akan memperoleh 3 sistem
disperse (Ridwan, 2012).
Bila suatu zat dicampurkan dengan zat lain, maka akan terjadi penyebaran
secara merata dari suatu zat ke dalam zat lain yang disebut dengan sistem dispersi.
Tepung kanji bila dimasukan ke dalam air panas maka akan membentuk sistem
dispersi dengan air sebagai medium pendispersi dan tepung kanji sebagai zat
terdispersi (Henrayani, 2009).
Sistem terdispersi terdiri dari partikel kecil yang dikenal sebagai fase terdispers,
terdistribusi ke seluruh medium kontinu atau medium terdispersi. Bahan-bahan yang
terdispers bisa mempunyai jangkauan ukuran dari partikel-partikel berdimensi atom
dan molekul sampai partikel-partikel yang ukurannya diukur dalam milimeter. Oleh
karena itu, cara yang paling mudah untuk penggolongan sistem terdispers adalah
berdasarkan garis tengah partikel rata-rata dari bahan terdispers. Umumnya dibuat
tiga golongan ukuran, yaitu dispersi molekuler, dispersi koloid, dan dispersi kasar
(Martin et al, 2008).
Dispersi molekular. Disperse molekular atau larutan adalah sistem satu fase
yang homogen, jernih, dan memiliki diameter tidak lebih dari 10-7cm. partikel-
partikel larutan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa maupun mikroskop ultra,
sukar diendapkan, dan dapat melewati kertas saring biasa maupun membran
semipermeable (Sumardjo, 2009).
Disperse koloid. Koloid adalah campuran yang heterogen. 3 fase (padat, cair
dan gas) dapat dibuat sembilan kombinasi campuran fase zat, tetapi yang dapat
membentuk sistem koloid hanya delapan. Koloid yang mengandung fase terdispersi
padat disebut sol. Koloid yang mengandung fase terdispersi cair disebut emulsi.
Koloid yang mengandung fase terdipersi gas disebut buih (Sutresna,2007).
Emulsi adalah campuran dari dua atau lebih cairan yang biasanya bercampur
( nonmixable atau unblendable ). Emulsi adalah bagian dari kelas yang lebih umum
dari sistem dua – fase materi disebut koloid. Meskipun istilah koloid dan emulsi
kadang-kadang digunakan secara bergantian, emulsi harus digunakan ketika kedua
tersebar dan fase kontinyu adalah cairan. Dalam emulsi, satu cair ( fase terdispersi )
tersebar di lain ( fase kontinyu ). Contoh emulsi meliputi vinaigrettes, susu, mayones,
dan beberapa cairan pemotongan untuk pengerjaan logam (Aqila, 2014).
Pada pembuatan emulsi dibutuhukan emulgator atau zat penghubung yang
menyebabkan pembentukkan emulsi, contoh dari emulgator ini adalah sabun
(Sutresna,2007).
Dispersi kasar. Dispersi kasar atau suspensi akan terjadi jika diameter fasa
terdispersi memiliki ukuran di atas 100 nanometer. Sistem ini mula-mula keruh tetapi
dalam beberapa saat segera nampak batas antara fasa terdispersi dengan medium
pendispersi karena terjadinya pengendapan. Kita dapat memisahkan fasa terdispersi
dari mediumnya dengan cara melakukan penyaringan (Ridwan, 2012).
Dispersi kasar ini disebut juga dengan suspense adalah system dua fase yang
heterogen, tidak jernih. Partikel dari suspense ini dapat dilihat dengan mikroskop
biasa, mudah diendapkan dan tidak dapat melewati kertas saring biasa maupun
membran semipermeable (Sumardjo, 2009).
Suspensi adalah dispersi zat padat di dalam air. Zat yang terdispersi memiliki
ukuran yang cukup besar. Padatan ini merupakan gabungan dari molekul-molekul zat
terdispersi (Sutresna,2007).
Contoh dispersi kasar adalah dispersi pasir di dalam air, air kopi, air sungai,
campuran minyak dengan air, campuran tepung gandum dengan air, dan lain-lain
(Ridwan, 2012).
Suatu suspensi yang dapat diterima mempunyai kualitas tertentu yang
diinginkan : Zat yang tersuspensi (disuspensikan) tidak boleh cepat mengendap
Partikel-partikel tersebut walaupun mengendap pada dasar wadah tidak boleh
membentuk suatu gumpalan padat tapi harus dengan cepat terdispersi kembali
menjadi suatu campuran homogen bila wadahnya dikocok.
Suspensi tersebut tidak boleh terlalu kental untuk dituang dengan mudah dari
botolnya. (Martin et al, 1993).
Sistem pembentukkan suspensi ada dua, yaitu system flokulasi dan system
deflokulasi. Dalam sistem flokulasi, partikel flokulasi terikat lemah, cepat mengendap
dan pada penyimpanan tidak terjadi cake dan mudah tersuspensi kembali. Sedangkan
partikel deflokulasi mengendap perlahan dan akhirnya membentuk sedimen, akan
menjadi agregasi dan akhirnya terbentuk cake yang keras dan sukar tersuspensi
kembali (Syamsuni, 2007).
Dua parameter yang berguna yang bisa diturunkan dari peyelidikan sedimentasi
adalah volume sedimentasi dan derajat flokulasi. Volume sedimentasi (F)
didefinisikan sebagai perbandingan dari volume akhir dari endapan (Vu) terhadap
volume awal dari suspense (Vo) sebelum mengendap.

Vu
F=
Vo
Derajat flokulasi adalah rasio volume akhir sedimen sediaan suspense flokulasi (Vu)
dengan volume akhir sedimen sediaan suspense deflokulasi (Voc)
Vu
derajat flokulasi=
Voc
(Taufik, 2009).
Viskometer Brookfield. Pada viscometer ini nilai viskositas didapatkan dengan
mengukur gaya puntir sebuah rotor silinder (spindle) yang dicelupkan ke dalam
sample. Viskometer Brookfield memungkinkan untuk mengukur viskositas dengan
menggunakan teknik dalam viscometry. Alat ukur kekentalan (yang juga dapat
disebut viscosimeters) dapatmengukur viskositas melalui kondisi aliran berbagai
bahan sampel yang diuji. Untuk dapat mengukur viskositas sampel dalam viskometer
Brookfield, bahan harus diam didalam wadah sementara poros bergerak sambil
direndam dalam cairan. (Atkins 1994)
Pada metode ini sebuah spindle dicelupkan ke dalam cairan yang akan diukur
viskositasnya. Gaya gesek antara permukaan spindle dengan cairan akan menentukan
tingkat viskositas cairan. Sebuah spindle dimasukkan ke dalam cairan dan diputar
dengan kecepatan tertentu. Bentuk dari spindle dan kecepatan putarnya inilah yang
menentukan Shear Rate. Oleh karena itu untuk membuat sebuah hasil viskositas
dengan methode pengukuran Rotational harus dipenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a. Jenis Spindle
b. Kecepatan putar Spindle
c. Type Viscometer
d. Suhu sample
e. Shear Rate (bila diketahui)
f. Lama waktu pengukuran (bila jenis sample-nya Time Dependent).
(Sukardjo. 1997)
Viskometer Brookfield merupakan salah satu viscometer yang menggunakan
gasing atau kumparan yang dicelupkan kedalam zat uji dan mengukur tahanan gerak
dari bagian yang berputar. Tersedia kumparan yang berbeda untuk rentang kekentalan
tertentu, dan umumnya dilengkapi dengan kecepatan rotasi. (FI IV,1038). Prinsip
kerja dari viscometer Brookfield ini adalah semakin kuat putaran semakin tinggi
viskositasnya sehingga hambatannya semakin besar. (Moechtar,1990)

III. ALAT DAN BAHAN

a. Alat yang digunakan :

1. Mortir – Stamper

2. Gelas Ukur 100 ml

3. Gelas Beaker 100 ml

4. Pipet Tetes

5. Spatula Logam

6. Sendok Tanduk

7. Batang Pengaduk

8. Pemanas Listrik

9. Viskometer Rotasi

10. Timbangan Analitik


b. Bahan yang digunakan :

1. Aquadest

2. CMC Na 1 %

3. CMC Na 2 %

4. CMC Na 3 %

5. CMC Na 4 %

6. CMC Na 5 %

7. CMC Na 6 %

8. Parasetamol

IV. PROSEDUR KERJA

a. Pembuatan 200 ml suspensi dari 2 gram paracetamol dengan menggunakan


CMC Na 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 %, 6 %

1) Menghitung berat CMC Na yang akan diambil

2) Timbang CMC Na menggunakan timbangan analitik setelah berat yang


dibutuhkan diketahui

3) Ambil 200 ml aquades dan tuangkan setengahnya kedalam mortir

4) Taburkan CMC Na diatas permukaan aquades hingga seluruh permukaan


aquades tertutupi dengan CMC Na lalu tunggu hingga CMC Na nya basah

5) Gerus secara perlahan dengan menambahkan sisa aquades sedikit demi sedikit
sambil terus digerus sampai homogen

6) Masukkan 2 gram parasetamol dan gerus kembali sampai homogen

7) Jika sudah terbentuk tekstur seperti gel, maka suspensi sudah jadi

b. Mencari Volume Stabilitas Dispersi

1) Masukkan suspensi sebanyak 60 ml kedalam gelas ukur 100 ml

2) Catat volume awal dan volume akhirnya

3) Anati perubahan volume selama 0 menit, 15 menit, dan 30 menit

4) Hitung volume stabilitas dispersinya


Vu
Rumus Volume Stabilitas Dispersi F=
Vo

c. Mencari Viskositas Dispersi

1) Masukkan sisa suspensi kedalam gelas beaker 100 ml

2) Atur kecepatan (rpm) viskometer rotasi, turunkan spindel kedalam suspensi,


dan nyalakan viskometer rotasinya

3) Berhentikan ketika viskometernya sudah berotasi minimal tiga kali dan catat
berapa kali viskometernya berotasi

4) Hitung viskositas dispersinya

Rumus Viskositas Dispersi

η = Banyaknya Rotasi × Faktor rpm

V. HASIL
a. Volume Awal – Akhir dan Stabilitas Dispersi

Vol Awal (Vo) Vol Akhir (Vu) Stabilitas (F)


%
0’ 15’ 30’ 0’ 15’ 30’ 0’ 15’ 30’

1 % 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 1 ml 1 ml 1 ml

2 % 60 ml 60 ml 59,5 ml 60 ml 59,5 ml 59,5 ml 1 ml 0,9 ml 1 ml

3 % 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 1 ml 1 ml 1 ml

4 % 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 1 ml 1 ml 1 ml

5 % 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 1 ml 1 ml 1 ml

6 % 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 60 ml 1 ml 1 ml 1 ml

b. Viskositas Dispersi
Kecepatan Banyaknya Spindle
% Faktor rpm Viskositas
(rpm) Berputar

1% 20 rpm 2.000 20,5 kali 41. 000 mPas

2% 20 rpm 2.000 11 kali 22.000 mPas

3% 20 rpm 2.000 12 kali 24.000 mPas

4% 20 rpm 2.000 47 kali 94.000 mPas

5% 20 rpm 2.000 46,5 kali 93.000 mPas

6% 20 rpm 2.000 86 kali 172.000 mPas

VI. PERHITUNGAN

1. Menghitung Pengambilan Berat CMC Na


 CMC Na 1 % sebanyak 200 ml
= 1 % × 200
1
= × 200
100
= 2 gram
 CMC Na 2 % sebanyak 200 ml
= 2 % × 200
2
= × 200
100
= 4 gram
 CMC Na 3% sebanyak 200 ml
= 3 % × 200
3
= × 200
100
= 6 gram
 CMC Na 4% sebanyak 200 ml
= 4 % × 200
4
= × 200
100
= 8 gram
 CMC Na 5 % sebanyak 200 ml
= 5 % × 200
5
= × 200
100
= 10 gram
 CMC Na 6 % sebanyak 200 ml
= 6 % × 200
6
= × 200
100
= 12 gram
2. Mencari Volume Stabilitas [F]
 0 Menit
a) CMC Na 1 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
b) CMC Na 2 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
c) CMC Na 3 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
d) CMC Na 4 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
e) CMC Na 5 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
f) CMC Na 6 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
 15 Menit
a) CMC Na 1 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
b) CMC Na 2 %
Vu 59 ,5 ml
F = = = 0,9 ml
Vo 60 ml

c) CMC Na 3 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
d) CMC Na 4 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
e) CMC Na 5 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
f) CMC Na 6 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
 30 Menit
a) CMC Na 1 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
b) CMC Na 2 %
Vu 59 ,5 ml
F = = = 1 ml
Vo 59 ,5 ml
c) CMC Na 3 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
d) CMC Na 4 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
e) CMC Na 5 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml
f) CMC Na 6 %
Vu 60 ml
F = = = 1 ml
Vo 60 ml

3. Mencari Viskositas [η]


a. CMC Na 1 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 20,5 × 2000
η = 41.000 mPas
b. CMC Na 2 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 11 × 2000
η = 22.000 mPas
c. CMC Na 3 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 12 × 2.000
η = 24.000 mPas

d. CMC Na 4 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 47 × 2000
η = 94.000 mPas
e. CMC Na 5 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 46,5 × 2000
η = 93.000 mPas
f. CMC Na 6 %
η = Hasil dial reading × Faktor rpm
η = 86 × 2000
η = 172.000 mPas

VII. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini akan dilakukan percobaan mengenai sistem dispersi.
Percobaan kali ini dilakukan bertujuan untuk mengamati sedimentasi dari suspensi
yang dibuat, yaitu campuran dari aquades, parasetamol, serta CMC-Na sebagai
suspensing atau surfaktan. Selain mengamati sedimentasi, akan diamati juga proses
redispersibilitas dari emulsi ini. Penentuan viskositas ini ditentukan menggunakan alat
viskotmeter. Viskometer yang digunakan adalah Viskometer Brookfield. Prinsip dari
alat ini yaitu rotasi dengan mengkombinasikan setting spindle dan kecepatan putar
spindle.
Untuk mengamati proses sedimentasi ini, dibuat terlebih dahulu kedua sample
yang akan digunakan. Pada sampel pertama, yang merupakan campuran dari minyak
dan aquadest yang tidak saling bercampur ini membentuk 2 fase atau lapisan.Pada
lapisan bawah terdapat air, sedangkan pada bagian atas minyak. Kedua lapisan ini
sangat jelas terlihat. Hal ini disebabkan karena adanya gaya kohesi antara molekul
tiap cairan yang memisah lebih besar daripada gaya adhesi antara kedua cairan
tersebut.
Langkah awal yakni spindle dipasang pada gantungan spindle untuk mengukur
kecepatan geser (shearing stress) dari suatu larutan. Larutan yang akan diukur
ditempatkan pada gelas beker. Turunkan spindle sedemikian rupa pada cairan tadi
sehingga batas spindle tercelup ke dalam cairan tanpa menyentuh dasar maupun
dinding dari gelas beker karena jika spindel menyentuh dasar akan terjadi gesekan
yang akan memberi gaya yang menghambat perputaran spindle dan dapat merusak
alat. Hal ini menyebabkan pengukuran menjadi kurang tepat. Kontrol kecepatan pada
alat diatur mulai dari kecepatan terendah yaitu 20 rpm, pengujian dilakukan sebanyak
3 kali putaran. Viskositas dapat diukur pada saat spindle mulai berputar, maka pada
penampang alat akan terlihat harga viskositas zat dalam cP (centipoises). Harga dari
viskositas akan muncul jika persentase skala yang muncul ≥ 0. Jika skala tidak
menunjukkan angka atau menampilkan angka negatif berarti alat tersebut tidak
mampu mengukur viskositas sampel pada kecepatan yang telah ditentukan karena
viakositas terlalu besar atau kecepatan gerak spindle terlalu kecil.
Pengukuran dengan viskometer ini menggunakan spindle 7. Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan pada spindle 7 pada kecepatan (rpm) 20 diperoleh
hasil 41.000 cP; 22.000 cP ; 24.000 cP; 94.000 cP; 93.000 cP, dan 172.000 cP.
Adapun faktor kesalahan dalam percobaan ini yaitu karena kurang teliti dalam
mengukur sampel, kurang sterilnya alat yang digunakan, penggunaan spindle yang
tidak sesuai dengan tingkat viskositas sampel.
Pembuatan suspensi dibuat dengan menggunakan emulgator berupa CMC-Na
yang dikembangakan dengan metode gom kering, yaitu dengan menaburkan CMC-Na
pada aquades yang telah dipanaskan, kemudian digerus ambil ditambahakan
parasetamol sedikit demi sedikit hingga 200ml.
Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus polar yang suka air
(hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Dari kedua sifat yang dimiliki surfaktan
ini, maka surfaktan dapat meurunkan tegangan permukaan antar keduanya sehingga
dapat mempersatukan kedua senyawa tersebut.
Fenomena sedimentasi ini terjadi karena partikel-partikel di dalam suspensi ini
memiliki kecenderungan untuk bergabung (bersatu). Kecenderungan ini disebabkan
karena gaya van der Waals yang lemah membentuk suatu gumpalan yang lunak dan
ringan. Dalam mengamati proses ini, diketahui bahwa flokulat cenderung unutk jatuh
bersama-sama, menghasilkan suatu batas yang nyata antara endapan dan cairan.
Selain pengukuran viskositas menggunakan viskometer Brookfield, selanjutnya
mengamati sedimentasi yaitu dengan memasukkan suspensi ke dalam gelas ukur
hingga 60 ml. Kemudian dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang
diperlukan sampel suspensi untuk mencapai dasar gelas ukur. Dari percobaan yang
telah dilakukan, suspensi sama sekali tdak turun yang waktu redispersibilitas suspensi
tidak dapat diketahui.
Dalam pembentukan sedimentasi, ada parameter seperti derajat flolukasi dan
nilai sedimentasi. Nilai sedimentasi ini merupakan perbandingan antara volume akhir
endapan terhadap volume awal suspensi. Nilai sedimentasi ini berada pada rentang 0,
dan lebih dari 0.
Apabila nilai sedimentasi adalah sama dengan 0 maka produk emulsi atau
suspesi tersebut berada dalam kesetimbangan flokulasi dan menunjukkan tidak
adanya supernata jernih pada pendiaman. Oleh karena itu secara farmasetis dapat
diterima.
Apabila nilai sedimentasi lebih dari 0 berarti volume akhir dari endapan lebih
besar dari volume suspensi awal. Hal ini terjadi karena flokulat yang terbentuk dalam
suspense adalah sebegitu longgar dan lunak sehingga volume yang dapat dicapai lebih
besar dari volume suspensi awal.
Sedimentasi yang baik adalah sedimentasi dimana nilai sedimentasi tersebut
mendekati 0. Dengan membandingkan antara literatur dengan nilai sedimentasi yang
didapatkan dari hasil percobaan yaitu ada yang 1 ml dan 0,9 ml, maka suspensi yang
terbentuk jauh dari kata baik dan cenderung tidak stabil. Hal ini dilihat dari
pembentukkan sedimen yang kurang constant.

VII. KESIMPULAN
1. Hasil viskositas yang di dapat adalah 41.000 cP; 22.000 cP ; 24.000 cP;
94.000 cP; 93.000 cP, dan 172.000 cP.
2. Volume stabilitas pada :
0 menit adalah 1 ml
15 menit adalah 1 ml dan 0,9 ml
30 menit adalah 1 ml

DAFTAR PUSTAKA

Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Ditjen POM . 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI,.
Roth, Hermann, J . 1988 . Analisis Farmasi . Yogyakarta : UGM-Press
Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 2008. Farmasi Fisika 2 Edisi Ketiga .
Jakarta : UIPress.
Basri, S.2003. “Kamus Lengkap Kimia”. Jakarta:Rineka Cipta.
Bird, T. 1994. Kimia Fisik untuk Universitas”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama..
Daintith, J.1994.” Kamus Lengkap Kimia”. Edisi Baru. Alih Bahasa : Suminar
Achmadi, Ph.D. Jakarta : Erlangga..
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta : Gaya Baru.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Surabaya :
Airlangga University Press..
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada Press. .
Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck
Publishing Company, Easton, Pensylvania
Ansel., 1989., “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”., UI Press., Jakarta.
Atkins., 1997., “Kimia Fisika”., Erlangga., Jakarta.
Kosman, R., 2005 “ Farmasi Fisika”., UMI., Makassar
Martin et al. 2009. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta: UI Press
Martin et al. 1990. Farmasi Fisika : Dasar-dasar Kimia Fisik dalam ilmu Farmasetik.
Jakarta : Universitas Indonesia
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: EGC
Sutresna, N. 2007.Cerdas Belajar Kimia. Bandung: Grafindo Media Pratama
Syamsuni, H. A.. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: EGC

LAMPIRAN

Gambar 1. Rpm yang digunakan Gambar 2. Perhitungan dial reading


Gambar 3. Viskometer brookfield Gambar 4. Pembuatan suspensi

Anda mungkin juga menyukai