Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TENTANG ANAK JALANAN

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Sosiologi


Guru Pembimbing : Desi Elina Panjaitan
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Kelompok :

- Kayla Davina - Gerald


- Sari Diandari - Abigael
- Marnanda - Kayla Batricya
- Agung - Walfredo

SMA NEGERI 4 MEDAN


2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan nikmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah Sosiologi tepat pada waktu. Terima kasih juga kami ucapkan kepada guru
pembimbing yang selalu memberikan dukungan dan bimbingannya.

Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas Sosiologi.
Tak hanya itu, kami juga berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Walaupun demikian, kami menyadari dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.

Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah Sosiologi ini
bisa memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kami juga
mengucapkan terima kami kepada para pembaca yang telah membaca makalah ini
hingga akhir.

Medan, November 2023

Kelompok Sosiologi

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................4
A. Latar belakang...........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................5
C. Tujuan.........................................................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI.................................................................................................6
A. Definisi dan Batasan Anak Jalanan..........................................................................6
B. Pengelompokkan Anak Jalanan................................................................................7
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan......................................8
D. Solusi untuk Mengatasi Anak Jalanan.....................................................................9
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................................12
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................16
A. Kesimpulan...............................................................................................................16
B. Saran.........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial
yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas,
dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga,
masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya
belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah
amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang
menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Pada tahun 2008 jumlah anak jalanan sekitar 8.000 orang, pada tahun 2009
jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Dan pada tahun 2010, ketika
pertama kali dilakukan pendataan secara nasional, ditemukan ada sekitar 240.000
anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia. Angka yang fantastik jika sekarang pada
tahun 2011 ini angka tersebut mengalami kenaikan lagi. Padahal, Pemprov DKI
menjadikan penekanan jumlah anak jalanan sebagai salah satu agenda kerja prioritas
tahun lalu. Oleh karena itu, sebagai sesama manusia sudah selayaknyalah kita
membuat suatu kontribusi yang dapat membantu anak-anak kurang beruntung
tersebut dengan cara apapun yang dapat kita usahakan sebagai suatu penghormatan
terhadap sesama manusia ciptaan-Nya.
Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD
1945 pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Artinya sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak jalanan) juga
harus menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah angkat tangan dalam
menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah melakukan razia baik untuk
gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun anak jalanan. Padahal sebenarnya hal
itu bukanlah solusi, karena akar dari permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah
kemiskinan. Jadi kalau ingin tidak ada anak jalanan ataupun gepeng pemerintah

4
harusnya memikirkan cara mengentaskan mereka dari kemiskinan. Mengentaskan
kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain dengan cara meningkatkan
pendidikan pada anak jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan
anak-anak lain.

B. Rumusan Masalah
Pembahasan mengenai anak jalanan dan solusi untuk penanganannya, akan
dibatasi pada hal-hal berikut:
1. Apa saja faktor munculnya anak jalanan?
2. Masihkah ada ruang bagi anak jalanan?
3. Apa saja solusi yang tepat untuk problem anak jalanan?

C. Tujuan
Kami melakukan penelitian ini dengan mengangkat tema “Anak Jalanan”,
dengan judul “Pengaruh Lingkungan Terhadap Anak Jalanan”, bertujuan untuk:
1. Dapat mengenali anak jalanan secara pendekatan.
2. Mengetahui latar belakang munculnya anak jalanan.
3. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya
anak jalanan.
4. Mencari tahu solusi yang tepat untuk menangani problem anak jalanan.

5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi dan Batasan Anak Jalanan
Departemen Sosial RI mendefinisikan, “anak jalanan adalah anak yang
sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di
jalanan atau tempat-tempat lainnya”.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu: Street child are
those who have abandoned their homes, school and immediate communities before
they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan
merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan
yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988: 16).
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang
menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya
sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut
perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf
tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada
saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan
cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan
kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana
labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh,
melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan

6
yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah
masyarakat yang harus diasingkan.
Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu
perasaanalineatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan
kepribadian introvert, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak
dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa
mendatang.
B. Pengelompokkan Anak Jalanan
Himpunan mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota (HIMMATA)
mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan
anak jalanan murni. Anak semi jalanan diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan keluarga.
Sedangkan anak jalanan murni diistilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
menjalani kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya
(Asmawati, 2001: 28).
Menurut Tata Sudrajat (1999:5) anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3
kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu:
1. Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di
jalanan (anak yang hidup dijalanan / children the street).
2. Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah,
kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau
tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan (Children on the
street).
3. Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk
kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street
children).
Sementara itu menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999; 22-24)
anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the
street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas
jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus.

7
Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka
mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua.
Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan
solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah
anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali
diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada
orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg
sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek
payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh
bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal
dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah.
Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu
orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling
menyolok adalah berjualan koran.
4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan
untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah
lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang
mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan
mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan
(kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
Secara garis besar terdapat dua kelompok anak jalanan, yaitu:
1. Kelompok anak jalanan yang bekerja dan hidup di jalan. Anak yang hidup di
jalan melakukan semua aktivitas dijalan, tidur dan menggelandang secara
berkelompok.
2. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan (masih pulang ke rumah
orang tua).

C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan


Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab tumbuhnya
anak jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya orang gelandangan di kota
bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena
tekanantekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian

8
terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu
kehidupan yang lebih baik di kota (Parsudi Suparlan, 1984: 36).
Menurut Saparinah Sadli (1984:126) bahwa ada berbagai faktor yang saling
berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan, antara lain:
faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesempatan kerja
(faktor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan masih
ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai
dengan keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.
Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin, 2000:11)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan
berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena:
1. Kekerasan dalam keluarga.
2. Dorongan keluarga.
3. Ingin bebas.
4. Ingin memiliki uang sendiri.
5. Pengaruh teman.
Beragam faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya anak
jalanan adalah faktor kondisi sosial ekonomi di samping karena adanya faktor broken
home serta berbagai faktor lainnya.

D. Solusi untuk Mengatasi Anak Jalanan


Menurut Nugroho ada tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan,
yaitu:
1. Pendekatan Penghapusan (abolition)
Lebih mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala anak
jalanan. Anak jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan merupakan akibat dari
bekerjanya sistem ekonomi politik masyarakat yang tidak adil. Untuk mengatasi
masalah anak jalanan sangat tidak mungkin tanpa menciptakan struktur sosial
yang adil dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan kepada perubahan

9
struktur sosial atau politik dalam masyarakat, dalam rangka melenyapkan masalah
anak jalanan.
2. Pendekatan Perlindungan (protection)
Mengandung arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang terlanjur
menjadi anak jalanan. Karena kompleksnya faktor penyebab munculnya masalah
kemiskinan, maka dianggap mustahil menghapus kemiskinan secara tuntas. Untuk
itu anak-anakyang menjadi korban perlu di lindungi dengan berbagai cara,
misalnya:melalui perumusan hukum yang melindungi hak-hak anak.
Fungsionalisasi lembaga pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Perlindungan ini senada dengan pendapat pemerintah melalui departemen sosial,
praktisi-praktisi LSM dan UNICEF di mana tanggal 15 Juni 1998 membentuk
sebuah lembaga independent yang melakukan perlindungan pada anak. Yaitu
lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA tersebut didasarkan pada
prinsip dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu:
a)Anak di fasilitasi agar dapat melaporkan keadaan dirinya.
b)Menghargai pendapat anak.
c)LPA bertanggung jawab kepada masyarakat bukan kepada pemerintah.
d)Accountability Menurut Nugroho, sisi negatif dari pendekatan
perlindungan tersebutadalah strategis perlindungan hanya akan
menjadi ajang kepentingan para elitdan tokoh masyarakat sehingga
berimplikasi pada tidak tuntasnyapenyelesaian problem anak jalanan.
Produk-produk hukum yang dirumuskan sebagai wujud bagi
perlindungan terhadap anak.
3. Pendekatan Pemberdayaan (empowerment)
Menekankan perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini
bermaksud menyadarkan mereka yang telah menjadi anak jalanan agar menyadari
hak dan posisinya dalam konteks social, politik ekonomi yang abadi di masyarakat.
Pemberdayaan biasanya di lakukan dalam bentuk pendampingan. Yang berfungsi
sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini
dikatakan berhasil jika anak jalanan berubah menjadi kritis dan mampu
menyelesaikan permasalahannya secara mandiri.

10
Selain itu ada cara lain yang mampu mengatasi masalah anak jalanan, yaitu
sebagai berikut:
a) Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya
anak-anak) ke Medan, dengan cara operasi yustisi, memperkuat koordinasi
dengan daerah asal, pemulangan anak jalanan ke daerah asal dll.
b) Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan
masalah anak jalanan tersebut dengan menyentuh pada sumber
permasalahannya. Sebagai contoh: banyak diantara anak jalanan yang menjadi
tulang punggung keluarganya. Jika ini yang terjadi, maka pemerintah tidak
bisa hanya melatih, membina atau mengembalikan si anak ke sekolah. Tapi
lebih dari itu, pemerintah harus melakukan pendekatan dan pemberdayaan
ekonomi keluarganya.
c) Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah.
d) Memberikan perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. UU nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan
anak perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
e) Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak,
termasuk anak jalanan.
f) Melakukan penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan
keberadaan anak-anak jalanan.
g) Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesungguhnya
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua.

11
BAB III
PEMBAHASAN
Pengemis dan pengamen jalanan seringkali dianggap sebagai “sampah
masyarakat”, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu oleh
kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir jalan, di
sekitar gedung perkantoran, pertokoan, dan banyak tempat-tempat lain yang
seringkali di jadikan tempat beroperasi. Belakangan ini pengemis, pengamen, dan
gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Jakarta dan kota-
kota besar lainnya, termasuk kota Medan . Di kota Medan sendiri misalnya, mereka
beroperasi di terminal, stasiun, di pinggiran jalan atau lampu merah. Pemuda, remaja,
pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan renta semakin menyesaki ruang
publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian besar dari kita merasa sangat
terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir ada di mana-mana dan membuat
kita merasa tidak nyaman. Banyaknya kriminalitas juga seringkali dikaitkan
terutama dengan anak-anak jalanan, karena mereka di beberapa kesempatan terlihat
melakukan tindak-tindak kriminalitas seperti pencopetan, perampasan, melakukan
tindak kekerasan, penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan masih banyak
kejahatan-kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak jalanan. Mungkin hal-
hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan masyarakat menganggap mereka
sebagai “sampah masyarakat”.
Sering kita melihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia Anak-
anak Jalanan dan Gelandangan untuk dibawa ke Dinas Sosial dengan alasan dan dalih
untuk ‘Di Bina dan Dididik’ secara baik sehingga mereka tidak kembali ke jalan lagi.
Namun yang terjadi di balik dalih pembinaan sosial tersebut justru adanya tindak
kekerasan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak anak yang dialami oleh anak-anak
jalanan. Kejadian tersebut jarang terungkap ke masyarakat karena anak-anak jalanan
selaku korban tidak banyak yang melakukan perlawanan apalagi hingga melapor ke
pihak yang berwajib karena mereka takut hal itu justru akan menjadi bumerang bagi

12
mereka sendiri. Pada saat kita pergi kita sering melihat banyak pengemis, pengamen,
dan lain-lain.
Hal Itu merupakan salah satu akibat dari kemiskinan. Kemiskinan memang
saat ini masih belum ada solusinya, tetapi tampaknya Pemerintah masih belum
maksimal dalam menangani masalah kemiskinan. Dan itu bukan hanya salah
Pemerintah saja tetapi kita juga harus dapat mengatasi kemiskinan tersebut, karena
untuk mengubah kemiskinan harus dibutuhkan mental yang bagus. Kemiskinan
memang dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan itu sangat tampak dari
semakin banyaknya pengemis dan pengamen jalanan dimana-mana yang kadang
mengganggu kenyamanan kita. Mungkin kemiskinan terjadi karena tidak dapat
membiayai kehidupan secara langsung. Dan itulah yang terjadi sekarang ini, bahwa
kemiskinan sekarang ada dimana-mana dan menyebabkan semakin bertambahnya
‘sampah masyarakat’.
23 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Momentum
seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-
sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tak jarang anak-anak
dari keluarga tak mampu sering “dipaksa” untuk secepatnya menjadi dewasa dengan
beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan sehingga mereka tak
sempat menikmati masa kanak-kanak yang ceria dan menyenangkan. Sudut-sudut
kota pun sarat dengan keliaran anak-anak jalanan. Ironisnya, tak sedikit aparat yang
menilai kehadiran mereka sebagai sampah masyarakat yang mesti dikarantina tanpa
ada kemauan politik untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kemiskinan dan
ketidakadilan.
Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik di negara-
negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota
yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan
jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di negeri
ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup, mereka
dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di tengah pertarungan
masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan demi kekerasan seperti
mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin hingga akhirnya
mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah. Tentu saja, kita tidak bisa
bersikap apriori dengan mengatakan, “Salahnya sendiri, kenapa miskin?” kalau saja
mereka punya pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia
yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.

13
Dari sisi latar belakang kehidupan keluarga yang sangat tidak nyaman untuk
tumbuh dan berkembang secara wajar, sesungguhnya tak ada tempat untuk menyia-
nyiakan anak-anak miskin yang terlunta-lunta hidup di jalanan. Kehadiran mereka
justru perlu diberdayakan dengan sentuhan lembut penuh kemanusiawian. Namun,
berkembangnya sikap latah dan kemaruk ingin menjadi kaum borjuis dan bergaya
hidup feodal secara instan agaknya telah membakar dan menghanguskan nilai-nilai
kemanusiawian itu. Alih-alih menyantuni, gaya hidup borjuasi dan feodalistik itu,
disadari atau tidak, justru telah memosisikan anak-anak jalanan makin kehilangan
kesejatian dirinya. Kata-kata kasar dan perlakuan tak senonoh sudah menjadi hiasan
hidup dalam keseharian anak-anak jalanan. Orang-orang kaya yang seharusnya bisa
memberdayakan dan menggerakkan semangat hidup mereka justru makin tenggelam
dalam sikap hipokrit, pongah, dan kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama.
Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya mampu
memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan aparatnya,
anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil bak terbuka; diarak dan
dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah perlakuan purba yang jauh dari nilai-
nilai kesantunan masyarakat beradab.
Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk
menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak untuk
hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini? Sudah tak ada
ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati kita hingga akhirnya
mereka benar-benar harus kehilangan masa depan?
Setiap anak merupakan asset yang akan meneruskan cita-cita suatu bangsa,
untuk mencetak anak-anak yang kelak dapat menjadi tulang punggung bangsanya
harus dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan kebutuhan fisik, mental maupun
sosial yang sesuai dengan masa tumbuh kembangnya. Namun, sejak terjadi krisi
moneter yang melanda Indonesia, bnanyak anak-anak yang terabaikan kebutuhannya.
Salah satu fenomenanya adalah keberadaan anak jalanan.
Anak jalanan atau biasa disingkat anjal adalah potret kehidupan anak-anak
yang kesehariannya sudah akrab di jalanan. Dan mungkin kita sudah tidak asing
tentang sosok ini, karena disetiap penjuru kota, kita dapat dengan mudah menemukan
mereka. Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan anak-anak ini? Mereka yang
tergolong kecil dan masih dalam tanggung jawab orang tuanya harus berjuang
meneruskan hidup sebagai anak jalanan dan terkadang mereka menjadi sasaran tindak
kekerasan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi ada juga sebagian

14
orang tua yang dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga, menganjurkan agar
anak-anaknya untuk menghabiskan masa kecilnya sebagai anak jalanan. Banyak
faktor mengapa mereka menjadi anak jalanan, disamping masalah ekonomi keluarga
salah satunya adalah kurangnya pendidikan. Usia mereka yang relatif masih kecil dan
muda seharusnya masih dalam tahap belajar dan merasakan sebuah pendidikan, tetapi
mungkin karena dengan alasan tertentu, mereka malah asyik menikmati hidup sebagai
anak jalanan dan tidak mementingkan sebuah pendidikan.
Bila kita melihat orang jalanan atau pengamen yang selalu yang ada di benak
kita adalah anak yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar, tapi ada
suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan atau pengamen
mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki. Apa keistimewaannya? Setiap
hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan hanya untuk satu tujuan yaitu
mencari uang untuk hidup sehari. Walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap
bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari
selanjutnya. Namun bagaimana dengan kita? Belum tentu kita sehebat itu. Oleh
karena itu, hargailah mereka karena sesungguhnya kita tidak tahu bagaimanakah
kehidupan mereka sesungguhnyaa itu.

15
BAB IV
PENUTUP
Permasalahan anak putus sekolah (anak jalanan) akan semakin rumit jika
dibiarkan saja. Semakin hari angka tersebut akan semakin tinggi, jika tidak dilakukan
upaya tegas dari pemerintah. Banyaknya anak putus sekolah dan beralih menjadi anak
jalanan sebab yang mendasar adalah masalah ekonomi keluarga. Disini peran
pemerintah sangat diperlukan. Untuk menanggulanginya pemerintah dapat
menciptakan lapangan kerja, program kredit usaha rakyat atau koperasi, memberikan
ketrampilan dan modal usaha agar para orang tua bekerja dan mampu menyekolahkan
anak mereka. Dan yang terpenting adalah sosialisasi atau kampanye tentang arti
penting pendidikan. Memberikan pemahaman tentang arti penting dari generasi
sekarang untuk masa depan bangsa ini.

A. Kesimpulan
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi
masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja
melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli
permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan
tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial. Dengan
demikian kerja sama antara berbagai pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak
diperlukan.
Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa
bekerja juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya
peraturan dan perundang-undangan yang mengatur masalah ini.

16
B. Saran
Saran saya dalam menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan adanya
semacam kampanye kepada masyarakat luas untuk peduli dan meningkatkan
kesadaran terhadap anak anak jalanan yang ada di Indonesia ini melalui poster, iklan
layanan dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahira, Anne. Memfasilitasi Pendidikan bagi Anak Jalanan, (online),


(http://anneahira.com, diakses pada tanggal 7 april 2013, pukul 09.32 WIB).

Arief, Armai. 15 Juni 2004. Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan, (online),


(http://anjal.blogdrive.com, diakses pada tanggal 7 april 2013, pukul 11.07
WIB).

Hapsari, Endah. 09 April 2013. Awas, Kasih Uang ke Anak Jalanan Bisa
Kena Sanksi(online), (http://republika.co.id, diakses pada tanggal 7 april 2013,
pukul 09.47 WIB).

Syaifudin. Ketidakberfungsian Lembaga Pemerintah terhadap Masalah


Putus Sekolah, (online), (http://edukasi.kompasiana.com, diakses pada tanggal
23 mei 2013, pukul 13.21 WIB).

17

Anda mungkin juga menyukai