Anda di halaman 1dari 5

BAB VIII

MATERIALISME DALAM PSIKOLOGI

1. Pengertian dan Aspek Materialisme


Materialisme dalam psikologi didefinisikan sebagai suatu
keyakinan yang berkenaan dengan seberapa penting perolehan dan
pemilikan barang dalam hidup (Richins dan Dawson, 1992)
Belk (1985), mengidentifikasikan materialisme sebagai the
importance a consumer attaches to worldly possessions (sebuah
kelekatan konsumen pada kepemilikan barang duniawi yang penting).
Menurut Richins dan Dawson (1992), individu yang materialistis
dikenal meyakini 3 keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-
aspek nilai materialisme, yaitu

a. Acquisition Centrality

Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan


hidup yang paling penting Individu yang materialistis menempatkan
barang tersebut dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka.
Kepemilikan barang memberikan makna bagi hidup dan memberikan
tujuan bagi aktivitas atau usaha keseharian
b. Acquisition as the Port of Happines

Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk


mencapai kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik dan
identitas diri yang lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan
perolehannya menjadi sangat penting bagi individu yang materialis
adalah karena mereka memandang ini penting bagi kepuasan hidup
dan well-being mereka.
c. Possession-Defined Success

Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat


ukur untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu
yang materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain
dari jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka
memandang kesejahteraan atau well being material sebagai bukti
kesuksesan dan kebenaran cara berpikir (right-mindedness).
Sedangkan menurut pendapat Bell (1985), aspek materialisme
terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan kecemburuan/iri hati.
Menurut Belk (1985). individu yang materialistis dapat dijelaskan
melalui aspek-aspek berikut:

a. Kepemilikan (Possessiveness)

Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan


kontrol atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan
tersebut meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya
baik melalui tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu
tersebut lebih menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang
diperoleh melalui kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat
materialisme tinggi menganggap penting kelekatan pada kepemilikan
barang duniawi, kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan
individu yang diyakininya memberikan sumber kepuasan dan
ketidakpuasan dalam hidup (Belk, 1985).
b. Ketidak murahan hati (ongenerosity)

Ketidak murahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan


individu memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu
yang materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois Individu
terschus lebih mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-
sediaan meminjamkan atau menyumbangkan harta benda kepada
orang lain dianggap sebagai ekspresi dari sifat kepribadian individu
materialistis (Husna, 2016).

c. Kecemburuan/iri hati (envy)

Menurut Shoeck, kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap


interpersonal individu yang melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk
pada individu lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau
kepemilikan apapun yang diinginkan rasa ini hati pada individu
materialis ditetapkan pada kepemilikan barang orang lain. in hati
tersebut berorientasi pada kepemilikan individu lain atas sesuatu
Seperti halnya kepemilikan (Possessiveness) dan ketidak murahan hati
(non generosity), iri hati (emy) disini dipahami sebagai ciri umum
daripada sikap tertentu terhadap individu individu yang iri hati
mengharapkan kepemilikan harta benda dari individu lain. Individu yang
in hati juga membenci mereka yang memiliki harta yang diinginkannya
dan merasa direndahkan secara pribadi oleh individu lain yang memiliki
benda-benda yang diinginkan, terutama jika individu lain tersebut
dipandang kurang layak memiliki harta tersebut (Belk, 1985).

2. Faktor Materialisme
Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat,
yang mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna
(2015), terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme
dan telah ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya adalah:

a Faktor psikologis, berupa harga din yang rendah dan kecemasan


akan kematian dan rasa tidak aman.

b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif


dalam membangun af-esteem yang positif, oranghua yang tidak
murmuran, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres
dan konflik dalam keluarga.

c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman


yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di
media.

d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media


yang mendorong konsumerisme.

e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran.

f. Faktor jenis kelamin, Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan


Sumantri, 2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki
kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan
laki laki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki
persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki.

g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda


sekarang memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung
kredit. Bank yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang
memberikan layanan pembelian secara kredit juga mampu membuat
orang suka berbelanja maupun memiliki nilai materialistik tinggi.
Menurut Kasser, ada beberapa faktor yang membentuk nilai
materialisme pada diri individu diantaranya yaitu:

a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu


yang merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan
kompensasi dengan berjuang keras untuk materi Ketidakamanan
psikologis dapat bersumber dari

1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa


aman pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman
secara psikologis.
2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau
berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara
psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis.
3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara
ekonomi kurang cenderung lebih materialistik karena merasa kurang
aman dengan kondisinya Hasil penelitian menemukan bahwa individu
yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang
menguntungkan seringkali lebih materialis.

b Tayangan peran model yang materialis

1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya


hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu
menjadi materials Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran
ideal dari selebriti dan kehidupannya la akan mendorong pemirsa untuk
membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.

2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung


menghasilkan anak-anak yang materialis Orang tua yang memiliki
harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang
cenderung materialis.

3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan


referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya
Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman Individu
yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin menunjukkan
kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer Perbandingan sosial
dengan teman merupakan prediktor yang lebih baik pada materialisme
dibanding dengan figure di media. Hal ini mungkin disebabkan karena
teman lebih mudah diakses dan pola- pola konsumsi mereka lebih
konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi.

Faktor yang mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser


adalah psychological inscurity yaitu ketidakamanan psikologis dan
tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa penelitian
yang terkait dengan tema materialisme diperoleh dan beberapa faktor
diantaranya faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah,
kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga,
berupa pengasuhan keluarga yang tidak mendukung dalam
membangun self-esteem yang positif, orang tua yang tidak nurturant,
dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres dan konflik
dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan
pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan
teman atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang
menggoda serta media yang mendorong konsumerisme, faktor
kemudahan berhutang kemudian faktor religius, berupa rendahnya
religiusitas dan kebersyukuran, dan faktor jenis kelamin.

Terdapat faktor lain yaitu faktor yang berhubungan dengan


materialisme adalah religiusitas. terkait dengan faktor lainnya, peranan
faktor religiusitas cukup menonjol karena nilai-nilai religiusitas lebih
melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai religiusitas tersebut dapat
melandasi sikap dan pandangan individu di dalam menghadapi
lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga
individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme
tersebut

Menurut Jalaluddin (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas


yang abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman
hidup. Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola
tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Beberapa hasil penelitian
juga ditemukan kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas
tinggi berdampak negatif yang signifikan pada materialisme dan
berdampak positif pada kepuasan hidup (Husna, 2016).

Anda mungkin juga menyukai