Anda di halaman 1dari 26

CHAPTER REPORT

CHAPTER ONE
KURIKULUM BERBARIS MENUJU LIBERAL UNTUK SEMUA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Teori Pengembangan Kurikulum Pkn

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd.


Prof. Dr. Rahmat, M.Si.

Disusun Oleh:

Yayu Nur Faidah NIM. 2208118

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nyalah
yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, memberikan kecerdasan ilmu dan
wawasan, sehingga kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan tugas chapter report
yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Teori Pengembangan Kurikulum.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad
SAW kepada keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-mudahan sampai kepada
kita selaku umatnya. Aamiin.
Pada kesempatan kali ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih atas
saran, bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama proses penyusunan
makalah ini serta kerja samanya, yaitu kepada:
1) Prof. Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd. dan Prof. Dr. Rahmat, M.Si Sebagai dosen
pengampu mata kuliah Teori Pengembangan Kurikulum.
2) Semua pihak yang turut membantu penyusun dalam pembuatan chapter report ini
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Penyusun mengharapkan semoga penyusunan chapter report dapat bermanfaat
baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca. Aamiin.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
IDENTITAS BUKU ................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

BAB II ISI BUKU ............................................................................. 2


A. Liberal ............................................................................. 2
B. Asal-usul Kurikulum Liberal .......................................... 3
C. Era Kristen dan Ideal Seni Liberal .................................. 3
D. Bangkitnya Demokrasi .................................................... 5
E. Kurikulum dan Musyawarah Liberal Universal .............. 6
F. John Dewey dan Pendidikan Demokrasi ......................... 6
G. Tantangan Joseph Schwab terrhadap Kurikulum ............ 7
H. Lima Tempat Umum Kurikulum .................................... 8
I. Peta untuk Pembuat Kurikulum ...................................... 12
J. Peta Kurikulum dan Lima Tradisi Kurikulum ................ 15

BAB III PEMBAHASAN .................................................................. 16

BAB IV PENUTUP ............................................................................ 21


A. Kesimpulan ..................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA.......... ..................................................................... 22

iii
IDENTITAS BUKU

Buku ini berjudul Curriculum From Theory to Practice yang ditulis oleh
Weley Null. Kemudia diterjemahkan oleh penulis. Pada versi aslinya buku ini
bejumlah 345 halaman ditulis pada tahun 1973. Pada pembukaanya Null memberikan
pembaca dengan tradisi dan pemikir yang memiliki dan melanjutkan untuk
membentuk lapangan. Analisis historis ini memandu kita ke Null metode kurikulum
deliberatif yang berusaha mengatasi krisis identitas yang dihadapi kurikulum saat ini.
Penulis mengungkapkan dalam pemabahasan ini kemungkinan untuk mendiskusikan
dan mengatasi masalah-masalah praktis yang dihadapi kurikulum hari ini dengan
tujuan memberikan narasi untuk pemecahan masalah melalui kurikulum deliberatif.
Untuk itu buku ini memberikan wawasan tentang perjalanan terpandu melalui
kurikulum.
Buku ini terdiri dari beberapa Bab yaitu :
BAB 1 Kurikulum Berbaris Menuju Liberal untuk Semua
BAB 2 Kurikulum Sistematik
BAB 3 Kurikulum Eksistensialis
BAB 4 Kurikulum Radikal
BAB 5 Kurikulum Pragmatis
BAB 6 Kurikulum Deliberatif
BAB 7 Apa yang Harus Kita Lakukan dengan Standar Kurikulum
Negara?
BAB 8 Bagaimana Kita Dapat Melembagakan Kembali Kurikulum
Inti di Universitas Kita?
BAB 9 Apa yang Harus Kita Lakukan untuk Membuat Kurikulum
Pendidikan Guru yang Lebih Baik?
BAB 10 Memanggil Semua Kurikulum: Kebajikan dan Masa Depan
Kurikulum Deliberatif

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gagasan kurikulum liberal membentang melintasi batas generasi dan


geografis. Akarnya mencapai kembali setidaknya ke filosofi Yunani kuno Plato dan
Aristoteles selama abad kelima dan keempat SM. Keduanya mengakui bahwa
pendidikan sejati artinya pendidikan yang cocok untuk manusia harus memperkuat
sifat manusia dan memupuk pemimpin yang membentuk masyarakat menuju
kebahagiaan dan keharmonisan. Inti dari pendidikan liberal adalah konsep kurikulum
liberal. Jarang dibahas, pembuatan kurikulum liberal adalah satu-satunya cara agar
pendidikan liberal dapat dicapai. Kurikulum yang membebaskan harus mengubah
siswa menjadi pemikir bebas yang dapat memanfaatkan banyak bidang pengetahuan,
mengejar kebenaran, dan memecahkan masalah Berpikir bebas berarti menggunakan
pikiran kita untuk berpikir secara mandiri sementara pada saat yang sama
mendasarkan penilaian kita pada pandangan tradisi dan tujuan yang dipahami dengan
baik. Warga negara yang berpendidikan bebas telah belajar untuk mendasarkan
penilaian mereka pada alasan dan dengan demikian menghindari menyerah pada
nafsu mereka, mengikuti perintah orang lain, atau hanya mengejar kekayaan materi.
Dalam negara demokrasi, kurikulum liberal harus ditawarkan kepada setiap warga
negara. Cita-cita pendidikan liberal universal, bagaimanapun, tidak pernah tercapai.
Alasannya, karena kita kurang memperhatikan materi kurikulum yang melahirkan
cita-cita liberal arts. Untuk mengatasi masalah ini, bagian I Kurikulum: Dari Teori ke
Praktik berfokus pada lima tradisi yang telah menjawab pertanyaan tentang isi
kurikulum dengan cara yang berbeda. Bagian II kemudian memperkenalkan pembaca
pada kasus-kasus khusus yang berputar di sekitar masalah kurikulum yang umum.
Namun, sebelum membahas lima tradisi di bagian I, langkah pertama adalah
mendapatkan perspektif tentang asal muasal kurikulum liberal. Perhatian pada sejarah
ini membantu kita untuk memahami cita-cita yang ingin kita capai dan juga
memahami mengapa cita-cita ini tidak pernah dipraktikkan

1
BAB II
ISI BUKU
CHAPTER ONE
A. Liberal

Liberal Pendidikan adalah cita-cita yang telah membentuk kurikulum dan


pengajaran selama berabad-abad. Pendidikan liberal, lebih tepatnya, mengacu pada
pendekatan interdisipliner terhadap kurikulum dan pengajaran yang mengejar tujuan
membebaskan pikiran sehingga mereka dapat menjadi manusia sepenuhnya, membuat
penilaian rasional, dan memberikan kepemimpinan sipil.
Gagasan kurikulum liberal membentang melintasi batas generasi dan
geografis. Akarnya mencapai kembali setidaknya ke filosofi Yunani kuno Plato dan
Aristoteles selama abad kelima dan keempat SM. Keduanya mengakui bahwa
pendidikan sejati artinya pendidikan yang cocok untuk manusia—harus memperkuat
sifat manusia dan memupuk pemimpin yang membentuk masyarakat menuju
kebahagiaan dan keharmonisan. Kurikulum liberal adalah satu-satunya cara agar
pendidikan liberal dapat dicapai. Kurikulum yang membebaskan harus mengubah
siswa menjadi pemikir bebas yang dapat memanfaatkan banyak bidang pengetahuan,
mengejar kebenaran, dan memecahkan masalah Berpikir bebas berarti menggunakan
pikiran kita untuk berpikir secara mandiri sementara pada saat yang sama
mendasarkan penilaian kita pada pandangan tradisi dan tujuan yang dipahami dengan
baik.
Dijelaskan dalam buku tersebut bahwa negara demokrasi, kurikulum liberal
harus ditawarkan kepada setiap warga negara. Cita-cita pendidikan liberal universal,
bagaimanapun, tidak pernah tercapai. Alasannya, karena kita kurang memperhatikan
materi kurikulum yang melahirkan cita-cita liberal arts. Maka dari itu pembahasan
yang pertama mengenai perspektif tentang asal muasal kurikulum liberal. Perhatian
pada sejarah ini membantu kita untuk memahami cita-cita yang ingin kita capai dan
juga memahami mengapa cita-cita ini tidak pernah dipraktikkan.

2
3

B. Asal-usul Kurikulum Liberal


Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan filsuf pendidikan Kristen
seperti St. Augustine dan John Amos Comenius mengakui pentingnya akal saat
membuat kurikulum liberal. Plato menjadikan akal sebagai kekuatan yang paling kuat
dalam karyanya yang terkenal, The Republic. Kurikulum liberal bagi Plato adalah
kurikulum yang mengajarkan kaum muda untuk mengendalikan emosi dan nafsu
makana aspek-aspek yang lebih rendah dari sifat manusia dengan memperkuat akal
dan disiplin diri. Proses mempelajari kurikulum semacam itu menjadikan nalar paling
kuat kekuatan dalam kehidupan manusia. Jiwa yang tertata dengan baik, bagi Platon,
adalah jiwa yang menjaga akal dan emosi dalam hubungan yang tepat dengan
menggunakan logika untuk mengarahkan pikiran, tindakan, dan keputusan.
Politik, Aristoteles, seperti Plato, mengaitkan pandangannya tentang
kurikulum yang membebaskan dengan konsep jiwa. Meskipun sedikit lebih rumit
daripada penggambaran Plato, penggambaran Aristoteles tentang jiwa yang tertata
dengan baik (artinya terbebaskan) menempatkan nalar dalam kendali impuls istik
hewani seperti nafsu makan dan hasrat. Sekali lagi, kurikulum yang cocok untuk
manusia, menurut Aristoteles, adalah kurikulum yang memperkenalkan siswa pada
mata pelajaran, percakapan, dan pengalaman yang memperkuat kebajikan seperti
keberanian, keramahan, dan kebijaksanaan praktis semuanya berakar pada akal,
termasuk hubungan yang tepat antara akal. dan emosi. Aristoteles menekankan
kebajikan moral seperti keberanian dan kemurahan hati lebih dari Plato, tetapi
kurikulum yang memupuk hubungan yang tepat antara akal dan emosi tetap menjadi
dasar bagi kurikulum yang membebaskan bagi Aristoteles. Baginya, kurikulum yang
mengabaikan mata pelajaran dan praktik yang memfasilitasi nalar tidak akan pernah
mengarah pada pembebasan, juga tidak akan membuat siswa menjadi manusia yang
memadai.

C. Era Kristen dan Ideal Seni Liberal


Era Kristen memperluas gagasan kurikulum liberal ke segmen populasi yang
lebih besar. Pesan kekristenan adalah bahwa Kristus mati untuk semua orang, bukan
4

hanya untuk segmen populasi tertentu. Musyawarah juga berubah dengan lahirnya era
Kristen. Musyawarah harus memanfaatkan nilai-nilai Kristiani ketika mereka
memutuskan suatu tindakan. Bergantung pada interpretasi kitab suci, berbagai
denominasi Kristen memungkinkan segmen populasi yang berbeda untuk memegang
kekuasaan politik, sehingga berpartisipasi dalam proses permusyawaratan. Tradisi
iman yang mempertahankan perbedaan tajam antara ulama dan awam menolak
praktek memperluas proses musyawarah untuk semua anggota komunitas. Dalam
skenario ini, pendeta menafsirkan kitab suci, dan anggota awam diharapkan untuk
menerima interpretasi tentang otoritas ini. Di sisi lain, beberapa tradisi Protestan,
terutama yang terkait erat dengan kebangkitan demokrasi, menolak perbedaan antara
pendeta dan awam, membuka proses deliberatif untuk lebih banyak anggota
komunitas. Tujuan untuk mengajar semua anggota masyarakat untuk berunding
secara khusus ditinggikan dalam karya John Amos Comenius, seorang filsuf
pendidikan dan kurikulis abad ke-17.6 Dikenal sebagai bapak pendidikan universal,
Comenius memiliki kemampuan untuk terlibat dalam dialog filosofis. dengan para
pemikir terkemuka pada masanya sekaligus berkomunikasi dengan warga sehari-hari
tentang bagaimana dan apa yang harus diajarkan kepada anak-anak mereka.
Musyawarah di Amerika Serikat dan masyarakat Barat lainnya sangat
dipengaruhi oleh tradisi Kristen yang mendominasi pemikiran dan praktik kurikuler
sepanjang Abad Pertengahan. Tujuan musyawarah dalam konteks Kristen berbeda
dengan tujuan musyawarah di Yunani atau masyarakat demokratis modern. Tujuan
musyawarah selama Abad Pertengahan adalah untuk memperluas tradisi Kristen
dengan memperkenalkan kisah penebusan kepada setiap generasi berikutnya.
Demokrasi dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang melekat dalam
musyawarah Kristen, tetapi jenis rezim apa pun apakah itu demokrasi atau aristokrasi
tidak dapat menjadi tujuan itu sendiri. Namun, ketika demokrasi menjadi terkenal
sebagai tujuan yang ideal, ia sering bertentangan dengan interpretasi dominan tentang
keyakinan yang berlaku selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perhatian
lebih lanjut terhadap demokrasi dan perannya dalam membentuk kurikulum
5

membawa kita ke era modern dan langkah terbaru dalam perjalanan menuju
kurikulum liberal universal.

D. Bangkitnya Demokrasi

Dengan munculnya demokrasi sebagai cita-cita, tantangan baru muncul untuk


pendidikan dan kurikulum. Pendidikan demokratis didefinisikan sebagai kesempatan
pendidikan yang setara untuk semua menjadi tujuan baru yang mulai dituju oleh
masyarakat modern. Ide kurikulum liberal untuk beberapa dan kurikulum budak
untuk orang lain tidak bisa lagi berlaku ketika kesempatan pendidikan yang sama
menjadi tujuan. Aspek kurikulum yang “membebaskan” yang dirancang untuk
menumbuhkan nalar, pemikiran, refleksi, dan penyempurnaan harus diintegrasikan
dengan dimensi kurikulum “kejuruan”, yang berfokus pada penerapan. Ketika
pandangan politik aristokrat mendominasi budaya, aspek kurikulum "liberal" dan
"kejuruan" dapat tetap terpisah karena orang yang berbeda dilatih untuk peran yang
berbeda dalam masyarakat. Namun, dalam dunia modern abad ke-19, pembedaan ini
mulai runtuh.
Munculnya negara-bangsa sangat mengubah pendidikan dan kurikulum.
Negara-negara yang semakin kuat di Eropa dan masing-masing negara bagian di
Amerika Serikat menciptakan sistem pendidikan publik yang mulai mendidik
persentase anakanak yang semakin besar. Sistem pendidikan umum juga mulai
mendominasi isi kurikulum. Pendidikan universal menjadi tujuan yang ingin dicapai
melalui lembaga-lembaga yang dibiayai negara. Gereja, atau tutor individu, tidak lagi
memegang kendali atas apa yang dipelajari siswa. Pendirian sekolah umum
(kemudian disebut sebagai sekolah umum) dan sekolah biasa (kemudian disebut
sebagai perguruan tinggi guru) adalah lembaga yang didirikan untuk memperluas
kesempatan pendidikan bagi penduduk yang sebelumnya tidak memiliki akses ke
pendidikan. Tantangan paling signifikan yang dihadapi ini lembaga baru adalah
kurikulum.
Para reformis yang sama ini sangat tertarik pada pendidikan moral dan
persiapan kewarganegaraan, bahkan jika mereka tidak menekankan pertimbangan.
6

Kewarganegaraan menuntut ketaatan pada prinsip-prinsip agama, kesetiaan pada


peraturan, dan persiapan untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga yang
menyatukan Amerika (misalnya, keluarga, gereja, sekolah, dan politik). Namun,
pendidikan moral telah berubah sejak abad ke-19. Musyawarah pernah terpinggirkan,
namun kini muncul kembali. Kurikulum teori dan filsuf politik hanya dalam lima
puluh tahun terakhir mulai menekankan musyawarah dan hubungannya dengan
pendidikan moral.

E. Kurikulum dan Musyawarah Liberal Universal

Musyawarah adalah jantung dari argumen buku ini, kisah tentang bagaimana
kaitannya dengan kebangkitan pendidikan universal sangat penting. Musyawarah
juga patut mendapat perhatian karena kaitannya dengan kewarganegaraan. Tidak ada
warga negara yang sepenuhnya terlibat dalam kehidupan bangsanya kecuali dia
diakui sebagai peserta deliberatif. Semua warga negara dalam demokrasi, terlebih
lagi, harus menemukan kurikulum yang mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai
peserta sipil. Sebelum munculnya demokrasi sebagai cita-cita, gagasan mendidik
semua warga negara untuk kegiatan deliberatif terhambat oleh asumsi bahwa tidak
semua orang memiliki kapasitas untuk berunding, setidaknya tidak sejauh yang
pantas menjadi kewarganegaraan sejati. Selain itu, musyawarah universal dibatasi
oleh asumsi bahwa kurikulum harus dibedakan sehingga sebagian siswa dibebaskan
untuk aktivitas politik dan sebagian lainnya dilatih untuk bekerja.
Musyawarah universal harus tumbuh seiring dengan pendidikan universal.
Selain itu, pendidikan universal harus disertai dengan kurikulum yang menyediakan
alat yang dibutuhkan semua siswa untuk berunding dengan bijak. Tanpa kurikulum
semacam itu, suatu negara meminta warganya untuk berpartisipasi dalam proses
yang belum mereka persiapkan.

F. John Dewey dan Pendidikan Demokrasi


Hubungan antara demokrasi dan pendidikan telah menjadi topik umum yang
telah dibahas oleh para sarjana setidaknya selama satu abad. Demokrasi dan
7

Pendidikan John Dewey, yang diakui secara universal sebagai buku paling
berpengaruh yang pernah diterbitkan tentang demokrasi dan pendidikan, mencakup
bab-bab yang membahas mata pelajaran seperti geografi, sejarah, dan studi sosial.
Namun, tidak ada dalam buku ini Dewey memberikan pembahasan mendalam tentang
kurikulum dan pembuatan kurikulum. Bukunya dibaca seperti risalah antropologi dan
bukan buku tentang demokrasi dan kaitannya dengan kurikulum. Dewey membuat
pernyataan luas yang sulit dipertahankan ketika subjeknya adalah keputusan
kurikulum di sekolah tertentu. Misalnya, Dewey menulis, “Kita tidak dapat
menetapkan hierarki nilai di antara studi.” Dewey bersifat ambigu, terutama jika
berkaitan dengan mata pelajaran dalam kurikulum yang menurutnya paling penting.
Dia terkenal diam tentang topik ini. Dewey mengharapkan pembaca untuk menerima
pernyataannya karena ilmu yang dia tempatkan di belakang mereka. Argumen
abstrak, bagaimanapun, tidak cukup ketika mata pelajarannya adalah kurikulum.
Terlepas dari kenyataan bahwa Dewey dikenal sebagai salah satu bapak
filsafat pragmatis, dia tidak memberikan panduan yang memadai tentang bagaimana
menangani keputusan sehari-hari yang dihadapi para praktisi. Dewey pantas
mendapat pujian karena berhasil menyatukan demokrasi dan pendidikan dengan cara
yang mungkin harus dilakukan oleh seorang filsuf politik, tetapi dia tidak mengambil
tantangan yang lebih sulit untuk menyatukan demokrasi dan kurikulum dengan cara
yang realistis. Joseph Schwab, bagaimanapun, menghadapi tantangan itu dengan cara
yang provokatif.

G. Tantangan Joseph Schwab terrhadap Kurikulum

Schwab berpendapat bahwa kurikulum adalah praktik moral dan bukan ilmu
teoretis. Penegasan ini bertentangan dengan hampir semua tulisan abad ke-20 tentang
kurikulum. Ini juga menghubungkan bidang kurikulum dengan tradisi filosofis yang
membentang kembali ke Plato, Aristoteles, dan St. Augustine. Untuk
memperdebatkan kasusnya, Schwab membuat perbedaan antara apa yang dia sebut
"penyelidikan teoretis" dan "penyelidikan praktis". Dia menunjukkan bagaimana dua
8

mode inkuiri ini berbeda setidaknya dalam tiga cara yang signifikan: berdasarkan
hasil, materi pelajaran, dan metode.
Hasil penyelidikan teoretis adalah pemahaman. Hasil penyelidikan praktis, di
sisi lain, adalah untuk membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan dalam
konteks sosial dan politik tertentu. Pemahaman dapat dan harus menjadi bagian dari
penyelidikan praktis, tetapi, dalam dunia kepraktisan, pemahaman selalu merupakan
sarana sampai akhir pengambilan keputusan. Selain hasil, Schwab menunjukkan
bagaimana inkuiri teoretis dan praktis berbeda karena pokok bahasan yang dibahas.
Dalam inkuiri teori, pokok bahasannya berupa teka-teki atau pertanyaan yang
menarik bagi peneliti yang melakukan penelitian. Hasil dari eksperimen berbasis
laboratorium, misalnya, hampir selalu merupakan lebih banyak pertanyaan bagi para
peneliti untuk direnungkan dalam pencarian mereka untuk memahami fenomena
tertentu.

H. Lima Tempat Umum Kurikulum


Lima yang dia identifikasi adalah guru, peserta didik, materi pelajaran,
konteks, dan pembuatan kurikulum. Dia mempertahankan bahwa kelimanya memiliki
sesuatu untuk ditawarkan kepada siapa saja yang membuat kurikulum. Dia juga
menegaskan bahwa kegagalan untuk mempertimbangkan salah satu faktor ini akan
menyebabkan kurikulum yang tidak lengkap dan tidak efektif. Tantangan bagi para
delibator kurikulum adalah untuk menyeimbangkan hal-hal umum ini sementara pada
saat yang sama menghindari jebakan pemikiran bahwa salah satu dari mereka sudah
cukup, dengan sendirinya, untuk membuat kurikulum yang baik. Kita harus
cenderung pada kelimanya saat kita mempertimbangkan alternatif, menghasilkan
dokumen kurikulum, dan memberlakukan kurikulum di masing-masing sekolah dan
ruang kelas.

1. Guru

Poin bahwa guru adalah kekuatan sentral dalam kurikulum sudah jelas. Tidak
ada kurikulum yang dapat diajarkan tanpa seorang guru. konteks kelembagaan
9

lain, selalu ada pengarang yang berperan sebagai guru. Guru adalah agen yang
mengambil kurikulum resmi (atau tidak resmi) dan mempresentasikannya kepada
siswa dalam kelas tertentu. Overemphasis adalah kesalahan paling umum yang
muncul ketika guru biasa adalah subjek diskusi. Karena semua orang tahu bahwa
guru adalah faktor penting dalam kurikulum apa pun, kecenderungan untuk
membesar-besarkan dan menjadikan guru satu-satunya atau bahkan kekuatan
utama selalu ada. Ketika guru disajikan sebagai satu-satunya atau bahkan
kekuatan utama dalam kurikulum, maka hal-hal umum lainnya seringkali peserta
didik dihilangkan. Ketika ini terjadi, kekuatan kurikulum dan kekuatan
pembebasan yang dapat diberikannya dirusak. Poin bahwa guru adalah salah satu
dari lima kurikulum penting yang umum, bagaimanapun, adalah jelas.

2. Pelajar
Tempat yang biasa bagi para pembelajar sama jelasnya dengan tempat yang
biasa bagi para guru. Tentu saja, guru selalu mengajarkan sesuatu kepada
seseorang. Jika mereka yang membuat kurikulum mengabaikan kebutuhan,
minat, dan latar belakang siswa, maka kurikulum yang mereka tawarkan tidak
akan berdampak. Schwab, bagaimanapun, menantang asumsi “belajaradalah
akhir dari pendidikan” ini dengan mengidentifikasi pelajar hanya sebagai
salah satu dari lima tempat umum dan dengan membuat perbedaan antara
penyelidikan teoretis dan praktis. Jika belajar adalah satu-satunya tujuan
pendidikan, maka kita tidak akan pernah diajari bagaimana mengambil apa
yang telah kita pelajari dan menerapkannya dalam situasi praktis. Dengan
identifikasi pembelajar dan pembelajaran sebagai salah satu dari lima tempat
umum, Schwab menempatkan pembelajaran dalam konteks penyelidikan
moral dan intelektual yang lebih luas. Dari perspektif ini, belajar tidak boleh
dilihat sebagai tujuan itu sendiri, melainkan sebagai sarana untuk bertindak di
dunia.
10

3. Pokok Bahasan
Seperti tempat umum lainnya, materi pelajaran sangat penting untuk
kurikulum. Guru mengajarkan sesuatu kepada siswa. Tantangannya, sekali
lagi, adalah melihat materi pelajaran sebagai bagian dari keseluruhan
kurikuler yang lebih besar. Cara yang paling umum di mana materi pelajaran
diistimewakan atas empat tempat biasa lainnya adalah ketika ia disebut
sebagai "konten", dengan demikian menganggap bahwa "konten" tidak
ditemukan di tempat lain dalam keluarga tempat umum. Inti dari lima
commonplaces adalah konten kurikuler ada di semuanya, bukan hanya satu.
Ini adalah poin yang sulit dipahami oleh pembaca modern. Orang Amerika
terbiasa berpikir dalam perbedaan tajam antara "isi" dan "metode", tanpa
memperhatikan faktor lain dalam kurikulum. Jika pandangan kurikulum yang
lebih dalam ingin berkembang, percakapan harus bergerak melampaui istilah
dangkal yang menempatkan "isi" di satu sisi kurikulum dan "metode" di sisi
lain. Kurikulum yang baik selalu memadukan keduanya.
4. Konteks
Konteks mengacu pada pengaturan di mana kurikulum diajarkan.Guru selalu
mengajarkan sesuatu kepada seseorang di suatu tempat Dokumen kurikulum
tentu saja dapat dibuat tanpa memperhatikan masing-masing sekolah, tetapi
dokumen kurikulum apa pun pada titik tertentu harus bersentuhan dengan
realitas konteks sekolah dan kelas tertentu. Schwab menggunakan
"lingkungan" alih-alih konteks untuk merujuk pada hal yang biasa ini, tetapi
intinya sama. Teks ini menggunakan "konteks" karena ini adalah istilah yang
lebih kontemporer untuk poin yang dibuat Schwab. Di sisi lain, pengabaian
konteks yang lumrah dapat menyebabkan kurikulum tidak didukung oleh
masyarakat di mana sekolah itu berada. Jika orang tua dan tokoh masyarakat
mulai berpandangan bahwa sekolah mengajarkan kurikulum yang tidak
mendukung (atau lebih lanjut) tujuan masyarakat tersebut, maka sekolah akan
kehilangan dukungan sosial, politik, dan ekonominya. Seperti hal-hal umum
11

lainnya, faktor konteks harus diingat saat para delibator memutuskan tindakan
apa yang akan diambil.
5. Pembuatan Kurikulum
Penyusunan kurikulum seringkali merupakan hal yang paling sulit untuk
dipahami. Namun, itu adalah hal biasa yang menyatukan yang lain. Ini
mencakup setidaknya tiga dimensi penting: praktik, tujuan, dan integrasi.
Ketika datang ke praktik, mungkin cara terbaik untuk menjelaskan kurikulum
membuat hal yang biasa adalah dengan mengatakan bahwa sesuatu harus
menggerakkan hal-hal umum lainnya sebelum pengajaran dapat dilakukan.
Dengan kata lain, keempat tempat umum ada secara abstrak kecuali kita
menempatkannya dalam hubungan satu sama lain dalam praktiknya.
Pembuatan kurikulum yang biasa juga mempertimbangkan pertanyaan tentang
tujuan. Tidak ada sekolah yang dapat membebaskan kecuali para guru dan
pengelola sekolah di dalamnya telah memikirkan secara serius tujuan di balik
kurikulum yang mereka ajarkan. Pembuatan kurikulum tidak hanya
menggerakkan empat hal umum lainnya, tetapi juga menggerakkannya
menuju tujuan yang ideal. Salah satu aspek besar dari istilah kurikulum adalah
bahwa hal itu mengasumsikan sebuah telos, atau akhir. Tidak ada yang
membuat kurikulum hanya untuk memikirkannya. Kurikulum dibuat untuk
melakukan sesuatu, khususnya untuk mempengaruhi siswa ke arah tertentu.
Kelaziman pembuatan kurikulum mengakui aspek tujuan kurikulum ini.
Integrasi adalah komponen ketiga dari pembuatan kurikulum. Integrasi terjadi
dalam lima tempat umum dan berkenaan dengan pokok bahasan yang
terwakili dalam pokok bahasan umum. Saat mereka mencari masalah,
mempertimbangkan kemungkinan, dan terlibat dalam praktik pembuatan
kurikulum secara keseluruhan, deliberator harus belajar mengintegrasikan
materi pelajaran dan empat hal umum lainnya secara bersamaan. Deliberator
terbaik menyeimbangkan lima tempat umum dalam percakapan dan
pengambilan keputusan. Mereka juga tahu bagaimana membuat hubungan
antara materi pelajaran yang membentuk materi pelajaran biasa. Deliberator
12

yang efektif dapat berpindah dari tempat biasa ke tempat biasa dan, dalam arti
tertentu, "memihak" apa pun yang biasa tidak mendapat perhatian yang tepat.
I. Peta untuk Pembuat Kurikulum
Selain lima tempat umum Schwab, perangkat lain dalam literatur kurikulum
yang menurut saya paling membantu adalah peta William A. Reid untuk pembuat
kurikulum. Dalam The Pursuit of Curriculum, Reid memberikan kurikulis cara
berpikir yang berguna tidak hanya untuk orang yang membuat kurikulum dalam
pengertian resmi, tetapi juga untuk siapa saja yang tertarik dalam reformasi
pendidikan. Reid percaya bahwa kurikulum adalah bidang seluruh masyarakat,
bukan hanya para ahli. Dia berargumen bahwa semua warga negara memiliki
andil dalam apa yang harus diajarkan di sekolah. Peta Reid memungkinkan kita
mengklarifikasi apa yang kita yakini tentang kurikulum.
13

Gambar 1.2 Ilustrasi peta


14

Sumbu Horisontal

Dua sumbu peta kurikulum mewakili dimensi kelembagaan dan praktis yang
melekat pada kurikulum apapun. Sumbu vertikal menggambarkan aspek kelembagaan
kurikulum, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan praktik. Kedua ujung dari
masing-masing sumbu menunjukkan pandangan ekstrim yang dianut berkaitan
dengan dua aspek kurikulum tersebut. Dengan kata lain, pandangan ekstrem di
sebelah kiri sumbu horizontal menunjukkan visi teoretis murni idealis yang terputus
dari perhatian khusus dan praktis di masing-masing sekolah. Ekstrem ini membuat
komitmen terhadap cita-cita menjadi yang terpenting dan secara bersamaan
mengurangi praktik, penerapan, dan sifat khusus dari masalah kurikulum. Pada saat
yang sama, pandangan ekstrem di sebelah kanan sumbu horizontal hanya mewakili
posisi yang berlawanan: penolakan total terhadap cita-cita dan penekanan simultan
pada keadaan tertentu sehingga merugikan pertanyaan teori yang lebih besar, tujuan
ideal, dan pengetahuan objektif. Cara lain untuk melihat sumbu horizontal adalah
dengan memandang mereka yang memegang posisi ideal ekstrim sebagai orang yang
mencari fakta objektif dan dengan demikian menolak ide pengetahuan subjektif.
Demikian pula, pandangan ekstrim pada sisi penerapan kontinum ini menolak
gagasan fakta objektif dan menggantikannya dengan mengandalkan pengalaman
pribadi dan bukan yang lain. Orang-orang yang memandang kurikulum dengan cara
ini cenderung berargumen untuk kurikulum yang “benarbagi saya” atau
“bermaknasecara pribadi”, bukan kurikulum yang faktual atau “ilmiah”dalam
pengertian empiris.

Sumbu Vertikal

Sumbu vertikal menggambarkan karakter kelembagaan kurikulum. Reid


berpendapat bahwa gagasan kurikulum tidak dapat dipisahkan dari gagasan institusi.
Dengan kata lain, tanpa institusi, kurikulum tidak akan ada. Dia kemudian
menganalisis cara orang berpikir dan menulis tentang kurikulum sebagai entitas
kelembagaan. Analisisnya telah membuatnya mengidentifikasi dua ekstrem. Satu,
15

ditemukan di bagian atas garis vertikal, menerima status kurikulum saat ini dan
dengan demikian melihat tidak perlu melakukan revisi yang signifikan terhadap
struktur kelembagaan kurikulum. Mereka yang menganut pandangan ini tidak
percaya bahwa kurikulum adalah alat yang harus digunakan untuk menggerakkan
reformasi sosial. Pandangan ekstrem ini mengasumsikan bahwa, setelah
dilembagakan, kurikulum itu baik, efeknya positif, dan netral. Tugas yang tersisa
adalah memastikan bahwa kurikulum yang dilembagakan disampaikan dengan cara
yang semakin efisien. Di ekstrim lain (ditemukan di bagian bawah garis vertikal),
kami menemukan orang-orang yang melihat tidak ada yang baik dalam kurikulum
yang dilembagakan saat ini. Mereka ingin itu digulingkan secara keseluruhan.
Pandangan ini berpendapat bahwa kurikulum yang baik adalah yang menantang
status quo institusional dan bahkan memicu revolusi, bukan yang hanya menerima
status quo.

J. Peta Kurikulum dan Lima Tradisi Kurikulum

Memperkenalkan peta kurikulum di bab 1 berguna karena membantu pembaca


untuk memahami lima tradisi kurikulum yang digunakan sepanjang sisa buku ini,
terutama di bab 2 sampai 6. Titik-titik hitam pada peta mengidentifikasi di mana
empat tradisi itu ditemukan. . Pandangan deliberatif, tentu saja, ditemukan di tengah.
Bab 2 sampai 6 mengacu pada peta kurikulum sesekali untuk membantu pembaca
memahami persamaan dan perbedaan antara masing-masing perspektif. Karena
pengaruhnya sepanjang sejarah dan kehadirannya di mana-mana saat ini, tempat
terbaik untuk memulai adalah dengan pendekatan kurikulum yang menekankan
sistem dan efisiensi— bukan pertimbangan. Kita sekarang beralih ke tradisi
sistematis dalam kurikulum.
BAB III

PEMBAHASAN

Liberal pendidikan adalah cita-cita yang telah membentuk kurikulum dan


pengajaran selama berabad-abad. Pendidikan liberal, lebih tepatnya, mengacu pada
pendekatan interdisipliner terhadap kurikulum dan pengajaran yang mengejar tujuan
membebaskan pikiran sehingga mereka dapat menjadi manusia sepenuhnya, membuat
penilaian rasional, dan memberikan kepemimpinan sipil. Pendidikan liberal adalah
kebalikan dari indoktrinasi. Warga negara yang berpendidikan bebas tidak hanya
membacakan pandangan orang lain. Mereka telah membentuk karakter mereka
sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempertimbangkan masalah dari berbagai
perspektif. Mereka telah mengembangkan sudut pandang pribadi mereka dengan
penuh perhatian dan telah belajar untuk mendukung mereka dengan argumen yang
masuk akal dan penalaran yang persuasif.
Asal-usul Kurikulum Liberal, Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan
filsuf pendidikan Kristen seperti St. Augustine dan John Amos Comenius mengakui
pentingnya akal saat membuat kurikulum liberal. Plato menjadikan akal sebagai
kekuatan yang paling kuat dalam karyanya yang terkenal, The Republic. Republik
Platon dianggap sebagai salah satu buku paling berpengaruh yang pernah diterbitkan
tentang kurikulum dan pengajaran. Kurikulum liberal bagi Plato adalah kurikulum
yang mengajarkan kaum muda untuk mengendalikan emosi dan nafsu makan, aspek
aspek yang lebih rendah dari sifat manusia dengan memperkuat akal dan disiplin diri.
Proses mempelajari kurikulum semacam itu menjadikan nalar paling kuat kekuatan
dalam kehidupan manusia. Jiwa yang tertata dengan baik, bagi Platon, adalah jiwa
yang menjaga akal dan emosi dalam hubungan yang tepat dengan menggunakan
logika untuk mengarahkan pikiran, tindakan, dan keputusan. Kurikulum Plato yang
terbaik dan paling kuat, bagaimanapun, bukan untuk semua orang. Dia memesan
kurikulum yang benar-benar membebaskan bagi mereka yang telah menunjukkan
kekuatan mereka untuk bernalar ketika mereka masih muda, menjadikan mereka
prospek yang paling cocok untuk memerintah di kota idealnya. Satu-satunya cara

16
17

sebuah komunitas dapat mencapai kebahagiaan sejati adalah jika warga yang
digerakkan oleh akal ini memegang kekuasaan atas keputusan penting yang dibuat di
kota. Raja-filsuf ini, sebagaimana Plato menyebutnya, adalah satu-satunya warga
negara yang terlibat dalam musyawarah sejati. Dia menganggap mereka sebagai satu-
satunya warga negara yang akan mengejar kurikulum yang memperkuat kemampuan
mereka untuk bernalar dan berunding.
Kurikulum liberal agak berubah dengan lahirnya era Kristen. Pesan
kekristenan adalah bahwa Kristus mati untuk semua orang, bukan hanya untuk
segmen populasi tertentu. Untuk menggunakan metafora Plato, pesan Kristen tersedia
untuk semua tanpa memandang "tipe jiwa", yang membuat kurikulum liberal tersedia
untuk semua. Namun, pada saat yang sama, tradisi Kristen juga mengubah isi
kurikulum. Kurikulum yang benar-benar membebaskan dalam pengertian Kristiani
menuntut agar para siswa menganut iman yang dihadirkan Kristus. Selain kebajikan
standar Yunani kebijaksanaan, sains, keberanian, dan kemurahan hati Kekristenan
memperkenalkan kebajikan baru. Keyakinan, harapan, dan cinta menjadi tujuan baru
yang harus ditempuh oleh kurikulum seni liberal. Pemikir Kristen seperti St
Agustinus, St Thomas Aquinas, dan John Amos Comenius berusaha untuk
menyeimbangkan akal dengan iman sementara pada saat yang sama memperluas
tradisi Kristen. Kebajikan seperti kebijaksanaan, sains, dan keberanian tetap penting
bagi kurikulum seni liberal Kristen, tetapi itu menjadi alat untuk mengejar kebajikan
iman, harapan, dan cinta yang lebih luas. Orang yang benar-benar dibebaskan dari
sudut pandang Kristen adalah orang yang bijak, tetapi bijaksana untuk alasan yang
benar: untuk melayani Tuhan, mengasihi sesama kita, dan mencontohkan diri kita
menurut kehidupan Kristus.
Munculnya demokrasi sebagai cita-cita, tantangan baru muncul untuk
pendidikan dan kurikulum. Pendidikan demokratis didefinisikan sebagai kesempatan
pendidikan yang setara untuk semua menjadi tujuan baru yang mulai dituju oleh
masyarakat modern. Ide kurikulum liberal untuk beberapa dan kurikulum budak
untuk orang lain tidak bisa lagi berlaku ketika kesempatan pendidikan yang sama
menjadi tujuan.
18

Pergeseran ke arah musyawarah yang relatif baru ini harus dikaitkan lebih
dekat dengan kurikulum. Kurikulum adalah sesuatu yang ingin kami terapkan melalui
pengambilan keputusan, bukan hanya sesuatu yang ingin kami pahami. Pemahaman
tentu saja merupakan bagian penting dari kurikulum, tetapi bukan tujuan dari
kurikulum itu sendiri. Semakin cepat kita mulai melihat kurikulum sebagai kegiatan
praktis yang membutuhkan pertimbangan, semakin cepat kita menciptakan guru,
pembuat kurikulum, dan sekolah yang lebih baik. Karena musyawarah adalah jantung
dari argumen buku ini, kisah tentang bagaimana kaitannya dengan kebangkitan
pendidikan universal sangat penting. Musyawarah juga patut mendapat perhatian
karena kaitannya dengan kewarganegaraan. Tidak ada warga negara yang sepenuhnya
terlibat dalam kehidupan bangsanya kecuali dia diakui sebagai peserta deliberatif.
Semua warga negara dalam demokrasi, terlebih lagi, harus menemukan kurikulum
yang mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai peserta sipil. Sebelum munculnya
demokrasi sebagai cita-cita, gagasan mendidik semua warga negara untuk kegiatan
deliberatif terhambat oleh asumsi bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas untuk
berunding, setidaknya tidak sejauh yang pantas menjadi kewarganegaraan sejati.
Demokrasi dan Pendidikan John Dewey, yang diakui secara universal sebagai
buku paling berpengaruh yang pernah diterbitkan tentang demokrasi dan pendidikan
dalam buku ini memberikan pembahasan mendalam tentang kurikulum dan
pembuatan kurikulum. Dewey pantas mendapat pujian karena berhasil menyatukan
demokrasi dan pendidikan dengan cara yang mungkin harus dilakukan oleh seorang
filsuf politik, tetapi dia tidak mengambil tantangan yang lebih sulit untuk menyatukan
demokrasi dan kurikulum dengan cara yang realistis. Joseph Schwab, bagaimanapun,
menghadapi tantangan itu dengan cara yang provokatif.
Schwab menunjukkan bagaimana inkuiri teoretis dan praktis berbeda karena
pokok bahasan yang dibahas. Dalam inkuiri teori, pokok bahasannya berupa teka-teki
atau pertanyaan yang menarik bagi peneliti yang melakukan penelitian. Hasil dari
eksperimen berbasis laboratorium, misalnya, hampir selalu merupakan lebih banyak
pertanyaan bagi para peneliti untuk direnungkan dalam pencarian mereka untuk
memahami fenomena tertentu. Peneliti berbasis lab tidak begitu tertarik dengan
19

pertanyaan seperti “Haruskahkita melakukan ini ataumelainkanitu” pertanyaan seperti


"Apa sifat dari objek ini?" atau "Bagaimana reaksi molekul-molekul ini dalam situasi
ini?" Pertanyaan dari"Apa yang harus kita lakukan?" variasi berurusan dengan
keadaan, bukan dengan keadaan pikiran.
Schwab menyajikan pembuat kurikulum dengan lima kesamaan yang
ditemukan dalam setiap upaya untuk membuat kurikulum. Tempat umum ini sangat
kuat karena masing-masing diterima sebagai bagian sejati dari kurikulum yang baik.
Penerimaan luas mereka adalah apa yang membuat masing-masing menjadi hal yang
biasa. Lima yang dia identifikasi adalah guru, peserta didik, materi pelajaran,
konteks, dan pembuatan kurikulum. Dia mempertahankan bahwa kelimanya memiliki
sesuatu untuk ditawarkan kepada siapa saja yang membuat kurikulum. Dia juga
menegaskan bahwa kegagalan untuk mempertimbangkan salah satu faktor ini akan
menyebabkan kurikulum yang tidak lengkap dan tidak efektif. Tantangan bagi para
delibator kurikulum adalah untuk menyeimbangkan hal-hal umum ini sementara pada
saat yang sama menghindari jebakan pemikiran bahwa salah satu dari mereka sudah
cukup, dengan sendirinya, untuk membuat kurikulum yang baik. Kita harus
cenderung pada kelimanya saat kita mempertimbangkan alternatif, menghasilkan
dokumen kurikulum, dan memberlakukan kurikulum di masing-masing sekolah dan
ruang kelas.
Selain lima tempat umum Schwab, perangkat lain dalam literatur kurikulum
yang menurut saya paling membantu adalah peta William A. Reid untuk pembuat
kurikulum. Dalam The Pursuit of Curriculum, Reid memberikan kurikulis cara
berpikir yang berguna tidak hanya untuk orang yang membuat kurikulum dalam
pengertian resmi, tetapi juga untuk siapa saja yang tertarik dalam reformasi
pendidikan.16 Reid percaya bahwa kurikulum adalah bidang seluruh masyarakat,
bukan hanya para ahli. Dia berargumen bahwa semua warga negara memiliki andil
dalam apa yang harus diajarkan di sekolah.17 Peta Reid memungkinkan kita
mengklarifikasi apa yang kita yakini tentang kurikulum. Reid membandingkan
kurikulum dengan politik. Keduanya adalah bidang praktis yang beroperasi di dunia
ketidakpastian dan bukan presisi. Tidak seperti kimia atau matematika, politik dan
20

kurikulum mencapai kesimpulan yang kabur karena keadaan di mana keputusan


tentang mereka dibuat. Di tangan Reid, filsafat kurikulum sangat mirip dengan
filsafat politik, setidaknya filsafat politik dalam pengertian istilah kuno atau
pramodern. Reid mengikuti Schwab dalam argumennya bahwa peneliti kurikulum
dan praktisi harus menghubungkan kembali diri mereka ke bidang humanistik seperti
reto ric dan filsafat moral, sebagai lawan bidang teknis seperti kimia dan psikologi
perilaku.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Liberal pendidikan adalah cita-cita yang telah membentuk kurikulum dan


pengajaran selama berabad-abad. Orang Yunani mengakui pentingnya akal saat
membuat kurikulum liberal. Plato menjadikan akal sebagai kekuatan yang paling kuat
dalam karyanya yang terkenal, The Republic. Republik Platon dianggap sebagai salah
satu buku paling berpengaruh yang pernah diterbitkan tentang kurikulum dan
pengajaran. Kurikulum Plato yang terbaik dan paling kuat, bagaimanapun, bukan
untuk semua orang. Dia memesan kurikulum yang benar-benar membebaskan bagi
mereka yang telah menunjukkan kekuatan mereka untuk bernalar ketika mereka
masih muda, menjadikan mereka prospek yang paling cocok untuk memerintah di
kota idealnya. kurikulum liberal agak berubah dengan lahirnya era Kristen, tradisi
Kristen juga mengubah isi kurikulum. Kurikulum yang benar-benar membebaskan
dalam pengertian Kristiani menuntut agar para siswa menganut iman yang dihadirkan
Kristus. Munculnya demokrasi sebagai cita-cita, Pergeseran ke arah musyawarah
yang relatif baru ini harus dikaitkan lebih dekat dengan kurikulum. Kurikulum adalah
sesuatu yang ingin kami terapkan melalui pengambilan keputusan, bukan hanya
sesuatu yang ingin kami pahami. Pemahaman tentu saja merupakan bagian penting
dari kurikulum, tetapi bukan tujuan dari kurikulum itu sendiri. Semakin cepat kita
mulai melihat kurikulum sebagai kegiatan praktis yang membutuhkan pertimbangan,
semakin cepat kita menciptakan guru, pembuat kurikulum, dan sekolah yang lebih
baik. Karena musyawarah adalah jantung dari argumen buku ini, kisah tentang
bagaimana kaitannya dengan kebangkitan pendidikan universal sangat penting.

21
DAFTAR PUSTAKA

Null Wisley. (1973). Curriculum From Theory to Practice. United States of America.

22

Anda mungkin juga menyukai