Anda di halaman 1dari 39

LANDASAN DAN PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN

KURIKULUM

Makalah

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Bahasa Arab

Fitri Amaliah
80400222018
Nasrah
80400222019

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR TAHUN AJARAN
2022-2023
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikumWarahmatullaahiWabarakaatuhu

Alhamdulillaah, Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah

Subhanaahu Wata‟ala, atas berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang insya Allah sesuai

dengan yang diharapkan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada

Rasulullah Shallallaahu „alaihiwasallam, Nabi dan Rasul yang berhasil

menyelamatkan umatnya dari Zaman kegelapan menuju zaman yang

terang benderang.

Makalah dengan pembahasan “Landasan dan Prinsip-Prinsip

Pengembangan Kurikulum” kamisusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah

Pengembangan Kurikulum PBA. Dalam penyusunan makalah ini, masih

terdapat kekurangan dan memerlukan perbaikan. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran baik tanggapan maupun sanggahan agar

kedepannya makalah ini dapat bermanfaat bagi orang lain.

Samata, 25 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3

A. Landasan-Landasan Pengembangan Kurikulum ..................................... 3

B. Prinsip-Prinsip pengembangan Kurikulum .......................................... .27

BAB III PENUTUP....................................................................................35

A. Kesimpulan............................................................................................ 35

B. Saran.......................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua


pengalaman belajar. Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman
kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan dan
perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh manusia atau
warga Negara yang akan dibentuk.

Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana


karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang
diajukan untuk diperhitungkan. Oleh karena itu, harus memperhatikan asas-asas
pengembangan kurikulum yang kesemuanya itu akan selalu berkembang dan
berubah. Apapun jenis kurikulumnya, pasti memerlukan asas-asas yang harus
dipegang. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal
yang bertentangan sehingga memerlukan seleksi.

Pengembangan kurikulum pada suatu Negara, baik di Negara berkembang


(developing countries), Negara terbelakang (underdeveloping countries), maupun
Negara-negara maju (developed countries), bisa dipastikan mempunyai
perbedaan-perbedaan yang mendasar, tetapi tetap ada persamaannya.

Falsafah yang berlainan, bersifat otoriter, demokrasi, sekuler atau religius,


akan memberi warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa
bersangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari perbedaan masyarakat, organisasi
bahan yang digunakan dan pilihan psikologi belajar dalam mengembangkan
kurikul tersebut.

Dalam proses pengembangan kurikulum, terdapat hal lain yang tidak dapat
diabaikan adalah pentingnya memahami prinsip-prinsip dan pendekatan yang
digunakan. Sebagai calon pendidik, penulis menyadari pentingnya mengetahui
landasan dan prinsip dalam pengembangan kurikulum. Hal-hal inilah yang

1
2

kemudian mendasari penulis untuk membahas landasan dan prinsip


pengembangan kurikulum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum ?
2. Bagaimana prinsip dalam pengembangan kurikulum ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui landasan-landasan dalam pengembangan
kurikulum
2. Untuk memahami prinsip dalam pengembangan kurikulum
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan-landasan Pengembangan Kurikulum


1. Asas Filosofis

Falsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang


merupakan rangkaian dai dua pengertian, yaitu philein (cinta) dan Sophia
(kebijakan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha
memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman
manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan
menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di
dalamnya. Intinya, manusia merupakan bagian dari dunia (Barnadib, 1994: 11).

Sebagai induk dari semua pengetahuan, filsafat dapat dirumuskan sebagai


kajian tentang metafisika (studi tentang hakikat kenyataan atau realitas),
epistemology (studi tentang hakikat pengetahuan), aksiologi (studi tentang nilai),
etika (studi tentang hakikat kebaikan), estetika (studi tentang hakikat keindahan),
dan logika (studi tentang hakikat penalaran).

Dari item-item kajian tersebut tampak filsafat mempunyai jangkauan


kajian yang sangat luas. Bagi para pengembang kurikulum (curriculum
developers) yang memiliki pemahaman yang kuat tentang rumusan filsafat
tersebut, kemungkinan akan memberikan dasar yang kuat pula dalam mengambil
suatu keputusan yang tepat dan konsisten. Namun, suatu hal yang perlu
diperhatikan oleh pengembang kurikulum adalah dalam pengembangan
kurikulum, pengembang tidak hanya menonjolkan atau mementingkan filsafat
pribadinya, tetapi juga perlu mempertimbangkan falsafah yang lain, antara lain
falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan staf pengajar atau pendidik
(Nasution, 1989: 14-15).

Namun demikian, seseorang tidak perlu mendalami semua bidang filsafat


dalam mengembangkan kurikulum. Pendidikan pada prinsipnya bersifat normatif

3
4

yang ditentukan oleh sistem nilai yang dianut. Tujuan pendidikan adalah membina
warga Negara yang baik, dan norma-norma yang baik tersebut tercantum dalam
falsafah bangsa yang dimana bagi Indonesia adalah falsafah Pancasila.

a. Falsafah Bangsa

Setiap Negara di dunia ini, baik Negara berkembang maupun Negara


maju, memiliki falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Setiap
individu memiliki pandangan tertentu mengenai pendidikan yang kadang tidak
sama dengan pandangan umum. Keberadaan kurikulum adalah untuk memelihara
keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara. Persoalannya, bagaimana berupaya
menyatukan beragam pandangan yang ada pada masyarakat ke dalam satu
kerangka pemikiran yng konsisten dalam upaya menyokong proses
pengembangan kurikulum yang dapat disetujui oleh semua kalangan.

Memang tidak mudah menciptakan falsafah pendidikan yang dapat


diterima semua pihak. Kondisi masyarakat menyangkut suku, agama, golongan,
dan kepentingan politik tertentu akan turut memengaruhinya. Namun, bagi
Indonesia, persoalan falsafah pendidikan bukanlah persoalan, mengingat
Pancasila dan UUD 1945 telah diterima secara resmi menjadi filsafat dan dasar
pendidikan nasional. Keberadaan filsafat Pancasila telah diterima oleh semua
pihak, bahkan tidak bertentangan dengan filsafat Pendidikan Islam atau filsafat
pendidikan (agama) lain.

Keselarasan filsafat pendidikan nasional dengan filsafat Pendidikan Islam


terletak pada tujuan filosofis pendidikan masing-masing menurut UU No. 22
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan adalah
menciptakan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berbudi pekerti luhur,
berakhlak, berketerampilan, bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
(UUSPN No. 2, Tahun 1989: Bab II Pasal 4). Atau bertujuan agar potensi anak
didik berkembang dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU
5

Sisdiknas No. 20, Tahun 2003: Bab II pasal 3). Kedua UU Sisdiknas itu
merumuskan manusia yang didambakan dan ingin dibentuk oleh dan melalui
pendidikan.

Dalam UU No. 2/1 1989, tujuan pendidikan ditegaskan sebagai upaya


mengembangkan manusia seutuhnya. Setelah itu baru diberi keterangan tentang
sifat-sifat apa yang tercantum dalam manusia Indonesia seutuhnya itu. Sedangkan
dalam UU Sisdiknas No. 20/2003, kata seutuhnya tidak disebutkan. Rumusan ini
langsung mencantumkan sifat-sifat dasar yang dipandang penting. Kata Indonesia
juga tidak disebutkan. Satu hal yang pasti dan mutlak bahwa pembentukan
kemanusiaan, meskipun tafsirannya beragam, menjadi tujuan penting dalam
pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan menghargai martabat Hak Asasi
Manusia. Anak didik diharapkan tumbuh dan berkembang kemanusiaanya sebagai
subjek proses pendidikan.

Sementara itu, tujuan filsafat Pendidikan Islam pada dasarnya sama


dengan dasar dan tujuan ajaran Islam. Filsafat Pendidikan Islam berisi teori umum
tentang pendidikan Islam yang tercantum dalam al-Quran dan Hadits. Jadi, tujuan
filsafat pendidikan Islam adalah mencapai tingkat penciptaan manusia (QS al-
Dzariyat [51]: 56). Tujuan filosofis pendidikan nasional dan Pendidikan Islam
tidaklah saling bertentangan bahkan saling mengisi, mengngat tujuan pendidikan
national sangat mementingkan persoalan iman, takwa, dan keterampilan
sebagaimana halnya dengan tujuan folosofi pendidikan Islam, namun tujuan
filosofis pendidikan Islam bersifat hakiki dan mutlak atas keberadaannya.

Dari pemahaman mengenai dua tujuan pendidikan tersebut, dapatlah


dimengerti bahwa dalam menentukan filsafat pendidikan nasional Indonesia
bukanlah hal yang mudah, masih banyak aspek lain yang perlu diperhatikan oleh
para pengembang, agar keberadaan suatu kurikulum pendidikan nasional memang
betul-betul menjadi milik semua pihak.

Keberadaan falsafah Pancasila harus dijadikan kerangka utama dalam


mengontrol pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan pada suatu Negara,
6

karenanya keberadaan filsafat tersebut akan memengaruhi semua kebijakan dan


keputusan dalam pengembangan kurikulum. Dengan demikian, pelaksanaan
lembaga pendidikan pada tingkat tertentu masih merupakan kelanjutan atas
tingkat pendidikan sebelumnya, yang menggambarkan pencapaian tingkat
pendidikan nasional, sejak jenjang pendidikan dasar (SD/MI), menengah
(SMP/MTs, SMA/MA), dan perguruan tinggi (PT/PTAI), dengan tetap berdasar
pada filosofi Panacasila.

b. Falsafah Lembaga Pendidikan

Pancasila merupakan falsafah nasional yang tegas dan telah diterima oleh
segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks pendidikan, Pancasila dijadikan
pedoman bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan falsafah atau
pandangan masing-masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai
masyarakat yang dilayaninya. Tiap lembaga pendidikan, sebagai contoh
UIN/IAIN, mempunyai misi yang merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional, namun tiap UIN/IAIN bisa jadi mempunyai sesuatu yang khas yang
berbeda dengan UIN/IAIN/STAIN di daerah lain.

Falsafah lembaga pendidikan (Universitas, UIN, IAIN, STAIN, akademi


maupun sekolah) jarang dinyatakan secara jelas, spesifik, dan eksplisit dalam
bentuk tulisan. Ada juga rumusan falsafah pendidikan yang sangat umum
sehingga dalam memberi arah yang jelas bagi proses pengembangan kurikulum
belum menemui sasaran yang tepat. Dalam kaitannya dengan rumusan tersebut,
Nasution (1989: 21) mengungkapkan bahwa dalam merumuskan falsafah lembaga
pendidikan secara tertulis, perlu memiliki komponen-komponen berikut:

1) Alasan rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan


2) Prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya
3) Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi
4) Prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak didik, hakikat proses
belajar mengajar, dan hakikat pengetahuan. Biasanya dalam falsafah
7

lembaga pendidikan belum dimasukkan pengetahuan operasional yang


spesifik.
c. Falsafah Pendidikan

Pengetahuan tentang falsafah lembaga pendidikan menjadi suatu tuntutan


pokok bagi siapa pun yang bertugas di lembaga pendidikan. Keberadaan falsafah
membuat seorang pendidik dituntut untuk selalu relevan dengan falsafah yang
berlaku, sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum yang ditetapkan lembaga
pendidikan itu.

Dalam operasional kurikulum, peran pendidik memang sangat penting.


Oleh karena ia selalu terlibat, peran falsafahnya dalam perencanaan,
pengorganisasian, dan penyampaian pelajaran merupakan suatu hal yang
menentukan tecapainya tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum
sekolah bersangkutan. Kurikulum yang baik akan sangat tidak bersrti jika
pendidik memiliki falsafah yang berbeda dalam memahami, menafsirkan, dan
melaksanakan kurikulum tersebut. Jadi, dalam konteks operasional kurikulum,
pendidik merupakan pemegang peran utama.

Kemudian pengembang kurikulum perlu menyadari kemunginan adanya


falsafah berbeda yang dimiliki para pengajar. Sebagaimana telah diungkapkan di
muka bahwa fanatisme terhadap suatu aliran filsafat akan bisa menghambat atau
tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dalam kurikulum. Kalau demikian,
seorang pendidik harus betul-betul memahami keberadaan suatu kurikulum
kaitannya dengan hal lain. Mementingkan filsafat sendiri secara menonjol tidak
hanya akan merugikan anak didik, tetapi juga melenceng dari proses pengajaran
dengan tujuan pendidikan yang berlaku atau tujuan kurikulum dari lembaga
tersebut.

Keberadaan falsafah seorang pendidik memang sangat berpengaruh


terhadap proses belajar mengajar. oleh karenanya, seorang pendidik mesti
professional. Pendidik profesionl secara implisit selalu menempatkan dirinya
untuk menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang dipikul
8

orangtua dan orangtua pun sangat mengharapkan anaknya untuk memiliki


pendidikan yang baik dan professional.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “barangsiapa ditanya tentang ilmu


kemudian menyimpan ilmunya (tidak mau mengajarkan), Allah akan mengekang
dia dengan kekangan api neraka pada hari kiamat”.

Keberhasilan anak didik menerima ilmu pengetahuan dan perubahan


tingkah laku yang diharapkan orangtua, masyarakat, dan bangsa sangat ditentukan
oleh falsafah pendidik terhadap profesinya. Karena itu, dimensi filsafat perlu
memperoleh perhatian serius dalam wacana pendidikan nasional.

Seperti yang diungkapkan A. Sudiarja (Basis, 2006: 12), dimensi filsafat


cenderung memperoleh perhatian dalam wacana pendidikan nasional, karena
dianggap abstrak dan idealis. Situasi ini malah mendapatkan tantangan, karena
perkembangan mental pemerintah dan masyarakat sudah terbawa arus neo-liberal,
yang cenderung memikirkan persoalan pendidikan secara prakmatis, atas dasar
permintaan dan kebutuhan pasar yang sifatnya sesaat bahkan kapital-kapital besar
juga dapat menciptakan dan menyebarluaskan kebutuhan, termasuk model-model
dan tujuan pendidikan. Dalam kasusu seperti ini, konsep manusia sebagai dasar
pemikiran pendidikan kurang banyak didadalami dan karenanya menjadi tidak
jelas. Sementara itu, konsep lama yang masih dipegang teguh kurang
mencerminkan realitas sosial dan tidak memadai lagi dijadikan dasar bagi
kehidupan kekinian. Karenanya, pemikiran produktif tentang filsafat pendidikan
senantiasa diutuhkan.

2. Asas Sosiologi

Denis Lawton (11980:35) mengatakan bahwa one of the difficulties of


talking about sociology is that no one is quite sure what is one possible definition
of sociology is that it is a study of people in society. But even this apperent
simplicity leads of two every different of thought, depending on whether you
emphasize “people” or “society”.
9

Studi tentang people in society menekankan pada pendapat tentang


kemanusiaan yang dimulai oleh sosiologi dan dilakukan oleh pra filsuf inggris
Hobbes pada abad ke-17. Mereka merasakan bahwa ada suatu hal yang penting
bagi individu-individu, yakni menjaga diri untuk menaati peraturan, kalau tidak
mereka akan kacau balau (chaos), karena individu-individu pada dasarnya bersifat
rakus dan mementingkan diri sendiri.

Para sosiolog masa kini, seperti Comte dan Daurkheim, memiliki


pertanyaan utama, yakni: “why is that human being who are essentialy gready and
selfish manage to co-operate and live harmoniously in a well-ordered society?”
hal ini telah menjadi tradisi dalam sosiologi, termasuk sosiologi pendidikan yang
dalam pengamatan Daurkheim masih banyak terjadi kehancuran nilai setelah
revolusi industry dan revolusi Prancis. Bagi Daurkheim, problem utamanya
adalah social order. Fungsi utama pendidikan adalah menanamkan berbagai
sistem moral kepada masyarakat.

Namun ada juga kondisi alternative dalam sosiologi yang sedikit banyak
berpengaruh, yakni alternatif yang bisa dihubungkan dengan pertanyaan beberapa
Marxist (pengikut aliran Marxisme). Merekan menekankan pada sentralits
(centrality) masyarakat dan cenderung mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan:
“why is that human beings who begin by being naturally cooperate and up by
making each other suffer and exploiting each other?” pendapat masyarakat
manusia secara alamiah ingin menekankan konflik, dan berkesimpulan bahwa ada
sesuatu yang salah dalam masyarakat (ketimbang individu-individu dalam
masyarakat). Bagi Marx, apa yang salah dalam masyarakat adalah capitalism, dan
ia merasakan perlunya tindakan nyata, yaitu mengubah masyarakat tersebut.

Asas sosiologi mempunyai peran penting dalam mengembangkan


kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu
kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan
kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya jika pendidikan
memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberikan jawaban
10

atas tekanan-tekanan yang dating dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang


dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama, industry, pemerintah,
swasta, ekonomi dan lain-lain, mengajukan keinginanyang bertentangan dengan
kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat mungkin muncul
tekanan dari sumber eksternal, dari Negara lain (terutama Negara-negara maju),
organisasi internasional dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan pendidikan
mempunyai keterkaitan dengan aspek lain seperti ekonomi, politik dan lain- lain.

Dari sudut pandang sosiologis, dalam sistem pendidikan dan lembaga-


lembaga pendidikan terdapat bahan yang berfungsi bagi kepentingan masyarakat
(Nasution, 1989: 23-24), yaitu sebagai berikut.

a. Mengadakan revisi dan perubahan sosial.


b. Mempertahankan kebebasan dan kebebasan melaksanakan
penelitian ilmiah.
c. Mendukung dan memberi kontribusi kepada pembangunan.
d. Menyampaikan budaya dan nilai-nilai tradisional serta
mempertahankan status quo.
e. Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan golongan elit.
f. Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh-
pengaruh pemerintah terdahulu.
g. Mendukung kelompok-kelompok tertentu, antara lain militer,
industri, atau politik.
h. Menyebarluaskan falsafah, politik, dan kepercayaan tertentu.
i. Membimbing dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda.
j. Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
k. Mendidik generasi muda agar menjadi warga negara dan warga
dunia.
l. Mengajarkan keterampilan pokok, misalnya membaca, menulis,
dan berhitung.
11

m. Memberikan keterampilan yang berhubungan dengan mata


pencarian.

Banyak lagi aspek-aspek lain yang turut memberikan pengaruh mengenai


apa yang harus dimasukkan dalam kurikulum, yaitu yang menjadi kebutuhan
masyarakat, antara lain:

1) Interaksi yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, politik,


ekonomi, militer, industri, dan budaya dengan masyarakat
2) Berbagai kekuatan dominan, sebagaimana di atas, di bagian dunia
lainnya yang erat kaitannya dengan negara yang bersangkutan
3) Pribadi pimpinan dan tokoh-tokoh yang memegang kekuasaan
formal dan informal di berbagai lapisan masyarakat.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, para pengembang kurikulum memiliki


tugas untuk:

1) mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana


dijelaskan dalam undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-
lain.
2) Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada.
3) Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja.
4) Menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup
kepentingan masyarakat.

Dalam suatu keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti


merujuk pada lingkungan di mana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan
dilontarkan atau diusulkan oleh berbagai golongan dalam masyarakat
(sebagaimana diungkapkan di atas) memahami tuntutan pencantuman nilai-nilai
falsafah pendidikan bangsa dan berkait dengan falsafah pendidikan yang berlaku.
Kadang-kadang, para pengembang kurikulum menghadapi bermacam kendala,
antara lain ketentuan pemerintah yang hingga pada taraf tertentu membatasi
keputusan yang diambilnya. barangkali tantangan yang dihadapi pengembang
akan beragam menurut tingkat kesukaran dan jenjang pendidikan yang ada. Tentu
12

saja tingkat kesukaran dalam mengembangkan kurikulum untuk perguruan tinggi


(universitas, akademi, institut) tidak serumit merumuskan dan mengembangkan
kurikulum untuk tingkat sekolah dasar (SD/MI) dan Sekolah Menengah
(SMP/MTs, SMA/MA). Meskipun demikian, prinsip dasar dalam pengembangan
itu tetap diberlakukan sama. Misalnya, perlunya pemahaman filosofis bangsa,
filosofis pendidikan, kebutuhan masyarakat, dan lain-lain. Kebutuhan masyarakat
perlu ditampung untuk dianalisis, diseleksi, dan diambil suatu keputusan,
karenanya dalam proses pengembangan kurikulum, tugas pengembang kurikulum
pun sangat kompleks. Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991: 225),
kompleksnya kehidupan dalam masyarakat disebabkan beberapa hal:

1) Dalam masyarakat tata kehidupan yang beraneka ragam


2) Kepentingan antar individu berbeda-beda.
3) Masyarakat selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan dengan
tetap merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus kebutuhan
masyarakat.
3. Asas Psikologi

Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk:

a. model konseptual dan informasi yang akan membangun


perencanaan pendidikan.
b. Berisikan berbagai macam metodologi yang dapat diadaptasi untuk
penelitian pendidikan (Meggi Ing, 1978: 29).

Pertanyaan tentang pengembangan mata pelajaran, model-model, dan


metodologi-metodologi itu bermacam-macam, dan informasinya sering tidak
lengkap dan bahkan berkontradiksi. Tidak ada teori-teori psikologi tentang
kurikulum, yang ada hanya studi-studi dan teori-teori psikologi dalam hal
perbedaan tingkat belajar. Namun, beberapa bidang telah dikembangkan untuk
menawarkan petunjuk-petunjuk kepada pendidik dan perencana kurikulum. Pada
13

umumnya dapat dikatakan, bahwa tiap teori itu mengandung kebenaran, akan
tetapi tidak memberikan gambaran tentang keseluruhan poses belajar ini.

Belajar adalah proses yang pelik dan kompleks, maka timbullah berbagai
teori yang menunjukkan ketidak sesuaian satu sama lain. Penelitian dilakukan
untuk lebih mendalam memahami proses belajar ini, banyak diantaranya dengan
melakukan eksperimen.

Definisi kurikulum menurut Kerr (1968) adalah as all the learning which
is planned and guided by the school. Karenanya, sejak awal definisi kurikulum
sudah bersifat luas, yang mencakup individu anak didik, antarindividu, dan
kelompok. Kerr juga membagikan kurikulum ke dalam empat bagian, yaitu tujuan
kurikulum (curriculum objective), pengetahuan (knowledge), pengalaman belajar
(learning experience), dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation).

Bentuk filosofis dan sosiologis lebih mengarah pada tujuan akhir yang
diharapkan bagi anak didik dalam kurikulum itu Pengetahuan psikologi akan
membantu para pengembang kurikulum untuk lebih realistis dalam memilih
tujuan, tetapi tidak akan menentukan tujuan apa yang seharusnya.

Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psikologi secara umum


sangat membantu. Teori-teori belajar, teori-teori kognitif, pengembangan
emosional, dinamika kelompok, perbedaan kemampuan individu, kepribadian,
model formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui motivasi, semuanya sangat
relevan dalam merencanakan pengalaman-pengalaman pendidikan.

Area ilmu pengetahuan tentunya tidak selalu dipertimbangkan menjadi


daerah psikologi. Di samping studi-studi tentang pemikiran pembelajaran,
penerimaan dan pengingatan setidaknya menjadi pendapat yang diketahui secara
implisit mengenai apa yang akan. Ada satu aksioma bahwa semua pengetahuan
kita adalah manusia sehingga studi mengenai bagaimana kita menyeleksi,
memproses, dan menggunakan informasi harus tidak hanya memberikan dasar
pendidikan, tetapi juga memberikan kontribusi untuk apa yang diajarkan.
14

Untuk merencanakan suatu kurikulum, sangat penting memiliki teori


pembelajaran yang ditentukan dan bagaimana kondisi pembelajaran menjadi
pembelajaran yang lebih efisien. Berbagai teori psikologi tentang cara belajar,
setidaknya secara eksplisit, membuat. petunjuk-petunjuk akurat bagi para
pendidik untuk dipraktikkan ke anak didik. Banyak buku psikologi yang memberi
pengetahuan tentang teori belajar, tetapi tidak memberi petunjuk langsung kepada
pendidik atau guru. Hal ini disebabkan tugas dan peranan teori belajar tidak sama
dengan tugas pendidik. Dalam tradisi ilmiah, pencarian teori digunakan untuk
menjelaskan jumlah maksimum fenomena-fenomena dengan jumlah minimal
peraturan-peraturan, dan itu merupakan tugas khusus yang sulit dalam
menghadapi kompleksitas kesadaran dan tingkah laku manusia. Sebagai pendidik,
kita tidak memperhatikan dengan apa sesungguhnya belajar itu, dan kita
memerhatikan perbedaan-perbedaan di antara anak didik sekaligus persamaan-
persamaannya. Kita berharap bisa mendapatkan teori-teori psikologi yang
membantu kita sebagai pendidik meski tidak secara langsung.

a. Behaviorisme

Prinsip utama aliran behaviorisme adalah berdasarkan unit belajar. Di


kelas, menurut Pavlov, respon dalam pertanyaan bersifat reflektif. Sementara
menurut Thorndike dan Skinner, respon-respon tersebut lebih kompleks.
Memang, di laboratorium dapat dilakukan upaya untuk mencoba mengisolasi
respon tunggal dan stimulus agar dapat mempelajari hubungan di antara keduanya
(meskipun studi-studi semacam ini lebih kompleks dan lebih banyak di text book
awal saat studi itu muncul), serta menggunakan organisme yang berkapabilitas
tidak kurang dari kapabilitas pendidik. Namun dalam mengajar, pendidik
dihadapkan dengan sejumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak dapat
diprediksi sehingga suatu kondisi sebagai dasar belajar sesuatu yang terbatas bagi
kita, khususnya ketika kita memerhatikan kesadaran pendidik maupun anak didik
serta pengertian personal dan sosial, aksi-aksi, dan materi-materi. Kendati
demikian, respon emosional dapat dikondisikan. Kesadaran/pengkondisian dapat
15

membantu kita mengetahui mengapa anak didik tidak menyukai aritmetika, dan
jika kita tidak melakukan itu, bagaimana dia akan mengerti?.

Hull dan Skinner juga mengembangkan model unit S-R (stimulus-


respons). Hull tertarik dengan apa yang terjadi antara stimulus dan respon pada
anak didik. Meskipun teorinya tentang belajar tampak jauh dari urusan pendidik,
namun konsepnya tentang kebiasaan hierarkis keluarga memantapkan struktur
program belajar. Prosesnya jelas banyak diikutsertakan dalam learning skill
(keterampilan belajar). Awalnya, setiap langkah dalam pembelajaran keterampilan
menjadi tugas yang terpisah, seperti mengetik suatu surat. Namun secara bertahap,
beberapa bagian dari tingkah laku memiliki ciri tersendiri yang tergabung menjadi
satu. Akhirnya tindakan yang diambil dan perlahan dilakukan, yang memiliki
konsekuensi dengan tindakan ekonomi. Jadi, kita bisa mengidentifikasi berbagai
komponen keterampilan tertentu atau sederetan informasi agar anak didik bisa
belajar dan mengaturnya dengan unit-unit yang komprehensif.

Itulah program belajar rasional, yang biasanya terwujud dalam program


kurikulum bahasa, Matematika, dan membaca. Pendekatan serupa juga dilakukan
untuk menghindari goncangan pemikiran individu anak didik. Goncangan tersebut
bisa berbentuk unit belajar yang menjadi bagian terpisah dengan anak didik atau
juga bagian dari unit yang lebih besar yang telah ia peroleh. Contoh, nama anak
didik itu sendiri sering menjadi sebuah unit bagi dia, meskipun huruf-huruf yang
sama dengan kata lain masih terpisah dalam bentuk bagian-bagian atau potongan-
potongan.

Seorang behavioris melihat anak didik sebagai organisme yang merespon


stimulus dari dunia sekitarnya, yang diketahui sebagai S-R atau S-O-R,
sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya.

Peranan pendidik adalah menyajikan stimulus tertentu yang


membangkitkan respons tertentu yang merupakan hasil belajar yang diinginkan.
Untuk mengatur proses S-R secara sistematis, bahan pelajaran dipecahkan atau
dibagi-bagi menjadi butir-butir informasi secara mendetail. Jumlahnya banyak,
16

dan butir-butir informasi tersebut harus diurutkan dengan tepat, mulai dari yang
paling sederhana, kemudian berangsur-angsur meningkat menjadi butir yang lebih
kompleks. Bahan pelajaran yang telah dipecahkan menjadi serangkaian langkah
yang berurutan kemudian disajikan satu demi satu kepada anak didik, dan anak
didik mesti lebih dulu menguasai satu langkah sebelum maju ke langkah
berikutnya yang lebih sulit dan kompleks.

Tokoh utama yang menganut teori behaviorisme adalah B.F. Skinner, Ivan
Pavlov, Edward L. Thorndike, Clark Hull, dan Herbert Spencer. Percobaan
Pavlov terhadap kelakuan binatang (dalam hal ini anjing) telah memotivasi para
ahli psikologi untuk memformulasikan Stimulus-Respons tersebut, yang berbunyi:
"Tiap kelakuan spesifik (R) dapat dibangkitkan bila diberikan stimulus yang
sepadan (S)".

Pavlov mengungkapkan bahwa satu-satunya fungsi otak ialah


menghubungkan neuron-neuron untuk membangkitkan refleks yang membentuk
tingkah tertentu. Hal ini memiliki arti bahwa stimulus (S) yang berlainan akan
memecahkan hubungan neuron (R) yang berbeda pula.

Skinner mengembangkan teori S-R melalui eksperimen Skinner Box,


suatu kandang yang berisi binatang yang diajari menarik per atau pegas tertentu
sehingga memperoleh makanan. Jika yang ditarik itu salah, binatang tersebut tidak
akan memperoleh apa-apa namun hanya menerima getaran listrik yang lunak
(reinforcement negatif); dan jika per yang tepat ditarik, keluarlah makanan
sebagai hadiah (reinforcement positif). Ternyata reinforcement positif (makanan)
memberi hasil belajar yang lebih baik daripada reinforcement negatif (getaran
listrik).

Bertolok dari hasil eksperimen tersebut, Skinner mengemukakan bahwa


manusia juga belajar dengan cara yang sama. Skinner mengungkapkan pula
bahwa tugas sederhana dapat dipelajari melalui reinforcement positif. Tugas yang
sukar dapat dipecah-pecah menjadi tugas-tugas kecil kemudian dipelajari dengan
17

urutan tertentu dengan teknik reinforcement hingga akhirnya seluruh tugas yang
kompleks tersebut dapat diatasi atau dipecahkan.

Dengan demikian, peran pendidik adalah menganalisis bahan pelajaran,


membaginya dalam bagian-bagian kecil, menyajikan satu per satu kepada siswa
sambil memberi balikan (reinforcement) berupa pujian bila benar dan kadang-
kadang hukuman bila salah. Langkah penting agar setiap langkah yang harus
dikuasai anak didik sebagai syarat untuk menghadapi langkah selanjutnya. Proses
belajar siswa berdasarkan:

1) Reinforcement (balikan) positif berupa pujian, angka baik.


2) Hukuman, celaan, atau tidak diberi penghargaan dengan memberi
angka jelek atau kecaman.
3) Memberikan contoh melalui demonstrasi untuk ditiru siswa.
4) Latihan dan ulangan untuk memantapkan S-R (stimulus/respons).

Kemudian, buah pikiran Skinner dan perilaku lainnya memiliki pengaruh


yang besar terhadap mesin belajar Skinner, belajar berprogram, modul, belajar
tuntas (mastery learning), dan juga computer assisted instruction (belajar dengan
bantuan komputer). Semua didasarkan pada teori belajar behaviorisme.

Banyak institusi pendidikan yang memandang pendekatan behaviorisme


ini hanya sebagai latihan dan bahan pendidikan dalam arti yang sebenarnya.
Contohnya adalah kurikulum tertutup yang berusaha merumuskan tujuan secara
spesifik (TIK) dan tidak terbuka bagi kreativitas anak didik dan pendidik.
Pendekatan ini dianggap hanya cocok untuk mengajarkan fakta dan informasi
kognitif tingkat rendah, selain melatih keterampilan dan kebiasaan. Pendekatan ini
banyak dilaksanakan di SD dan SMU (Sekolah Menengah Umum). PPSI
(Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) merupakan sistem yang banyak
mengembangkan teori belajar ini, termasuk Ebtanas, Sipenmaru, dan SMPTN.
18

b. Teori Gestalt

Kata Gestalt tidak sama dengan yang ada dalam istilah bahasa Inggris.
Gestalt memiliki arti pattern atau configuration. Awalnya, teori persepsi
dikembangkan untuk pembelajaran, khususnya untuk memecahkan masalah.
Gambaran umumnya adalah bahwa bentuk itu menggambarkan perhatian pada
pembawaan lahir, dan mempelajari pengaturan proses yang kita miliki, ketimbang
kondisi-kondisi respons yang bersifat eksternal.

Model belajar yang lebih aktif ini menginformasikan banyak pemikiran


tentang pendidikan, termasuk pekerjaan Bruner. Tetapi sebagai teori, pendapatnya
sedikit koheren daripada behaviorisme dan lebih sulit untuk diterapkan dalam
petunjuk-petunjuk praktik. Untuk menguraikan pengetahuan sekarang,
pengalaman merupakan pengaturan kembali atas bidang-bidang persepsi hanya
menyentuh suatu misteri dalam terma-terma lainnya. Hal itu menyebabkan
pendidik atau perencana kurikulum tidak memiliki bantuan dalam keyakinan
bahwa pengalaman itu akan terjadi.

Pengalaman kerja berikutnya adalah studi Kohler tentang pemecahan


masalah pada monyet-monyet. Dari penelitian tersebut, dikonfirmasikan bahwa
pengalaman dengan materi dan aksi merupakan hal yang penting dalam
memecahkan masalah pengetahuan dan juga menjadi masukan yang sangat
berharga untuk pengembangan kurikulum yang berhubungan dengan pengertian
dan kreatifitas. Dalam buku Wertheimer berjudul Productive Thinking, terdapat
banyak cara berpikir kemudian memberi ilham bagi Bruner dan Dienes untuk
memberikan cara pengajaran Matematika, mengungkapkan bahwa jika peraturan
atau rumus (rates) dipelajari tanpa suatu usaha untuk mempromosikan pengertian,
mereka mungkin akan salah dalam menerapkan hal-hal baru. Teori ini menjadi
yang benar pada saat ini, tetapi mungkin memerlukan penekanan kembali dalam
menghadapi hal-hal yang tidak ilmiah, agar kembali kepada definisi dasar
kurikulum yang lemah tentang suatu dongeng Golden Age.
19

Lewis mengembangkan pendekatan Gestalt ke dalam ilmu sosial dan teori


personalitas yang berhasil berkembang dengan baik dibandingkan terapi Gestalt
dan jenis-jenis lain dari teori personal growth. Namun, teori Lewis terkesan over
ambision. Terminologi Lewis, yang meminjam typology, rector analysis physics,
dan chemystry, itu lebih sebagai metafora daripada teori yang tepat dan akurat.
Namun demikian, teori ini memiliki manfaat dalam menggambarkan perhatian
terhadap pengalaman hidup dan kesadaran pribadi anak didik, dan pendidik harus
sensitif dengan hal itu.

Pengembangan suatu teori dalam skala besar, bukanlah hal yang mudah
bagi para psikolog, meskipun hampir semua pekerjaan ada dalam kerangka kerja
yang bebas dari asumsi-asumsi serta menggunakan metodologi behaviorisme
secara luas. Usaha memenjarakan semua pembelajaran manusia dalam suatu
seleksi yang sangat ketat terhadap hukum hampir semuanya ditinggalkan.
Pengganti tradisi behavioris (associationsts) dan Gestalt (cognitive) masih dapat
dilihat, namun masih banyak psikologi pendidikan kontemporer, misalnya
Harlow, Berline, Ausubel, Bandura, Branner, dan Gagne, yang menggambarkan
kedua sumber tersebut.

Teori Gestalt atau field theory menggunakan konsep behaviorisme dan


perkembangan kognitif dengan memasukkan unsur-unsur O (O=organisme) di
dalam rumus S-R menjadi S-O-R.

Teori Gestalt sangat mementingkan anak didik dalam proses pembelajaran


mengajar. Individu merupakan sentral dalam proses belajar dan proses belajar
bukan sekadar akumulasi ilmu pengetahuan, yaitu menambah suatu segmen
pengetahuan kepada pengetahuan yang telah ada. Teori Gestalt berpendapat
bahwa anak tumbuh sebagai keseluruhan sehingga perubahan pada suatu aspek
akan memengaruhi pribadi anak secara total.

Dalam belajar, anak didik kadang menemukan insight atau penalaran


spontanitas atau tiba-tiba sehingga dalam belajar anak didik hanya memupuk ilmu
pengetahuan. Informasi baru yang masuk diproses secara mental dengan informasi
20

yang tersimpan dalam ingatan sehingga muncul pemahaman baru. Walaupun


demikian, keadaan tersebut berbeda antara anak didik yang satu dengan yang
lainnya, karena setiap individu memiliki ruang lingkup (life space) berlainan. Life
space yang terbentuk oleh totalitas pengalaman seseorang selama hidupnya, dan
keberadaannya akan memengaruhi cara seseorang untuk memersepsi dunia
sekitarnya dan proses belajarnya.

Penganut teori ini merupakan konsep pendidikan manistik dengan


memupuk konsep diri yang positif pada anak didik. Tak lain karena teori ini
sangat mementingkan individu. Konsep yang positif akan memengaruhi yang
baik pada anak didik, dan sebaliknya, konsep diri negatif akan menahan proses
belajar. Peranan pendidik sedapat mungkin mendorong anak didik dalam
mengembangkan konsep diri tersebut.

c. Teori Psikologi Daya

Penganut aliran teori psikologi daya berpandangan bahwa belajar


merupakan mendisiplinkan dan memperkuat daya-daya mental, terutama daya
pikir, melalui latihan mental yang ketat. Misal, jika otak telah dikembangkan
melalui studi Matematika klasik dan humaniora, anak didik akan mampu berpikir
rasional sehingga memudahkan proses belajar di bidang studi lain. Jadi, yang
menjadi fokus utama adalah mencari cara mempelajari materi pelajaran yang sulit,
seperti Matematika dan bahasa klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan
proses-proses mental.

Anak dilihat sebagai miniatur orang dewasa yang belajar dengan dasar
yang sama. Kendati masih terdapat sekolah-sekolah (baik dasar dan menengah)
yang menggunakan ilmu jiwa daya dan sudah termodifikasi sebagai dasar proses
belajar mengajar, aliran psikologi ini sudah jarang digunakan dalam
mengorganisasikan atau merencanakan kurikulum. Namun, untuk melatih daya-
daya mental anak didik (mahasiswa), masih ada perguruan tinggi yang
menggunakan hasil karya pemikir terkemuka yang memiliki nilai intelektual
tinggi.
21

d. Teori Pengembangan Kognitif

Menurut teori ini, kematangan mental tumbuh secara bertahap pada anak
didik sebagai follow up (tindak lanjut) dari interaksinya dengan lingkungan. Anak
didik harus dibimbing dengan teliti, bahan pelajarannya harus seimbang dengan
tingkat perkembangan kognitifnya, dan perlu diperhatikan agar mereka maju ke
tingkat selanjutnya.

Penganut utama aliran ini adalah John Dewey dan Jean Piaget. Jean
Piaget melakukan penelitian terhadap anak didik dengan menggunakan observasi
dan wawancara yang cermat. Hasilnya ditemukanlah tingkat-tingkat intelektual
anak, yaitu:

1) pra-operasional

2) operasi konkret

3) operasi formal

Perkembangan normal anak didik akan terjadi bila anak didik dilepaskan
dalam hambatan otoritas. Piaget lebih lanjut mengemukakan bahwa proses belajar
terjadi bukan sebagai hasil pujian dan hukuman, melainkan sebagai hasil proses
restrukturisasi kognitif atas pengaruh lingkungan eksternal. Berkat adanya
struktur kognitif, anak didik dapat memahami lingkungan. Restrukturisasi kognitif
dilakukan apabila anak didik tidak dapat memahami struktur yang ada dalam
lingkungannya, yaitu dengan mengubah struktur tersebut agar lingkungan dapat
dikenal sehingga dapat diasimilasinya.

Pemahamannya adalah anak didik memandang perbuatannya benar apabila


orang dewasa (pemegang otoritas) menyetujuinya. Jadi, moralitas (baik atau
buruk) ditentukan oleh orang dewasa yang menjadi sistem aturan yang harus
dipatuhi (heteronom). Jika anak didik dalam perkembangannya mulai
memodifikasi aturan tersebut berdasarkan pertimbangannya sendiri, rasa keadilan
22

pun akan berkembang dan perasaan egosentris lambat laun akan beralih kepada
perhatian terhadap orang lain.

Piaget mengungkapkan ada empat tahap pokok dalam perkembangan


kognitif-intelektual.

1) Tahap Senso-Motoris (0-2)

Bayi mulai mengenal lingkungan sekitarnya dengan alat indranya


(sensoris: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan peradaban).
Kemampuan motorik (bergerak, merangkak, dan berjalan) sehingga dapat
mengenal berbagai pengaruh lingkungan ini.

2) Tahap Pra-Operasional (2-6)

Lingkungan yang dikenalnya melalui lambang (warna, bentuk, gambar,


dan lain-lain). Bayi pun mulai mengenal dunianya dan juga orang lain.

3) Tahap Operasional Konkret (6-12)

Logika mulai berkembang. Kesimpulan yang diambil berdasarkan logika


ketimbang persepsi sederhana. Masalah sederhana dapat dipecahkan dengan
sistematis.

4) Tahap Operasional Format (12 tahun ke atas)

Sanggup berpikir abstrak, memecahkan masalah secara formal (tanpa


menghadapi objek secara langsung). Alasan atas kejadian-kejadian mulai dicari
serta mulai membentuk hipotesis dan menguji sesuatu dengan eksperimen dalam
proses belajar maupun kehidupan sehari-hari (Helen Bee, 1985: 228).

Sementara itu, John Dewey mengemukakan tahap-tahap perkembangan


moral berdasarkan teori Jean Piaget.

1) Tahap amoral. Tidak tahu mana yang benar dan salah, tidak
menghiraukan orang lain.
23

2) Tahap konvensional. Menghormati nilai-nilai konvensional yang


diperoleh dari orangtua dan masyarakat. Pujian dan hukuman dari
orang dewasa direspon sebagai dasar norma moralnya.
3) Tahap otonom. Mulai memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut John Dewey ada tiga tujuan pendidikan, yaitu mengajarkan kerja
sama, mengajarkan penyesuain diri, dan mengajarkan demokrasi atau
kewarganegaraan aktif. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harus
mengetahui tahap perkembangan anak, dapat mempelajari jenis kegiatan belajar
yang sesuai, serta ganjaran dan hukuman yang tepat agar dapat menumbuhkan
motivasi anak didik.

e. Teori Kepribadian

Penelitian tentang kelakuan moral anak-anak dilakukan oleh Hartshorn


dan May selama 10 tahun (1920-1930). Sifat moral, seperti kejujuran, keramahan,
dan kesopanan, dianalisis sehingga menjadi dasar penelitian selanjutnya yang
meneliti alasan-alasan emosional-psikologi di balik kelakuan anak, misalnya cinta
kasih, rasa benci, dan rasa bersalah. Penelitian tersebut (oleh Hartshorn dan May)
juga dipengaruhi oleh Sigmund Freud.

Abrham Maslow mengungkapkan bahwa individu mesti memenuhi


kebutuhan pasa suatu tingkatan sebelum ke tingkatan berikutnya. Tingkatan-
tingkatan tersebut adalah:

1) Self Actualization (perwujudan diri)


2) The need for self asteem (harga diri)
3) The need for love and belonging (dicintai dan diterima)
4) Safety related needs (rasa aman)
5) Psychological needs (kebutuhan psikologis)

Teori kepribadian berhubungan erat dengan teori perkembangan kognitif


dan teori lapangan dalam upaya mengenal anak didik sebagai individu
24

berkembang menurut fase-fase perkembangannya, tetapi berdasarkan cara dan


speed yang berlainan.

Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar mengajar. Dengan


demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi. Karena
hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi salah satu landasan penting
dalam mengembangkan kurikulum.

4. Asas Organisatoris

Herbert Spencer, lebih dari seperempat abad yang lalu, pernah


menyatakan, pengetahuan apa yang paling bernilai what knowledge is of most
morth? Pengetahuan yang bernilai itu akan berarti mampu menentukan bahan
yang serasi dengan anak didik, setelah melalui proses penyeleksian dari bahan
pengetahuan yang sangat luas yang berkembang dari waktu ke waktu secara pesat.

Keadaan masyarakat senantiasa berubah dan mengalami kemajuan pesat


sehingga akan memberi beban baru bagi pengembang kurikulum, yang berperan
sebagai pembuat keputusan dan memilih terhadap apa yang harus diajarkan
kepada siapa. Dalam hubungan ini, Nasution (1989: 34) menyatakan, ada dua
masalah pokok yang harus dipertimbangkan. Pertama, pengetahuan apa yang
paling berharga untuk diberikan bagi anak didik dalam suatu bidang studi. Kedua,
bagaimana mengorganisasi bahan agar anak didik dapat menguasainya dengan
sebaik-baiknya.

Jika diperhatikan secara saksama, yang paling memecahkan masalah


adalah para spesialis dalam disiplin ilmu yang bersangkutan, dengan persyaratan
para spesialis itu selalu mengikuti perkembangan ilmunya, dan tentunya harus
memahami asas filosofis, sosiologis, dan psikologis dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, para pengembang kurikulum memiliki tugas untuk


membantu mereka agar memahami sepenuhnya tugas mereka dalam menentukan
pengetahuan paling berharga tersebut. Pendekatan yang paling baik kemungkinan
25

adalah dengan membentuk tim yang diketuai ahli pengembang kurikulum yang
juga memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bidang studi tersebut.

Masalah selanjutnya adalah tentang bahan organisasi yang juga tidak


penting untuk diperhatikan. Nasution (1989.: 35) mengemukakan bahwa ada
bermacam-macam cara dalam mengorganisasikan bahan bagi keperluan
pengajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan
berdasarkan topik, tema, kronologi, konsep, isu, logika, dan proses disiplin. Di
samping pendekatan organisasi, bahan pelajaran yang dipilih dengan serasi
tersebut memiliki tujuan dan sasaran kurikulum yang pada dasarnya disusun dari
yang sederhana hingga yang kompleks, dari yang konkret hingga yang abstrak,
dan dari ranah tingkat rendah hingga lebih tinggi, kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.

Sebagai konklusi dari uraian atas organisasi tersebut, ada tiga hal utama
yang perlu diperhatikan:

a. Tujuan bahan pelajaran


Mengajarkan keterampilan untuk masa sekarang atau
mengajarkan keterampilan untuk keperluan masa depan, untuk
membantu siswa memecahkan masalah, untuk mengembangkan
nilai-nilai, untuk gembangkan ciri ilmiah, dan untuk memupuk
jiwa warga negara yang baik.
b. Sasaran bahan pelajaran
Siapa pelajar itu, apakah latar pendidikan dan
pengalamannya, sampai dimana tingkat pengembangannya, dan
bagaimanakah profil kepribadian dan motivasinya.
c. pengorganisasian bahan
Bagaimana bahan diorganisasi: apakah berdasarkan topik,
konsep, dan kronologi.

Pemahaman mengenai asas-asas tersebut bagi para pengembang


kurikulum sangat penting dalam menghasilkan suatu kurikulum yang diharapkan.
26

Untuk itu, menurut Adiwikarta (1994:101), mereka (para pembimbing dan


pelaksana kurikulum) perlu memperhatikan tiga kecenderungan:

1) Kekinian dan kedisinian (Aktual)


2) Kemasa-depanan (Inovatif)
3) Kepentingan satuan pendidikan

Pertanyaan yang memerlukan jawaban bagi sistem pendidikan suatu


bangsa adalah bagaimana mengembangkan dan melaksanakan kurikulum untuk
kepentingan nasional, keadaan dan kebutuhan lingkungan, ciri khas satuan
pendidikan, serta kepentingan masa depan anak didik dan masyarakat dapat
dipenuhi.

5. Asas Teknologi

Perkembangan teknologi tidak lepas dari hasil penelitian, jasa laboatorium,


dan berbagai fasilitas lain serta sumber daya manusiaanya sendiri. Perkembangan
pendidikan dewasa ini sangat besar, termasuk pengembangan kurikulum lembaga
pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkembang pesat. Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mengubah banyak kehidupan manusia. Berbagai alat komunikasi telah
membawa perubahan dalam berbagai kehidupan manusia demikian pula halnya
dengan sebagai alat untuk membantu pengembangan kurikulum.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah masyarakat


tradisional menjadi masyarakat modern. Karenanya sistem pendidikan pun,
termasuk kurikulumnya, harus dipermodern pula. Masyarakat modern
menghendaki manusia yang terampil dan dapat memakai mesin-mesin dan alat-
alat elektronik, alat-alat informasi, dan alat-alat canggih lainnya. Oleh karena itu,
kurikulum lembaga pendidikan harus dikembangkan dengan memperhatikan
faktor ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurikulum tidak boleh meninggalkan kemajuan teknologi pendidikan.


Peningkatan penggunaan teknologi pendidikan akan menyebabkan naiknya
27

tingkat efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar yang selalu menonjolkan
peran guru, terutama dalam memilih bahan dan cara penyampaiannya. Siswa
bersifat pasif. Dengan majunya teknologi informasi, diharapkan bahwa mengajar
adalah membuat yang belajar mengajar diri sendiri. Oleh karena itu dalam proses
belajar mengajar selanjutnya, sistem penyampaian tidak harus dengan tatap muka
antara guru dan siswa. Sekarang peran guru dapat digantikan dengan media
maupun instruksional baik yang berupa media cetak non cetak terutama media
elektronik, misalnya: internet, aplikasi yang mendukung pembelajaran online
seperti zoom dan google meet, rekaman video dan sebagainya.

Lokates dan Atkinson (1984) mengemukakan yang termasuk media


instruksional adalah, media cetak, media grafik, media fotografi, media audio,
televisi/aodio, komputer dan simulasi.

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


1. Prinsip-prinsip umum
a. Prinsip relevansi; ada dua macam relevansi yang dimiliki
kurikulum, yaitu relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum
itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses
pembelajaran yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan
dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat.
Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja di
masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya
mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut. Kurikulum bukan
hanya menyediakan anak untuk kehidupannya sekarang tapi juga
yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di
dalam yaitu adanya kesesuaian atau konsistensi antara komponen-
komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi proses penyampaian,
dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu
keterpaduan kurikulum.
b. Prinsip efisiensi dan efektifitas; pengembangan kurikulum harus
mempertimbangkan segi efesien dalam penggunaan dana, waktu,
28

tenaga dan sumber-sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil


yang optimal. Dana yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa
dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang
tersedia bagi siswa belajar di sekolah juga terbatas harus
dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan mata pelajaran dan bahan
pembelajaran yang diperlukan. Tenaga di sekolah juga sangat
terbatas, baik dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya
digunakan secara efisien untuk melaksanakan proses pembelajaran.
Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan dan sumber
bacaan, harus digunakan secara tepat oleh Siswa dalam rangka
pembelajaran, yang kesemuanya demi untuk meningkatkan
efektivitas atau keberhasilan siswa.
c. Prinsip Fleksibilitas (keluwesan); kurikulum yang luwes mudah
disesuaikan, diubah, dilengkapi, atau dikurangi sesuai dengan
tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi
tidak statis atau kaku. Misalnya dalam suatu kurikulum disiapkan
program pendidikan keterampilan industri dan pertanian.
Pelaksanaannya di kota, karena tidak tersedianya lahan pertanian,
maka yang dilaksanakan adalah program pendidikan keterampilan
industri. Sebaliknya, pelaksanaan di desa ditekankan pada program
pendidikan keterampilan pertanian. Dalam hal ini lingkungan
sekitar, keadaan masyarakat dan ketersediaan tenaga dan peralatan
menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kurikulum.
d. Prinsip Berkesinambungan-prinsip kontinuitas; yakni adanya
kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun
secara horizontal. Pengalaman- pengalaman belajar yang
disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik
yang di dalam tingkat kelas antar jenjang pendidikan, maupun
antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
e. Prinsip keseimbangan; penyusunan kurikulum supaya
memperhatikan keseimbangan secara proporsional dan fungsional
29

antara berbagai program dan sub program, antara semua mata


pelajaran, dan aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan.
Keseimbangan juga perlu diadakan antara teori dan praktik, antara
unsur-unsur keilmuan sains, sosial, humaniora, dan keilmuan
perilaku. Dengan keseimbangan tersebut terjalin perpaduan yang
lengkap dan menyeluruh, yang satu dengan yang lainnya saling
memberikan sumbangannya terhadap pengembangan pribadi.
f. Prinsip keterpaduan; Kurikulum dirancang dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip keterpaduan. Perencanaan terpadu bertitik
tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-
unsurnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua pihak,
baik di lingkungan sekolah maupun di tingkat intersektoral.
Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuknya pribadi yang
bulat dan utuh. Di samping itu juga, dilaksanakan keterpaduan
dalam proses pembelajaran, baik dalam interaksi antara siswa dan
guru maupun antara teori dan praktik.
g. Prinsip mutu; pengembangan kurikulum berorientasi pada
pendidikan mutu dan mutu pendidikan. Pendidikan mutu berarti
pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedang mutu pendidikan
berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar
mengajar, peralatan/media yang bermutu. Hasil pendidikan yang
bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional
yang diharapkan.
2. Prinsip-prinsip khusus

Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum.


Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar,
dan penilaian.
30

a. Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan

Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan.


Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau
berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus).
Perumusan tuujuan pendidikan bersumber pada:

1) Ketentuan dan Kebijaksanaan Pemerintah, yang dapat ditemukan dalam


dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, dan strategi
pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan.
2) Survei mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan
mereka; yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka.
3) Survei tentang pandangan para ahli dalam bidang tertentu, dihimpun
melalui angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa.
4) Survei mengenai man power (ketenagakerjaan).
5) Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama.
6) Penelitian.
b. Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan.

Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang


telah ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa
hal:

1) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan


hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan
hasil belajar dirumuskan makin sulit menciptakan pengalaman belajar
yang luar biasa.
2) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
3) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
Ketiga rana belajar, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan diberikan
secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan
31

buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tetang organisasi bahan


dan alat pengajaran secara mendetail.
c. Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar

Pemilihan proses pembelajaran yang digunakan hendaknya


memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Apakah metode/teknik pembelajaran yang digunakan cocok untuk


mengajarkan bahan pelajaran?
2) Apakah metode/tekhnik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi
sehingga dapat melayani perbedaan individu siswa?
3) Apakah metode/tekhnik memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-
tingkat?
4) Apakah metode/tekhnik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk
mencapai tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor?
5) Apakah metode/teknik tersebut lebih mengaktifkan siswa, atau
mengaktifkan guru atau kedua-duanya?
6) Apakah metode/tekhnik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan
baru?
7) Apakah metode/tekhnik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di
sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di
rumah dan di masyarakat?
8) untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang
menekankan "learning by doing" di samping "learning by seen and
knowing".
d. Prinsip berkenaan dengan media dan alat pengajaran

Proses pembelajaran yang baik perlu didukung oleh penggunaan media


dan alat-alat bantu pembelajaran yang tepat.

1) Alat/media pembelajaran merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.


Apakah semuanya sudah tersedia? Bila alat tersebut tidak tersedia apa
penggantinya?
32

2) Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan; bagaimana


pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan?
3) Bagaiamana pengorganisasian alat dan bahan pelajaran, apakah dalam
bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain?
4) Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran?
5) Hasil yang terbaik dengan menggunakan multi media.
e. Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Penilaian
merupakan bagian integral dari pengajaran.
1) Dalam menyusun alat penilaian (test) diikuti langkah-langkah sebagai
berikut: Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah-
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Uraikan dalam bentuk tingkah-
tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan dengan bahan
pelajaran. Tuliskan butir-butir test.
2) Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa
hal: Bagaiamana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yang akan
diuji? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan test?
Apakah test tersebut berbentuk uraian atau objektif? Berapa banyak butir
test yang perlu disusun? Apakah test tersebut diadministrasikan oleh guru
atau murid?
3) Dalam pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: Norma apa yang digunakan dalam pengolahan hasil test?
Apakah digunakan formula quessing yang digunakan? Bagaimana
pengubahan skor ke dalan skor masak? Skor standar apa yang digunakan?
Untuk apakah hasil-hasil tes digunakan?

Terkait dengan Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,


terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan


peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman
33

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung tujuan
tersebut, pengembangan kompetensi peserta didik yang disesuaikan
dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan Karakteristik
peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa
membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial
ekonomi dan gender. Kurikulum mencakup subtansi komponen
muatan wajib kurikulum, muatan local, dan pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang
bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni. Kurikulum yang dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan
oleh karena itu semangat dan isi kurikulum yang mendorong peserta
didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan
dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi,
keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik,
dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup
keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antara semua jenjang pendidikan.
34

6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan pada proses


pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan
antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal,
dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu
berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara


penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum
sebelumnya, yang justru tampaknya seringkali terabaikan. Karena prinsip prinsip
itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum.

Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus


hanya pada pemenuhan struktur (implementasi) kurikulum sebagai jasad dari
kurikulum, padahal jauh lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna
memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan
kurikulum.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengembangan Kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus
menerus. Pengembangan kurikulum yang dilakukan tidak keluar dari
arah dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, maka pengembangan
kurikulum harus berpijak pada landasan dan prinsip-prinsip dasar
pengembangan kurikulum.
Landasan-landasan pengembangan kurikulum itu dibagi menjadi 5
yaitu :
1. Asas filosofi
2. Asas sosiologi
3. Asas psikologi
4. Asas organisator.
5. Asas Teknologi

Sedangkan Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum itu dibagi


menjadi dua yaitu : prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum
dalam pengembangan kurikulum memiliki beberapa komponen-
komponen di dalamnya yaitu berupa prinsip relevansi, efisiensi dan
efektivitas, fleksibilitas, berkesinambungan, keseimbangan,
keterpaduan dan mutu. Adapun pada Prinsip khusus berkenaan dengan
penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar, dan penilaian.

B. Saran
Dengan adanya penyusunan makalah ini, penulis berharap materi
mengenai Landasan dan Prinsip- Prinsip Kurikulum dapat bermanfaat
bagi penulis berikutnya. Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar penyusunan makalah dan materi
selanjutnya dapat lebih baik lagi.

35
36

DAFTAR PUSTAKA

Adiwikarta, S. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kedisinian, dan


Kemasadepanan: Dalam Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo,
1994.

Ahmadi Bee, Helen. The Developing Child. New York: Harper & row, 1985.

Ahmadi, A dan Uhbiyati W. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Barnadib, I. Filsafat Pendidikan : Sistem dan Metode. Yogyakarta : Andi Offset,


1992.

Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Cet. II; Jakarta:
Rajawali Pers, 2016.

Ilyas, Hamka. Konsep dan Teori Pengembangan Kurikulum. Cet.I; Makassar:


Alauddin Press, 2012.

Ishak, Baego. Pengembangan Kurikulum. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam,


1998.

Lawton, Denise. Theory and Practice of Curriculum Studies. London: Routledge


& Kegal Paul, et. Al 1978.

Nasution, S. Kurikulm dan Pengajaran. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)


beserta Penejelasannya. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai