Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH DAKWAH DAN REKAYASA SOSIAL

“HOMO ORBAICUS”

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dakwah dan Rekayasa Sosial

Dosen Pengampu:
Tasman, M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 6 BPI 5A
1. Raudhatul Mumtahanah (11210520000021)
2. Adelia Puspita Sari (11210520000026)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Dakwah dan Rekayasa Sosial dengan judul
“Homo Orbaicus”.

Pada kesempatan ini, kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada Bapak Tasman,
M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Dakwah dan Rekayasa Sosial, yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat menambah
wawasan dan pemahaman terhadap materi perkuliahan.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam media pembelajaran Dakwah dan Rekayasa Sosial. Atas
perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bogor, 14 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 6
A. Rekayasa dan Ritualisasi Makna .................................................................................. 6
B. Struktur Kebohongan yang Terorganisir ...................................................................... 7
C. Kepribadian untuk Menemukan Hal-Hal Baru ............................................................ 8
D. Masa Kanak-Kanak yang Kelamaan............................................................................. 9
E. Iri Hati yang Tidak Memihak ..................................................................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 11
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 11
B. Saran.............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam proses perubahan sosial terdapat jenis-jenis manusia seperti homo
modernis (manusia modern) yang merupakan manusia-manusia yang membantu
terbentuknya perubahan sosial yang diharapkan. Namun ada juga jenis manusia-
manusia yang menghambat perubahan sosial, yang disebut dengan homo orbaicus
(manusia jaman orde baru). Dalam tulisan Islah Gusmian, mengutip dari pandangan
Jalaludin Rakhmat, rezim orde baru telah berhasil menanamkan budaya serba negatif
kepada Indonesia, sehingga budaya peninggalan rezim Orde Baru telah mendarah
daging dengan Indonesia dan bisa disebut sebagai homo orbaicus. Budaya serba negatif
itu menurut Ariel Heryanto, adalah menciptakan teknologi kepatuhan dan kekerasan,
sehingga rakyat mudah dihegomoni dan dijinakkan1.
Rezim Orde Baru telah membentuk warna berpikir yang seragam dalam bentuk
dan polanya karena senantiasa dikontrol oleh kekuasaan. Menurut Jalaluddin Rakhmat
(1999:142) memiliki karakteristik yang khas dan terbiasa untuk berpikir “berkelok-
kelok” karena di satu sisi ingin disebut kritis oleh publik, namun di sisi lain tidak
hendak “berhadapan” atau melakukan politik akomodasi dengan penguasa Orde Baru
supaya tetap survive atau istilah psikologinya ego defense mechanism (mekanisme
pertahanan ego). Sosok manusia Orba ini oleh Jalaluddin Rakhmat disebut dengan
nama “Homo Orbaicus”2.
Nama “Homo Orbaicus” terjadinya dikarenakan terlalu lamanya berpikir yang
melewati perantara P4 sejak SD, SMP, SMU, hingga PT 3 . Adapun ciri dari Homo
Orbaicus, Jalaluddin mengistilahkannya dengan inovasi parasitic dan masa kanak-
kanak yang kelamaan. Ciri lain dari Homo Orbaicus yakni juga tampak pada sikap
dalam bekerja, jika pegawai negeri mereka bermalas-malasan dan tidak efisien.
Sebaliknya, kita bekerja di luar perusahaan swasta atau di luar negeri mereka rajin dan

1
Islah Gusmian. Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka. (Yogyakarta: Galang Press. 2004).
Hlm 222-223.
2
Dadang S. Anshori. Telaah Bahasa dalam Sistem Kekuasaan Negara. Hlm 3-4.
3
Lia Seplia, “Bahasa dan Politik”, diakses dari https://www.academia.edu/34602006/Yaya, pada tanggal 13
Oktober 2023, pukul 23.03

4
bertanggung jawab 4 . Singkatnya, jika dulu Bung Karno mengatakan marhaenisme
adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Maka Homo Orbaicus adalah Homo
Sovieticus yang diterapkan dalam kondisi Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada beberapa poin yang akan dijadikan sebagai
rumusan masalah, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan rekayasa dan ritualisasi makna?
2. Apa yang dimaksud dengan struktur kebohongan yang terorganisir?
3. Apa yang dimaksud dengan kepribadian untuk menemukan hal-hal baru?
4. Apa yang dimaksud dengan masa kanak-kanak yang kelamaan?
5. Apa yang dimaksud dengan iri hati yang tidak memihak?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui rekayasa dan ritualisasi makna.
2. Untuk mengetahui struktur kebohongan yang terorganisir.
3. Untuk mengetahui kepribadian untuk menemukan hal-hal baru.
4. Untuk mengetahui masa kanak-kanak yang kelamaan.
5. Untuk mengetahui iri hati yang tidak memihak.

4
3 Redaksi, “Rekayasa Sosial (II) : Apakah Kita Masih Mengidap Homo Orbaicus?”, diakses dari
https://kutukata.id/2020/06/13/wacana/rekayasa-sosial-ii-apakah-kita-masih-mengidap-homo-orbaicus/, pada
tanggal 12 Oktober 2023, pukul 23.18

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rekayasa dan Ritualisasi Makna (Phoney Actions and Ritualistic Activities)


Phoney Actions and Ritualistic Activities adalah tindakan yang direkayasa akan
tetapi maknanya sudah dibuat 5 . Dalam rekayasa dan ritualisasi makna terdapat
beberapa tindakan kebohongan tersebut, misalnya di Polandia, kampanye yang
dilakukan disana saat menjelang pemilihan umum hanya dilakukan dengan pura-pura
saja tetapi orang yang melakukannya itu dengan keseriusan. Ada macam-macam
peristiwa yang dibuat yang dalam hal ini disebut dengan Preudo Events atau peristiwa-
peristiwa palsu yang mana peristiwa itu sudah dirancang sebelumnya.
Contohnya yang ada di Indonesia adalah dialog antara para petani dengan
presiden. Para petani yang bisa berbicara sudah ditentukan sebelumnya, presiden juga
sudah mengetahui bahwa petani-petani tersebut sudah dipilih. Tetapi dalam dialognya
mereka melakukannya dengan serius seakan-akan itu semua bukan sandiwara. Ketika
dalam dialognya membuat humor pun, semua petani tersebut juga tertawa. Tertawanya
itu seperti tertawa secara spontan dan enak, padahal mereka mengetahui bahwa itu
hanya phoney lough yaitu tertawa yang dibuat-buat. Jadi, berbagai peristiwa yang
demikian itu diritualkan seperti orang menjalankan ritus-ritus tertentu yang harus
mereka ikuti.
Ada banyak peristiwa lainnya yang direkayasa. Karena hal itu, event yang
sebenarnya akan muncul secara spontan. Sebagai contoh, pada peristiwa sebelum
penarikan terakhir tentara dari Aceh (DOM), tentara bermaksud membuat suatu ritus
perpisahan. Entah dimana anehnya, tiba-tiba para pimpinan madrasah, mesjid serta para
tokoh masyarakat diundang ke kantor tentara. Juru kamera TV pun dihadirkan untuk
acara terakhir ini. Terkesan betul akan terjadi peristiwa yang besar. Tiba-tiba setelah
acara selesai, ada seseorang yang bertubuh besar dengan kepala cepak mencaci maki
tentara itu. Bahkan di antara para hadirin ada yang berteriak, “Hidup Aceh Merdeka!”.
Anehnya, tentara membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Kamera pun malah merekam
itu. Setelah itu akhirnya tentara keluar, lalu naik bus sedangkan seseorang yang cepak
tadi itu memimpin melempari bus itu. Lagi-lagi para tentara membiarkannya. Hingga

5
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005): 151

6
saat teriakan “Aceh Merdeka!” bergema dimana-mana, para tentara tetap diam tak
bergeming. Tidak lama setelah itu, terjadi kerusuhan di berbagai tempat. Sebelum berita
kerusuhan itu sampai di Jakarta, Pak Wiranto segera mengeluarkan pernyataan, “Kalau
terjadi kerusuhan di Aceh, penarikan DOM itu akan ditangguhkan”. Dan belakangan,
orang-orang tahu bahwa yang cepak itu adalah “tentara” dan dia sedang membaca
sebuah skrip (naskah sandiwara). Oleh karena itu, saat dia berbuat onar pada tentara di
depan kamera, ia tidak ditangkap.
Dari peristiwa tersebut, aneh memang karena orang Aceh biasanya takut untuk
lewat di depan kantor tentara tapi pada peristiwa tersebut, kita melihat orang aceh
dengan berani berteriak “Hidup Aceh Merdeka!” tanpa diapa-apakan oleh para tentara.
Peristiwa itupun diberi makna (phoney actions) sebagai tindakan kerusuhan dengan
tujuan karena keberadaan tentara di Aceh masih diperlukan6.

B. Struktur Kebohongan yang Terorganisir (Structure of Organized Lying)


Structure of Organized lying contohnya di Polandia disana mempunyai dua
bahasa yakni bahasa di depan umum dan bahasa di kalangan terbatas. Artinya, bahasa
yang digunakannya sama, tetapi strukturnya, kata-katanya, fasiologinya dan kosa
katanya bisa berbeda. Perkataan yang sama yang digunakan di depan umum mungkin
memiliki arti yang berbeda jika digunakan di kalangan terbatas. Misalnya ketika
seorang pejabat di Polandia berbicara, masyarakat tidak serius untuk mendengarkannya
karena mereka sudah tidak percaya lagi tetapi mereka tetap mengikutinya. Mereka tahu
bahwa pejabat tersebut berbohong, tetapi jika ditanya atau diminta untuk memberikan
komentar, mereka akan melakukan kebohongan yang sama. Sehingga kebohongan itu
didukung dengan sejumlah kebohongan yang lain7.
Seorang peneliti telah menganalisis penggunaan dua bahasa tersebut. Peneliti
itu menyebut dua bahasa yang berbeda tersebut sebagai bahasa pejabat dan bahasa
interpersonal. Jadi pejabat di Polandia ketika melakukan pidato seakan-akan mereka
mengembangkan kamus tersendiri yang mana berbeda dengan kamus biasa. Beberapa
contohnya yang ada di Indonesia adalah ketika para mahasiswa yang melakukan
demonstrasi ketika sidang istimewa MPR sedang berlangsung, mereka juga keliru

6
Jalaluddin Rakhmat. REKAYASA SOSIAL Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar?. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2005). Hlm 151-154
7
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005): 154-156

7
menggunakan kamus tersebut. Mereka memasuki gedung MPR dan membongkar pintu
besi gedung tersebut. Ketika ditanya “kenapa membongkar pintu besi itu? Dan kenapa
kamu menentang tentara yang menghalangi? Para mahasiswa menjawab “ini kan
gedung milik rakyat, jadi kita berhak masuk karena kita adalah rakyat, kenapa harus
dihalang-halangi?”. Dalam hal ini, mahasiswa itu keliru karena mereka memakai kamus
biasa. Sedangkan tentara yang menghalangi tadi juga menggunakan kamus mereka
sendiri yaitu kamus yang resmi. Artinya, mahasiswa keliru masuk ke gedung MPR
karena mereka mengira bahwa gedung itu milik rakyat biasa, sedangkan tentara tadi
mengartikan rakyat disitu sebagai pejabat. Sehingga mahasiswa yang melakukan
demonstrasi tadi yang tidak memiliki jabatan apa apa tidak diizinkan masuk kedalam
gedung MPR tersebut.
Kita juga sering protes, dalam segi pemerintahan berulangkali mengatakan
bahwa pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Kemudian kita berfikir
“kok kita ini tidak sejahtera-sejahtera?”, karena kita memang keliru. Kita menganggap
yang dimaksud dengan rakyat disini adalah kita, padahal jika rakyat ini diartikan
sebagai pejabat maka kata “kesejahteraan rakyat” ini bisa dipahami. Pembangunan
yang dimaksudkan itu memang sudah berhasil mensejahterakan rakyat, yaitu pejabat.
Dengan melihat dari sudut pandang seperti ini, semuanya menjadi benar. Jadi mestinya
ada kamus khusus, yaitu kamus bohong.

C. Kepribadian untuk Menemukan Hal-Hal Baru (Parasitic Innovativeness)


Orang yang kreatif diukur dari keinovatifannya. Sejarah membuktikan bahwa
hasil penelitian itu benar. Ternyata, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan.
Kemampuan inovasi disini yaitu lebih banyak merusak daripada memperbaikinya
sehingga disebutlah parasitic innovativeness. Jadi, seperti parasitnya benalu. Benalu
yang menempel pada sebuah pohon itu sangat inovatif. Dia memanfaatkan pohon itu
untuk mengambil makanannya sehingga ia tumbuh mekar. Sementara pohonnya layu
dan mati.
Tampak dalam perilakunya selalu mencari celah untuk menghindar dari aturan
dan hukum. Jika diperlukan, penghindaran itu ditempuh dengan membuat aturan atau
hukum baru. Contohnya adalah kebijakan penyelamatan bank-bank bermasalah di masa
krisis. Demikian juga orang yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara dengan sangat
kreatif. Peraturan baru pemerintah seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

8
dimanfaatkan dengan baik oleh segelintir orang. Peraturan itu menerangkan bahwa,
orang-orang yang demikian yang memanfaatkan peraturan negara untuk membuat
uang, yang sebetulnya adalah parasit yang menempel pada pohon negara. Orang itu
makin kaya sementara negaranya makin kurus. Lama-lama negaranya mati, sementara
dia hidup Makmur. Inilah parasitic innovativenes.
Meskipun kemudian ditemukan kejahatan untuk memperkaya segelintir orang
dengan merugikan keuangan negara, kebijakan itu dikatakan tak bisa dipidana. Yang
kedua adalah kecenderungan menolak bertanggung jawab atas kesalahan sendiri. Orang
yang bersikap seperti ini seringkali melemparkan kesalahan kepada orang yang lebih
rendah status sosialnya yaitu bawahannya atau rakyat kecil8.

D. Masa Kanak-Kanak yang Kelamaan (Prolonged Infantilism)


Masalah ini sebetulnya diambil dari psikologi, yaitu prolonged infantilism.
Masalah ini pertama kali dikembangkan oleh para psikoanalis. Di dalam psikoanalisis,
kita menganalisis perkembangan manusia dari anak-anak sampai dewasa. Psikoanalisis
mengamati periode-periode yang dilalui manusia itu. Dari penelitian itu, diketahui
bahwa ada sebagian orang yang mengalami fiksasi. Proses dia menjadi manusia terhenti
pada masa kanak-kanak yang tertentu. Ini mengakibatkan kebiasaan kanak-kanak terus
berlanjut dibawa sampai masa dewasa. Karena itu, sifat seperti ini disebut prolonged
infantilism. Tetapi yang dimaksud prolonged infantilism disini adalah anak-anak yang
selalu ingin diberi fasilitas oleh orangtuanya tetapi sangat tidak suka memikul tanggung
jawab. Hal seperti ini disebut unaccountability. Dalam salah satu kasus, orang-orang
Polandia itu senang melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Kalau ada satu
kesalahan, hampir tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan bahwa dia
bertanggung jawab. Mereka bisa minta maaf tapi tidak bisa bertanggung jawab.9
Prolonged infantilism ini benar-benar menjadi penyakit akut pada masyarakat
pasca Orde Baru. Amien Rais akan menghadapi kesulitan untuk berhadapan dengan
masyarakat seperti ini. Amien Rais membawa satu kepribadian, sementara masyarakat
Homo Orbaicus membawa kepribadian yang lain. Amien Rais akan menemukan
kesulitan untuk memperjuangkan demokrasi di tengah masyarakat yang masih

8
http://file.upi.edu/Direktori/PPBS/JUR.PPEND.PBHS.PDANPSASTRAPINDONESIA/1972-
DAADANG/HegemoniPdanPDominasiPBahasaPPejabat.pdf (diakses pada, 13 Oktober pukul 00.58).
9
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005): 160

9
memiliki kepribadian untuk menghalangi demokratisasi. Satu hal yang harus
diperhatikan oleh Amien Rais adalah kebiasaan bangsa Indonesia untuk melepas
tanggung jawabnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak mau bertanggung
jawab. Kalaupun kita meminta tanggung jawab, jangan dilakukan terang-terangan.
“Budaya kalau begitu ya begitu; tapi jangan begitu begini”. Nah ini adalah prolonged
infantilism dan unaccountability.10

E. Iri Hati yang Tidak Memihak (Disinterested Envies)


Mereka cenderung tidak bisa melihat sesama anak bangsa lebih maju daripada
dirinya sendiri. Bila ada elit politik yang populer, atau siapa saja yang terlihat lebih
baik/maju dari mereka, mereka akan berusaha untuk menjatuhkannya. 11 Terdapat
sebuah berita yang menceritakan orang-orang Polandia. Mereka menentang orang-
orang yang memperoleh prestasi luar biasa, untung berlebih atau yang tindakannya luar
biasa. Bila terdapat seorang elite yang populer, mereka akan berusaha menjatuhkan
popularitas elite itu, seperti dalam kisah tangki raksasa itu. Konon, semua itu
disebabkan oleh doktrin “sama rata sama rasa” pada masyarakat sosialis. Kalau tidak
sama rata dan tidak sama rasa mereka tidak akan suka sehingga mereka berusaha
menganggu orang-orang yang tidak sama dengan mereka. Mereka juga berusaha
menghalangi orang-orang yang berprestasi yang bisa melebihi mereka. Muchtar Lubis
pernah menulis serangkai karakteristik manusia Indonesia. Orang Indonesia itu, kata
Muchtar Lubis, hipokrit (semuanya jelek). Hanya ada satu hal yang bagus yang tersisa.
Yaitu rasa seni mereka. Rasa seni bangsa Indonesia sangat tinggi. Bambu saja bisa
dipotong-potong dan God save the Queen. Dalam hal lainnya, bangsa ini adalah bangsa
yang hipokrit: Mereka tidak bisa melihat sesama mereka lebih maju dari diri mereka
sendiri.12 Inilah yang dimaksud dengan iri hati yang tidak memihak.

10
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005): 163
11
https://kutukata.id/author/editor/ (diakses pada, 13 Oktober 2023 pukul 08.05)
12
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005): 163

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Orde Baru sebenarnya tidaklah ditampilkan dalam wujud manusia. Ia adalah
sebuah cara berpikir, bertindak dan menjalankan kekuasaan, cara berkuasa yang
manipulative, represif, agitative, persekutif, bisa diadopsi oleh dan menjadi “milik”
penguasa manapun, termasuk rezim ini dan siapa saja yang akan berkuasa kelak.
Siapapun yang bertindak sama seperti rezim di masa itu seperti kita sebut sebagai Homo
Orbaicus, Manusia Orba.
Homo orbaicus adalah homo sovieticus yang diterapkan di Indonesia. Homo
orbaicus bukan kelas dan kelompok sosial tertentu, namun suatu kepribadian. Adapun
kepribadian orang Indonesia yang terbentuk selama pemerintah Orba yang biasa
disebut dengan homo orbaicus (manusia yang terbentuk karena pemerintahan Orba).
Diantaranya adalah, Phoney Actions and Ritualistic Activities atau rekayasa dan
ritualisasi makna yaitu, yaitu berbagai peristiwa yang terjadi, yang sebenarnya telah
dirancang sebelumnya. Structure of Organized Lying atau struktur kebohongan yang
terorganisir, Parasitic Innovativeness yaitu kepribadian untuk menemukan hal-hal baru,
Prolonged Infantilism yaitu masa kanak-kanak yang kelamaan dan Disinterested Envies
yaitu iri hati yang tidak memihak.

B. Saran
Besar harapan makalah ini dapat menggugah semangat kita untuk lebih
memahami tentang apa itu homo orbaicus, seperti apakah kepribadian dan contoh
nyatanya. Sehingga dengan pengetahuan tersebut, kita dapat menghindari orang-orang
tersebut dan berusaha keras untuk tidak menjadi bagian dari mereka. Kami sangat
berterima kasih atas saran masukan dari para pembaca. Semoga bermanfaat khususnya
bagi kami selaku pemakalah, umumnya bagi para pembaca dan banyak orang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Redaksi. 2020. “Rekayasa Sosial (II) : Apakah Kita Masih Mengidap Homo Orbaicus?”,
diakses dari https://kutukata.id/2020/06/13/wacana/rekayasa-sosial-ii-apakah-kita-
masih-mengidap-homo-orbaicus/, pada tanggal 2 November 2021 pukul 19.30

Seplia, Lia. 2012. “Bahasa dan Politik”, diakses dari


https://www.academia.edu/34602006/Yaya, pada tanggal 13 Oktober 2023, pukul
23.03

Sumber Lainnya:

Artikel:http://file.upi.edu/Direktori/PPBS/JUR.PPEND.PBHS.PDANPSASTRAPINDONESA
/1972-DADANG/HegemoniPdanPDominasiPBahasaPPejabat.pdf

Artikel: https://kutukata.id/author/editor/

12

Anda mungkin juga menyukai