Anda di halaman 1dari 14

Bab 1

Studi Islam (Islamic Studies) : usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam.

Urgensi studi Islam :

1. Umat Islam saat ini berada dalam kondisi problematik :


2. Umat manusia dan peradabannya berada dalam suasana problematik :

urgensi studi Islam, untuk menggali kembali ajaran- ajaran Islam yang asli dan murni, dan
yang bersifat manusiawi dan universal, yang mempunyai daya untuk mewujudkan dirinya sebagai
Rahmah li Al - 'alamin. Dari situ kemudian ditransformasikan kepada generasi penerusnya;
dihadapkan dengan budaya dan peradaban modern, agar mampu berhadapan dan beradaptasi
dengannya.

Tujuan studi Islam :

1. Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat) agama Islam itu, dan
bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya
manusia.
2. Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan
bagaimana penjabaran dan operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan
budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya.
3. Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama Islam yang tetap abadi dan
dinamis, dan bagaimana aktualisasinya sepanjang sejarahnya.
4. Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam,
dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol
perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini.

Studi Islam menggunakan pendekatan yang relevan, yakni :

1. Pendekatan historis : adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan
menjawab permasalahan, serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis
sejarah.
2. Pendekatan filosofis : adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan
berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan
metode analisis spekulatif.
3. Pendekatan ilmiah : adalah meninjau dan menganalisis suatu permasalahan arau objek studi
dengan menggunakan metode ilmiah pada umumnya. Terjaminnya objektivitas dan
keterbukaan dalam studi
4. pendekatan doktriner atau pendekatan studi Islam secara konvensional merupakan
pendekatan studi di kalangan umat Islam yang berlangsung adalah bahwa agama Islam
sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin yang
berasal dari Ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut, mutlak, dan universal.

Metode studi Islam

1. Metode Diakronis : mempelajari Islam menonjolkan aspek sejarah. Metode ini memberi
kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan,
hubungan- sebab akibat dan kesatuan integral.
2. Metode Sinkronis-Analitis : mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis
teoretis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam.
Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga
mengutamakan telaah teoretis.
3. Metode Problem Solving (Hill al-musykilat) : Metode mempelajari Islam yang mengajak
pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu
pengetahuan dengan solusinya.
4. Metode Empiris (tajribiyyah) : Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat
Islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-
norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menim- bulkan suatu interaksi
sosial, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu sistem norma
baru.
5. Metode Deduktif (al-Manhaj al-Istinbathiyyah) : Suatu metode memahami Islam dengan cara
menyusun kaidah- kaidah secara logis dan filosofis, dan selanjutnya kaidah-kaidah itu
diaplikasikan untuk menentukan masalah-masalah yang dihadapi.
6. Metode Induktif (al-Manhaj al-Istiqraiyyah) : Suatu metode memahami Islam dengan cara
menyusun kaidah- kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu' yang
disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Metode pengkajiannya dimulai dari
masalah-masalah khusus, lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan
setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya.

Akhlak merupakan aspek kepribadian atau perilaku esoteris manusia, dalam arti bagaimana
sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya (muamalah) itu menjadi sikap hidup yang baik. Dalam
menjalankan sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pen- didikan, keluarga, kebudayaan/seni,
iptek, olahraga kesehatan, dan lain- lain), perilaku manusia dilandasi oleh akidah yang kokoh yang di-
manifestasikan dalam syariah dan akhlak. Sedangkan tarikh (sejarah kebudayaan) Islam merupakan
perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha (beribadah dan
bermuamalah) dan berakhlak serta mengembangkan sistem kehidupannya yang dilandasi oleh
akidah.

Bab 2

Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan
dan sistem budaya umat manusia. yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan (agama dan
kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain
merupakan "fitrah" manusia. Fitrah adalah kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari dan
ditetapkan dalam proses penciptaan manusia. Di samping fitrah beragama, manusia memiliki fitrah
lain, fitrah hidup bersama dengan manusia lainnya atau masyarakat.

Pengertian Agama, Religi, dan Al-Din secara etimologis

1. Agama : berasal dari kata dasar gam yang mendapatkan awalan dan akhiran a, sehingga
menjadi agama. Kata dasar gam tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan kata ga
atau gaan (bahasa Belanda), atau kata go (bahasa Inggris,) yang berarti pergi. Setelah
mendapatkan awalan dan akhiran menjadi agama, maka artinya menjadi jalan. Maksudnya
adalah jalan hidup, atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia sepanjang hidupnya; atau
jalan yang menghubungkan antara sumber dan tujuan hidup manusia.
2. Religi : berasal dari kata religie (bahasa Belanda), atau religion (bahasa Inggris), masuk ke
dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat (Belanda dan
Inggris) yang menjajah Indonesia dan Nusantara dengan membawa dan sekaligus
menyebarkan agama Kristen dan Katolik. Kata religi atau religion itu sendiri berasal dari
bahasa Latin, yang berasal dari kata relegere. Kata relegere mempunyai pengertian dasar
"berhati-hati", dan berpegang pada norma- norma atau aturan-aturan secara ketat. Dalam
arti bahwa religi tersebut merupakan suatu keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma hidup
yang harus dipegangi dan dijaga dengan penuh perhatian, agar jangan sampai menyimpang
dan lepas. Sedangkan kata dasar relegare, berarti "mengikat", yang maksudnya adalah
mengikatkan diri pada kekuatan gaib yang suci." Kekuatan gaib yang suci tersebut diyakini
sebagai kekuatan yang menentukan jalan hidup dan yang memengaruhi kehidupan manusia.
3. Din, berasal dari bahasa Arab, dari kata dân (ÏÇä), yang berarti "utang” sesuatu yang harus
dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa Arab, kata din (Líä) tersebut
berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata dân (ÏÇä)
dan din (Líä) dalam bahasa Arab tersebut menunjukkan pengertian dasar sebagai undang-
undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti
utang yang akan tetap dituntut untuk ditunai kan, serta akan mendapatkan hukuman atau
balasan, jika tidak ditunaikan." Kemudian dalam perkembangan penggunaannya dalam
bahasa Arab, kata din tersebut mengalami pengembangan arti menjadi: menguasai, menun-
dukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan.

Perkembangan agama dalam kehidupan budaya manusia

1. Agama pada tahap teologi : Tahap ini merupakan tahap awal dari perkembangan agama di
masyarakat. Pada tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab
yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, yang dirasakan oleh manusia
sebagai kekuatan mutlak yang menguasai, menentukan, dan mengatur kehidupan manusia
dan segala sesuatu yang ada.
2. Agama pada tahap metafisik : Pada tahap metafisik ini ditandai oleh perkembangan akal
pikiran manusia yang luar biasa. Akal pikiran manusia mulai terbuka untuk menge- tahui
berbagai rahasia alam sekitarnya, mulai mengerti dan memahami berbagai hubungan sebab
akibat, dan akhirnya sampai pada pemikiran tentang hakikat dari segala sesuatu yang ada,
bahkan sampai pada hakikat kehidupan itu sendiri.
3. Agama pada tahap positif : Pada tahap positif ini jiwa manusia tidak lagi merasa puas dengan
hal- hal abstrak. Orang tidak lagi berkepentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
sebab pertama atau tujuan akhir, tetapi merasa lebih dekat dengan hal-hal atau gejala-gejala
yang dapat diterangkan dan diteliti melalui pengamatan di atas hukum-hukum yang
deskriptif. Pada saat inilah perkembangan jiwa manusia tiba pada tahapnya yang paling akhir,
yaitu tahap positif, konkret, atau riil, di atas pandangan ilmiah yang matang. Dan inilah tahap
pembebasan yang sebenarnya, yang tidak lagi dipengaruhi oleh kekuatan atau pengertian-
pengertian adikodrati/metafisik yang tidak bisa dibuktikan secara nyata.

Kedudukan dan fungsi agama dalam system budaya dan peradaban modern

1. Kemajuan IT melahirkan paham sekuler, menganggap agama tidak diperlukan:


2. Akibatnya peradaban modern tumbuh tanpa arah dan menyebabkan kehidupan manusia
problematis
3. Agama dibutuhkan manusia sebagai pedoman hidup, nilainya universal.

Bab 3

Islam berasal dari kata:


1. al-salamu menyerahkan diri, tunduk, patuh, taat
2. al-silmu damai dan aman
3. al-salmu = bersih dan selamat

Islam: Rukun Islam

Iman: Rukum Iman

Bab 4

Al-Qur’an

Secara etimologi : Al-Qur'an berasal dari kata "gara'a, yaqra'u, qira'atan, atau qur'anan yang berarti
mengumpulkan (al-jam'u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu
bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-Qur'an karena ia berisikan inti sari semua kitabullah
dan inti sari dari ilmu pengetahuan.

Al-Quran secara terminology : kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis
dalam mushaf-mushat, diwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir, membacanya dinilal ibadah,
serta sebagai penentang bagi yang tidak percaya.

Nama-nama al-Quran : al-Quran, al-Furqan(pembeda), ak-Kitab al-Dzikir(pengingat), al-Tanzil(yang


diturunkan).

Sifat-sifatnya : an-Nur (cahaya), hudan (petunjuk), syifa' (obat), rahmah (kasih sayang), maw'idhah
(pemberi mauidhah), mubarak (diberkahi) dan lainnya.

Isi al-Quran:

1. Masalah tauhid : masalah kepercayaan terhadap yang ghaib.


2. Masalah ibadah : yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan
menghidupkan di dalam hati dan jiwa.
3. Masalah janji dan ancaman : yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik
dan ancaman atau siksa bagi mereka yang berbuat jahat.
4. Aturan/hukum : berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi
agar dapat mencapai keridhoan Allah.
5. Riwayat dan cerita : yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-
tokoh maupun Nabi dan Rasul Allah.

Abdul Wahab Khalaf: tiga kandungan al-Quran:

1. I'tiqadiyah (keimanan)
2. Khuluqiyah (akhlak)
3. Amaliyah
a) Masalah ibadah
b) Muamalah
1) Masalah individu
2) Masalah perdata (hubungan seseorang dengan orang lain)
3) Masalah pidana (perlindungan hak)
4) Perundangan-undangan
5) Hukum acara, hubungan muslim dengan muslim, hubungan muslim dengan
non- muslim
6) Masalah ekonomi
Fungsi Al-Qur’an

1. Bukti kerasulan Muhammad dan keberadaan ajarannya.


2. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam
keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3. Sumber aturan, petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-
norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara
individual dan kolektif.
4. Pedoman dalam kehidupan, petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-
dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama
manusia. Atau dengan kata lain, Al-Qur'an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan
yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Bukti Autentisitas (kemurnian) al-Quran

Ciri dan sifat al-Quran

1) Keunikan redaksi (keserasian antar ayat dan antar surat, keseimbangan kata)

2) Kemukjizatan : aspek aspek> Keindahan dan ketelitian redaksi, isyarat ilmiah, Berita masa lalu dan
masa datang

Autentisitas al-Qur’an dilihat dari Sejarahnya

1. Kondisi Masyarakat Arab Jahiliyah saat turun al-Quran


2. Turun berangsur-angsur sesuai kebutuhan
3. Kodifikasi/pengumpulan dan penulisan al-Quran

Pengakuan Non-Muslim : Kekaguman non-muslim 8akan keindahan, kebenaran, dan mukjizat al-
Quran

Tafsir Al-Qur’an

Tafsir : menjelaskan dan menerangkan, menjelaskan dan menerangkan al-Quran

Aliran ilmu tafsir :

1. Al-ma’tsur/al-manqul penjelasan diambil dari ayat, hadits, atsar sahabat atau pendapat
2. Al-Ra’yu/al-ma'qul; penjelasan bersumber dari ijtihad mufassir
3. isyarat/Sufi: penjelasannya bersumber dari ta'wil ayat berdasarkan pengalaman

Metode Tafsir al-Quran :

1. Tahlili (terperinci), menjelaskan ayat dari berbagai aspek


2. Ijmali (global) menjelaskan ayat secara umum
3. Muqarin (perbandingan), menjelaskan ayat dengan membandingkan dengan ayat lain
4. Maudhu’i (tematik), menjelaskan ayat berdasarkan tema tertentu

Corak Penafian al-Quran

1. Corak ilmu kalami : penafsiran al-Qur’an yang bahasanya mengacu pada penjelasan ilmu
kalam
2. Corak ilmu fiqhi : penafsiran al-Qur’an yang menerangkan hukum-hukum yang di istinbath
kan dari hukum syara’.
3. Corak tasawwufi : penafsiran al-Qur’an yang keterangannya cenderung pada isyarat-isyarat
atau penerangan arti dibalik yang nyata. Dibagi menjadi 2 tasawuf nazhari dan tasawuf amali
4. Corak ilmi : penafsiran al-Qur’an yang menggunakan hukum pikir ilmiah, misalnya
menafsirkan ayat tentang kawuniyah(fenomena alam) didasarkan atas ilmu biologi, fisika,
kimia, astronomi, geologi, geofisika, botani, antropologi dan sebagainya.
5. Corak falsafi : penafsiran Al-Qur'an yang meng gunakan pendekatan filsafat dengan cara
merenungkan dan menghayati ayat yang ditafsirkan, kemudian mengkajinya secara radikal
(mengakar) sistematis dan objektif
6. Corak adabi ijtima’i : penafsiran Al-Qur'an yang membahasnya dikupas berdasarkan
sosiokultural masyarakat. sehingga bahasannya lebih mengacu pada sosiologi.
7. Corak lunghawi : tafsiran Al-Qur'an yang lebih menekankan aspek kebahasaan, kaidah, dan
sastranya, untuk menerangkan arti atau maksud ayat.
8. Corak tarikhi : penafsiran yang keterangan penafsiran yang lebih menekankan aspek
penjelasan kisah-kisah Al-Qur'an.
9. Corak penafsiran : merupakan khazanah dan kekayaan ilmu dalam Islam, mengingat isi
kandungan Al-Qur'an memuat berbagai macam masalah hidup dan kehidupan, sehingga
dapat ditafsirkan menurut dimensi keahlian mufasir masing-masing.

Bab 5

Hadis secara etimologis : khabar, al-qadim, al-jadid.

Sunnah secara etimologis

1. Tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang di lalui baik yang terpuji maupun yang tercelah.
2. Lawan dari bid’ah.
3. Sirah : jalan hidup.

Hadis dan sunnah secara terminologi

1. Hadits dab Sunnah dianggap berbeda (Ibn Taimiyah)


a. hadits = ucapan (gaw!), perbuatan (fi'il) dan persetujuan (tagrir) Nabi Muhammad
semasa menjadi Nabi.
b. Sunnah = ucapan (gawl), perbuatan (fi'll) dan persetujuan (taqrir) Nabi Muhammad
sebelum menjadi Nabi dan setelah menjadi Nabi.
2. Hadits dab Sunnah dianggap sama (mayoritas ulama)
a. Hadits digunakan oleh ulama hadits
b. Sunnah digunakan oleh ulama fiqh
3. Hadits/sunnah (ulama hadits) : ucapan (gawl), perbuatan (fil) dan persetujuan (taqrir), sifat,
keadaan dan keinginan yang belum terwujud (himmah) Nabi Muhammad.
4. menurut ulama Figh: ucapan (gawl), perbuatan (fil) dan persetujuan (tagrir) yang ada kaitan
dengan hukum.

Hadits Qudsi: Adalah Kalam Allah yang maknanya dari Allah dan lafaznya dari Nabi Muhammad

Perbedaan hadis qudsi dan al-Qur’an menurut Dr. Syu'ban Muhammad Ismail, adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur'an tiada lain hanyalah merupakan wahyu yang jelas (jaly), yakni Al-Qur'an itu
diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad yang berada dalam kondisi sadar,
sedangkan Hadist Qudsi bisa jadi diwahyukan melalui ilham dan impian.
2. Al-Qur'an merupakan mukjizat, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu
menandinginya, ia terjaga dari perubahan dan penggantian atau terpelihara kemuriannya,
sedangkan Hadits Qudsi tidak demikian.
3. Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah sedangkan Hadits Qudsi tidak demikian.
4. Al-Qur'an tidak boleh diriwayatkan dengan makna saja, namun Hadits Qudsi diperbolehkan;
5. Bagi orang berhadas dilarang menyentuh Al-Qur'an, dan bagi orang yang junub dilarang
menyentuh dan membaca, sedangkan Hadits Qudsi tidak demikian.
6. Al-Qur'an dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir Nabi SAW., sedangkan Hadits Qudsi
diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW.
7. Lafal Al-Qur'an berasal dari Allah, berbeda dengan Hadits Qudsi, mungkin lafalnya dari Nabi
SAW. Dan lain-lainnya.

Fungsi hadis terhadap al-Qur’an

1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telat di tentukan oleh Al-Quran.


2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat -ayat al-Qur’an
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam al-Qur-an.
4. Ketetapan hadis bisa mengubah hukum dalam al-Quran.

Atsar : perkataan sahabat, tabi’in, dan ulama salaf

Takhrij : adalah bentuk masdar dari kata kerja "kharraja, yukharriju, takrij". Dalam kamus al-Munjid fi
al-Lughah disebutkan bahwa: menjadikan sesuatu keluar dari suatu tempat, atau menjelaskan suatu
masalah"

Metode takhrij :

1. Memerhatikan sahabat yang meriwatkannya jika disebutkan;


2. Memerhatikan lafal pertama dari matan Hadits;
3. Memerhatikan salah satu lafal Hadits;
4. Memerhatikan tema Hadits; atau
5. Memerhatikan tentang sifat khusus sanad atau matan Hadits itu.

Unsur hadis :

1. Sanad : mata rantai perawi yang menyampaikan pada matan hadis


2. Matan : isi dari hadis
3. Rawi : orang yang meriwayatkan atau meriwayatkan hadis dan disebutkan dalam kitab
karyanya

Tingkatan kualitas hadis

1. hadist sahih: Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya yad; dan 'illah.
2. Hadits Hasan: Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun
kualitas hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syad, dan illah.
3. Hadits Dhaif; Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan.
Bab 6

Ijtihad dan dinamika pemikiran Islam

Pengertian ijtihad

Secara bahasa : berasal dari kata al-juhdi pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan.

Secara Istilah : pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang mujtahid (ahli hukum Islam) untuk
memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara'.

Ibrahim Husin: Ijtihad identic dengan istinbath.

Kebutuhan terhadap ijtihad:

1. Menjelaskan hukum yang ada dalam al-Quran dan hadits.


2. Merumuskan hukum perkara baru yang tidak ada dalam al-Quran dan hadits.

Bentuk dalil dan permasalahan

1. Qath’i: jelas dan tegas = jumlah rakaat sholat farhdu.


1) Masalah akidah, masalah yang menentukan iman dan kufur, rukun iman:
2) Masalah amaliha, yaitu masalah ibadah yang sudah ditetapkan ketentuannya oleh
nash, rukun Islam
3) aidah-kaidah hukum yang pasti, yang bersumber dari nash qath'i. Misal: kaedah la
dharar wa la dirar yang sesuai dengan al-Quran: wala tulgu bialdikum ila al-tahlukah
2. Zhanni: belum jelas dalilnya sehingga memungkinkan timbul perbedaan pendapat
1) Pendapat para ulama,
2) Masalah yang belum ditentukan detilnya oleh nash
3) Kaidah dan hasil kiyas

Fungsi ijtihad:

1. Al-iadah : mengembalikan ajaran Islam ke sumber pokok


2. Al-ihya : menghidupkan Kembali ajaran Islam sehingga relevan dengan kebutuhan
3. Al-inabah : pembenahan ijtihad terdahulu yang mungkin tidak relevan lagi

Syarat ijtihad:

1. Ada permasalahan baru yang belum diterangkan nash;


2. Ada mujtahid yang kompeten
3. Mujtahid fihi: hukum syariah bersifat amali/taklifi;
4. Dalil syara': menentukan suatu hukum

Pembagian Mujtahid:

1. Mujtahid Mutlak; mampu menyusun metode ijtihad baru tanpa mengikuti mujtahid yang
lain.
2. Mujtahid Mazhab: berijtihad mengikuti mujtahid lain

Kelompok Islam dalam konteks ijtihad

1. Mujtahid : orang yang menyusun dan merumuskan hukum baru


2. Muttabi : orang yang mengikuti pendapat orang lain, dan mengetahui sumber pendapat
3.
Persoalan Talfig: mencari dan menggabungkan berbagai pendapat tentang suatu permasalahan
dari berbagai pendapat imam mazhab

Metode ijtihad/istinbath Hukum

1. bayani; berdasarkan nash.


2. kiyasi; berdasarkan kiyas.
3. Istishlahi berdasarkan kemaslahatan

alternatif penggunaan metode ijtihad

1. hierarki: menggunakan secara beruturan dari yang lebih tinggi.


2. proporsional: memberlakukan ketiga metode tersebut tidak secara berurutan, tetapi
berdasarkan masalahnya.
3. eklektik: menggabungkan tiga metode dalam menentukan hukum.

sebab perbedaan hasil ijtihad

1. Perbedaan dalam memahami al-Quran dan hadis.


2. Perbedaan status Hadits yang digunakan
3. Perbedaan prinsip hukum yang digunakan
4. Perbedaan kemampuan mujtahid
5. Perbedaan metode/model ijtihad

Bab 7

Makna sejarah
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti
ketentuan masa atau waktu, sedang 'Ilmu Tarikh ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-
peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya
peristiwa tersebut. Sedangkan menurut istilah, al-tarikh berarti; "sejumlah keadaan dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar- benar terjadi pada diri individu atau masyarakat,
sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia".
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah "pengetahuan
atau uraian tentang peristiwa- peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa
lampau. Dan Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly desription of past
events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau).
Sejarah memang berbeda dengan hikayat, kisah, legenda, dan sebagai nya. Sejarah harus
dapat dibuktikan kebenarannya dan harus logis, karena itu semua cerita yang tidak masuk akal
apalagi tidak bisa dibuktikan kebenarannya tidak bisa dikatakan sejarah. Dalam sejarah berlaku
hukum sebab akibat, walaupun tidak semua sebab yang sama melahirkan akibat yang sama,
demikian pula tidak selamanya akibat yang sama itu mesti dilahirkan oleh sebab yang sama.
Pada saat sejarah hanya berupa catatan peristiwa atau kejadian, mung- kin orang tidak
berselisih pendapat. Tetapi ketika menyangkut interpretasi- nya, maka timbullah perbedaan
pendapat. Karena yang membuat sejarah adalah manusia dan yang mencatat atau menulisnya adalah
manusia, sehingga keragaman dalam menginterpretasikan suatu peristiwa atau kejadian adalah suatu
yang tidak bisa dielakkan selaras dengan pembawaan manusia itu sendiri.
Periodisasi sejarah islam

Di kalangan ahli sejarah terdapat perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya sejarah
Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah
Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul, dan berada di Mekkah
atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu
dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi SAW atau tepatnya setelah Nabi SAW
berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah
(kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah
Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan
sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam belum yang disebutkan secara tegas
dalam periode klasik tersebut.
Hasjmy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan
Islam kepada sembilan periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan sosial
dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu, yakni:

1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirnya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun
sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 601 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 Hadits (661-750M);
3. Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H (750-847 M);
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 Hadits (847-946 M); 5. Masa Daulah Abbasiyah III:
dari tahun 334-467 H (946-1075 M); 6. Masa Daulah IV: dari tahun 467-656 Hadits (1075-1261):
7. Masa Daulah Mangolilah: dari tahun 656-925 H (1261-1520 M);
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 Hadits (1520-1801 M);
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H (1801 M)
Disisi lain Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga
(3) periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M); periode pertengahan (1250-1800 M): dan
periode modern (1800 M-dan seterusnya).
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masing3masing periode sejarah islam

periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu :

1. Periode Praklasik (610-650 M)

a. Fase Pembentukan Agama (610-650 M)


Pada fase ini Nabi SAW. melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta
pengalaman ibadah di kalangan umat Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima
wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi SAW memperkenalkan Islam
kepada masyarakatnya di Mekkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan
melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti
terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, pelalui pendekatan pribadi.
Kedua, dilakukan secara semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganys yang lebih luas
dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani
Abdul Muthalib (Baca QS. as-Syu'ara: 214). Namun demikian di kalangan mereka banyak
yang tidak tertarik ter-hadap Islam, bahkan berusaha meninggalkan Nabi SAW. serta
mengejeknya. Ketiga, dilakukan secara terbuka dan terang-terangan di hadapan masyarakat
umum dan luas(Baca QS. al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi SAW beserta para pengikutnya
menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya
mengakibatkan kematian.
b. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
c. Fase Pra-Ekspansi (640-650 M). Yang Merupakan Fase Ekspansi Pertama
(Pendahuluan), Yang Pada Dasarnya Dapat Dibagi Ke Dalam 4 Fase, Yaitu:

1) Fase konsolidasi
2) Fase pembuka jalan
3) Fase pemerataan jalan
4) Fase jalan buntu

2. Periode Klasik (650-1250 M)

Pada periode klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution telah membagi
periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:

a. Fase Ekspansi, Integritas, Dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)


b. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)

3. Periode Pertengahan (1250-1800 M)

Periode pertengahan ini juga dibagi kedalam (2) fase, yaitu

a. Fase Kemunduran (1250-1500 M)


b. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) Yang Dimulai Dengan Zaman
Kemajuan (1500-1700 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman
Empire) Di Turki, Kerajaan Safawi Di Persia, Dan Kerajaan Mughal Di India.

4. Periode Modern (1800 M-Dan Seterusnya)

Periode ini merupakan zaman kebangkitan umat Islam, ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir
pada tahun 1801 M yang berakibat jatuh- nya Mesir ke tangan Barat, membuka mata dunia Islam
terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam dibanding dengan kemajuan
dan kekuatan Barat yang baru bangun dari tidurnya tahun 1000 M. Atas dasar itulah, maka raja-raja
dan para pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam
kembali, serta mencari jalan untuk mengembalikan balance of power yang telah pincang dan
membahayakan kehidupan umat Islam.

Masalah kepemimpinan umat setelah nabi muhammad saw wafat

Sebelum Nabi Muhammad SAW. wafat, ternyata beliau tidak memberi petunjuk/wasiat
tentang siapa hendak menggantikannya atau memimpim umat setelah beliau wafat. Sehingga
masalah kepemimpinan umat menjadi perhatian yang serius di kalangan sahabat setelah beliau
wafat. Pemilihan seorang pengganti Nabi untuk memimpin umat ini amat diperlukan guna
melanjutkan cita-cita perjuangan Nabi dalam rangka pengembangan (dakwah) agama Islam.
1. Model-model Pemilihan Pemimpin Umat (Khalifah)

a. Pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah (632-634 M/11-13 H)


b. Proses pemilihannya
c. Masalah keterlambatan baiat Ali terhadap Abu Bakar
d. Pemilihan Umar bin Khathab sebagai Khalifah (623-644 M/13-23 H)
e. Pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah (644-656 M/23-25 H)
f. Pemilihan Ali bin Abi Thalib sebgai Khalifah (656-661 M/35-40 H)

2. Strategi Kepemimpinan Abu Bakar

Ditinjau dari segi politis, situasi kepemimpinan Abu Bakar lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan masa-masa berikutnya, sehingga para sahabat banyak berkumpul di Madinah. Sedangkan
kekuatan yang sangat menentukan keberhasilan ini adalah dukungan mutlak dari Umar bin Khatbah,
sahabat yang paling disegani oleh kaum muslimin saat itu, bahkan karena alasan ini pula Abu Bakar
menunjuk Umar sebagai penggantinya. Kepemimpinan Abu Bakar dapat disimpulkan dari sisi
pidatonya pada hari pembaiatan, kebijakan-kebijakan yang disampaikan secara terbuka kepada umat
Islam di Masjid Nabawi, sehingga menimbulkan “sense of belonging” pada kalbu umat terhadap
misi2 kepemimpinannya.
3. Kepemimpinan Umar Bin Khatab

Umar bin Khathab menjadi khalifah atau memimpin umat Islam selama 10 (sepuluh) tahun (13-23
H/634-644 M). Kepemimpinan Umar bin Khathab ditandai dengan perluasan wilayah (ekspansi),
menembus batas budaya regional sampai Irak dan Persia di Timur, Suriah di Utara dan Mesir di Barat,
keberhasilannya menjaga stabilitas negara menunjukkan kenegarawanannya. Selama
kepemimpinannya Umar Bin Khathab mengemukakan beberapa inovasi baik di bidang pemerintahan,
moneter, hukum, kemiliteran, infrastruktur sosial ekonomi, maupun bidang pendidikan, dan agama.
4. Kepemimpinan Usman Bin Affan

Pemerintah yang dipegang oleh Usman berarti penggantian sistem pemerintahan radikal, keras dan
disiplin dengan sistem lemah lembut, yang hal ini mungkin ada kaitannya dengan sikap pribadi
Usman sendiri sebagai seorang kaya tetapi dermawan dan pemurah. Pada masa pemerintahan
Usman juga terlihat beberapa pembangunan yang menonjol seperti pembangunan armada laut,
pembangunan Masjid Nabi di Madinah, dan membentuk satu panitia untuk menghimpun
membukukan Al-Qur’an.
Usman menduduki jabatan khalifah selama 12 (dua belas) tahun. Para pengamat sejarah menilai
kepemimpinan Usman pada enam tahun pertama sebagai kepemimpinan yang baik, tetapi pada
enam tahun berikutnya dinilai kurang baik. Malahan dia dituduh sebagai seorang nepotis oleh lawan-
lawan politiknya. Namun dalam kenyataannya Usman mengangkat saudara-saudara sepupunya pada
posisiposisi strategis, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dilihat dari segi itu memang cukup
beralasan untuk menuduh Usman sebagai nepotis.
5. Tragedi Kematian Usman Bin Affan Dan Dampaknya Dalam Perjalanan Sejarah Umat Islam

Tragedi kematian Usman tersebut mempunyai dampak yang panjang terhadap sejarah Islam. Yang
paling dekat adalah dirasakan oleh Ali bin Abi Thalib sewaktu dia menjadi khalifah, semenjak
kematian Usman, pemerintahan Ali tidak pernah dalam suasana tenang dan tenteram. Inilah buah
akibat (dampak) langsung yang dirasakan oleh Ali dan tidak berhasilnya Ali dalam menahan lajunya
kekuasaan Umaiyah menjadi pembatas berakhirnya sistem khalifah dan diganti dengan sistem
kerajaan.

6. Kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib


Tampilnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dianggap kemenangan bagi pihak yang menganut ide
hak legitimasi. hal ini tidak dikehendaki oleh Ali sendiri, namun yang jelas keadaan ini telah
menempatkan posisi Ali menjadi sulit dan tidak menguntungkan. Selama 5 (lima) tahun Ali bin Abi
Thalib memangku jabatan khalifah, sejak semula dia harus menghadapi bermacam-macam reaksi
yang keras. Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah dan Zubair, mereka beroposisi dengan Ali dengan cara
meninggalkan Madinah. Ali terlebih dahulu melakukan menindas gerakan oposisi yang dilakukan oleh
Aisyah, Thalhah dan Zubair, sehingga terjadilah perang jamal (unta).

Dalam perang Jamal tersebut kemenangan berada dipihak Ali. Sedangkan dalam perang antara Ali
dan Mu'awiyah di Shiffin di tebing sungai Tigris, posisi Ali menjadi makin terpojok. Bukan saja perang
itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan pihak Ali, bahkan sebagai akibat dari
kasus tahkim tersebut kubu Ali sendiri menjadi terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
Syi'ah di satu pihak tetap setia kepada Ali; dan kelompok Khawarij di lain pihak yang beroposisi baik
terhadap Mu'awiyah maupun terhadap Ali sendiri.

Bab 8

Studi Aqidah akhlak

Pengertian Aqidah

Secara etimologi : Aqidah = agada, yaʼaidu, aqidatan simpulan, ikatan, perjanjian iman, kepecayaan,
dan keyakinan.

Secara terminologi : Aqidah adalah kepercayaan yang tertanam dalam hati.

Hasan al-Banna: Aqidah adalah suatu yang seharusnya hati membenarkannya, sehingga menjadi
ketenangan jiwa, yang menjadi kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.

Ciri Aqidah:

1. Didasarkan pada keyakinan hati, tidak harus rasional.


2. Sesuai dengan fitrah manusia sehingga jiwa menjadi tenteram.
3. Merupakan perjanjian kokoh sehingga harus dijalankan dengan penuh keyakinan.
4. Diucapkan dengan syahadat dan diamalkan dalam bentuk perbuatan.
5. Persoalan aqidah merupakan supraempiris sehingga membutuhkan wahyu sebagai dalil

Istilah lain dari Aqidah:

1. Iman
2. Tauhid
3. Ushuluddin
4. Ilmu kalam
5. Figh Akbar
6. Teologi Islam (sebagai disiplin keilmuan

Unsur Aqidah:

1. Ikrar lisan
2. Keyakinan hati
3. Perbuatan anggota tubuh

Pengertian akhlak
Secara Etimologi : khuluq = budi pekerti dan karakter, etika, moral

Secara Terminologi : suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dapat dilakukan tanpa
dipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dahulu

Imam Ghazali: Aqidah adalah citra manusia : khalq citra fisik, khula citra psikis

Ciri akhlak:

1. Ekspresi sifat dasar seseorang yang konstan dan tetap;


2. Suatu kebiasaan sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu pertimbangan mendalam.
3. Merupakan keyakinan yang dijalankan tanpa keraguan

Faktor Pembentuk Akhlak :

1. Keluarga
2. Teman
3. Pendidikan
4. Lingkungan
5. Agama

Fase Pembentukan Akhlak

1. alam Rahim
2. Bayi
3. Anak-anak
4. Dewasa
5. Remaja

Metode pencapaian Aqidah dan akhlak

1. Doktriner : yang bersumber dari wahyu Ilahidan disampaikan melalui Rasul-Nya


2. Metode hikmah (filosofis) : tuhan mengarahkan kebijaksanaan dan kecerdasan berpikir
kepada manusia untuk mengenal adanya tuhan
3. Metode ilmiah : dengan memperhatikan fenomena alam sebagai bukti adanya Allah SWT
4. Irfani’ah :metode yang menekankan pada intuisi dan perasaan hati seseorang setelah melalui
upaya suluk

Anda mungkin juga menyukai