A. KASUS
Sampel feses dan urin pasien laki – laki A, berusia 10 tahun dengan
1
Pemeriksaan Urin 27 Januari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Makroskopis:
Warna Kuning Kuning – coklat
Kekeruhan + Negatif
BJ 1.030 1.003 – 1.030
PH 5.5 4.6 – 8.0
Mikroskopis:
Leukosit 1–2 /LPB ≤5
Eritrosit 0–1 /LPB ≤1
Silinder Negatif /LPK Negatif
Kristal Negatif /LPK Negatif
Epitel Positif /LPK Positif
Yeast Negatif
Bakteri Negatif
Kimia:
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Positif Positif
Kesan : Hasil dalam batas normal
Keluhan Utama : Buang air besar (BAB) berdarah tiga hari yang lalu
- Buang air besar berdarah sejak tiga hari yang lalu, warna merah terang,
frekwensi 1 kali / hari
- Anak sering merasa letih dan mudah lelah sejak tiga bulan yang lalu
- Tampak pucat sejak satu bulan yang lalu
- Riwayat perdarahan dari tempat lain tidak ada
- Riwayat mendapat transfusi tidak ada
- Demam tidak ada, Riwayat demam berulang sebelumnya tidak ada
- Sesak nafas tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada
- Riwayat keluar cacing dari BAB 5 bulan yang lalu setelah anak minum
obat cacing
- Anak makan tiga kali sehari, ½ piring perkali dengan lauk ikan saja,
jarang makan daging dan sayur, nyeri menelan disangkal
2
- Buang air kecil, jumlah dan warna biasa
- Pasien sebelumnya berobat ke RSUD Pariaman, telah dilakukan
pemeriksaan darah dengan hasil Hb: 5,9 g/dL, leukosit: 10.650/mm3,
trombosit: 156.000/mm3, Ht: 22%, GDR: 116 mg/dL, kemudian dirujuk
ke RSUP DR M Djamil dengan keterangan hematoschezia dengan anemia
berat.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sering mengeluh nyeri perut yang tidak khas dan hilang timbul.
PEMERIKSAAN FISIK :
- Keadaan Umum : sedang
- Kesadaran : composmentis
- Nadi : 96 x/menit
- Suhu : 36,8 C
- Pernafasan : 22 x/menit
- Sianosis :Tidak ada
- Berat badan : 22 Kg
Kulit : teraba hangat, tampak pucat
Dada
Jantung : Inspeksi : Ictus tidak terlihat
3
Perkusi : Batas jantung masih dalam batas normal
Riwayat Keluarga :
Ibu : 50 thn, SLTA, IRT
Bapak : 52 thn, SD, Nelayan, Rp 50.000/ hari
Anak ke 4 dari 5 bersaudara
Riwayat Imunisasi : imunisasi dasar lengkap
4
Pemeriksaan Hematologi tanggal 26 Januari 2017
Parameter Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Follow Up
27 Januari 2017
S : Demam (-), sesak nafas (-) perdarahan baru (-)
5
muntah (-) , BAK (+), BAB (+)
30 Januari 2017
S : Anak sudah mendapatkan obat cacing, demam (-) batuk (-)
Sesak (-), Perdarahan baru (-)
6
B. TINJAUAN PUSTAKA
I Trikuriasis
I. I Definisi dan etiologi
Trikuriasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura yang
melekat pada mukosa usus manusia, terutama di daerah kolon (Eisenberg, 1983;
Faust & Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996; hunter et al., 1996; Prasetyo,
2003; Schmidt et al., 2005)
1.2 Trichuris trichiura
I 2.1 Morfologi
T.trichiura pertama sekali ditemukan oleh Linnaeus (1771). Siklus hidup
T.trichiura pertama sekali dipelajari oleh Grassi (1887), selanjutnya oleh
Fulleleborn (1923) dan Hasegawa (1924) (dikutip dari Eisenberg, 1983).
T.trichiura berbentuk mirip cambuk, sehingga disebut sebagai cacing cambuk
(Behrman & Vaughan, 1995; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles,
1971). Bagian anteriornya yang merupakan 3/5 bagian tubuhnya, halus mirip
benang. Sedangkan 2/5 bagian tubuhnya merupakan bagian posterior yang tampak
lebih tebal. Bagian kaudal cacing jantan melengkung ke ventral 360 0 dan
dilengkapi dengan spikulum. Bagian kaudal cacing betina membulat dan tumpul
mirip koma (Brown & Neva, 1983; Hunter et al., 1976). Panjang cacing betina 35-
50 mm dan panjang cacing jantan 30-45 mm ).
7
berisi massa granula yang seragam, berwarna kuning (Faust & Russel, 1965;
Hunter et al., 1976; Prasetyo, 2003; Schmidt et al., 2005; Soedarto, 2008)
8
dengan infeksi ascariasis (Behrman & Vaughan 1995; Faust & Russel, 1965;
Garcia & Bruckner, 1996; Soedarto, 2007). Jumlah cacing dapat bervariasi,
apabila jumlahnya sedikit, biasanya tanpa gejala (Behrman, 1995; Eisenberg,
1983; Hunter, 1976). Infeksi T.trichiura hanya ditularkan dari manusia ke
manusia, sehingga cacing ini bukan parasit zoonotik (Soedarto, 2007).
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang penting dalam proses
transmisi, sanitasi yang buruk, higienitas yang jelek, populasi yang padat,
umumnya dijumpai pada tempat yang kumuh dan tingkat sosioekonomi yang
rendah sangat menguntungkan perkembangan cacing T.trichiura. Indonesia
mempunyai empat area ekologi utama terhadap transmisi T.trichiura yaitu dataran
tinggi, dataran rendah, kering dan hujan (Keisser & Utzinger, 2008; Schmidt et
al., 2005).
Angka prevalensi tertinggi terjadi pada anak umur 5-15 tahun, yang
terinfeksi karena terlelan telur yang infeksius dari tanah yang terkontaminasi
(Montresor, 1998; Pasaribu & Lubis, 2008; Rudolph & Hoffman, 1987). Telur
T.trichiura tidak dapat bertahan dalam suasana yang kering (37 oC) atau yang
dingin sekali (Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1976). Temperatur lethal
untuk T.trichiura +52oC dan -9oC, oleh karena itu, trichuriasis lebih sering terjadi
di daerah yang hangat dan lembab. Telur dengan lingkungan yang optimal dapat
bertahan 6 tahun (Warren & Mahmoud, 1984).
Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi
cacing Soil transmited Helmint (STH), terutama anak kecil yang bermain di tanah.
Anak yang bertempat tinggal di lingkungan sanitasi buruk dan hiegenitas yang
rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi (Brown & Neva, 1983;
Maegraith & Gilles, 1971; Hunter et al., 1976). Sekolah di pedesaan biasanya
suplai air ataupun fasilitas jamban kurang memadai, pendidikan higienie yang
rendah dan tumpukan sampah di lingkungan sekolah juga mendukung tingginya
prevalensi (Brooker et al., 2006; WHO, 2003).
1.4 Gejala Klinis dan Diagnosis
1.4.1 Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing. Jumlah
cacing yang besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri, nyeri perut, mual-
9
muntah, berat badan menurun dan prolapsus ani (Behrman & Vaughan, 1995;
Eisenberg, 1983; Garcia & Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles, 1971).
T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml darah/hari/ekor
cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada
perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus lain.
(Behrman, 1995; Brown & Neva, 1983; Faust & Russel, 1965; Hunter et al.,
1966 ; Schmidt et al., 2005)
1.4 2 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur cacing T.trichiura
dalam tinja (Behrman & Vaughan, 1995; Brown & Neva, 1983; Soedarto, 2007).
Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan
tehnik hapusan tebal cara Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas
infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja
(Epg) (Brooker et al., 2006; Prasetyo, 2003).
Dengan metode Kato-Katz, penghitungan egg per gram (Epg) didapat
dengan mengalikan jumlah telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi.
Faktor ini bervariasi bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO
merekomendasikan hapusan yang menampung 41,7 mg tinja , di mana dengan
faktor multiplikasinya 24 (Prasetyo, 2003).
WHO menetapkan derajat intensitas infeksi sebagai berikut (Katzung, 2004) :
a. Derajat ringan : 1 – 999 Epg
b. Derajat sedang : 1.000 – 9.999 Epg
c. Derajat berat : > 10.000 Epg
2. Pengobatan
WHO memberikan empat daftar anthelmintik esesial yang aman dalam
penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole dan
pirantel pamoat. Jika diberikan secara regular pada komunitas yang terinfeksi,
obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan
infeksi cacing yang endemis (Keisser & Utzinger, 2008).
2.1 Albendazol
Albendazol merupakan anthelmintik golongan benzidazol dengan nama
kimia methyl [5-(propylthio)-1 H-benzimidazol-2-yl] carbamate. Albendazol
10
termasuk anthelmintik dengan spektrum luas, yang efektif terhadap berbagai
cacing intestinal dan infeksi cacing jaringan. Albendazol mempunyai mekanisme
kerja mengganggu biokimia dari nematoda yang rentan. Efek metabolit
albendazole sulfoxide diperkirakan menghambat sintesis mikrotubulus dalam
nematoda secara selektif dan irreversible dalam menurunkan atau menghambat
pengambilan glikogen nematoda, nematoda usus akan dilumpuhkan secara
perlahan, sehingga mengganggu berbagai stadium pada perkembangan parasit
tersebut. Akibatnya cadangan glikogen menjadi habis, sehingga terjadi penurunan
atau gangguan dalam produksi adenosine triphosphate (ATP) dan mencapai tahap
dimana kadar energi inadekuat, menyebabkan parasit tidak dapat hidup (Katzung,
2004).
Albendazol memiliki efek larvasidal (pembunuh larva) dan efek ovisidal
(pembunuh telur). Albendazol tersedia dalam bentuk tablet dan cairan, sediaan
200 mg dan 400 mg (Bennett & Brown 2008; Brenner & Steven, 2010; Katzung,
2004).
2.2 Dosis Albendazol
Dosis Albendazole (Katzung, 2004; Tan & Rahardja, 2008)
a. Untuk dewasa dan anak-anak > 2 tahun diberikan 1 kaplet 400 mg atau 10 ml
suspensi yang mengandung 400 mg sebagai dosis tunggal.
b. Pengobatan tidak memerlukan puasa atau pemakaian obat pencahar.
2. 3 Farmakokinetika Albendazol
Albendazol merupakan suatu benzimidazole carbamate. Setelah
pemberian per oral, albendazol diserap secara tidak teratur dan dengan cepat
mengalami metabolisme lintas pertama dalam hati menjadi albendazole sulfoxide
dan metabolit lain (dalam jumlah yang lebih kecil). Sekitar 3 jam setelah
pemberian dosis oral 400 mg, sulfoxide tersebut mencapai konsentrasi plasma
maksimum 113-367 ng/ml ; waktu paruh plasmanya 8-12 jam. Kadar plasma
menurun seiring dengan kesinambungan pengobatan. Sebagian besar sulfoxide
tersebut mengikatkan diri pada protein dan didistribusikan ke dalam jaringan,
termasuk ke dalam cairan empedu dan cairan serebrospinal (perbandingan serum
terhadap cairan serebrospinal adalah 2:1) ( Katzung, 2004).
11
Ekskresi sulfoxide diduga melalui saluran empedu, karena kurang dari 1%
dari zat yang bersangkutan didapati dalam urine. Penyerapan albendazol
meningkat hingga lima kali lipat saat dikonsumsi dengan makanan berlemak, dan
hingga empat kali lipat saat dikonsumsi dengan praziquantel (Chaudhry et al.,
2004; Warren& Mahmoud, 1984)
C. Analisa Kasus
12
ini menunjukkan gejala anemia akibat perdarahan kronis di saluran pencernaan
yang diakibatkan oleh cacing. Riwayat keluar cacing dari BAB 5 bulan yang lalu
setelah minum obat cacing. Warna darah merah terang pada BAB menunjukkkan
adanya perdarahan saluran pencernaan dibawah ligamentum Treitz.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit tampak pucat, konjungtiva anemis
yang sesuai dengan gejala anemia.. Organomegali dan pembesaran KGB tidak
ditemukan pada pasien ini sehingga kemungkinan anemia hemolitik dan
keganasan darah dapat disingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium Hematologi tanggal 26 Januari 2017,
didapatkan hasil Hb 5,1 g/dL, eritrosit 3,9 juta, hematokrit 21 %, retikulosit 0,3
%, MCV 53 fL, MCH 13 pg, MCHC 24 %. gambaran darah tepi mengesankan
anemia mikrositik hipokrom. Parameter hematologi diatas sesuai dengan anemia
defisiensi Fe.. Eosinofil 7 % (eosinofilia), yang dapat terjadi salah satunya pada
kasus infeksi cacing.
Untuk menentukan etiologi anemia defisiensi Fe, beberapa langkah yang
harus dilakukan yaitu analisa makanan, tes darah samar, pemeriksaan tinja untuk
mencari telur cacing.
Analisa makanan, pasien jarang makan daging yang merupakan salah satu
sumber besi heme dari diet. Besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan
tubuh untuk pembentukan hemoglobin. Dalam proses eritropoesis, dimana zat
besi digunakan secara terus-menerus. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan
dengan tingkat absorbsi dan bioavaibilitasnya tinggi. Pasien yang masih dalam
masa pertumbuhan membutuhkan sekitar 0,5 – 1 mg/hari zat besi. Konsumsi
daging yang rendah menyebabkan suplai zat besi terganggu yang pada akhirnya
mengganggu sintesis hemoglobin dan menyebabkan anemia defisiensi besi.
Analisa feses tanggal 27 Januari 2017 ditemukan telur Trichuris tricura.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Trichuris trichiura disebut trikuriasis.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50 – 54 mikron x 32 mikron dengan bentuk
seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang cernih pada kedua katub.
Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dengan bagian dalam jernih. Cacing
betina Trichiuris tricura. menghasilkan 2000-10.000 telur perhari. (Barker, 2000;
Gandahusada, 2003). Trikuriasis merupakan infeksi cacing cambuk yang
13
menyebabkan iritasi mukosa saluran pencernaan sehingga menyebabkan
perdarahan saluran cerna. Perdarahan saluran pencernaan yang berlangsung
kronik dapat menyebabkan anemia Faktor kebiasaan dan sanitasi lingkungan
serta higiene pasien yang terkesan kurang baik (rumah semipermanen, sampah
yang dibuang dibelakang rumah dan kebiasaan BAB di jamban sungai)
mendukung untuk pertumbuhan telur T. triciura menjadi infekstif. Pasien yang
masih usia anak-anak yang mempunyai kebiasaan main ditanah dengan teman
sekolahnya . Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing.
Apabila infeksi terus berlangsung bisa menyebabkan perdarahan kronis dan
berlanjut menjadi anemia defisisensi besi.
Tes darah samar penting sekali untuk mengetahui adanya perdarahan kecil
yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopi atau mikroskopi. Pasien ini
dirujuk dengan diagnosis hematoksezia, tetapi pada saat pemeriksaan rektum di
IGD tidak ditemukan darah sehingga sangat diperlukan pemeriksaan darah
saamar. Adanya Perdarahan saluran pencernaan terbukti dengan pemeriksaan tes
darah samar feses yang Positif menggunakan alat Fecal Occult Blood dan
Transferin Rapid Test (FOBT). Test FOB merupakan alat pengukur kualitatif
darah samar yang terdapat dalam feses manusia pada beberapa macam penyakit
saluran pencernaan dan dapat mendeteksi Hb (cut off 100 ng Hb/ml feses, spesifik
human hemoglobin), dan transferin (cut off 40 ng/ml). Tes tradisional seperti
metode guaiac memiliki banyak kekurangan serta tidak spesifik. Test FOB tidak
memerlukan diet ketat sebelum dilakukan pemeriksaan. Test FOB menggunakan
partikel anti human hemoglobin dan anti transferin antibody dilapisan membran
dengan akurasi 98 %, sensitivity 93,6 %, specificity 99,1 %. (brosur FOBT).
Jumlah darah yang dikeluarkan melalui feses dalam keadaan normal
adalah sekitar 0,5 - 1,5 ml, yang menghasilkan kurang dari 2 mg hemoglobin per
gram feses (Beg et al., 2002). Darah yang keluar sejumlah 2,8 ml/hari pada
saluran cerna sudah memberikan tanda pada feses (Melanson et al., 2005;
Fischbach & Dunning, 2009). Karakteristik perdarahan saluran cerna dibagi
menjadi hematokezia, melena, dan darah tersamar. Perdarahan saluran cerna
bagian atas berasal dari proksimal ligamentum Treitz, terutama dari duodenum,
menghasilkan feses berwarna coklat tua atau hitam, yang biasa disebut dengan
14
melena (Farrel et al., 2005; Barnert & Messmann, 2009). Melena muncul setelah
hemoglobin yang berkontak dengan asam lambung dikonversi menjadi hematin
atau hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam (Cavanough, 2003). Melena
menunjukkan adanya perdarahan SCBA dan usus halus, namun dapat juga
disebabkan oleh perdarahan pada kolon sebelah kanan dengan perlambatan
mobilitas (Pangestu, 2006; Fischbach & Dunning, 2009).
Perdarahan dari saluran cerna bagian bawah merupakan perdarahan yang
berasal dari usus di bawah ligamentum Treitz. Feses yang dihasilkan berwarna
merah terang yang disebut hematokezia (Barnert & Messmann, 2009).
Hermorroid menghasilkan feses dengan darah yang menetes, terdapat di
permukaan dan disertai dengan rasa tidak enak pada anus, sedangkan pada kanker
kolorektal, bila lokasi di proksimal maka feses akan bercampur darah.
Hematockezia juga dapat ditemukan pada kolitis, divertikel kolon, inflammatory
bowel disease.
Perdarahan samar pada saluran cerna adalah perdarahan yang tidak tampak
secara nyata pada pemeriksaan makroskopis feses. Kehilangan darah dapat
mencapai 150 ml dari usus proksimal tanpa menimbulkan melena. Kebanyakan
perdarahan samar saluran cerna bersifat kronik dan bila cukup banyak akan
menimbulkan anemia defisiensi besi yang cukup nyata. Penyebab tersering dari
perdarahan samar saluran cerna adalah penyakit asam lambung, dan tumor
kolorektal merupakan penyebab kedua terbanyak (Farrel et al., 2005; Abdullah,
2006b)
Colonoskopi dianjurkan pada pasien ini. Colonoskopi bertujuan untuk
menentukan penyebab hematoscezia apakah ada keganasan, kolitis, divertikel
kolon yang menyebabkan keluar darah dari anus yang berwarna merah terang.
Pada kasus suspek infestasi cacing colonoskopi merupakan alat diagnostik yang
sangat berguna terutama ketika infeksi hanya oleh T. trichiura jantan dengan
jumlah sedikit dan tidak ditemukan telur di pemeriksaan analisa feses.
Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et
al sebagai berikut: Anemia mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi, atau
MCV < 80 fl dan MCHC < 31 % dengan salah satu 4 kriteria.: 1. Dua dari tiga
15
parameter ; a. Besi serum < 50 mg/dl, b. TIBC > 350 mg/dl, c. Saturasi tranferin <
15 %. 2. Feritin serum > 350 µg/dl. 3. Pengecatan SST menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif. 4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200
mg/hari (atau preparat besi lain yang setara ) selama 4 minggu disertai kenaikan
kadar hemoglobin > 2 g/dl. eosinofil 7 % (eosinofilia) yang bisa terjadi pada
infeksi cacing. Pasien ini memenuhi kriteria anemia defisiensi Fe menurut Kerlin
et al yaitu dari sediaan hapus darah tepi ditemukan gambaran anemia mikrositik
hipokrom, MCV < 80 fL, MCHC < 31 % serta eosinofilia karena disebabkan oleh
cacing.
Untuk menentukan jenis anemia, pada pasien ini dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan feritin, SI,/ TIBC. Feritin adalah protein yang penting
dalam proses metabolisme besi dalam tubuh. Sekitar 25 % dari jumlah total zat
besi berada dalam bentuk cadangan zat besi (depot iron) berupa feritin dan
hemosiderin. Lokasinya sebagian besar dalam sel yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan, di makrofag limpa, hati, sumsum tulang dan otot rangka (Lynch,
2007). Sejumlah kecil feritin berada dalam serum. Rentang normal pada laki-laki
15 - 400 ng/mL dan 10 - 200 ng/mL pada perempuan usia reproduktif.. Feritin
pada anemia defisiensi besi sangat rendah (Bridge, 2008). Pasien ini dianjurkan
untuk pemeriksaan feritin, tetapi sampai akhir rawatan tidak dilakukan
pemeriksaan feritin.
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya. Pada kasus ini penyebab anemia
defisiensi besi adalah trikuriasis, maka diberikan terapi Albendazol
dengan dosis 1 x 400 mg (dosis tunggal ) . Albendazol merupakan
kelompok obat antelmintik spektrum luas untuk mengobati infeksi cacing
tambang, gelang, cambuk, kremi, pita. Mekanisme kerja obat ini adalah
dengan mencegah cacing menyerap glukosa sehingga akhirnya kehabisan
energi dan mati sehingga bisa keluar melalui feses. Pada pasien ini ada
riwayat keluar cacing dari BAB setelah minum obat cacing. Pasien ini
diberikan dosis 1 x 400 mg peroral (dosis tunggal) sesuai dengan
rekomendasi.
16
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.
Besi peroral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan
aman. (sulfas ferosus) . Pada Kasus ini pasien diberi tablet sulfas ferosus
2 x 1 tablet. Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong,
tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberiaan setelah
makan. Efek samping berupa mual, muntah serta konstipasi. Pengobatan
diberikan selama 6 bulan setelah kadar Hb normal untuk mengisi cadangan
besi tubuh. Kalau tidak, anemia sering kambuh kembali.
3. Pengobatan lain:
a. Diet sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein
terutama yang berasal dari protein hewani. Pada pasien ini diberikan
Makanan lunak (ML) 1600 kkal
b. Vitamin c; Vitamin c diberikan 3 x 100 mg perhari untuk
meningkatkan absorpsi besi. Pada pasien ini diberikan Vit C 2 x 1
tablet.
c. Transfusi darah; anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfusi
darah. Pada kasus ini pasien diberikan transfusi PRC 150 cc.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Ekspertise
TRIKURIASIS
Oleh:
Desta Purwati
Pembimbing:
2017
19
20