Tingkatan status gunung berapi di Indonesia menurut Badan Geologi Kementerian ESDM
Menandakan gunung berapi yang segera atau Wilayah yang terancam bahaya
sedang meletus atau ada keadaan kritis yang direkomendasikan untuk dikosongkan
menimbulkan bencana
Koordinasi dilakukan secara harian
AWAS
Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan
asap Piket penuh
Erupsi Hawaiian adalah erupsi gunung berapi yang memuntahkan lava mafik dengan kandungan gas
yang relatif sedikit. Erupsi ini hanya menghasilkan aliran lava cair, tetapi hanya sedikit mengeluarkan tefra.
Jenis erupsi ini dapat membentuk gunung berapi landai dengan diameter lebar seperti Gunung Mauna Loa.
Nama erupsi ini berasal dari nama gunung-gunung berapi di Hawaii.
Erupsi Strombolian memuntahkan magma dengan kekentalan dan kandungan gas yang lebih tinggi
daripada erupsi Hawaiian. Erupsi ini memiliki berupa letusan-letusan kecil yang terjadi tiap beberapa menit.
Nama erupsi ini berasal dari Stromboli, nama pulau dan gunung berapi di Italia.
Erupsi Vulkanian melepaskan magma dengan kekentalan yang lebih tinggi. Nama erupsi ini berasal
dari Vulcano, sebuah pulau gunung berapi kecil di daerah Mediterania.[23]:150
Erupsi Peléan ditandai dengan aliran piroklastik dari sisi puncak gunung berapi yang runtuh akibat
tekanan tinggi atau gempa bumi. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Pelée.[23]:152
Erupsi Plinian merupakan erupsi kuat yang melontarkan tefra dalam jumlah yang besar. Erupsi ini juga
dapat melontarkan sebagian besar kerucut gunung dan menyebabkan terbentuknya aliran piroklastik. Nama
ini berasal dari nama Plinius Muda yang mencatat erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 M.
Erupsi Krakatoan merupakan erupsi dahsyat yang mampu melontarkan nyaris keseluruhan kerucut
gunung. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda.
Intensitas erupsi gunung berapi diukur menggunakan Volcanic Explosivity Index (VEI) yang memiliki rentang
skala 0 untuk erupsi Hawaiian, hingga skala 8 untuk erupsi megakolosal.[8]:27-31
1. Gas vulkanik, campuran dari uap air, karbon dioksida, dan belerang (dapat berupa sulfur dioksida, SO2,
atau hidrogen sulfida, H2S, tergantung temperatur saat letusan)
2. Lava, magma yang mencapai permukaan Bumi
3. Tefra, material padat dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilontarkan ke udara
2/2
Dampak buruk[sunting | sunting sumber]
Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan akibat dari erupsi gunung berapi, seperti aliran piroklastik, lahar,
dan emisi karbon dioksida. Aktivitas vulkanik juga menyebabkan beberapa peristiwa lain seperti gempa
bumi, fumarol, kolam lumpur, dan geiser. Beberapa peristiwa tersebut sering kali memberikan dampak buruk
secara langsung bagi aktivitas manusia.
Gas vulkanik dapat mencapai lapisan stratosfer sehingga dapat membentuk aerosol asam sulfat yang mampu
menghamburkan radiasi dari Matahari dan menurunkan temperatur di permukaan Bumi. [30] Hal seperti ini
kemungkinan pernah terjadi pada Gunung Huaynaputina sekitar tahun 1600, ketika gas vulkanik di atmosfer
menyebabkan terjadinya bencana kelaparan Rusia antara tahun 1601-1603.[31] Reaksi kimia yang terjadi
pada aerosol sulfat di stratosfer juga dapat merusak lapisan ozon. Zat asam seperti hidrogen klorida (HCl)
dan hidrogen fluorida (HF) dapat jatuh ke permukaan Bumi sebagai hujan asam.[32] Erupsi eksplosif gunung
berapi juga dapat melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.
Abu vulkanik yang dilontarkan ke udara dapat membahayakan pesawat, terutama pesawat jet. Partikel yang
masuk ke dalam mesin jet dapat meleleh akibat temperatur tinggi dan turbin mesin. Selain itu, abu vulkanik
dengan kecepatan tinggi dapat merusak bagian luar pesawat, instrumen navigasi, dan sistem komunikasi.
[33]
Gangguan-gangguan seperti dapat menyebabkan terganggunya penerbangan akibat penundaan dan
pengalihan rute penerbangan.
Musim dingin vulkanik diduga sempat terjadi 70.000 tahun yang lalu ketika terjadinya erupsi dahsyat Gunung
Toba di Pulau Sumatra.[34] Peristiwa ini mungkin telah menyebabkan terjadinya leher botol populasi yang
memengaruhi genetika manusia zaman sekarang.[35] Pada tahun 1815, erupsi Gunung Tambora menyebabkan
anomali iklim global yang dikenal sebagai "Year Without a Summer".[36] Erupsi besar gunung berapi juga
kemungkinan telah menyebabkan setidaknya satu peristiwa kepunahan masal.[37]