Anda di halaman 1dari 36

RESUME CLINICAL REASONING (CR)

SKENARIO 1

Nama : Dimas Giri Nugraha

NPM : 118170040

Kelompok : 3B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2021
STEP 1

Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke poliklinik Rumah sakit dengan keluhan sesak dan
mudah lelah

SESAK
- Gagal jantung MUDAH LELAH
- Hipertensi - Anemia
- Kardiomiopati
- Pneumonia - Fibromyalgia
- TB Paru
-Endokarditis infektif - Edema paru
(EI)
- Cor Pulmonal kronik
-Asma

STEP 3

SESAK

1. Hipertensi
a. Etiologi
 Peningkatan darah sistolik lebih dari 140mmHg dan atau diastolik lebih dari
90mmHg.
 Hipertensi ada yang disebut primer jika penyebabnya tidak diketahui (90%)
dan disebut sekunder jika disebabkan penyakit lain.
b. Patogenesis
 Ada 4 faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi :
Peran volume intravaskular.
Peran kendali saraf autonom.
Peran renin angiotensin aldosteron (RAA).
Peran dinding vaskular pembuluh darah.
c. Gejala dan Tanda
 Berdebar-debar
 Rasa melayang (dizzy)
 Impoten
 Sesak nafas
 Sakit dada
 Bengkak kedua kaki atau perut
d. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : Cushing, perkembangan tidak proporsional
 Palpasi dan Auskultasi arterikarotis : stenosis atau oklusi
e. Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis : protein, leukosit, eritrosit, dan silinder
 Hemoglobin atau hematrokit
 Elektrolit darah : kalium
 Ureum atau Kreatinin
 Gula darah puasa
 Kolestrol total
 Tsh
 Leukosit darah
 Kalsium dan fosfor
 Foto toraks
 Trigliserida
f. Tatalaksana
 Non Farmako :
- GHBS (diet garam)
- Olahraga
- Berhenti merokok
- Turunkan BB
- Berhenti minum alkhohol
 Farmakologi :
- Captopril 50mg 2x1
- Enalapril 5mg 1-2x1
- Lisinopril 10mg 1x1
- Eprosartan 400mg 1-2x1
- Candesartan 4mg 1x1
- Atenolol 25-50mg 1x1
- Chlorthalidone 12,5mg 1x1
g. Komplikasi
 Otak
 Mata
 Jantung
 Pembuluh darah arteri
 Ginjal

2. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, sertamenimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh
hal lain (aspirasi, radiasi dll).
b. Manifestasi Klinis
- Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :
1. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C
2. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
- Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.
1. Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
2. Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit
3. Perkusi : redup di bagian yang sakit
4. Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah
kasar pada stadium resolusi.
- Pemeriksaan Penunjang
1. Pewarnaan gram
2. Pemeriksaan lekosit
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas tersedia
4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
5. Kultur darah jika fasilitas tersedia
c. Komplikasi
Efusi pleura, Empiema, Abses paru, Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.
d. Penatalaksanaan Komprehensif
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan
risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik.
1. Pengobatan suportif / simptomatik
a. Istirahat di tempat tidur
b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
c. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotic yang harus diberikan
kurang dari 8 jam.Pasien Rawat Jalan
a. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ;
- Makrolid:azitromisin, klaritromisin atau eritromisin (rekomendasi kuat)
- Doksisiklin (rekomendasi lemah)
b. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati atau penyakit
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, kondisi imunosupresif atau
penggunaan obat imunosupresif, antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor
risiko lain infeksi pneumonia :
- Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, atau levofloksasin (750 mg)
(rekomendasi kuat)
- ß-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari) (rekomendasi kuat) Alternatif
obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan cefuroxime (500
mg, 2x1/hari), doksisiklin
Pasien perawatan, tanpa rawat ICU
- Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat)
- ß-laktam+makrolid (rekomendasi kuat) Agen ß-laktam termasuk
sefotaksim, seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk pasien tertentu;
dengan doksisiklin sebagai
alternatif untuk makrolid. Florokuinolon respirasi sebaikanya digunakan untuk
pasien alergi penisilin.
e. Konseling dan Edukasi
1. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan
infeksi berulang, pola hidup sehat termasuk tidak merokok dan sanitasi
lingkungan.
2. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal,terutama bagi golongan risiko
tinggi (orang usia lanjut atau penderita penyakit kronis)
f. Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan.
3. Endokarditis infektif (EI)
a. Etiologi
 Infeksi mikroba pada permukaan endotel jantung yang dapat merusak katup
jantung
 Disebabkan oleh mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae, streptococcus
viridans, staphylococcus aureus
b. Patogenesis
 Adanya kelainan anatomis pada permukaan jantung, biasanya endocarditis
jarang terjadi pada individu sehat dengan anatomi jantung normal
 Abnormalitas hemodinamik di dalam jantung
 Respons imunitas penderita
 Virulensi organisme
 Adanya bakterimia, dikaitkan dengan prosedur dental, penyuntikan IV pada
individu kecanduan obat(narkoba)

Tahapan patogenesis
 Kerusakan endotel katup
 Pembentukan trombus fibrin-agregasi trombosit
 Perlekatan bakteri pada plak trombus-trombosit sehingga timbul lesi
 Proliferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen, koloni kuman pada
katup jantung dan jaringan sekitarnya dapat mengakibatkan perluasan
bakterimia, dapat menyebabkan tromboemboli, emboli paru
 Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke dalam sirkulasi
(bakterimia kontinus) yang mengakibatkan gejala demam, malaise, tak nafsu
maakn, penurunan berat badan
 Respon antibody humoral dan selular terhadap infeksi akan mengakibatkan
petekie, Osler’s node, artritis

c. Gejala dan tanda


 Demam
 Berkeringat
 Anoreksia
 Menggigil
 Sesak nafas
 Batuk
 Nyeri dada
 Mual sampai muntah

d. Pemeriksaan Fisik
 Murmur jantung
 Splenomegali
 Petekie pada konjugtiva palpebral, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas
 Splinter atau subungual hemorrhages yaitu gambaran merah gelap pada kuku
 Osler’s node yaitu nodul subkutan kecil yang nyeri pada jari
 Muka pucat
 Bercak roth atau pendarahan retina

e. Pemeriksaan Penunjang
 Kultur darah positif
 Darah perifer lengkap (leukositosis, trombositopenia, trombofilia)
 Laju endap darah dan protein reaktif C
 Fungsi ginjal
 Fungsi hati
 Ekokardiogram
 Elektrokardiografi
 Analisis urine
 Rontgen dada

f. Tatalaksana
 Grup streptococcus: Seftriakson 1 x 2 gram IV selama 4 minggu
 Grup streptococcus terapi oral: Siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x
300 mg selama 4 minggu

g. Komplikasi
 Jantung: katup jantung: regurgitasi, gagal jantung, abses
 Paru: emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empyema, abses
 Ginjal: Glomerulonefritis
 Otak: Perdarahan subaraknois, strok emboli, infark serebral

4. Asma Bronkial
a. Etiologi
Meskipun penyebab asma tidak jelas, ini terjadi terutama karena faktor
lingkungan atau genetik. Faktor-faktor yang memicu reaksi asma adalah: Paparan zat
seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, pasir, dan bakteri, yang memicu reaksi alergi
b. Gejala Klinis
Gejala khas untuk Asma, jika ada maka meningkatkan kemungkinan pasien memiliki
Asma, yaitu :
 Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya
pada dewasa muda
 Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
 Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
 Gejala dipicu oleh virus, latihan, pajanan alergen, perubahan cuaca, tertawa
atau iritan seperti asap kendaraan, atau bau yang sangat tajam.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang paling
sering ditemukan adalah mengi eskpirasi saat pemeriksaan auskultasi, tetapi ini bisa
saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak terdengar selama
eksaserbasi asma yang berat terkena penurunan aliran napas yang dikenal dengan
“silent chest”.
d. Pemeriksaan Penunjang
 Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan Peak Flowmeter
 Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah)
e. Penegakan diagnosis
 Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥ 15% rasio APE sebelum
dan sesudah pemberian inhalasi salbutamol.
 Diagnosis Banding
 Disfungsi Pita Suara
 Hiperventilasi
 Bronkiektasis
 Kistik fibrosis
 Gagal jantung
 Defisiensi benda asing
f. Tataklaksana
 Asthma serangan ringan diberikan salbutamol 4-10 puff dengan menggunakan
spacer, diberikan sekali dan keadaan pasien dinilai ulang setelah 20 menit.
 Prednison diberikan pada pasien yang tidak respon hanya dengan
bronkodilator
- Dosis dewasa 1 mg/kg maksimal 50 mg
- Dosis anak 1-2 mg/kg maksimal 40 mg
 Terapi oksigen terkontrol dengan target saturasi 93-95% atau pada anak-anak
94-98%. Pantau dan bila membaik dipersiapkan untuk pulang dan diberikan
obat pulang sesuai langkah terapi kontrol.
g. Komplikasi
 Pneumotoraks
 Pneumomediastinum
 Gagal napas
 Asma resisten terhadap steroid

MUDAH LELAH

1. Anemia
Definisi

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia, di samping
sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini
merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Walaupun prevalensinya
demikian tinggi, anemia (terutama anemia ringan) seringkali tidak mendapat perhatian dan
tidak diidentifikasi oleh para dokter di praktek klinik.

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan
gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali
penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun
para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.

Kriteria

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya
ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar
hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga hormal hemoglobin sangat bervariasi secara
fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana
kita anggap terdapat anemia. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-
laki adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain
memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa,
11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan

Kelompok Kriteria anemia (Hb)


Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita dewasa hami < 11 g/dl
Tabel kriteria anemia menurut WHO.

Etiologi dan klasifikasi

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab.
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang;


2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan);
3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologis dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg; 2).
Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 2734 pg; 3). Anemia
makrositer, bila MCV > 95 fl.
Patofisiologi dan gejala anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah nilai tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2).
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 g/di. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a).
Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 1. Gejala umum anemia.
1) Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
Organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang
berat (Hb <7g/dl).
2) Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis
anemia. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia).
- Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12
- Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.

Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan


parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik
oleh karena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan
fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia, Tetapi
pada umumnya diagnosis anemia memeriukan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik


pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:

1) Pemeriksaan penyaring (screening test);


2) Pemeriksaan darah seri anemia;
3) Pemeriksaan sumsum tulang;
4) Pemeriksaan khusus.
 Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar


hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan
adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut.

 Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung


retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatie
hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil¢yang lebih baik.

 Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga


mengenai keadaan sistem hernatopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis
definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutiak diperlukan
untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik
(MDS).

 Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

- Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity}, saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan
besi pada sumsum tulang (Perl's stain).
- Anemia megaloblastik:, folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin
dan tes Schiling.
- Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain-
lain. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang. Juga diperlukan pemeriksaan non-
hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal atau
fungsi tiroid.

Pendekatan diagnosis

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis
anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakitdasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahaptahap dalam diagnosis anemia adalah:

 Menentukan adanya anemia


 Menentukan jenis anemia
 Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
 Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan memengaruhi hasil
pengobatan

Pendekatan terapi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah:

1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah


ditegakkan terlebih dahulu;
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan;

Pengobatan anemia dapat berupa:

- Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik,
- Terapi suportif
Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, Terapi kausal untuk mengobati
penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut;
Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap respons terapi dan perubahan perjalanan penyakit
pasien, serta dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan
diagnosis;

Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda


gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia
bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red
cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah,
oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika
kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

2. Fibromyalgia

Definisi

Fibromialgia merupakan sindrom nyeri kronik ditandai dengan nyeri


muskuloskeletal dan kekakuan otot yang tersebar luas, meliputi keempat kuadran tubuh,
sisi kiri dan kanan serta atas dan bawah tubuh. Fibromialgia sering disertai gangguan
tidur, cepat lelah, cemas, depresi, kaku di pagi hari, irritable bowel syndrome (IBS), nyeri
kepala, vertigo, parestesia, dan sebagainya.

Etiologi

Etiologi FM tidak diketahui pasti, tetapi diduga ada predisposisi genetik dengan
pencetus stresor lingkungan.Diduga terdapat hubungan antara FM dengan fenomena
polimorfi sme genetik pada monoamine related genes. Gen-gen ini meliputi serotonin-
2A receptor gene (HTR2A), serotonin transporter gene (HTTLPR) regulatory region,
dan dopamine-D4 related gene. Proses timbulnya nyeri dan penghantaran informasi
sensorik di otak dan medula spinalis dikendalikan oleh volume control setting yang
diturunkan secara genetik dan dipengaruhi oleh lingkungan; makin tinggi volume control
setting, nyeri akan makin mudah dialami tanpa perlu rangsang nosiseptif perifer.

Patofisiologi
Patofisiologi FM belum sepenuhnya jelas. Banyak teori yang diajukan oleh para ahli,
antara lain:

1. Amplifikasi/sensitisasi sentral

Pengetahuan tentang FM telah meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun


terakhir. Penelitian-penelitian skala besar membuktikan bahwa nyeri pada FM tersebar
luas akibat disfungsi susunan saraf pusat. Nyeri diduga berasal dari ketidakseimbangan
neurotransmiter susunan saraf pusat yang menyebabkan amplifi kasi/sensitisasi sentral.
Menurut teori amplifi kasi/sensitisasi sentral, kornu dorsale medula spinalis menjadi
hiperresponsif terhadap stimulasi nosiseptif dan somatik sehingga terjadi hiperalgesia dan
alodinia.

Teori ini dapat menerangkan lebih baik mengenai hipersensitivitas pada pasien
FM. Pada FM, terjadi fenomena wind up yang berkaitan dengan reseptor N-methyl D-
aspartate (NMDA) dan plastisitas neuron; akibatnya, stimulus berintensitas rendah di
kulit maupun jaringan otot akan menghasilkan input nosiseptif tingkat tinggi yang bila
ditransmisikan ke otak akan dipersepsikan sebagai rasa nyeri.

2. Neurotransmiter

Pada FM, terjadi peningkatan kadar neurotransmiter eksitatorik glutamat, nerve


growth factor, brain derived neurotrophic factor, dan substansi P; kadar substansi P
cairan serebrospinal pasien FM tiga kali lebih tinggi dibandingkan kontrol.Substansi P
merupakan neurotransmiter nosiseptif yang berperan penting dalam munculnya
hiperaktivitas neuronal serta proses sensitisasi sentral bersama asam amino eksitasi
pronosiseptif yang bekerja pada reseptor NMDA dan neuropeptida lainnya. Kadar
substansi P sangat dipengaruhi oleh kadar serotonin. Studi terbaru menunjukkan adanya
korelasi negatif kuat antara konsentrasi metabolit serotonin dalam serum, 5
hidroksindolasetat, dan substansi P. Substansi P juga merupakan inhibitor poten bagi
corticotropin releasing hormone (CRH), sehingga diduga turut berperan dalam
penurunan kadar CRH pada sejumlah pasien FM.

Penegakkan diagnosis
Meskipun kewaspadaan telah meningkat, diperkirakan 75% pasien FM tetap tidak
terdiagnosis. Fibromialgia sering disertai penyakit lain dalam bidang rematologi,
neurologi, dan psikologi sehingga menyulitkan penegakan diagnosis.

Kriteria diagnosis FM menurut American College of Rheumatology (ACR) 199018:

• Riwayat nyeri kronik tersebar luas (widespread pain) dan telah berlangsung ≥3 bulan

• Nyeri meliputi ≥11 dari 18 tender points

• Lokasi nyeri pada 4 kuadran dan skeleton aksial

Nyeri yang tersebar luas ini didapatkan pada 97% pasien FM, dibandingkan dengan 70%
pada kontrol. Kriteria diagnosis ini mempunyai sensitivitas 88,4% dan spesifi sitas 81,1%.
Penekanan tender point dilakukan dengan ibu jari tangan secara tegak lurus dengan gaya sebesar
kurang lebih 4 kg, ditandai kuku ibu jari tangan yang dipakai menekan berubah warna menjadi
putih. Dikatakan positif bila pada penekanan pasien merasa nyeri.

Kriteria FM menurut ACR 20104:

1. WPI ≥7 dan nilai skala SS ≥5 atau nilai WPI 3-6 dan SS ≥9


2. Gejala telah dialami penderita dalam derajat yang setara paling sedikit selama 3 bulan
3. Pasien tidak menderita penyakit lain yang dapat menyebabkan nyeri

Skala SS (0-12): jumlah tingkat keparahan 3 kelompok gejala utama (0-9) ditambah skala

gejala somatisasi (0-3). Tiga kelompok gejala utama adalah:


1. Fatigue: skala 0-3
2. Bangun tidur merasa tidak segar (waking unrefreshed): skala 0-3
3. Gejala kognitif: skala 0-3

Keterangan:

0 = tidak ada gejala

1 = gejala ringan atau intermiten

2 = gejala sedang dan sering muncul

3 = gejala berat, terus-menerus, dan sering mengganggu

Tatalaksana

Antidepresan

Rasionalisasi penggunaan antidepresan didasarkan pada beberapa bukti bahwa


antidepresan dapat menghambat ambilan kembali (reuptake) serotonin dan norepinefrin di celah
sinaps sehingga dapat memperkuat jalur inhibisi nyeri desenden dan mengurangi persepsi nyeri.
Antidepresan efektif mengatasi gangguan depresi dan cemas yang sering menyertai FM.9
Beberapa antidepresan memiliki efek antagonis NMDA dan aktivitas penyekatan kanal ion yang
dapat meningkatkan efek antinosiseptifnya.
Obat antidepresan yang disarankan antara lain:

1. Golongan trisiklik, misalnya amitriptilin dan nortriptilin. Dosis rendah memiliki efek
sedang, seperti perbaikan kualitas tidur dan gejala nyeri, tetapi kurang bermanfaat untuk
fatigue dan tender point. Hati-hati dengan efek samping antikolinergik, antiadrenergik,
antihistaminergik, serta quinidine-like eff ect, terutama pada pasien lanjut usia.
Amitriptilin sebaiknya dimulai dengan dosis rendah 12,5- 25 mg malam hari, kemudian
dapat dinaikkan sesuai respons terapi.
2. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), misalnya fl uoksetin dan sitalopram.
Toleransi terhadap SSRI lebih baik dibandingkan golongan trisiklik. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa fluoksetin secara signifi kan mengurangi rasa nyeri dan kelelahan
serta memperbaiki mood.

SESAK & MUDAH LELAH

1. Gagal Jantung
A. Definisi
Gagal jantung adalah kondisi jantung tidak mampu memompakan darah secara
adekuat guna memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk keperluan metabolism jaringan tubuh
yang terjadi secara cepat. Gagal jantung akan menyebabkan cardiac output menurun dan
tekanan pengisian ke dalam jantung menjadi tinggi dengan segala akibat beserta gejala
dan tandanya.
B. Etiologi
Penyakit jantung coroner merupakan etiologic gagal jantung akut pada 60-70% pasien ter
utama pasien usia lanjut. Sedangkan pada usia muda, gagal jantung akit diakibatkan oleh
kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis.
Penyebab dari gagal jantung adalah :
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Konsumsi banyak MSG
4) Genetic
5) Hiperaktivitas sistem simpatis
6) Stress berlebih
7) Obesitas
8) Olahraga tidak teratur
9) Merokok, Konsumsi alcohol dan kopi mengandung banyak kafein
10) Hipertensi
11) Penyakit jantung iskemik
12) Hipotiroid
13) Penyakit jantung kongenital (defek septum, atrial septal defek, ventrikal septal
defek)
14) Kardiomiopati (dilatasi hipertropik, restriktif)
15) Defisiensi tiamin menyebabkan delirium.
C. Patofisiologi dihubungkan dengan homeostasis jantung
Ketika pasien yang mengalami gagal jantung maka tubuh akan merespon untuk
mengkompensasi dari kelemahan jantung tersebut, hal ini disebabkan karena terdapat
kelemahan kontraktilitas miokard sehingga mempengaruhi dari kontraktilitas
ventrikel/kegagalan pengisian (gagal sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (gagal
diastolik).
(Gambar. Patofisiologi gagal jantung)
Pada saat gagal jantung terjadi, tubuh melakukan proses perubahan yang terjadi mulai
dari molekul, seluler, dan structural sebagai respon cedera dan menyebabkan perubahan
pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut Remodeling Ventrikel (LV Remodeling).
Terjadi remodeling ventrikel merupakan bagian dari mekanisme kompensasi tubuh untuk
memlihara tekanan arteri dan perfusi organ vital jika terdapat beban hemodinamik
berlebih / gangguan kontraktilitas miokardium melalui mekanisme sbb :
a. Mekanisme Frank-Starling
Sebagai upaya kompensasi jantung berlaku prinsip frank-starling yaitu
membesarkan pengeluaran stroke volume dengan meningkatkan regangan otot /
dilatasi pada jantung sehinga makin besar pengisian ventrikel pada preload / EDV
sehingga memperkuat kontraktilitas. Keadaan ini berlaku sampai batas tertentu bila
batas peregangan karena pengisian telah dilampaui maka isi sekuncup / stroke
volume akan menurun kembali.

(Gambar. Grafik Frank-Starling)


b. Hipertrofi ventrikel,
Peningkatan stress terhadap dinding ventrikel karena beban tekanan maupun
volume yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan
menambah masa ventrikel. Keadaan ini merupakan mekanisme kompensasi untuk
mengurangi stress dinding ventrikel dan penambahan masa serabut otot membantu
memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.
Dengan peningkatan peningkatan masa otot dengan atau tanpa dilatasi bilik jantung
sehingga massa jaringan kontraktil meningkat.

(Gambar. Proses kompensasi jantung pada gagal jantung)


c. Aktivitas neurohormonal
Pada gagal jantung untuk mengkompensasi gangguan distribusi oksigen ke jaringan
perifer, maka jalur neurohormonal diaktivasi. Jalur tersebut adalah saraf simpatis dan
RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron System). Aktivasi saraf simpatis ini akan
menyebabkan peningkatan denyut jantung (takikardia) dan risiko aritmia, pelepasan
renin, vasokonstriksi dan retensi natrium. Aktivasi RAAS menyebabkan vasokontriksi,
retensi air dan garam akibat gangguan ekresi melalui ginjal, fibrosis miokard,
perubahan morfologi dan fungsi kardiomiosit. Hal ini menyebabkan tekanan pengisian
jantung meningkat dan kongesti vena. Akumulasi cairan dan redistibusi cairan
menyebabkan peningkatan beban jantung dan kongesti. Akumulasi cairan sering
terjadi pada gagal jantung akut dengan fraksi ejeksi yang menurun, sedangkan
redistribusi cairan sering terjadi pada gagal jantung akut dg fraksi ejeksi yang normal.
 Lebih spesifik mengenai mekanisme kompensasi yang dilakukan oleh RAAS dan
kadar vasopressin dan neuritik peptide
(Gambar. RAA-SISTEM)

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II


plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki
efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan
tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya
sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan
pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.

(Gambar. Mekanisme kompensasi neurohormonal)


1) Anamnesis
- Sesak nafas (paroksismal nocturnal dyspnea - orthopneu)
- Edema tungkai
- Lelah saat istirahat / beraktivitas
- Batuk malam
2) Pemeriksaan fisik
- TTV : nafas cepat >24x/menit (takipneu)
- Takikardi dan lemah >100x/menit
- JVP meningkat / dilatasi >+3
- Rhonki paru (+/+)
- Suara jantung 3 (Gallop)
- Hepatomegaly
- Splenomegaly
- Kardiomegali
- Asites abdomen
3) Pemeriksaan penunjang
- EKG
Pemeriksaan ekg harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung.
Abnormalitas ekg sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas yang
ditemukan pada ekg ini memiliki prediktif yang kecil dalam mendiagnosis
seseorang mengalami gagal jantung, namun hal ini harus tetap dilakukan gunanya
untuk mengetahui kegagalan jantung sebelah mana yang mengalami kelemahan.

- Pemeriksaan laboratorium rutin (Darah perifer lengkap)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, elektrolit, keratinin, estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), glukosa,
fungsi hepar dan urinalisa. Gangguan hematologi yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan – sedang yang belum pernah terapi.

- Echocardiografi
Digunakan untuk pencitraan ultrasonografi jantung termasuk pulsed and
contiuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI).
Konfirmasi diagnosis gagal jantung atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan
dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
HFrEF dan HFpRF.

- Foto thorax
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto thorax dapat
mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat mendeteksi
penyakit / infeksi paru yang menyebabkan / memperberat sesak nafas. Pada
pasien gagal jantung banyak ditemukan :
 Kardiomegali
 Chepalization pembuluh darah pulmonal
 Kerley B-lines
 Efusi pleura
- Pemeriksaan biomarka:
Brain natriuretic peptide (BNP) dan pro-BNP sensitif untuk mendeteksi gagal
Jantung. Dikatakan gagal jantung, bila nilai BNP 2' I 00 pg/mL atau NT-proBNP
2'300 pg/ mL. BNP bermanfaat untuk meminimalisasi diagnosis negatif palsu
(untuk mengeksekusi bila kadarnya lebih rendah), bila tidak tersedia
ekokardiografi.
- Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma
peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau
memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko
mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum
pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun
terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.

Farmakologi

Penanganan gagal jantung sangat bervariasi dan tergantung faktor-faktor yang


mendasari. Berikut adalah garis besar pengobatan gagal jantung:
 Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik) memerlukan
penghambat ACE atau ARB bila tidak ada kontraindikasi seperti kelainan ginjal
berat.
 Semua pasien gagal jantung (baik sistolik maupun diastolik) memerlukan penyekat
beta mulai dari dosis kecil bila tidak ada kontraindikasi.
 Pasien gagal jantung NYHA Ill-IV yang belum membaik dengan penghambat ACE/
ARB dan penyekat beta, dapat dipertimbangkan penambahan dosis kecil antagosis
aldosteron seperti spironolakton.
 Kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan diuretik reguler dosis rendah untuk
mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan
dapat menggunakan diuretik kuat atau tiazid, yang kemudian disesuaikan sesuai
hasil terapi dan kebutuhan pasien.
 Pasien dengan fraksi ejeksi <30% atau dengan atrial fibrilasi, sebaiknya diberikan
antikoagulan untuk mencegah emboli kardiak. Pemberian digitalis bermanfaat
untuk gagal jantung dengan atrial fibrilasi dan fraksi ejeksi rendah (< 30%).
 Bila penyebab gagal jantung berat adalah penyakit jantung koroner, maka
pemberian simvastatin dan aspirin bermanfaat secara jangka panjang.

2. Kardiomiopati

Definisi

Kardiomiopati adalah penyakit yang berhubungan dengan miokardium atau otot


jantung di mana terdapat kelainan pada otot jantung secara struktur dan fungsi tanpa
adanya penyakit jantung koroner, hipertensi, atau kelainan katup jantung. Bila penyakit
ini terbatas hanya pada kelainan atau kerusakan otot jantung, maka keadaan ini disebut
kardiomiopati primer. Bila kardiomiopati disebabkan oleh penyakit lain yang
mengakibatkan kelainan pada otot jantung, keadaan ini disebut kardiomiopati sekunder.

Klasifikasi

a. Restrictive cardiomyopathy
Gangguan timbul akibat menebalnya otot jantung secara abnormal, khususnya
pada ventrikel kiri jantung, yaitu ruang jantung yang memompa darah ke seluruh
tubuh. Penebalan ini mengakibatkan jantung menjadi sulit untuk memompa darah.
b. Hypertrophic cardiomyopathy
Gangguan timbul akibat menebalnya otot jantung secara abnormal, khususnya
pada ventrikel kiri jantung, yaitu ruang jantung yang memompa darah ke seluruh
tubuh. Penebalan ini mengakibatkan jantung menjadi sulit untuk memompa darah.
c. Dilated cardiomyopathy
Gangguan timbul karena ventrikel kiri jantung membesar dan melebar sehingga
menjadi tidak kuat untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
- Pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, dan tungkai.
- Batuk saat berbaring.
- Perut kembung yang diakibatkan oleh adanya cairan.
- Rasa lelah.
- Sesak, bahkan saat beristirahat.
- Irama jantung tidak beraturan.
- Pusing, rasa melayang, dan pingsan.
- Nyeri dada

Manifestasi klinis

- Pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, dan tungkai.


- Batuk saat berbaring.
- Perut kembung yang diakibatkan oleh adanya cairan.
- Rasa lelah.
- Sesak, bahkan saat beristirahat.
- Irama jantung tidak beraturan.
- Pusing, rasa melayang, dan pingsan.
- Nyeri dada

Diagnosis

pemeriksaan fisik

- Suara jantung: adanya pulsasi ireguler, murmur kardiak


- Suara paru: adanya ronki pada basal paru yang menunjukkan tanda kongesti
- Peningkatan tekanan vena jugular
- Hepatosplenomegali
Tata laksana

- Penatalaksanaan kardiomiopati restriktif dapat berupa terapi kelasi,


phlebotomy, transplantasi sumsum tulang, pemasangan ICD, atau transplantasi
jantung
- Penatalaksanaan kardiomiopati aritmogenik meliputi penatalaksanaan
medikamentosa dengan obat antiaritmik (misalnya sotalol atau verapamil), atau
tindakan medis seperti kateterisasi ablasi, pemasangan ICD, atau transplantasi
jantung

3. Edema paru

Definisi

Edema paru akut adalah akumulasi cairan pada jaringan interstisial paru yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik didalam
pembuluh darah kapiler paru denganjaringan sekitarnya. Edema paru akut dapat terjadi
sebagai akibat kelainan pada jantung serta gangguan organ lain diluar jantung.

Patofisiologi

Patofisiologi edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan


(fluid exchange)yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler (mikrovascular).
Sejumlah volume cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler
pembuluh darah, bercampur dengan cairan interstisium di sekitarnya, dan kemudian
diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses seperti ini disebut sebagai bulk flow
karena berbagai konstituen cairan berpindah bersama-sama sebagai suatu kesatuan.

Manifestasi klinis

- Sesak napas.
- Mudah lelah.
- Batuk darah.
- Nyeri dada yang juga merupakan gejala serangan jantung yang harus segera
ditangani.
- Pembengkakan pada tubuh.

Diagnosis

Diagnosis EPA didasarkan pada simtom dan gejala klinis yaitu distress
pernapasan yang hebat, ronki seluruh lapangan paru dan orthopnoe. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang mendukung adalah foto toraks, EKG, Ekokardiografl dan
laboratorium. Foto toraks harus segera di lakukan dan sangat membantu dalam
menegakkan suatu EPA.

Tata laksana

Penatalaksaan dari EPA dengan penyebab kardiogenik mempunyai 3 tujuan utama,yaitu:


1) Mengurangi venous return dari paru (mengurangi preload) yang bertujuan untuk
menurunkan tekanan hidrostatik dari kapiler paru dan mengurangi cairan transudat
dari interstitium paru dan alveoli.
2) Mengurangi tahanan sistemik pembuluh darah (mengurangi afterload) yang bertujuan
untuk meningkatkan cardiac output dan perfusi ginjal dalam diuresis pada pasien
dengan kelebihan cairan.
3) Pemberian inotropik pada beberapa kasus misalnya pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri ataupun gangguan katup yang dapat menyebabkan hipotensi.

Terapi : terapi oksigen, vasodilator, sodium nitroprussid, nitrat.

4. Cor pulmonal kronik

Definisi

Cor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal


yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal
secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni
edema. Hipertensi pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka definisi kor
pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit yang
mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal menghasilkan
pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan
berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal,
diperkirakan 80-90% kasus. Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan
akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru masif, sedangkan
kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada
PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal berlangsung lambat.

Patofisiologi

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan:

(1) berkurangnya "vascular bed" paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya
pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru;
(2) asidosis dan hiperkapnia;
(3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru;
(4) polisitemia dan hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan
timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan
mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan
berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

Manifestasi klinis dan diagnosis

Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi
pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung
kanan.Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda
PPOK; asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah;
hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan.

Tata laksana

Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama
dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya untuk:
(1) Mengoptimalkan eflsiensi pertukaran gas;
(2) Menurunkan hipertensi pulmonal
(3) Meningkatkan kelangsungan hidup;
(4) Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya. Pengobatan kor pulmonal dari aspek
jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi pulmonal pengobatan gagal jantung
kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup.

5. Tuberkulosis (TB) Paru


a. Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh oleh
kuman TB yaitu mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
b. Gejala Klinis
Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai :
 Gejala pernafasan
- Nyeri dada
- Sesak napas
- Hemoptisis
 Gejala sistemik
- Demam
- Tidak nafsu makan
- Penurunan berat badan
- Keringat malam
- Mudah lelah
c. Pemeriksaan fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi
terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex
paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
d. Pemeriksaan penunjang
 Darah : limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
 Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (bakteri tahan asam/ BTA) atau kultur
kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
 Untuk TB non-paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
 Radiologi dengan foto toraks PA-lateral/ top lordotik
e. Penegakan Diagnosis
 Diagnosis pasti TB
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak)
 Diagnosis banding
- Pneumonia
- Tumor/keganasan paru
- Jamur paru
- Penyakit paru akibat kerja
- Asma
f. Komplikasi
- Pleuritis tuberkulosa
- Efusi pleura (cairan yang keluar ke dalam rongga pleura)
- Tuberkulosa milier
- Meningitis tuberkulosa
g. Tatalaksana
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
1) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari
dengan tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal),
menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah
timbulnya resistensi obat.
Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per
hari atau secara intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa
(efek sterilisasi), mencegah kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat
badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50kg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2016
2. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi 1. Jakarta:2017
3. Katzung, Bertram . Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC; 2017
4. Bates B, Bickley LS, Hoekelman RA. A Guide to Physical Examination and
History Taking. 8th ed. Philadelphia: Lippincott; 2018.

Anda mungkin juga menyukai