Anda di halaman 1dari 17

Pengertian Trikomoniasis

Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual (PMS) yang menimbulkan gejala tidak
nyaman berupa rasa gatal atau perih dan keluar cairan berbau tidak sedap dari bagian
intim. Penyakit ini dapat menyerang baik pria maupun wanita, tapi wanita lebih rentan
tertular. Pria dapat terkena penyakit ini dan menularkannya kepada pasangan melalui
hubungan intim.
Trikomoniasis disebabkan oleh parasit yang disebut Trichomonas vaginalis (TV). Tidak
semua pengidapnya akan mengalami gejala. Sebagian dari mereka yang terinfeksi parasit
ini tidak mengalami gejala apa pun.

Faktor Risiko Trikomoniasis


Faktor risiko trikomoniasis meliputi:
 Memiliki banyak pasangan seksual.
 Memiliki riwayat infeksi menular seksual lainnya.
 Berhubungan intim tanpa kondom.

Penyebab Trikomoniasis
Penyebab trikomoniasis adalah parasit berukuran kecil yang bernama Trichomonas
vaginalis. Parasit ini biasanya disebarkan melalui hubungan intim tanpa kondom atau
saling berbagai alat bantu seksual. Penyakit ini tidak bisa ditularkan melalui hubungan
intim oral, anal, ciuman, dan berbagi peralatan makan atau peralatan pribadi bersama.

Tanda dan Gejala Trikomoniasis


Gejala trikomoniasis berkembang secara bertahap dalam waktu kira-kira sebulan setelah
terkena infeksi. Pada wanita, trikomoniasis memberi dampak pada vagina dan saluran
pembuangan urine atau uretra. Sedangkan pada pria, trikomoniasis menyerang uretra, area
penis seperti kulup dan kelenjar prostat. Gejala yang bisa dialami oleh wanita, antara lain:
 Bagian perut bawah terasa sakit.
 Muncul rasa sakit atau tidak nyaman saat buang air kecil atau berhubungan intim.
 Cairan vagina yang diproduksi dalam jumlah lebih banyak dan bisa bertekstur
kental, encer, atau berbusa. Keputihan bisa berwarna kekuningan atau kehijauan
dan berbau amis.
 Timbul rasa nyeri, bengkak dan gatal di area kewanitaan. Kadang gatal juga
muncul di bagian paha dalam.
Sedangkan gejala yang bisa dialami oleh pria meliputi:
 Frekuensi buang air kecil lebih sering dari biasanya, dan disertai rasa sakit.
 Muncul cairan putih dari Mr P.
 Muncul rasa sakit, bengkak, dan kemerahan di area ujung Mr P, bahkan dapat
muncul saat ejakulasi.

Diagnosis Trikomoniasis
Diagnosis trikomoniasis dapat dipastikan dengan melihat sampel cairan Miss V atau urine
pada pria di bawah mikroskop. Namun, tes antigen dan amplifikasi asam nukleat lebih
umum digunakan untuk mendiagnosis trikomoniasis sekarang.

Komplikasi Trikomoniasis
Wanita hamil yang terkena trikomoniasis mungkin akan mengalami komplikasi sebagai
berikut:
 Melahirkan sebelum waktunya atau prematur.
 Melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah.
 Menularkan infeksi tersebut pada bayi saat melahirkan.
 Trikomoniasis juga membuat wanita lebih rentan terkena HIV.

Pengobatan Trikomoniasis
Trikomoniasis bisa diatasi secara efektif dengan antibiotik. Pengidap perlu meminum
antibiotik sesuai dosis yang dianjurkan dokter. Pengidap juga dianjurkan untuk melakukan
tes ulang jika mengalami muntah setelah minum antibiotik karena kemungkinan antibiotik
tidak diserap, sehingga perlu dosis antibiotik yang lebih atau metode perawatan lain.

Pencegahan Trikomoniasis
Berikut ini beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi
trikomoniasis:
 Tidak berganti-ganti pasangan.
 Gunakan kondom saat berhubungan intim agar terhindar dari penyakit menular
seksual.
 Pastikan alat bantu seksual yang digunakan bersih dan terbungkus kondom dan
hindari berbagi dengan orang lain.
 Jika curiga telah terinfeksi, langsung hubungi dokter untuk menjalani pemeriksaan.

Pengertian herpes genital (herpes kelamin)

Herpes genital adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi virus herpes
simpleks. Penyakit ini biasanya ditandai dengan luka melepuh serta rasa nyeri pada alat
kelamin dan sekitar anus.
Namun, orang yang terinfeksi herpes genital sering kali tidak menyadari karena tidak
mengalami gejala selama bertahun-tahun.
Akibatnya, penyakit kelamin ini bisa menyebar dengan mudah tanpa diketahui. Ada 2 jenis
virus herpes simpleks, yaitu herpes simpleks tipe satu dan dua.
Herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) merupakan penyebab utama herpes oral dengan ciri luka
melepuh (lenting) di sekitar mulut dan bibir. HSV-1 juga dapat menyebar dan
menyebabkan herpes genital.
Sementara HSV-2 adalah penyebab utama herpes pada kelamin. Virus herpes ini hanya
bisa ditularkan melalui hubungan seksual.
Infeksi herpes simpleks (kelamin) berlangsung seumur hidup, tetapi pengobatan bisa
mengatasi gejala sekaligus mengurangi risiko penularan penyakit pada orang lain.

Dapatkan Tips Seputar Seks & Asmara


Ikuti newsletter kami untuk mendapatkan informasi demi hubungan yang lebih hangat
dengan pasangan Anda.
Seberapa umumkah herpes kelamin?
Herpes genital adalah penyakit kelamin yang dapat dialami oleh wanita dan laki-laki.
Menurut WHO, kasus herpes genitalis lebih banyak dialami oleh wanita ketimbang pria.
Hal ini dikarenakan transmisi virus herpes simpleks tipe 2 lebih berisiko dari pria ke
wanita daripada wanita ke pria.
Selain itu, kasus herpes juga ditemukan dari penularan ibu yang terinfeksi herpes simpleks
tipe 2 pada bayinya selama proses persalinan, misalnya melahirkan normal.
Meski begitu, herpes kelamin adalah salah satu penyakit menular seksual yang dapat
dicegah dengan mengurangi faktor risiko. Diskusikan dengan dokter Anda untuk informasi
lebih lanjut.
Tanda & gejala herpes genital
Sebagian besar orang yang terinfeksi herpes genital tidak mengetahui bahwa mereka
sedang terinfeksi karena tidak merasakan tanda-tanda apa pun.
Sementara pada beberapa kasus, gejala penyakit herpes simplex genitalis bisa cukup
ringan dan sering salah diidentifikasi sebagai penyakit kulit biasa.
Gejala khas dari herpes simplex genitalis adalah sebagai berikut:
 Nyeri atau gatal di vagina, penis, area alat kelamin, atau bokong.
 Luka melepuh yang berupa ruam merah atau lenting putih.
 Koreng atau luka kering.
 Nyeri saat buang air kecil
 Sakit kepala.
 Nyeri otot dan sendi.
 Demam.
 Pembengkakan kelenjar getah bening di lipatan paha.
Ruam merah dan luka melepuh atau lenting herpes dapat muncul di sekitar alat kelamin,
anus, dan mulut.
Lenting herpes yang pecah bisa meninggalkan luka perih yang mungkin baru bisa sembuh
selama hampir 1 minggu.
Nah, dalam kondisi ini gejala yang muncul biasanya mirip flu seperti demam, sakit kepala,
dan pembengkakan kelenjar.
Dilansir dari CDC, gejala herpes genital dapat hilang dan kambuh kembali beberapa kali.
Ada orang mengalami kekambuhan gejala beberapa kali dalam setahun, tetapi ada pula
yang tidak kambuh sama sekali.
Namun saat kambuh, gejala herpes kelamin biasanya lebih ringan dan cepat mereda tidak
separah saat pertama kali dialami.
Meskipun infeksi virus herpes simpleks beratahan seumur hidup, frekuensi kekambuhan
gejala akan berkurang seiring berjalannya waktu.
Gejala herpes genitalis yang muncul bisa berbeda pada setiap orang.
Kemungkinan terdapat tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas, jadi sebaiknya
periksakan ke dokter bila Anda mengalami keluhan tertentu.
Kapan saya harus periksa ke dokter?
Anda sebaiknya berkonsultasi ke dokter jika mengalami gejala seperti herpes genital atau
penyakit kelamin lain, terutama saat ada luka atau nyeri pada organ intim yang tidak
kunjung sembuh.
Jika Anda aktif berhubungan seksual, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan medis
atau skrining penyakit kelamin secara rutin.
Hal ini bertujuan agar herpes kelamin bisa diobati sedini mungkin dan menghindari
penyebaran penyakit pada orang lain.
Penyebab herpes genital
Herpes genital adalah penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Penyakit
herpes simpleks dapat menular melalui kontak langsung, hubungan seksual, seks oral, atau
dari ibu ke bayinya.
Dalam buku Herpes yang ditulis oleh Juliet Spencer, dijelaskan bahwa virus herpes
simpleks masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
Virus tersebut kemudian menyebar ke dalam sel-sel saraf. Pada masa infeksi awal, gejala
herpes simpleks ini mungkin belum muncul meskipun virus sudah mulai memperbanyak
diri.
Pada masa akhir infeksi awal, virus menetap di bawah sel-sel saraf dalam keadaan dorman
atau tidak aktif memperbanyak diri.
Kondisi ini membuat sistem kekebalan tubuh dapat lebih mudah mengendalikan infeksi
virus. Namun nantinya, virus dapat kembali aktif menginfeksi dan mulai memperbanyak
diri.
Virus akan kembali ke permukaan sel-sel saraf dan merusak sel-sel sehat sehingga
menimbulkan gejala seperti ruam dan luka melepuh (lenting herpes).
Jenis virus herpes simpleks penyebab herpes genital (kelamin)
Ada 2 tipe virus herpes simpleks yang dapat menyebabkan herpes genitalis, yaitu:
Virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1)
Infeksi virus ini umumnya menyebabkan luka lepuhan di sekitar mulut, tetapi juga dapat
menyebar ke alat kelamin.
Cara penularan HSV-1 yang umum terjadi saat berciuman dan menyentuh luka terbuka di
sekitar mulut orang yang terinfeksi.
Selain itu, Anda juga dapat tertular dari pasangan yang tidak memiliki luka terlihat atau
tidak merasa terinfeksi.
Melakukan seks oral dengan pasangan yang terinfeksi juga berisiko membuat Anda
terkena infeksi virus ini.
Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2)
HSV-2 umumnya menyebabkan herpes genital. Virus ini menular melalui hubungan
seksual dengan pasangan yang terinfeksi.
Virus herpes biasanya tidak dapat bertahan lama saat berada di luar tubuh. Risiko
penularan saat menyentuh permukaan benda sangat kecil dibandingkan dengan kontak
antar kulit.
Begitu pun dengan penggunakan dudukan toilet, pakaian, atau handuk yang sama dengan
pengidap herpes kelamin, risiko penularan penyakit dengan cara ini sangat kecil.
Bagaimana herpes genital bisa kambuh?
Seperti yang sudah dijelaskan, penyakit herpes kelamin bisa kambuh beberapa kali dalam
setahun.
Hal ini sebabkan oleh virus herpes simpleks yang semula dorman atau tidur kemudian
kembali aktif menginfeksi.
Sebagian besar kambuhnya gejala herpes kulit terjadi karena melemahnya fungsi sistem
imun tubuh.
Beberapa kondisi yang dapat memicu kekambuhan herpes genitalis adalah:
 Mengalami infeksi karena penyakit lain.
 Mengalami peradangan akibat kecelakaan, benturan, pembengkakan.
 Mendapatkan paparan dari sinar ultraviolet dan udara panas atau dingin secara
berlebihan.
 Mengalami stres atau gangguan hormon.
 Mengalami kelelahan berat.
Faktor risiko herpes kelamin
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena herpes genital adalah:
1. Jenis kelamin
Berdasarkan kasus yang sudah terjadi, terlihat bahwa wanita lebih mudah terinfeksi herpes
kelamin dibanding laki-laki.
2. Memiliki pasangan seksual lebih dari satu
Risiko Anda mengalami penyakit menular seksual bisa semakin meningkat bila memiliki
lebih dari satu pasangan seksual.
Penting bagi Anda dan pasangan untuk melakukan skrining penyakit kelamin secara
teratur jika termasuk dalam kelompok berisiko.
3. Seks berisiko
Virus herpes simpleks tipe 2 menular melalui hubungan intim yang melibatkan penetrasi
vagina.
Melakukan hubungan seksual yang berisiko tanpa kondom dapat membuat seseorang lebih
mudah terjangkit herpes genitalis.
Begitu pun saat Anda melakukan seks oral tanpa kondom dengan pasangan yang terinfeksi
herpes kelamin, Anda berisiko terinfeksi penyakit ini.
4. Sistem imun lemah
Kondisi sistem kekebalan tubuh yang menurun membuat Anda lebih rentan terhadap
infeksi virus.
Kondisi sistem imun yang lemah bisa disebabkan oleh kelelahan, penyakit autoimun,
pengobatan yang memengaruhi kerja sistem imun.
5. Menggunakan benda secara bergantian
Meski kemungkinnya kecil, menggunakan benda seperti alat makan, sikat gigi, dan handuk
secara bergantian dengan orang yang terinfeksi bisa meningkatkan risiko Anda mengalami
herpes kelamin.
Pengertian HPV

Human papillomavirus atau HPV adalah virus yang menyebabkan kutil kelamin dan
kanker, serta menyebar lewat hubungan intim. HPV dapat menyerang siapa saja, baik pria
maupun wanita. Virus HPV sering dialami oleh remaja dan orang dewasa muda yang aktif
berhubungan intim, yaitu pada pria berumur 20-24 tahun dan wanita berumur 16-19 tahun.

Gejala HPV
HPV dapat sembuh tanpa pengobatan, tetapi dapat juga menyebabkan kutil atau kanker
pada alat kelamin. Kutil pada alat kelamin dapat berawal dari semacam luka kecil, yang
kemudian terbuka dan berdarah, menjadi kutil, akhirnya mengering dan sembuh setelah
beberapa hari. Kebanyakan kasus kanker karena HPV adalah kanker serviks, kanker
tenggorokan, dan kanker lidah. Beberapa gejala kanker serviks, antara lain:
 Nyeri perut bagian bawah atau area panggul pada saat berhubungan intim.
 Pendarahan atau keluarnya cairan dari dalam Miss V.
 Pendarahan di antara periode setelah hubungan intim.
 Pendarahan saat menopause.

Penyebab HPV
Penyebab HPV adalah virus human papillomavirus tipe 6, 11, 16, dan 18, yang
menyebabkan kutil kelamin dan kanker serviks. HPV ditularkan melalui hubungan intim.
Virus dapat menyebar, meskipun seseorang yang membawa virus tidak memiliki gejala
atau tidak merasa sakit apapun. Kutil dan kanker serviks dapat terbentuk setelah beberapa
tahun terpapar HPV.
Faktor Risiko HPV
Beberapa faktor risiko infeksi HPV, antara lain:
 Berhubungan intim dengan lebih dari satu pasangan.
 Berbagi barang pribadi, seperti handuk, sapu tangan, atau kaus kaki.
 Kulit yang rusak, seperti pada luka terbuka.
 Sistem kekebalan tubuh lemah, seperti pada pengidap HIV/AIDS atau menjalani
kemoterapi.
 Tidak menjaga kebersihan dengan baik.
 Usia remaja dan kalangan dewasa muda.

Diagnosis HPV
Dokter akan mendiagnosis infeksi HPV dengan melakukan wawancara medis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, seperti:
 Tes larutan asam asetat, yaitu ketika kulit bagian genital yang terinfeksi virus HPV
akan berubah menjadi putih setelah diolesi larutan asam asetat, sehingga dapat
dideteksi.
 Pap smear dan tes DNA, dengan mengambil sampel sel-sel dari serviks dan Miss V
untuk diperiksa di laboratorium, untuk mendeteksi keabnormalan sel serviks yang
dapat berubah menjadi kanker.

Pengobatan HPV
Terdapat dua metode medis untuk menangani infeksi HPV, yaitu:
 Penanganan melalui obat, yang umumnya menggunakan obat oles dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghilangkan kutil.

 Penanganan dengan tindakan operasi.

Komplikasi HPV
Beberapa komplikasi infeksi HPV, antara lain:
 Kutil kelamin.
 Kanker serviks, kanker lidah, maupun kanker tenggorokan.

Pencegahan HPV
Beberapa upaya pencegahan infeksi HPV, antara lain:
 Vaksinasi untuk membantu mencegah kutil kelamin serta kanker serviks. Vaksin
ini dianjurkan bagi remaja perempuan dan dapat diberikan sejak usia 10 tahun
hingga 26 tahun.
 Hindari menyentuh kutil secara langsung.
 Segera mencuci tangan dengan sabun apabila tidak sengaja menyentuh kutil.
 Hindari berganti-ganti pasangan dan setialah pada pasangan.
 Gunakan kondom setiap kali berhubungan intim.
 Menjaga kebersihan, misalnya mengenakan alas kaki di tempat umum yang lembap
dan memakai kaus kaki yang bersih.
 Hindari berbagi pemakaian barang pribadi, seperti pisau cukur atau gunting kuku.

Pengertian Chlamydia

Chlamydia adalah salah satu penyakit menular seksual yang ditularkan melalui hubungan
seks tanpa menggunakan kondom. Kaum wanita yang berusia muda umumnya yang paling
sering mengidap chlamydia, baik pria maupun wanita segala usia pun bisa terkena
chlamydia.
Jika tidak ditangani dengan tepat, penyakit chlamydia bisa menyebar dan menimbulkan
gangguan kesehatan jangka panjang .Berikut ini beberapa komplikasi chlamydia pada pria:
 Epididimitis, yaitu peradangan yang terjadi pada epididimis yang merupakan
bagian dari sistem reproduksi pria dan saluran untuk sperma dari testikel. Penyakit
ini menimbulkan gejala membengkaknya epididimis dan rasa nyeri. Jika tidak
segera ditangani, infeksi bisa menyebabkan munculnya cairan atau bahkan nanah,
dan jika sudah parah bisa menyebabkan kemandulan.
 Reactive arthritis, yaitu peradangan yang terjadi pada persendian dan lebih
banyak menimpa pria dibandingkan wanita. Obat pereda nyeri antiinflamasi non-
steroid, seperti ibuprofen, bisa untuk mengendalikan gejala reactive arthritis.
Biasanya, gejala akan membaik dalam waktu 3 bulan hingga setahun, tetapi kondisi
ini bisa kembali lagi.
 Uretritis, yaitu peradangan yang terjadi pada saluran pembuangan urine atau
uretra. Kondisi ini biasanya memiliki gejala, seperti sering dan tidak mampu
menahan buang air kecil, terasa sakit atau perih saat buang air kecil, kulup atau
ujung Mr P mengalami iritasi dan terasa sakit, dan ujung Mr P mengeluarkan
cairan kental berwarna putih.
Sedangkan komplikasi chlamydia pada wanita, yaitu:
 Servisitis, yaitu peradangan yang terjadi pada leher rahim atau serviks. Beberapa
gejala cervicitis yang dapat terjadi adalah perut bagian bawah terasa nyeri, sakit
saat berhubungan seksual, pendarahan yang terjadi saat atau usai berhubungan
seksual, dan pendarahan di antara masa menstruasi.
 Penyakit radang panggul, yaitu kondisi di mana ovarium, rahim dan tuba fallopi
mengalami infeksi. Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa meningkatkan risiko
kehamilan ektopik atau pertumbuhan janin di luar rahim dan keguguran. Penyakit
ini bisa menyebabkan panggul terasa sakit secara terus-menerus dan kemandulan.
 Bartholinitis, yaitu kondisi kelenjar Bartholin yang membengkak. Kelenjar
bartholin berperan untuk memproduksi cairan pelumas pada wanita saat
berhubungan seksual. Kista kelenjar Bartholin dapat terjadi jika kelenjar tersumbat
dan mengalami infeksi, serta bisa menyebabkan abses yang terasa sakit saat
disentuh, perih, berwarna merah dan bisa menyebabkan demam. Obat antibiotik
harus digunakan untuk mengatasi abses yang terinfeksi.
 Salpingitis, yaitu peradangan yang terjadi pada tuba fallopi yang menyebabkan sel
telur dari ovarium sulit untuk menuju rahim dan membuat pengidapnya sulit hamil.
Risiko mengalami kehamilan di luar rahim atau ektopik akan meningkat, walau
sumbatan di tuba fallopi hanya sebagian.

Faktor Risiko Chlamydia


Berikut ini faktor risiko yang menyebabkan seseorang terkena chlamydia:
 Pernah mengidap penyakit menular seksual.
 Memiliki lebih dari satu pasangan seksual/berganti-ganti pasangan.
 Berhubungan seksual tanpa menggunakan kondom.
 Aktif secara seksual sebelum usia 18 tahun.

Penyebab Chlamydia
Chlamydia disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis. Penyakit ini, bias menular
melalui seks anal, oral, vaginal, dan saling bersentuhannya alat kelamin. Selain itu, mainan
seks yang tidak dicuci bersih atau dilapisi kondom baru juga bisa menjadi media penularan
chlamydia.
Cairan seksual yang keluar dari alat kelamin penderitanya bisa menularkan bakteri ini
walaupun tanpa orgasme, ejakulasi, atau penetrasi. Risiko terjangkit chlamydia bisa
meningkat jika berhubungan seksual berganti-ganti pasangan atau dengan banyak orang.
Penularan chlamydia tidak akan terjadi karena hal berikut ini:
 Pelukan;
 Dudukan toilet;
 Handuk;
 Peralatan makan;
 Ciuman;
 Kolam renang; dan
 Kamar mandi.
Pada ibu hamil, bisa menularkan chlamydia pada bayi yang dilahirkannya dan
menyebabkan mata menjadi bengkak dan mengeluarkan cairan atau yang disebut dengan
konjungtivitis serta radang paru-paru. Oleh karena itu, ketika merencanakan kehamilan
atau pada saat awal kehamilan, pastikan kamu tidak sedang mengalami infeksi ini dan jika
positif, obati secepat mungkin.

Gejala Chlamydia
Chlamydia umumnya tidak menunjukkan gejala setelah 1–3 minggu. Seringkali, gejala
chlamydia diabaikan karena dianggap segera berlalu dan tidak parah. Gejala chlamydia
pada wanita dan pria bisa berbeda, tetapi sakit atau nyeri saat buang air kecil menjadi
karakteristik umum.
Chlamydia tidak menimbulkan gejala pada 50 persen pengidap pria dan 50 persen lainnya
mengalami gejala, seperti sakit pada testikel, serta keluarnya cairan berwarna putih kental
atau encer dari ujung Mr P. Infeksi masih terjadi dan bisa ditularkan walau gejala yang
dialami sudah hilang.
Sedangkan pada wanita yang tidak mengalami gejala adalah sekitar 75 persen, dan 25
persen mengalami gejala yang paling umum terjadi, seperti terjadi pendarahan saat atau
usai melakukan hubungan seks dan mengeluarkan cairan vagina yang tidak biasa. Selain
itu, ada juga yang mengalami menstruasi lebih berat dari biasanya, pendarahan di antara
masa menstruasi, dan perut bagian bawah terasa sakit.
Selain menginfeksi organ intim, infeksi chlamydia juga terjadi pada mata dan
menyebabkan terjadinya konjungtivitis jika cairan vagina atau sperma yang terinfeksi
terkena mata. Mata yang terinfeksi akan terasa perih, bengkak, teriritasi, dan mengeluarkan
cairan. Anus juga bisa terinfeksi dan menimbulkan pendarahan, keluar cairan, serta rasa
sakit dan tidak nyaman. Selain itu, infeksi tenggorokan juga bisa terjadi dan biasanya tidak
menimbulkan gejala.

Diagnosis Chlamydia
Pemeriksaan atau diagnosis Chlamydia biasanya didapat ketika melakukan tes selama
kunjungan ke dokter. Tes ini dilakukan secara tahunan pada yang berumur di bawah 25
tahun dan aktif secara seksual. Untuk yang berumur 25 tahun ke atas, sebaiknya tes
dilakukan setiap tahun ketika pada yang memiliki hubungan seksual dengan lebih dari satu
pasangan, berhubungan seks dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan, melakukan
seks yang tidak aman, atau sebelumnya pernah mengidap chlamydia.

Pengobatan Chlamydia
Pengobatan Chlamydia dialkukan dengan mengonsumsi kombinasi obat anti bakteri yang
diresepkan oleh dokter. Untuk mendapatkan penanganan yang tepat, segera hubungi
dokter.

Pencegahan Chlamydia
 Menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan tidak berbagi penggunaan
mainan seks.
 Pemakaian kondom saat berhubungan seksual tidak 100 persen menghilangkan
risiko terkena infeksi, tapi efektif dalam mengurangi risiko terjangkit penyakit
menular seksual.
 Membatasi pasangan seksual atau setia dengan satu orang pasangan saja. Jika aktif
melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu orang, maka dianjurkan
melakukan pemeriksaan secara rutin, mengingat chlamydia bisa tidak
menimbulkan gejala pada sebagian orang.

Pengertian HIV dan AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh yang selanjutnya melemahkan kemampuan tubuh melawan infeksi dan penyakit.
Obat atau metode penanganan HIV belum ditemukan. Dengan menjalani pengobatan
tertentu, pengidap HIV bisa memperlambat perkembangan penyakit ini, sehingga pengidap
HIV bisa menjalani hidup dengan normal. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
adalah kondisi di mana HIV sudah pada tahap infeksi akhir. Ketika seseorang sudah
mengalami AIDS, maka tubuh tidak lagi memiliki kemampuan untuk melawan infeksi
yang ditimbulkan.
Faktor Risiko HIV dan AIDS
Kelompok orang yang lebih berisiko terinfeksi, antara lain:
 Orang yang melakukan hubungan intim tanpa kondom, baik hubungan sesama jenis
maupun heteroseksual.

 Orang yang sering membuat tato atau melakukan tindik.


 Orang yang terkena infeksi penyakit seksual lain.


 Pengguna narkotika suntik.


 Orang yang berhubungan intim dengan pengguna narkotika suntik.

Penyebab HIV dan AIDS


Di negara Indonesia, penyebaran dan penularan HIV paling banyak disebabkan melalui
hubungan intim yang tidak aman dan bergantian menggunakan jarum suntik yang tidak
steril saat memakai narkoba. Seseorang yang terinfeksi HIV dapat menularkannya kepada
orang lain, bahkan sejak beberapa minggu sejak tertular. Semua orang berisiko terinfeksi
HIV.

Gejala HIV dan AIDS


Tahap Pertama:
 Pengidap akan mengalami nyeri mirip, seperti flu, beberapa minggu setelah
terinfeksi, selama satu hingga dua bulan.
 Dapat tidak menimbulkan gejala apapun selama beberapa tahun.
 Dapat timbul demam, nyeri tenggorokan, ruam, pembengkakan kelenjar getah
bening, diare, kelelahan, nyeri otot, dan sendi.
Tahap Kedua:
 Umumnya, tidak menimbulkan gejala lebih lanjut selama bertahun-tahun.
 Virus terus menyebar dan merusak sistem kekebalan tubuh.
 Penularan infeksi sudah bisa dilakukan pengidap kepada orang lain.
 Berlangsung hingga 10 tahun atau lebih.
Tahap Ketiga:
 Daya tahan pengidap rentan, sehingga mudah sakit, dan akan berlanjut menjadi
AIDS.
 Demam terus-menerus lebih dari sepuluh hari.
 Merasa lelah setiap saat.
 Sulit bernapas.
 Diare yang berat dan dalam jangka waktu yang lama.
 Terjadi infeksi jamur pada tenggorokan, mulut, dan vagina.
 Timbul bintik ungu pada kulit yang tidak akan hilang.
 Hilang nafsu makan, sehingga berat badan turun drastis.
Diagnosis HIV dan AIDS
Tes HIV harus dilakukan untuk memastikan seseorang mengidap HIV atau tidak.
Pemeriksaan yang dilakukan sebagai langkah diagnosis adalah dengan mengambil sampel
darah atau urine pengidap untuk diteliti di laboratorium. Jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi HIV, antara lain:
 Tes antibodi. Tes ini bertujuan mendeteksi antibodi yang dihasilkan tubuh untuk
melawan infeksi HIV. Meski akurat, perlu waktu 3-12 minggu agar jumlah antibodi
dalam tubuh cukup tinggi untuk terdeteksi saat pemeriksaan.
 Tes antigen. Tes antigen bertujuan mendeteksi protein yang menjadi bagian dari
virus HIV, yaitu p24. Tes antigen tersebut dapat dilakukan 2-6 minggu setelah
pengidap yang dicurigai terinfeksi HIV.
Jika skrining menunjukkan pengidap terinfeksi HIV (HIV positif), pengidap perlu
menjalani tes selanjutnya, untuk memastikan hasil skrining, membantu dokter mengetahui
tahap infeksi yang diderita, serta menentukan metode pengobatan yang tepat. Tes ini
dilakukan dengan mengambil sampel darah pengidap, untuk selanjutnya diteliti di
laboratorium. Tes tersebut, antara lain:
 Hitung sel CD4. CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang dihancurkan oleh
HIV. Jumlah CD4 normal berada dalam rentang 500–1400 sel per milimeter kubik
darah. AIDS terjadi jika hasil hitung sel CD4 di bawah 200 sel per milimeter kubik
darah.
 Pemeriksaan viral load (HIV RNA). Bertujuan untuk menghitung RNA, bagian
dari virus HIV yang berfungsi menggandakan diri. Jumlah RNA yang lebih dari
100.000 kopi per mililiter darah, menandakan infeksi HIV baru saja terjadi atau
tidak tertangani. Sedangkan jumlah RNA yang berada di bawah 10.000 kopi per
mililiter darah, menunjukan perkembangan virus yang tidak terlalu cepat, tetapi
kerusakan pada sistem kekebalan tubuh tetap terjadi.
 Tes resitensi (kekebalan) dilakukan untuk menentukan obat anti HIV jenis apa
yang tepat bagi pengidap. Hal ini dikarenakan beberapa pengidap memiliki
resistensi terhadap obat tertentu.

Pengobatan HIV dan AIDS


Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV, tetapi ada jenis obat
yang dapat memperlambat perkembangan virus. Jenis obat ini disebut antiretroviral
(ARV). ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk
menggandakan diri dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Jenis obat ARV
memiliki berbagai varian, antara lain Etravirine, Efavirenz, Lamivudin, Zidovudin, dan
juga Nevirapine.
Selama mengonsumsi obat antiretroviral, dokter akan memonitor jumlah virus dan sel CD4
untuk menilai respons pengidap terhadap pengobatan. Hitung sel CD4 akan dilakukan tiap
3–6 bulan. Sedangkan pemeriksaan HIV RNA, dilakukan sejak awal pengobatan, lalu
dilanjutkan tiap 3–4 bulan selama masa pengobatan.
Agar perkembangan virus dapat dikendalikan, pengidap harus segera mengonsumsi ARV
begitu didiagnosis mengidap HIV. Risiko pengidap HIV untuk terserang AIDS akan
semakin besar jika pengobatan ditunda, karena virus akan semakin merusak sistem
kekebalan tubuh. Selain itu, penting bagi pengidap untuk mengonsumsi ARV sesuai
petunjuk dokter. Konsumsi obat yang terlewat hanya akan membuat virus HIV
berkembang lebih cepat dan memperburuk kondisi pengidap.
Segera minum obat jika jadwal konsumsi obat pengidap dan tetap ikuti jadwal berikutnya.
Namun jika dosis yang terlewat cukup banyak, segera bicarakan dengan dokter. Kondisi
pengidap juga memengaruhi resep atau dosis yang sesuai. Dokter juga dapat menggantinya
sesuai dengan kondisi pengidap. Selain itu, pengidap juga boleh untuk mengonsumsi lebih
dari 1 obat ARV dalam sehari.

Pencegahan HIV dan AIDS


Terdapat berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan HIV dan AIDS,
antara lain:
 Gunakan kondom yang baru setiap berhubungan intim, baik hubungan intim
vaginal maupun anal.
 Hindari berhubungan intim dengan lebih dari satu pasangan.
 Bersikap jujur kepada pasangan jika mengidap positif HIV, agar pasangan juga
menjalani tes HIV.
 Diskusikan dengan dokter jika didiagnosis positif HIV saat hamil, mengenai
penanganan selanjutnya, dan perencanaan persalinan, untuk mencegah penularan
dari ibu ke janin.
 Bersunat untuk mengurangi risiko infeksi HIV.
 Jika menduga baru saja terinfeksi atau tertular virus HIV, seperti setelah
melakukan hubungan intim dengan pengidap HIV, maka harus segera ke dokter.
Agar bisa mendapatkan obat post-exposure prophylaxis (PEP) yang dikonsumsi
selama 28 hari dan terdiri dari 3 obat antiretroviral.

Anda mungkin juga menyukai