Anda di halaman 1dari 7

B.

Perkembangan Teknologi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Prasejarah


Setiap zaman memiliki ciri khasnya tersendiri. Hal ini tentunya termasuk pada masa
prasejarah di Indonesia. Kita dapat melihat perbedaan-perbedaan pada tiap-tiap masa sebagai
berikut.
a. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Kehidupan awal manusia purba diawali dengan kegiatan berburu dan mengumpulkan
makanan. Pada masa ini, manusia sangat bergantung pada alam, hidup tidak menetap dan
hampir seluruh alat-alat serta makanan diambil langsung dari alam. Pada akhir masa ini,
manusia sudah mulai semi-nomaden dengan tinggal di gua-gua yang berada tidak jauh dari
sumber air (aliran sungai) dan lahan perburuan. Sisa-sisa makanan yang berupa timbunan
atau gugusan kulit kerang itu disebut kjokkenmoddinger yang artinya "sampah dapur".
Situs Gua Pawon di Bandung Barat
1) Kehidupan Sosial Budaya
Kelompok berburu biasanya tersusun dari keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20
sampai 50 orang. Selama bertempat tinggal di gua-gua masyarakat sudah mulai berpikir
tentang seni dan ritual tertentu yang dituangkan berupa coretan-coretan di dinding gua. Pada
tahap awal, coretan-coretan berbentuk garis lurus vertikal maupun horizontal, lingkaran, dan
segi empat. Kemudian berkembang berupa coretan berbentuk hewan, telapak tangan, benda,
manusia, dan bentuk lain yang mengandung makna tertentu. Menurut para ahli coretan-
coretan tersebut merupakan peragaan aktivitas manusia waktu itu seperti kegiatan berburu
dan mengumpulkan makanan serta ritual penghormatan kepada roh nenek moyang. Di Jawa
Barat temuan tersebut dapat ditemukan di Situs Citapen, Ciamis atau lebih dikenal dengan
nama Situs Batu Tulis Citapen, merupakan situs budaya gua yang cukup tua di Jawa Barat
dan terdapat pula Situs Gua Pawon di Bandung Barat.

Penggalian Kjökkenmodding
2) Perkembangan Teknologi
Teknologi muncul dari upaya manusia untuk memenuhi kebun hidupnya, termasuk untuk
mempertahankan dirinya dari berb ancaman Manusia purba dalam mengatasi kebutuhan
hidup menimbulkan keinginan untuk menggunakan alat bantu. Pada t awal, alat yang
digunakan masih terbilang kebetulan dan in Akan tetapi, dari situ timbul kemampuan untuk
memodi dan menghasilkan alat yang diinginkan hingga pada akhir melahirkan teknologi
pembuatan peralatan
Pada masa berburu/meramu peralatan dari batu dan tuli dibuat untuk dipakai dalam upaya
pemenuhan kebutuhan seha hari Hasil kebudayaan manusia purba di Jawa Barat pada masa
antara lain alat-alat dari batu, kapak perimbas (chopper), kapu penetak (chopping tool) flakes,
dan alat serpih. Alat-alat serpih banya ditemukan di sekitar Bandung seperti Dago, Ujung
Berung, Cililin, da Padalarang yang diduga merupakan tepian Danau Bandung Purba
Kapak perimbas digenggam dan berbentuk masif. Tradisi kapak perimbas ini dijumpai
hampir di seluruh Asia Tenggara, ditemuka juga di Tiongkok, Thailand, Vietnam, Pulau
Luzon (Filipina) dan bahkan di Pakistan. Ada banyak jenis kapak, kapak perimbas bentu
tajamannya cembung, cara pembuatannya dengan cara mengiks saru pinggiran batu. Kapak
penetak bentuknya liku-liku ada di dua sisi batu. Pahat genggam, berbentuk bujur sangkar
persegi atas persegi empat panjang. Kapak genggam awal, bentuknya meruncing dan kulit
batu masih melekat. Teknologi pembuatan alat ini dengan batu, makanya zaman ini disebut
zaman batu. Ragam jenis kapak ini ditemukan Koenigswald di Pacitan, Lembah Kali
Basokso, yakni 431 kapak perimbas, 89 kapak penetak, 87 pahat genggam. 195 kapak
genggam awal, 153 kapak genggam, 596 alat serpih yang belum terpakai. 807 alat serpih
telah terpakai, dan 30 aneka ragam alat lain.

Jenis-jenis kapak genggam


Alat-alat tersebut dibuat dengan teknik yang sangat sederhana yaitu dengan membentur-
benturkan batu besar hingga diperoleh pecahan batu yang digunakan sebagai perkakas sehari-
hari Umumnya penemuan alat-alat Paleolitik di Jawa Barat berada di wilayah Pegunungan
Selatan, antara lain, Jampangkulon di Sukabumi, Parigi, Karangnunggal di Tasikmalaya, dan
Tambaksari di Ciamis. Selain itu, ditemukan pula di daerah Leuwiliang di Bogor.

B.Masa Bercocok Tanam


Inovasi teknologi pada masyarakat prasejarah membawa dampak dalam perkembangan
budaya. Manusia tidak lagi menggantungkan hidupnya pada alam, tetapi mulai menguasai
alam sekitarnya. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok dalam suatu perkampungan,
lalu manusia berusaha memenuhi kebutuhannya dengan cara pembiakan ternak, pemilihan
benih-benih tanaman, penemuan alat-alat baru untuk keperluan sehari-hari, seperti pembuatan
beliung persegi sebagai alat pertanian.
1) Kehidupan Sosial Budaya
Pada masa bercocok tanam, manusia sudah mulai hidup menetap dengan cara membentuk
perkampungan kecil semacam pedukuhan. Setiap pedukuhan dipimpin oleh seorang penghulu
yang berwibawa. menguasai ilmu mantera, dapat memimpin upacara keagamaan.
Rumah seorang penghulu berbeda dengan rumah masyarakat biasa, yaitu berukuran besar dan
berpanggung (berkolong). Adapun beberapa keluarga penduduk tinggal bersama di dalam
satu rumah yang dipimpin oleh seorang pemimpin kepala rumah tangga yang sudah tua dan
terpandang.
Untuk terhindar dari serangan musuh dan serangan binatang buas, manusia purba memilih
tinggal di daerah yang tinggi (perbukitan) yang dikelilingi sungai atau jurang Rumah yang
dibangun sangat sederhana, berbentuk bulat dan atap menempel ke tanah dengan bahan
utama terbuat dari dedaunan. Namun, hanya dapat menampung beberapa orang.
Untuk pakaian sehari-hari biasanya para penduduk menggunakan pakaian yang terbuat dari
serat rayon yang disebut papagan. Papagan dibuat dengan memukul-mukul kulit kayu dan
mengambil benangnya, kemudian ditenun menjadi pakaian.
Hidup menetap, memungkinkan perkembangan penduduk bertambah pesat. Pada masa itu,
perempuan mulai mendapat tempat dalam kegiatan tertentu.
Pada masa bercocok tanam pengetahuan manusia dalam mengelola alam bertambah pesat,
ditandai dengan penanaman berbagai macam tumbuhan, dan pemeliharaan hewan. Manusia
pada masa ini telah memanfaatkan hutan belukar yang dijadikan ladang untuk menanam
berbagai tanaman dengan cara menebang dan membakarnya. Di Jawa Barat praktik ini
disebut huma. Ditemukannya sejenis cangkul di Jawa Barat membuktikan bahwa masyarakat
telah mengenal praktik huma ini.
Selain itu, telah dikenal pula teknologi penyimpanan bahan makanan yang ditandai dengan
adanya berbagai wadah yang terbuat dari tanah liat (tradisi gerabah).
Di samping itu muncul kepercayaan-kepercayaan tertentu, baik kepercayaan terhadap roh-roh
nenek moyang (animisme) dan kepercayaan pada benda-benda yang dianggap memiliki
kekuatan magis (dinamisme).
Abris Sous Roche Arca Megalit
2) Perkembangan Teknologi
Hasil penelitian menunjukkan sebaran budaya megalitik sangat l Mulai dari ujung barat
Sumatra (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jam Sumatra Selatan, dan Lampung), Jawa (Jawa
Barat, Jawa Tengah, D Jawa Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawe
Selatan), sampal ke daerah di wilayah timur (Bali, Sumba, Sumba Flores, Timor, Sabu,
Maluku, dan Papua).
Budaya Neolitik yang berasal dari masa bercocok tanam, seper beliung persegi, gelang batu.
Temuan itu ditemukan di Kalapade tepi Sungai Ciliwung di Desa Serpong di Tangerang,
Cihuni, dan Ciledug di Banten, Pandeglang Rengasdengklok, Purwakarta Karangnunggal,
Tambaksari di Ciamis, Cililin di Bandung Barat dan di Situs Leuwiliang di Bogor. Di daerah
tersebut umumnya ditemukan alat serut dan pecahan batu kuarsa, batu api, batu gamping, dan
obsidian yang digunakan sebagai alat serpih.

Flakes ( srpih batu)


Menurut para ahli budaya, megalitik masuk ke Indonesia masuk sebelum maschi yang
ditandai dengan pendirian monumen- monumen batu, seperti menhir, undak batu, dan patung-
patung simbolis-monumental. Gelombang kedua, diperkiran pada awal abad pertama sebelum
masehi hingga abad pertama yang ditandai dengan pendirian monumen batu megalitik muda,
seperti kubur peti batu, dolmen semu dan sarkofagus. Budaya megalitik adalah salah satu
bentuk ciptaan manusia yang dicirikan oleh benda-benda berupa bangunan dari batu. Istilah
Megalitik berasal dari mega dan lithos (mega berarti besar dan lithos berarti batu). Slate Jadi
megalitik mempunyai makna sebagai suatu kebudayaan yang mencirikan bangunan dari batu-
batu besar. Namun, Fritz A. Wegener Dolmes berpendapat bahwa megalitik diartikan sebagai
batu besar dapat menimbulkan pengertian yang keliru karena objek-objek tersebut jelas
dibuat dengan tujuan sakral seperti pemujaan terhadap nenek moyang. Dengan demikian,
megalitik adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan atau benda-benda yang
terbuat dari batu besar atau kecil.
Dolmen Sarkofagus
Konsepsi pendirian megalitik selain berkaitan dengan hal- hal profan, lebih banyak dikaitkan
dengan aktivitas pemujaan dan penguburan. Konsep pendirian megalitik di India umumnya
berhubungan dengan alam kematian dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Konsep
yang berkaitan dengan alam kematian dapat dikaji melalui bentuk-bentuk wadah penguburan,
seperti peti kubur batu, dolmen sebagai kubur, dan batu yang disusun melingkar sebagai
kubur. Di beberapa megalitik tersebut pernah ditemukan tulang belulang manusia.
Masyarakat pegunungan percaya bahwa arwah nenek moyang mereka bersemayam di
puncak-puncak gunung Salah satu cara pemujaan kepada arwah nenek moyang adalah
dengan mendirikan punden berundak di atas gunung Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai
penghubung antara yang masih hidup dengan yang sudah mati. Di Nias terdapat tradisi
kepercayaan yang dikaitkan dengan binatang tertentu disebut lasara. Masyarakat percaya
bahwa hewan dapat memberikan pertolongan, kekuatan, dan perlindungan terhadap manusia
dari marabahaya. MacMillian Brown berpendapat bahwa kebudayaan Megalitik yang masuk
ke Indonesia dibawa oleh ras Kaukasia yang datang dari daerah Mediterania melalui Benua
Asia bagian selatan.

Panden berundak Kendi

Tradisi pembuatan gerabah telah berkembang sejak lama di wilayah Jawa Barat, seperti di
Kalapadua (Bogor), Serpong (Tangerang). dan di sekitar Danau Bandung, Gerabah yang
ditemukan di sekitar Danau Bandung daerah Dago umumnya berbentuk periuk-periuk bulat.
Pada masa itu, teknik yang dilakukan masih sangat sederhana tanpa alat bantu dan
pembakaran biasa. Namun, berbeda dengan temuan gerabah Kalapadua yang dilihat dari
pecahannya, gerabah ini dibuat dengan teknik yang lebih baik, tetapi masih kurang dalam
teknik pembakaran sehingga rapuh dan kurang tahan lama. Selain penemuan beberapa
kompleks situs tradisi gerabah, Jawa Barat juga memiliki beberapa pusat industri gerabah
yang masih menggunakan cara tradisional dengan teknik tatap landas (padle and anvil),
seperti di wilayah Sadang Gentong dan Pasir Sempur di Garut. Bentuk gerabah yang
dihasilkan berupa, cobek, cuwo, (berbentuk seperti mangkuk besar, biasa digunakan untuk
wadah air) dan sangrayan (semacam cobek tetapi berukuran lebih besar biasa digunakan
untuk menggoreng).
c. Masa Perundagian
Masa Perundagian disebut sebagai zaman logam awal atau zaman Paleometalik. Masuknya
teknologi logam awal ke Kepulauan Indonesia disebabkan oleh perubahan lingkungan
budaya. Salah satu peristiwa penting yang menjadi pemicu perubahan budaya itu adalah
migrasi penutur Austronesia dari Semenanjung Malaya atau Kalimantan ke Vietnam Selatan.
Keberadaan penutur Austronesia di Asia Tenggara daratan ini tidak disangsikan lagi menjadi
ujung tombak dalam menjalin hubungan dengan budaya kawasan itu. Melalui jaringan
hubungan ini teknologi pembuatan logam budaya Dongson yang berkembang di Vietnam
Utara mulai diperkenalkan ke Kepulauan Indonesia. Dalam sejarah perkembangan teknologi
logam, tembaga alam (native copper) adalah jenis logam yang pertama ditemukan oleh
manusia. Pada tahap ini manusia hanya mengenal jenis logam tunggal (monometalik) untuk
pembuatan artefak. Selanjutnya manusia mengenal teknik mencampur logam (polimetalik),
yakni perunggu untuk pembuatan artefak.
lilin air (a cire perdue) yang digunakan dengan cara membuat benda yang akan dicetak dari
lilin yang berisi tanah liat sebagai inti, lalu dilapisi kembali dengan tanah liat kemudian
dipanaskan. Lilin akan meleleh dan membentuk suatu ruang yang kemudian diisi dengan
tuangan logam cair sehingga menghasilkan benda yang diinginkan.
Artefak logam yang merupakan produk kebudayaan Dongson dapat dibedakan menjadi
beberapa kategori yaitu alat-alat musik perhiasan, peralatan, dan senjata. Artefak logam
tersebut antara lain berupa nekara, sejenis lonceng (bells), mangkok, gelang, pelindung
lengan dan dada, ikat pinggang, cincin, mata pancing, kapak corong, mata panah, sejenis
sabit yang tangkainya berlubang, kapak bahu, mata tombak, pisau kecil, pedang, dan pisau
belati yang tangkainya berhiaskan tubuh manusia. Kebudayaan Dongson merupakan puncak
dari perkembangan teknologi logam di Vietnam Utara didahului oleh beberapa fase budaya
yaitu Phung Nguyen, Dong Dao, dan Go Mun. Pada masing-masing fase budaya tersebut
terdapat artefak logam yang memiliki kandungan timah dan timbal berbeda. Namun, meski
teknologi logam sudah mulai berkembang, tradisi gerabah tidak hilang.

Gambar 2.40 Kapak corong


Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan yang memengaruhi alat-alat perunggu. Adapun
kebudayaan Sahuyinh berkaitan dengan kebudayaan gerabah. Hal ini menimbulkan dugaan
adanya hubungan antara Vietnam dan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai