Anda di halaman 1dari 40

Kepada Yang Mulia:

Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pidana


Nomor : 280/Pid.B/2023/PN Cbd
Pada Pengadilan Negeri Cibadak
di -
Palabuhanratu

Nota pembelaan (Pledooi) dalam Perkara Tindak Pidana Umum Nomor : 280/Pid.B/2023/PN Cbd Tanggal
23 Agustus 2023 pada Pengadilan Negeri Cibadak atas diri klien kami:
1. Nama Lengkap : DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA

Tempat lahir : Bandung

Umur / Tanggal lahir : 39 Tahun / 25 Januari 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Kampung Pameungpek Rt. 002/001 Desa Cihamerang


Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta/Dagang

Pendidikan : D3 Pelayaran (Tamat)

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Berdasarkan fakta persidangan, terlihat jelas posisi Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA
sangat terpojok oleh keterangan saksi Pelapor/korban dan koleganya. Dari keterangan saksi di
persidangan, patut kami selaku Penasihat Hukum TERDAKWA mempertanyakan “Kenapa saksi korban
beserta koleganya “memojokkan” TERDAKWA dalam perkara ini?” Bila kita menarik kesimpulan
berdasarkan data dan fakta persidangan, jelas sekali karena adanya kepentingan saksi korban dan
koleganya agar Terdakwa dapat dihukum dan dijebloskan ke penjara, meskipun seharusnya sarana
penyelesaian perkara ini harus melalui jalur hukum perdata karena berangkat dari perjanjian yang
dikamuflasekan melalui jual beli bawah tangan.

Berdasarkan Yurisprudensi perkara Pidana terkait persidangan perkara yang berangkat dari Surat
Dakwaan Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP, terlihat begitu banyak pemaksaan perkara perdata
telah dijadikan alat untuk mengorbankan nilai-nilai hukum dan keadilan (kriminalisasi wanprestasi).
Namun demikian, dalam beberapa yurisprudensi kita saksikan dengan sangat besar hati pengadilan
sebagai gerbang terakhir meraih keadilan memainkan peran sentral untuk mengembalikan nilai hukum
dan keadilan. Putusan-putusan tersebut dapat kita lihat seperti dalam Putusan No. 419 K/Pid/2010,
Putusan No. 424 K/Pid/2008, Putusan No. 2161 K/Pid/2008, Putusan Nomor: 2390 K/Pid/2006, Putusan
No. 812 K/Pid/2011 serta banyak yurisprudensi lain yang mencerminkan agungnya putusan lembaga
peradilan terhadap kriminalisasi wanprestasi akibat proses rekayasa yang telah dimulai sejak penyidikan
dan penuntutan.

Kita semua percaya, putusan yang diharapkan lahir dari proses persidangan perkara pidana adalah
putusan yang benar-benar naar eerlykheid, geweten en eer berlandaskan kebenaran materil yang
ditemukan melalui diskusi fair, dengan berpijak pada Surat Dakwaan Penuntut Umum pada awal
persidangan. Kemudian, apabila Surat Dakwaan Penuntut Umum berdasarkan uraian-uraian yang telah
dijelaskan dalam Surat Dakwaannya tidak dapat dibuktikan dalam persidangan, sudah sepantasnya Surat
Dakwaan tersebut DITOLAK atau setidaknya dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA untuk kemudian
mengembalikan hak-hak TERDAKWA pada keadaan semula.

Inilah yang ternyata kisa saksikan pada Surat Dakwaan Rekan Penuntut Umum, dimana uraian-uraian
yang didakwakan pada awal persidangan oleh Rekan Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan dilakukan Terdakwa. Namun, entah untuk hal apa Rekan Penuntut Umum tetap dengan
sangat yakin menyatakan Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA terbukti secara sah dan
menyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 372 KUHP dan
kemudian menuntut Terdakwa agar dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dan 2 bulan penjara
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah terdakwa tetap di tahan.
Dimanakah letak nurani hukum dan keadilan?

DAKWAAN
Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Yahya Harahap menyatakan, putusan perkara pidana dalam teori maupun praktek sangat bergantung
pada surat dakwaan, oleh karena surat dakwaan merupakan landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di
muka persidangan, dan kemudian menjadi landasan bagi hakim dalam menyusun pertimbangan hukum
dan putusan. Selain itu, dalam yurisprudensi MA RI No. 68K/KR/1973, 16 Desember 1976 menyatakan
bahwa “putusan hakim wajib mendasarkan pada rumusan surat dakwaan.”

Berangkat dari Surat Dakwaan Rekan Penuntut Umum pada awal persidangan menyatakan Terdakwa
Deden jatnika bin Endang sutarsa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam:

DAKWAAN KESATU:

KESATU :

------------- Bahwa ia Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA pada hari Senin tanggal 08
Agustus 2022 sekitar pukul 12.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus
tahun 2022 bertempat di Kampung Bantarmuncang Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak
Kabupaten Sukabumi atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Cibadak, Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, yang dilakukan
terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut : --------------------------------------------------

 Awalnya terdakwa menghubungi korban HAMDAN Bin H. EMI sambil mengatakan mempunyai
PO Beras sebanyak 50 Ton dengan Sistem Pembayaran 2 (Dua) hari setelah Pencairan BPNT
(Bantuan Pangan Non Tunai), pada mulanya korban menolak karena ingin pembayaran dengan
cash tetapi terdakwa meyakinkan korban dengan mengatakan “Gimana kalau anak buah pak haji
ditaro disini, nanti kalau sudah kartu BPNT digesek atau pencairan langsung di Transfer ke pak
haji sambil disaksikan anak buah pak haji”, setelah mendengar perkataan terdakwa tersebut
akhirnya korban menyetujui dengan mengatakan “Ya sudah kalau begitu mah oke saya mau
kirim beras sebanyak 50.600 Kg”. Dari pembicaraan antara korban dan terdakwa disepakati
harga Beras perkilonya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah) dan berdasarkan kesepakatan
tersebut korban percaya dan tergerak hatinya untuk mengirimkan Beras dengan total sebanyak
50.600 Kg yang dikirimkan dengan cara 5 (Lima) kali pengiriman ke sebuah Gudang di Daerah
Kampung Bantarmuncang Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi yaitu
pertama pada hari Senin tanggal 08 Agustus 2022 sebanyak 16.800 Kg Beras, kedua pada hari
Rabu tanggal 10 Agustus 2022 sebanyak 10.000 Kg Beras, ketiga pada hari Kamis tanggal 11
Agustus 2022 sebanyak 10.000 Kg Beras, keempat pada hari 10.000 Kg Beras dan kelima pada
hari Jumat tanggal 12 Agustus 2022 sebanyak 3.800 Kg Beras yang seluruhnya dikirim oleh saksi
ANDRI HERMAWAN menggunakan 1 (Satu) unit Mobil Truck milik korban dan saksi JERI RAHAYU
menyaksikan pengiriman Beras tersebut di Gudang di Daerah Kampung Bantarmuncang Desa
Sekarwangi Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Setelah seluruh Beras telah dikirim
kepada terdakwa, pembayaran yang semula akan dilunasi 2 (Dua) hari setelah Pencairan BPNT
(Bantuan Pangan Non Tunai) ternyata dicicil oleh terdakwa dengan total pembayaran sebesar
Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta rupiah) dengan rincian pada tanggal 09
Agustus 2022 terdakwa 3 (Tiga) kali mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening Toko
DIANA sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan
Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah), pada tanggal 10 Agustus 2022 terdakwa 2 (Dua)
kali mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening RIYAN AHDIANA sebesar Rp. 20.000.000,-
(Dua puluh juta rupiah) dan dari Rekening terdakwa sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah),
pada tanggal 12 Agustus 2022 terdakwa mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening
terdakwa sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), pada tanggal 13 Agustus 2022
terdakwa 2 (Dua) kali mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening terdakwa masing-masing
sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah) dengan total keseluruhan Rp. 30.000.000,-
(Tiga puluh juta rupiah), pada tanggal 14 Agustus 2022 terdakwa 5 (Lima) kali mengirimkan uang
melalui transfer dari Rekening terdakwa masing-masing sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh
juta rupiah) dengan total keseluruhan Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan pada tanggal
15 Agustus 2022 terdakwa 2 (Dua) kali mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening
terdakwa sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) dan Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta
rupiah).
 Bahwa sisa pembayaran yang seharusnya dibayarkan oleh terdakwa tidak dibayarkan kepada
korban dan ketika korban mendatangi terdakwa tidak ada itikad baik dari terdakwa untuk
melakukan pembayaran terhadap korban, kemudian terdakwa melalui saksi ENDANG SUKARSA
menyerahkan sisa Beras yang tidak terjual kepada korban sebanyak 897 Kg, total seluruh
pembayaran yang harus dilakukan oleh terdakwa kepada korban sebesar Rp. 447.327.000,-
(Empat ratus empat puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan telah
dibayarkan sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta rupiah) sehingga sisa
pembayaran yang harus dilakukan oleh terdakwa sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan
puluh dua juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
 Bahwa uang pembayaran Beras yang seharusnya dibayarkan kepada korban digunakan oleh
terdakwa untuk membayar hutang yang dimiliki oleh terdakwa sebelumnya kepada saksi RIYAN
AHDIANA sebesar Rp. 116.390.000,- (Seratus enam belas juta tiga ratus sembilan puluh ribu
rupiah) sementara sisanya digunakan oleh terdakwa untuk keperluan sehari-hari.
 Akibat perbuatan terdakwa tersebut korban HAMDAN Bin H. EMI telah mengalami kerugian
kurang lebih sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh
tujuh ribu rupiah), atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu.

------------- Perbuatan Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA sebagaimana diatur dan
diancam pidana melanggar Pasal 378
KUHP.-------------------------------------------------------------------------------

ATAU

KEDUA

------------- Bahwa ia Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA pada hari Senin tanggal 08
Agustus 2022 sekitar pukul 12.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus
tahun 2022 bertempat di Kampung Bantarmuncang Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak
Kabupaten Sukabumi atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Cibadak, Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan, yang dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut :
--------------------------------------------------------------------------------------------

 Awalnya terdakwa menghubungi korban HAMDAN Bin H. EMI sambil mengatakan mempunyai
PO Beras sebanyak 50 Ton dengan Sistem Pembayaran 2 (Dua) hari setelah Pencairan BPNT
(Bantuan Pangan Non Tunai), pada mulanya korban menolak karena ingin pembayaran dengan
cash tetapi terdakwa meyakinkan korban dengan mengatakan “Gimana kalau anak buah pak haji
ditaro disini, nanti kalau sudah kartu BPNT digesek atau pencairan langsung di Transfer ke pak
haji sambil disaksikan anak buah pak haji”, setelah mendengar perkataan terdakwa tersebut
akhirnya korban menyetujui dengan mengatakan “Ya sudah kalau begitu mah oke saya mau
kirim beras sebanyak 50.600 Kg”. Dari pembicaraan antara korban dan terdakwa disepakati
harga Beras perkilonya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah) dan berdasarkan kesepakatan
tersebut korban mengirimkan Beras dengan total sebanyak 50.600 Kg yang dikirimkan dengan
cara 5 (Lima) kali pengiriman ke sebuah Gudang di Daerah Kampung Bantarmuncang Desa
Sekarwangi Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi yaitu pertama pada hari Senin tanggal 08
Agustus 2022 sebanyak 16.800 Kg Beras, kedua pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2022
sebanyak 10.000 Kg Beras, ketiga pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2022 sebanyak 10.000 Kg
Beras, keempat pada hari 10.000 Kg Beras dan kelima pada hari Jumat tanggal 12 Agustus 2022
sebanyak 3.800 Kg Beras yang seluruhnya dikirim oleh saksi ANDRI HERMAWAN menggunakan 1
(Satu) unit Mobil Truck milik korban dan saksi JERI RAHAYU menyaksikan pengiriman Beras
tersebut di Gudang di Daerah Kampung Bantarmuncang Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak
Kabupaten Sukabumi. Setelah seluruh Beras telah dikirim kepada terdakwa, pembayaran yang
semula akan dilunasi 2 (Dua) hari setelah Pencairan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) ternyata
dicicil oleh terdakwa dengan total pembayaran sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh
lima juta rupiah) dengan rincian pada tanggal 09 Agustus 2022 terdakwa 3 (Tiga) kali
mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening Toko DIANA sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua
puluh juta rupiah), Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta
rupiah), pada tanggal 10 Agustus 2022 terdakwa 2 (Dua) kali mengirimkan uang melalui transfer
dari Rekening RIYAN AHDIANA sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) dan dari
Rekening terdakwa sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah), pada tanggal 12 Agustus 2022
terdakwa mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening terdakwa sebesar Rp. 20.000.000,-
(Dua puluh juta rupiah), pada tanggal 13 Agustus 2022 terdakwa 2 (Dua) kali mengirimkan uang
melalui transfer dari Rekening terdakwa masing-masing sebesar Rp. 15.000.000,- (Lima belas
juta rupiah) dengan total keseluruhan Rp. 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah), pada tanggal 14
Agustus 2022 terdakwa 5 (Lima) kali mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening terdakwa
masing-masing sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) dengan total keseluruhan Rp.
100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dan pada tanggal 15 Agustus 2022 terdakwa 2 (Dua) kali
mengirimkan uang melalui transfer dari Rekening terdakwa sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh
juta rupiah) dan Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah).
 Bahwa sisa pembayaran yang seharusnya dibayarkan oleh terdakwa tidak dibayarkan kepada
korban dan ketika korban mendatangi terdakwa tidak ada itikad baik dari terdakwa untuk
melakukan pembayaran terhadap korban, kemudian terdakwa melalui saksi ENDANG SUKARSA
menyerahkan sisa Beras yang tidak terjual kepada korban sebanyak 897 Kg, total seluruh
pembayaran yang harus dilakukan oleh terdakwa kepada korban sebesar Rp. 447.327.000,-
(Empat ratus empat puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan telah
dibayarkan sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta rupiah) sehingga sisa
pembayaran yang harus dilakukan oleh terdakwa sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan
puluh dua juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
 Bahwa uang pembayaran Beras yang seharusnya dibayarkan kepada korban digunakan oleh
terdakwa untuk membayar hutang yang dimiliki oleh terdakwa sebelumnya kepada saksi RIYAN
AHDIANA sebesar Rp. 116.390.000,- (Seratus enam belas juta tiga ratus sembilan puluh ribu
rupiah) sementara sisanya digunakan oleh terdakwa untuk keperluan sehari-hari.
 Akibat perbuatan terdakwa tersebut korban HAMDAN Bin H. EMI telah mengalami kerugian
kurang lebih sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh
tujuh ribu rupiah), atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu.

------------- Perbuatan Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA sebagaimana diatur dan
diancam pidana melanggar Pasal 372 KUHP.--------------------------------------------------------------------------

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Surat Dakwaan yang berfungsi sebagai instrumen yang memuat uraian verbal tindak pidana yang
dilakukan terdakwa, haruslah disusun berdasarkan bahan-bahan/fakta-fakta, kemudian ditarik dan
disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan yang sudah tertuang dalam BAP yang dilimpahkan
Penyidik ke Kejaksaan.

Apabila Surat Dakwaan dalam perkara DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA ini dihubungkan dengan
hasil pemeriksaan saksi fakta di persidangan, dan kenyataannya menunjukkan hanya keterangan 1 (satu)
orang saksi saja (yaitu SAKSI Hamdan/Pelapor) yang mempunyai pararelitas dengan surat dakwaan.
Disinilah kemudian muncul pertanyaan “Apakah Surat Dakwaan tersebut telah benar-benar disiapkan
dan disusun berdasarkan hasil pemeriksaan penyidikan ?” Mungkin Rekan Penuntut Umum dengan
sangat yakin akan menjawab “Ya”. Akan tetapi bagaimana mungkin mayoritas saksi justru memberikan
keterangan yang tidak menunjukkan adanya pararelitas atau tidak mendukung pembuktian kebenaran
surat dakwaan.

Padahal, Rekan Penuntut Umum memiliki hak normatif (asas opportunitas) untuk tidak melakukan
proses penuntutan apabila hasil penyidikan dinilai tidak layak untuk dilanjutkan dalam proses
penuntutan. Seharusnya pada proses Pra-Penuntutan, Rekan Penuntut Umum lebih cermat dan teliti
menelaah BAP dari penyidik. Dalam hal ini, apabila Rekan Penuntut Umum menilai belum lengkap, bisa
dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dan apabila memang tidak ada unsur pidana Rekan
Penuntut Umum dapat saja menghentikan penuntutan dalam suatu perkara. Tetapi faktanya, Rekan
Penuntut Umum telah menerbitkan keterangan P-21 (sebutan umum untuk pernyataan BAP sudah
lengkap) kepada penyidik. Ini menunjukkan Rekan Penuntut Umum sudah berani menyimpulkan
perbuatan terdakwa (jika dilihat dari hasil pemeriksaan di penyidik) sudah cukup bukti untuk
dipersalahkan dan karenanya harus disusun Surat Dakwaan.

Lebih parah lagi, dari saksi a charge yang keterangannya patut dinilai ada keterpautan dengan materi
dakwaan, sayang sekali tidak mengenai materieel daad dari terdakwa. Artinya keterangan saksi a charge
tersebut tidak terkait dengan perbuatan Penipuan atau Penggelapan yang didakwakan kepada
terdakwa.

Hal ini mengindikasikan Rekan Penuntut Umum dengan Surat Dakwaannya tersebut tidak dalam
performa yang sempurna, yang dengannya berarti kurang bersungguh-sungguh menyiapkan bahan yang
memadai bagi hakim dan persidangan agar sampai pada kesimpulan yang membuktikan kebenaran
dakwaannya (Kustaryo, 2009:2). Akan tetapi jika menilik hasil pemeriksaan di BAP, seharusnya hal ini
tidak terjadi. Karena beberapa keterangan saksi a charge dan pertautan antara beberapa keterangan
saksi (termasuk pula beberapa surat/dokumen yang bisa dijadikan petunjuk) mengindikasikan tidak ada
unsur pidana dalam perbuatan yang dilakukan Terdakwa Deden jatnika bin Endang sutarsa melainkan
perbuatan yang terjadi antara Terdawa dengan SAKSI HAMDAN berada dalam lapangan hukum perdata
akibat adanya suatu kesepakatan.

FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN:

Dalam pengungkapan fakta persidangan ini, patut kami tegaskan perlunya kembali menulis ulang
dengan menggaris bawahi beberapa hal yang terkait dengan persidangan karena begitu banyaknya fakta
persidangan yang tidak diungkapkan atau terjadinya kesalahan pengungkapan fakta persidangan yang
dilakukan Rekan Penuntut Umum, Tidak terlalu berlebihan kami kemukakan disini pendapat yang selalu
hidup dalam masyarakat dimana baik itu Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum maupun Penasihat
Hukum mempunyai fungsi yang sama dalam suatu peradilan pidana meskipun berlainan posisi.

Dengan hal tersebut diatas, sudah sewajarnya pendirian kami selaku Penasihat Hukum terdakwa akan
berbeda dengan pendirian Penuntut Umum dalam perkara ini yang telah mendakwa dengan Surat
Dakwaan Pertama melakukan Penipuan atau Kedua melakukan Penggelapan untuk kemudian menuntut
Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan
perbuatan pidana Penggelapan.

Dalam pandangan kami selaku para penasihat hukum terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA ,
hasil-hasil pemeriksaan persidangan telah menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut:

KETERANGAN SAKSI-SAKSI:

SAKSI Hamdan (Pelapor), yang pada dasarnya di bawah sumpah telah menyampaikan hal-hal sebagai
berikut :
- Bahwa saksi membenarkan objek penipuan yang dilakukan terdakwa berupa uang tunai sebesar
Rp. 207.327.000,- (Dua ratus tujuh juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) milik saksi.
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa menawarkan PO beras sebanyak 50 Ton dengan sistem
pembayaran 2 hari setelah pencairan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) yang saksi setujui
sebanyak 50.600 Kg dengan harga Beras perkilo nya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah)
dengan cara 5 (Lima) kali pengiriman ke sebuah Gudang di daerah Kp. Bantarmuncang Ds.
Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi, terdakwa seharusnya membayar terhadap saksi Uang
sebesar Rp. 455.400.000,- (Empat ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah) namun
terdakwa hanya membayar terhadap saksi Uang dengan jumlah total sebesar Rp.240.000.000,00
(dua ratus empat puluh juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan rincian pengiriman Berasnya adalah Pertama pada hari Senin tanggal
08 Agustus 2022, telah dikirim beras sebanyak 16.800 Kg (Enam belas ribu delapan ratus
kilogram) ke Gudang tempat penyimpanan beras di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec.
Cibadak Kab. Sukabumi, Kedua pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2022, telah dikirim beras
sebanyak 10.000 Kg (Sepuluh ribu kilogram) ke Gudang tempat penyimpanan beras di Kp.
Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi, Ketiga pada hari Kamis tanggal 11
Agustus 2022, telah dikirim beras sebanyak 10.000 Kg (Sepuluh ribu kilogram) ke Gudang tempat
penyimpanan beras di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi,
Keempat pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2022, telah dikirim beras sebanyak 10.000 Kg
(Sepuluh ribu kilogram) ke Gudang tempat penyimpanan beras di Kp. Bantarmuncang Ds.
Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi dan Kelima pada hari Jumat tanggal 12 Agustus 2022,
telah dikirim beras sebanyak 3.800 Kg (Tiga ribu delapan ratus kilogram) ke gudang tempat
penyimpanan beras di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan tidak ikut sewaktu melakukan pengiriman Beras dengan jumlah total
sebanyak 50.600 Kg (Lima puluh ribu enam ratus kilogram) terhadap terdakwa dan berada
dirumah di Kp. Lembur Sawah Rt. 16/03 Ds. Banyumurni Kec. Cibitung Kab. Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan dalam melakukan pengiriman Beras tersebut menggunakan 1 (Satu)
Unit Mobil Truck milik saksi.
- Bahwa saksi membenarkan menurut keterangan saksi ANDRI HERMAWAN Alias MAWI dan saksi
JERI RAHAYU yang menerima Beras dengan jumlah keseluruhan sebanyak 50.600 Kg (Lima puluh
ribu enam ratus kilogram) tersebut adalah saksi ENDANG SUTARSA yang merupakan Bapak
kandung dari terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan mempunyai bukti serah terima Beras sebanyak 50.600 Kg (Lima
puluh ribu enam ratus kilogram) tersebut berupa 4 (Empat) buah Nota Serah Terima Barang.
- Bahwa saksi membenarkan kewajiban terdakwa melakukan pembayaran terhadap saksi sebesar
Rp. 455.400.000,- (Empat ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah), namun
dikarenakan ada pengembalian Beras sebanyak 897 Kg (Delapan ratus Sembilan puluh tujuh
Kilogram), sehingga beras yang diterima terdakwa menjadi 49.703 Kg (Empat puluh Sembilan
ribu tujuh ratus tiga kilogram) sehingga kewajiban pembayaran terdakwa terhadap saksi sebesar
Rp. 447.327.000,- (Empat ratus empat puluh tujuh juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah)
dan terdakwa baru melakukan pembayaran terhadap saksi sebesar Rp. 240.000.000,- (Dua ratus
empat puluh juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui maksud dan tujuan terdakwa memesan Beras sebanyak
50.600 Kg (Lima puluh ribu enam ratus kilogram) terhadap saksi tersebut yakni untuk dijual
kepada para Agen BPNT atau E Warung, hal tersebut saksi ketahui berdasarkan keterangan
terdakwa terhadap saksi.
- Bahwa saksi membenarkan rincian pembayaran terdakwa terhadap saksi yaitu Pertama Tanggal
09 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening 502948885
An RIYAN AHDIANA ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi sendiri
HAMDAN uang sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), Kedua Tanggal 10 Agustus
2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN
ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang
sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), Ketiga Tanggal 10 Agustus 2022, terdakwa
mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank
BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.5.000.000,-
(Lima juta rupiah), Keempat Tanggal 12 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening
Bank BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening
0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh juta
rupiah), Kelima Tanggal 12 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI
nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An
nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah), Keenam
Tanggal 14 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening
1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi
sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), Ketujuh Tanggal 14
Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening 1132985070 An
DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang
sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), Kedelapan Tanggal 14 Agustus 2022, terdakwa
mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank
BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,-
(Dua puluh juta rupiah), Kesembilan Tanggal 14 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari
rekening Bank BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor
rekening 0792678675 An nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh
juta rupiah), Kesepuluh Tanggal 14 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank
BNI nomor rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675
An nama saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah),
Kesebelas Tanggal 15 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor
rekening 1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama
saksi sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), Keduabelas
Tanggal 15 Agustus 2022, terdakwa mengirim uang dari rekening Bank BNI nomor rekening
1132985070 An DEDEN ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0792678675 An nama saksi
sendiri HAMDAN uang sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah), terakhir sisanya sebesar
Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) terdakwa Transfer kepada saksi melalui Bank
saksi yang lain namun belum dicetak rekening koran nya.
- Bahwa saksi membenarkan yang membuat saksi tergerak sehingga percaya dan menyerahkan
beras sebanyak 50.600 Kg (Lima puluh ribu enam ratus kilogram) tersebut karena terdakwa
mengatakan akan melunasi pembayaran beras paling lama 2 (Dua) hari setelah pencairan BPNT,
kemudian terdakwa mengatakan terhadap saksi “Gimana kalau anak buah pak haji ditaro disini,
nanti kalau sudah digesek atau pencairan langsung diTransfer ke pak haji sambil disaksikan anak
buah pak haji”, dan saksi menyimpan anak buah yaitu saksi JERI RAHAYU di Gudang beras di Kp.
Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan tidak mengetahui benar tidaknya Beras sebanyak 49.703 Kg (Empat
puluh Sembilan ribu tujuh ratus tiga kilogram) oleh terdakwa disalurkan atau dijual kepada E-
Warung atau BPNT.
- Bahwa saksi membenarkan pada saat terdakwa memesan beras kepada saksi tidak pernah
menunjukkan PO (Purchase Order) kepada saksi.
- Bahwa saksi membenarkan sesuai adanya printout rekening koran milik saksi, terdakwa baru
melakukan pembayaran dari Beras sebanyak 49.703 Kg sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus
lima puluh lima juta rupiah) sedangkan sisa uang pembayaran beras yang belum diserahkan
kepada saksi sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh
tujuh ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan dengan adanya kejadian tersebut saksi mengalami kerugian kurang
lebih sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu
rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
- Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa.

- Saksi Jery Rahayu (Karyawan Saksi Korban Hamdan); yang pada dasarnya di bawah sumpah telah
menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa saksi membenarkan pada hari Senin tanggal 08 Agustus 2022 sekitar 16.00 Wib saksi
bersama dengan saksi ANDRI HERMAWAN pernah mengirim Beras kepada terdakwa di sebuah
Gudang di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi sebanyak 50.600 Kg
(Lima puluh ribu enam ratus Kilogram) milik korban.
- Bahwa saksi membenarkan hanya sekali melakukan pengiriman Beras bersama saksi ANDRI
HERMAWAN dan untuk penyerahan selanjutnya dilakukan oleh saksi ANDRI HERMAWAN.
- Bahwa saksi membenarkan yang telah menerima barang berupa beras sebanyak 50.600 Kg (Lima
puluh ribu enam ratus Kilogram) milik korban adalah saksi ENDANG SUTARSA yang merupakan
Bapak kandung terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan dalam melakukan pengiriman Beras tersebut dengan menggunakan
1 (Satu) Unit Mobil Truck warna Kuning Hijau milik korban.
- Bahwa saksi membenarkan pada hari Senin tanggal 08 Agustus 2022 sekitar pukul 12.00 WIB
setelah telah dikirim beras sebanyak 16.800 Kg (Enam belas ribu delapan ratus kilogram) ke
Gudang tempat penyimpanan beras di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab.
Sukabumi, selesai beras diturunkan kemudian saksi ANDRI HERMAWAN pulang kembali dengan
menggunakan 1 (Satu) Unit Mobil Truck milik korban sedangkan saksi menginap digudang
tersebut dikarenakan ditugaskan oleh korban untuk menunggu pembayaran uang dari terdakwa,
pada saat itu saksi melihat beras yang sebelumnya dikemas dalam sebuah karung berisikan 50
Kg (Lima puluh kilogram) kemudian oleh para pekerja terdakwa yang berjumlah sekitar 5 (Lima)
orang dipindahkan ke karung beras ukuran 9 Kg (Sembilan Kilogram) dan 10 Kg (Sepuluh
Kilogram), pada hari Selasa tanggal 09 Agustus 2022 sekitar pukul 05.00 WIB Beras tersebut
mulai didistribusikan oleh para pekerja terdakwa dengan menggunakan mobil pick up sementara
terdakwa ada di Gudang tersebut, selanjutnya saksi ngobrol dengan terdakwa dan mengatakan
bahwa kapan Uang pembayaran Beras kepada korban akan dibayar, setelah itu sekitar pukul
10.45 Wib terdakwa mengirimkan Uang kepada korban dengan cara mentransfer Uang sebesar
Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) ke rekening korban, selanjutnya pada pukul 18.28
Wib terdakwa kembali mengirimkan Uang kepada korban dengan cara mentransfer uang
sebesar Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) ke rekening korban, Pada hari Rabu
tanggal 10 Agustus 2022 sekitar pukul 00.30 Wib saksi ANDRI HERMAWAN membawa Beras
sebanyak 10.000 Kg (Sepuluh ribu kilogram), pada saat itu beras tersebut langsung diturunkan
dan dipindahkan selanjutnya Beras yang sebelumnya dikemas dalam sebuah karung berisikan 50
Kg (Lima puluh kilogram) oleh para pekerja terdakwa yang berjumlah sekitar 5 (Lima) orang
dipindahkan ke karung beras ukuran 9 Kg (Sembilan Kilogram) dan 10 Kg (Sepuluh Kilogram),
kemudian sekitar pukul 05.00 Wib saksi ANDRI HERMAWAN pulang, seharian tersebut saksi
hanya melihat Beras yang ada digudang didistribusikan oleh para pekerja terdakwa dengan
menggunakan Mobil Pick Up, sementara terdakwa ada di gudang tersebut dan pada saat itu
saksi tidak berkomunikasi dengan terdakwa, pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2022 sekitar
pukul 03.30 Wib saksi ANDRI HERMAWAN membawa Beras sebanyak 10.000 Kg (Sepuluh ribu
kilogram), pada saat itu beras tersebut langsung diturunkan dan dipindahkan selanjutnya Beras
yang sebelumnya dikemas dalam sebuah karung berisikan 50 Kg (lima puluh kilogram) kemudian
oleh para pekerja terdakwa yang berjumlah sekitar 5 (lima) orang dipindahkan ke karung beras
ukuran 9 Kg (Sembilan Kilogram) dan 10 Kg (Sepuluh Kilogram), setelah selesai kemudian Beras
didistribusikan oleh para pekerja terdakwa, selanjutnya sekitar pukul 12.30 Wib saksi pergi dari
Gudang di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi menuju ke kampung
halaman saksi di Kp. Pasir sawo Rt.01/02 Ds. Talaga Murni Kec. Cibitung Kab. Sukabumi, pada
hari Jumat tanggal 12 Agustus 2022 sekitar pukul 17.00 Wib saksi bersama dengan korban
mendatangi Gudang penyimpanan Beras di Kp. Bantarmuncang Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak
Kab. Sukabumi dengan maksud dan tujuan untuk menagih Uang kepada terdakwa yang dipesan
oleh terdakwa tersebut, pada hari Sabtu tanggal 13 Agustus 2022 sekitar pukul 17.00 Wib saksi
bersama dengan korban pulang ke Kp. Lembur Sawah Rt. 16/03 Ds. Banyumurni Kec. Surade
Kab. Sukabumi karena tidak adanya kepastian pembayaran dari terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui maksud dan tujuan terdakwa memesan Beras tersebut
yakni untuk dijual kembali oleh terdakwa kepada masyarakat melalui program BPNT atau
Bantuan Pangan Non Tunai.
- Bahwa saksi membenarkan setiap kali penyerahan Beras dari saksi terhadap terdakwa tersebut
menggunakan bukti penyerahan berupa Nota sebanyak 4 (empat) Lembar.
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui harga Beras yang dijual oleh korban terhadap terdakwa
tersebut per kilogram nya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui Uang yang harus dibayar oleh terdakwa terhadap
korban sebesar Rp. 455.400.000,- (empat ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu rupiah),
namun dikarenakan ada pengembalian Beras sebanyak 897 Kg (Delapan ratus sembilan puluh
tujuh kilogram), maka beras yang diterima oleh terdakwa menjadi sebanyak 49.703 Kg (Empat
puluh Sembilan ribu tujuh ratus tiga kilogram), sehingga Uang yang harus dibayar oleh terdakwa
kepada korban tersebut menjadi sebesar Rp. 447.327.000,- (Empat ratus empat puluh tujuh juta
tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui berdasarkan keterangan korban, hingga saat ini
terdakwa baru melakukan pembayaran terhadap korban sebesar Rp. 240.000.000,- (dua ratus
empat puluh juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan mengetahui berdasarkan keterangan korban hingga tergerak dan
mau menyerahkan beras sebanyak 50.600 Kg (Lima puluh ribu enam ratus Kilogram) karena
terdakwa menjanjikan akan membayar lunas atas pemesanan Beras tersebut 2 (Dua) hari
setelah pencairan BPNT atau Bantuan Pangan Non Tunai, namun pada kenyatannya sampai
dengan saat ini terdakwa tidak melunasi pembayaran terhadap korban.
- Bahwa saksi membenarkan tidak mengetahui secara jelas dikemanakan Beras tersebut.
- Bahwa saksi membenarkan tidak mengetahui terkait pembayaran Beras sebanyak 49.703 Kg
milik korban yang sudah dan belum dibayarkan oleh terdakwa namun menurut hasil keterangan
korban setelah disesuaikan dengan adanya rekening koran miliknya uang pembayaran Beras
yang telah diserahkan oleh terdakwa sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta
rupiah) sedangkan yang belum diserahkan sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh
dua juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan dengan adanya kejadian tersebut korban mengalami kerugian
kurang lebih sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh
tujuh ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa.
- Saksi Agus Sofyan bin Jeje (AGEN BPNT); pada dasarnya di bawah di persidangan menjelaskan hal-
hal sebagai berikut:

- Bahwa saksi membenarkan menjadi AGEN BPNT (bantuan pangan non tunai) atau E-WARUNG
tersebut sejak tahun 2018 dengan nama Agen BPNT (bantuan pangan non tunai) atau E-
WARUNG milik saksi tersebut adalah AGUS SOPYAN No. Agen Laku Pandai : BNI/074/194793 No.
PKS : BNI/SKM/5.
- Bahwa saksi membenarkan pernah membeli Beras untuk program BPNT atau E-Warung dari
terdakwa dengan harga per kilogram beras nya sebesar Rp. 9.500,- (Sembilan ribu lima ratus
rupiah) pada bulan April tahun 2022 sekitar pukul 16.00 Wib dirumah saksi di Kp.
Bantarmuncang Rt. 02/09 Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi sebanyak 1500 Kg (seribu
lima ratus kilogram) dengan jumlah 150 Karung dengan harga sebesar Rp. 14.250.000,00 (Empat
belas juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan pada tanggal 9 Agustus 2022 sekitar pukul 10.00
Wib di Gudang penyimpanan Beras di Kp. Bantarmuncang Rt. 02/09 Ds. Sekarwangi Kec. Cibadak
Kab. Sukabumi sebanyak 1000 Kg (seribu kilogram) dengan jumlah 100 Karung dengan harga
sebesar Rp. 9.500.000,- (Sembilan juta lima ratus ribu rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan telah melakukan pembayaran kepada terdakwa pada bulan April
tahun 2022 sekitar pukul 16.00 Wib dengan cara Transfer ke rekening Bank BNI nomor rekening
1132985070 atas nama DEDEN JATNIKA sebanyak dua kali Transfer yakni yang pertama sebesar
Rp. 18.200.000,- (Delapan belas juta dua ratus ribu rupiah) dan kedua sebesar Rp. 9.100.000,-
(Sembilan juta seratus ribu rupiah), sehingga total Transfer sebesar Rp. 27.300.000,00 (Dua
puluh tujuh juta tiga ratus ribu rupiah). Pada tanggal 9 Agustus 2022 sekitar pukul 10.00 Wib,
saksi sudah Transfer ke rekening Bank BNI Nomor rekening 0502948885 atas nama RIAN
AHDIANA sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah), kemudian ke rekening Bank BNI
nomor rekening 1132985070 atas nama DEDEN JATNIKA sebesar Rp. 850.000,00 (Delapan ratus
lima puluh ribu rupiah) sehingga total Transfer sebesar Rp. 20.850.000,- (Dua puluh juta delapan
ratus lima puluh ribu rupiah), jumlah tersebut dibayarkan untuk pembelian Beras dan bahan
pangan lain.
- Bahwa saksi membenarkan punya bukti pembayaran kaitan bahan pangan untuk progam BPNT
atau E-Warung yang dibeli saksi dari terdakwa berupa Struk Transfer.
- Bahwa saksi membenarkan mempunyai bukti serah terima bahan pangan berupa surat jalan
dengan No : 006/BPNT/09/2022 TANGGAL 09 Agustus 2022 dari terdakwa yang mana surat
tersebut ditanda tangani oleh terdakwa dan diberi stempel PT. TUNGGUL KAWUNG PERKASA.
- Bahwa saksi membenarkan hubungan antara terdakwa dengan PT. TUNGGUL KAWUNG
PERKASA tersebut adalah kerja sama usaha.
- Bahwa saksi membenarkan keberadaan bahan pangan yang dibeli saksi dari terdakwa untuk
progam BPNT atau E-warung tersebut sudah disalurkan kepada warga masyarakat Desa
Sekarwangi Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa.

saksi HAERUDIN Bin DADIH, dibawah sumpah agama Islam pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersedia memberikan keterangan di
persidangan.
- Bahwa saksi membenarkan keterangannya yang ia berikan di hadapan penyidik sehubungan
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban
HAMDAN Bin H. EMI .
- Bahwa saksi membenarkan menjadi AGEN BPNT (bantuan pangan non tunai) atau E-WARUNG
tersebut sejak tanggal 09 April 2021 dan nama Agen BPNT (bantuan pangan non tunai) atau E-
WARUNG milik saksi tersebut adalah WARUNG KANAYA
- Bahwa saksi membenarkan pernah membeli beras untuk program BPNT atau E-Warung dari
terdakwa pada tanggal 10 Agustus 2022 sekira pukul 18.00 Wib di Kp. Bantar muncang Ds.
Bantar muncang Kec. Cibadak Kab. Sukabumi sebanyak 1.200 kg dengan harga sebesar Rp.
10.000,- (Sepuluh ribu) perkilo namun selain beras saya juga membeli bahan pokok lain nya
yaitu kacang hijau sebanyak 200 bungkus dan daging ayam sebanyak 75 kg sehingga jumlah
pembayaran pembelian beras, kacang hijau dan daging ayam tersebut sebesar Rp. 35.000.000,-
(Tiga puluh lima juta rupiah) kepada terdakwa dan sudah saksi bayar dengan lunas melalui
transfer pada tanggal 11 Agustus 2022 ke rekening Bank BNI An. DEDEN JATNIKA dengan nomor
1132985070 sebesar Rp. 35.000.000,- (Tiga puluh lima juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan mempunyai bukti berupa struk transfer.
- Bahwa saksi membenarkan mempunyai bukti serah terima bahan pangan yang saksi beli dari
terdakwa untuk progam BPNT atau E-warung tersebut.
- Bahwa saksi membenarkan keberadaan bahan pangan yang saksi beli dari terdakwa untuk
progam BPNT atau E-warung tersebut sudah disalurkan kepada warga masyarakat Desa
Boyongsari Kecamatan Bantargadung Kabupaten Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa.

1. saksi ENDANG SUTARSA Bin KARDI, dibawah sumpah agama Islam pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut : -------------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersedia memberikan keterangan di
persidangan.
- Bahwa saksi membenarkan keterangannya yang ia berikan di hadapan penyidik sehubungan
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban
HAMDAN Bin H. EMI .
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa telah meminta dikirim Beras untuk program BPNT di
Kabupaten Sukabumi dengan menjanjikan bahwa Uang Beras tersebut akan dibayarkan setelah
2 (Dua) hari kemudian, namun terdakwa tidak menepati janjinya membayarkan sebagian Uang
tersebut kepada terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan jumlah Beras yang diminta oleh terdakwa ke korban sebanyak
50.600 Kg, dan kesepatakan uang penjualan beras sebesar Rp. 9.000,- / Kg sehingga kewajiban
terdakwa ke korban sebesar Rp. 447.327.000.
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa meminta atau memesan dikirim Beras kepada korban pada
hari lupa tanggal 08 Agustus 2022 dan permintaan tersebut dilakukan di Jampang Surade Kab.
Sukabumi.
- Bahwa saksi membenarkan maksud dan tujuan terdakwa meminta atau memesan beras
terhadap korban tersebut untuk dijual kembali kepada Agen BPNT / E-Warung dengan
ketentuan apabila sudah selesai pembayaran dari para Agen tersebut, maka oleh terdakwa
langsung melakukan pelunasan terhadap korban terkait dengan pembelian Beras tersebut.
- Bahwa saksi membenarkan seluruh Agen BPNT – E-warung tersebut telah melakukan
pembayaran atas beras yang telah diterimanya kepada Sdr. NUNUNG selaku istri dari terdakwa
dari jumlah beras sebanyak 1.750 Kg telah membayar sebesar Rp. 16.625.000,-, ditransfer ke
rekening DEDEN JATNIKA, Sdr. YUSUF dari beras sebanyak 2000 Kg telah membayar Rp.
19.000.000,- ditransfer ke ke rekening DEDEN JATNIKA, Sdr. JAJAT dari beras sebanyak 3.400 Kg
telah membayar sebesar Rp. 31.666.500,- ditransfer ke rekening RIAN, saksi AGUS dari beras
sebanyak 1000 Kg telah membayar Rp. 9.500.000,- ditransfer ke rekening RIAN, saksi HAERUDIN
dari beras sebanyak 3200 Kg telah membayar Rp. 30.400.000,- ditransfer ke rekening DEDEN
JATNIKA, saksi IYAN dari beras sebanyak 200 Kg telah membayar sebesar Rp. 19.000.000,-.
ditransfer ke rekening DEDEN JATNIKA, saksi RINA dari beras sebanyak 23.740 Kg telah
membayar sebesar Rp. 225.530.000,- ditransfer ke rekening DEDEN JATNIKA, Sdr. DAONG dari
beras sebanyak 1.900 Kg telah membayar sebesar Rp. 18. 050.000,-. ditransfer ke rekening
DEDEN JATNIKA, Sdr. ODONG dari beras sebanyak 10.710 Kg telah membayar sebesar Rp.
101.745.000,- ditransfer ke rekening korban sebesar Rp. 35.000.000,- ke Rekening Sdr. RIAN
sebasar 66.745.000,- dengan total keseluruhan Uang pembayaran sebesar Rp.463.205.000,-.
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa sampai saat ini belum memenuhi kewajibannya untuk
membayarkan keseluruhan Uang tersebut, karena uang hasil penjualan Beras tersebut
digunakan untuk biaya operasional diantarnya membeli karung, biaya pengolahan dan
pengemasan, biaya bongkar muat beras, biaya transportasi pengiriman barang (beras), upah
kerja, sewa gudang serta diambil oleh saksi RIAN dan sebenarnya terkait dengan kebutuhan
tersebut adalah tanggung jawab pribadi terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan penggunaan Uang oleh terdakwa dari hasil penjualan Beras tersebut
tidak ada kesepakatan atau sepengetahuan korban selaku orang yang berhak atas Uang
tersebut.
- Bahwa saksi membenarkan Uang hasil penjualan Beras dari korban tersebut telah terdakwa
bayarkan kepada korban sebesar Rp. 255.000.000,-, kemudian Uang yang diterima dari hasil
penjualan Beras tersebut yaitu Rp. 463.205.000,-, sehingga uang yang telah digunakan oleh
terdakwa dari uang hasil penjualan Beras adalah Rp. 208.205.000,- dengan rincian
penggunannya dibayarkan kepada saksi RIAN sebesar Rp. 135.000.000,- dan uang tersebut oleh
saksi RIAN diambil langsung dari E warung, karena sebelumnya terdakwa telah memiliki
hubungan kerja sehingga ada kewajiban yang harus diselesaikan dan untuk biaya operasional
diantarnya membeli karung, biaya pengolahan dan pengemasan, biaya bongkar muat beras,
biaya transportasi pengiriman barang (beras), upah kerja, sewa gudang sebesar Rp.
73.205.000,-.
- Bahwa saksi membenarkan keuntungan terdakwa dari usaha kerjasama dengan korban tersebut
kurang lebih Rp. 73.205.000,- yang telah digunakan untuk kebutuhan proses penjualan atau
penyaluran beras tersebut dan itu pihak penerima / E warung belum seluruhnya melunasi Uang
penjualan Beras tersebut, karena hasil penghitungan apabila dari jumlah beras sebanyak 49.703
Kg x Rp. 9500,- sebesar Rp. 472.178.500,- namun harga Beras tersebut tidak seluruhnya terjual
dengan harga Rp. 9.500,- melainkan ada yang Rp. 9.300,-
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa dengan saksi RIYAN AHDIANA tersebut mempunyai
hubungan pekerjaan dimana terdakwa sebagai pelaksana kegiatan perdagangan sembako PT.
TUNGGUL KAWUNG PERKASA sedangkan saksi RIYAN AHDIANA merupakan Direktur PT.
TUNGGUL KAWUNG PERKASA.
- Bahwa saksi membenarkan terkait surat tugas dari PT. TUNGGUL KAWUNG PERKASA kepada
terdakwa tersebut sepengetahuan saksi ada, yang dikeluarkan pada tanggal 22 Maret 2022
tentang pengangkatan sebagai Public Relation Staff yang diberi tugas untuk menjalankan
perusahaan di wilayah Kabupaten Sukabumi ditanda tangani oleh saksi RIYAN AHDIANA selaku
Direktur.
- Bahwa saksi membenarkan mempunyai bukti penerimaan dan pengeluaran beras tersebut
berupa Surat Jalan (bukti terlampir) dan catatan milik pribadi saksi.
- Bahwa saksi membenarkan melakukan tugas pencatatan keuangan dan pencatatan penerimaan
serta pengeluaran beras yang dilakukan oleh terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan berdasarkan data yang ada pada catatan saksi Uang yang telah
diserahkan oleh terdakwa kepada korban yaitu sebesar Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh
lima juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan setelah saksi melakukan pengecekan terhadap data catatan yang
ada pada saksi kemudian pada E Warung bahwa saksi pastikan seluruh E Warung telah lunas dan
tidak ada yang belum menyelesaikan kewajibannya menyerahkan uang atas pembayaran beras
dari korban sebanyak 49.703 Kg.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa.

2. saksi RIYAN AHDIANA Bin AHMAD, dibawah sumpah agama Islam pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut : -------------------------------------------====------------------------------------------------
- Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersedia memberikan keterangan di
persidangan.
- Bahwa saksi membenarkan keterangannya yang ia berikan di hadapan penyidik sehubungan
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban
HAMDAN Bin H. EMI.
- Bahwa saksi membenarkan hubungan saksi dengan terdakwa yaitu sebelumnya saksi pernah
menjalin kerjasama terkait penjualan Beras pada sekitar bulan April 2022 yang mana saksi
pernah mengirim beras kepada terdakwa sebanyak 110.000 Kg beras
- Bahwa saksi membenarkan kaitan saksi dengan PT. TUNGGUL KAWUNG PERKASA yaitu
sebelumnya saksi pernah menjabat menjadi Direktur pada perusahaan tersebut namun sekarang
ini saksi sudah tidak lagi menjabat menjadi Direktur pada perusahaan tersebut sejak bulan Juni
2022.
- Bahwa saksi membenarkan Beras sebanyak 110.000 kg yang saksi kirim kepada terdakwa
tersebut seluruhnya belum dibayarkan oleh terdakwa kepada saksi dan terdakwa baru
menyerahkan pembayaran Beras kepada saksi sebanyak 57.660 kg sebesar Rp. 518.940.000,-
(Lima ratus delapan belas juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah) sedangkan pembayaran
beras yang belum dibayarkan kepada saksi yaitu sebanyak 52.340 Kg dengan jumlah
pembayaran sebesar Rp. 471.060.000,- (Empat ratus tujuh puluh satu juta enam puluh ribu
rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa melakukan pembayaran beras 110.000 Kg kepada saksi
tersebut pada sekitar bulan Juni 2022 sebesar Rp. 518.940.000,- (Lima ratus delapan belas juta
sembilan ratus empat puluh ribu rupiah) namun setelah itu terdakwa tidak lagi melakukan
pembayaran kepada saksi karena menurut keterangan dari terdakwa uang pembayarannya
masih ada pada masing-masing agen dan akan cair pada sekitar bulan Agustus 2022 sehingga
pada sekitar bulan Agustus 2022 tersebut uang pembayaran beras milik saksi dari agen tersebut
saksi ambil secara langsung.
- Bahwa saksi membenarkan agen yang uangnya saksi langsung ambil atau terima dari agen
terkait pembayaran beras milik saksi sebanyak 110.000 Kg yang belum dibayarkan oleh
terdakwa antara lain yaitu Sdr. ODONG, saksi AGUS dan Sdr. DIANA
- Bahwa saksi membenarkan adapun agen yang uangnya saksi ambil atau terima langsung yaitu
Sdr. ODONG sebesar Rp. 96.390.000,- (Sembilan puluh enam juta tiga ratus sembilan puluh ribu
rupiah), saksi AGUS sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) sedangkan Sdr. DIANA
sempat saksi terima uang sebesar Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) namun setelah
dicek ternyata uang pembayaran Beras tersebut merupakan pembayaran beras milik korban
sehingga uang tersebut saksi kembalikan dengan melakukan transfer kepada korban sebesar Rp.
25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah).
- Bahwa saksi membenarkan alasan saksi sehingga bisa mengambil secara langsung uang dari
agen tersebut karena berdasarkan petunjuk dari terdakwa yang menyampaikan kepada saksi
bahwa sebagian Uang pembayaran Beras sebanyak 110.000 Kg yang belum dibayarkan oleh
terdakwa masih ada pada para agen menunggu pembayaran Beras cair pada sekitar bulan
Agustus 2022 serta memberitahukan kepada saksi terkait nama dan alamat para agen tersebut
kepada saksi sehingga saksi dapat menemui dan konfirmasi secara langsung kepada agen
mengenai sebagian uang pembayaran Beras milik saksi sebanyak 110.000 Kg yang belum
dibayarkan oleh terdakwa.
- Bahwa saksi membenarkan tidak mengetahui terkait dengan beras sebanyak 49.703 Kg yang
dikirim oleh korban kepada terdakwa dari sekitar tanggal 08 Agustus 2022 sampai dengan
tanggal 12 Agustus 2022 tersebut.
- Bahwa saksi membenarkan terdakwa tidak pernah memberitahukan kepada saksi jika setelah
melakukan kerjasama terkait penjualan beras dengan saksi dirinya melakukan kerja sama
dengan pihak lain atau korban.
- Bahwa saksi membenarkan selain mengirim beras sebanyak 110.000 Kg pada sekitar bulan April
2022 kepada terdakwa tersebut saksi sudah tidak pernah mengirim beras lagi kepada terdakwa
hanya pada sekitar bulan Agustus 2022 saksi sempat menagih kepada agen yaitu Sdr. ODONG,
saksi AGUS dan Sdr. DIAN terkait sebagian pembayaran beras milik saksi sebanyak 110.000 Kg
yang belum dibayar oleh terdakwa sesuai petunjuk dari terdakwa sebelumnya.
- Bahwa saksi membenarkan barang bukti.
Keterangan saksi ini dibenarkan seluruhnya oleh terdakwa

BARANG BUKTI:

Bahwa dalam persidangan ini, rekan Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti berupa:
 1 (Satu) Buah Buku Folio Colbus warna Biru yang didalamnya berisikan catatan data jumlah
seluruh Beras dari Sdr. HAMDAN yang diterima oleh Sdr. DEDEN JATNIKA dan data nama-nama
penerima atau yang telah membayar Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA serta catatan jumlah uang
hasil penjualan Beras yang bersumber dari Sdr. HAMDAN;
 1 (Satu) Buah Buku Folio Colbus warna Kuning yang didalamnya beriskan catatan data jumlah
pemasukan dan pengeluaran uang hasil penjualan Beras bersumber dari Sdr. HAMDAN.
 1 (Satu) bundel bukti surat jalan pengiriman Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA kepada para
penerima beras;
 1 (Satu) lembar catatan pembayaran Beras Sdr. DEDEN JATNIKA kepada Sdr. HAMDAN sebesar
Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta rupiah);
 1 (Satu) lembar fotocopy pembayaran sejumlah pembelian komoditi dari Sdr. AGUS SOPYAH
kepada Sdr. DEDEN JATNIKA sebesar Rp. 20.850.000,- (Dua puluh juta delapan ratus lima puluh
ribu rupiah) yang didalamnya termasuk pembayaran pembelian Beras sebanyak 1000 kg kepada
Sdr. DEDEN JATNIKA tertanggal 13 Agustus 2022 berikut bukti lampiran fotocopy Surat Jalan
pengiriman Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA kepada Sdr. AGUS SOPYAN sebanyak 100 bal ukuran
10 kg;
 1 (Satu) lembar fotocopy yang berisikan masing-masing bukti pembelian Beras Sdr. IYAN
SURYANA dari Sdr. DEDEN JATNIKA sebanyak 4.000 kg tertanggal 10 Agustus 2002 dan bukti
kwitansi pembayaran Beras dari Sdr. IYAN SURYANA kepada Sdr. DEDEN JATNIKA sebesar Rp.
38.000.000,- (Tiga puluh delapan juta rupiah) tertanggal 10 Agustus 2022;
 1 (Satu) lembar fotocopy yang berisikan 5 (Lima) bukti transfer pembayaran Beras dari Sdr. RINA
HERLINA kepada Sdr. DEDEN JATNIKA dengan jumlah Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah).

TUNTUTAN PENUNTUT UMUM

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Bahwa surat tuntutan pidana yang diajukan Rekan Penuntut Umum dengan Nomor Reg. Perkara : PDM-
130/CBD/Eoh.2/08/2022 yang telah dibacakan pada persidangan hari Jum’at tanggal 13 September
2023 , telah menuntut klien kami Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA bersalah melakukan Tindak
Pidana Penipuan sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 378 KUHP sebagaimana
dalam Dakwaan Kesatu Penuntut Umum;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA dengan
pidana penjara selama 3 (Tiga) Tahun dan 2 (Dua) Bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara, dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa :
 1 (Satu) Buah Buku Folio Colbus warna Biru yang didalamnya berisikan catatan data jumlah
seluruh Beras dari Sdr. HAMDAN yang diterima oleh Sdr. DEDEN JATNIKA dan data nama-nama
penerima atau yang telah membayar Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA serta catatan jumlah uang
hasil penjualan Beras yang bersumber dari Sdr. HAMDAN;
 1 (Satu) Buah Buku Folio Colbus warna Kuning yang didalamnya beriskan catatan data jumlah
pemasukan dan pengeluaran uang hasil penjualan Beras bersumber dari Sdr. HAMDAN.
 1 (Satu) bundel bukti surat jalan pengiriman Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA kepada para
penerima beras;
 1 (Satu) lembar catatan pembayaran Beras Sdr. DEDEN JATNIKA kepada Sdr. HAMDAN sebesar
Rp. 255.000.000,- (Dua ratus lima puluh lima juta rupiah);
 1 (Satu) lembar fotocopy pembayaran sejumlah pembelian komoditi dari Sdr. AGUS SOPYAH
kepada Sdr. DEDEN JATNIKA sebesar Rp. 20.850.000,- (Dua puluh juta delapan ratus lima puluh
ribu rupiah) yang didalamnya termasuk pembayaran pembelian Beras sebanyak 1000 kg kepada
Sdr. DEDEN JATNIKA tertanggal 13 Agustus 2022 berikut bukti lampiran fotocopy Surat Jalan
pengiriman Beras dari Sdr. DEDEN JATNIKA kepada Sdr. AGUS SOPYAN sebanyak 100 bal ukuran 10
kg;
 1 (Satu) lembar fotocopy yang berisikan masing-masing bukti pembelian Beras Sdr. IYAN
SURYANA dari Sdr. DEDEN JATNIKA sebanyak 4.000 kg tertanggal 10 Agustus 2002 dan bukti
kwitansi pembayaran Beras dari Sdr. IYAN SURYANA kepada Sdr. DEDEN JATNIKA sebesar Rp.
38.000.000,- (Tiga puluh delapan juta rupiah) tertanggal 10 Agustus 2022;
 1 (Satu) lembar fotocopy yang berisikan 5 (Lima) bukti transfer pembayaran Beras dari Sdr. RINA
HERLINA kepada Sdr. DEDEN JATNIKA dengan jumlah Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah).
Tetap terlampir dalam Berkas Perkara.

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 3.000,- (Tiga
ribu rupiah).

Kami selaku Para Penasihat Hukum Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA tidak sependapat
dengan kesimpulan Rekan Penuntut Umum ini, karena kesimpulan yang diambil Rekan Penuntut Umum
tidak didasarkan alat-alat bukti sebagaimana terungkap di persidangan, baik itu melalui keterangan
saksi-saksi, alat bukti surat dan keterangan terdakwa.

Kesimpulan Rekan Penuntut Umum dalam tuntutannya didasarkan pada penyimpangan hukum
pembuktian dengan tidak mencantumkan analisis fakta yang sebenarnya. Dengan tidak dikemukakan
analisis fakta yang sebenarnya dalam Requisitoire telah membuktikan Rekan Penuntut Umum tidak
dapat membedakan mana fakta hukum dan mana yang bukan fakta hukum serta membuktikan fakta-
fakta yang digunakan Penuntut Umum untuk membuktikan Dakwaan Alternatif Kedua yang menurut
versi Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa tidak
didasari kepada fakta sebenarnya. Begitu banyak fakta yang telah dimanipulasi sedemikian rupa oleh
Penuntut Umum dengan tujuan untuk mendukung surat tuntutannya tersebut, yang tentunya hal ini
dilakukan untuk mengelabui Majelis Hakim Yang Mulia serta dengan tujuan untuk mencapai keinginan
orang-orang tertentu yang sangat menginginkan agar Terdakwa dijatuhi hukuman pidana.

Sedangkan dalam perkara ini para terdakwa bukan sebagai pemodal atau yang mengkoordinir sebuah
tindakan penambangan di kawasan tesebut, Para terdakwa hanyalah sekelompok potret masyarakat
miskin yang menggantungkan hidupnya dengan alam untuk mencari nafkah demi kelangsungan
hidupnya.

Kebodohan para terdakwa dapat dilihat ketika para terdakwa tidak tahu akan perbuatannya tersebut
menimbulkan sebuah dampak kerusakan bagi lingkungan, karena didalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum para terdakwa melihat banyaknya masyarakat di sekitar area penambangan tersebut sedang
melakukan aktifitas penambangan, maka para terdakwa pun ikut untuk mengambil tanah beserta batu
hasil galian tambang tersebut dengan harapan mendapat sedikit keuntungan untuk membeli susu
anaknya yang masih berumur masih kecil.

Tidak ada sanggahan daripada para terdakwa atas perbuatan yang dilakukannya, bahwa para terdakwa
di dalam fakta persidangan dengan jelas mengakui mengambil barang sesuatu yang bukan miliknya.
Yakni tanah beserta batu dari hasil galian orang lain yang dibuangHanya para terdakwa dengan
kebodohannya kebingungan atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan yang mulia majelis hakim
dan Jaksa Penuntut Umum.
ANALISIS HUKUM

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Proses peradilan pidana adalah proses persidangan yang sangat berbeda dengan proses persidangan
lainnya, karena dalam proses persidangan pidana haruslah dapat diukur seberapa jauh kesalahan
(schuld) yang terdapat pada diri terdakwa pada dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada
sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim pemeriksa perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian,
berdasarkan hal ini, dapat pula diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggung jawaban pidana yang
bisa dilekatkan pada terdakwa.

Hal ini pula yang disampaikan Curzon LB Curzon dalam bukunya “Criminal Law” (London; M & E Pitman
Publishing; 1997) yang menjelaskan:
“Bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana
terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang kesalahan terdakwa”
Selanjutnya Prof. Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta; Bina Aksara; 1987)
menerangkan:
“Orang tidak mungkin mempertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana”

Karakteristik perkara pidana Indonesia telah menempatkan unsur yang esensial dalam suatu perumusan
delik, baik yang ujud perumusannya secara tersirat maupun tersurat, yaitu apa yang dinamakan unsur
melawan hukum atau “wedderechttelijk”. Sebagai suatu delik formil, unsur melawan hukum dalam suatu
perumusan delik kerap menempatkannya sebagai suatu perbuatan yang primaritas untuk menentukan
dipidananya seseorang atau tidak serta dikenal dengan istilah “strafbarehandeling”.

Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (straafbarehandeling) terletak pada wujud suatu perbuatan
yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari perbuatan sebagai
bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukum adalah penuntut umum wajib
membuktikan unsur esensial dari “strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan
tersebut, begitu pula pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari
strafbarehandeling tersebut.

Berbicara pertanggungjawaban pidana, semuanya akan sangat bergantung dengan adanya tindak pidana
(delik). Tindak pidana disini, berarti menunjukkan adanya perbuataan yang dilarang. Leonard Switz pada
bukunya berjudul “Dilemma’s in Criminology” (New York; Mc. Graw Hill; 1967) menyebutkan untuk
dikatakan sebagai suatu tindak pidana (delik) jika telah terpenuhinya 5 syarat, yaitu:
1. An act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor
2. The act must be legally prohibited in the time it is committed
3. The perpetrald must have criminal intent (mesn rea) whe he engages in the act
4. There must be caused relationship between the voluntary misconduct and the harm that result
from it; and
5. There must some be legally prescribed punishment for anyone convicted of the act

Kata delik atau delictum sendiri memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Dimana dalam hukum pidana sendiri kita mengenal
dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan
pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dan, pada delik ini sendiri
Van Hattum menyebutkan antara perbuatan dan orang yang melakukan sama sekali tidak dapat
dipisahkan.

Sementara itu, Prof. Satochid Kartenegara sehubungan dengan pengertian delik ini sendiri
menyebutkan, unsur delik terdiri atas unsur obyektif dan unsur subyektif, dimana unsur obyektif adalah
unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu:
1. Suatu tindakan
2. Suatu akibat, dan
3. Keadaan (omstandigheid)
Dimana kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Sedangkan unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:
1. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekenings vatbaarheid)
2. Kesalahan (schuld)
Untuk melihat suatu tindak pidana (delik) tidaklah bisa berdiri sendiri-sendiri karena baru akan
bermakna apabila ada proses pertanggungjawaban pidana. Artinya, setiap orang yang melakukan tindak
pidana (delik) tidak dengan sendirinya harus di pidana atau dijatuhkan hukuman, karena agar dapat di
jatuhi pemidaan atau hukuman terhadap seseorang maka pada diri orang tersebut harus ada unsur
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yang dapat dimintakan ataupun dijatuhkan sesuai dengan
unsur-unsur perbuatan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan.
Herman Kontorowich, yang ajarannya diperkenalkan Prof Moeljatno menyebutkan:
“Untuk adanya suatu penjatuhan pidana terhadap pembuat (strafvorrassetzungen) diperlukan
lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (strafbarehandlung), lalu sesudah itu diikuti
dengan dibuktikannya adanya ‘schuld’ atau kesalahan subyektif pembuat. ‘Schuld’ baru ada
sesudah ada ‘unrecht’ atau sifat melawan hukum suatu perbuatan”

Pertanggung jawaban pidana sendiri lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif
terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku
dan diteruskannya celaan yang subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana
karena perbuatannya.
(Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 30)

Bahwa rumusan delik yang terdapat pada Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP dalam proses pembuktian
tidak hanya sekedar melihat pertanggungjawaban pidana berdasarkan “materiele feit” sebagai delik
campuran saja, tetapi tetap harus berpegang pada asas pertanggungjawaban pidana yang berlaku secara
universal yang dikenal dengan “Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), apakah schuld
(kesalahan) tersebut berupa opzet (kesengajaan) maupun berupa culpa (kelalaian) dengan mengaitkan
prinsip “formeele wedderechtelijkheid” dan adanya suatu alasan penghapusan pidana berdasarkan
fungsi negatif.

Kesalahan itu sendiri adalah unsur, bahkan merupakan syarat mutlak adanya pertanggungjawaban yang
berupa pengenaan pidana kepada seseorang. Kesalahan juga merupakan asas fundamental dalam
hukum pidana. Sesuai dengan pandangan dualistis, yang juga dianut Prof. Moeljatno menegaskan semua
syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya dan menjadi suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini pada dasarnya untuk mempermudah dalam melakukan
sistematisasi unsur-unsur dari tindak pidana, artinya dapat menggolongkan mengenai unsur mana yang
masuk dalam perbuatannya dan unsur mana yang termasuk dalam unsur kesalahannya. Unsur-unsur
kesalahan itu sendiri dalam arti luas adalah :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus
normal
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan / dolus atau
kelalaian / culpa
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf
(Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 36-41)

Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict.
Yang dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau
memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.

Syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif ataupun subyektif yang
dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1. Harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
2. Dimana benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang
sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai peristiwa.
3. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
4. Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku.
Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib
mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini
hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan
terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggungjawabkan.
5. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan.
6. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan
sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
7. Harus tersedia ancaman hukumannya.
8. Adanya ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan
tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman
tersebut dinyatakan secara tegas maksimal hukuman yang harus dilaksanakan oleh para
pelakunya.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Sebagaimana yang telah kami diungkapkan diatas, dalam rangka membuktikan semua unsur tindak
pidana terlebih dahulu harus dipahami mengenai sistem pertanggungjawaban pidana karena hal ini erat
kaitannya dengan penentuan terjadinya tindak pidana serta penentuan siapa sebenarnya yang
bertanggung jawab dalam perbuatan tersebut. Yang tak kalah penting adalah dalam menentukan
kesalahan dan/atau kesengajaan harus ada atau mempunyai kehendak dan niat untuk berbuat dari si
pembuat/pelaku itu sendiri.

Sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, pembuktian akan kehendak untuk berbuat tersebut berkaitan
erat dengan syarat yang merupakan kekhususan dari kealpaan yaitu:
1. Tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
2. Tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Pembuktian terhadap syarat pertama dari kealpaan tersebut diletakkan pada hubungan batin terdakwa
dengan akibat yang timbul dari perbuatan atau keadaan yang menyertainya. Dalam hal ini, perbuatan
yang telah dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat dihindari karena seharusnya dapat menduga lebih
dahulu bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Menurut
Memorie Van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “willens en wetens”
(dikehendaki dan diketahui).

Mengenai pengertian Memorie van Toelichting tersebut, Prof Satochid Kartanegara mengutarakan
bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah:
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen)
perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu”
(Leden Marpaung; Asas-Teori-Praktik HUKUM PIDANA; Sinar Grafika; Jakarta; 2005; hal 13)

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Kita semua pernah mendengar dan membaca tentang “MISCARRIAGE OF JUSTICE” (kegagalan dalam
penegakan keadilan). Miscarriage of Justice merupakan persoalan universal dan aktual yang dihadapi
hampir semua negara dalam penegakan sistem peradilan pidananya. Seorang pejabat yang mempunyai
kuasa dan wewenang yang ada padanya justru memberikan ketidakadilan dalam proses penegakan
hukum. Sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, kondisi ketidakadilan masih dirasakan meskipun berbagai
aturan hukum sudah dicoba untuk disempurnakan para pemikir hukum dan legislator.

Demikian parahnya ketidakadilan yang dipertontonkan kepada kita semua, sehingga situasi hukum di
Indonesia digambarkan dalam kondisi disperate (diartikan sebagai kondisi atau keadaan yang sangat
menyedihkan dan berada dalam keputusasaan), berada pada titik paling rendah (titik nadir), kacau balau
(chaos). Ketidakadilan yang dengan mudah ditemukan dalam kasus-kasus hukum, khususnya dalam
perkara-perkara pidana, telah hampir sampai pada titik puncak, sehingga makna keadilan (justice) yang
seyogyanya dicapai dan ditemukan pada proses peradilan pidana dipandang telah gagal (miscarriage).
Miscarriage of Justice merupakan isu penting di tengah upaya memajukan dan menegakkan hak-hak
asasi manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting pemerintah yang baik (good governence).
Hal ini dapat dibuktikan dengan gagalnya penegakan keadilan dalam kasus-kasus besar (high profile
cases) di beberapa negara, contohnya di Indonesia kasus Sengkon dan Karta, di mana Sengkon dan Karta
dituduh telah membunuh dan selanjutnya menjalani pidana hukuman penjara, padahal pelakunya
adalah orang lain.

Menurut Clive Walker, terdapat 4 (empat) hal penting yang terkandung dalam makna kegagalan dalam
penegakan keadilan (Miscarriage of justice), yaitu:
1. Kegagalan penegakan keadilan tidak hanya terbatas pada produk pengadilan atau dalam sistem
Hukum Pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, dapat terbentuk oleh seluruh
kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive powers);
2. Kegagalan penegakan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk
legalisasi biaya-biaya tidak resmi;
3. Kegagalan penegakan keadilan harus pula mencakup kelemahan negara ketika menjalankan
tanggungjawabnya;
4. Kegagalan penegakan keadilan harus ditegaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi
manusia.

Istilah miscarriageof justice terus berkembang dan dipergunakan untuk menggambarkan bahwa dalam
sistem hukum negara-negara di dunia terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam putusan
pengadilan yang menyebabkan seseorang harus menjalani hukuman atas kejahatan yang tidak
dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam pemeriksaan perkara terdakwa patutlah kita semua, baik Rekan
Penuntut Umum, Majelis Hakim atau kami sendiri selaku Penasihat Hukum, berpegang teguh pada asas-
asas yang terkandung dalam penegakan keadilan dan harus menghindari tindakan-tindakan atau proses-
proses yang dapat merusak integritas sistem sebagai upaya menghindari Miscarriage of Justice pada
perkara a quo.
Putusan yang akan dijatuhkan Majelis Hakim haruslah putusan yang benar-benar didasari pada “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan janganlah penghukuman itu berdasarkan
ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum pembuktian serta tidak menghormati hak-
hak individu, apalagi penghukuman itu untuk memenuhi keinginan oknum-oknum atau lembaga-
lembaga tertentu guna menutupi kesalahannya.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Dihubungkan dengan Surat Dakwaan Rekan Penuntut Umum pada awal persidangan, maka untuk dapat
menyatakan Terdakwa DEDEN JATNIKA terbukti atau tidak terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana tersebut pada Surat Dakwaan, secara minimal yang harus diperhatikan adalah mengenai
penerapan dari “fakta” dengan “straafbarehandeling” yang antara lain dapat dilihat dari beberapa hal
sebagai berikut :
1. Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum sehubungan dengan fakta-
fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan unsur Pasal 378 KUHP atau Pasal 372
KUHP?
2. Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana masuk dalam Unsur Obyektif
dan Unsur Subyektif dalam dugaan Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP? Dan apakah sebab-
musabab-akibat dari fakta peristiwa hukum ini?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dihubungkan dengan keseluruhan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan?

Selain itu, untuk menentukan apakah Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam Pasal 378
KUHP atau Pasal 372 KUHP sebagaimana didakwakan Rekan Penuntut Umum kepada dirinya, maka
semua unsur dari pasal-pasal yang didakwakan kepadanya harus dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang sah yang dihadapkan di depan persidangan serta bukan berdasarkan asumsi dan rekaan semata.
Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Dr. Chairul Huda, SH, MH, dalam bukunya “Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” (tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana) pada halaman 64 menyebutkan:

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah


menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang
pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
Pertanggung jawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully
accused”. Pertanggung jawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri
pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggung jawaban pidana juga berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang
sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama,
pertanggung jawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat factual
(conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua
pertanggung jawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan
syarat-syarat factual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. “It
is this condition between conditioning facts and conditioned legal consequences whichs is
expressed in the statement about responsibility”.

Jadi, dalam hal ini selain harus dikaji fakta dengan unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal yang
telah didakwakan kepada terdakwa, harus dikaji pula mengenai tepat ataukah tidak
pertanggungjawaban dimintakan kepada seseorang tersebut sebagaimana yang telah didakwakan
Penuntut Umum. Jangalah kita melakukan suatu dakwaan dan/atau tuntutan kepada seseorang yang
sebenarnya tidak bersalah dan seharusnya tidak dimintakan pertanggungjawaban pidana pada dirinya
karena dengan melakukan tindakan ini maka pada dasarnya telah terjadi suatu “pemerkosaan”
terhadap nilai-nilai hukum dan keadilan.

Bahwa, untuk menentukan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, haruslah terbukti
semua unsur-unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya sebaliknya apabila salah satu unsur delik
dalam pasal tersebut tidak terbukti maka tidak ada perbuatan yang dapat dianggap sebagai
straafbarehandeling. Selanjutnya, apabila semua unsur delik dapat dibuktikan, maka yang kemudian
harus dikaji adalah patutkah pertanggung jawaban pidana ditujukan kepada terdakwa dengan
menjatuhkan pemidaan (celaan) kepada dirinya atau adakah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang
dapat melepaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum yang dalam ilmu hukum pidana dikenal
dengan straafuitsluitingsgronden.

Dalam hal straaftuitsluitingsgronden ini, Prof. Satochid Kartanegara memberi pengertian sebagai hal-hal
atau keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang dengan
tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (delik) tidak dapat dihukum. Tidak
dapat dihukum dimaksud karena tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Syarat yang kemudian membuat seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana dalam
melakukan perbuatannya menurut Prof. Mr. G. A. van Hammel adalah sebagai berikut:
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga ia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah
dilarang
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Sebelum kami sampai pada pembahasan analisis terhadap unsur-unsur pasal yang didakwakan dan
dituntut Rekan Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA , maka
ada beberapa hal yang patut kami sampaikan sehubungan dengan perkara yang kita hadapi ini. Pada
dasarnya penindakan bagi para pelanggar hukum sungguh sangat diperlukan mengingat tujuan hukum
untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan dalam kehidupan sosial yang dicederai oleh pelaku tindak
pidana. Namun demikian, hukum tidak bertujuan sebagai instrumen balas dendam semata terhadap
akibat yang telah dilanggar oleh pelanggar tersebut. Demikian pula penegakan hukum bukan pula
sebagai sarana atau alat sebagian kelompok masyarakat dengan berbagai kepentingannya untuk
kemudian memberikan jalan dalam perlakuan tidak manusiawi dengan menggunakan alat-alat penegak
hukum yang mendalilkan dengannya melalui sarana hukum yang ada padanya.

Bahwa pengambilan keputusan oleh majelis hakim harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti:
1. Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah;
2. Kebebasan hakim;
3. Mengadili secara kasuistik;
4. In dubio pro reo, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan (dalam kesangsian
demi tertuduh).

Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan majelis hakim merupakan prinsip yang paling dominan
dalam menentukan putusan, bahkan dapat dikatakan merupakan kekuasaan absolut dari majelis hakim
itu sendiri. Hal ini sebagaimana di dukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian
yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Hal pembuktian dalam proses persidangan perkara pidana, pada dasarnya merupakan tugas dari Rekan
Penuntut Umum untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti yang diatur dalam KUHAP guna
membuktikan kebenaran yang sebenar-benarnya dan selengkap-lengkapnya sesuai dengan Surat
Dakwaan yang telah diajukannya pada awal persidangan tentang:
1. Perbuatan apakah yang telah dilakukan terdakwa
2. Apakah perbuatan terdakwa itu benar-benar sesuai dengan surat dakwaan yang telah diajukan
Penuntut Umum atau tidak
3. Apakah perbuatan terdakwa merupakan perbuatan pidana dan dapat dibuktikan sesuai dengan
syarat-syarat dari hukum pembuktian atau tidak atau bukan merupakan perbuatan pidana
4. Apakah perbuatan terdakwa itu telah memenuhi unsur-unsur dari peraturan pidana atau tidak,
perbuatan itu sesuai dengan suatu peraturan atau undang-undang atau tidak sesuai, atau
perbuatan itu belum diatur oleh suatu undang-undang dan lain-lain ketentuan yang tentunya
diperoleh dari alat-alat bukti yang diajukannya

Mengenai pembuktian sendiri atau bewijs, menurut pengetahuan kami ada 4 (empat) teori yaitu:
1. Negatief Wettelijk Bewijs Theorie
2. Positief Wettelijk Bewijs Theorie
3. Convention Intime
4. Convention Raissonee

Dalam hal ini kami tidak perlu membahas satu per satu pengertian ke empat teori tersebut, karena kami
sangat-sangat yakin Majelis Hakim Yang Mulia lebih mengetahui secara jelas dan gamblang, namun kami
menyatakan UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP menganut sistem pembuktian
“Negatief Wettelijk Bewijs Theorie” yaitu pembuktian yang harus didasarkan pada 2 (dua) syarat yaitu:
1. Harus didasari kepada alat bukti yang diakui oleh undang-undang atau sebagai alat bukti yang
sah adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
1) Keterangan Saksi
Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
Syarat Sah Keterangan Saksi
- Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan)
- Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan
sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya
(testimonium de auditu = keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak
mempunyai nilai pembuktian).
- Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada
pasal 162 KUHAP).
- Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus
testis nullus testis).
- Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi:
- Diterima sebagai alat bukti sah
- Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak
mengikat)
- Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).
- Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan
terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain
2) Keterangan Ahli
Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan
membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan.
Syarat Sah Keterangan Ahli
1. Keterangan diberikan oleh seorang ahli
2. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
3. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya
4. Diberikan dibawah sumpah/ janji:
- Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
- Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan
Jenis Keterangan Ahli
1. Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
2. Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan
hakim)
3. Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum
3) Surat
- Surat Keterangan dari seorang ahli
- Memuat pendapat berdasarkan keahliannya,
- Mengenai suatu hal atau suatu keadaan
- Yang diminta secara resmi dari padanya
- Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah, Contoh : Visum et
Repertum
Ada 2 bentuk surat :
1. Surat Authentik/ Surat Resmi
- Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut
ketentuan perundang-undangan
- Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
2. Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan
Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh: Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin
Mengemudi, dll.
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
- Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
- Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain
halnya dalam acara perdata)
- Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim
4) Petunjuk
- Perbuatan, atau kejadian atau keadaan
- Karena persesuainnya satu dengan yang lain
- Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri
- Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan
- Siapa pelakunya
Sumber Perolehan Petunjuk
Petunjuk hanya diperoleh dari:
- Keterangan saksi
- Surat
- Keterangan terdakwa
- Keterangan ahli
- Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri.
- Bukti Petunjuk Sebagai Upaya Terakhir
Petunjuk sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti:
- Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)
- Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir
- Petunjuk baru digunakan kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi
- Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim harus dengan arif dan bijaksana
mempertimbangkannya.
- Petunjuk diperoleh melalui pemeriksaan yang cermat, seksama, berdasarkan hati
nurani hakim.
5) Keterangan Terdakwa
a. Keterangan terdakwa sendiri:
- Pengakuan bukan pendapat
- Penyangkalan
b. Tentang perbuatan yang ia sendiri
- Lakukan, atau
- Ketahui atau
- Alami
c. Dinyatakan di sidang
2. Negatief Bewijs. Pengertian Negatief Bewijs yang dimaksud oleh undang-undang adalah keyakinan
hakim saja tidak cukup untuk menyatakan seseorang bersalah, keyakinan hakim harus dibentuk dari
paling kurang dua alat bukti yang sah dan yang minimal kedua alat bukti tersebut saling mendukung.

Teori pembuktian ini kami sampaikan dalam nota pembelaan ini bukan dengan maksud menggurui
Majelis Hakim Yang Mulia, tetapi karena ternyata Rekan Penuntut Umum sudah terlalu jauh
menyimpang dari cara-cara pembuktian yang dimaksudkan dalam hukum pembuktian sebagaimana
diatur oleh KUHAP.

Selanjutnya mengenai Bukti Petunjuk sebagaimana diungkapkan Rekan Penuntut Umum dalam
Requisitoire-nya yang menyatakan “Bahwa berdasarkan pemeriksaan persidangan yang diperoleh dari
keterangan saksi-saksi, alat bukti surat dan keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti di
peroleh fakta…. dst” dimana ternyata Rekan Penuntut Umum telah memotong sedemikian banyak fakta
persidangan dan hanya mengambil yang seolah-olah mampu membuktikan isi dari Surat Dakwaan yang
telah diajukannya. Hal ini menjelaskan banyaknya asumsi yang telah dibangun Rekan Penuntut Umum
yang tentunya dilakukan dengan sengaja sehingga seolah-olah Surat Dakwaan telah terbukti, padahal
pembuktian yang dilakukan sangat bertentangan dengan hukum pembuktian.

Dalam hal ini, kami sangat yakin Majelis Hakim Yang Mulia tidak terpengaruh dangan cara pembuktian
yang sangat dangkal yang dilakukan Rekan Penuntut Umum ini.

Mengenai bukti petunjuk sendiri, Pasal 188 Ayat (3) KUHAP telah menegaskan:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh HAKIM dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesesakmaan BERDASARKAN HATI NURANINYA”

Berangkat dari ketentuan pasal ini, wewenang untuk menggunakan alat bukti petunjuk adalah
wewenang yang diberikan kepada HAKIM dengan arif lagi bijaksana dan bukan wewenang yang
diberikan kepada Penuntut Umum. Dengan demikian, penggunaan alat bukti petunjuk oleh Rekan
Penuntut Umum merupakan sesuatu yang melanggar ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;
Selanjutnya, kami selaku para penasihat hukum Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA akan
membahas mengenai kajian hukum dari pasal-pasal yang telah didakwakan Rekan Penuntut Umum
dalam perkara ini.

Tindak pidana Penipuan atau Penggelapan dalam KUHP diatur pada Buku II tentang Kejahatan Terhadap
Harta Kekayaan yaitu dalam bentuk penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda
yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini mencakup unsur
obyektif dan unsur subyektif.

Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah sebagai berikut:


1. Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa
(dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan), menggerakkan hati
/ pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
2. Unsur benda / barang;
3. Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda dalam suatu tindak pidana yakni harus
merupakan milik orang lain;
4. Unsur upaya-upaya atau cara-cara tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang;
5. Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah:


1. Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan
sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan
2. Unsur melawan hukum baik yang itu baik ditegaskan secara eksplisit / tertulis dalam perumusan
pasal maupun tidak.

Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari
Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana
pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat
ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun" .

Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur
pokok berupa:
1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan
dalam pasal undang-undang dengan kata-kata: “dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau arang lain secara melawan hukum"; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas:
I. Unsur barang siapa;
II. Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu
benda/memberi hutang/menghapuskan piutang; dan
III. Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu/martabat atau
sifat palsu/tipu muslihat/rangkaian kebohongan.

Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim
pemeriksa perkara harus melakukan pemeriksaan secara holistic dan membuktikan secara sah dan
meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak
pidana penipuan baik yang termasuk unsur subyektif maupun unsur obyektif. Hal ini berarti, dalam
konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet)
secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus
dapat dibuktikan terdakwa memang benar telah:
1. bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
2. “menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui/menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula
memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu
benda/memberi hutang/ menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).
3. “mengetahui/menyadari” yang pelaku pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga
menyerahkan suatu benda/memberi hutang/ menghapuskan piutang kepadanya itu adalah
dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian
kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta
hukumnya. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban” penipuan semula memang meletakkan
dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana
dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan hanya karena ia telah
menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin
menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan ketika
orang tersebut menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta
hukum ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan
benda/hartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsu/bohong dan ia dengan semua itu
memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Di samping itu, karena sifat/kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil-materiel,
secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda
dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar causaliteit (berhubungan dan disebabkan
oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan Pasal 378 KUHP. Dalam hal demikian ini tentu
tidak sederhana pada praktek pembuktian di pengadilan. Oleh karenanya realitas suatu kasus
wanprestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai
kejahatan penipuan.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV
yang secara keseluruhan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP. Namun
ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372
KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Rp.900,-“

Berangkat dari ketentuan Pasal 372 KUHP diatas, dapat diketahui secara yuridis delik penggelapan harus
memenuhi unsur-unsur pokok berupa:
1. Unsur subyektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain
yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata: “dengan sengaja”; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
I. Unsur barang siapa;
II. Unsur secara melawan hukum;
III. Unsur suatu benda;
IV. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
V. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku tindak pidana penggelapan, Majelis Hakim pun
harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara holistic serta sah dan meyakinkan, apakah
benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan
baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektif. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif
misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah
benar (berdasar fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan) terdakwa memang:
1. “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum
2. “mengetahui/menyadari” secara pasti yang ingin ia kuasai adalah sebuah benda
3. “mengetahui/menyadari” benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain
4. “mengetahui” benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktrin hukum pidana
ada beberapa hal yang harus dipahami sebagai berikut:
1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut
secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal
yang harus melekat pada perbuatan menguasai benda milik orang lain pada suatu tindak pidana
penggelapan, dan dengan demikian harus pula dibuktikan.
2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara
melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut
sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.
3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan sebagian atau seluruhnya
merupakan milik orang lain, mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) harus ada
hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Dalam perspektif hukum perdata, masalah wanprestasi bisa di identifikasi kemunculan atau terjadinya
melalui beberapa parameter sebagai berikut:

1. Dari Segi Sumber Terjadinya Wanprestasi


Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah
melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana
ditentukan Pasal 1320 BW/KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa:
"Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu: adanya
kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya; adanya kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak
terlarang."
Secara umum, wanprestasi biasanya terjadi karena debitur (orang yang dibebani kewajiban untuk
mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu:
1. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau
2. tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau
3. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.

2. Dari Segi Timbulnya Hak Menuntut Ganti Rugi


Penuntutan ganti rugi pada wanprestasi diperlukan terlebih dahulu adanya suatu proses, seperti
pernyataan lalai dari kreditor (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling).
Hal ini penting karena Pasal 1243 BW telah menggariskan bahwa:
“perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu”.
Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur
langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan.
Ketentuan demikian juga diperkuat salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juli 1959
yang menyatakan "apabila perjanjian secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan
perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban (baca:
wanprestasi) sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur ".

3. Dari Segi Tuntutan Ganti Rugi


Mengenai perhitungan tentang besarnya ganti rugi dalam kasus wanprestasi secara yuridis dihitung
sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237 BW yang menegaskan bahwa:
"Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu meniadi tanggungan
kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan,
maka barang itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya".
Selanjutnya ketentuan Pasal 1246 BW menyatakan:
"Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya".

Berdasarkan pasal 1246 BW tersebut, dalam wanprestasi penghitungan ganti rugi harus dapat diatur
berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh
sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest). Dengan demikian kiranya dapat
dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan
jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan
melawan hukum. Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265
BW/KUHPerdata, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan tidak perlu
perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil
dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula
(restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi
Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi dalam kasus akibat perbuatan
melawan hukum ini, seperti terlihat pada Putusan tertanggal 7 Oktobet 1976 yang
menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372
KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak. ”Demikian
pula Putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa "soal besarnya ganti
rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan
suatu ukuran".

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan-hubungan hukum dengan
berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian
akan menimbulkan beberapa perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang
membuatnya. Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena
hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Sehingga akibat hukum yang
timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan domain hukum privat. Berbeda
halnya dengan hukum pidana dimana setiap kewajiban yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh
penguasa dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Dalam suatu rumusan delik sering kita menjumpai istilah ”melawan hukum” yang sebenarnya
merupakan terjemahan dari istilah ”wederrechtijkheid” dalam Bahasa Belanda. Sifat melawan hukum
harus selalu ada di dalam setiap tindak pidana, baik dicantumkan secara tegas sebagai unsur tindak
pidana seperti pada Pasal 372, dan 378 KUHP, maupun dianggap selalu termuat dalam setiap rumusan
tindak pidana. Wederrechtijkheid diterjemahkan beberapa sarjana secara berbeda-beda dan tidak ada
keseragaman pendapat mengenai hal itu. Diantara beberapa batasan yang berkembang antara lain,
menurut Simon kata “recht” dalam wederrechtelijk diterjemahkan ”hukum”. Perbuatan yang
mengandung wederrechtelijk tidak perlu melawan hak orang lain, namun sudah cukup apabila
perbuatan itu melawan ”objectief recht”. Noyon mengartikan ”recht” itu sebagai hak (subjectief recht),
sedangkan H.R. dalam Putusannya tertanggal 18 Desember 1911 W. No. 9263 ”recht” ditafsirkan sebagai
hak atau kekuasaan dan wederrechtelijk berarti tanpa kekuasaan atau tanpa hak.

Menurut teori hukum pidana, sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid dibagi menjadi dua aliran
yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil. Pengertian wederrechtelijk adalah
suatu keadaan yang hanya menunjuk pada pengertian ”zonder eigen recht” ternyata banyak ditentang
para sarjana seperti Simon yang mengatakan bahwa hanyalah ada satu pendapat yang dapat diterima
sebagai syarat untuk adanya suatu wederrechtelijkheid yaitu bahwa telah dilakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hukum atau ”dat er is gehandeld, in strijd met het recht”.

Dari beberapa teori di atas pada umumnya menyebutkan sifat melawan hukum dalam suatu tindak
pidana ditujukan pada perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, sedangkan
hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam artian formil maupun
materiil. Pengertian hukum yang bersifat umum adalah hukum yang mengatur dan mengikat kehidupan
masyarakat secara umum. Selanjutnya Noyon mengatakan zonder recht (tanpa hak) itu adalah berbeda
dengan tegen het recht (melawan hukum) dan perkataan wederrechtelijk itu dengan tidak dapat
disangkal lagi menunjuk pada pengertian yang terakhir. Sedangkan terminologi wederechtelijkheid
dalam kaitannya sebagai bentuk ”melawan hak” adalah semata-mata merujuk pada hak yang
diberikan hukum yang berlaku secara umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari
hubungan kontraktual.

Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya kita akan membandingkan antara ”melawan hukum” dalam
suatu tindak pidana dengan ”melawan perikatan” yang timbul dari hubungan kontraktual. Sifat
melawan hukum melekat pada suatu perbuatan sehingga perbuatan itu kemudian dapat dipidana,
baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang
lain, namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula dilarang peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan sifat ”melawan perikatan” melekat pada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hak
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian, Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan ”semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat ”sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”?

Jika kita simak makna kalimat di atas, sesungguhnya pembentuk undang-undang ingin memberikan
kekuatan mengikat yang sama antara perjanjian yang dibuat secara sah dengan undang-undang yang
dibuat penguasa, namun perlu diperhatikan kedudukan tersebut hanya ditujukan bagi para pihak yang
membuat perjanjian saja, artinya meskipun suatu perjanjian dipersamakan daya mengikatnya dengan
undang-undang, namun bukan berarti perjanjian memiliki kedudukan seperti undang-undang yang
dapat berlaku secara umum. Makna ”kekuatan mengikatnya sebagaimana undang-undang” semata-
mata terletak pada hak untuk menuntut pemenuhan prestasi dan ganti kerugian di hadapan pengadilan
negara seperti halnya jika orang telah melanggar undang-undang.

Secara umum ”melawan hukum” dengan ”melawan perikatan” memiliki beberapa perbedaan antara
lain:
1) Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan atau perbuatan
yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan melawan
perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang
berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya.
2) Suatu tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanya perbuatan
tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan perikatan yang
oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, denda maupun bunga.
3) Sifat melawan hukum melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan hukum yang dibuat
oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan yang telah
melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.

Berdasarkan penelaahan di atas, jelas bahwa sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana
memiliki karakteristik yang berbeda dengan sifat melawan perikatan dalam suatu perjanjian,
sehingga di antara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran
dalam proses penyelesaian terhadap dua karakteristik pelanggaran hukum tersebut. Setiap penegakan
hukum yang telah membawa suatu perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban dalam hukum
perikatan ke dalam ranah hukum pidana (delik penipuan atau delik penggelapan) merupakan suatu
pelanggaran prosedur (undue process) dan bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku.

PERBEDAAN ANTARA UNSUR ”TIPU MUSLIHAT” DAN SERANGKAIAN KEBOHONGAN” DENGAN ”TIDAK
MELAKSANAKAN PRESTASI”

Dalam memahami wanprestasi dan tindak pidana penipuan kita sering tersesat dalam menafsirkan
unsur ”tipu muslihat” dan ”serangkaian kebohongan” dalam Pasal 378 KUHP dengan pengertian ”ingkar
janji” dalam hubungan kontraktual. Dilihat secara sepintas memang seperti sama, namun jika ditelaah
lebih mendalam, akan muncul beberapa perbedaan prinsip yang bisa menjadi indikator untuk
membedakan antara delik penipuan dengan wanprestasi.

Tipu muslihat (listige kunstgrepen) berdasarkan Arrest HR tanggal 30 Januari 1911 adalah perbuatan-
perbuatan yang menyesatkan yang dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran
yang keliru dan memaksa orang untuk menerimanya. Yang membedakan tipu muslihat dengan
kebohongan adalah pada bentuk perbuatannya. Tipu muslihat merupakan perbuatan fisik sedangkan
kebohongan merupakan bentuk perbuatan lisan atau ucapan.

Istilah kebohongan berasal dari kata ”bohong” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bohong adalah
suatu keadaan yang tidak sesuai dengan hal (keadaan, kondisi, dan sebagainya) yang sebenarnya
misalnya dalam pernyataan: ”si A kemaren menggunakan baju merah”, sedangkan kenyataannya
kemaren si A menggunakan baju hitam. Kebohongan adalah suatu pernyataan yang diungkapkan
bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya dan kenyataan itu telah ada pada saat pernyataan itu
diucapkan. Coba bandingkan dengan pernyataan ”si A berjanji besok akan menggunakan baju merah”
apakah pada saat mengungkapkan pernyataan itu si A telah berbohong? Benar dan tidaknya pernyataan
itu belum bisa dibuktikan pada saat si A berjanji, karena setiap janji baru bisa dibuktikan pada saat
waktunya telah tiba. Lalu jika ternyata besok si A tidak menggunakan baju merah apakah si A telah
berbohong? Menurut pengertian bahasa lebih tepat dikatakan bahwa si A telah ingkar janji, karena
ketika berjanji belum ada kebenaran apa-apa.

Untuk memperkuat landasan argumen dalam tulisan ini kita kutip pendapat dari Adami Chazawi dalam
bukunya Kejahatan Terhadap Harta Benda sebagai berikut:
”Ketidakbenaran yang terdapat pada tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan harus telah
ada pada saat melakukan tipu muslihat dan lain-lain”

Menurut pendapat diatas untuk menentukan adanya tipu muslihat maupun serangkaian kebohongan
orang harus sudah bisa membuktikan ketidakbenarannya ketika tipu muslihat atau kebohongan itu
dilakukan. Berbeda dengan ingkar janji yang ketidakbenarannya tidak bisa dibuktikan pada saat
mengucapkan janji. Menurut pengertian bahasa ”janji” adalah perkataan yang menyatakan kesudian
hendak berbuat sesuatu, janji selalu berhubungan dengan jangka waktu tertentu artinya pemenuhan
janji selalu digantungkan pada masa waktu setelah janji itu diucapkan. Dalam setiap janji selalu akan
memiliki dua komponen yaitu komponen waktu dan komponen perbuatan, maka sesungguhnya ingkar
janji merupakan bentuk pelanggaran terhadap dua komponen tersebut.

Dari beberapa ilustrasi di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa indikator yang dapat membedakan
antara ”tipu muslihat” dan ”berbohong” dalam unsur tindak pidana penipuan dengan ”ingkar janji”
dalam hubungan kontraktual sebagai berikut:
- Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dibuktikan ketidakbenarannya sejak
perbuatan/pernyataan itu dibuat, sedangkan ingkar janji harus dibuktikan ketidakbenarannya
pada rentang waktu tertentu setelah janji itu dibuat.
- Tipu muslihat dan serangkaian kebohongan bisa dilakukan terhadap keadaan pada dirinya
maupun keadaan di luar dirinya, sedangkan berjanji selalu digantungkan pada kesanggupan
dirinya walaupun kesanggupan itu ditujukan supaya orang lain melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.

Selain dari apa yang telah diuraikan di atas unsur ”serangkaian kebohongan” atau menurut R. Soesilo
disebut sebagai ”karangan perkataan-perkataan bohong” dalam Pasal 378 KUHP diterjemahkan sebagai
bentuk dari ”beberapa kebohongan” atau harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun
sedemikian rupa sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain dan
keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar. Jika kita telaah rumusan Pasal 378
KUHP, maka untuk dapat memenuhi unsur ”serangkaian kebohongan” tidak cukup dengan adanya satu
kebohongan saja, namun harus merupakan satu akumulasi dari beberapa kebohongan yang antara satu
dengan yang lain saling mendukung dan melengkapi sehingga mampu menggerakan orang untuk
menyerahkan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang

PERBEDAAN ANTARA ”PENYERAHAN BARANG KARENA PENIPUAN” DENGAN ”PENYERAHAN BARANG


KARENA JANJI”

Setelah terjadi kesepakatan, maka para pihak akan melakukan penyerahan objek perjanjian (levering).
Dalam perjanjian hutang-piutang, si pemberi hutang akan menyerahkan sejumlah uang kepada si
penerima hutang, dengan ketentuan bahwa dalam batas waktu tertentu si penerima hutang harus
mengembalikan utang pokok berikut dengan bunga kepada si pemberi hutang. Terkadang ada kesulitan
untuk melihat suatu penyerahan (levering) yang dilakukan secara normal sebagai bagian dari kewajiban
perikatan dengan penyerahan karena adanya unsur penipuan dalam kesepakatan yang dibuat tanpa
dibuktikan adanya keadaan di luar pokok perikatan yang telah menggerakkan kehendak si pemberi
hutang untuk menyerahkan uang tersebut.

Janji berupa kesanggupan untuk membayar tidak dapat di kategorikan sebagai bentuk penipuan,
walaupun ternyata janji tersebut tidak terwujud, karena dalam setiap perjanjian yang dibuat selalu akan
ada kesanggupan-kesanggupan untuk melakukan prestasi yang salah satunya adalah kesanggupan untuk
membayar. Setiap kesanggupan yang digantungkan pada awal kesepakatan tidak selalu akan terwujud
dengan sempurna, baik karena si debitur lalai atau sengaja tidak berprestasi atau bahkan karena adanya
keadaan memaksa (overmacht) yang membuat si debitur tidak mampu untuk berprestasi. Penipuan
dapat menyebabkan sebuah perjanjian menjadi batal, karena kesepakatan yang timbul telah diliputi oleh
kehendak yang cacat sehingga perjanjian yang dibuat tidak memiliki kekuatan hukum bagi para pihak.
Suatu penyerahan sebagai akibat dari kehendak yang digerakan adanya tipu muslihat merupakan bentuk
pengaruh yang ada diluar janji-janji dalam pokok perikatan, karena Pasal 378 KUHP menyebutkan bahwa
unsur-unsur yang dapat menggerakan suatu kehendak itu antara lain: nama palsu, keadaan palsu, tipu
muslihat dan serangkaian kebohongan.
Suatu penyerahan prestasi karena adanya tipu muslihat dapat digambarkan dalam sebuah ilustrasi
dibawah ini:
A bersedia mengikatkan perjanjian utang piutang dengan B, karena B mengaku sebagai anak
seorang pengusaha kaya yang memiliki banyak perusahaan, sehingga A tergerak oleh pengakuan
B tersebut, setelah uang diserahkan kepada B, A baru tahu bahwa ternyata B bukan anak
seorang pengusaha. Dalam kasus tersebut A telah menyerahkan uang karena tergerak oleh
kebohongan si B. Artinya jika sejak awal A mengetahui kalau B bukan anak seorang pengusaha,
maka A tidak akan mau memberikan utang kepada B.

Dalam ilustrasi di atas bisa kita lihat bahwa kehendak si kreditur telah digerakkan oleh suatu keadaan
palsu yang disampaikan oleh si debitur. Keadaan yang telah menggerakkan kehendak si kreditur itu
bukan merupakan bagian dari pokok perikatan yang diperjanjikan karena perikatan pokok dalam
perjanjian utang piutang adalah meyerahkan uang sebagai utang dan mengembalikannya dengan/tanpa
bunga sebagai jasa pemberian utang.

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Sesuai dengan apa yang disampaikan di atas, wanprestasi dalam hubungan kontraktual tidak memiliki
sifat melawan hukum namun yang ada hanyalah sifat melawan perikatan. Setiap keadaan tidak
melaksanakan prestasi (cidera janji) dalam sebuah perjanjian tidak mengandung kesamaan dengan
unsur-unsur di dalam Pasal 378 KUHP seperti nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat dan serangkaian
kebohongan, karena wanprestasi semata-mata merupakan pelanggaran terhadap janji dalam perikatan
pokok yang selalu termuat dalam setiap perjanjian. Demikian pula tidak mengandung unsur-unsur di
dalam Pasal 372 KUHP seperti dengan sengaja, menguasai secara melawan hukum, suatu benda,
kepunyaan orang lain dan berada padanya bukan karena kejahatan.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam beberapa putusan antara lain Putusan MA-RI
Nomor: 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990, Putusan MA-RI Nomor: 411 K/Pid/1992 tanggal 28 April
1994, Putusan MA-RI Nomor: 449 K/Pid/2001 tanggal 17 Mei 2001, Putusan MA-RI Nomor: 424
K/Pid/2008 tanggal 22 Mei 2008 dan Putusan MA-RI Nomor: 2161 K/Pid/2008 tanggal 14 Mei 2009
mengandung amar putusan bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, namun perbuatan tersebut
bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Untuk membutkikan tindak pidana Penipuan sebagaimana diatur dan diancam Pasal 378 KUHP telah
terpenuhi sebagaimana mestinya, setidaknya kita berangkat dari rangkaian pertanyaan sebagai berikut:
1. Bahwa si terdakwa telah menggerakan hati orang lain untuk memberikan sesuatu barang atau
mengakui suatu utang atau menghapus piutang
2. Bahwa perbuatan itu dilakukan oleh si terdakwa dengan secara licin, baik dengan memakai
nama palsu, atau keadaan-keadaan yang palsu, atau dengan akal-akalan yang cerdik atau
dengan suatu karangan perkataan-perkataan yang bohong isinya
3. Bahwa memang ada maksud si terdakwa dalam perbuatannya itu untuk menarik sesuatu
keuntungan yang tidak sah atau berlawanan dengan hak si pemiliknya sendiri untuk dirinya
sendiri atau untuk orang lainnya

Dari apa yang tersebut diatas, dihubungkan dengan isi Pasal 378 KUHP yang pada dasarnya terdiri atas
unsur sebagai berikut:
1. Unsur Subyektif
1) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
Secara sederhana penjelasan dari unsur ini yaitu tujuan terdekat dari pelaku artinya pelaku
hendak mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu adalah tujuan utama pelaku dengan
jalan melawan hukum, jika pelaku masih membutuhkan tindakan lain, maka maksud belum
dapat terpenuhi. Dengan demikian maksud ditujukan untuk menguntungkan dan melawan
hukum, sehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya itu
harus bersifat melawan hukum
Dalam hal ini maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakkan harus ditujukan
pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain yakni berupa unsur kesalahan (schuld)
dalam penipuan.
Terhadap sebuah kesengajaan selaian harus ditujukan pada menguntungkan diri, juga
ditujukan pada unsur lain di belakangnya seperti unsur melawan hukum, menggerakkan,
menggunakan nama palsu dan lain sebagainya. Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah
ada dalam diri si pelaku sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan
menggerakkan. Menguntungkan artinya menambah kekayaan dari yang sudah ada.
Menambah kekayaan ini baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain
Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan
menggerakkan haruslah berupa maksud yang melawan hukum. Unsur maksud dalam
rumusan penipuan ditempatkan sebelum unsur melawan hukum yang artinya unsur
maksud itu juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum. Oleh karena itu, melawan
hukum di sini adalah berupa unsur subjektif. Dalam hal ini sebelum melakukan atau
setidak-tidaknya ketika memulai perbuatan menggerakkan, pelaku telah memiliki
kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melakukan perbuatan itu adalah melawan hukum.
Melawan hukum di sini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh undang-undang
atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih luas yakni juga
bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, suatu celaan masyarakat. Karena
unsur melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka menjadi wajib
dibuktikan dalam persidangan. Perlu dibuktikan disini adalah si pelaku mengerti maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggerakkan orang lain dengan cara
tertentu dan seterusnya dalam rumusan penipuan sebagai hal yang dicela masyarakat.
2. Unsur Obyektif
1) Barangsiapa
Kata “barangsiapa‟ ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur
tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau dader.
Bahwa unsur “barangsiapa” atau setiap orang ini merupakan elemen delict dan bukan
bestandeel delict dalam suatu ketentuan yang terdapat pada pasal perundang-undangan
yang tentunya harus dibuktikan Rekan Penuntut Umum berdasarkan fakta dipersidangan
dan bukan sekedar rekaan semata. Menurut hemat kami, unsur “barangsiapa” atau kadang
menggunakan istilah “Setiap Orang” haruslah dihubungkan dengan perbuatan yang telah
didakwakan untuk selanjutnya dibuktikan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur
pidana atau tidak sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal perundang-undangan yang
mengaturnya. Kalau unsur perbuatan tersebut terpenuhi atau terbukti secara sah dan
menyakinkan, maka barulah unsur barang siapa dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti
apabila memang unsur barang siapa tersebut dapat ditujukan pada diri Terdakwa.
Dalam hal ini, menurut pendapat kami yang dimaksud barangsiapa dalam surat dakwaan
Rekan Penuntut Umum jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subyek hukum
yang berfungsi sebagai hoofdader, dader, mededader atau uitlokker dari perbuatan pidana
(delict) yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik sebagaimana tertulis dan
tercantum pada surat dakwaan di awal persidangan dan kemudian kepadanya dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana tersebut apabila dapat
dibuktikan secara sempurna oleh Penuntut Umum.
Barang siapa sendiri pada dasarnya bukanlah unsur namun dalam perkembangan praktek
peradilan “barangsiapa” atau “setiap orang” menjadi bahasan serta ulasan baik oleh
Penuntut Umum maupun Pengadilan. Barangsiapa pada dasarnya mengandung prinsip
persamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law) sebagai asas hukum yang
berlaku universal. Dan, dalam melihat unsur barangsiapa ini sendiri tidak dapat dilepaskan
atau dipisahkan dari konsep serta prinsip ajaran tentang pertanggung jawaban pidana
kepada seseorang atau koorporasi.
2) Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat
palsu/ keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan).
Unsur ini pada dasarnya mengandung pengertian sifat penipuan sebagai tindak pidana
ditentukan oleh cara-cara dengan mana pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang (R. Soenarto Soerodibroto, 1992: 241).
Adapun alat-alat penggerak yang dipergunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai
berikut:
- Nama Palsu, dalam hal ini adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya
meskipun perbedaan itu nampaknya kecil. Lain halnya jika si penipu menggunakan nama
orang lain yang sama dengan namanya dengan ia sendiri, maka ia dapat dipersalahkan
melakukan tipu muslihat atau susunan belit dusta.
- Tipu Muslihat, yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau
keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Jika tipu muslihat ini bukanlah
ucapan melainkan perbuatan atau tindakan.
- Martabat / keadaan Palsu, pemakaian martabat atau keadaan palsu adalah bilamana
seseorang memberikan pernyataan bahwa ia berada dalam suatau keadaan tertentu,
yang mana keadaan itu memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan itu.
- Rangkaian Kebohongan, beberapa kata bohong saja dianggap tidak cukup sebagai alat
penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam arrestnya 8 Maret 1926 (Soenarto
Soerodibrooto, 1992: 245), bahwa :
“Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika antara berbagai kebohongan itu
terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa dan kebohongan yang satu
melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik
menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran”.
Jadi rangkaian kebohongan Itu harus diucapkan secara tersusun, sehingga merupakan
suatu cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Dengan demikian kata yang
satu memperkuat / membenarkan kata orang lain.
Unsur ini adalah hal yang terkait dengan upaya yang dilakukan dalam hal agar tujuan pelaku
dapat tercapai dengan sempurna yang terbagi atas hal-hal sebagai berikut:
- Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam), dalam hal ini terdapat 2 (dua)
pengertian nama palsu, antara lain: Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan
namanya sendiri melainkan nama orang lain (misalnya menggunakan nama seorang
teman). Kedua, diartikan sebagai suatu nama yang tidak diketahui secara pasti
pemiliknya atau tidak ada pemiliknya (misalnya orang yang bernama A menggunakan
nama samaran B). Nama B tidak ada pemiliknya atau tidak diketahui secara pasti ada
tidaknya orang tersebut. Dalam hal ini kita harus berpegang pada nama yang dikenal
oleh masyarakat luas. Misalkan A dikenal di masyarakat dengan nama C, maka A
mengenalkan diri dengan nama C itu adalah menggunakan nama palsu. Kemudian
bagaimana bila seseorang menggunakan nama orang lain yang sama dengan namanya
sendiri, tetapi orang yang dimaksudkan itu berbeda. Misalnya seorang supir bernama A
mengenalkan diri sebagai seorang pegawai bank yang juga bernama A, si A yang terakhir
benar-benar ada dan diketahuinya sebagai seorang pegawai bank. Di sini tidak
menggunakan nama palsu, akan tetapi menggunakan martabat atau kedudukan palsu.
- Menggunakan martabat atau kedudukan palsu (valsche hoedanigheid), dalam hal ini
terdapat beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan
valsche hoedanigheid yakni, keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan
palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan
yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan atau memiliki
hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu. Jadi
kedudukan palsu ini jauh lebih luas pengertiannya daripada sekedar mengaku
mempunyai suatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, kepala, notaris, dan lain
sebagainya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang mengaku seorang
pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dari boedel waris, atau
sebagai seorang wali, ayah atau ibu, kuasa, dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam suatu
arrest-nya (27-3-1893) menyatakan bahwa perbuatan menggunakan kedudukan palsu
adalah bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa,
seorang agen, seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh
kepercayaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat.
- Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan
(zamenweefsel van verdichtsels), dalam hal ini kedua cara menggerakkan orang lain ini
sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat
menimbulkan kepercayaan atau kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah
benar adanya. Namun terdapat perbedaan, yakni pada tipu muslihat berupa perbuatan,
sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa ucapan atau perkataan. Tipu muslihat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan
atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar.
Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak hati
orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak hatinya
atau terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar si korban berbuat
menyerahkan benda yang dimaksud.
3) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau
menghapus utang. Yang dalam hal ini dapat dilihat hal-hal terkait dengan:
- Perbuatan menggerakkan (Bewegen). Kata bewegen dapat juga diartikan dengan istilah
membujuk atau menggerakkan hati. Dalam KUHP sendiri tidak memberikan keterangan
apapun tentang istilah bewegen. Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan
mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain, karena objek yang
dipengaruhi yakni kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan juga merupakan
perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkrit bila dihubungkan
dengan cara melakukannya, dan cara melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih
berbentuk, yang bisa dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan dengan
perbuatan yang tidak benar. Karena di dalam sebuah penipuan, menggerakkan diartikan
dengan cara-cara yang di dalamnya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat
membohongi atau menipu.
- Yang digerakkan adalah orang. Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang
yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan
adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan,
karena dalam rumusan Pasal 378 KUHP tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang
yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah
harus orang yang digerakkan. Orang yang menyerahkan benda, memberi hutang
maupun menghapuskan piutang bisa juga oleh selain yang digerakkan, asalkan orang
lain atau pihak ketiga menyerahkan benda itu atas perintah atau kehendak orang yang
digerakkan
- Menyerahkan benda, dalam hal ini pengertian benda dalam penipuan memiliki arti yang
sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan yakni sebagai benda yang
berwujud dan bergerak. Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap
benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pendapat ini didasarkan pada ketentuan
bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena
dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk menambah kekayaan.
- Memberi hutang dan menghapuskan piutang, dalam hal ini perkataan hutang tidak sama
artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau
perikatan. Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutang adalah suatu
perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan. Oleh karenanya memberi hutang
tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi
pengertian yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang membawa
akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan atau membayar
sejumlah uang tertentu. Demikian juga dengan istilah utang, dalam kalimat
menghapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan. Sedangkan menghapuskan
piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban
dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka, karena menghapuskan piutang
diartikan sebagai menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, di
mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah
uang tertentu pada korban atau orang lain.
Dalam perbuatan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya
hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge
Raad dalam arrestnya Tanggal 25 Agustus 1923 (Soenarto Soerodibroto, 1992 : 242) bahwa :
“Harus terdapat suatu hubungan sebab musabab antara upaya yang digunakan dengan
penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai
akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa
menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut
menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal,
sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus
menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut menyerahkan
sesuatu barang.”

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Untuk membutkikan tindak pidana Peggelapan sebagaimana diatur dan diancam pada Pasal 372 KUHP
telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka setidaknya kita berangkat dari rangkaian pertanyaan
sebagai berikut:
1. Dapat dibuktikannya pelaku telah menghendaki atau bermaksud untuk menguasai suatu benda
secara melawan hukum
2. Dapat dibuktikannya pelaku mengetahui bahwa yang ingin dikuasai itu adalah sebuah benda
3. Dapat dibuktikannya bahwa pelaku mengetahui benda tersebut sebagian atau keseluruhannya
adalah kepunyaan orang lain
4. Dapat dibuktikannya bahwa pelaku mengetahui benda tersebut berada padanya bukan karena
kejahatan

Van Haeringen mengartikan Istilah Penggelapan sebagai “geheel donkermaken” atau sebagai “uitstraling
van lichtbeletten” yang artinya “membuat segalanya menjadi gelap” atau “ menghalangi memancarnya
sinar”. Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan lebih tepat jika istilah penggelapan
diartikan sebagai “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana
ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“.
Unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 372 KUHP sendiri terdiri atas:
1. Unsur Subyektif
1) Dengan sengaja atau Opzettelijk
Melihat pada pengadturan yang terdapat KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas
dan tegas akan maksud dari “kesengajaan”. Pengertian “kesengajaan” dapat dilihat dari MvT
yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendakai dan diketahui”. Unsur ini memuat pengertian
mengetahui dan menghendaki (willens en wetens). Artinya seseorang yang melakukan sesuatu
tindakan dengan sengaja, harus menghendaki dan menginsafi tindakan tersebut dan/atau
akibatnya.
Berbeda dengan tindak pidana pencurian yang tidak mencantumkan unsur kesengajaan atau
“opzettelijk‟ sebagai salah satu unsur tindak pidana pencurian. Rumusan Pasal 372 KUHP
mencantumkan unsur kesengajaan pada tindak pidana Penggelapan, sehingga dengan mudah
orang mengatakan bahwa penggelapan merupakan opzettelijk delict atau delik sengaja.
Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud
yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.
Unsur dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur subjektif dalam tindak pidana
penggelapan yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana ataupun yang melekat pada
pribadi pelakunya. Dengan sendirinya unsur opzettelijk harus didakwakan dalam surat dakwaan
penuntut umum, dan karena unsur tersebut didakwakan terhadap seorang terdakwa, dengan
sendirinya juga harus dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa.
Kesengajaan yang harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya harus dibuktikan
dalam persidangan. Oleh karenanya hubungan antara orang yang menguasai dengan barang
yang dikuasai harus sedemikian langsungnya, sehingga untuk melakukan sesuatu terhadap
barang tersebut orang tidak memerlukan tindakan lain. Dalam hal ini, kesengajaan yang
dimaksud haruslah meliputi seluruh unsur subyektif dalam pasal, yaitu:
- Apabila unsur dengan sengaja dihubungkan dengan dengan unsur secara melawan
hukum atau zich toeeigenen, maka perbuatan memiliki secara melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku haruslah secara sengaja dan perbuatan memiliki tersebut
haruslah sudah selesai dilakukan
- Apabila unsur dengan sengaja dihubungkan dengan melawan unsur melawan hak atau
wedderechtelijk, maka ini berarti si pelaku harus mengetahui bahwa perbuatannya
tersebut yang berupa zich toeeigenen itu adalah bertentangan dengan hak orang lain
- Apabila unsur dengan sengaja ini dihubungkan dengan unsur yang seluruhnya atau
sebagiannya milik orang lain, dalam hal ini berarti pelaku haruslah mengetahui bahwa
benda tersebut seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain
- Apabila unsur dengan sengaja ini dihubungkan dengan unsur yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, maka dalam ini hal ini berarti si pelaku haruslah
mengetahui benda yang telah ia miliki berada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan
Bahwa dalam fakta persidangan jelas terungkap hubungan hukum yang terjadi merupakan
suatu hubungan hukum keperdataan dalam lapangan kontraktuil. Dengan demikian,
terdakwa dalam melakukan perbuatannya berada dalam kapasitas pertanggungjawaban dalam
ranah hukum perdata dan bukan pada pertanggungjawaban hukum pidana.

Berdasarkan keterangan saksi dan juga keterangan terdakwa serta alat bukti surat, jelas sekali
hubungan hukum yang terjadi merupakan hubungan hukum kesepakatan yang menimbulkan
hak dan kewajiban antara SAKSI Hamdan dengan Terdakwa DEDEN JATNIKA.

Dengan dasar bahwa perbuatan hukum tersebut berada dalam lapangan hukum perdata, maka
tidak ada unsur kesengajaan dengan melawan hukum yang dilakukan terdakwa pada
perbuatannya. Dalam hal ini berdasarkan keterangan saksi Endang, Saksi Hamdan (Pelapor)
Saksi Jerry Rahayu dan juga keterangan terdakwa, dapat ditarik kesimpulan terdakwa telah
membayar atas Barang yang sudah dipesan Terdakwa dari Saksi Hamdan meskipun belum
seluruhnya terbayarkan atau terlunasi. Bahwa sisa uang yang harus dikembalikan terdakwa
sebesar Rp. 192.327.000,- (Seratus sembilan puluh dua juta tiga ratus dua puluh tujuh ribu
rupiah) sesuai dengan kwitansi penerimaan yang telah diakui oleh Saksi Hamdan di muka
persidangan.
Kemudian Saksi Hamdan merasa uang yang menjadi haknya tersebut belum dikembalikan
terdakwa berikut dengan keuntungan yang diharapkan. Dalam hal ini, keterangan yang
menyebutkan belum terbayarnya pengembalian uang berikut dengan keuntungan hanya
didasarkan satu keterangan saksi Hamdan belaka, sedangkan Saksi Agus Sofyan dan Saksi
Haerudin serta Saksi Rian sama sekali tidak mengetahui perihal kesepakatan tersebut
apakah uang tersebut telah dikembalikan berikut dengan keuntungannya. Pengetahuan
saksi Haerudin dan Saksi Agus Sofyan serta Saksi Rian hanyalah didasarkan atas
pemberitahuan/omongan (testimonium de auditu) yang disampaikan Saksi Hamdan dan
bukan berdasarkan fakta yang saksi dengar, saksi lihat atau saksi alami sehingga keterangan
yang disampaikan Saksi Agus dan Saksi Harudin saksi Rian tidak memiliki nilai pembuktian
sama sekali.

Berangkat dari hal tersebut, jelas dan tegas bahwa unsur dengan sengaja sama sekali tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG
SUTARSA .
2. Unsur Obyektif
1) Barangsiapa
Kata “barang siapa‟ ini menunjukan orang. Apabila seseorang telah memenuhi semua
unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau dader.
Dalam hal ini, menurut pendapat kami yang dimaksud Barangsiapa dalam surat dakwaan
Rekan Jaksa Penuntut Umum jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subyek
hukum yang berfungsi sebagai hoofdader, dader, mededader atau uitlokker dari perbuatan
pidana (delict) yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik sebagaimana
tertulis dan tercantum pada surat dakwaan di awal persidangan dan kemudian kepadanya
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana tersebut apabila
dapat dibuktikan secara sempurna oleh Penuntut Umum.
Barangsiapa pada dasarnya bukanlah unsur namun dalam perkembangan praktek peradilan
“barangsiapa” menjadi bahasan serta ulasan baik oleh Penuntut Umum maupun
Pengadilan. Barangsiapa pada dasarnya mengandung prinsip persamaan kedudukan di
muka hukum (equality before the law) sebagai asas hukum yang berlaku universal. Dan,
dalam melihat barangsiapa ini sendiri tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari konsep
serta prinsip ajaran tentang pertanggungjawaban pidana kepada seseorang atau
koorporasi.
Namun demikian, kami akan membahas hal yang disebutkan Rekan Penuntut Umum dalam
requisitoire-nya pada halaman 9, yang menyebutkan :
“Yaitu setiap orang yang menjadi subyek hukum yang kepadanya dapat dimintai
pertanggungjawaban menurut hukum atas perbuatan yang dilakukannya. Bahwa dalam
perkara ini adalah DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA sebagai pelaku tindak pidana
dalam keadaan sehat, tidak terganggung jiwanya serta dapat menjawab semua
pertanyaan yang diberikan baik oleh Hakim maupun oleh Penuntut Umum sehingga
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya”
Bahwa unsur “Barangsiapa” ini merupakan elemen delict dan bukan bestandeel delict
dalam suatu ketentuan yang terdapat pada pasal perundang-undangan yang tentunya
harus dibuktikan Rekan Penuntut Umum berdasarkan fakta di persidangan dan bukan
sekedar rekaan semata. Menurut hemat kami, unsur Barangsiapa haruslah dihubungkan
dengan perbuatan yang telah didakwakan untuk selanjutnya dibuktikan apakah perbuatan
tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal
perundang-undangan yang mengaturnya. Kalau unsur perbuatan tersebut terpenuhi atau
terbukti secara sah dan menyakinkan, maka barulah unsur barangsiapa dapat dinyatakan
terpenuhi atau terbukti apabila memang unsur barang siapa tersebut dapat ditujukan pada
diri Terdakwa. Jadi, dalam hal ini yang terlebih dahulu dibahas dan dibuktikan bukanlah
unsur Barangsiapa ini melainkan terlebih dahulu harus membuktikan secara sah dan
menyakinkan unsur-unsur dalam perbuatan.
Bahwa perjanjian antara terdakwa DEDEN JATNIKA dengan Saksi Hamdan adalah
perjanjian kerjasama (berdasarkan keterangan Saksi Hamdan menyatakan bahwa
terdakwa menawarkan “PO beras sebanyak 50 Ton “ dengan sistem pembayaran 2 hari
setelah pencairan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) yang saksi HAMDAN setujui sebanyak
50.600 Kg dengan harga Beras perkilo nya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah)
dengan cara 5 (Lima) kali pengiriman ke sebuah Gudang di daerah Kp. Bantarmuncang Ds.
Sekarwangi Kec. Cibadak Kab. Sukabumi, terdakwa seharusnya membayar terhadap saksi
Uang sebesar Rp. 455.400.000,- (Empat ratus lima puluh lima juta empat ratus ribu
rupiah)), dengan demikian kapasitas para pihak dalam perjanjian berada dalam lapangan
hukum perdata, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan
sebuah kesepakatan. Apakah salah satu atau kedua belah pihak telah atau tidak
melaksanakan isi dari kesepakatan, maka itu merupakan kewenangan yang ada pada
lapangan hukum perdata untuk menyelesaikannya dan bukan pada lapangan hukum
pidana.
Begitupun saksi Endang menyampaikan bahwa Bahwa saksi membenarkan terdakwa telah
meminta dikirim Beras untuk program BPNT di Kabupaten Sukabumi dengan menjanjikan
bahwa Uang Beras tersebut akan dibayarkan setelah 2 (Dua) hari kemudian, namun
terdakwa tidak menepati janjinya membayarkan sebagian Uang tersebut kepada H.
HAMDAN. Bahwa saksi membenarkan jumlah Beras yang diminta oleh terdakwa ke korban
sebanyak 50.600 Kg, dan kesepatakan uang penjualan beras sebesar Rp. 9.000,- / Kg
sehingga kewajiban terdakwa ke korban sebesar Rp. 447.327.000.
Terdakwa pun menyatakan bahwa membenarkan menghubungi korban HAMDAN Bin H.
EMI sambil mengatakan mempunyai PO Beras sebanyak 50 Ton dengan Sistem Pembayaran
2 (Dua) hari setelah Pencairan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), pada mulanya korban
menolak karena ingin pembayaran dengan cash tetapi terdakwa meyakinkan korban
dengan mengatakan “Gimana kalau anak buah pak haji ditaro disini, nanti kalau sudah
kartu BPNT digesek atau pencairan langsung di Transfer ke pak haji sambil disaksikan anak
buah pak haji”, setelah mendengar perkataan terdakwa tersebut akhirnya korban
menyetujui dengan mengatakan “Ya sudah kalau begitu mah oke saya mau kirim beras
sebanyak 50.600 Kg”. Dari pembicaraan antara korban dan terdakwa disepakati harga
Beras perkilonya sebesar Rp. 9.000,- (Sembilan ribu rupiah) dan berdasarkan kesepakatan
tersebut korban percaya dan tergerak hatinya untuk mengirimkan Beras dengan total
sebanyak 50.600 Kg yang dikirimkan dengan cara 5 (Lima) kali pengiriman ke sebuah
Gudang di Daerah Kampung Bantarmuncang Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak
Kabupaten Sukabumi

Dengan terbuktinya seluruh unsur perbuatan, barulah kemudian dapat ditarik uraian unsur
“Barangsiapa” yang akan ditujukan kepada terdakwa sebagai subyek hukum yang didakwa
melakukan suatu perbuatan pidana. Tapi, apabila unsur pebuatan yang merupakan
bestandeel delict dari tindak pidana yang didakwakan Rekan Penuntut Umum tidak
terbukti, dengan sendirinya unsur “Barangsiapa” sebagai subyek hukum tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban pidananya.
Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 951 K/Pid/1982 tertanggal 10
Agustus 1983 yang pada intinya menyebutkkan bahwa unsur stiap orang (barangsiapa)
hanya merupakan kata ganti orang, dimana unsur ini baru mempunyai makna jika dikaitkan
dengan unsur- unsur pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan
dengan unsur-unsur lain d alam perbuatan yang didakwakan dalam kaitan unsur ini.
Dengan demikian, tidak secara otomatis unsur ini akan terbukti hanya dengan mengajukan
seorang terdakwa dalam persiangan, melainkan harus dengan membuktikan dalam
dakwaan kesatu atau dakwaan kedua sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan Rekan
Penuntut dalam persiangan ini yaitu terkait unsur: Dengan Sengaja, Menguasai Secara
Melawan Hukum, Suatu Benda, Sebagian atau Keseluruhannya Milik Orang Lain, dan
Berada Padanya Bukan Karena Kejahatan.
2) Menguasai secara melawan hukum
Bahwa pada dasarnya alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat
melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-
undang khawatir apabila unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang
berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang itu, mungkin di pidana pula.
Bahwa makna yang terkandung pada unsur ini adalah bermaksud memiliki, dan Menteri
kehakiman pemerintahan kerajaan Belanda menjelaskan maksud unsur ini adalah
penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah merupakan
pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya.
Kata secara melawan hukum (wedderechtelijk) dalam rumusan Pasal 372 KUHP itu telah
dipakai pembentuk undang-undang untuk menunjukkan sifatnya yang melawan hukum dari
perbuatan ‘menguasai’.
Menurut Profesor Van Bemmelen, yang dimaksud dengan menguasai secara melawan
hukum dalam konteks tindak pidana penggelapan adalah “melakukan suatu perilaku yang
mencerminkan putusan pelaku untuk secara mutlak melaksanakan kekuasaan yang nyata
atas suatu benda”. Sehingga disini konteks menguasai berbeda dengan memiliki. Karena
ketika seseorang menguasai suatu benda, orang tersebut tidak hanya sebatas memiliki
benda tersebut, namun orang tersebut juga dapat melakukan tindakan atas benda yang
ada dibawah kekuasaannya tersebut seperti misalnya menjual, menyewakan, atau
menitipkan benda tersebut kepada pihak lain secara melawan hukum.
Menurut Memorie van Toelichting Pasal 372 KUHP, yang dimaksud dengan zich toeeigenen
adalah (kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) “menguasai suatu benda seolah-
olah ia adalah pemiliknya”. Perlu ditekankan di sini bahwa ‘zich toeeigenen’ yang
dimaksudkan oleh pembuat undang-undang adalah ‘zich toeeigenen’ yang melawan
hukum (wederrechtelijk). Apabila penguasaan tersebut tidak bertentangan dengan sifat
dari hak dengan hak mana benda itu dapat berada di bawah kekuasaannya, maka ini tidak
memenuhi unsur zich toeeigenen sebagaimana dimaksud pasal ini.
Karakteristik perkara pidana di Indonesia telah menempatkan unsur yang esensial dalam
suatu perumusan delilk, baik yang berwujud perumusannya yang tersirat maupun yang
tersurat, yaitu apa yang dinamakan unsur melawan hukum (wedderechtelijk). Sebagai suatu
delik formil, unsur melawan dalam suatu perumusan delik kerap menempatkannya sebagai
suatu perbuatan yang primaritas untuk menentukan dipidana atau tidaknya seorang
terdakwa atau sering disebut dengan “strafbarehandeling”
Perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam
konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana
yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai referensi,
disini kami mengutip pandangan Munir Fuady pada buku Perbuatan Melawan
Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal.
22, yang menyatakan:
“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan
perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai
hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar
(disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan
hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni:
Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu
perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk
dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik
telah dipenuhi.
Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut:
 Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan
delik.
 Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan
dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat.
Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan
hukum materl dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam
fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana.
Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski
perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela
karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu
dapat dipidana.
Bahwa ternyata dalam menguraikan unsur melawan hukum ini, Rekan Penuntut Umum
telah melakukan tindakan “koruptif” guna membenarkan dalil dalam menyusun dan
mengajukan tuntutannya kepada terdakwa. Memang seakan menjadi hal yang biasa bagi
Penuntut Umum untuk tidak memuat secara lengkap fakta yang terungkap di persidangan
pada tuntutannya. Penuntut Umum selalu mencantumkan fakta yuridis yang telah
dimanipulir sedemikian rupa sehingga seolah-olah perbuatan Terdakwa telah dilakukan
dengan cara melawan hukum. Kupasan yang dilakukan Rekan Penuntut Umum telah
menyembunyikan kalimat-kalimat pada fakta persidangan dan kemudian mengambil yang
hanya menguntungkan Rekan Penuntut Umum tapi merugikan terdakwa.
Mengamati semua bagian dalam tuntutan yang diajukan Rekan Penuntut Umum, serta
proses yang berlangsung dalam persidangan ini, terlihat jelas bagaimana Surat Dakwaan
dan Tuntutan Penuntut Umum tidak benar dan tidak berdasar hukum. Memang,
kedudukan Penuntut Umum dan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya selalu berada dalam
posisi yang berlawanan, namun perlu dimaknai sebagai bagian dari aparatur penegak
hukum meskipun mempunyai sudut pandang yang berbeda tetap harus dalam proses
menacapai tujuan persidangan pidana berupa “mencari kebenaran materiil”.
Berangkat dari hal tersebut, jelas dan tegas bahwa unsur dengan melawan hukum sama
sekali tidak terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa DEDEN
JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA .

3) Suatu benda
Benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering
disebut “benda bergerak‟.
Pengertian benda dinyatakan dalam pasal 499 KUH Perdata sebagai berikut:
“Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan
tiap- tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.” Pengertian benda disini dapat dipahami
sebagai benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud serta benda tak bergerak
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Sehingga pemahaman soal unsur benda yang
dimaksud dalam Pasal 372 KUHP mengenai penggelapan dapat dikategorikan sebagai benda
bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.
Tidak sembarang benda dapat dijadikan objek penggelapan. Yang dapat dijadikan objek
penggelapan adalah benda berwujud dan bergerak. Tanah dan rumah tidak dapat menjadi
objek penggelapan. Benda yang dimaksud di sini pun tidak perlu perlu mempunyai nilai
tukar (Arrest Hoge Raad tanggal 6 Januari 1919).
Berangkat dari hal tersebut, jelas dan tegas bahwa unsur suatu benda sama sekali tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin
ENDANG SUTARSA .

4) Sebagian atau keseluruhannya kepunyaan orang lain


Terhadap unsur ini HOGE RAAD dalam arrestnya tanggal 1 Mei 1922 menyatakan bahwa:
“Di sidang Pengadilan yang memeriksa seorang terdakwa yang didakwa telah
menggelapkan barang kepunyaan orang lain itu tidak perlu dipastikan tentang siapa
sebenarnya orang lain tersebut.”
Sehingga untuk dapat menyatakan seorang terdakwa memenuhi unsur ini, cukup hanya
dengan membuktikan bahwa benda tersebut bukan merupakan milik terdakwa sendiri.
Bahwa berangkat dari fakta persidangan telah jelas dan tegas Terdakwa sama sekali tidak
pernah menggunakan benda yang sebagian atau keseluruhannya adalah milik orang lain
dalam perkara ini. Hubungan antara terdakwa dengan Saksi Hamdan berada dalam
lapangan hukum perdata, sehingga harus pula diselesaikan secara perdata.
Berangkat dari hal tersebut, unsur sebagian atau keseluruhannya kepunyaan orang lain
sama sekali tidak terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa DEDEN
JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA .
5) Berada padanya bukan karena kejahatan
Bahwa untuk menganalisis unsure ini, harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata
antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan.
Yang dimaksud dengan kata-kata “yang ada padanya” disini adalah keharusan adanya suatu
hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda, yakni agar
perbuatan “menguasai secara melawan hukum” yang dilakukannya, dapat dipandang
sebagai tindak pidana penggelapan dan bukan merupakan tindak pidana pencurian.
Disamping itu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda
harus didasari oleh suatu peralihan hak yang sah dan bukan karena kejahatan Unsur inilah
salah satu tanda ciri yang membedakan tindak pidana penggelapan dan pencurian.

Suatu kesimpulan yang sangat tidak berdasarkan pada hukum pembuktian yang
mendasarkan pada hanya satu keterangan saksi belaka. Bagaimana mungkin Rekan
Penuntut Umum mampu mendasarkan unsure ini hanya pada satu ketarangan saksi
Hamdan, padahal dalam hukum pembuktian untuk membuktikan secara sah dan
menyakinkan suatu unsure tindak pidana minimal harus dilakukan berdasarkan 2 (dua) alat
bukti yang sah. Disini dengan sangat yakinnya Rekan Penuntut Umum hanya menggunakan
keterangan satu orang saksi pelapor yang kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat
perjanjian jual beli yang telah dimanipulir pengertian dan maknanya oleh Rekan Penuntut
Umum berdasarkan kepentingan Penuntut Umum sendiri dan bukan berdasarkan logika
serta analisis hukum. Sudah semestinya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar
pembuktian unsur ini. Satu orang saksi bukanlah saksi atau dikenal dengan istilah “Unus
Testis Nulus Testis”

Bahwa sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian unsur sebelumnya, hubungan


hukum dalam perkara ini berada pada hubungan kontraktuil yang harus diselesaikan secara
hukum keperdataan dan bukan hukum pidana. Dimana dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat antara Terdakwa dengan Saksi Hamdan dalam pelaksanaan perjanjian kedua
belah pihak dan seharusnya diputus oleh Hakim Perdata.
Berangkat dari hal tersebut, jelas dan tegas bahwa unsur berada padanya bukan karena
kejahatan sama sekali tidak terbukti secara sah dan menyakinkan dilakukan oleh
Terdakwa DEDEN JATNIKA Bin ENDANG SUTARSA .

KESIMPULAN

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Bahwa berdasarkan analisis hukum yang telah kami lakukan terhadap surat dakwaan maupun surat
tuntutan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang telah terungkap, terbukti Penuntut Umum tidak
dapat membuktikan dakwaanya sehubungan dengan uraian yang tercantum pada surat dakwaan yang
telah diajukannya pada awal persidangan perkara ini.

Bahwa kami Penasihat Hukum terdakwa berkeyakinan Majelis hakim yang mulia senantiasa berpegang
teguh pada rasa keadilan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum bagi terdakwa. Kami meyakini
tidak ada kebencian yang melekat pada diri kami atau dendam, tetapi semata-mata didasarkan kepada
tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan profesi masing-masing dengan sebaik-baiknya yang
berpedoman pada etika dan norma hukum yang akhirnya kesemuanya berpulang kepada
pertanggungjawaban kita masing-masing kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
PERMOHONAN dan PENUTUP

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian;

Anda mungkin juga menyukai