Anda di halaman 1dari 6

LITURGIKA I 2012

Perkembangan Liturgi
Dari Zaman Konstantin Agung

Keberhasilan Kaisar Konstantin Agung (± 274-337, kaisar sejak 312)


bersama Lycinius Augustus dalam Edik Milano (313) menghasilkan
hubungan baik antara gereja dan negara. Keadaan ini menjadikan agama
Kristen sebagai agama negara Romawi, sebagai agama yang bebas dan
terbuka dalam penampilannya. Sejumlah fasilitas sosial dinikmati oleh
Gereja dan pemimpinnya. Uskup menjadi pejabat pemerintah, pegawai
negeri, dan hakim di pengadilan. Para imam dibebaskan dari pajak dan
wajib militer. Para klerus memperoleh martabat sipil. Sejumlah gedung
gereja dibangun megah dan mewah. Kemudahan-kemudahan tersebut
menjadi daya tarik dan tentu saja meng-undang orang menjadi Kristen.
Banyak orang menjadi Kristen karena situasi dan status sosial, serta
kemudahan persyaratan yang diberikan oleh gereja negara.' Keadaan
tersebut dilatarbelakangi oleh keadaan politis sehingga orang menjadi
Kristen tidak dengan segenap hati.

Konstantin Agung berani mengakui bahwa peradaban agama lama


telah menjadi mandul. Maka, gereja pun "dimanfaatkan" guna membina
kesatuan politik. Jadi, pembaruan Konstantin adalah tindakan politis,
bukan beralaskan iman sebab baru di akhir hidupnya (337) ia minta
dibaptis. Ia sama sekali tidak memberikan teladan yang baik dalam
kehidupannya sebagai Kristen.

Keadaan bebas beragama dan beribadah adalah lebih baik daripada


hidup di bawah ancaman. Namun, jika gereja dipolitisasi, hal ini akan
berdampak buruk bagi gereja sendiri di kemudian hari. Secara
kuantitatif, jumlah orang Kristen dan gedung gereja bertambah, namun
tidak dalam hal kualitas hidup beriman. Oleh sebab status sebagai
agama Roma secara tak sengaja telah membawa masuk ritus-ritus
agama lama atau agama tradisional Roma dan budaya imperial ke
dalam liturgi.

STT – JOHANES CALVIN Page 74


LITURGIKA I 2012

1. Ibadah Agama Lama


Sekalipun agama lain dan ibadah agama lama dilarang secara resmi
oleh Kaisar Theodosius (± 346-395; kaisar pada 378/379), terlalu
piciklah membayangkan bahwa kelekatan yang sangat merakyat itu
dapat hilang dalam waktu singkat. Dalam waktu yang cukup lama, para
kafir, yakni orang-orang udik yang jauh dari pengawasan pemerintah,
tetap menjalankan penyembahan berhala tanpa suatu gangguan apa
pun.

Peribadahan agama lama dilarang, tetapi ritus-ritusnya terbawa


(atau sengaja dibawa?) masuk ke dalam liturgi. Gereja melihat
peribadahan agama lama sebagai "gudang bahan'', yakni sumber
inspirasi dan variasi untuk dibawa ke dalam liturgi. Akibatnya tak
terhindarkan, liturgi mengandung rembesan kekafiran dan
sekulerisme.

Dampak lain bagi liturgi dan perkembangannya adalah sebagai


berikut. Pada suatu pihak, liturgi dirayakan dengan lebih megah, lebih
terbuka, lebih semarak, dan lebih menarik perhatian. Dari pertemuan
keluarga yang bersifat intim, liturgi bergeser menjadi upacara dan
perayaan semarak dan bersifat agung dalam kemewahan basilika-
basilika Konstantin. Kreativitas dan penyesuaian liturgi dengan budaya
setempat mendapat tempat sehingga menjadi ciri khas masa itu. Ada
keinginan agar kreativitas yang terjadi tidak terlepas dari akar-akar
liturgi yang telah terjalin sejak gereja Perjanjian Baru," namun hal
tersebut sulit terjadi.

Salah satu contoh kreativitas yang mengkristenkan unsur ritual


agama lama antara lain refrigerium, yakni upacara perjamuan di makam.
Sebagian makanan dimakan oleh pelayat, sebagian lain disisihkan
untuk orang yang telah meninggal. Lambat laun, kebiasaan ini menjadi
minum-minum yang berlebihan di taman pemakaman.

Contoh lain dari ritus agama lain adalah munculnya penggunaan


formula-formula liturgi. Respons-respons umat, antaraIain "lib era nos,
Domine" (bebaskanlah kami, ya Tuhan), "te rogamus, audi nos" (kami
STT – JOHANES CALVIN Page 75
LITURGIKA I 2012

mohon dengarkanlah kami). Selain itu, masuk pula pengaruh mencium


altar, penghormatan terhadap benda-benda suci atau relikui, dan
berkiblat ke arah timur - baik bagi orang yang baru dibaptis maupun
tata letak bangunan gedung gereja - dilatarbelakangi oleh ritus agama
lama."

Pada pihak lain, orang lebih menyukai hanya mengikuti liturgi


secara pasif. Keikutsertaan umat dalam liturgy menurun sebab ibadah
dan gedung gereja telah ditangani langsung oleh para rohaniwan penuh
waktu." Liturgi menjadi sekadar tontonan; pemerannya adalah para
imam. Unsur teaterikal atau tontonan, aspek sampingan dari ibadah,
muncul ke permukaan kasat mata mengatasi unsur teologis.

2. Budaya Imperial dan Tata Busana


Warisan kedua ini sebenarnya harus .ditulis warisan liturgis. Hal ini
berhubungan dengan pengaruh (dalam arti campur tangan) budaya
kekaisaran yang masuk liturgi. Tata busana liturgis, semisal jubah
imam yang tampak agung dan penutup kepala mirip mahkota, tata
gerak liturgis, semisal prosesi yang terlihat anggun, mencium tangan
uskup, dan berlutut di altar, dan arsitektur gedung gereja yang besar
menunjukkan keagungan dan kemegahan imperial." Cipratan warisan
dan kebiasaan tersebut masih terasa hingga dewasa ini. Demikian pula
di Indonesia, gereja menampakkan citra budaya gerejawi yang berlaku
sewaktu imperialisme kolonial. Tak luput, budaya gereja mengikuti
budaya setempat di mana ia berdiri.
Peristiwa imajinatif, seseorang yang baru menjadi Kristen dengan latar
belakang kehidupan tidak peduli dengan Kekristenan atau bahkan
keagamaan, kecuali agama Roma atau agama tulen, yang dibesarkan
dalam lingkungan ibadah di kuil-kuil penyembahan berhala, upacara
misteri, korban bakaran, dan pesta keagamaan dari agama lama,
mengunjungi gereja. Bersamanya, dengan tujuan yang sama datanglah
orang-orang berlatar belakang simpatisan Yahudi yang biasa
mengunjungi sinagoge.

Dia mendekati gedung gereja yang telah dapat dilihat dari jarak yang
STT – JOHANES CALVIN Page 76
LITURGIKA I 2012

cukup jauh karena besarnya gedung itu. Dia masuk melalui pintu
gerbang berbentuk lengkung ke dalam gedung yang berarsitektur
basilika Konstantin. Basilika ini merupakan perluasan dari domus
ecciesiae, yakni bangsal kerajaan dan bangsal pesta tempat umat
Kristen berkumpul untuk beribadah dan merayakan perjamuan kudus.
Dalam budaya Romawi, basilika adalah aula sebagai gedung pertemuan,
tempat transaksi jual beli, berpesta, dan mengadakan pertemuan-
pertemuan resmi, seperti audiensi Kaisar serta pengadilan.

Ruang dalamnya panjang dan luas, disebut naos (navis = kapal). Ruang
dalam itu mampu menampung ribuan orang, bahkan sampai lima ribu
orang. Ketika memasuki ruangan tersebut ia merasa seperti menumpang
sebuah kapal besar, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Apostoli.

"Kapal" tersebut rnemiliki para awak kapal. Awak kapal adalah diakon.
Tugas para awak itu adalah menyiapkan dan membimbing umat beribadah.
Diakon berdiri dekat para manajer, yakni presbiter. Para manajer dipimpin
oleh seorang kapten, yakni uskup. Para presbiter duduk di kiri dan kanan
uskup. Uskup duduk di tengah para awak tersebut.

Para pelayan liturgi dan altar ditempatkan agak ke tengah dan di ujung
timur naos. Selain altar batu, ada pula mimbar besar (ambo) yang juga
terbuat dari batu. Di sebelah timur agak ke tengah ruang ada sebuah
ketinggian yang disebut bima (bema) yang dipisahkan dengan tirai. Puncak
dan dinding area bima tersebut berbentuk apsis, yakni interior berkubah
dan berlengkung. Di bima itulah ditempatkan takhta uskup atau panti
imam, serta ambo untuk pembacaan Alkitab dan ekaristi dilayankan.

Umat ditempatkan di alos (ala), yakni sayap-sayap di sisi kiri atau


sebelah utara dan kanan atau sebelah selatan dari naos. Sisi utara untuk
laki-laki dan sisi selatan untuk perempuan. Umat beribadah menghadap
timur. Antara alos dan naos menjulang pilar-pilar besar.

Kenyataan ini bertentangan dengan cerita para orangtua bahwa orang


Kristen berkumpul di ruang makan dan rumah-rumah tinggal mereka.
Ruang ibadah Gereja Mula-mula pasti sederhana, seperlunya, dan bersifat
kekeluargaan. Sementara ruang gereja ini memberinya kesan bahwa
STT – JOHANES CALVIN Page 77
LITURGIKA I 2012

beribadah bagai menghadap Kaisar Roma sebab gedung gereja menyerupai


istana. Pemahaman orang abad ke-6 bahwa bangunan gereja adalah "model
sorga di dunia, suatu tanda pendahuluan kehadiran Allah dengan
rombongan para kudus". Hal ini mirip dengan keadaan Bait Allah di
Yerusalem yang bagaikan sorga.

Kesan tersebut diperkuat dengan pakaian anggun para pelayan liturgy.


Pakaian imam menyerupai pakaian kerajaan, atau setidaknya
menunjukkan kelas eksekutif dalam masyarakat waktu itu. Memang
keadaan ini mempunyai latar belakang pada kekaisaran Konstantin.

Pakaian mereka bermacam-macam. Sedikitnya tersedia empat macam


busana untuk berbagai keperluan, yaitu perayaan sakramen, perayaan
liturgi biasa, perayaan keagamaan biasa, dan kesempatan non-liturgis.
Busana-busana tersebut belum termasuk pakaian di ruang luar dan ruang
dalam sehari-hari. Pakaian-pakaian itu pun masih dihiasi dengan berbagai
aksesoris. Simbol-simbol dogma dan pengajaran digambarkan dalam
aksesoris busana para imam sehingga tidak ada keseragaman aksesoris
antara satu imam dengan imam yang lain. Seeara umum pakaian imam
yang dilihatnya, yaitu tunica alba, 'yakni jubah putih berukuran panjang
hingga mata kaki yang disebut himation, dan satu lagi jubah hingga lutut
yang disebut khiton. Kedua busana tersebut terbuat dari kain lenan atau
bulu domba. Di pinggang pemakainya melingkar ikat pinggang. Jubah ini
terkadang dihiasi dengan garis tipis yang menjulur dari atas ke bawah,
yang disebut clavi. Garis tipis itu menjulur di bagian belakang dan bagian
depan jubah. Tunica adalah busana yang juga digunakan para anggota
senat. [ika
melihat jubah imam tersebut, ia mengingat Matius 5:40 yang menuliskan
bahwa kepada orang yang mengingini bajumu (khiton), serahkan juga
jubahmu (himation).

StoIa juga digunakan seperti mantel. Stola adalah kain panjang dengan
lebar 10 em. Stola dikenakan dengan menyentuh di atas satu atau dua
pundak, dan diletakkan di atas alba dan di bawah pakaian luar yang lain.
Manfaat penggunaan stola adalah lebih merupakan simbol status daripada
penghargaan terhadap upaeara tertentu. Stela ini berbeda dengan stole
(Mrk. 16:5; Why. 6:11; 7:9, 13-14), yakni jubah putih.
STT – JOHANES CALVIN Page 78
LITURGIKA I 2012

Imam juga membawa seearik kain yang sebenarnya fungsinya tidak


terlalu liturgis, yakni mappa atau mappula. Mappa hanya merupakan
simbol status di pesta-pesta gemilang kaum selebriti, Sapu tangan
sepanjang 1m dan selebar 6-10 cm ini hanya mengingatkan bahwa ada
hubungan istimewa antara uskup dan kaisar, atau antara gereja dan istana.

Di leher dan pundak uskup melingkar dari depan ke belakang paenula


atau cappa. Mungkin inilah satu-satunya ornamen jubah imam yang
universal. Paenula digunakan oleh semua tingkat sosial dalam masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan, sebagai tudung kepala.

Ada pula tunica dalmatica, yakni tunica yang dikenakan oleh uskup dan
diakon sebagai aksesoris pada waktu penahbisannya. Pada awal Abad-abad
Pertengahan (abad ke-6 hingga ke-8) muncul aksesori baru, yaitu amictus.
Amictus adalah penyelubung kepala dan bahu ketika imam berambut
gondrong, dan menjadi mode waktu itu.

Khusus uskup, ia mengenakan penutup kepala yang disebut cama-


Iucum. Jarinya memakai cincin emas. Kakinya mengenakan campagi.
Kebanyakan aksesoris uskup adalah pemberian kaisar yang disematkan
sebagai lencana.

Baginya, kemilau lencana dan gemerlap pakaian liturgis para imam


menimbulkan rasa kagum dan takjubnya. Apabila uskup berjalan dengan
disertai paduan suara, lilin, dan dupa, semua orang membungkukkan badan
sambil mencium tangan dan bahkan kaki Uskup. Walaupun ia tidak terlalu
mengerti maknanya, tetapi ia berkesan bahwa uskup mirip dengan kaisar,
apalagi jika ditambah dengan mahkota penutup kepala.

STT – JOHANES CALVIN Page 79

Anda mungkin juga menyukai