Oleh :
Fakultas Teknik
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan banyak kemudahan dan limpahan rezeki-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan tugas kelompok dalam membuat makalah dengan judul
“Gambaran Manusia Bajawa dan Kehidupan Budayanya”
Kami sadar betul dalam penggarapan makalah ini tak lepas dari bantuan banyak
pihak, termasuk Bapak Dr. Watu Yohanes Vianey M.Hum yang sudah
membimbing kelompok kami dari mulai penggarapan sampai rampungnya
makalah dan teman teman kelas yang juga telah membantu kami dalam
mengerjakan makalah ini.
Selain itu, makalah yang kami garap masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Kiranya, kami berharap adanya
saran dan kritik untuk makalah yang baru kami buat. Terakhir, kami berharap
semoga makalah bisa memberi manfaat yang banyak bagi pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................2
A. Untuk apa manusia hidup dan berbudaya..............................................................2
B. Bagaimana kehidupan budaya di Daerah Bajawa...................................................6
1. Pedoman hidup orang Bajawa............................................................................6
A. Contoh kehidupan Budaya di Daerah Bajawa.........................................................9
1. Adat istiadat Daerah Bajawa...............................................................................9
2. Tarian adat Daerah Bajwa.................................................................................11
3. Baju adat..........................................................................................................12
BAB III...............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seseorang yang mempunyai sifat gentleman atau lady adalah seorang yang
mempunyai sopan santun di dalam melaksanakan nilai-nilai pergaulan yang
dihormati di dalam masyarakat. Sudah tentu seorang gentleman atau lady juga
seorang yang memperoleh pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai
gentleman atau lady, yang dilaksanakan dalam pendidikan sekolahnya, yang
lebih menekankan kepada aspek-aspek sopan santun, tahu menempatkan diri,
menghormati wanita dan orang yang dituakan, berpengatahuan luas, mengakui
kelebihan orang lain dan diri sendiri, termasuk sikap sportif. Nilai-nilai praktis
inilah yang diyakini dan harus dipraktekkan oleh seseorang yang gentleman
atau lady.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia adalah makhluk yang begitu sempurna. Kita telah mengetahui itu.
Terciptadengan begitu tertata tanpa cacat. Manusia dianugerahkan sebuah
kemampuan di dalamdirinya yang tak dimiliki oleh makhluk selainnya. Tak
banyak yang menyadari, walaumenyadari pun tak banyak yang bisa
mengembangkan kemampuannya tersebut. Makhluk yang bernafas disetiap
aktifitasnya, memiliki akal yang membuatnya begitu sempurna.Dengannya,
segala sesuatu dapat di mengerti dan atau di pahami. Baik buruknya,
bergunatidaknya bagi kemaslahatan bersama atau malah berguna hanya untuk
dirinya sendiri.
2
Ada beberap pengertian menurut budaya para ahli yaitu :
3
bathinniah serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong
yang
3
berkembang,sehingga sanggup dan mampu untuk melanjutkan perjuangan bangsa
dalam mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan landasan ekonomi yang
seimbang.
Kebudayaan Indonesia yang terdiri dari macam macam suku bangsa yang
berbeda tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri yang sama secara universal
yaitu tanpa membedakan antara faktor rasa,lingkungan alam atau pendidikan.
Sifat umum yang berlaku bagi semua budaya adalah :
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari prilaku manusia Tindakan yang terima
dan ditolak ,tindakan tindakan yang dilarang dan tindakan yang di ijinkan
2. Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lajhirnya suatu generasi tertentu
dan tidak akan mati dengan habisnya usia genenari yang bersangkutan
3. Budaya di perlukan oleh manusia dan diwujudkannya dalam tingkah lakunya.
4. Budaya mencakup aturan aturan yang berisikan kewajiban kewajiban
tindakan
4
B. Bagaimana kehidupan budaya di Daerah Bajawa
Dalam Bahasa Bajawa, Pata berarti pepatah sementara Déla artinya tetua,
orang tua, leluhur. Sehingga Pata Déla dapat diartikan sebagai bukan saja
“wejangan orang tua” tetapi juga “pepatah leluhur”. Ia pun masuk dalam
kategori syair atau puisi adat yang diwariskan dan diucapkan dalam
keseharian hidup Orang Bajawa.
Pata Déla juga bisa dituturkan oleh orang lain dalam situasi yang lain.
Misalnya oleh guru kepada murid di ruang kelas, oleh orang tua kepada anak
yang akan melanjutkan studi, atau oleh sesama kepada sesama.
Ada Pata Déla yang dapat dengan mudah ditangkap maknanya dan ada
pula yang butuh penjelasan lebih mendalam sebelum sampai pada pesannya.
Pertama; sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo. Arti harfiahnya,
satu potong kita nikmati enaknya, satu genggam kita cicipi sedapnya. Satu (sé)
potong (boge) dan satu (sé) genggam (képo) merujuk tepat pada makanan dan
bahasa tubuh. Riu roe (nikmati bersama enaknya) dan nari nédo (cicipi
bersama sedapnya) menegaskan betapa apa yang kita miliki, hendaknya tidak
hanya membahagiakan diri kita sendiri. Berbagi adalah kata kunci yang
meringkas Pata Déla ini.
5
Kedua; su’u papa suru, sa’a papa laka. Arti harfiahnya, saling membantu
dalam memikul, saling bergantian dalam memanggul.
5
Pikul (su’u) dan panggul (sa’a) merupakan kata kerja yang terjelma dalam
aksi. Papa suru dan papa laka yakni saling membantu dan saling bergantian,
dimaksudkan sebagai penegas bagi su’u dan sa’a.
Pata Déla ini korelatif dengan apa yang familiar kita gunakan, berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing. Pata Déla ini hendak menegaskan bahwa
dalam hidup ini, kita mesti peka, mesti murah hati membantu, mesti sadar diri
pula untuk berbagi beban.
Empat kenyataan ini Jaspers sebut sebagai Situasi Batas. Kita dapat
menduga, persis pada Situasi Batas inilah, Ébu Nusi Orang Bajawa didorong
untuk melahirkan sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa
suru, sa’a papa laka.
Dua Pata Déla ini, yang lahir, diucapkan, dan diwariskan terus dalam
Situasi Batas manusia, menyadarkan Orang Bajawa sebagai pemilik dan
pengguna untuk kembali pada diri sendiri yang pada dasarnya adalah
“kosong”.
6
Secara sosiologis, sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u
papa suru, sa’a papa laka menyuarakan setegas-tegasnya hakikat manusia
sebagai makhluk sosial. Orang lain adalah socius (teman) yang dengan dan
kepadanya kita mesti berbagi, saling membantu, saling meringankan beban.
Situasi Batas membuat kita sadar bahwa kita tidak bisa hidup seorang diri
saja. Ata go’o (Orang Lain) adalah subjek-subjek di luar diri kita yang karena
keberadaan mereka maka kita menjadi kita diri yang sesungguhnya.
Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa
laka dapat pula dimaknai sebagai perlawanan. Terhadap apa? Terhadap
egoisme dan individualisme yang makin hari makin menjadi ciri khas
masyarakat post-modern, ciri khas Orang Bajawa juga.
Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa
laka adalah nama lain dari altruisme. Kita menjadi diri kita bukan saja karena
adanya orang lain, tetapi lebih karena apa yang kita lakukan bersama dan
kepada orang lain.
Lebih dari sekadar ada, diwariskan, dan diucapkan, Pata Déla merupakan
pedoman, kaidah, penuntun, dan pengontrol bagi derap langkah hidup Orang
Bajawa.
7
A. Contoh kehidupan Budaya di Daerah Bajawa
Setiap perempuan yang hamil (ne’e weki) harus ada suami atau ada laki-
laki yang menghamili. Dalam bahasa adat dilukiskan dengan ungkapan ’Wae
benu toke, uta benu bere, ne’e go mori’ (air penuh bambu sayur penuh
8
keranjang pasti ada yang memasukkan) atau ’Sa a, keka ea, nee go mori
(burung gagak bersuara, burung kakatua berkicau, pasti ada penyebabnya).
Geka Naja: upacara yang dilakukan sesaat setelah anak lahir yang
ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse) dan pemberi
nama (tame ngaza). Untuk pemberian nama, biasanya semua daftar
nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut sampai sang bayi
bersin. Ketika sesudah sebuah nama disebut dan disusul dengan
bersinan bayi, maka nama tersebut akan menjadi namanya karena
bersin bagi orang Bajawa berarti tanda kesepakatan dari bayi.
Pemberian nama melalui cara ini penting dilakukan. Jika tidak,
maka anak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal dan
sehat. Di sini, kecocokan antara nama dan orang amat menentukan
masa depannya.
Tere Azi: masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai kembaran
si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik. Ari-ari tidak
dikuburkan tetapi diletakkan pada suatu tempat yang tinggi ( di
atas pohon). Awalnya diletakkan di dasar rumah pokok.
Lawi Azi, Lawi Ana atau Ta’u: Upacara bertujuan untuk
mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan
mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan
babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak
dicukur disebut Koi Ulu.
9
warisan leluhur secara turun-temurun karena Kelahiran anak, entah laki-laki
atau perempuan, bagi adat Bajawa adalah berkah dari leluhur.
Selain dari adat istiadat tadi, Bajawa juga memiliki keindahan etnik tari.
Salah satu bentuk kesenian yang berasal dari Kabupaten Ngada yaitu tari
Ja’i.Kata Ja’i dalam bahasa daerah etnis Ngada berarti tarian.
Tarian ini pada awalnya menjadi tarian milik etnis Ngada, hanya untuk
tarian pembuka atau pelengkap dari ritual mendirikan rumah adat untuk
merayakan sukacita dari kemuliaan jiwa dan kemerdekaan roh dan bentuk
permohonan serta perlindungan kepada yang Maha Kuasa sebagai ungkapan
syukur, menolak bala, dan sebagai pewarisan nilai- nilai ritual lalu kemudian
mengalami sedikit perkembangan.
Tari Ja’I ditampilkan di halaman tengah pelataran kampung ( Kisa Nata )
yang dijadikan tempat pemujaan sakral. Di tempat ini juga merupakan ruang
bagi para pemusik gong gendang (go-Laba) memainkan alat musik untuk
mengiringi tari Ja’i untuk segala hal yang berkaitan dengan daur hidup seperti
upacara kelahiran, pernikahan hingga kematian.
Keberadaan tari Ja’i saat ini, tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah
awal yang melatarbelakangi terciptanya gerak tari Ja’i tersebut. Adapun
sejarah awal mula tari Ja’i ini, hanya diuraikan dari cerita yang berkembang di
kalangan seniman tari Ja’i dan tokoh masyarakat yang mendengar cerita dari
tetua pada jaman dahulu.
10
Yang mereka ketahui, tari Ja’i merupakan hasil karya cipta nenek moyang
dan leluhur masyarakat Ngada meskipun secara pasti tidak dapat diketahui
siapa nama penciptanya karena tarian ini sudah ada sejak ratusan tahun yang
lalu diwariskan secara turun-temurun sebagai warisan leluhur beberapa
generasi sebelumnya, meskipun tidak ada sumber tertulis yang menyebutkan
kapan tarian ini diciptakan , dan siapa penciptanya. Namun secara lisan telah
dijelaskan secara turun-temurun kepada tokoh-tokoh masyarakat, seniman dan
para budayawan. Konon, tarian massal ini asal-usulnya dari India yang pada
abad pertengahan dibawa para eksodus India ke Flores, NTT.
Tak heran kalau ada yang menyebutkan bahwa tari Ja’i khas Ngada-
Bajawa ini mirip dan sebangun dengan satu jenis tarian populer di India
bernama Ja’i Ho. Perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri telah
mempengaruhi konstruksi kebudayaan. Hal inipun terjadi pada tari Ja’i.
Sebelumnya tariJa’i yang hanya diiringi oleh gong dan gendang namun kini
telah dimodifikasi dengan menggunakan alat musik modern. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya lagu-lagu yang berirama Ja’i di kabupaten Ngada.
3. Baju adat
11
Walaupun Ngada berada dalam satu provinsi yang sama dengan Sumba,
Flores, dan Alor, masing-masing daerah itu memiliki keunikannya masing-
masing. Keberagaman budaya yang dimiliki di NTT mulai dari ritual budaya,
bahasa daerah, hingga pakaian adat.
Bajawa, Ngada, memiliki pakaian adat bernama sapu-lu'e yang memiliki nilai
filosofis mendalam bagi masyarakatnya. Pakaian adat Bajawa memiliki nilai
tersendiri di setiap pakaian entah itu laki-laki maupun perempuan.
a. Sapu
Sapu adalah kain adat yang dikenakan pada seorang pria. Kain adat
ini memiliki motif kuda yang berwarna putih dan digunakan sebagai
pengganti celana. Cara pakainya adalah dengan melilitkan pada pinggang
kemudian diikat dengan keru.
b. Lu’e
Lu’e adalah kain yang bermotif sama dengan Sapu. Akan tetapi
lu’e memiliki ukuran yang lebih panjang. Penggunaan lu’e biasanya
dililitkan pada bagian pundak sampai dada, dengan bentuk menyilang pada
bagian belakang tubuh.
c. Keru
d. Boku
12
Boku adalah kain merah dengan ukuran panjang yang dililitkan
pada bagian kepala, Biasanya ketika dililit, boku akan dibentuk sedikit
kerucut pada bagian depannya.
e. Marangia
f. Lega
Lega adalah tas adat yang digunakan ketika ja’i. Lega biasanya
terbuat dati tali plastik yang dianyam. Bagian sisi depan lega akan
ditambah ornamen bulu kuda.
g. Thegho
h. Sau
13
Kain yang digunakan sebagai pengganti baju ini merupakan kain
panjang dan berwarna hitam yang dihiasi motif kuda. Dengan
perkembangan zaman dan tren fashion masyarakat yang mulai berubah,
biasanya para penenun lawo akan menambahkan benang yang berwarna
warni. Pada bagian atas lawo akan diikat dengan benang wol yang
berfungsi untuk mengikat kedua sisi lawo, sehingga dapat membentuk
baju.
j. Keru
Sama halnya dengan keru pada laki-laki. Keru yang digunakan oleh
perempuan mempunyai fungsi mengeratkan lawo dan kasa sese.
k. Kasa Sese
l. Marangia
m. Butu
14
Biasanya butu akan lebih panjang. Penggunaan butu disilangkan selaras
dengan tali lega. Selain itu, butu juga akan dipakaikan pada konde.
n. Rabhe Kobho
Rabhe kobho adalah sebutan bagi konde khas Ngada. Rabhe atau
dasar konde dibuat dari salah satu tumbuhan yang berbentuk seperti buah
besi. Masyarakat Ngada menyebutnya sebagai buah Tawu. Untuk
mempercantik konde, biasanya akan ditambahkan kobho atau manik-
manik yang disusun memanjang dan ditempelkan pada kulit kambing.
Kobho kemudian dililitkan pada konde.
o. Metho
15
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2624
https://hypeabis.id/read/27074/mengenal-pakaian-adat-ngada-yang-
pernah-dipakai-presiden-jokowi
https://nationalgeographic.grid.id/read/132499698/pata-dela-
pedoman-dalam-hidup-bersama-dari-para-leluhur-di-bajawa?page=all
17