DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
SYARIPAH, M.Pd
FAKULTAS TARBIYAH
2022
i
KATA PENGANTAR
Klara Sonia
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………...
C. Tujuan……………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN…………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk
mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Dalam pembelajaran objek ini bisa
berupa kecakapan peserta didik, minat, motivasi dan sebagainya. Bentuk tes yang
digunakan di lembaga pendidikan dilihat dari segi sistem penskorannya dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu tes objektif dan tes sukjektif.
Tes objektif dalam hal ini adalah bentuk tes yang mengandung kemungkinan
jawaban atau respon yang harus dipilih oleh peserta tes. Jadi kemungkinan jawaban atau
respon telah disediakan oleh penyusun butir soal. Peserta hanya memilih alternatif
jawaban yang telah disediakan Dengan demikian pemeriksaan atau penskoran jawaban
atau respon peserta tes sepenuhnya dapat dilakukan secara objektif oleh pemeriksa.
Karena sifatnya yang objektif, maka tidak perlu harus dilakukan oleh manusia, tetapi
dapat dilakukan sengan mesin, misalnya mesin scanner. Dengan demikian skor hasil tes
dapat dilakukan secara objektif.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tes Hasil Belajar Tes dan Non Tes?
2. Bagaimana Bentuk-bentuk Tes hasil Belajar dan Teknik Penyusunannya?
3. Bagaimana Teknik Pelaksanaan Tes Hasil Belajar?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tes hasil belajar
2. Untuk mengetahui Bentuk-bentuk Tes hasil Belajar dan Teknik Penyusunannya
3. Untuk mengetahui Teknik Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2006), hlm. 65
2
v
penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian
tugas (baik berupa pertanyaan-pertanyaan (yang harus dijawab), atau perintah-
perintah (yang harus dikerjakan) oleh testée, se hingga (atas dasar data yang diperoleh
dari hasil pengukur an tersebut) dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah
laku atau prestasi testee; nilai mana dapat diban dingkan dengan nilai-nilai yang
dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu.
2. Fungsi Tes
Secara umum, ada dua macam fungsi yang dimiliki oleh tes, yaitu:
a. Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hubungan ini tes berfungsi
mengukur tingkat perkem bangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh peserta
didik setelah mereka menempuh proses belajar meng ajar dalam jangka waktu
tertentu.
b. Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajar an, sebab melalui tes
tersebut akan dapat diketahui sudah seberapa jauh program pengajaran yang
ditentukan, telah dapat dicapai.
vi
yang sebe narnya maupun dalam situasi buatan. Observasi dapat mengukur atau
menilai hasil dan proses belajar; misalnya tingkah laku peserta didik pada waktu guru
pendidikan agama menyampaikan pelajaran di kelas, tingkah laku peserta didik pada
jam-jam istirahat atau pada saat terjadi nya kekosongan pelajaran, perilaku peserta
didik pada saa shalat jama'ah di musholla sekolah, ceramah-ceramah ke agamaan,
upacara bendera, ibadah shalat tarawih dan sebagainya.
Observasi dapat dilakukan baik secara partisipatif (participant observation)
maupun nonpartisipatif (nonpartisi pant observation). Observasi dapat pula berbentuk
observasi eksperimental (experimental observation) yaitu observasi yang dilakukan
dalam situasi buatan atau berbentuk observasi yang dilakukan dalam situasi yang
wajar (nonexperimental observation). Pada observasi berpartisipasi, observer (dalam
hal ini pendidik yang sedang melakukan kegiatan penilaian, seperti: guru, dosen dan
sebagainya) melibatkan diri di tengah-tengah kegiatan observee (dalam hal ini peserta
didik yang sedang diamati tingkah lakunya, seperti murid, siswa, mahasiswa dan
sebagainya) sedangkan pada observasi nonpartisipasi, evaluator berada "di luar garis",
seolah-olah sebagai penonton belaka.
Pada observasi eksperimental di mana tingkah laku yang diharapkan muncul
karena peserta didik dikenai perlakuan (treatment) atau suatu kondisi tertentu, maka
observasi memerlukan perencanaan dan persiapan yang benar-benar matang;
sedangkan pada observasi yang dilak sanakan dalam situasi yang wajar,
pelaksanaannya jauh lebih sederhana karena observasi semacam ini dapat dila kukan
secara sepintas lalu saja. Jika observasi digunakan sebagai alat evaluasi, maka harus
selalu diingat bahwa pencatatan hasil observasi itu pada umumnya jauh lebih sukar
daripada mencatat jawab an-jawaban yang diberikan oleh peserta didik terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dalam suatu tes, ulangan atau ujian; sebab
respon yang diperoleh dalam observasi adalah berupa tingkah laku.
Secara matang, dikenal dengan isti lah observasi sistematis (systematic
observation). Pada observasi jenis ini, observasi dilaksanakan dengan berlandas kan
pada kerangka kerja yang memuat faktor-faktor yang telah diatur kategorisasinya. Isi
dan luas materi observasi nya pun telah ditetapkan dan dibatasi secara tegas, sehingga
pengamatan dan sekaligus pencatatan yang dilakukan oleh evaluator dalam rangka
evaluasi hasil belajar peserta didik itu sifatnya selektif. Berikut ini dikemukakan dua
buah contoh instrumen evaluasi berupa daftar isian dalam rangka menilai
keterampilan peserta didik, dalam suatu observasi sistematis.
vii
Contoh 1 :
Contoh 2 : Instrumen Observasi berupa Rating Scale, da lam rangka menilai sikap
peserta didik dalam mengikuti pengajaran pendidikan agama Islam di Sekolah.
………..dan seterusnya………….
Jumlah Skor 4 0 0 0
viii
Catatan : Untuk item 1 sampai dengan 6 dan item 9 dan 10 diberi skor sebagai berikut
Selalu 4 Sering-3; Kadang-kadang = 2; Tidak pernah-1 Sedangkan untuk item 7 dan 8
diberi skor sebagai berikut: Selalu= Sering-2; Kadang-kadang = 3; Tidak pernah = 4.
Jadi apabila hasil penilaian lewat observasi seperti dikemukakan di atas kita beri skor,
keadaannya adalah sebagai berikut: (6 x 4)+4+ +4+3-38.
Penilaian atau evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan dengan melakukan
observasi itu disamping memiliki keba ikan, juga tidak terlepas dari kekurangan-
kekurangan. Di antara segi kebaikan yang dimiliki oleh observasi itu ialah :
a. Data observasi itu diperoleh secara langsung di lapang an, yakni dengan jalan
melihat dan mengamati kegiatan atau ekspresi peserta didik di dalam melakukan
sesua tu, sehingga dengan demikian data tersebut dapat lebih bersifat obyektif
dalam melukiskan aspek-aspek kepri badian peserta didik menurut keadaan yang
senyata nya.
b. Data hasil observasi dapat mencakup berbagai aspek kepribadian masing-masing
individu peserta didik; dengan demikian maka di dalam pengolahannya tidak berat
sebelah atau hanya menekankan pada salah satu segi saja dari kecakapan atau
prestasi belajar mereka.
a. Observasi sebagai salah satu alat evaluasi hasil belajar tidak selalu dapat
dilakukan dengan baik dan benar oleh para pengajar. Guru yang tidak atau kurang
me miliki kecakapan atau keterampilan dalam melakukan observasi, maka hasil
observasinya menjadi kurang dapat diyakini kebenarannya. Untuk menghasilkan
data observasi yang baik, seorang guru harus mampu mem bedakan antara; apa
yang tersurat, dengan apa yang tersirat.
b. Kepribadian (personality) dari observer atau evaluator juga acapkali mewarnai
atau menyelinap masuk ke dalam penilaian yang dilakukan dengan cara observasi.
Prasangka-prasangka yang mungkin melekat pada diri observer (evaluator) dapat
mengakibatkan sulit dipisahkannya secara tegas mengenai tingkah laku peserta
didik yang diamatinya.
c. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi umumnya baru dapat mengungkap
"kulit luar"nya saja. Adapun apa-apa yang sesungguhnya terjadi di balik hasil
peng amatan itu belum dapat diungkap secara tuntas hanya dengan melakukan
ix
observasi saja. Karena itu observasi harus didukung dengan cara-cara lainnya,
misalnya dengan melakukan wawancara.
2. Wawancara (Interview)
Secara umum yang dimaksud dengan wawancara adalah: cara menghimpun
bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan
secara sepihak, berhadapan muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.
Ada dua jenis wawancara yang dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
a. Wawancara terpimpin (guided interview) yang juga se ring dikenal dengan istilah
wawancara berstruktur (structured interview) atau wawancara sistematis (syste
matic interview).
b. Wawancara tidak terpimpin (un-guided interview) yang sering dikenal dengan
istilah wawancara sederhana (simple interview) atau wawancara tidak sistematis
(non systematic interview), atau wawancara bebas.
Wawancara juga dapat dilengkapi dengan alat bantu berupa tape recorder (alat
perekam suara), sehingga jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat
dicatat dengan secara lebih lengkap) Penggunaan pedoman wa wancara dan alat bantu
perekam suara itu akan sangat membantu kepada pewawancara dalam
mengategorikan dan menganalisis jawaban-jawaban yang diberikan oleh peserta didik
atau orang tua peserta didik untuk pada akhirnya dapat ditarik kesimpulannya. Dalam
wawancara bebas, pewawancara selaku evaluator mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada peserta didik atau orang tuanya tanpa dikendalikan oleh pedoman tertentu.
Mereka dengan bebas mengemukakan jawaban nya. Hanya saja pada saat
menganalisis dan menarik kesimpulan hasil wawancara bebas ini pewawancara atau
x
evaluator akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan, terutama apabila jawaban mereka
beraneka ragam. Dalam pada itu, mengingat bahwa daya ingat manusia itu dibatasi
oleh ruang dan waktu, maka sebaiknya hasil-hasil wawancara itu dicatat seketika.
Mencatat hasil wawancara terpimpin tidaklah terlalu sulit, sebab pewawancara sudah
dilengkapi dengan alat bantu berupa pedoman wawancara; sebaliknya mencatat hasil
wawancara bebas adalah jauh lebih sulit, dan oleh karenanya pewawancara harus
terampil dalam mencatat pokok-pokok jawaban yang diberikan oleh para inter view.
3. Angket (Questionnaire)
Angket (questionnaire) juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka
penilaian hasil belajar. Berbeda dengan wawancara di mana penilai (evaluator)
berhadapan secara langsung (face to face) dengan peserta didik atau dengan pihak
lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai bahan
penilaian hasil belajar jauh lebih praktis, menghemat waktu dan tenaga. Hanya saja,
jawaban-jawaban yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya; apalagi jika pertanya an-pertanyaan yang diajukan dalam angket itu
kurang tajam, sehingga memungkinkan bagi responden untuk mem berikan jawaban
yang diperkirakan akan melegakan atau memberikan kepuasan kepada pihak penilai.
Angket dapat diberikan langsung kepada peserta di dik, dapat pula diberikan kepada
para orang tua mereka. Pada umumnya tujuan penggunaan angket atau kuesioner
dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk mem peroleh data mengenai latar
belakang peserta didik sebagai salah satu bahan dalam menganalisis tingkah laku dan
proses belajar mereka.
Berikut ini dikemukakan contoh kuesioner bentuk pi lihan ganda dan contoh
kuesioner bentuk skala likert, da lam rangka mengungkap hasil belajar pendidikan
agama Islam ranah afektif.
Contoh 1: Kuesioner Bentuk Pilihan Ganda untuk Mengungkap Hasil Belajar Ranah
Afektif (Kurikulum dan GBPP Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 1994)
1. Terhadap teman-teman sekelas saya yang rajin dan khusyu' dalam menjalankan
ibadah shalat, saya:
a. merasa tidak harus meniru mereka.
b. merasa belum pernah memikirkan untuk shalat dengan rajin dan khusyu'.
c. merasa ingin seperti mereka, tetapi terasa masih sulit.
d. sedang berusaha agar saya rajin dan khusyu'.
xi
e. merasa iri hati dan ingin seperti mereka.
2. Dalam melaksanakan ibadah shalat sekarang ini, saya merasa:
a. masih sulit untuk memusatkan diri.
b. dapat berkonsentrasi tetapi mudah sekali pudar.
c. tidak begitu sulit untuk berkonsentrasi.
d. mudah untuk melakukan pemusatan perhatian.
e. senang karena dapat berdialog dengan Allah.
Contoh 2: Kuesioner Bentuk Skala Likert dalam Rangka Mengungkap Hasil Belajar
Pendidikan Agama Islam Ranah Afektif
1. Membayar infaq atau shadaqah itu memang baik untuk diker jakan, tetapi
sebenarnya bagi orang yang telah membayar zakatnya tidak perlu lagi untuk
membayar infaq atau shadaqah. Terhadap pernyataan tersebut, saya:
a. sangat setuju.
b. setuju.
c. ragu-ragu.
d. tidak setuju.
e. sangat tidak setuju.
2. Membayar infaq atau shadaqah tanpa sepengetahuan orang lain itu tak ada
gunanya, sebab orang lain itu diperlukan sekali sebagai saksi untuk membuktikan
bahwa pembayar infaq dan shadaqah itu bukan termasuk orang yang bakhil.
Terhadap pernyataan tersebut, saya:
a. sangat setuju.
b. setuju.
c. ragu-ragu.
d. tidak setuju.
e. sangat tidak setuju.
xii
kandung/anak angkat/anak tiri, anak yatim/yatim piatu, anak ke berapa dari berapa
orang anak kandung/anak sulung/anak bungsu; sejak kapan diterima sebagai siswa,
dari mana sekolah asalnya, apakah ia pernah tinggal kelas, apakah ia pernah meraih
kejuaraan sebagai siswa yang berprestasi di sekolahnya, apakah ia memiliki
keterampilan khas dan pernah meraih atau mendapatkan penghargaan karena
keterampilan yang dimilikinya itu; apakah yang bersangkutan pernah mende rita
penyakit yang serius, jenis penyakit serius yang pernah dideritanya, berapa lama
dirawat di rumah sakit, dan sebagainya. Selain itu juga dokumen yang memuat infor
masi tentang orang tua peserta didik, seperti: nama, tempat tinggal, tempat dan
tanggal lahir, agama yang dianut, pe kerjaan pokoknya, tingkat atau jenjang
pendidikannya, rata rata penghasilannya setiap bulan, dan sebagainya. Juga dokumen
yang memuat tentang lingkungan nonsosial se perti: kondisi bangunan rumah, ruang
belajar, lampu penerangan, sumber pemenuhan kebutuhan air sehari-hari dan
sebagainya.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah dipahami, bahwa dalam rangka evaluasi
hasil belajar peserta didik, evaluasi itu tidak harus semata-mata dilakukan dengan
mengguna kan alat berupa tes-tes hasil belajar. Teknik-teknik nontes juga menempati
kedudukan yang penting dalam rangka evaluasi hasil belajar, lebih-lebih evaluasi
yang berhubung an dengan kondisi kejiwaan peserta didik, seperti persepsi nya
terhadap mata pelajaran tertentu, persepsinya terhadap guru, minatnya, bakatnya,
tingkah laku atau sikapnya, dan sebagainya, yang kesemuanya itu tidak mungkin
dievalua si dengan menggunakan tes sebagai alat pengukurnya.
xiii
Tes uraian (essay test), yang juga sering dikenal dengan istilah tes subyektif
(subjective test), adalah salah satu jeni tes hasil belajar yang memiliki
karakteristik sebagaiman dikemukakan berikut ini.
1. tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perin tah yang menghendaki jawaban
berupa uraian atau pa paran kalimat yang pada umumnya cukup panjang.
2. Kedua, bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itmenuntut kepada testee
untuk memberikan penjelasan komentar, penafsiran, membandingkan,
membedakan dan sebagainya.
3. Ketiga, jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yait berkisar antara lima
sampai dengan sepuluh butir.
4. pada umumnya butir-butir soal tes uraian it diawali dengan kata-kata:
"Jelaskan......", "Terangkan...... "Uraikan ......", "Mengapa ......",
"Bagaimana ......" atau kata-kata lain yang serupa dengan itu.
Adapun pada tes uraian bentuk terbatas, jawaban yang dikehendaki muncul dari
testee adalah jawaban yang sifat nya sudah lebih terarah (dibatasi).
Contoh:
xiv
1. Di antara obyek pembahasan dalam ilmu kalam adalah mengenai perbuatan
manusia dan kekuasaan Tuhan. Dalam masalah ini, keempat aliran besar
dalam ilmu kalam yaitu Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah Bukhara, dan
Maturidiyah Samarkand, mempunyai pendapat yang tidak sama. Jelaskan
pendapat keempat aliran tersebut!
2. Di masa Khulafaur Rasyidin, tercatat tiga peristiwa peperangan antara kaum
muslim menghadapi Roma wi. Sebutkan dan jelaskan secara singkat ketiga
peristi wa dimaksud!
Seperti dapat diamati pada contoh di atas, maka setiap butir soal tes uraian
tertuang dalam bentuk susunan kalimat yang cukup pendek, namun jawab atas
butir-butir soal tersebut akan berupa uraian kalimat yang panjang lebar.
xv
3. Melalui butir-butir soal tes uraian, penyusun soal akan dapat mengetahui
seberapa jauh tingkat kedalaman dan tingkat penguasaan testee dalam
memahami mate ri yang ditanyakan dalam tes tersebut.
4. Dengan menggunakan tes uraian, testee akan terdo rong dan terbiasa untuk
berani mengemukakan penda pat dengan menggunakan susunan kalimat dan
gaya bahasa yang merupakan hasil olahannya sendiri.
1. Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan
mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan
kepada tes tee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar.
2. Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit. Hal ini disebabkan
karena sekalipun butir soalnya sangat terbatas, namun jawabannya bisa
panjang lebar dan sangat bervariasi, sehingga pekerjaan koreksi akan banyak
menyita waktu, tenaga dan pikiran.
3. Dalam pemberian skor hasil tes uraian, terdapat kecenderungan bahwa tester
lebih banyak bersifat subyektif. Beberapa faktor yang dapat mendorong tester
untuk bertindak kurang obyektif ini misalnya adalah: walau pun testee dapat
menjawab dengan betul terhadap butir butir soal yang diajukan dalam tes,
namun karena tulisannya jelek, tidak teratur, jorok dan sebagainya, maka skor
atau nilai yang diberikan kepada testee menjadi lebih rendah daripada yang
semestinya. Sebaliknya, testee yang sebenarnya tidak lebih baik kualitas jawab
annya daripada testee yang telah disebutkan di atas akan tetapi karena
tulisannya baik, jawaban disusun secara teratur, urut dan rapi, justru mendapat
skor atau nilai yang lebih tinggi dari yang semestinya.
4. Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes uraian sulit untuk
diserahkan kepada orang lain, sebab pada tes uraian orang yang paling tahu
mengenai jawaban yang sempurna adalah penyusun tes itu sendiri.
5. Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajeg
6. an mengukur (reliabilitas) yang dimiliki oleh tes uraian pada umumnya rendah
sehingga kurang dapat dian dalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang
baik.
xvi
e. Petunjuk Operasional dalam Penyusunan Tes Uraian
Bertitik tolak dari keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh tes hasil belajar bentuk uraian seperti telah dikemukakan di atas,
maka beberapa petunjuk operasional berikut ini akan dapat dijadikan pedoman
dalam menyusun butir-butir soal tes uraian.
Pertama, dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sejauh mungkin harus
dapat diusahakan agar butir-butir soal tersebut dapat mencakup ide-ide pokok dari
materi pelajaran yang telah diajarkan, atau telah diperintahkan kepada testee untuk
mempelajarinya.
Kedua, untuk menghindari timbulnya perbuatan cu rang oleh testee
(misalnya: menyontek atau bertanya kepa da testee lainnya), hendaknya
diusahakan agar susunan kalimat soal dibuat berlainan dengan susunan kalimat
yang terdapat dalam buku pelajaran atau bahan lain ta untuk mempelajarinya.
Ketiga, sesaat setelah butir-butir soal tes uraian dibuat, hendaknya segera
disusun dan dirumuskan secara tegas, bagaimana atau seperti apakah seharusnya
jawaban yang dikehendaki oleh tester sebagai jawaban yang betul.
Keempat, dalam menyusun butir-butir soal tes uraian hendaknya diusahakan
agar pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintahnya jangan dibuat seragam,
melainkan dibuat secara bervariasi.
Contoh yang jelek:
1. Jelaskan, perbedaan antara...... dengan
2. Jelaskan, hubungan antara .......dengan
3. Jelaskan, mengapa............?
Contoh yang baik:
1. Jelaskan perbedaan antara... Dengan .....
2. Buatlah sebuah uraian sehingga dapat tergambar de ngan jelas, hubungan
antara…..dengan…..
3. Kemukakan alasannya, mengapa ......
Dengan contoh yang disebutkan terakhir itu, maka akan dapat dicegah timbulnya
rasa "jenuh" di kalangan testee dalam mengerjakan soal tes yang dihadapkan
kepada mereka.
xvii
Kelima, kalimat soal hendaknya disusun secara ringkas padat dan jelas,
sehingga cepat dipahami oleh testee dan tidak menimbulkan keraguan atau
kebingungan bagi testee dalam memberikan jawabannya.
Keenam, suatu hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh tester ialah, agar
dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sebelum sampai pada butir-butir soal
yang harus dijawab atau dikerjakan oleh testee, hendaknya dikemu kakan
pedoman tentang cara mengerjakan atau menjawab butir-butir soal tersebut.
Misalnya: "Jawaban soal harus dituliskan di atas lembar berdasarkan nomor urut
soal atau petunjuk lainnya yang dipandang perlu.
54
Sukarsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara,1984), hlm.106
xviii
bentuk true-false adalah salah satu bentuk tes obyektif di mana butir-butir soal
yang diajukan dalam tes hasil belajar itu berupa pernyataan (statement), pernyata
an mana ada yang benar dan ada yang salah. Di sini, tugas testee adalah
membubuhkan tanda (simbol) tertentu atau mencoret huruf B jika menurut
keyakinan mereka pernya taan itu benar, atau membubuhkan tanda (simbol)
tertentu atau mencoret huruf S jika menurut keyakinan mereka pernyataan tersebut
adalah salah.
Jadi dalam tes obyektif bentuk matching ini, disediakan dua kelompok bahan
dan testee harus mencari pasangan pasangan yang sesuai antara yang terdapat
pada kelompok pertama dengan yang terdapat pada kelompok kedua, se suai
dengan petunjuk yang diberikan dalam tes tersebut.
xix
c. Titik-titik itu harus diisi atau dilengkapi atau disempur nakan oleh testee,
dengan jawaban-(yang oleh tester) telah dihilangkan.
Jadi sebenarnya tes obyektif bentuk completion ini mirip sekali dengan tes
obyektif bentuk fill in. Letak perbedaan nya ialah, bahwa pada tes obyektif bentuk
fill in bahan yang diteskan itu merupakan satu kesatuan cerita, sedangkan pada tes
obyektif bentuk completion tidak harus demikian. Dengan kata lain, pada tes
obyektif bentuk completion ini, butir-butir soal tes dapat saja dibuat berlainan
antara yang satu dengan yang lain.
xx
6. Penyusun tes berkeyakinan bahwa dengan mengeluar kan butir-butir soal
tes obyektif, maka prinsip obyekt vitas akan lebih mungkin untuk
diwujudkan ketim bang menggunakan butir-butir soal tes subyektif.
xxi
1. Menyusun butir-butir soal tes obyektif adalah tidak semudah seperti
halnya menyusun tes uraian. Bukan hanya karena jumlah butir-butir
soalnya cukup banyak, menyiapkan kemungkinan jawab yang harus
dipasang kan pada setiap butir item pada tes obyektif itu juga bukan
merupakan pekerjaan yang ringan.
2. Tes obyektif pada umumnya kurang dapat mengukur atau mengungkap
proses berpikir yang tinggi atau mendalam. Ia lebih banyak mengungkap
daya ingat atau hafalan ketimbang mengungkap tingkat kedalam an
berpikir testee terhadap materi yang diujikan.
3. dengan tes obyektif, terbuka kemungkinan bagi testee untuk bermain
spekulasi, tebak terka, adu untung da lam memberikan jawaban soal.
4. Cara memberikan jawaban soal pada tes obyektif, di mana dipergunakan
simbol-simbol huruf yang sifatnya,seragam, seperti: A, B, C, D dan E atau
B-S dan sebagainya, maka hal seperti ini dapat membuka peluang bagi
testee untuk melakukan kerja sama yang tidak sehat dengan sesama testee
lainnya.
xxii
d. agar tes obyektif disamping mengungkap aspek ingatan atau hafalan juga
dapat mengungkap aspek-aspek berpikir yang lebih dalam, maka dalam
merancang dan menyusun butir-butir item tes obyektif hendaknya tester
menggunakan alat bantu berupa Tabel Spesifikasi Soal yang sering dikenal
dengan istilah kisi-kisi soal atau blue print.
e. dalam menyusun kalimat soal-soal tes obyektif, bahasa atau istilah-istilah
yang dipergunakan hendaknya cukup sederhana, ringkas, jelas dan mudah
dipahami oleh testee. Susunan kalimat yang berkepanjangan, istilah-isti lah
yang tidak jelas atau meragukan, dapat berakibat terjadinya hambatan bagi
testee untuk memberikan jawaban nya.
f. untuk mencegah terjadinya silang pendapat atau perdebatan antara testee
dengan tester, dalam menyu sun butir-butir soal tes obyektif hendaknya
diusahakan sungguh-sungguh agar tidak ada butir-butir yang dapat
menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam pemberian
jawabannya.
g. cara memenggal atau memutus kalimat, mem bubuhkan tanda-tanda baca
seperti titik, koma dan sebagai nya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti
kuadrat, akar dan sebagainya, hendaknya ditulis secara benar, usahakan
agar tidak terjadi kesalahan ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak
mengganggu konsentrasi testee dalam memberikan jawaban soal.
h. dengan cara bagaimanakah testee seharus nya memberikan jawaban
terhadap butir-butir soal yang diajukan dalam tes, hendaknya diberikan
pedoman atau petunjuknya secara jelas dan tegas, sehingga testee dapat
bekerja sesuai dengan petunjuk atau perintah yang telah ditentukan dalam
petunjuk umum atau petunjuk khusus yang dicantumkan dalam lembar
soal tes.
xxiii
a. agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan,
setidaknya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian,
kebi singan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang. sangat bijaksana jika di
luar ruangan tes dipasang papan pemberitahuan.
b. ruangan tes harus cukup longgar, tidak berde. sak-desakan, tempat duduk diatur
dengan jarak tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak
sehat di antara testee.
c. Ruangan tes sebaiknya memiliki sistem pencaha yaan dan pertukaran udara yang
baik. Ruangan yang gelap atau remang-remang disamping menyulitkan testee
dalam membaca soal dan menuliskan jawabannya, juga akan menyulitkan bagi
tester atau pengawas tes dalam menunai kan tugasnya) Ruang tes yang terlalu
terang atau terlalu menyilaukan mata, disamping dapat menimbulkan udara panas
juga dapat menyebabkan testee cepat menjadi letih.
d. Jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas
tempat penulis, maka sebe lum tes dilaksanakan hendaknya sudah disiapkan alat
be rupa alas tulis yang terbuat dari triplex, hardboard atau bahan lainnya, sehingga
testee tidak harus menuliskan jawaban soal tes yang diletakkan di atas paha
sebagai alas tulisnya.
e. Agar testee dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya
lembar soal-soal tes diletak kan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan
bag testee untuk membaca dan mengerjakan soal lebih awal daripada teman-
temannya. Dalam hubungan ini testee harus iberi tahu bahwa mereka baru boleh
memulai mengerja kan soal tes setelah tanda waktu mulai bekerja diberikan.
f. Dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar. Artinya
jangan terlalu banyak bergerak, terlalu sering berjalan-jalan dalam ruangan
sehingga mengganggu konsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas tes juga jangan
selalu duduk di kursi sehingg tes dapat membuka peluang bagi testee yang tidak
jujur untuk bertindak curang (kerja sama dengan testee lainnya, atau menyontek).
g. Sebelum berlangsungnya tes, hendaknya su dah ditentukan lebih dahulu sanksi
yang dapat dikenakan kepada testee yang berbuat curang. Sanksi itu dapat berupa
6
tindakan mengeluarkan testee dari ruangan tes dan karena nya tesnya dianggap
65
Kadir, A,’’ Menyusun dan menganalisis tes hasil belajar’’ Kajian Ilmu Kependidikan. Vol.8 No.2, hal. 15.
xxiv
gugur, atau dengan jalan membuat berita acara tentang terjadinya kecurangan
tersebut, atau menuliskan kata "curang" di atas kertas pekerjaan testee yang
berbuat curang itu.
h. Sebagai bukti mengikuti tes, harus disiapkan daftar hadir yang harus
ditandatangani oleh seluruh peser ta tes. Dalam mengedarkan daftar hadir tes itu
hendaknya diusahakan agar tidak mengganggu ketenangan jalannya tes.
i. Jika waktu yang ditentukan telah habis, hendaknya testee diminta untuk
menghentikan pekerjaan nya dan secepatnya meninggalkan ruangan tes. Tester
atau pengawas tes hendaknya segera mengumpulkan lembar lembar pekerjaan
(jawaban) tes seraya meneliti, apakah jumlah lembar jawaban tes itu sudah sesuai
dengan jumlah testee yang tercantum dalam daftar hadir tes.
j. untuk mencegah timbulnya berbagai kesu litan di kemudian hari, pada Berita
Acara Pelaksanaan Tes harus dituliskan secara lengkap, berapa orang testee yang
hadir dan siapa yang tidak hadir, dengan menuliskan iden titasnya (nomor urut,
nomor induk, nomor ujian, nama dan sebagainya), dan apabila terjadi
penyimpangan-penyim pangan atau kelainan-kelainan harus dicatat dalam berita
acara pelaksanaan tes tersebut.
2. Teknik Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa petunjuk praktis berikut ini kiranya akan dapat dipergunakan sebagai
pegangan dalam pelaksanaan tes lisan.
a. Sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi
berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut,
sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari segi
isi maupun konstruksinya.
b. setiap butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes lisan itu, juga
harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya. Hal ini di
maksudkan agar tester disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam
memberikan skor atau nilai kepada testee atas jawaban yang mereka berikan
dalam tes lisan tersebut, juga tidak akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban
panjang7 lebar atau berbelit-belit yang diberikan oleh testee, yang menurut
anggapan testee merupakan jawaban betul dan tepat, padahal menurut kriteria
yang telah ditentukan sesungguhnya sudah menyimpang atau tidak ada hubungan
nya dengan soal yang diajukan kepada testee.
76
Barat, P.T. S. K, ‘’Mendiskripsikan Prosedure Pelaksanaan Tes’’, 2021
xxv
c. Jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh testee
menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan di
saat masing-masing testee selesai dites. Hal ini dimaksud kan agar pemberian skor
atau nilai hasil tes lisan yang diberikan kepada testee itu tidak dipengaruhi oleh
jawaban yang diberikan oleh testee yang lain.
d. tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai
menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi. Tester harus
senantiasa me nyadari bahwa testee yang ada di hadapannya adalah testee yang
sedang "diukur" dan "dinilai" prestasi belajarnya setelah mereka menempuh
proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
e. dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes
yang dilaksanakan secara lisan itu, tester hendaknya jangan sekali-kali
"memberikan angin segar" atau "memancing-mancing" dengan kata-kata, kalimat-
kalimat atau kode-kode tertentu yang sifatnya menolong testee tertentu alasan
"kasihan" atau karena tester menaruh "rasa simpati" kepada testee yang ada
dihadapi nya itu. Menguji, pada hakikatnya adalah "mengukur" dan bukan
"membimbing" testee.
f. tes lisan harus berlangsung secara wajar. Per nyataan tersebut mengandung makna
bahwa tes lisan itu jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di
kalangan testee. Karena itu, dalam mengajukan perta nyaan-pertanyaan kepada
testee, tester harus mengguna kan kata-kata yang halus, bersifat sabar dan tidak
emosional Penggunaan kalimat-kalimat yang sifatnya "menteror", yang dapat
menimbulkan tekanan psikis pada diri testee, haruslah dicegah.
g. sekalipun sering kali sulit untuk dapat diwujud kan, namun (sebaiknya tester
mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti, berapa lama atau berapa waktu
yang disediakan bagi tiap peserta tes dalam menjawab soal Soal atau pertanyaan-
pertanyaan pada tes lisan tersebut. Harus diusahakan terciptanya keseimbangan
alokasi waktu, antara testee yang satu dengan testee yang lain.
h. pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes lisan hendaknya dibuat bervariasi,
dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan yang ditanyakan itu sama, namun cara
pengajuan pertanyaannya dibuat berlainan atau beragam.
i. sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu berlangsung secara individual
(satu demi satu). Hal ini dimaksudkan agar tidak mempengaruhi mental testee
yang lain.
xxvi
3. Teknik Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes perbuatan pada umumnya digunakan untuk meng ukur taraf kompetensi
yang bersifat keterampilan (psiko motorik), di mana penilaiannya dilakukan terhadap
proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh testee setelah
melaksanakan tugas tersebut. Karena tes ini bertujuan ingin mengukur keterampilan,
maka sebaiknya tes perbuatan ini dilaksanakan secara indi vidual. Hal ini
dimaksudkan agar masing-masing individu yang dites akan dapat diamati dan dinilai
secara pasti, sejauh mana kemampuan atau keterampilannya dalam melaksanakan
yang diperintahkan kepada masing-masing individu tersebut.
Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh tester.
a. tester harus mengamati dengan secara teliti, cara yang ditempuh oleh testee dalam
menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
b. agar dapat dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya tester jangan
berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi testee yang sedang
mengerjakan tugas tersebut.
c. dalam mengamati testee yang sedang melaksa nakan tugas itu, hendaknya tester
telah menyiapkan instru men berupa lembar penilaian yang di dalamnya telah
diten tukan hal-hal apa sajakah yang harus diamati dan diberikan penilaian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian tes belajar
Tes hasil belajar merupakan power test. Maksudnya adalah mengukur kemampuan
siswa dalam menjawab pertanyaan atau permasalahan.
2. Jenis dan bentuk tes hasil belajar sebuah.
a. Tes lisan.
xxvii
b. Tes tulisan.
c. Tes tindakan atau perbuatan.
3. Bentuk Tes hasil Belajar
a. Tes Hasil Belajar Bentuk Uraian
b. Tes hasil Belajar Bentuk Obyektif
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. baik dari
segi isi maupun penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
diperlukan untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H.M. Sukardi, MS. , Ph. D. (2015). EVALUASI PENDIDIKAN (F. Yustianti, Ed.). PT
BUMI Aksara.
Kadir, A. (2015). Menyusun dan menganalisis tes hasil belajar. Al-TA'DIB: Jurnal Kajian
Ilmu Kependidikan, 8(2), 70-81.
xxviii
Barat, P. T. S. S. K. (2021). MENDISKRIPSIKAN PROSEDUR PELAKSANAAN TES.
xxix