PENGARAH
Linda Al Amin, ST., MT. (Kepala BP2D Provinsi Jawa Barat)
PENANGGUNG JAWAB
Retno Muliayani, S.STP., M.Si. (Kepala Bidang Pemerintahan dan Pengkajian Peraturan BP2D
Provinsi Jawa Barat)
SEKRETARIAT :
1. Tanti S. Koeryaman, SS., MM (Analis Penelitian BP2D Provinsi Jawa Barat)
2. Agus Triyadi (Pengadministrasi Evaluasi dan Kerjasama Penelitian BP2D Provinsi Jawa
Barat)
3. Jenny Dwi Astuti, A.Md (Pengolah Data Aplikasi dan Pengelolaan Data Sistem Keuangan
BP2D Provinsi Jawa Barat)
4. Sarah Nurkarimah, SE. (Tenaga Teknis Pendukung Kegiatan BP2D Provinsi Jawa Barat)
5. Nidya Waskita Hapsari, S.Tr. Keb (Tenaga Teknis Pendukung Kegiatan BP2D Provinsi Jawa
Barat)
6. Deni Saeful R, S.I.P (Tenaga Teknis Pendukung Kegiatan BP2D Provinsi Jawa Barat)
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta' ala, Tuhan
Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Pemerintah Provinsi
Jawa Barat melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah dapat menyelesaikan
penyusunan Kajian Strategi Antisipasi Dampak Pasca Implementasi Kebijakan Penyederhanaan
Birokrasi.
Pelaksanaan kajian ini mengacu pada amanat UU No. 5 Tahun 2014 tentang Penguatan
Profesionalitas Jabatan Fungsional di dalam Sistem ASN, Peraturan Menteri PAN & RB No. 13
Tahun 2019 tentang Penguatan Pembinaan Jabatan Fungsional di dalam PNS, dan Peraturan
Menteri PAN & RB No. 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam
Jabatan Fungsional guna menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, efisien dan dinamis.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.Distribusi Pejabat Fungsional Penyetaraan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat ............ 26
Tabel 5. Tabel Distribusi Pejabat Fungsional Hasil Penyetaraan Berdasarkan Tahun Kelahiran 28
Tabel 6. Profil ASN DPMPTSP Provinsi Jawa Barat yang terdampak Kebijakan Penyetaraan
Jabatan...................................................................................................................................... 31
Tabel 7. Profil ASN Bapenda Provinsi Jawa Barat yang terdampak Kebijakan Penyetaraan Jabatan
.................................................................................................................................................. 32
Tabel 8. Hasil Analisis Deksriptif Implementasi Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi dan Kinerja
ASN Terdampak ........................................................................................................................ 35
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. Kebijakan Reformasi Birokrasi di Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur .............. 10
Gambar 8. Struktur Organisasi DPMPTSP Provinsi Jawa Barat Sebelum dan Setelah ............. 24
Gambar 9. Struktur Organisasi UPTD Provinsi Jawa Barat Sebelum dan Setelah Implementasi
Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi ........................................................................................ 25
Gambar 11. Kondisi Struktur Perangkat Daerah Jawa Barat Pasca Penyederhanaan Birokrasi 26
Gambar 12. Distribusi Pejabat Fungsional Hasil Penyetaraan Berdasarkan Tahun Kelahiran ... 28
Gambar 13. Distribusi Jafung Penyetaraan di DPMPTSP dan Bapenda Prov. Jabar ................. 34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.4 RUANG LINGKUP KAJIAN
Ruang lingkup kegiatan penelitian yaitu :
1. Melakukan kajian literatur terkait kebijakan penyederhanaan birokrasi.
2. Mengidentifikasi kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mengimplementasikan
Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi
3. Menganalisis dampak yang mungkin timbul pasca diterapkannya kebijakan penyederhanaan
birokrasi di Pemerintah Provinsi Jawa Barat
4. Menyusun strategi dan rekomendasi kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya dampak
negatif pasca diimplementasikannya kebijakan penyederhanaan birokrasi di Pemerintah
Provinsi Jawa Barat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENGERTIAN KEBIJAKAN
Mustopadidjaja (dalam Tahir, 2014) menjelaskan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan
dalam kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan. Selanjutnya Syafiie (dalam Tahir, 2014)
menjelaskan bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom)
karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi
dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwenang.
Sementara itu Friederick (dalam Nugroho, 2014) merumuskan kebijakan sebagai
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan
tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Koontz dan O’Donnel (dalam Tahir, 2014) menjelaskan bahwa
kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu pikiran dalam pembuatan
keputusan. Dye (dalam Nugroho, 2014) mendefinisikan kebijakan sebagai segala sesuatu yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan
bersama tampil berbeda. Sejalan dengan pendapat Dye, Laswell dan Kaplan (dalam
Nugroho,2014) menyebutkan bahwa kebijakan sebagai suatu program yang diproyeksikan
dengan tujuan-tujuan tertentu nilai-nilai tertentu, dan praktek-praktek tertentu.
Anderson (dalam Tahir, 2014) memaknai kebijakan sebagai suatu tindakan yang
mempunyai tujuan, yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan
suatu masalah. Kebijakan publik dapat dibedakan menurut substantif dan prosedural. Kebijakan
substantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu
siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Andreson (dalam Waluyo, 2007)
menambahkan, terdapat implikasi-implikasi dari adanya pengertian kebijakan negara tersebut
yaitu:
1. bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan
yang berorientasi kepada tujuan.
2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan atau pola-pola
tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi
bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau
menyatakan akan melakukan sesuatu.
4
4. bahwa kebijakan publik itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang penting didasarkan atau
selalu dilandaskan pada peraturan perundangan-undangan yang bersifat memaksa.
Dengan demikian, kebijakan lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dan berakibat bagi mereka yang berkepentingan, dan diserahkan kepada masyarakat
sebagai objek dari kebijakan untuk melaksanakan kebijakan atau tidak melaksanakannya,
daripada hanya sekedar suatu keputusan yang dibuat oleh negara untuk mengantarkan
masyarakat pada masa awal, masa transisi, menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Oleh
karena itu, kebijakan dapat juga dipandang sebagai suatu “pesan” dari yang membuat kebijakan
tersebut. Dan menurut Kapioru (2014), keberhasilan implementasi pesan tersebut sangat
dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal pokok:
a. isi kebijakan (the content of the policy message).
b. format kebijakan (the form of the policy message).
c. reputasi aktor (the reputation of the communicators).
Grindle (dalam Kapioru, 2014) mengemukakan, isi kebijakan meliputi sumber daya,
manfaat kebijakan, serta keterlibatan publik. Format kebijakan terdiri dari kejelasan kebijakan
(policy clarity), konsistensi kebijakan (policy consistency), frequency serta penerimaan isi
kebijakan (receipt of message). Sedangkan reputation of communicator terdiri dari legitimasi dan
kredibilitas aktor-aktor pemerintah daerah.
Kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan
merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya
menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan
terarah. Solichin (dalam Waluyo, 2007) menyatakan bahwa kebijakan publik memiliki daya ikat
yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan (community as a whole) dan memiliki daya
paksa tertentu yang tidak dimiliki kebijakankebijakan yang dibuat oleh organisasi-organisasi
swasta. Keban (dalam Tahir, 2014) mengemukakan, public policy dapat dilihat dari konsep filosifis,
sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai suatu
konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan, sebagai
suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Dan
sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu
organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan sebagai suatu kerangka kerja,
kebijakan merupajkan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan
metode implementasinya.
5
IMPELEMENTASI KEBIJAKAN
Tachjan, dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik, menjelaskan
bahwa implementasi kebijakan publik adalah proses yang kompleks, melibatkan dimensi
organisasi, kepemimpinan, bahkan manajerial dari pemerintah sebagai pemegang otoritas.
Implementasi ini memegang nilai-nilai kepercayaan (trust) dan tanggung jawab (responsibility).
Kepercayaan menjadi penting untuk membangun penerimaan masyarakat terhadap suatu
kebijakan publik, sehingga masyarakat mau mendukung pelaksanaan kebijakan publik tersebut.
Dalam implementasi kebijakan, Nugroho (2014) berpendapat bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Sedangkan Grindle (dalam Waluyo, 2007) menyatakan bahwa implementasi kebijakan
sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-
keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan
lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa yang memperoleh apa dari
suatu kebijakan. Kemudian Cleaves (dalam Waluyo, 2007), lebih memandang bahwa
implementasi kebijakan dianggap sebagai suatu proses tindakan administrasi dan politik.
Selanjutnya Hamdi (2014) menjelaskan bahwa pelaksanaan atau implementasi kebijakan
bersangkut paut dengan ikhtiar-ikhtiar untuk mencapai tujuan dari ditetapkannya suatu kebijakan
tertentu. Mulyadi (2015) menyatakan bahwa implementasi suatu kebijakan pada dasarnya adalah
suatu perubahan atau transformasi yang bersifat multiorganisasi, dimana perubahan yang
diterapkan melalui strategi implementasi kebijakan ini mengaitkan berbagai lapisan masyarakat.
Udoji (dalam Mulyadi, 2015) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang
penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya
akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak dapat
diimplementasikan. Dari sisi pendekatan dalam implementasi kebijakan, Matland (dalam Hamdi,
2014) berpendapat bahwa implementasi kebijakan secara umum terbagi dalam dua kelompok,
yakni kelompok dengan pendekatan dari atas (topdown) dan kelompok dengan pendekatan dari
bawah (bottom-up).
Jones (dalam Waluyo, 2007) berpendapat bahwa dalam membahas implementasi
kebijakan terdapat 2 (dua) aktor yang terlibat, yaitu:
1. Beberapa orang di luar birokrat-birokrat yang mungkin terlibat dalam aktivitas-aktivitas
implementasi seperti legislatif, hakim, dan lain-lain,
2. Birokrat-birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktivitas fungsional, disamping
implementasi”.
Matland (dalam Hamdi, 2014) mengemukakan adanya empat paradigma implementasi kebijakan,
yakni seperti berikut:
1. Konflik rendah-ambigiutas rendah (implementasi administratif).
2. Konflik tinggi-ambigiutas rendah (implementasi politis).
3. Konflik tinggi-ambigiutas tinggi (implementasi simbolik).
6
4. Konflik rendah-ambigiutas tinggi (implementasi eksperimental).
Sedangkan menurut Waluyo (2007), implementasi kebijakan merupakan terjemahan
kebijakan publik yang pada umumnya masih berupa pertanyaan-pertanyaan umum yang berisikan
tujuan, sasaran ke dalam program-program yang lebih operasional (program aksi) yang
kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang telah
dinyatakan dalam kebijakan tersebut. Wahab (dalam Tahir, 2014) mengatakan bahwa
implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan lazimnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur/mengatur proses implementasinya.
Menurut Anderson (dalam Tahir, 2014), aspek yang harus diperhatikan dalam
implementasi kebijakan, yaitu:
1. Siapa yang dilibatkan dalam implementasi,
2. Hakikat proses administrasi,
4. Kepatuhan atas suatu kebijakan, dan
5. Efek atau dampak dari implementasi.
Selanjutnya menurut Abidin (dalam Tahir, 2014), implementasi suatu kebijakan berkaitan dengan
dua faktor utama, yaitu:
1. Faktor internal, meliputi (a) kebijakan yang akan dilaksanakan, dan (b) faktor-faktor
pendukung;
2. Faktor eksternal, meliputi (a) kondisi lingkungan, dan (b) pihak-pihak terkait.
Wibawa (dalam Tahir, 2014) menjelaskan bahwa tujuan implementasi kebijakan adalah
untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari
kegiatan pemerintah. Keseluruhan proses penetapan kebijakan baru bisa dimulai apabila tujuan
dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah dirancang dan juga
sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut. Kemudian
Meter dan Carl (dalam Pratama, 2013) memaparkan, bahwa implementasi kebijakan menekankan
pada suatu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok)
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
keputusan kebijakan sebelumnya. Pada suatu saat tindakan-tindakan ini, berusaha
mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola-pola operasional serta melanjutkan
usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil yang
diamanatkan olehkeputusan-keputusan kebijakan tertentu. Dan menurut Lester dan Stewart
(dalam Nastia, 2014) menyatakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil
(output) keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan
pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
Menurut Nugroho (2014), dalam memahami kebijakan publik, terdapat dua jenis aliran atau
pemahaman, yaitu.
7
1. Kontinentalis, yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik adalah turunandari hukum,
bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum
publik, ataupun hukum tata negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi di antara
institusi-institusi negara.
2. Anglo-Saxonis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan publik adalah turunan dari
politik-demokrasi, sehingga melihatnya sebagai produk interaksi antara negara dan publik.
Dengan demikian pasca implementasi kebijakan, dapat dikonsepkan sebagai upaya untuk
mengevaluasi proses yang kompleks, yang melibatkan dimensi organisasi, kepemimpinan,
bahkan manajerial dari pemerintah sebagai pemegang otoritas; dimana implementasi ini
memegang nilai-nilai kepercayaan (trust) dan tanggung jawab (responsibility), dari suatu kebijakan
setelah kebijakan tersebut dilaksanakan. Kepercayaan menjadi penting untuk membangun
penerimaan masyarakat terhadap suatu kebijakan publik, sehingga masyarakat mau mendukung
pelaksanaan kebijakan publik tersebut.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan kebijakan
reformasi birokrasi di Bidang Sumber Daya Manusia. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan
bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan
mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan
prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
dijelaskan bahwa, Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN
yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan
tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan diatas, maka Kementerian PANRB
menerbitkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan di
Kementerian dan Lembaga yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri PANRB Nomor 17
Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional. Dalam
10
peraturan tersebut dijelaskan bahwa penyetaraan jabatan dilaksanakan pada Instansi Pusat dan
Instansi Daerah.
Penyetaraan Jabatan bagi Instansi Pemerintah dilaksanakan setelah proses
penyederhanaan struktur organisasi selesai dilakukan. Untuk pelaksanaan Penyetaraan Jabatan,
Instansi Pemerintah perlu melaksanakan langkah sebagai berikut:
a. identifikasi Jabatan Administrasi pada unit kerja;
b. pemetaan jabatan dan Pejabat Administrasi yang terdampak penyederhanaan struktur
organisasi;
c. pemetaan Jabatan Fungsional yang dapat diduduki pejabat yang terdampak
penyederhanaan struktur organisasi; dan
d. pemetaan dan penghitungan penghasilan pejabat yang berdampak dengan
membandingkan antara penghasilan pada saat sebelum dan sesudah penyetaraan dari
Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.
Penyetaraan Jabatan dilakukan sebagai berikut:
a. Administrator disetarakan dengan Jabatan Fungsional jenjang ahli madya;
b. Pengawas disetarakan dengan Jabatan Fungsional jenjang ahli muda; dan
c. Pejabat pelaksana yang merupakan eselon V disetarakan dengan Jabatan Fungsional
jenjang ahli pertama (Pasal 4 ayat 1).
Selanjutnya dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa Penyetaraan Jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dilaksanakan tanpa memperhatikan jenjang pangkat dan golongan ruang yang melekat
pada Administrator, Pengawas, dan pejabat pelaksana yang merupakan eselon V yang akan
disetarakan. Dalam hal Administrator, Pengawas, dan pejabat pelaksana yang merupakan eselon
V yang akan disetarakan memiliki pangkat/golongan ruang di bawah atau di atas
pangkat/golongan ruang tertinggi yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan tetap
disetarakan dalam Jabatan Fungsional sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4. Penyetaraan Jabatan dilakukan dengan kriteria:
a. pejabat yang diusulkan dalam Penyetaraan Jabatan merupakan Pejabat Administrasi yang
pada saat penyederhanaan struktur organisasi duduk dalam jabatan yang terdampak
penyederhanaan struktur organisasi;
b. tugas dan fungsi Jabatan Administrasi berkaitan dengan pelayanan teknis fungsional;
c. tugas dan fungsi jabatan dapat dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional; dan
d. jabatan yang berbasis keahlian atau keterampilan tertentu
Penyetaraan Jabatan dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. PNS yang masih menjalankan tugas dalam Jabatan Administrator, Jabatan Pengawas, dan
jabatan pelaksana yang merupakan eselon V berdasarkan keputusan Pejabat Pembina
Kepegawaian atau pejabat lain yang diberikan kewenangan;
b. memiliki ijazah paling rendah:
1. sarjana atau diploma empat bagi yang disetarakan ke dalam Jabatan Fungsional
yang mensyaratkan jenjang pendidikan paling rendah sarjana atau diploma empat;
11
2. magister bagi Jabatan Fungsional yang mensyaratkan jenjang pendidikan paling
rendah magister; atau
3. sesuai dengan kualifikasi dan jenjang pendidikan yang dipersyaratkan dalam
pengangkatan Jabatan Fungsional yang mensyaratkan kualifikasi Pendidikan
tertentu pada jenjang tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
c. memiliki kesesuaian tugas, fungsi, pengalaman, atau pernah melaksanakan tugas yang
berkaitan dengan tugas Jabatan Fungsional.
Dalam hal tidak memiliki kualifikasi atau jenjang pendidikan yang berkesesuaian dengan kualifikasi
atau jenjang pendidikan yang disyaratkan maka Administrator, Pengawas, dan pejabat pelaksana
yang merupakan eselon V dapat disetarakan ke dalam Jabatan Fungsional sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Penyetaraan Jabatan dilakukan setelah
mengikuti dan lulus uji kompetensi yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah yang
bersangkutan setelah berkoordinasi dengan instansi pembina Jabatan Fungsional. Dalam hal tidak
mengikuti dan tidak lulus uji kompetensi maka Pejabat Administrasi dapat dialihkan ke Jabatan
Fungsional lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya
Administrator, Pengawas, dan pejabat pelaksana yang merupakan eselon V wajib memiliki
pendidikan sesuai dengan persyaratan jabatan paling lama 4 (empat) tahun sejak diangkat dan
dilantik dalam Jabatan Fungsional. Selain itu, Administrator yang akan diangkat dalam Jabatan
Fungsional jenjang ahli madya harus memperhatikan ketentuan Jabatan Fungsional tertentu yang
mensyaratkan kualifikasi pendidikan magister untuk menduduki jenjang ahli madya dan wajib
memiliki pendidikan sesuai dengan persyaratan jabatan paling lama 4 (empat) tahun sejak
diangkat dan dilantik dalam Jabatan Fungsional.
13
3. Kemampuan untuk menghadapi transformasi digital yang menuntut kerja cepat, adaptif dan
inovatif.
Berbagai manfaat yang diharapkan dari Penyederhanaan Birokrasi yaitu :
1. Menciptakan organisasi dan Aparatur Sipil Negara berbasis keahlian
2. Menciptakan budaya menghargai kompetensi dan keahlian individu sebagai fungsional
3. Mempercepat pengambilan keputusan untuk suatu kebijakan
4. Menciptakan organisasi pemerintahan yang dinamis dan profesional dalam menghadapi
perubahan lingkungan
5. Mendorong percepatan capaian sasaran Reformasi Birokrasi
6. Mempercepat proses delivery pelayanan kepada masyarakat, dunia usaha, K/L/D, dan
meningkatkan investasi
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan reformasi birokrasi melalui penyederhanaan
birokrasi, telah ditetapkan berbagai sasaran, yaitu :
1. Birokrasi yang Bersih dan Akuntabel, dengan indikator :
a. Indeks Perilaku Anti Korupsi
b. Nilai Sakip
c. Opini BPK
2. Birokrasi yang Kapabel, dengan indikator :
a. Indeks Kelembagaan
b. Indeks SPBE
c. Indeks Profesional ASN
3. Pelayanan Publik yang Prima dengan indikator : Indeks Pelayanan Publik (Kebijakan
Pelayanan, Profesionalisme SDM, Sarpras, Sistem Informasi Pelayanan Publik, Konsultasi
dan Pengaduan, serta Inovasi)
14
BAB III
METODE PENELITIAN
Gambar di atas memperlihatkan prosedur pendekatan desain follow-up explanations, terlihat ada
dua tahap dalam pendekatan desain tersebut, yaitu: tahap pertama, pelibatan partisipan penelitian
atau sampel (kuantitatif) yang cukup besar dengan pengambilan sampel yang di sengaja
(purposeful sampling), lalu diberikan kuesioner (questionnaire) yang merupakan instrumen
15
penelitian yang diturunkan dari teori yang digunakan. Selanjutnya pada tahap kedua, penelitian
deskriptif kualitatif menggunakan open-ended, wawancara semi terstruktur (semisctructured
interviews) untuk mengeksplorasi dan menjelaskan secara mendalam mengenai hasil analisis
statistik pada tahap pertama.
3.4 PARTISIPAN
Partisipan yang diteliti dalam penelitian ini adalah ASN yang terdampak kebijakan
penyederhanaan birokrasi yang sebelumnya menjadi pegawai struktural pada eselon III dan IV
pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Badan
Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Barat. Untuk memenuhi langkah pertama dalam
desain follow-up explanations, pengambilan sampel menggunakan teknik sensus dikarenakan
populasi yang diteliti kurang dari 100 orang.
16
Tahap kedua, dalam rangka mengeksplorasi dan menjelaskan hasil analisis data pada
tahap pertama, maka pada tahap kedua data diambil dari informan sebanyak 8 orang, dengan
rincian sebagai berikut: 1) perwakilan pegawai struktural eselon III pada Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda)
sebanyak 4 orang; 2) perwakilan pegawai struktural eselon IV pada Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sebanyak
4 orang. Sehingga pada tahap kedua ini ada 8 orang informan yang diwawancara terkait hasil
analisis data tahap pertama.
18
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO RINCIAN INDIKATOR
Kewajiban 20 menunjukkan keahlian yang
kepada berdampak pada masyarakat
masyarakat
Sumber: Diadopsi dari Bardach dalam Patton et al. (2016) dan Schutte et al. (2016).
Sementara itu, untuk mendapatkan data kualitatif dari informan, digunakan panduan wawancara
dengan pertanyaan yang bersumber pada teori implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi
yang dikemukakan Bardach dalam Patton et al. (2016). Kemudian dilakukan analisis data
kuantitatif dan kualitatif untuk saling menguatkan atas temuan fakta di lapangan.
6. Hitung score (nilai hasil transformasi) untuk setiap pilihan jawaban melalui persamaan
berikut:
X1
PYX
X X1 2
1
X X
1 k X2
PYX2
Y
X PYX k
PY
2Xk
Xk
Gambar 5. Hipotesis Path Analisis
Keterangan :
1. Variabel Eksogenus (X) adalah variabel penyebab
2. Variabel Endogenus (Y) adalah variabel akibat
3. Variabel Residu ( )
a. Variabel lain di luar X yang mungkin mempengaruhi Y dan telah teridentifikasi oleh teori
tetapi tidak dimasukkan ke dalam model.
b. Variabel lain di luar X yang mungkin mempengaruhi Y tetapi belum teridentifikasi oleh
teori.
c. Kekeliruan pengukuran.
d. Komponen yang sifatnya tak menentu.
4. x x
i j
menunjukkan hubungan keeratan antara kedua variabel tersebut.
teridentifikasikan.
20
1 rx1 x2 rx1 xk
Rx = 1 rx2 xk
1
n
n n
n xih x jh − xih x jh
dengan rxi x j =
h =1 h =1 h =1 ; i j = 1,2, , k
n n n
2
n
2
h =1 h =1 h =1 h =1
5. Hitung R 2 y ( x1 , x 2 , x k ) yaitu koefisien yang menyatakan determinasi total X1, X2, X3 terhadap
Y, dengan rumus :
ryx1
R 2 y ( x1 , x2 , xk ) = Pyx1 Pyx2 Pyxk
ryx2
ryx
k
6. Hitung Py berdasarkan rumus :
Py = 1 − R 2 y ( x1 , x 2 , x k ) .
A. Uji Keseluruhan
21
H 0 : Pyx1 = Pyx2 = Pyxk = 0
H1 : Sekurang − kurangnya ada sebuah Pyxi 0
Statistik Uji :
k
(n − k − 1) Pyxi ryxi
F= k
i =1
k (1 − Pyxi ryxi )
i =1
Kriteria Uji :
B. Uji Individu :
H 0 : Pyxi = 0
H 1 : Pyxi 0
Statistik Uji :
Pyxi
t=
(1 − R 2 y ( x1 , x 2 , x k ) ).Cii
(n − k − 1)
Kriteria Uji :
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Di lingkungan Setda Provinsi Jawa Barat, Kepala Bagian dan seluruh Kepala Sub Bagian
beralih jabatan menjadi Analis Kebijakan muda dan madya. Jabatan Struktural yang tersisa
tinggal Kepala Biro dan Kepala Bagian Tata Usaha
Gambar 8. Struktur Organisasi DPMPTSP Provinsi Jawa Barat Sebelum dan Setelah
Pada proses penyetaraan Jabatan di DPMPTSP hanya tinggal menyisakan Kepala Dinas,
Sekretaris, dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Sub
Bagian Kepegawaian dan Kehumasan serta Kepala Sub Bagian Perencanaan Pelaporan
beralih fungsi menjadi Jabatan Fungsional
24
Gambar 9. Struktur Organisasi UPTD Provinsi Jawa Barat Sebelum dan Setelah Implementasi Kebijakan
Penyederhanaan Birokrasi
Pada proses penyetaraan Jabatan di UPTD hanya tinggal menyisakan Kepala UPTD dan
Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Kepala Seksi beralih fungsi menjadi Jabatan Fungsional.
Namun demikian, pada saat penelitian/kajian ini dilakukan (November 2022) regulasi
penetapan SOTK baru tersebut masih dalam proses penyusunan.
25
Pada Fase I, berhasil melakukan penyetaraan terhadap 343 pejabat struktural dan pada Fase
II berhasil menyetarakan 865 pejabat struktural, dengan rincian sebagaimana disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penyetaraan Jabatan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Gambar 11. Kondisi Struktur Perangkat Daerah Jawa Barat Pasca Penyederhanaan Birokrasi
Penyetaraan Jabatan tersebut terdistribusi ke dalam 72 jenis Jafung, dengan proporsi terbesar
adalah Arsiparis (386 orang) diikuti oleh Analis Kebijakan (260 orang) dan Perencana (62
orang). Rinciannya disajikan dalam Tabel berikut.
26
No Jenis Jabatan Fungsional Fase I Fase II Total No Jenis Jabatan Fungsional Fase I Fase II Total
1 Arsiparis 0 386 386 37 Analis Akuakultur 1 2 3
2 Analis Kebijakan 77 183 260 38 Dokter 4 1 5
3 Analis Kepegawaian 20 34 54 39 Pengawas Mutu Hasil Pertanian 5 1 6
4 Perencana 31 31 62 40 Perancang Peraturan Perundang-Undangan 2 1 3
5 Pengendali Ekosistem Hutan 0 24 24 41 Pembina Industri 6 1 7
6 Pengelola Sumber Daya Air 0 19 19 42 Pembina Jasa Konstruksi 1 1 2
7 Teknik Jalan dan Jembatan 2 15 17 43 Penata Ruang 3 1 4
8 Analis Keuangan Pusat dan Daerah 4 14 18 44 Penilai Pemerintah 0 1 1
9 Pengawas Benih Tanaman 4 13 17 45 Mediator Hubungan Industrial 1 1 2
10 Penyuluh Sosial 9 11 20 46 Pengembang Teknologi Pembelajaran 1 1 2
11 Pranata Hubungan Masyarakat 11 10 21 47 Apoteker 0 1 1
12 Penguji Mutu Barang 0 8 8 48 Penggerak Swadaya Masyarakat 12 12
13 Pengawas Ketenagakerjaan 1 8 9 49 Penyuluh Pertanian 9 9
14 Pengawas Bibit Ternak 1 8 9 50 Analis Kebencanaan 6 6
15 Polisi Pamong Praja 4 7 11 51 Analis Perdagangan 6 6
16 Inspektur Ketenagalistrikan 0 7 7 52 Teknik Tata Bangunan dan Perumahan 6 6
17 Instruktur 0 7 7 53 Statistisi 5 5
18 Penyelidik Bumi 0 7 7 54 Analis Pasar Hasil Pertanian 4 4
19 Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif3 6 9 55 Pengendali Dampak Lingkungan 4 4
20 Pengelola Produksi Perikanan Tangkap 3 6 9 56 Analis Ketahanan Pangan 4 4
21 Pranata Komputer 10 5 15 57 Penyuluh Lingkungan Hidup 4 4
22 Analis Hukum 14 5 19 58 Pengawas Koperasi 4 4
23 Pengendali Organisme Penggangu Tumbuhan 1 4 5 59 Teknik Penyehatan Lingkungan 3 3
24 Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir 0 4 4 60 Analis Prasarana dan Sarana Pertanian 3 3
25 Medik Veteriner 3 4 7 61 Perawat 3 3
26 Pekerja Sosial 3 3 6 62 Teknik Pengairan 3 3
27 Pamong Budaya 1 3 4 63 Pengawas Alat dan Mesin Pertanian 2 2
28 Pengawas Perikanan 3 3 6 64 Pengawas Perdagangan 2 2
29 Penyuluh Kesehatan Masyarakat 1 3 4 65 Manggala Informatika 2 2
30 Analis Pengembangan Kompetensi 13 3 16 66 Penyuluh Hukum 1 1
31 Pengawas Mutu Pakan 0 2 2 67 Epidemiolog Kesehatan 1 1
32 Pengelola Pengadaan Barang/Jasa 5 2 7 68 Sandiman 1 1
33 Administrator Kesehatan 5 2 7 69 Pengawas Lingkungan Hidup 1 1
34 Pembina Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan 1 2 3 70 Teknik Pengairan 1 1
35 Penyuluh Perindustrian dan Perdagangan 0 2 2 71 Analis Pasar Hasil Perikanan 1 1
36 Penata Perizinan 0 2 2 72 Perisalah Legislatif 1 1
Jumlah 230 853 1083 Jumlah 113 12 125
Total 343 865 1208
27
kenaikan pangkat. Namun dilain pihak terdapat permasalahan keterbatasan formasi Jabatan
Fungsional Madya yang dapat diisi oleh kelompok tersebut.
Pada Kelompok Fungsional Ahli Muda terdapat pula 130 orang yang memiliki Golongan Ruang
lebih tinggi dari Golongan Ruang untuk Jabatan Ahli Muda, yaitu golongan IV/a, IV/b dan IV/c.
Kelompok kedua ini rentan mengalami demotivasi karena dengan posisi golongan IV mereka
dapat berada pada jenjang madya, Permasalahan ini jika tidak mendapatkan perhatian dan
penanganan yang tepat akan berdampak pada capaian kinerja individu dan pengembangan
karir yang bersangkutan, bahkan dapat berdampak pada kinerja organisasi.
Jika dipisahkan berdasarkan Tahun Kelahiran, maka Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan di
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dikelompokkan sebagai berikut
800
663
600
400 286
200 88 104
62 74 93
22 40 16 19
0
1964 1965 1966 >1966
Data tersebut memberikan informasi bahwa setidaknya sampai dengan Tahun 2023 terdapat
166 orang Pejabat Fungsional Hasil Penyetaraan yang memasuki masa purna tugas dan akan
bertambah 93 orang lagi pada Tahun 2024. Sebagian besar adalah Pejabat Fungsional Ahli
Muda (257 orang). Sebarannya sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel 5. Tabel Distribusi Pejabat Fungsional Hasil Penyetaraan Berdasarkan Tahun Kelahiran
28
Meskipun cukup banyak Pejabat Fungsional Ahli Muda yang akan memasuki purna tugas
dalam 2 tahun kedepan, secara keseluruhan komposisi jenjang jabatan masih belum
mencerminkan bentuk piramida yang ideal, dimana jumlah Pejabat Fungsional Ahli Muda
masih jauh lebih banyak dibandingkan jumlah Pejabat Fungsional Ahli Pertama. Hal ini juga
akan berdampak pada pengembangan karir Pejabat Fungsional Ahli Pertama.
29
4. Pejabat dalam jabatan fungsional mempunyai tugas memberikan pelayanan fungsional
dalam pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan pimpinan tinggi pratama sesuai dengan
keahlian dan keterampilan, dikecualikan untuk Perangkat Daerah yang dipimpin
langsung oleh pejabat administrator.
Selanjutnya untuk menjamin keselarasan potensi Pegawai Negeri Sipil dalam
melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan, diperlukan pengaturan pola karier
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berdasarkan
prinsip kepastian, profesionalisme, transparan, integritas, keadilan, nasional, dan rasional.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor
88 Tahun 2022 Tentang Pola Karier Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa Pola Karier PNS dilaksanakan
sesuai Jalur Karier yang berkesinambungan, disusun dari Jabatan paling rendah ke Jabatan
paling tinggi, baik pada jenjang Jabatan yang setara maupun jenjang Jabatan yang lebih tinggi
dalam Pola Karier. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa penyusunan Pola Karier PNS mengacu
pada ketentuan sebagai berikut:
a. urutan karier yang berkesinambungan, kecuali dari JF ke JPT atau Jabatan
Administrator;
b. tugas serumpun, kompetensi yang berkaitan, dan kualifikasi pendidikan yang
diperlukan; dan
c. Jabatan Kritikal dalam kerangka Manajemen Talenta
Selain pengelolaan ASN dan Pola Karir ASN, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga
mengatur mengenai jam kerja. Pengembangan sistem kerja yang dinamis, lincah, dan
profesional di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, dilakukan melalui penataan
hari dan jam kerja Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya untuk mengoptimalkan implementasi mekanisme kerja pasca
Penyederhanaan Birokrasi telah disusun pedoman pelaksanaan mekanisme kerja yang
tercantum dalam Surat Edaran Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 106/OT.03/ORG
tentang Pelaksanaan Mekanisme Kerja Pasca Penyederhanaan Birokrasi Di Lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan tata kelola kinerja, sistem, dan
mekanisme kerja disesuaikan dengan strategi dari Perangkat Daerah dengan
mempertimbangkan kesiapan dukungan infrastruktur, tata kelola, dan sumber daya yang
tersedia. Mekanisme kerja baru pasca penyederhanaan birokrasi tetap mengedepankan
ketepatan pencapaian target kerja organisasi yang didistribusikan kepada tim kerja ataupun
individu di dalam Perangkat Daerah melalui penugasan. Penugasan kepada tim ataupun
individu mengedepankan profesionalisme dan mempertimbangkan kompetensi serta beban
kerja Pegawai, dan dapat melibatkan pegawai yang berasal dari lintas unit/Perangkat Daerah.
30
4.2 ANALISIS DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENYEDERHANAAN BIROKRASI DI DPMPTSP DAN BAPENDA
PROVINSI JAWA BARAT
4 Kepala Bidang Data Dan Informasi Analis Kebijakan Ahli Madya 1 orang
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu
5 Kepala Bidang Pengembangan Dan Promosi Analis Kebijakan Ahli Madya 1 orang
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu
6 Kepala Seksi Sektor Kehutanan, Lingkungan Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
Hidup, Energi, Dan Sumber Daya Mineral
7 Kepala Seksi Pemantauan Dan Pembinaan Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
31
JABATAN BARU HASIL
NO JABATAN LAMA JUMLAH
PENYETARAAN
9 Kepala Seksi Sektor Pendidikan, Kesehatan, Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
Dan Sosial
10 Kepala Seksi Sektor Pertanian, Perikanan, Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
Dan Tenaga Kerja
12 Kepala Seksi Pengaduan Dan Advokasi Analis Hukum Ahli Muda 1 orang
16 Kepala Seksi Pengolahan Data Bidang Data Statistisi Ahli Muda 1 orang
Dan Informasi Penanaman Modal Dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
19 Kepala Seksi Ekonomi Dan Pariwisata Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
Jumlah 22 orang
2 Kepala Subbagian Umum Dan Perlengkapan Pranata Humas Ahli Muda 1 orang
3 Kepala Subbidang Regulasi Dan Kerjasama Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
32
JABATAN BARU HASIL
NO JABATAN LAMA JUMLAH
PENYETARAAN
4 Kepala Subbidang Perencanaan Kinerja Perencana Ahli Muda 1 orang
Belanja
8 Kepala Subbidang Layanan Dan Keberatan Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
14 Kepala Subbidang Evaluasi Dan Pelaporan Analis Kebijakan Ahli Muda 1 orang
Kinerja
16 Kepala Seksi Pengelolaan Data Dan Aplikasi Pranata Komputer Ahli 1 orang
Pendapatan Muda
17 Kepala Seksi Pendataan Dan Penetapan Analis Kebijakan Ahli Muda 34 orang
18 Kepala Seksi Penerimaan Dan Penagihan Analis Kebijakan Ahli Muda 34 orang
Jumlah 83 orang
33
Persentase distribusinya dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Gambar 13. Distribusi Jafung Penyetaraan di DPMPTSP dan Bapenda Prov. Jabar
Penilaian secara deskriptif terhadap implementasi penyederhanaan birokrasi dan kinerja ASN
terdampak penyetaraan dianalisis dengan mengamati rata-rata skor jawaban kuesioner yang
34
telah dikumpulkan dari seluruh responden dari DPMPTSP dan Bapenda Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya rata-rata skor tersebut dipilah ke dalam dua kategori atau dua kutub yaitu kutub
positif dan kutub negatif sebagaimana lazimnya pada penggunaan Skala Semantik.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
- Rata-rata skor ≤ 4,00 kategori negatif (belum layak,belum sesuai, belum efektif, dst)
- Rata-rata skor ≥ 4,01 kategori positif (layak, sesuai, efektif, dst)
Hasil analisis disajikan dalam tabel berikut
Tabel 8. Hasil Analisis Deksriptif Implementasi Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi dan Kinerja ASN Terdampak
SKOR
NO INDIKATOR KATEGORI
RATA-RATA
1 Penyetaraan jabatan yang merupakan bagian dari 3.60 Belum Sesuai
kebijakan penyederhanaan birokrasi di tempat saya
bekerja sesuai dengan kebutuhan organisasi
35
SKOR
NO INDIKATOR KATEGORI
RATA-RATA
mengimplementasikan dan berinovasi yang selaras
dengan strategi organisasi
11 Pasca kebijakan penyederhanaan birokrasi, saya 3.73 Belum Mampu
mampu membentuk jejaring untuk meningkatkan
kinerja organisasi secara berkelanjutan
36
Skor rata-rata pada Dimensi ini adalah 3,63 (kategori belum layak yang berarti bahwa
implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi belum sesuai dengan kebutuhan
organisasi. Selain itu rata-rata responden juga berpendapat bahwa dalam penerapan
kebijakan penyederhanaan birokrasi belum efektif menggunakan sumber daya
(anggaran, SDM dan tata hubungan/proses kerja).
▪ Dimensi Kelayakan Ekonomi
Dimensi ini dengan rata-rata skor sebesar 3,41 (kategori belum layak) yang berarti ,
bahwa implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi belum terdapat dukungan
yang memadai. Responden juga menjelaskan bahwa kebijakan penyederhanaan
birokrasi belum berdampak positif pada pencapaian target kinerja organisasi.
▪ Dimensi Kelangsungan Politik
Rata-rata skor pada Dimensi ini adalah 3,81 artinya implementasi kebijakan
penyederhanaan birokrasi masuk pada kategori belum layak. Namun, terdapat satu
indikator yang menunjukkan nilai positif, dimana penyederhanaan birokrasi di instansi
tempat mereka bekerja sudah menyesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang
baru ditetapkan. Sedangkan pada dua indikator lainnya, yaitu dukungan terhadap
penerapan kebijakan penyederhanaan birokrasi yang diterapkan di tempat kerja dan
kemampuan adaptasi perangkat daerah lainnya dengan tata kerja baru hasil
pelaksanaan kebijakan penyederhanaan birokrasi di tempat kerja responden, masih
menunjukkan nilai negative dengan skor masing-masing 3.60 dan 3,69.
Indikator Paling Besar adalah ekuitas yang berarti bahwa penyederhanaan birokrasi di tempat
saya bekerja merupakan penyesuaian dari aturan perundang-undangan yang baru yang telah
ditetapkan dengan skor rata-rata sebesar 4,14 (Sudah Sesuai).
Indikator Paling Kecil, yaitu :
1. Efisiensi, yang berarti bahwa pelaksanaan kebijakan penyederhanaan birokrasi yang
diterapkan di tempat saya bekerja sudah dioperasikan dengan dukungan anggaran
yang tersedia dengan skor rata-rata sebesar 3,42 (belum didukung).
2. Profitabilitas, yang berarti bahwa pelaksanaan kebijakan penyederhanaan birokrasi di
tempat saya bekerja memberikan dampak yang positif bagi pencapaian target
organisasi dengan skor rata-rata sebesar 3,40 (belum berdampak positif).
Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa kinerja ASN terdampak penyetaraan jabatan barada
pada kategori Belum Meningkat dengan skor 3,82. Terdapat tiga dimensi dalam mengukur
kinerja tersebut dimana ketiganya masuk pada kategori Belum Mampu. Rinciannya adalah
sebagai berikut:
▪ Kompetensi Inti
37
Rata-rata skor pada dimensi ini adalah 3,77. Pasca penyetaraan jabatan, responden
belum memiliki kemampuan dalam memahami target kinerja, membentuk jejaring untuk
meningkatkan kinerja organisasi secara berkelanjutan, menyusun perencanaan,
mengimplementasikan dan berinovasi yang selaras dengan strategi organisasi dan
belum memiliki kemampuan manajerial yang mendukung pelaksanaan tugas jabatan
baru.
▪ Kemampuan
Rata-rata skor pada dimensi ini adalah 3,85. Hal ini ditandai dengan belum mampunya
ASN hasil penyetaraan dalam mengembangkan kemampuan diri dalam mendukung
tujuan organisasi, serta belum mampu mengembangkan langkah-langkah yang efektif
demi pencapaian tujuan organisasi. Namun pada indikator kemampuan memberikan
hasil kerja yang berkualitas demi kemajuan organisasi dan pelayanan public dan
kemampuan bekerja sesuai peraturan dan kode etik diperoleh nilai positif, masing-
masing dengan skor 4,10 dan 4,22.
▪ Profesionalitas
Pada dimensi ini rata-rata skor yang diperoleh adalah 3,83. ASN terdampak
penyetaraan belum mampu memahami perilaku kerja yang diharapkan dapat
menyelesaikan target kinerja yang baru dan belum mampu bekerja sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi jabatan bar. Namun demikian mereka mampu menunjukkan keahlian
dalam bekerja menjadi pelayan publik yang professional.
Indikator Paling Besar, yaitu Kepatuhan yang berarti bahwa pasca kebijakan penyederhanaan
birokrasi, saya bekerja sesuai peraturan dan kode etik yang berlaku dengan skor rata-rata
sebesar 4,22 (Sudah Sesuai).
Indikator Paling Kecil yaitu Tata Kelola SDM yang berarti pasca kebijakan penyederhanaan
birokrasi, saya bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya dengan skor rata-rata sebesar 3,34
(Belum Sesuai).
ANALISIS JALUR
Analisis Jalur dilakukan untuk memperoleh model pengaruh Varibel eksogenous (X1, X2, dan
X3) terhadap Variabel endogenos (Y), serta hubungan antar Variabel eksogenous.
UJI MODEL
H1 : PYX ≠ 0 → Adanya pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan
Penyederhanaan Birokrasi Terhadap Kinerja ASN.
UJI - F
31,1516
38
F-table
2,735
" R-KUADRAT YX "
0,561443
Pengaruh Simultan
56,14%
Kesimpulan :
Terdapat pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan Penyederhanaan
Birokrasi yang dilihat dari Kelayakan Teknis, Kelayakan Ekonomi dan Keuangan, serta
Kelangsungan Politik terhadap Kinerja ASN yang sebesar 56,14%.
H3 : PYX2 ≠ 0 → Adanya pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan
Penyederhanaan Birokrasi yang dilihat dari Kelayakan Ekonomi dan Keuangan Terhadap
Kinerja ASN.
" UJI – T2 "
2,16846
T-table
1,995
" PYX2 "
0,230459
Pengaruh X2 terhadap Y
39
23,05%
Kesimpulan :
Terdapat pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan Penyederhanaan
Birokrasi yang dilihat dari Kelayakan Ekonomi dan Keuangan terhadap Kinerja ASN yang
sebesar 23,05%.
H4 : PYX3 ≠ 0 → Adanya pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan
Penyederhanaan Birokrasi yang dilihat dari Kelangsungan Politik Terhadap Kinerja ASN.
" UJI – T3 "
3,19958
T-table
1,995
" PYX3 "
0,431906
Pengaruh X3 terhadap Y
43,19%
Kesimpulan :
Terdapat pengaruh yang positif dan nyata dari Implementasi Kebijakan Penyederhanaan
Birokrasi yang dilihat dari Kelayakan Politik terhadap Kinerja ASN yang sebesar 43,19%.
Berdasarkan hasil uji diatas, diperoleh Model dengan persamaan struktur dan Diagram Jalur
sebagai berikut:
𝒀 = 𝟎, 𝟏𝟒𝟐 𝑿𝟏 + 𝟎, 𝟐𝟑𝟏 𝑿𝟐 + 𝟎, 𝟒𝟑𝟐 𝑿𝟑 + 𝜺
0,644
0,142
0,662
0,721 0,231
X Y
0,687 0,432
X3
Keterangan :
X1 = Kelayakan Teknis
X2 = Kelayakan Ekonomi dan Keuangan
X3 = Kelangsungan Politik
Y = Kinerja ASN Yang Terdampak Kebijakan
40
Model persamaan dan Diagram Jalur diatas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan
nyata antara Implementasi Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi dengan Kinerja ASN
terdampak Penyetaraan Jabatan, secara simultan maupun parsial. Secara simultan, kelayakan
teknis, kelayakan ekonomi dan kelangsungan politik memberikan pengaruh sebesar 56,14%
terhadap kinerja ASN, sedangkan 66,2% dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diukur dalam
penelitian ini. Secara parsial, Variabel kelangsungan politik memberikan sumbangan terbesar
terhadap kinerja ASN terdampak.
41
kebijakan penyederhanaan birokrasi belum memberikan efisiensi dan profitabilitas bagi
pegawai khususnya aparatur sipil negara (ASN) yang terdampak terlebih lagi untuk
organisasi sehingga kebijakan dimaksud belum dapat dikatakan berhasil mencapai
kelayakan ekonomi dan keuangan, yang mana hanya memangkas saja jabatan struktural
menjadi jabatan fungsional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci yang merupakan aparatur sipil
negara yang terdampak, memberikan informasi bahwa perubahan status dari pejabat
struktur menjadi pejabat fungsional masih belum memberikan manfaat kepada individu
untuk meningkatkan tunjangan secara keuangan, juga belum mampu memberikan motivasi
kerja yang lebih baik untuk mencapai kinerja organisasi yang optimal.
Hal tersebut didukung dengan pendapat informan lainnya, bahwa dengan penerapan
kebijakan penyederhanaan birokrasi ini belum memberikan manfaat baik kepada pribadi
sebagai ASN yang terdampak terlebih lagi kepada organisasi. Lalu perubahan status dari
struktural menjadi fungsional bukannya meningkatkan motivasi kerja, namun malahan
memberikan penurunan motivasi dikarenakan sulitnya untuk menaikkan karir dalam jabatan
fungsional dan tidak sesuainya tugas pokok fungsi jabatan fungsional dengan tugas dan
fungsi sebelumnya.
C. DIMENSI KELANGSUNGAN POLITIK
Dampak implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi yang diterapkan di Provinsi
Jawa Barat dilihat dari kebijakannya sudah dapat diterima oleh aparatur sipil negara (ASN)
yang terdampak, dengan beberapa alasan: 1) Aparatur sipil negara yang terdampak
menyadari bahwa penyederhanaan birokrasi merupakan kebijakan nasional yang harus
dipatuhi oleh aparatur sipil negara di Indonesia dan mendukung atas apa yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat yang diterapkan di oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini
menunjukkan loyalitas, profesionalitas (Hupe & Hill, 2007; Tummers & Bekkers, 2014), dan
pemahaman akan tujuan kebijakan ini untuk mewujudkan birokrasi yang lincah (Adler &
Borys, 1996; Grey & Garsten, 2001; Tummers & Bekkers, 2014); 2) Rasa tanggung jawab
akan target organisasi dan merupakan bagian dari organisasinya, walaupun dengan
keadaan pekerjaan seolah-olah mengerjakan dua tugas yang sebelumnya sebagai jabatan
struktural dan juga menyesuaikan menjadi jabatan (Martela, 2022).
Didukung dengan pendapat informan lainnya dalam proses transisi ini berusaha untuk
menyesuaikan karena memang sudah menjadi aturan, oleh karena itu perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu untuk mengantisipasi implementasi kebijakan
penyederhanaan birokrasi ini, yang mungkin akan mengalami penurunan motivasi, yang
mungkin juga akan berdampak pada kinerja organisasinya mengalami sedikit penurunan
(Gould & Penley, 1984; Theobald & Nicholson-Crotty, 2005).
42
Dampak implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi yang diterapkan di Provinsi
Jawa Barat belum mampu meningkatkan kinerja aparatur sipil negara yang terdampak dan
dalam proses transisi ini aparatur sipil negara bekerja sambil menyesuaikan dengan
peralihan dari pekerjaan struktural yang masih melekat dan menjadi jabatan fungsional
yang dapat mengerjakan berbagai hal sesuai jabatan fungsional yang ditetapkannya,
misalkan menjadi analis kebijakan, sehingga dengan loyalitas, profesionalitas dan
kesadaran sebagai aparatur sipil negara dan bagian dari organisasinya, maka aparatur sipil
negara yang terdampak berusaha untuk mempertahankan dan bertanggung jawab untuk
tetap mencapai kinerja organisasi sesuai dengan target organisasi yang telah ditetapkan
dan disahkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa catatan belum mampunya implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi
ini untuk meningkatkan kinerja aparatur sipil negara yang terdampak, yaitu: 1) Belum
jelasnya bagi aparatur sipil negara yang terdampak menjadi jabatan fungsional tersebut; 2)
Permasalahan kewenangan, kewibawaan atau kelangsungan politik (Courpasson, 2000;
Olsen, 2006; Wellstead & Stedman, 2010; Wood & Waterman, 1991) terutama jikalau
berhubungan dengan mitra, dimana mitra masih berpatokan pada struktur pangkat dan
jabatan, dan tidak mengerti mengenai tugas dan fungsi sebagai jabatan fungsional; 3)
Belum tepatnya perpindahan jabatan fungsional dari tugas dan fungsi jabatan struktural
sebelumnya, atau dengan kata lain masih belum banyaknya pilihan yang tepat untuk jenis
jabatan fungsional yang sesuai.
43
dikerjakan dan jabfung yang ada belum sesuai dengan objek pekerjaan yang ada (Grey &
Garsten, 2001; Hupe & Hill, 2007; Martela, 2022).
E. DIMENSI KEMAMPUAN TEKNIS
Pengukuran kinerja ASN yang terdampak dilakukan berdasarkan Dimensi Kemampuan
(Schutte et al., 2016), dengan indikator pengukurannya adalah 1) Kemampuan untuk
menciptakan strategi organisasi yang akan digerakkan oleh sumberdaya manusia
organisasi yang ada (Courpasson, 2000; Tummers & Bekkers, 2014); 2) Kemampuan bakat
dalam pengelolaan sumberdaya manusia (Hallett & Ventresca, 2006; Lipsky, 1971;
Vodenko et al., 2019); 3) Kemampuan mengelola fungsi sumberdaya manusia yang efektif
(Courpasson, 2000; Hupe & Hill, 2007); 4) Kemampuan untuk patuh pada undang-undang,
aturan yang berlaku dan kode etik sebagai aparatur (Adler & Borys, 1996; Hallett &
Ventresca, 2006; Olsen, 2006; Tummers & Bekkers, 2014); 5) Kemampuan analitik dan
pengukuran; dan 6) kemampuan untuk menjadi sumberdaya pemberi pelayanan kepada
manajemen, dan pemangku kepentingan serta masyarakat (Grey & Garsten, 2001).
Responden menyatakan bahwa implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi belum
dapat meningkatkan kemampuan aparatur sipil negara yang terdampak. Hal ini dikarenakan
beberapa hal : 1) Pelaporan kinerja organisasi dalam pencapaian target sudah menjadi hal
yang utama, ketika perubahan struktural menjadi fungsional menjadi bias, karena berbasis
kinerja individu, yang mana karir juga terhambat karena disisi lain harus tetap mengejar
target organisasi, namun sisi lain mencari angka kredit untuk meningkatkan karirnya
sebagai aparatur dengan jabatan fungsional yang melekatnya (Hallett & Ventresca, 2006);
2) Transisi tugas dari seorang jabatan struktural menjadi jabatan fungsional mengalami
perubahan yang biasanya memverifikasi secara teknis, melakukan fungsi manajerial yang
jelas untuk menjadi komando bagi anak buahnya, dan bertanggung jawab atas kewenangan
dengan adanya tanda tangan pada dokumen, sekarang menjadi kurang terbiasa dan masih
kesulitan dalam bekerja dengan jabatan fungsional, walau tidak keberatan dan bekerja
secara team of team (Bovens & Zouridis, 2002; Evans & Rauch, 1999).
F. DIMENSI PROFESIONALITAS
Pengukuran kinerja ASN yang terdampak dilakukan berdasarkan Dimensi Profesionalitas
(Schutte et al., 2016), dengan indikator pengukurannya adalah 1) Menerapkan sikap dan
budaya kerja sesuai dengan etika bekerja sebagai seorang aparatur sipil negara (Beare,
1983); 2) Bekerja sebagai aparatur yang dapat memberikan pelayanan publik (Tummers &
Bekkers, 2014); dan 3) Menerapkan keahlian dalam bekerja yang berdampak kepada
organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Alexander et al., 2011;
Evans & Rauch, 1999; Gould & Penley, 1984).
44
Responden menjelaskan bahwa implementasi kebijakan penyederhanaan birokrasi belum
dapat meningkatkan profesionalitas sebagai seorang aparatur sipil negara. Hal ini
dikarenakan beberapa hal : 1) Transisi tugas dari seorang jabatan struktural menjadi
jabatan fungsional mengalami perubahan yang biasanya memverifikasi secara teknis,
melakukan fungsi manajerial yang jelas untuk menjadi komando bagi anak buahnya, dan
bertanggung jawab atas kewenangan dengan adanya tanda tangan pada dokumen,
sekarang menjadi kurang terbiasa dan masih kesulitan dalam bekerja dengan jabatan
fungsional, walau tidak keberatan dan bekerja secara team of team (Bovens & Zouridis,
2002; Evans & Rauch, 1999); 2) Terbiasa bekerja dengan mitra sebagai jabatan struktural,
sehingga ketika menjadi jabatan fungsional belum memahami tugas dan fungsinya dalam
bekerja; 3) Jabatan fungsional yang ada belum mampu mengakomodir objek pekerjaan
yang biasa dan masih dilakukan.
45
saat itu Penyederhanaan Birokrasi didasarkan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021, yang masih mengatur
ketentuan mengenai pelaksanaan mekanisme koordinasi dan pengelolaan kegiatan
bagi para Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan, sehingga di banyak instansi
Penyetaraan Jabatan terkesan hanya “ganti baju” dan muncul fenomena “Jabatan
Fungsional rasa Struktural”.
3. Sadar dengan kondisi yang terjadi di banyak instansi, Pemerintah Pusat kemudian
menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 7 Tahun 2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk
Penyederhanaan Birokrasi yang diundangkan pada tanggal 16 Februari 2022. Salah
satu poin krusial yang diatur dalam Peraturan Menteri tersebut yaitu mencabut
ketentuan mengenai pelaksanaan mekanisme koordinasi dan pengelolaan kegiatan
bagi para Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan. Seiring dengan itu,
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat juga menerbitkan Surat Edaran Sekretaris
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 106/OT.03/ORG tanggal 1 Agustus 2022 tentang
Pelaksanaan Mekanisme Kerja Pasca Penyederhanaan Birokrasi di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, untuk mengoptimalkan Tata Hubungan dan
Mekansime Kerja baru pasca Penyederhanaan Birokrasi di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat. Dalam Surat Edaran tersebut, diatur secara lebih
operasional bagaimana mekanisme kerja baru harus dilakukan oleh setiap unit kerja
perangkat daerah, seperti ketentuan mengenai pembentukan ruang lingkup, tata kelola,
susunan, dan tanggung jawab Tim Kerja, sampai dengan tata cara pelibatan Jabatan
Fungsional dalam Tim Kerja.
4. Terkait dengan penghasilan, pada awalnya ada kekhawatiran jika disetarakan ke dalam
Jabatan Fungsional akan mengalami penurunan penghasilan, karena meskipun
tunjangan Jabatan Fungsional yang melekat ke gaji lebih tinggi daripada tunjangan
Jabatan Struktural, namun banyak instansi yang menetapkan standar tunjangan kinerja
Jabatan Fungsional lebih rendah daripada tunjangan kinerja Jabatan Stuktural. Akan
tetapi, karena Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tidak boleh ada penurunan
penghasilan bagi Pejabat Administrasi yang disetarakan, maka 343 orang Pejabat
Administrasi yang disetarakan ke dalam Jabatan Fungsional di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat tetap diberikan penghasilan yang sama dengan Jabatan
Administrasi sebelumnya. Hal ini tercantum dalam Diktum Ketiga Keputusan Gubernur
Jawa Barat Nomor 821.2/Kep.859-BKD/2021 tanggal 31 Desember 2021 tentang
Pengangkatan 343 (tiga ratus empat puluh tiga) Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Fungsional Ahli Muda melalui Penyetaraan Jabatan di Lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat, yang berbunyi “Pegawai Negeri Sipil yang diangkat ke dalam
46
Jabatan Fungsional Ahli Muda melalui Penyetaraan Jabatan di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat, diberikan tunjangan jabatan sebesar tunjangan Jabatan
Administrasi yang diduduki sebelumnya sampai dengan ditetapkannya ketentuan
penghasilan Penyetaraan Jabatan atau berakhirnya Jabatan Fungsional hasil
Penyetaraan Jabatan karena adanya perpindahan jabatan atau kenaikan jenjang
jabatan”. Setelah itu, kemudian terbit dasar hukum penghasilan dari Pemerintah Pusat
yaitu Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2022 tentang Penghasilan Pejabat
Administrasi yang Terdampak Penataan Birokrasi yang diundangkan pada tanggal 4
April 2022. Peraturan Presiden tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Surat Edaran Sekretaris Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 111/KPG.03.04/BKD tanggal 10 Agustus 2022 tentang
Pembinaan Karier Jabatan Fungsional Pasca Penyederhanaan Birokrasi di Lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, yang salah satunya menyebutkan bahwa
Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan diberikan penghasilan sebesar
penghasilan Jabatan Administrasi yang diduduki sebelumnya, meliputi Tunjangan
Jabatan, Tambahan Penghasilan, dan Tunjangan lain yang melekat pada jabatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sampai dengan berakhirnya
Jabatan Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan karena adanya perpindahan ke dalam
Jabatan Fungsional Lain, kenaikan jenjang dalam Jabatan Fungsional, promosi atau
mutasi kepegawaian, kecuali apabila Pejabat Fungsional hasil penyetaraan jabatan
dikenakan pemberhentian pembayaran/penurunan penghasilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kepegawaian. Dengan demikian, sampai
saat ini Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan baik Fase I maupun Fase II
masih mendapatkan penghasilan sebesar Jabatan Administrasi yang diduduki
sebelumnya.
5. Untuk mengakomodir ketidaksesuaian Jabatan Fungsional yang diperoleh pada saat
Penyetaraan dengan tugas dan fungsi organisasi, kualifikasi dan/atau kompetensi yang
bersangkutan, Badan Kepegawaian Daerah telah memfasilitasi Penyesuaian Jabatan
Fungsional hasil Penyetaraan sebanyak 3 (tiga) gelombang dengan jumlah 117 orang,
yaitu gelombang pertama sebanyak 22 orang, gelombang kedua sebanyak 73 orang,
dan gelombang ketiga sebanyak 22 orang. Tidak hanya penyesuaian, Badan
Kepegawaian Daerah juga memfasilitasi pemberhentian dari Jabatan Fungsional bagi
yang merasa tidak cocok dalam Jabatan Fungsional.
6. Terkait dengan pemahaman tugas Jabatan Fungsional memang menjadi salah satu
pekerjaan rumah pasca Penyederhanaan Birokrasi, karena banyak Pejabat Fungsional
hasil Penyetaraan Jabatan yang belum memahami pelaksanaan tugas dan pembinaan
karier Jabatan Fungsional. Oleh sebab itu, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa
47
Barat telah melaksanakan beberapa kali kegiatan coaching clinic, sosialisasi, webinar
dan kegiatan lain dalam rangka mendiseminasikan berbagai ketentuan tentang
Penyederhanaan Birokrasi dan pembinaan karier Jabatan Fungsional yang diikuti oleh
para Pengelola Kepegawaian dan Pejabat Fungsional di setiap Perangkat Daerah.
Selain itu, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat juga membuka loket
layanan konsultasi Jabatan Fungsional secara luring maupun daring melalui call
center/WhatsApp. Dalam hal pelayanan kepegawaian, Badan Kepegawaian Daerah
Provinsi Jawa Barat telah memiliki platform digital yang bernama e-Fungsional untuk
memudahkan dan transparansi pelayanan kepegawaian fungsional seperti monitoring
formasi, uji kompetensi dan pengangkatan Jabatan Fungsional dengan tagline
kemudahan layanan dalam genggaman yang terintegrasi dengan aplikasi SIAP Jabar.
Dalam hal pengembangan kualifikasi, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat
mengembangkan aplikasi Pendidikan Lanjutan untuk melayani para Pejabat Fungsional
yang ingin melanjutkan pendidikan berdasarkan formasi, penyusunan Rancangan
Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang Tugas Belajar, dan Rancangan Peraturan
Gubernur Jawa Barat tentang Coaching Mentoring. Selain itu, untuk mengembangkan
kompetensi, saat ini juga sedang dirancang program sertifikasi teknis untuk
meningkatkan keahlian dan keterampilan para Pejabat Fungsional, program
pengembangan kompetensi nonklasikal, dan aplikasi pengembangan kompetensi yang
dikolaborasikan antara Badan Kepegawaian Daerah dengan Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat. Tidak hanya yang dilaksanakan oleh Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat, beberapa Perangkat Daerah yang bertugas
sebagai Unit Pembina Jabatan Fungsional juga proaktif bekerja sama dengan Instansi
Pembina masing-masing melaksanakan Bimbingan
Teknis/Sosialisasi/Pelatihan/Workshop dan sejenisnya berkaitan dengan Pembinaan
Jabatan Fungsional yang diikuti oleh para Pejabat Fungsional di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat, khususnya hasil Penyetaraan Jabatan. Adapun untuk
layanan konseling, Badan Kepegawaian Daerah memiliki platform ASMARA (Asesor
Membantu Aparatur Sipil Negara) yang dapat diakses oleh setiap pegawai secara online
melalui aplikasi SIAP Jabar.
7. Terkait dengan terhambatnya kenaikan pangkat yang banyak dikeluhkan oleh para
Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan baik Fase I maupun Fase II, Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat atas arahan dari Pemerintah Pusat masih
melaksanakan kebijakan kenaikan pangkat reguler/pilihan, sehingga pada periode
kenaikan pangkat April dan Oktober 2022 para Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan
Jabatan yang telah memenuhi persyaratan kenaikan pangkat pada pangkat puncak
Jabatan Administrasi sebelumnya atau kenaikan pangkat karena penyesuaian
48
pendidikan, masih mendapatkan kenaikan pangkat secara reguler (tanpa mensyaratkan
perolehan Angka Kredit Kumulatif minimal dan/atau kenaikan jenjang Jabatan
Fungsional terlebih dahulu). Adapun untuk periode kenaikan pangkat April dan Oktober
2023, berdasarkan hasil konsultasi yang kami peroleh bahwa bagi Pejabat Fungsional
hasil Penyetaraan yang diangkat dan dilantik setelah 31 Desember 2021 masih dapat
dipertimbangkan untuk diberikan kenaikan pangkat secara reguler satu kali pada
pangkat puncak dalam Jabatan Administrasinya atau karena penyesuaian pendidikan,
namun untuk kepastiannya saat ini masih menunggu kebijakan secara tertulis dari
Pemerintah Pusat. Selain itu, jika sebelumnya Kenaikan Pangkat Jabatan Fungsional
harus didahului dengan Kenaikan Jenjang Jabatan, maka saat ini dalam hal tidak
tersedia lowongan kebutuhan untuk satu jenjang jabatan yang lebih tinggi, Pejabat
Fungsional yang telah memenuhi persyaratan kenaikan jenjang jabatan, mulai periode
kenaikan pangkat April 2023 dapat diberikan kesempatan untuk naik pangkat terlebih
dahulu sebanyak satu kali (sepanjang belum mencapai pangkat puncak berdasarkan
jenjang pendidikannya) tanpa harus didahului dengan kenaikan jenjang jabatan
(Kenaikan Pangkat dapat mendahului Kenaikan Jenjang Jabatan).
8. Untuk memudahkan para Pejabat Fungsional dalam melaporkan kinerja, Badan
Kepegawaian Daerah telah menghimpun dan memasukkan butir-butir kegiatan Jabatan
Fungsional ke dalam bank aktivitas pada aplikasi TRK. Meskipun demikian, dalam
perjalanannya terutama pasca Penyetaraan Jabatan Fase II, banyak ditemukan
ketidaksesuaian antara butir-butir kegiatan Jabatan Fungsional dengan tugas dan
fungsi unit kerja ataupun penugasan yang diberikan oleh pimpinan, sehingga
menyulitkan para Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan Jabatan untuk mengumpulkan
Angka Kredit bahkan berdampak pada terjadinya demotivasi. Hal ini terjadi karena tidak
adanya Jabatan Fungsional teknis yang lebih relevan untuk diterapkan pada unit kerja
yang bersangkutan, serta karena lebih kompleksnya tugas dan fungsi yang harus
dilaksanakan oleh unit kerja dibandingkan dengan butir-butir kegiatan Jabatan
Fungsionalnya. Oleh sebab itu, saat ini Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa
Barat sedang mempersiapkan perubahan penilaian kinerja Jabatan Fungsional dari
semula berbasis butir kegiatan yang cenderung templat menjadi berbasis Sasaran
Kinerja Pegawai yang cenderung dinamis (diperjanjikan melalui dialog kinerja atasan-
bawahan berdasarkan cascading atau pohon kinerja sesuai dengan kebutuhan
organisasi). Dengan mekanisme baru ini, tidak akan ada lagi Pejabat Fungsional yang
tidak berkinerja atau bekerja tetapi tidak berkorelasi dan tidak berkontribusi terhadap
sasaran strategis organisasi dan/atau sasaran kinerja atasannya. Selain itu, tidak akan
ada lagi Pejabat Fungsional yang pilih-pilih pekerjaan karena hanya mencari pekerjaan
yang menghasilkan Angka Kredit dan sebaliknya mengabaikan pekerjaan yang tidak
49
bernilai Angka Kredit (mbalelo dan asyik dengan dunianya sendiri). Kedepannya,
seluruh pekerjaan yang ditugaskan kepada Pejabat Fungsional harus dilaksanakan
secara maksimal karena capaian kinerja yang tertuang dalam SKP akan dikonversi
menjadi perolehan Angka Kredit, sehingga atasan yang memberikan tugas maupun
Pejabat Fungsional yang melaksanakan tugas tidak ada yang merasa dirugikan. Untuk
menuju ke arah sana, saat inipun Badan Kepegawaian Daerah telah menitikberatkan
penilaian kinerja Jabatan Fungsional berdasarkan output dibandingkan dengan aktivitas
dengan komposisi bobot 70 berbanding 30 (70 persen dari capaian Indikator Kinerja
Individu (output) dan 30 persen dari capaian aktivitas harian (process), penerapan
Interoperabilitas Kinerja Organisasi ke Kinerja Individu (e-SAKIP dan TRK), serta
penilaian Employee of The Month (EoTM) skema baru dimana Jabatan Fungsional
sudah disandingkan dengan kelompok jabatan lain (Jabatan Administrasi/Jabatan
Pimpinan Tinggi) yang setara berdasarkan rumpun perangkat daerah. Selain itu,
mekanisme penilaian kinerja kedepan juga akan lebih diperkuat pada aspek kolaborasi
dan pencapaian sasaran strategis organisasi, dimana hasil penilaian kinerja individu
akan sangat dipengaruhi oleh hasil penilaian kinerja organisasi, sehingga tidak ada lagi
nilai kinerja individu yang baik-baik saja sementara target kinerja organisasinya tidak
tercapai.
9. Terkait dengan pengembangan karier, saat ini masing-masing Unit Pembina Jabatan
Fungsional di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sedang melakukan
review formasi dan pembentukan Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional
binaannya masing-masing. Hal ini penting agar para Pejabat Fungsional memiliki
peluang karier yang jelas secara vertikal (untuk bisa naik jenjang jabatan lebih tinggi).
Selain pengembangan karier secara vertikal, berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa
Barat Nomor 88 Tahun 2022 tentang Pola Karier Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, setiap Pejabat Fungsional memiliki
kesempatan untuk mengembangkan kariernya secara horizontal (misalnya berpindah
ke Jabatan Fungsional lain yang setara atau ditugaskan ke dalam Jabatan Administrasi
yang setara). Bahkan, dimungkinkan bagi para Pejabat Fungsional yang mempunyai
kompetensi manajerial, sosial kultural dan teknis yang baik untuk mengembangkan
karier secara diagonal (ditugaskan ke dalam Jabatan Administrasi yang lebih tinggi atau
Jabatan Pimpinan Tinggi atau berpindah ke dalam Jabatan Fungsional lain yang
jenjangnya lebih tinggi). Sebagai pilot project dari Pola Karier Horizontal dan Diagonal
ini telah dilaksanakan kepada 27 orang Pejabat Fungsional hasil Penyetaraan. Oleh
sebab itu, Badan Kepegawaian Daerah terus memperkuat penerapan kebijakan double
assessment bagi para PNS yang ingin menduduki Jabatan Fungsional dan/atau ingin
50
naik jenjang jabatan yaitu berdasarkan posisi kotak manajemen talenta dan nilai Job
Person Match berdasarkan hasil asesmen.
10. Sementara itu, untuk mendorong motivasi kerja sekaligus apresiasi terhadap para
Pejabat Fungsional yang memiliki raport kinerja baik, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat tengah melaksanakan uji coba kebijakan Mekanisme Kerja Dinamis,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 102 Tahun 2022
tentang Waktu Kerja dan Lokasi Kerja Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat yang memberikan keleluasaan bagi para ASN untuk
bekerja secara fleksibel, sehingga Jawa Barat juga menjadi pilot project nasional.
11. Terkait dengan perubahan struktur organisasi pasca Penyederhanaan Birokrasi, telah
ditetapkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2022 tentang Kedudukan
dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat, namun saat ini belum
diundangkan. Selain itu, draf Rancangan Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang
Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah juga sudah diajukan oleh Biro Organisasi dan saat
ini sedang dalam proses harmonisasi oleh Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi
Jawa Barat, sehingga pengukuhan Pejabat Administrasi berdasarkan struktur
organisasi yang baru belum dapat dilaksanakan.
12. Melalui berbagai upaya mitigasi dan rencana aksi yang telah, sedang dan akan
dilakukan, diharapkan kebijakan Penyederhanaan Birokrasi berjalan kondusif dan
berdampak positif terhadap kinerja organisasi, khususnya untuk mendorong
optimalisasi peran Jabatan Fungsional sebagai katalisator pembangunan dan juga
fundamen kelompok rencana suksesi untuk mengisi jabatan kritikal atau jabatan target
di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat khususnya maupun di lingkungan
Instansi Lain.
51
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Perubahan status dari struktural menjadi fungsional berpotensi terjadinya demotivasi
dikarenakan sulitnya untuk meningkatkan karir dalam jabatan fungsional karena
ketidaksesuaian tugas yang dilakukan saat ini dengan tugas pokok fungsi jabatan
fungsional. Selain itu tidak ada arahan dari pimpinan untuk melaksanakan tusi sebagai
Jabatan Fungsional. Walaupun demikian, mereka masih memiliki tanggung jawab dan
loyalitas untuk mengerjakan pekerjaan dari jabatan struktural sebelumnya.
2. Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi belum memberikan efisiensi dan profitabilitas bagi
ASN yang terdampak. Perubahan status dari struktural menjadi fungsional tidak
memberikan solusi atas penyelesaian beban dan tugas dalam memberikan pelayanan,
malah menambah permasalahan karena masih harus mengerjakan pekerjaan sebagai
struktural, disisi lain mengalami kesulitan untuk mengumpulkan angka kredit karena
tugas keseharian mereka belum dapat ditransformasikan menjadi angka kredit.
Perubahan status dari pejabat struktur menjadi pejabat fungsional masih
membingungkan, dikarenakan kesulitan untuk mentransformasikan tugas dan fungsinya
sehari-hari sebagai pejabat fungsional. Selain itu, Instansi maupun Unit Pembina Jafung
belum memberikan pembinaan yang optimal kepada ASN yang terdampak dan belum
ada anggaran yang memadai untuk mendukung peningkatan kemampuan ASN yang
terdampak .
3. Para ASN yang terdampak tetap mendapatkan take home pay yang hamper sama
dengan jabatan sebelumnya, hal ini sesuai amanat presiden.
5.2. REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan diatas, hasil penelitian mengusulkan rekomendasi yang harus
dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi di Provinsi
Jawa Barat, yaitu :
52
2. Mendorong untuk segera menetapkan Rancangan Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang
Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah
3. Mengindentifikasi jabatan fungsional (jabatan masa depan) yang lebih sesuai dengan tugas
dan fungsi sesuai karakteristik organisasi publiknya dan sesuai dengan visi pembangunan
dalam RPJMD
4. Mendorong percepatan penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di
semua sektor untuk mendukung tata kerja dan proses bisnis yang lebih agile
5. Mereview arsitektur kinerja Perangkat Daerah di Provinsi Jawa Barat pasca
penyederhanaan birokrasi
6. Dengan adanya kebijakan penyetaraan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional,
maka perlu dilakukan penataan kembali inventory asset Pemerintah Provinsi Jawa Barat
7. Mendorong penerapan penerapan waktu bekerja dengan flexible working arragement
(FWA) untuk mendukung tata kerja dan proses bisnis yang lebih agile
8. Mengoptimalkan peran unit pembina jabatan fungsional dalam melaksanakan sosialisasi,
coaching clinic bagi ASN yang terdampak kebijakan penyederhanan birokrasi, mereview
formasi untuk masing-masing jabatan fungsional, melakukan pembinaan kompetensi dan
substansi secara berkala bagi ASN yang terdampak kebijakan penyederhanaan birokrasi
dan melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap ASN terdampak penyetaraan. Hal ini
juga berdampak pada nilai Indeks Profesionalisme ASN
9. Mengoptimalkan peran BPSDM sebagai tempat uji kompetensi dan sertifikasi keahlian
teknis di dalam kerangka corporate university (saat ini baru menyelenggarakan sertifikasi
keahlian untuk lurah, camat, kepala sekolah, satpol PP).
10. Meningkatkan pemahaman para pimpinan di masing-masing perangkat daerah mengenai
tata hubungan kerja dan tugas, pokok dan fungsi jabatan fungsional dengan jabatan
struktural di perangkat daerahnya
11. Mendorong masing-masing perangkat daerah untuk mengalokasikan anggaran
pengembangan kompetensi bekerjasama dengan BPSDM
12. Pembentukan asosiasi bagi setiap jabatan fungsional tingkat Provinsi.
13. Menyusun Peraturan Gubernur tentang Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah sesuai
dengan amanat peraturan perundang-undangan lainnya, sebagai contoh adanya Peraturan
Daerah No 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang memberikan
kewenangan kepada Bapenda untuk melaksanakan fungsi PPKD bidang pendapatan, dan
bukan hanya melakukan pemungutan pajak saja. Hal ini tentu harus tercermin dalam
Peraturan Gubernur tentang Tugas dan Fungsi Bapenda.
5.2.2. REKOMENDASI UNTUK PEMERINTAH PUSAT/INSTANSI PEMBINA
JABATAN FUNGSIONAL
53
1. Mengajukan permohonan kepada Kementerian PANRB untuk membuka moratorium
pengusulan jenis jabatan fungsional baru agar lebih sesuai dengan tupoksi organisasi
2. Mengajukan permohonan kepada Instansi Pembina Jabatan Fungsional untuk memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengajukan formasi jabatan fungsional
sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing perangkat daerah.
3. Mendorong Instansi Pembina Jabatan Fungsional untuk segera membuat kurikulum
pengembangan kompetensi bagi ASN yang terdampak dan mengalokasikan jadwal lebih
banyak (untuk jenis bimtek yang harus dilaksanakan di kantor instansi pembina) atau
memperbanyak kolaborasi pelaksanaan in house training di BPSDM Provinsi Jawa Barat
dengan narasumber dari instansi terkait
4. Mendorong Pemerintah Pusat agar menetapkan kebijakan yang sinergi dan selaras antar
instansi pembina kepegawaian dengan instansi pembinan jabatan fungsional
54
DAFTAR PUSTAKA
Brosseau, D., Ebrahim, S., Handscomb, C., & Thaker, S. (2019). The journey to an agile
organization, McKinsey & Company, retrived from
https://www.mckinsey.com/businessfunctions/people-and-organizational-
performance/our-insights/the-journey-to-an-agileorganization
Ernst, J. & Schleiter, A.J. (2019). Organizational identity struggles and reconstruction during
organizational change: Narratives as symbolic, emotional and practical glue.
Organization Studies, 42(6), 891-910.
Galbraith, J., Downey, D., & Kates, A. (2002). Designing dynamic Organizations: Hands-on
guide for leaders at all levels. American Management Association.
Robbins, P. Stephen, (2016). Organizational Behavior, McGrawHill
Adler, P. S., & Borys, B. (1996). Two types of bureaucracy: Enabling and coercive.
Administrative Science Quarterly, 41(1), 61–89. https://doi.org/10.2307/2393986
Alexander, D., Lewis, J. M., & Considine, M. (2011). How politicians and bureaucrats network:
A comparison across governments. Public Administration, 89(4), 1274–1292.
https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.2010.01890.x
Beare, H. (1983). DURING THE 1980s AND ITS EFFECT ON SCHOOLS Article information :
Journal of Educational Administration, 21(2), 149–168.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/eb009875
Bovens, M., & Zouridis, S. (2002). From street-level to system-level bureaucracies: How
information and communication technology is transforming administrative discretion and
constitutional control. Public Administration Review, 62(2), 174–184.
https://doi.org/10.1111/0033-3352.00168
Courpasson, D. (2000). Managerial Strategies of Domination. Power in Soft Bureaucracies.
Organization Studies, 21(1), 141–161. https://doi.org/10.1177/0170840600211001
Evans, P., & Rauch, J. E. (1999). Bureaucracy and growth: A cross-national analysis of the
effects of “weberian” state structures on economic growth. American Sociological
Review, 64(5), 748–765. https://doi.org/10.2307/2657374
Gould, S., & Penley, L. E. (1984). Career strategies and salary progression: A study of their
relationships in a municipal bureaucracy. Organizational Behavior and Human
Performance, 34(2), 244–265. https://doi.org/10.1016/0030-5073(84)90006-0
Grey, C., & Garsten, C. (2001). Trust, control and post-bureaucracy. Organization Studies,
22(2), 229–250. https://doi.org/10.1177/0170840601222003
Hallett, T., & Ventresca, M. J. (2006). Inhabited institutions: Social interactions and
organizational forms in Gouldner’s Patterns of Industrial Bureaucracy. Theory and
Society, 35(2), 213–236. https://doi.org/10.1007/s11186-006-9003-z
Hupe, P., & Hill, M. (2007). Street-level bureaucracy and public accountability. Public
Administration, 85(2), 279–299. https://doi.org/10.1111/j.1467-9299.2007.00650.x
Lipsky, M. (1971). Street-Level Bureaucracy and the Analysis of Urban Reform. Urban Affairs
Review, 6(4), 391–409. https://doi.org/10.1177/107808747100600401
Martela, F. (2022). Managers matter less than we think: how can organizations function without
any middle management? Journal of Organization Design, 0123456789.
https://doi.org/10.1007/s41469-022-00133-7
Olsen, J. P. (2006). Maybe it is time to rediscover bureaucracy. Journal of Public Administration
Research and Theory, 16(1), 1–24. https://doi.org/10.1093/jopart/mui027
Patton, C. V, Sawicki, D. S., & Clark, J. J. (2016). Basic Methods of Policy Analysis and Planning
Third Edition. In Routledge Taylor & Francis Group.
Schutte, N., Barkhuizen, N., & van der Sluis, L. (2016). The development of a human resource
management (HRM) professional competence model: A pilot study. Journal of
Psychology in Africa, 26(3), 230–236. https://doi.org/10.1080/14330237.2016.1185902
55
Theobald, N. A., & Nicholson-Crotty, S. (2005). The many faces of span of control:
Organizational structure across multiple goals. Administration and Society, 36(6), 648–
660. https://doi.org/10.1177/0095399704270585
Tummers, L., & Bekkers, V. (2014). Policy Implementation, Street-level Bureaucracy, and the
Importance of Discretion. Public Management Review, 16(4), 527–547.
https://doi.org/10.1080/14719037.2013.841978
Vodenko, K. V., Belasheva, I. V., Zalevskaya, A. A., Polshakova, I. N., & Tleptserisheva, S. A.
(2019). The state management of development of the professional and qualification
potential in Russian higher education. On the Horizon, 27(3–4), 166–172.
https://doi.org/10.1108/OTH-07-2019-0047
Wellstead, A., & Stedman, R. (2010). Policy capacity and incapacity in Canada’s federal
government: The intersection of policy analysis and street-level bureaucracy. Public
Management Review, 12(6), 893–910. https://doi.org/10.1080/14719037.2010.488863
Wood, B. D., & Waterman, R. W. (1991). The Dynamics of Political Control of the Bureaucracy.
American Political Science Review, 85(3), 801–828. https://doi.org/10.2307/1963851
56
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
Dalam rangka penelitian yang sedang dilakukan tentang “Strategi Antisipasi Dampak
Pasca Implementasi Kebijakan Penyederhanaan Birokrasi: Studi pada Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) dan pada Badan
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat”. Mohon kesediannya untuk meluangkan waktu
guna mengisi kuesioner ini. Adapun identitas Bapak/Ibu/Saudara sebagai responden dalam
penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya.
Hormat Tim Peneliti.
DATA RESPONDEN
Umur :
Jabatan Lama :
Jabatan Hasil Penyetaraan :
Pangkat/Golongan :
Bidang Kerja :
Perangkat Daerah :
Mohon dapat memberikan tanda (X) pada kolom yang disediakan, sesuai yang
Bapak/Ibu/Saudara rasakan, berkaitan dengan implementasi kebijakan dan kinerja
Bapak/Ibu/Saudara penyederhanaan birokrasi yang telah dilakukan. Pemberian jawaban
menggunakan skala Semantic Differential, dengan jawaban, yaitu: Angka 1
menggambarkan bahwa implementasi/kinerja dinilai paling rendah dan seterusnya
hingga Angka 7 yang berarti implementasinya dinilai paling tinggi.
57
JAWABAN
NO PERNYATAAN
1 2 3 4 5 6 7
Saya mendukung kebijakan penyederhanaan birokrasi
5
yang diterapkan di tempat saya bekerja
JAWABAN
NO PERNYATAAN
1 2 3 4 5 6 7
Pasca kebijakan penyederhanaan birokrasi, saya
8 memiliki kemampuan manajerial yang mendukung
pelaksanaan tugas jabatan baru
58
JAWABAN
NO PERNYATAAN
1 2 3 4 5 6 7
Pasca kebijakan penyederhanaan birokrasi, saya
17 memberikan hasil kerja yang berkualitas demi
kemajuan organisasi dan pelayanan publik
59