Anda di halaman 1dari 7

KONTAMINASI MIKOTOKSIN PADA BUAH SEGAR

DAN PRODUK OLAHANNYA SERTA


PENANGGULANGANNYA

Miskiyah, Christina Winarti, dan Wisnu Broto

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
Telp. (0251) 8321762, 8350920 Faks. (0251) 8321762, E-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 08 Desember 2009; Diterima: 30 April 2010

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara tropis yang memungkinkan aneka tanaman buah tumbuh dan berproduksi. Penerapan
teknologi produksi dan penanganan pascapanen yang kurang memadai akan mengakibatkan inkonsistensi mutu
buah yang dihasilkan. Kontaminasi mikotoksin merupakan salah satu masalah pascapanen produk pertanian di
Indonesia. Penelitian mengenai kontaminasi mikotoksin pada komoditas buah di Indonesia belum banyak
diungkapkan, namun penelitian sejenis sudah banyak dipublikasikan di luar negeri, terutama kontaminasi mikotoksin
pada aneka buah subtropis. Beberapa jenis mikotoksin yang umumnya mencemari aneka buah subtropis dan produk
olahannya adalah patulin, aflatoksin, okratoksin, dan alternariol. Genus kapang yang teridentifikasi pada buah dan
berpotensi menghasilkan mikotoksin antara lain adalah Fusarium sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., dan Alternaria
sp. Penanganan pascapanen buah merupakan salah satu titik kritis terjadinya infeksi kapang penghasil mikotoksin.
Penanganan buah seperti pemanenan yang tepat, penanganan pascapanen yang baik, pembuangan kotoran, dan
pencucian dapat menurunkan tingkat kontaminan pada buah segar. Pada buah olahan seperti sari buah, untuk
menurunkan kontaminan dapat dilakukan dengan penghilangan bagian buah yang berkapang, perlakuan enzim, dan
penjernihan.
Kata kunci: Buah-buahan, penanganan pascapanen, kontaminasi, mikotoksin

ABSTRACT
Mycotoxin contaminations on fresh and processed fruits and its control

Indonesia is a tropical country which is suitable for fruit plants to grow and produce fruits. Inadequate application
of production and postharvest handling technologies on fruits resulted in inconsistency in quality. Mycotoxin
contamination is one of crucial problems in agricultural postharvest handling in Indonesia. Research on mycotoxin
contamination on fruits has not yet conducted in Indonesia, but that information can be found in international
research journals. There are some types of mycotoxins which usually exist on fruits including patulin, aflatoxin,
ochratoxin, and alternariol. These mycotoxins are produced by Fusarium sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., and
Alternaria sp. Proper fruit handling such as harvesting, good handling practices, cleaning, and washing fresh fruits
can decrease contamination level of mycotoxins. Meanwhile for fruit juice, decreasing mycotoxin contamination
can be conducted with trimming followed by pressing using filtration, enzyme treatment, and fining (purification).
Keywords: Fruits, postharvest handling, contamination, mycotoxins

I ndonesia merupakan penghasil buah-


buahan yang sangat kaya dan beragam
jenisnya. Produksi dan luas pertanaman
disebabkan oleh tingginya kontaminasi
residu pestisida, logam berat, mikroba, dan
sebagainya.
kapang (fungi, jamur, cendawan). Senyawa
tersebut dapat mengganggu kesehatan
manusia dan hewan dengan berbagai
buah-buahan cenderung meningkat. Iklim tropis dengan tingkat kelem- bentuk perubahan klinis dan patologis
Namun, di balik potensinya yang sangat bapan yang tinggi menjadi faktor penye- (BSN 2009). Mikotoksin perlu dikendalikan
besar sebagai negara tropis yang me- bab berkembangnya kapang yang mence- melalui penanganan prapanen sampai
mungkinkan beragam jenis buah dapat mari aneka buah Indonesia, terutama pascapanen.
tumbuh dan berkembang, masalah mutu kapang yang menghasilkan mikotoksin. Kapang penghasil mikotoksin dapat
dan keamanannya masih perlu mendapat Mikotoksin merupakan senyawa organik dengan mudah menginfeksi produk
perhatian. Rendahnya mutu buah terutama beracun hasil metabolisme sekunder dari pangan, termasuk aneka buah. Pena-

Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 79


nganan pascapanen buah yang tidak PRODUKSI, EKSPOR, buah agar lebih mencermati pola produksi
memadai mengakibatkan kerusakan fisik, DAN IMPOR BUAH dan penanganan produk.
misalnya memar akibat benturan atau jatuh Komoditas buah unggulan yang
INDONESIA
selama transportasi. Buah memar atau dicanangkan untuk dikembangkan oleh
yang mengalami kerusakan fisik lainnya Direktorat Jenderal Hortikultura meliputi
Produksi buah-buahan Indonesia cen-
akan mudah terinfeksi kapang, khususnya pisang, mangga, manggis, jeruk, dan
derung meningkat, yaitu dari 13.551.435
kapang penghasil mikotoksin, sehingga durian (Direktorat Jenderal Hortikultura
ton pada tahun 2003 menjadi 17.116.130
buah menjadi terkontaminasi mikotoksin 2005; Kementerian Pertanian 2009). Se-
ton pada tahun 2007. Penerimaan negara
dan cepat rusak. mentara dari sisi penelitian dan pengem-
yang ditunjukkan dengan nilai Produk
Buah mempunyai karakteristik yang bangan sebagai sarana pendukung
Domestik Bruto (PDB) dari aneka buah
berbeda dengan produk serealia, yaitu program Ditjen Hortikultura, komoditas
mencapai Rp31.694,38 miliar pada tahun
mudah rusak (perishable) karena mem- buah dipilah menjadi buah prioritas
2005 (Departemen Pertanian 2009).
punyai kadar air tinggi (7095%), tekstur (pisang, jeruk, manggis, dan mangga),
Kontribusi terbesar pada PDB diberikan
lembut, dan daya simpannya hanya buah unggulan (durian, pepaya, salak,
oleh pisang dan berturut-turut diikuti
beberapa hari (FAO 1981). Sementara nenas, apel, dan anggur), dan buah
oleh jeruk dan mangga. Sementara untuk
serealia mempunyai kadar air rendah prospektif (semangka, melon, markisa,
ekspor-impor buah secara umum me-
(1020%) dan bertekstur keras sehingga jambu, kesemek, rambutan, alpokat, sawo,
nunjukkan neraca negatif, yaitu nilai dan
secara alami mempunyai daya simpan biwa, belimbing, sirsak, nangka, dan
volume impor lebih besar dibandingkan
sampai beberapa tahun. Kehilangan duku). Pemilihan jenis buah yang akan
dengan nilai dan volume ekspornya (Tabel
pascapanen (losses) pada produk horti- dikembangkan tersebut juga dikemuka-
1). Buah yang diimpor tercatat sebagai
kultura berkisar antara 15 50%, antara lain kan Poerwanto (2005) dengan catatan
buah lainnya yang kemungkinan tidak
karena buah busuk akibat infeksi bakteri sebagian besar jenis buah tersebut masih
diproduksi di dalam negeri. Data Tabel 1
maupun kapang (FAO 1981). Kim (2005) diproduksi secara tradisional hampir
tersebut cukup merisaukan karena neraca
melaporkan tingkat kehilangan aneka buah tanpa inovasi teknologi.
ekspor-impor negatif juga diperlihatkan
di Korea berkisar antara 10–25%, meski
oleh jeruk, melon, pepaya, dan durian Penerapan teknologi produksi dan
penanganan pascapanen telah dilakukan
yang dapat diproduksi dengan baik di penanganan pascapanen buah yang
dengan menggunakan fasilitas modern.
Indonesia. Hal tersebut menyiratkan tidak memadai akan mengakibatkan
Dengan asumsi tingkat kehilangan
rendahnya daya saing buah Indonesia di inkonsistensi mutu dengan tingkat
sebesar 25% maka kerugian ekonomi
pasar domestik maupun internasional. kehilangan yang tinggi. FAO (1981)
Indonesia dari devisa ekspor aneka buah
Pemahaman mengenai standar mutu menengarai, masalah utama penanganan
ditaksir sekitar US$58.966.861. Identifikasi
internasional dan negara tujuan ekspor pascapanen buah antara lain adalah: 1)
penyebab kerusakan, tingkat kerusakan,
juga menjadi salah satu faktor yang waktu pemanenan yang tidak tepat, 2)
tahapan kritis terjadinya kerusakan, dan
ditengarai berpengaruh besar terhadap over-packing dan cara mengemas yang
tindakan pengendaliannya diperlukan
daya saing. Fenomena tersebut mengi- tidak tepat, 3) kerusakan fisik akibat
untuk mengurangi kehilangan pasca-
syaratkan agar pelaku usaha agribisnis benturan dan penanganan yang kasar,
panen.
Dengan mempertimbangkan risiko
keamanan dan ekonomi akibat kontaminasi
mikotoksin pada berbagai produk pangan,
Badan Standardisasi Nasional (BSN)
Tabel 1. Nilai dan volume ekspor dan impor buah-buahan Indonesia tahun
merasa perlu untuk menetapkan batas
2008.
maksimal kandungan mikotoksin (afla-
toksin, deoksinivalenol, fumonisin, Ekspor Impor
okratoksin, dan patulin) dalam produk Jenis buah
Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg)
pangan yang diproduksi dan diedarkan
di Indonesia (BSN 2009). Jenis mikotoksin Nenas 204.552.168 269.663.512 1.995.258 2.013.741
Manggis 5.832.534 9.465.665 2.341 1.973
yang sering terdapat pada aneka buah
Pisang 988.914 1.969.871 65.501 55.632
antara lain adalah patulin, aflatoksin, Mangga 1.645.948 1.908.001 603.661 968.529
okratoksin, dan alternariol. Namun, Jeruk 16.610.614 1.443.210 124.058.906 143.661.056
pengetahuan yang mendalam mengenai Melon 53.823 39.433 254.169 101.269
mikotoksin, khususnya pada buah, Jambu biji 123.190 54.434 78.207 126.411
Pepaya 567 479 96.040 163.175
masih terbatas. Oleh karena itu, paparan
Alpokat 143.721 118.966 36.826 34.507
mengenai kapang yang mencemari Rambutan 421.034 724.766 Tidak ada data Tidak ada data
aneka buah dan produk olahannya di Langsat/duku 10.292 44.585 72 90
Indonesia diharapkan dapat memperluas Durian 84.130 32.615 30.829.557 24.679.376
cakrawala dan mendorong berbagai Semangka 471.082 1.144.187 224.015 390.226
Buah lainnya 18.929.427 37.279.186 315.941.078 329.766.733
pihak untuk berperan aktif dalam me-
ningkatkan mutu dan keamanan aneka Total 249.867.444 323.888.910 474.185.631 501.962.718
buah tropis asal Indonesia, termasuk Sumber: Departemen Pertanian (2009, diolah).
produk olahannya.

80 Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010


dan 4) perubahan kimia selama proses
penyimpanan. Faktor tersebut meng- Tabel 2. Genus kapang yang teridentifikasi pada buah dari pasar tradisional
akibatkan rendahnya status jaminan dan swalayan.
keamanan aneka buah di Indonesia yang
ditandai dengan tingkat kontaminasi yang Jenis buah Jenis kapang
tinggi. Penelitian mengenai kontaminan Apel Fusarium sp., Aspergillus terreus, Penicillium sp., Rhizopus sp.
mikotoksin pada aneka buah belum banyak Salak Fusarium sp., A. candidus
dilakukan di Indonesia. Namun, peneliti- Alpokat Fusarium sp., Penicillium sp., Rhizopus sp.
an sejenis sudah banyak dilakukan di luar Anggur Fusarium sp., Curvullaria sp., Aspergillus sp.
negeri, yang ditunjukkan dengan banyak- Rhizopus sp.
Pisang Fusarium sp., Curvullaria sp., Aspergillus sp.,
nya hasil penelitian yang dipublikasikan Alternaria sp., Mucor sp.
(Burda 1992; Gokmen dan Acar 1998; Kelengkeng A. candidus, Rhizopus sp.
Rhychlik dan Schieberle 1999; Baretta et Duku A. candidus, Fusarium sp.
al. 2000; Yurdun et al. 2001; Drusch dan Sawo A. candidus, Fusarium sp., Rhizopus sp.
Ragab 2003; Jackson et al. 2003; Moake Belimbing Fusarium sp., Curvullaria sp., Aspergillus sp.
Homodendrum sp.
et al. 2005). Jeruk Fusarium sp., Curvullaria sp., Aspergillus sp.
Homodendrum sp., Clandosporium, Alternaria sp.
Semangka Fusarium sp., Rhizopus sp.
Sumber: Aminah dan Supraptini (2003, diolah).
KONTAMINASI KAPANG
PADA BUAH
Tabel 3. Mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.
Kapang yang menginfeksi buah biasanya
berasal dari spora yang menempel pada Kapang Jenis mikotoksin
kulit buah. Infeksi kapang dapat terjadi
Fusarium sp. Dioksinivalenol, T2 toksin, zearalenon, moniliformin,
saat buah belum dipanen maupun setelah fumonisin
dipanen. Proses infeksi akan dipercepat Aspergillus terreus Citreoviridin, terreic acid, patulin
oleh kerusakan buah karena jatuh, per- Aspergillus sp. Aflatoksin, asam kojat, asam aspergilat, asam
lakuan mekanis, dan infestasi serangga sikolopiazonat, patulin, stereoviridin, fumigatin, okratoksin,
sterigmatosistin, viriditoksin, sitrinin, palmotoksin,
selama penanganan pascapanen sehingga
rubratoksin, luteoskirin, dekumbin, viridikatin
kapang mampu menginfeksi sampai ke Penicillium sp. Patulin, okratoksin, sitrinin, luteoskirin, tremorgenik,
dalam daging buah. Menurut FAO (1981), rubratoksin, mikofenolat, griseofulvin, fenitren, asam
pemetikan pada ujung tangkai buah atau sekalonat
menyisakan sedikit tangkai merupakan Alternaria sp. Asam tenuazonik
salah satu cara pemanenan yang seder- Sumber: Rahayu (2006).
hana, tetapi mampu mencegah infeksi
kapang. Namun, cacat maupun luka pada
buah akibat jatuh sering kali tidak dapat
dihindari sehingga menjadi jalan masuk
MIKOTOKSIN UTAMA Pada umumnya, mikotoksin bersifat
bagi infestasi serangga dan kapang.
kumulatif sehingga efeknya tidak dapat
Data mengenai cemaran kapang pada PADA BUAH
dirasakan secara cepat, tetapi harus
buah di Indonesia masih terbatas. Namun,
melalui analisis laboratorium terlebih
hasil penelitian Aminah dan Supraptini Mikotoksin merupakan racun yang di-
dahulu (Maryam 2002). Dijelaskan pula
(2003) menunjukkan bahwa aneka buah keluarkan oleh kapang dan bersifat
bahwa indikasi adanya cemaran miko-
rentan terhadap infeksi kapang (Tabel mengganggu kesehatan. Fox dan Cameron
toksin dapat diketahui melalui adanya
2). (1989) dalam Maryam (2002) menyebutkan
infestasi kapang. Namun, pertumbuhan
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa bahwa mikotoksin merupakan metabolit
kapang tidak selalu identik dengan
di antara genus kapang yang teriden- sekunder yang dihasilkan oleh spesies
produksi mikotoksin karena berkaitan
tifikasi pada buah, terdapat beberapa kapang tertentu selama pertumbuhannya
dengan kondisi tertentu agar kapang
genus yang berpotensi menghasilkan pada bahan pangan maupun pakan.
mampu menghasilkan mikotoksin.
mikotoksin, antara lain Fusarium sp., Konsumsi produk pangan yang ter-
Aspergillus sp., Penicillium sp., dan kontaminasi mikotoksin dapat menyebab-
Alternaria sp. Jenis mikotoksin yang kan terjadinya mikotoksikosis, yaitu Patulin
diduga dihasilkan oleh genus kapang gangguan kesehatan pada manusia dan
tersebut disajikan pada Tabel 3. Kapang hewan dengan berbagai bentuk peru- Patulin (4-hydroxy-4H-furo{3,2c}pyran-
umumnya teridentifikasi pada buah, yang bahan klinis dan patologis, misalnya dapat 2(6H)-one) merupakan racun metabolit
ditandai dengan adanya noda warna menyebabkan penyakit kanker hati, yang diproduksi oleh sejumlah kapang
hitam, sedangkan pada buah yang bebas degenerasi hati, demam, pembengkakan (Penicillium, Aspergillus, dan Bysso-
noda tidak terdeteksi adanya jamur otak, ginjal, dan gangguan syaraf (Rahayu chlamys) yang biasa terdapat pada buah
(Aminah dan Supraptini 2003). 2006). dan produk olahannya, terutama apel, dan

Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 81


juga ditemukan pada tomat, pisang, nenas, busuk mencapai kedalaman 12 cm dari mengingat Aspergillus sp. sebagai
peach, aprikot, dan plum (Drusch dan bagian yang terinfeksi. produsennya banyak terdapat dan men-
Ragab 2003). Patulin dihasilkan oleh Patulin pada produk olahan berbasis cemari pangan dan produk pangan di
sekitar 60 spesies dari 30 genus jamur. buah apel, seperti makanan bayi, puree, Indonesia, serta racun yang dihasilkan
Kapang penghasil patulin yang utama jus, dan cuka juga teridentifikasi mengan- bersifat karsinogenik, mutagenik, terato-
adalah Penicillium expansum. Infeksi P. dung patulin dari 5 g hingga 733 g/l genik, dan imunosupresif bagi manusia.
expansum terutama disebabkan luka (Burda 1992; Gokmen dan Acar 1998; Hasil penelitian aflatoksin yang terus
akibat serangga dan pengangkutan yang Rhychlik dan Schieberle 1999; Baretta berkembang sejak ditemukannya empat
menyebabkan masuknya kapang melalui et al. 2000; Drusch dan Ragab 2003; dekade silam memperlihatkan bahwa
sistem vaskuler dan lentisel. Jackson et al. 2003; Yurdun et al. 2001; produksi aflatoksin merupakan hasil
Penelitian mengenai kontaminasi Moake et al. 2005). Codex Committee on interaksi antara genotipe/strain dan
patulin sudah banyak dilakukan di Amerika Food Additives and Contaminants lingkungan tempat tumbuh Aspergillus
Serikat, Kanada, Inggris, Australia, New (CCFAC) kini tengah mengembangkan sp.
Zealand, Afrika Selatan, Turki, Brasil, Italia, peraturan baru mengenai kandungan Saat ini dikenal enam jenis aflatoksin,
dan Perancis (Moake et al. 2005). Baretta mikotoksin (terutama patulin) pada apel, yaitu B1, B2, G1, G2, M1, dan M2.
et al. (2000) mendapati patulin hingga jus apel, dan produk yang mengandung Aflatoksin M1 dan M2 merupakan
113.000 g/kg pada apel yang memper- apel. WHO merekomendasikan level metabolit aflatoksin B1 dan B2 yang
lihatkan gejala pembusukan. Sementara patulin maksimal dalam jus apel 50 g/l. terhidroksilasi dan dapat dijumpai dalam
Hasan (2000) yang menguji bagian apel Beberapa negara bahkan menetapkan susu dan olahan susu yang diperoleh dari
yang busuk/berkapang maupun bagian standar yang lebih ketat, yaitu 25–35 g/l. hewan yang mengonsumsi pakan yang
sisanya menunjukkan bahwa masing- Selain itu, Joint Food and Agricultural tercemar aflatoksin. Urutan tingkat
masing bagian apel tersebut positif Organization-WHO Expert Committee toksisitas berdasarkan kajian efek afla-
mengandung patulin berturut-turut 1.000 menetapkan maksimal daily intake patulin toksin terhadap sel hati secara in vitro
g dan 300 g/kg. Gimeno (2005) men- sebesar 0,40 g/kg berat badan (WHO adalah B1 > G1 > G2 > B2. Adapun karak-
deteksi kandungan patulin pada berbagai 1995). Di Indonesia, BSN (2009) menetap- teristik enam jenis aflatoksin tersebut
varietas apel Portugis antara 3–80,50 g/ kan batas maksimal kandungan patulin 50 disajikan pada Tabel 4.
kg. Data hasil penelitian mengenai kadar g/kg (50 ppb) untuk sari buah apel, buah Aflatoksin B1 merupakan jenis
patulin di berbagai negara juga menunjuk- apel dalam kaleng, nektar apel, dan aflatoksin yang dominan pada jagung
kan kecenderungan yang sama, yaitu con- minuman beralkohol berbasis apel. Untuk (tongkol dan pipilan 23–367,4 ppb) dan
toh buah yang diuji positif mengandung puree apel, kandungan patulin ditetapkan produk jagung (maizena, popcorn, dan
patulin yang bervariasi dari < 10% sampai maksimal 25 ppb, dan MP-ASI berbasis krupuk 10–40 ppb) yang diperoleh dari
100% . apel 10 ppb. Penetapan nilai patulin pada petani, pengepul, pedagang pengumpul,
SNI tersebut masih bersifat adoptif dari pedagang besar, dan pasar swalayan
Buah apel segar dari varietas Manalagi standar negara lain yang dianggap lebih (Dharmaputra et al. 1995; Dharmaputra
dan Fuji teridentifikasi tercemar kapang longgar, sedangkan kondisi tingkat dan Putri 1997). Hariyadi dan Setiastuty
penghasil patulin, antara lain Fusarium kontaminasi yang sesungguhnya belum (1994) hanya mendapati cemaran afla-
sp., Penicillium sp., dan Aspergillus niger dapat dipastikan. toksin B1 pada kacang tanah mentah yang
(Winarti et al. 2009). Hasil analisis kadar diperoleh dari pedagang kecil, baik selama
patulin pada apel segar impor maupun musim hujan maupun musim kemarau,
domestik (apel Malang) dari berbagai Aflatoksin dengan kisaran 2,50–5 ppb. Sementara
lokasi dan tingkat pengambilan contoh, Bahri dan Maryam (2003) mencatat
yaitu petani, pedagang, dan pasar swa- Aflatoksin merupakan salah satu dari lima cemaran aflatoksin pada jagung, kacang
layan menunjukkan bahwa beberapa mikotoksin yang harus diwaspadai tanah, kacang atom, bumbu pecel, daging
sampel mengandung kadar patulin mele-
bihi ambang batas yang ditetapkan WHO,
yaitu 50 g/l. Untuk apel impor yang
diperoleh dari tingkat pedagang, beberapa
sampel juga mengandung patulin melebihi Tabel 4. Karakteristik aflatoksin B1, B2, G1,G2, M1, dan M2.
ambang batas WHO. Pada sampel buah
Jenis Bobot Titik leleh LD501
yang sudah mulai membusuk, kadar Formula Fluoresen
aflatoksin molekul (°C) (mg/kg)
patulinnya sangat tinggi, mencapai 1,689
ppm (Winarti et al. 2009). B1 C17H12O6 312 268269 Biru < 0,40
B2 C17H14O6 314 286289 Biru 1,6960
Sommer et al. dalam Drusch dan Ragab
G1 C17H12O7 328 244246 Hijau 0,7841,200
(2003) menyebutkan bahwa kehadiran G2 C17H14O7 330 229231 Hijau 3,4500
spesies penghasil patulin pada buah tidak M1 C17H12O7 328 299 Biru-violet 0,3320
selalu menghasilkan patulin. Beberapa M2 C17H14O7 330 293 Violet 1,2400
faktor seperti suhu inkubasi, ukuran luka, 1
LD50 untuk anak itik adalah takaran atau konsentrasi suatu senyawa yang dapat mematikan
dan jenis substrat berperan penting dalam separuh (50%) populasi itik.
produksi patulin. Dijelaskan pula bahwa Sumber: Moreau (1979).
difusi patulin pada buah apel yang rusak/

82 Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010


sapi, hati sapi, daging broiler, hati broiler, karsinogenik (Maryam 2002). Manusia kronis dan akut (Lawley 2006), yaitu
produk telur, pakan ayam, pakan itik, jamu, dapat terpapar okratoksin melalui menghambat aktivitas antitumor, antiviral,
dan beras berkisar antara 0,33 ppb (pada konsumsi bahan pangan yang terkon- antibakteri, dan mutagenik (Zhou dan
hati sapi) dan 119 ppb (jagung). Hasil taminasi Penicillium dan Aspergillus, Qiang 2008). Namun, selain patulin, WHO
pengujian aflatoksin yang dilakukan Pusat serta produk daging dari ternak yang maupun FAO belum menetapkan batas
Pengujian Obat dan Makanan Nasional pakannya terkontaminasi okratoksin (Hald minimal kandungan mikotoksin lain yang
(PPOMN) pada tahun 2001 terhadap ka- 1989). Kapang penghasil okratoksin A mengontaminasi buah segar maupun
cang tanah tanpa kulit yang diambil dari antara lain adalah Aspergillus alliaceus, olahannya sehingga data mengenai kon-
16 tempat penjualan di 10 kota besar mem- A. melleus, A. ostianus, A. petrakii, A. taminan tersebut terbatas. Hal ini disebab-
perlihatkan bahwa aflatoksin B1 terdeteksi sclerotiorum, A. sulphureus, A. fumigatus, kan masih terbatasnya data mengenai
pada semua contoh, aflatoksin B2 pada A. versicolor, A. carbonarius, A. niger, A. kasus kejadiannya pada bahan pangan
13 contoh, aflatoksin G1 dan G2 masing- ochraceus, P. verrucosum (Drush dan dan paparan pada manusia (Lawley
masing pada dua contoh. Kadar aflatoksin Ragab 2003), dan P. viridicatum (Kuiper 2006).
B1 dalam kacang tanah tanpa kulit berkisar dan Goodman 1996 dalam Maryam
antara 0,562.341,09 µg/kg. Perbedaan 2002).
yang mencolok tersebut kemungkinan Okratoksin lebih sering terdeteksi
disebabkan oleh kondisi dan lama penyim- pada anggur merah daripada anggur rose PENANGANAN DAN
panan yang bervariasi. Hal serupa juga dan putih (Belli et al. 2002). Okratoksin A PENANGGULANGAN
terjadi pada hasil pengujian aflatoksin dikenal paling toksik dan paling banyak MIKOTOKSIN SERTA
pada kacang tanah berkulit (Rahayu dan ditemukan di alam. Okratoksin A terdeteksi PROSPEKNYA
Sparingga 2006). pada 45% contoh anggur putih, serta
Aflatoksin ditemukan pada aneka masing-masing 66% dan 71% pada anggur Penanganan pascapanen buah merupakan
buah, terutama fig fruits dan jeruk (citrus rose dan merah. Dijelaskan pula bahwa salah satu titik kritis terjadinya infeksi
fruits). Jenis aflatoksin yang ditemukan akumulasi OA berkaitan dengan suhu kapang penghasil mikotoksin. Oleh karena
pada jeruk orange antara lain adalah yang tinggi yang memicu pertumbuhan itu, penanganan buah yang tepat diha-
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, demikian spesies Aspergillus penghasil OA lebih rapkan mampu menurunkan infeksi
juga pada jusnya (Drusch dan Ragab tinggi melampaui Penicillium. Selain itu, kapang. Proses pemanenan buah meng-
2003). Pada jus dan kulit jeruk grapefruit okratoksin juga banyak ditemukan pada gunakan tangan dan paparan sinar
juga ditemukan empat jenis aflatoksin kopi, daging babi, dan daging ayam matahari efektif menurunkan tingkat
tersebut (Alderman dalam Drusch dan (Maryam 2002; Yani 2008). Pada komoditas kontaminasi mikotoksin pada figs (Ozay
Ragab 2003). Aspergillus flavus tumbuh kopi, negara pengimpor mensyaratkan et al. 1995). FAO (1981) merekomen-
pada jeruk orange setelah kulitnya mulai kadar OA yang sangat rendah, yaitu dasikan pemanenan yang terorganisasi
rusak diserang mikroorganisme maupun maksimum 4 ppb atau bahkan bebas OA. dengan baik untuk mengurangi keru-
serangga. Dijelaskan pula bahwa kulit Alternaria merupakan genus kapang sakan fisik akibat pemanenan. Aminah
jeruk grapefruit lebih rentan serangan yang secara alami menginfeksi buah, baik dan Supraptini (2003) berpendapat
Aspergillus daripada jusnya. Namun, sebelum maupun setelah dipanen, dan bahwa penanganan buah dapat dilaku-
penelitian yang dilakukan oleh Winarti menyebabkan bercak pada buah (Lawley kan dengan membuang kotoran yang
et.al (2006) menunjukkan bahwa miko- 2006; Zhou dan Qiang 2008), busuk pada tertinggal. Selanjutnya buah dicuci,
toksin jenis aflatoksin tidak terdeteksi biji-bijian dan penyakit pada tanaman ditiriskan, dikeringanginkan, dilap de-
pada buah jeruk segar maupun sari (Zhou dan Qiang 2008), yang pada kondisi ngan kertas tisu, serta diolesi minyak
buahnya, produksi lokal maupun impor. yang cocok mampu menghasilkan toksin. sayuran/krim untuk menutup pori-pori
Hasil identifikasi kapang pada buah jeruk Kapang ini bersama dengan Fusarium sehingga menghambat masuknya spora
siam Pontianak menunjukkan adanya spp. sering disebut sebagai kapang la- kapang pada buah.
kontaminan kapang Trichoderma sp., pangan karena umumnya menyerang Pengurangan kontaminan patulin
Fusarium sp., dan Mucor sp., sedangkan tanaman saat masih tumbuh sampai panen hingga 99% pada sari buah dapat diper-
A. flavus dan A. parasiticus yang (Ahmad 2009). Kapang tersebut sering oleh dengan pengupasan kulit buah
merupakan kapang penghasil aflatoksin menginfeksi serealia, biji bunga matahari, segarnya (Drusch dan Ragab 2003). Hasan
tidak teridentifikasi. minyak zaitun, buah-buahan (Drush dan (2000) menyatakan bahwa salah satu
Ragab 2003; Lawley 2006), sayuran, serta tahap penting untuk mencegah cemaran
produk olahan apel dan tomat (Harwig et patulin pada sari buah apel adalah meng-
Okratoksin (OA) dan al. 1979; Hsieh 1989). Jenis kapang lain hilangkan bagian buah yang berjamur
Alternariol Toksin yang mampu menghasilkan mikotoksin sebelum diolah. Pengepresan yang diikuti
adalah A. alternata, yaitu A. tenuissima, dengan sentrifugasi mampu menurunkan
Okratoksin A (OA) mengandung 7- dan A. solani (Drush dan Ragab 2003; kadar patulin hingga 89%, sedangkan jika
carboxy- 5-chloro-8-hydro xyi-3,4- Lawley 2006 ). Jenis toksin yang dihasil- menggunakan filtrasi, perlakuan enzim,
d yh id ro -3 R- metth ylisocou ma rine , kan antara lain adalah asam tenuazonik, dan penjernihan, kadar patulin berturut-
mempunyai aktivitas imunosupresif, alternaliol, dan alternaliol metil ester turut menurun 70, 73, dan 77%.
menghambat glukoneogenesis pada (Hsieh 1989). Dijelaskan pula bahwa Detoksifikasi aflatoksin dapat dilaku-
ginjal (Steyn dan Vleggaar 1989), nepro- asam tenuazonic menyebabkan penyakit kan dengan beberapa cara, di antaranya
pati, tumor ginjal (Hsieh 1989), dan Onyalai, menimbulkan pengaruh yang secara fisik dan kimia (Scott 1989). Amo-

Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 83


nia/formaldehid dan sodium hipoklorit pascapanen yang tepat pada aneka buah KESIMPULAN
sering digunakan untuk menghilangkan dan produk olahannya penting di-
aflatoksin pada kacang tanah dan biji lakukan agar produk dalam negeri dapat Aneka produk buah segar maupun olahan
kapas. Pada skala laboratorium, detoksi- bersaing dengan produk impor. berpotensi untuk dikembangkan di
fikasi dilakukan dengan pemanasan meng- Seiring makin tingginya kesadaran Indonesia dan menghasilkan devisa.
gunakan microwave, degradasi secara konsumen mengenai keamanan produk Namun, tanpa penanganan yang baik,
fisik, dan pemanasan selama proses. pangan, tuntutan akan tersedianya buah dan produk olahannya akan ter-
Salah satu metode detoksifikasi okra- pangan yang bebas kontaminan pun infeksi kapang penghasil mikotoksin yang
toksin (OA) adalah dengan penambahan makin besar. Tingginya kasus keracunan akan menimbulkan kerugian ekonomi
NH3 0,10; 1; dan 2% (Hald 1989). Semen- yang disebabkan konsumsi pangan dan yang cukup besar.
tara itu, Madsen et al. dalam Hald (1989), makin banyaknya kasus gangguan kese- Genus kapang yang teridentifikasi
menganjurkan detoksifikasi OA dengan hatan yang disebabkan kontaminan pada aneka buah dan berpotensi meng-
tiga cara, yaitu: 1) perlakuan dengan mengharuskan dilakukannya penelitian hasilkan mikotoksin antara lain adalah
penambahan NH3 5% selama 96 jam pada yang berkaitan dengan keamanan dan Fusarium sp., Aspergillus sp., Penicillium
suhu 70°C, 2) pemanasan pada suhu proteksi pangan, termasuk penelitian sp., dan Alternaria sp. Jenis mikotoksin
450°C, dan untuk biji-bijian mencapai tentang mikotoksin. Namun, penelitian yang biasa terdapat pada aneka buah
105°C dengan penambahan NaOH 0,50%, kontaminasi mikotoksin pada buah- antara lain adalah patulin, aflatoksin,
dan 3) autoklaf pada suhu 132°C selama buahan lokal maupun impor di Indonesia okratoksin, dan alternariol. Kontaminasi
30 menit. masih terbatas. Data mengenai konta- mikotoksin dapat terjadi pada tahap
Penanganan pascapanen menjadi minan termasuk mikotoksin sangat prapanen maupun pascapanen, serta
tahapan paling penting dalam kaitan- berguna sebagai bukti ilmiah dalam selama pengolahan. Penanganan pasca-
nya dengan kontaminan mikotoksin, penentuan standar mutu yang berkaitan panen buah segar yang tepat akan
khususnya pada buah. FAO (1981) dengan kebijakan sanitari dan pitosani- menurunkan tingkat kontaminasi, seperti
menyebutkan bahwa di negara berkem- tari (SPS), selain untuk melindungi pemanenan yang tepat, penanganan
bang, konsumen umumnya lebih meng- konsumen dalam kaitannya dengan pascapanen yang baik, pembuangan
utamakan harga yang murah daripada keamanan buah yang dikonsumsi. Data kotoran, dan pencucian. Pada sari buah,
kualitas. Persepsi tersebut tidak boleh yang cukup juga diperlukan untuk pencegahan kontaminasi mikotoksin
terus berlanjut terkait dengan berlakunya menyusun pengujian risiko kontaminan dapat dilakukan dengan membuang
perdagangan bebas ASEAN-Cina. Per- pangan di Indonesia sehingga dapat bagian buah yang berkapang sebelum
baikan kualitas melalui penanganan melindungi konsumen. diolah, perlakuan enzim, dan penjernihan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R.Z. 2009. Cemaran kapang pada pakan South Wales. J. Food Protection: 47: 637 Gimeno, A. 2005. Patulin and citrinin in
dan pengendaliannya. Jurnal Penelitian dan 646. Portuguese apples with rotten spots. J. Food
Pengembangan Pertanian 28(1): 15–22. Protection 68(7): 17.
Departemen Pertanian. 2009. Volume Ekspor,
Aminah, N.S. dan Supraptini. 2003. Jamur pada Nilai Ekspor, Volume Impor dan Nilai Impor Gokmen, V. and J. Acar. 1998. Incidence of
buah-buahan, sayuran, kaki lalat dan ling- Komoditas Buah-buahan di Indonesia. www. patulin in apple juice concentrates produced
kungan di pasar tradisional dan swalayan. hortikultura.deptan.go.id. [29 Januari 2010]. in Turkey. J. Chromatogr. A 815: 99
Jurnal Ekologi Kesehatan 2(3): 299305. 10 2.
Dharmaputra, O.S., I. Retnowati, Sunjaya, dan
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2009. Batas S. Ambarwati. 1995. Populasi A. flavus dan Hald, B. 1989. Human exposure to ochratoxin
kandungan mikotoksin dalam pangan. SNI kandungan aflatoxin pada jagung di tingkat A. In S. Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno
7385. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. petani dan pedagang di Provinsi Lampung. (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. A
24 hlm. Prosiding Kongres Nasional XII dan Seminar Collections on Invited Paper Presented at
Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, the Seventh International IUPAC Sympo-
Bahri, S. dan R. Maryam. 2003. Mikotoksin Yogyakarta, 6–8 September 1993. sium on Mycotoxins and Phycotoxins,
berbahaya dan pengaruhnya terhadap ke- Tokyo, 1618 August 1988. Elsevier,
sehatan hewan dan manusia. Wartazoa 13(3): Dharmaputra, O.S. dan Putri. 1997. Populasi
Amsterdam.
129142. Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin
pada Jagung, Pakan Ayam, dan Produk Hariyadi, Y. dan E. Setiastuty. 1994. Karak-
Baretta, B.A., C.L. Gaiaschi, and P. Restan. 2000. Olahan Jagung. BIOTROP, Bogor. 8 hlm. teristik Aflatoksin B1, B2, G1, G2 dalam
Patulin in apple-gasie foods: Occurrence and Kacang Tanah dan Bahan Pangan yang
safety evaluations. Food Addit. Contam. 5: Direktorat Jenderal Hortikultura. 2005. Rencana
Menggunakan Kacang Tanah. Pusat Studi
399406. Strategis 20052009. www.hortikultura.
Kebijaksanaan Pangan dan Gizi, Lembaga
deptan.go.id. [29 Januari 2010].
Belli, N., S. Marin, V. Sanchis, and A.J. Ramos. Penelitian Institut Pertanian Bogor.
2002. Ochratoxin A (OTA) in wines, musts Drusch, S. and Ragab. 2003. Mycotoxins in fruits,
Harwig, J., P.M. Scott, D.G. Stoltz, and B.J.
and grape juices: Occurrence, regulations and fruit juices and dried fruits: Review. J. Food
Blanchfield. 1979. Toxins of mold from
methods of analysis. Food Sci. Technol. Int. Protection 66: 15141527.
decaying tomato fruit. Appl. Environ.
8(6): 325335. FAO. 1981. Food Loss Prevention in Perishable Microbiol. 38(2): 267274.
Burda, K. 1992. Incidence of patulin, apple, pear, Crops: II. Postharvest losses in perishable
crops. FAO and UNEP, Rome, Italy. www.fao. Hasan, H.A.H. 2000. Patulin and aflatoxins in
and mixed fruits products marketed in New brown rot cession of apple fruits and their
org. [2 October 2008].

84 Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010


regulation. World J. Microbiol. Biotechnol. Moreau, C. 1979. Moulds, Toxins and Foods. (Eds.). Mycotoxins and Phycotoxins’88. A
16: 607612. John Wiley & Sons, Inc. New York. Collections on Invited Paper Presented at
the Seventh International IUPAC Sympo-
Hsieh, D.P.H. 1989. Potential human health Ozay, G., N. Aran, and M. Pala. 1995. Influence
sium on Mycotoxins and Phycotoxins,
hazards of mycotoxins. In S. Natori, K. of harvesting and drying technologies on
Tokyo, 1618 August 1988. Elsevier,
Hashimoto, and Y. Ueno, (Eds.). Mycotoxins mycoflora and mycotoxin contamination
Amsterdam.
and Phycotoxins’88. A Collections on of figs. Nahrung 39(2): 156165.
Invited Paper Presented at the Seventh WHO. 1995. Evaluation of certain food additives
Poerwanto, R. 2005. Menarik investasi pem-
International IUPAC Symposium on Myco- and contaminants. Forty-fourth Report of
bangunan kawasan sentra produksi buah
toxins and Phycotoxins, Tokyo, 1618 the Joint FAO-WHO Expert Committee on
berbasis mutu. Prosiding Sinkronisasi Pelak-
August 1988. Elsevier, Amsterdam. Food Additives. WHO, Geneva. Technical
sanaan Pengembangan Hortikultura. Direk-
Report Series 859: 3638.
Jackson, L.S., T. Beacham-Bowden, S.E. Keller, torat Jenderal Hortikultura, Jakarta. hlm. 14
C. Adhikar, K.T. Taylor, S.Si. Chirtel, and 20. Winarti, C., S.J. Munarso, W. Broto, Suismono,
R.I. Merker. 2003. Apple quality, storage, Murtiningsih, Misgiyarta, Miskiyah, N.
Rahayu, W.P. 2006. Mikotoksin dan Mikotoksis:
and washing treatments affect patulin levels Rahmawati, Widaningrum, H. Mulyana, L.
Mikrobiologi keamanan pangan. Depar-
in apple cider. J. Food Protection 66(4): Sukarno; Danuarsa, dan Wahyudiono. 2006.
temen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut
618624. Identifikasi Kontaminan dan Perbaikan
Pertanian Bogor.
Mutu Produk Buah-Buahan. Laporan Akhir
Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Ren-
Rahayu, W.P. dan R.A. Sparingga. 2006. Kajian Tahun. Balai Besar Penelitian dan Pengem-
cana Strategis Kementerian Pertanian Tahun
risiko aflatoksin dan penyiapan regulasinya. bangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
20102014. Kementerian Pertanian, Ja-
Workshop Aflatoksin Forum Indonesia ke-
karta. Winarti, C., Miskiyah, dan S.J. Munarso. 2009.
2, Surabaya.
Kontaminasi patulin pada buah dan produk
Kim, J.G. 2005. Environmentally friendly post-
Rhychlik, M. and P. Schieberle. 1999. Quan- olahan apel. Buletin Pascapanen Pertanian
harvest handling and processing technology
tification of mycotoxins patulin by a stable 5(1): 3338.
for agricultural product differentiation to
isotope dilution assay. J. Agric. Food Chem.
increase farmers income in Korea. Seminar Yani, A. 2008. Infeksi cendawan pada biji kopi
47: 37493755.
on AT&T, Jakarta, 28 November–1 Decem- selama proses pengolahan primer (Studi kasus
ber 2005. Scott, P.M. 1989. Control of mycotoxins-An di Provinsi Bengkulu). Jurnal Akta Agrosia
overview. In S. Natori, K. Hashimoto, and 11(1): 8795.
Lawley, R. 2006. Alternaria Toxins. www.
Y. Ueno (Eds.). Mycotoxins and Phyco-
mycotoxinas.com.br.13. [12 June 2006]. Yurdun, T., G.Z. Omurtag, and O. Ersay. 2001.
toxins’88. A Collections on Invited Paper
Incidence of patulin in apple juices marketed
Maryam, R. 2002. Mewaspadai bahaya kon- Presented at the Seventh International
in Turkey. J. Food Protection 11: 1851
taminasi mikotoksin pada makanan. Tugas IUPAC Symposium on Mycotoxins and
1853.
Kuliah Falsafah Sains, Institut Pertanian Phycotoxins, Tokyo, 1618 August 1988.
Bogor. Elsevier, Amsterdam. Zhou, B. and S. Qiang. 2008. Environmental,
genetic, and cellular toxicity of tenuazonic
Moake, M.M., O.I. Paddilla-Zahour, and R.W. Steyn, P.S. and R. Vleggaar. 1989. Recent
acid isolated from Alternaria alternata.
Warobo. 2005. Comprehensive review of advances on the chemistry of mycotoxins.
African J. Biotechnol. 7(8): 11511156.
patulin control methods in foods. Com- In S. Natori, K. Hashimoto, and Y. Ueno
prehensive Reviews in Food Science and Food
Safety 1: 821.

Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 85

Anda mungkin juga menyukai