b. Praktek high touch dalam pendidikan c. Analisis pelaksanaan (a dan b ) di sekolah (dengan menggunakan BMB3) Proses pembelajaran harus mampu mengembangkan segenap potensi peserta didik. Pengembangan itu mencakup keseluruhan hakekat dan dimensi kemanusian serta pancadaya yang dimiliki peserta didik melalui teraplikasinya kewibawaan ( high-touch) dalam setiap proses pembelajaran yang diselenggarakan. Sebaliknya, pendidik yang kurang memahami peserta didik akan menyebabkan terjadi praktik-praktik pembelajaran yang kurang memberikan kemungkinan terhadap pengembangan potensi peserta didik. Akibatnya potensi peserta didik akan terabaikan, tersia-siakan dan bahkan mungkin terdholimi. Sebab kewibawaan pendidik yang meliputi unsur pengakuan, kasih sayang dan kelembutan, pengarahan, penguatan dan tindakan tegas yang mendidik serta keteladanan tidak teraplikasikan dalam proses pembelajaran. Di sekolah, disinyalir masih banyak pendidik yang belum memahami dan mengetahui hakikat peserta didik secara baik dan benar. Akibatnya dalam proses pembelajaran, belum sepenuhnya terlihat adanya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran dalam usaha pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik yang mencangkup berbagai dimensi kemanusian dan pancadaya mereka. Kenyataan ini dapat terlihat pada adanya perlakuan-perlakuan yang kurang mendidik dari pendidik terhadap peserta didik, antara lain, membentak di dapan umum, melabeli dengan gelar yang buruk. Hasil penelitian yang dilakukan Robinson (1986) menyimpulkan bahwa pemberian label kepada peserta didik di sekolah memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan atau kegagalan peserta didik. Label yang buruk akan menyebabkan peserta didik identik dengan label yang diberikan. Sedangkan label yang baik akan meningkatkan harapan besar bagi peserta didik untuk meraih keberhasilan. Pendidik dituntut tanggung jawabnya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara professional, yaitu praktik pendidikan yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan pendidikan. Esensi permasalahan peningkatan profesionalisme pendidikan menurut Winarno (2005) adalah masalah akuntabilitas pendidik. Ia melontarkan sinisme bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan oleh pendidik di sekolah tidak didasari oleh ilmu pendidikan atau “pentip” (pendidikan-tanpa-ilmu pendidikan) Pendidikan secara leluasa “mementip” peserta didik dalam proses pembelajaran tanpa dasar ilmu pendidikan yang kuat atau bahkan tidak dimiliki sama sekali. Praktik pendidikan demikian ini, tentu saja tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik, dan mungkin bisa merapuhkan dan bahkan mematikannya. “Pentip” dapat menimbulkan brbagai permasalahan belajar dan permasalahan umum lainnya (Ida Umami, 2004). Kenyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Prayitno., dkk (2005) yang mengungkapkan banyaknya permasalahan yang dialami peserta didik terkait dengan proses pembelajaran yang kurang efektif disebabkan pembelajaran yang kurang mengindahkan kewibawaan tetapi terfokus pada aspek kewiyataan. Kelas yang efektif ditunjang iklim sekolah yang memfasilitasi tugas pendidik menjadikan semua ruang kelas sebagai effevtive classrooms. Mohd Ansyar (2005:1) juga mengemukakan bahwa diperlukannya adanya perbaikan yang mendasar pada proses pembelajaran di dalam kelas (classroom change) sesuai konsep pembelajaran yang baik. Sehingga banyak kelas harus berfungsi sebagai basis pembelajaran dari pada sebagai arena pembelajaran. Untuk itu diperlukannya srtategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran terdapat dua pilar pembelajaran yaitu kewibawaan dan kewiyataan (Anidar, 2016). 1. Kewibawaan Antara pendidik dan peserta didik dalam berinteraksi tentunya menbangun hubungan interpersonal melalui praktik kewibawaan pendidik, diantarnya yaitu unsur-unsur : a) Pengakuan dan penerimaan pendidik terhadap peserta didik secara tulus dan terbuka. b) Ketulusan rasa kasih dan kesejukan sikap yang ditampilkan pendidik. c) Memberikan penguatan kepada peserta didik atas hal positif yang telah dilakukan. d) Memberikan TTM (tindakan tegas pendidik) tanpa harus/ selalu memberi hukuman atas tindakan peserta didik yang kurang tepat. e) Pemberian teladan dan arahan kepada peserta didik dengan persisten. 2. Kewiyataan Dalam situasi hubungan kewibawaan social tersebut, pendidik mendirikan pilar selanjutnya, yaitu kewiyataan yang dimunculkan oleh pendidik melalui keahliannya tentang : a) Menguasai materi yang diajarkan, dalam hal ini materi dalam konseling. b) Mampu mengunakan metode pembelajaran, dalam hal ini metode konseling, beragam jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling, melalui beragam model, pendekatan dan teknik-tekniknya. c) Mampu memanfaatkan media/alat bantu pembelajaran, dalam hal ini alat bantu proses konseling. d) Penyiapan atau pengaturan lingkungan pembelajaran, dalam hal ini tempat dilaksankannya kegiatan konseling. e) Penilaian hasil pembelajaran, dalam hal ini penilaian terhadap hasil pelayanan konseling. Lebih jauh, pilar kewibawaan dan kewiyataan dilengkapi dengan strategi pembelajaran yang bersifat transformatif ( bukan sekedar transaksional), yang dikenakan terhadap peserta didik. Strategi pembelajaran yang dimaksud itu diselenggarakan dengan mengaktifkan dinamika BMB3, yaitu : B = Berfikir M = Merasa B = Bersikap B = Bertindak B = Bertanggung jawab Sehingga Meaningfull Learning (pembelajaran bermakna) akan terwujud melalui dinamika BMB3 yang diaktifkan oleh pendidik. Pengaktifan BMB3 ini berlangsung aktual dan kontestual, jelas dan terkait, kontiyu, dan konsisten sesuai dengan tingkat kemampuan (perkembangan ) peserta didik. Materi pembelajaran merupakan muatan proses pembelajaran. Selanjutnya aktivitas BMB3 peserta didik bermuatan materi pembelajaran yang menjadi pokok bahasan selama pembelajaran berlangsung. Lebih dari itu, aktivitas BMB3 dengan materi pembelajaran tersebut dapat berlanjut pasca proses pembelajaran. Materi pembelajaran pada umumnya meliputi unsure-unsur WPKNS ( wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap) dengan substansi AIPTEKSBUD ( agama, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya ). Sedangkan Upaya menbangun dinamika BMB3 pada konselor, idealnya memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (Syukur & Zahri, 2019). Berkaitan dengan kompetensi kepribadian dan professional tentu dapat dilaksanakan melalui pilar kewibawaan dan kewiyataan yang perlu dilakukan konselor dengan strategi kreatif agar tidak hanya pada tataran diketahui dan dihafal namun dapat terinternalisasi dalam diri pribadi konselor. Stategi yang dapat dilakukan konselor adalah : a. Penghadiran Role Model Sosok konselor professional yang mampu menginternalisasi dimensi BMB3 dalam diri pribadi ketika melakukan kegiatan konseling, dapat dihadirkan sebagai role model. Keteladanan adalah penempilan positif dan normatif konselor yang diterima dan ditiru oleh konseli. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil pengaruh social dari orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai internalization. ( Praytno, 2008 : 125) b. Pelibatan Kearifan Lokal Indonesia merupakan Negara yang kaya akan aneka ragam budaya dan kearifan local. Potensi keragaman tersebut menjadi kekuatan tentang dimanfaatkanya kearifan lokal dalam membangun dinamika BMB3 pada konselor. Pelibatan kearifan lokal tersebut dapat berbentuk pemaknaan pepatah daerah, lagu daerah, dan aspek lain yang mengandung filosofi luhur dan terkait dengan upaya membangun dinamika BMB3. Misalnya , pada pepatah jawa terdapat ungkapan “ajining diri gumantung ono ing lathi”, yang memiliki makna bahwa “ harga diri seseorang dapat dilihat dari cara dia berbicara”. Selain itu, pepatah dari suku bugis yang berbunyi” aju maluruemi riala parewa bola (hanya kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah)’. Makna pepatah dari jawa dan Bugis tersebut memiliki penuh arti. Pepatah dari jawa mengindikasikan bahwa sebagai seorang konselor harus memiliki nilai kepribadian berupa nilai kesopanan, dalam bertutur kata kaitannya dengan bersikap dan bertindak (dalam BMB3), konselor mampu mengucapkan perkataan yang sopan dan menyejukkan hati bagi konseli. Sementara itu, pepatah dari bugis mengisyaratkan bahwa dalam menjadi pemimin, hanyalah orang yang memiliki akhlak lurus atau akhlak penuh kebenaran dan dapat berprilaku sesuai norma yang ada. Makna tersebut berkaitan dengan nilai professional yaitu nilai kebenaran. Konselor yang merupakan pemimpin dalam proses konseling, yang mengatur dan memfasilitasi kegiatan konseling sebagai kegiatan yang membantu konseli, maka perlu memiliki nilai kebenaran dalam berfikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab terkait pengembangan dinamika BMB3.