Disusun Oleh
112019164
Pembimbing
Jumlah kasus penyakit TB paru pada anak mengalami perkembangan pesat terutama pada
tahun 2014. Untuk menangani permasalahan TB anak yang sudah banyak terjadi di berbagai
negara maka sudah dilakukan gebrakan dengan menerbitkan berbagai panduan tingkat global
yang dikeluarkan WHO dan sudah mulai diadopsi oleh berbagai negara di dunia termasuk
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa TB paru telah
didiagnosis pada kelompok umur < 1 tahun sebesar 2‰, kelompok umur 1-4 tahun sebesar
4‰, kelompok umur 5-14 tahun sebesar 0,30‰, sedangkan pada kelompok umur orang
dewasa lainnya juga menunjukkan prevalensi yang sama sebesar 3‰. Hasil penelitian
Riskesdas tahun 2013 juga memperlihatkan bahwa terjadi suatu masalah kesehatan terbaru
terkait kejadian TB paru yang sudah menyerang kelompok umur anak-anak dan balita
TB merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang sering terjadi pada anak.
Anak sangat rentan terinfeksi TB terutama yang kontak erat dengan pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis dan anak juga lebih beresiko untuk menderita TB berat seperti TB milier (TB
diseminata) dan TB meningitis. Infeksi TB anak saat ini menunjukkan sumber penyakit TB
di masa depan. Beban kasus TB Anak di dunia tidak dapat diketahui karena kurangnya alat
diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus
penanganan yang benar. Pada tahun 2017 terdapat 10 juta kasus TB di dunia dan terdapat 1,6
juta jiwa meninggal karena TB. Diantara kasus tersebut terdapat 1 juta kasus TB anak (0-14
tahun) yang diperkirakan sekitar 7.5 juta anak terinfeksi TB setiap tahunnya. Selain itu, lebih
Gejala umum pada TB anak adalah batuk, demam dan penurunan berat badan. Sedangkan
gejala utamanya adalah lesu atau tidak aktif. Pada umumnya, gejala TB adalah batuk namun
gejala tersebut jarang terjadi pada anak karena gejala TB pada anak tidak khas. Anak dengan
gejala utama batuk dan/atau anak dapat mengeluarkan dahak, anak tersebut wajib diperiksa
dahak dengan Tes Cepat Molekuler (TCM) atau mikroskopis SPS. Apabila anak
terkonfirmasi bakteriologis atau BTA positif, maka anak tersebut termasuk sumber penularan
bagi lingkungan sekitarnya. Anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan malnutrisi atau
kondisi immunosupresan memiliki risiko paling tinggi untuk menderita TB, terutama TB
yang menyerang paru. Namun TB juga dapat menyerang organ lain, yakni sebesar 20-30%.
Bayi dan balita memiliki risiko paling tinggi untuk terkena TB berat seperti TB meningitis
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT: RSUD KOJA
...............................
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An. VM
Tanggal lahir (umur) : 22 November 2007 (12 tahun 9 bulan)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kalibaru Timur
Agama : Islam
ORANG TUA
Ayah
Nama lengkap : Tn. AR
Alamat : Kalibaru Timur
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Tukang
Ibu
Nama lengkap : Ny. S
Alamat : Kalibaru Timur
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh pabrik
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada 3 Agustus 2020, pukul 1:00 WIB.
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan demam sekitar 4 jam SMRS.
Anak laki-laki usia 12 tahun dibawa ke RSUD Koja pukul 15:20 dengan keluhan
demam dan batuk yang hilang timbul sejak 1 bulan lalu. Batuk tidak berdahak. Ibu
mengatakan bahwa pasien sudah berobat untuk batuknya ke klinik dan mendapat obat batuk.
Setelah minum obat, batuk hilang dalam seminggu, namun seminggu kemudian batuk akan
muncul lagi. Seminggu sebelum masuk RS Cilincing, anak tidak merasa lemas atau demam,
namun ketika diukur suhunya dirumah, didapatkan 39 oC. Sudah berobat di puskesmas, diberi
obat batuk dan obat penurun panas. Setelah minum obat, batuk berkurang dan demam hilang.
Ibu tidak ingat obat apa yang diberikan oleh klinik dan puskesmas, namun dikatakan ibu
bahwa dalam sebulan SMRS, batuk akan hilang seminggu setelah minum obat, lalu akan
muncul lagi setelahnya, berulang terus dalam sebulan itu.
Tidak ada muntah, mual, pusing, atau keringat malam. Anak juga tidak merasa sesak
dan masih aktif. Ibu dan pasien mengatakan bahwa di rumah maupun di lingkungan rumah
tidak ada orang sekitar yang memiliki gejala batuk-batuk lama. Tetapi selama karantina
Covid, pasien sering ke warnet dari pagi sampai sore untuk mengerjakan tugas secara online.
Pasien tidak selalu menggunakan masker ketika pergi ke warnet. Namun pasien menyangkal
pernah berdekatan dengan orang lain di warnet yang memiliki gejala batuk. Ibu pasien pun
menyangkal bahwa pasien pernah memiliki gejala seperti ini sebelum sebulan lalu. Nafsu
makan anak masih baik namun terjadi penurunan BB dari yang biasanya 33kg menjadi 31 kg
ketika masuk RSUD Cilincing.
Pasien dibawa ke RSUD Cilincing pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 12 malam,
didapatkan hasil pemeriksaan yaitu sesak napas dan terdapat demam. Dari keterangan ibu
pasien dikatakan bahwa pasien dibawa ke RS karena keluhan batuk-batuk yang tidak sembuh
dan demam 38oC beberapa jam (sekitar 4 jam) SMRS. Pasien sudah diberi obat penurun
panas sebelum pergi ke RS namun ibu pasien tetap ingin membawa anaknya untuk diperiksa
di RS karena melihat anaknya yang terus-terusan kambuh batuk dan demamnya walaupun
sudah berobat. Keluarga pasien diberitahu bahwa dari hasil pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan cairan pada paru-paru pasien, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Koja untuk
evaluasi penyebab efusi dan taping pleura bila diperlukan.
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Alergi (-) Asma (-) Tumor
(-) Penyakit jantung bawaan (+) Typhoid (-) Diare kronis
(-) Batu empedu (-) Perdarahan otak (-) Kelainan kongenital
(-) Penyakit Pembuluh darah (-) Tuberkulosis (-) Kejang Demam
(-) Sepsis (-) Meningoencephalitis (-) Pneumonia
(-) Disentri (-) Kolera (-) Difteri
(-) Kecelakaan (-) Glomerulonephritis (-) Operasi
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah mengalami gejala serupa sebelum satu
bulan SMRS. Ibu pasien mengatakan bahwa penyakit berat yang pasien pernah alami yaitu
demam typhoid beberapa tahun lalu.
Riwayat Keluarga
Umur Keadaan Penyebab
Hubungan keluarga
(tahun) kesehatan meninggal
Kakek (pihak ayah) - Meninggal Tidak diketahui
Nenek (pihak ayah) - Meninggal Tidak diketahui
Kakek (pihak ibu) - Meninggal Tidak diketahui
Nenek (pihak ibu) - Meninggal Tidak diketahui
Ayah 38 Sehat -
Ibu 35 Sehat -
Kakak - Sehat -
Kakak - Sehat -
Adik - Sehat -
Adik - Sehat -
Riwayat Sosial
Pasien tinggal bersama keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan 4 saudara pasien, yang
membuat 1 rumah ditinggali oleh 7 anggota keluarga. Ibu pasien mengaku bahwa ventilasi
rumah cukup baik karena pintu dan jendela sering dibuka, dan sinar matahari selalu masuk ke
dalam rumah. Di rumah tidak ada yang punya kebiasaan merokok.
KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Tidak pernah ANC
Penyakit Kehamilan Tidak ada
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran Rumah dukun beranak
Penolong Persalinan Dukun beranak
Cara Persalinan Spontan pervaginam
Masa Gestasi 39 minggu (cukup bulan)
Keadaan Bayi Berat badan lahir : 3200 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak ingat
Langsung menangis : Langsung menangis
Pucat/biru/kuning/kejang : Tidak ada
Nilai APGAR : Tidak diketahui
Kelainan bawaan : Tidak ada
Riwayat Imunisasi
Ibu mengatakan bahwa pasien tidak pernah mendapat imunisasi
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu tubuh : 37,0 oC
Tekanan darah : 123/76 mmHg
SpO2 : 97%
Data antropometri
Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 155 cm
Paru : vesikuler +/+ (suara menurun pada kedua lapang paru), Rhonki -/-,
wheezing-/-
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 102 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu tubuh : 37,1 oC
Tekanan darah : 110/70 mmHg
SpO2 : 97%
Data antropometri
Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 12,9 kg/m2
Interpretasi (CDC)
Kepala : Tidak teraba benjolan, rambut hitam distribusi merata, tidak mudah dicabut,
cekung (-).
Mata : Konjungtiva tidak anemis +/+, sklera ikterik -/-, kornea kanan dan kiri jernih,
pupil bulat isokor +/+ diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, sekret -/-, kedua mata tidak cekung.
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen -/-, sekret -/-.
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, sekret -/-.
Mulut : Bentuk normal, mukosa buccal merah muda, sianosis (-), tremor (-), tonsil
T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis.
Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba pembesaran, trakea di tengah.
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk thoraks normal, simetris kanan dan kiri saat stasis
maupun dinamis, retraksi sela iga (-), tidak tampak sesak
Palpasi : Tidak ada pelebaran sela iga, massa/benjolan (-)
Perkusi : sonor pada paru kiri
Pada paru kanan, mulai redup pada SI 6 dan 7.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+ suara napas menurun di dada
kanan, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis di sela iga IV linea midclavicularis
sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak rata, tidak tampak adanya vaskularisasi, lesi, atau
perubahan warna
Auskultasi: Bising usus (+) normal.
Palpasi : tidak teraba benjol, tidak terdapat nyeri, tidak teraba adanya
perbesaran hepar dan lien, turgor kulit baik.
Perkusi : timpani
Ekstremitas (lengan & tungkai)
Akral hangat, CRT <2 detik
Tonus : Normotonus,
Massa : Tidak ada,
Sendi : Gerakan baik, tidak ada pembengkakan atau nyeri
Edema : - - Sianosis: - -
- - - -
Pemeriksaan Genitalia
Tidak ada indikasi
Tes Mantoux pada tanggal 25 Juli 2020, dibaca pada tanggal 28 Juli 2020 dengan
hasil negatif.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 25 Juli 2020 di RSUD Cilincing
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hematokrit 32 % 41-50
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 0-3
N. Segmen 74 % 35-66
Limfosit 20 % 24-44
Monosit 5 % 3-6
Elektrolit
Cl 94 mEq/L 98-106
pH 7,45 7,38-7,45
Saturasi 98 % 94-100
Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan pada tanggal 25 Juli 2020 di RSUD Koja
Hitung Jenis
Basofil 0.3 % 0,2-1,2
Eosinofil 0.1 % 0,8-7
Neutrofil 77.5 % 34-67,9
Limfosit 12.5 % 21,8-53,1
Monosit 9.6 % 5,3-12,2
Elektrolit
Natrium 132 mEq/L 135-147
Kalium 3.64 mEq/L 3,5-5
Klorida 102 mEq/L 96-108
Hasil
Mikrobiologi
Tes Cepat Molekular Spesimen Sputum
MTB (+) Rifampisin sensitif
Pemeriksaan Foto Polos Thoraks Posisi Supine Proyeksi PA pada tanggal 3 Agustus
2020
o Perselubungan homogen di apikolaterobasal hemitoraks kanan yang menutupi sinus-
hemidiafragma kanan dan di laterobasal hemitoraks kiri yang menutupi dinus-
diafragma kiri
o Jantung tidak membesar (CTR<50%)
o Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
o Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
o Corakan bronkovaskular kedua paru yang tervisualisasi baik
o Tidak tampak infiltrate maupun nodul di kedua lapangan paru yang tervisualisasi
o Tulang-tulang dinding dada kesan intak
V. RINGKASAN (RESUME)
Anak laki-laki usia 12 tahun 8 bulan datang dengan demam dan batuk yang hilang
timbul sejak sebulan lalu. Batuk sembuh sementara setelah minum obat batuk, namun
akan kambuh lagi setelah seminggu tanpa batuk. Pasien tidak ada riwayat kontak
TBC. Pasien dirujuk ke RSUD Koja dengan hasil rontgen dari RSUD Cilincing yaitu
terdapat efusi pleura bilateral.
Pada hasil rontgen thorax didapatkan gambaran efusi pelura bilateral. Tes
Mantoux didapatkan hasil negatif. Dari hasil Tes Cepat Molekular didapatkan MTB
positif sensitif rifampisin.
- COVID19
Dasar Diagnosis: terdapat demam, gejala pernapasan (batuk kering), namun pada
pemeriksaan Rapid SARS-COV2 IgM dan IgG didapatkan hasil non-reaktif.
Foto polos Thorax posisi supine proyeksi AP/PA dan lateral, juga posisi left
lateral decubitus ataupun right lateral decubitus
IX. PENATALAKSANAAN
INH 300 mg
Rifampisin 450 mg
Pirazinamid 1,5 Tab
Etambutol 1,5 Tab
Metilprednison 2X16 mg
X. PROGNOSIS
FOLLOW UP
27/7/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu : 36,5 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 98 x/menit paru cc/hari
Auskultasi paru: vesikuler +/+ Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
28/7/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 37,8 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 100 x/menit paru cc/hari
Mantoux (-) Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Paracetamol
3x0,25 tablet
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
29/7/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang -Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 38,5 oC -IBA Kaen3B 1500
HR : 100 x/menit cc/hari
Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Paracetamol
3x0,25 tablet
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
Amikasin
2x100mg
30/7/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 37,5 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 96 x/menit paru cc/hari
Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
Amikasin
2x100mg
31/7/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 37,4 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 110 x/menit paru cc/hari
Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
Amikasin
2x100mg
1/8/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 37,0 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 96 x/menit paru cc/hari
Auskultasi paru: vesikuler +/+ Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
Amikasin
2x100mg
Inhalasi : untuk
mengeluarkan
sputum untuk
specimen Tes
Cepat Molekuler
2/8/20 Masih ada Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
batuk Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Suhu: 36,9 oC suspek TB Kaen3B 1500
HR : 98 x/menit paru cc/hari
Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
Vestein syr 3x5 ml
Ambroxol 3x5ml
Amikasin
2x100mg
3/8/20 Batuk sudah Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru O2 Nasal kanul 2
tidak ada Kesadaran: Compos mentis bilateral ec lpm
Jam 13:00
Suhu: 37,1 oC TB paru Kaen3B 1500
HR : 102 x/menit cc/hari
RR : 20x/menit Ceftriaxone 1x1.5
TD : 110/70 mmHg gr IV
Auskultasi paru : vesikuler menurun Vestein syr 3x5 ml
+/+ Ambroxol 3x5ml
Tes Cepat Molekuler : MTB (+) Amikasin
Sensitif Rifampisin 2x100mg
Xray throrax : efusi pleura bilateral
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Saat kuman TB sudah masuk didalam tubuh, anak dapat mengalami infeksi TB
ataupun sakit TB. Infeksi TB dapat diketahui dengan berbagai perangkat diagnosik infeksi
TB, misalnya uji tuberkulin. Anak yang positif terinfeksi TB (uji tuberkulin positif) belum
tentu menderita sakit TB. Sedangkan sakit TB, kondisi anak ditambah dengan adanya
kelainan klinis yang bisa di dapat dari skoring TB dan juga pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi.4,5
KLASIFIKASI
Secara definisi terduga TB adalah anak yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB, pasien TB anak dibagi menjadi terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis
secara klinis. Terkonfirmasi bakteriologis adalah anak yang terdiagnosis dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis positif. Sedangkan terdiagnosis secara klinis adalah anak yang
tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien
TB oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. 1 Berikut di bawah ini
merupakan beberapa klasifikasi yang ada :3
EPIDEMIOLOGI
Setiap tahunnya, 10 juta orang sakit karena TB. Walaupun penyakit ini dapat dicegah
dan disembuhkan, 1,5 juta orang meninggal tiap tahunnya, menjadikan TB penyakit infeksius
yang paling membunuh nomor satu di dunia. TB merupakan penyebab tertinggi kematian
orang dengan HIV dan juga kontributor besar terhadap resistensi obat antimikroba.6,7
Diagnosis TB pada dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan sputum (BTA) yang
positif. Pada anak, konfirmasi diagnosis sulit sehingga mengakibatkan penanganan TB anak
terabaikan, sampai beberapa tahun TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di
banyak negara, termasuk Indonesia. Beban kasus TB Anak di dunia tidak dapat diketahui
karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak, sehingga diperkirakan banyak anak menderita TB
yang tidak mendapatkan penanganan yang benar.2 Kasus TB yang terabaikan (under
diagnosis and under reporting) terdapat 65% kasus pada anak berusia < 5 tahun dan 40%
kasus pada anak berusia 5-14 tahun. Jadi rata-rata di dunia ada sekitar 55% kasus TB pada
anak berusia 0-14 tahun yang tidak terlaporkan.8,9. Pada tahun 2017 terdapat 10 juta kasus TB
di dunia dan terdapat 1,6 juta jiwa meninggal karena TB. Diantara kasus tersebut terdapat 1
juta kasus TB anak (0-14 tahun) yang diperkirakan sekitar 7.5 juta anak terinfeksi TB setiap
tahunnya. Selain itu, lebih dari 1 juta kasus baru TB Anak terjadi setiap tahun.6,7
TB pada anak banyak terjadi pada usia 0-14 tahun. Proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB di Indonesia tahun 2010 yaitu 9.4%, kemudian menjadi 8.5% pada tahun
2011; 8.2% pada tahun 2012; 7.9% pada tahum 2013; 7.16% pada tahun pada tahun 2014.
Proporsi kejadian TB anak di Indonesia yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari
yang diperkirakan 10-15%, dan pada tingkat kabupaten kota menunjukkan variasi proporsi
yang cukup besar antara 1.2-17.3% di tahun 2015. Pada tahun 2019 di Indonesia, ada sekitar
27/10.000 balita menderita TB, 2/10.000 anak berusia 5-14 tahun terkena TB, dan 63.111
total kasus TB anak. Tahun 2019 juga tercatat 35% dari keseluruhan kasus TB di Indonesia
tidak terlaporkan.8-10
Gejala umum pada TB anak adalah batuk, demam dan penurunan berat badan.
Sedangkan gejala utamanya adalah lesu atau tidak aktif. Pada umumnya, gejala TB adalah
batuk namun gejala tersebut jarang terjadi pada anak karena gejala TB pada anak tidak khas.
Anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan malnutrisi atau kondisi immunosupresan
memiliki risiko paling tinggi untuk menderita TB, terutama TB yang menyerang paru.
Namun TB juga dapat menyerang organ lain, yakni sebesar 20-30%. Bayi dan balita memiliki
risiko paling tinggi untuk terkena TB berat seperti TB meningitis yang mampu menyebabkan
buta, tuli serta kelumpuhan.2
ETIOLOGI
PATOGENESIS
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (1-5 µm)
akan masuk dan dapat mencapai alveolus dan memperbanyak diri di alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non-spesifik,
sehingga tidak terjadi reaksi imun spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan sehingga dalam 2-8 minggu, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan dan diperkenalkan kepada sel-sel
darah putih yang lain. Hal ini memicu respons imun dimana sel darah putih membunuh atau
mengurung sebagian besar bakteri dalam sebuah struktur yang disebut granuloma. Pada tahap
ini, infeksi tuberculosis sudah terjadi namun laten sehingga host tidak sakit dan tidak bisa
menularkan infeksi kepada orang lain tetapi dapat dideteksi dengan tes tuberkulin. Kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag dan jika
sistem imun melemah, dinding granuloma akan rusak, terjadi lisis makrofag, dan bakteri
dapat terespos oksigen dan melanjutkan berkembang biak. Di tahap ini, sudah bukan laten
tetapi sudah menjadi penyakit TB dan pasien dapat menularkan kuman kepada orang lain.
Perkembangan dari TB laten menjadi penyakit TB dapat terjadi cepat maupun bertahun-tahun
kemudian.13-17 Selanjutnya kuman TB akan membentuk lesi di tempat tersebut yang disebut
focus primer Ghon.3
Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Fokus Ghon biasanya terletak di subpleural dan
sering di bagian atas dari lobus bawah dan bagian bawah dari lobus atas dan tengah, dimana
tempat-tempat ini memiliki ventilasi yang paling baik. 18 Jika fokus primer terletak di lobus
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak diapeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer/kompleks Ghon (primary complex/Ghon’s complex).3
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik
(cellular mediated immunity, CMI). 3
Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkejuan (nekrosis kaseosa) dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. 3
Pada bagian tengah granuloma terdapat focus nekrosis yang dinamakan nekrosis
kaseosa dimana terdapat kumpulan sel-sel paru dan sel inflamasi yang mati. Tampakan
nekrosis kaseosa speerti keju karena kaya akan lipid. Jika sistem imun host melemah dan
kuman TB tidak bisa dibendung oleh granuloma, reaktivasi kuman TB akan berakibat
kerusakan jaringan paru disekitar granuloma (fokus primer). Kerusakan jaringan ini akan
mengalami fibrosis dan nekrosis kaseosa melebar seiring kuman TB terus merusak jaringan
paru, sehingga terbentuk kavitas. Cavitas biasanya terjadi pada apex paru atau pada bagian
apex dari lobus bawah. Jika cavitas meluas dan merusak dinding jalan napas, kuman TB
dapat menyebar naik ke trakea, mulut, hidung dan dapat ditransmisikan ke orang lain melalui
droplet. Jika kuman TB mendapat akses ke pembuluh darah, kuman akan menyebar secara
hematogen dan menginfeksi organ lain menyebabkan TB milier/TB diseminata. TB milier
jarang terjadi dan biasanya terjadi pada orang dengan sistem imun yg sangat lemah seperti
pada penderita HIV. 3,19
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. 3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang ginjal, dan
lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat
dewasa. 3
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis3
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehinga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. 3
FAKTOR RESIKO
Faktor risiko utama kejadian TB anak terjadi pada tingkat rumah tangga seperti kontak
dengan sumber penularan serta kondisi malnutrisi. Anak yang terinfeksi kuman TB sebagian
besar tertular dari anggota keluarga, pengasuh ataupun tetangga. Paparan TB didapatkan
seseorang yang paling memiliki kedekatan dengan penderita tuberkulosis. Risiko juga akan
meningkat apabila orang yang mengalami batuk tidak menutupi mulut dengan benar. Hampir
semua infeksi TB lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan saputangan yang
mengandung kuman TB. Seorang ibu yang infeksius juga merupakan risiko bagi balita atau
anak yang ada di sekitarnya khususnya yang tinggal dan tidur bersama di ruangan yang
sempit dan lembab. Gizi buruk dapat mengurangi daya tahan tubuh terhadap TB. Faktor ini
menjadi sangat penting khususnya pada masyarakat miskin dengan ketahanan pangan yang
rendah. Anak yang mengalami malnutrisi lebih rentan dalam menghadapi infeksi TB. Jika
anak sakit TB daya tahan tubuh yang lemah akan mempengaruhi kondisi anak, kepadatan
penduduk, serta kebersihan lingkungan juga berperan. Ada juga faktor lain, seperti sumber
penularan penyakit, usia, tidak mendapat imunisasi BCG, virulensi serta jumlah kuman juga
memegang peran penting dalam sakit TB.20,21
ANAMNESIS
Penemuan TB anak dapat ditemukan dengan dua cara, secara pasif dan secara aktif.
Penemuan secara pasif dilakukan pada anak yang mempunyai gejala klinis, dan akan
dilakuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai fasilitas kesehatan. Penemuan
dilakukan melalui kolaborasi program HIV, penyakit tidak menular (seperti: diabetes
mellitus), program gizi dan KIA, dan sebagainya. Sedangkan penemuan secara aktif
dilakukan melalui investigasi kontak pada anak yang kontak erat dengan pasien TB menular
(seperti: yang tinggal serumah). Biasanya pasien TB menular merupakan TB dewasa dengan
BTA positif. 3
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum/ sistemik dan gejala spesifik
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. 3
- Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh
(failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu
1bulan.
- Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lainnya.
- Batuk ≥2 minggu, bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama
semakin parah). Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotik atau obat asma (sesuai
indikasi).
- Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal ataupun tempat lain
- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
atau perut membesar
1. Tuberkulosis kelenjar.
Sering terjadi di daerah leher (region colli), terjadi pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) tidak nyeri. Tidak berespon dengan pemberian antibiotika, terbentuk rongga dan
bernanah.
4. Tuberculosis mata
Konjungtivitis fliktenularis terdapat bintik di limbus kornea yang sangat nyeri.
Tuberkel koroid hanya terlihat dengan funduskop.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada sebagain besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan yang khas. Pada pemeriksaan
antropometri terdapat gizi kurang bahkan gizi buruk dengan grafik dibawah garis merah.
Penurunan berat badan terjadi dalam 2 bulan berturut-turut. Suhu subfebris dapat ditemukan
pada sebagian pasien. Kelainan pada pemeriksaan fisik baru dijumpai jika TB mengenai
organ tertentu. Pada TB vertebra terdapat gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multiple, tidak nyeri tekan, konsistensi kenyal,
kadang saling melekat (konfluens), dan ukuran besar (>2x2 cm), biasanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba. Hal tersebut terjadi pada TB kelenjar. Meningitis TB
terdapat kaku kuduk, dan tanda rangsang meningeal lain. Skrofuloderma terdapat ulkus kulit
dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal. Konjungtivis
fliktenularis yaitu adanya nodul inflamasi pada daerah limbus yang disebut fliken.4, 23
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5
tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas. Namun demikian, karena kesulitan
pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan
bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Cara
mendapatkan sputum pada anak dengan berdahak, bilas lambung, induksi sputum (dengan
inhalasi NaCl3%).3
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi
hari. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) misalnya Xpert MTB / RIF dapat menjadi
pilihan juga. TCM dapat mengidentifikasi kuman TB dalam waktu cepat (kurang lebih 2 jam)
dan juga menentukan ada tidaknya resistensi terhadap rifampisin. Studi retrospektif di India
pada 2.787 sampel dari terduga TB anak usia < 14 tahun didapatkan sensitivitas BTA dan
Xpert MTB / RIF bila dibandingkan dengan kultur adalah 24,6% (14,1-37,8%) dan 81%
(68,6-90,1%). Akurasi diagnostik Xpert MTB / RIF dan BTA masing-masing adalah 97,1%
dan 92,2%. Xpert MTB / RIF meningkatkan tingkat deteksi hingga empat kali lipat jika
dibandingkan dengan BTA. Xpert MTB / RIF assay adalah metode yang paling cepat,
sensitif, dan spesifik untuk konfirmasi mikrobiologis dan deteksi resistansi rifampisin pada
tuberkulosis anak. Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB
yaitu mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Jenis media untuk pemeriksaan
biakan yaitu media padat; hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu dan media cair; hasil
biakan bisa diketaui lebih cepat (1-2 minggu) tetapi lebih mahal. 3,24,25
2. IGRA
3. Uji tuberkulin
3. Foto Toraks
Gambaran foto toraks tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/ tanpa infiltrate (visualisasinya selain dengan foto toraks PA atau AP, harus disertai
foto toraks lateral), adanya konsolidasi segmental/lobular, efusi pleura, milier, atelektasis,
kavitas, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. 3
Gambar 2. Gambaran radiologi pada TB anak27
DIAGNOSIS
Pada fasilitas pelayanan kesehatan primer dengan fasilitas terbatas atau dengan akses
yang sulit untuk pemeriksaan, maka dapat mengikuti alur diagnosis TB anak. Langkah awal
dengan pengambilan dan pemeriksaan sputum : 3
1. Jika hasil mikrobiologi (BTA/TCM) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2. Jika hasil negatif atau tidak dapat diambil maka lakukan uji tuberkulin dan foto toraks.
- Jika tidak ada akses/ fasilitas pemeriksaan maka anak dengan riwayat kontak erat dengan
pasien TB menular, dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT. Jika tidak ada riwayat kontak
lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk untuk
uji tuberkulin dan foto toraks.
- Jika tersedia fasilitas uji tuberkulin dan foto toraks, hitung menggunakan skoring. Skor total
≥ 6 (diagnosis TB dan berikan OAT). Skor total < 6 dengan uji tuberkulin positif atau ada
kontak erat (diagnosis TB dan berikan OAT). Skor total < 6 dengan uji tuberkulin negatif
atau tidak ada kontak erat lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi
ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi.
Jika ditemukan foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura/ milier/ kavitas, adanya
gibbus atau koksitis, adanya tanda bahaya, kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, dan
kegawatan lain (seperti sesak napas) maka rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. 3
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Anak3
Penjelasan : 3
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif yaitu 3-5 OAT selama 2 bulan awal
dan fase lanjutan dengan panduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan. Regimen
dasar diberikan INH, rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan pertama, dilanjutkan INH
dan rifampisin selama 4 bulan kemudian (2HRZ-4HR). Pada TB paru berat (milier; destroyed
lung) dan TB ekstraparu diberikan 4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan
INH dan rifampisin selama 4-6 bulan kemudian sesuai dengan perkembangan klinis. TB paru
berat atau dengan risiko resistensi maka diberikan etambutol pada permulaan pengobatan.
Pada TB kelenjar superfisial, terapinya sama dengan regimen dasar. Pada TB susunan saraf
pusat terutama meningitis, perikarditis, TB milier dan efusi pleura diberikan prednisone 1-2
mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2-6 minggu. 3-
5
Kortikosteroid dapat mengurangi risiko terjadinya perubahan atau scarring pada pleura
(seperti penebalan atau perlengketan pada pleura), pada X-ray thorax di akhir follow up hinga
16 persen. Kortikosteroid dikombinasi dengan OAT telah dipercayai oleh klinisi dapat
mempercepat penyembuhan dari pleuritis TB dan membantu menegah komplikasi jangka
panjang. Namun kurang banyak informasi mengenai fungsi paru untuk memperjelas apakah
kortikosteroid mengurangi risiko gangguan fungsi paru setelah pleuritis TB.29
Digunakan juga untuk profilaksis, dibagi menjadi profilaksis primer dan sekunder.
Profilaksis primer digunakan untuk mencegah tertular/ infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif. Profilaksis sekunder untuk
mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok infeksi TB. Dosis yang diberikan yaitu INH 5-
10mg/kgBB/ hari selama 3 bulan pada profilaksis primer, dan 6-12 bulan pada profilaksis
sekunder. 3-5
Table 2. Dosis OAT untuk anak3
3.Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
Malnutrisis berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi
harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan
mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, atau pengamatan gejala dan tanda
malnutrisi seperti edema atau muscle wasting. Data berat badan dicatat tiap bulan dan
memantau grafik tumbuh. Jika berat badan belum ideal tapi pola grafik sudah menaik dan
memasuki garis di atasnya, hal tersebut merupakan respon yang baik. Pemberian makanan
tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan
suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika
anak masih dalam masa menyusu. Vitamin D diketahui juga berperan dalam pengobatan
TB.Vitamin D dapat meningkatkan imunitas tubuh terhadap penyakit infeksi. Menurut
penelitian yang dilakukan di Padang, dari 57 orang subyek usia 1- 14 tahun diketahui
sebanyak 83,3% insufiensi vitamin D dan 94,7% yang terinfeksi TB mendapat asupan
vitamin D dibawah RDA (Recommended dietary allowances) < 600 IU. Vitamin D bisa
didapatkan dari paparan sinar ultraviolet B (UVB), ikan, telur, susu dan produk olahan susu,
margarin, serta multivitamin yang mengandung vitamin D. Pada penelitian tidak ada yang
bermakna dari hubungan status gizi terhadap asupan vitamin D, karena sebagian besar subyek
memiliki status gizi baik tetapi juga mengalami insufiensi vitamin D.3,4,30
Defisiensi vitamin D dberhubungan dengan risiko infeksi tuberculosis dan kerentanan untuk
berkembang menjadi penyakit TB dan progresi penyakit. Mekanisme yang pernah dipaparkan
yaitu vitamin D mencegah atau membatasi infeksi dari MTB dengan mengikat bentuk
bioaktif dari vitamin D terhadap reseptor vitamin D, yaitu reseptor nuklear polimorfik yang
meregulasi ekspresi gen-gen penting untuk fungsi imunitas yang terlibat dalam produksi
sitokin. Sebuah systematic review oleh Sutaria et al. mengevaluasi hasil 21 RCT untuk
menilai hubungan kadar vitamin D yang rendah dengan TB, hubungan reseptor vitamin D
dan kerentanan terhadap TB, dan peran suplementasi vitamin D dalam pengobatan dan
pencegahan TB. Sutaria et al.. menyimpulkan bahwa 1) orang dengan TB memiliki kadar
vitamin D yang rendah dari orang yang sehat, 2) orang dengan kadar reseptor vitamin D
tertentu memiliki peningkatan kerentanan terhadap TB, 3) pasien TB yang mendapat
suplementasi vitamin D memiliki outcome yang baik.31,32
Pemantauan pengobatan3
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh pengawas
menelan obat (PMO). Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase
intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada TB
milier dilakukan pemeriksaan radiologis ulangan setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura
setelah pengobatan 2-4 minggu. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu
pemantau pengobatan.
- Sembuh : pasien TB baru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal
pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.
-Gagal : pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
-Meninggal : Pasien TB yang meninggal oleh sebab apa pun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.
-Putus Obat : pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya
terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
-Tidak dievaluasi : pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya,
termasuk dalam kriteria ini adalah “pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten /kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
- Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.
- Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan difase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada dewasa. Efek
samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh isoniazid,
rifampisin atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu dilakukan secara rutin
pada anak yang memulai pengobatan TB. Peningkatan enzim hati tanpa gejala klinis bukan
merupakan indikasi penghentian terapi anti TB. Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus
harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB.
Adanya keluhan neuritis perifer (misalnya; kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6)
dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10mg tiap 100mg
INH.3
PENCEGAHAN
3. Investigasi kontak
Investigasi kontak (IK) merupakan salah satu cara menemukan pasien TB secara
aktif. IK seharusnya dilakukan kepada semua orang yang berkontak pada pasien TB, tetapi
sumberdaya yang ada terbatas. IK diprioritaskan pada anak usia 0-14 tahun dengan kriteria
kontak dengan TB infeksius (terkonfirmasi bakteriologis), kontak dengan TB RO, kontak
dengan TB yang terinfeksi HIV, kontak dengan yang terinfeksi HIV. Langkah-langkah yang
dipakai untuk melakukan IK adalah identifikasi kontak, pemeriksaan untuk menentukan ada
tidaknya infeksi atau sakit TB, investigasi anak dengan kontak pada TB RO, investigasi
kontak pada kasus indeks TB anak. 3
4. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette Guerin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG diberikan satu kali sebelum
usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif
untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering
didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena
tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi
BCG yaitu kepada bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif, bayi terlahir dari ibu pasien
infeksi HIV/AIDS, limfadenitis BCG.3,33
PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis TB anak baik jika dikenali sejak dini dan pengobatan yang
efektif. Pada sebagian besar anak dengan TB paru, penyakit akan sembuh total, dan hasil
radiologis menjadi normal, prognosis anak dengan tuberkulosis tulang dan sendi dan
meningitis TB tergantung pada stadium penyakit ketika dimulainya pengobatan. Sangat
diharapkan kepatuhan pengobatan, penanganan gizi sehingga dapat mendukung proses
penyembuhan. Pada pasien dengan sistem imun yang baik, terapi menggunakan OAT
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika bakteri sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen terapi, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Ketika terjadi resistensi atau
intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampicin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%,
bahkan lebih rendah lagi.12, 34
TBC Resisten OAT merupakan perkembangan dari TBC biasa, kemudian pada
akhirnya sesuai dengan kondisiniya berkembang menjadi kebal akan obat tertentu dan
beberapa jenis obat lainnya. Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR,
dan XDR. Anak mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil M.
tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Data menunjukan 5% dari
seluruh kasus TB di tahun 2014 adalah kasus MDR TB. Data surveilans menunjukkan bahwa
sekitar 480.000 orang terkena MDR TB pada tahun 2014, dan 190.000 orang meninggal
karena MDR TB. Meningkatnya jumlah kasus MDR TB pada dewasa, baik yang diobati
maupun tidak diobati, kasus MDRTB pada anak pun mestinya semakin meningkat. Namun
demikian, sampai saat ini data pasti jumlah kasus MDR TB pada anak di dunia belum
diketahui dengan pasti. Pada diagnosis TB MDR, anak memiliki gejala TB dan riwayat
pengobatan sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama, adanya
kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang meninggal saat
pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Pemeriksaan Xpert MTB / RIF lebih digunakan
daripada tes mikroskop, kultur dan kerentanan obat konvensional sebagai tes diagnostik awal pada
anak-anak yang dicurigai memiliki TB MDR.3, 27,35
Gambar 4. Alur Diagnosis TB Resistensi Obat3
Tatalaksana TB MDR anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien MDR TB. Obat-obatan
yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dewasa dengan penyesuaian dosis
sesuai dengan berat badan pada anak. Pengobatan dilakukan kepada anak dengan TB resisten
obat terkonfirmasi berdasarkan hasil uji kepekaan obat tersebut, jika kontak erat kasus TB
resisten obat sesuai dengan hasil uji kepekaan obat (sumber penularan), kontak tidak jelas
dengan kasus TB resisten obat atau anak gagal terapi OAT lini 1 diasumsikan resisten
terhadap rifampisin dan INH. Obat diberikan setiap hari dengan pengawasan langsung
petugas kesehatan. Pengobatann terdiri dari kombinasi sekurangnya 5 jenis OAT pada tahap
awal. Pengobatan awal harus rawat inap di RS Rujukan TB MDR selam 2 minggu.
Pirodoksin (Vitamin B6) diberikan 10mg setiap minum 50mg sikloserin atau pada HIV.
Kriteria OAT TB MDR ada 3 kelopok yaitu obat dengan aktivitas bakterisid (aminoglikosida,
tionamid, dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam), obat dengan aktivitas bakterisid
rendah (flourokuinolon) dan obat dengan aktivitas bakteriostatik (etambutol, sikloserin, dan
PAS).3,36
Panduan ini terdiri dari panduan OAT standar dan panduan OAT individual. Panduan ini
terdiri dari kombinasi OAT lini pertama dan kedua. Pada tahap awal, kombinasi terdiri dari
sekurangnya 5 jenis OAT: 3
Contoh :
4 OAT inti (1 grup A, 1 grup B, 2 grup C) yaitu Kanamisin (Km), Levofloksasin
(Lfx), Etionamid (Ato, Sikloserin (Cs). 1 OAT lini pertama (grup D1) yaitu
Pirazinamid (Z). 1 obat tambahan yaitu Etambutol.
2. Panduan Individual (XDR)
Panduan ini untuk pasien TB pre-XDR dan TB XDR. Panduan ini adalah kombinasi OAT
lini pertama, OAT lini kedua dan OAT jenis baru (minimal 24 bulan). Panduan OAT standar
dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan MTB menjadi panduan individual
yang ditetapkan oleh dokter terlatih di faskes TB-RO rujukan.
Pasien laki-laki berusia 12 tahun datang ke RS karena demam sekitar 4 jam yang lalu dan
batuk yang hilang timbul sejak sebulan lalu. Ibu pasien mengatakan bahwa suhu saat demam
sebelum ke RS adalah 38oC. Pasien sudah diberi obat penurun panas sebelum pergi ke RS
namun ibu pasien tetap ingin membawa anaknya untuk diperiksa di RS karena melihat
anaknya yang terus-terusan kambuh batuk dan demamnya walaupun sudah berobat.
Pada anamnesis, didapatkan gejala yaitu batuk kering yang terkadang disertai demam. Pasien
sudah beberapa kali berobat untuk batuknya. Setelah minum obat, batuk sembuh untuk
seminggu, kemudian akan muncul lagi, dan selalu seperti itu setiap berobat kembali. Nafsu
makan pasien masih baik namun terjadi penurunan BB sejak sakit, yaitu dari yang biasnaya
33kg menjadi 31kg saat ditimbang di RS. Pasien masih aktif dan tidak merasa sesak atau
lemah. Pasien memiliki kebiasaan ke warnet dan terkadang tidak memakai masker. Dari
keterangan pasien dan ibu pasien, tidak ada kontak dengan orang yang punya riwayat TB atau
batuk-batuk lama.
Pemeriksaan foto toraks menunjukkan adanya efusi pleura bilateral. Pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukositosis. Uji tuberculim/Mantoux pasien adalah negative. Pada Tes
Cepat Molekuler (Xpert MTB/Rif) didapatkan MTB positif dan sensitive rifampisin.
Ditinjau dari skoring TB untuk diagnosis, riwayat kontak TB tidak jelas (skor 0), tes Mantoux
diapatkan hasil negative (skor 0), BB/U pasien adalah <5% (skor 2), pasien memiliki demam
tetapi tidak terus menerus setiap hari dan jarang terjadi selama 1 bulan terakhir (skor 0),
batuk yang dialami pasien tetap kambuh walaupun sudah diberi obat batuk selama sebulan
terakhir (skor 1), tidak ada pembesaran KGB (skor 0), tidak ada pembengkakan tulang/sendi
(skor 0), foto toraks menunjukkan efusi pleura bilateral (skor 1). Jadi total skoring TB pasien
ini adalah 4, yang berarti negative bila ditinjau dari skoring dan perlu observasi 2-4 minggu,
yang jika gejalanya menetap maka akan dievaluasi ulang untuk kemungkinan TB atau
dirujuk. Namun dari hasil TCM didapatkan positif MTB sehingga diagnosis TB paru bisa
ditegakkan.
Pasien ini merupakan pasien TB baru yang belum pernah ada riwayat TB maupun
pengobatan TB sebelumnya, dan hasil TCM didapatkan sensitive rifampisin. Hal ini
mengindikasikan pengobatan regimen dasar yaitu 2HRZ-4HR (atau dengan regimen OAT
dewasa kategori 1 karena BB anak >30kg) dan ditambah dengan steroid (misalnya prednisone
1-2mg/kghari selama 2-4 minggu karena pasien terdapat efusi pleura. Untuk evaluasi
pengobatan, pasien harus kontrol ke fasilitas kesehatan tempat dan dipastikan bahwa
pengobatan rutin, dipantau BTA dan efek samping obat setiap 2 minggu selama masa intensif
& tiap bulan selama masa lanjutan. Pasien juga perlu pemeriksaan ulang foto toraks setelah
2-4 minggu pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat jendral pencegahan dan pengendalian penyakit. Petunjuk teknis manajemen
dan tatalaksana TB anak. Jakarta: Kementerian kesehatan Republik Indonesia; 2016.
2. Direktorat penyakit menular langsung sub direktorat tuberkulosis. Tb anak. Diakses 4
Juli 2020. Tersedia di https://tbindonesia.or.id/pustaka/pedoman/tb-anak/
3. Cissy BK. Epidemiologi tuberkulosis. Sari Pediatri. 2019 Agustus; 11(2). h 124-9.
4. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis. Infodatin. 2018.
5. Pudjadi AH, hegar B, handryastuti S, dkk. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Ikatan
dokter anak Indonesia; 2009. h 323-8.
6. Raharjoe NN. Tatalaksana tuberkulosis pada anak. Sari Pediatri.2001 Juni; 3(1). h 24-35.
7. World health organization. Roadmap towards ending TB in children and adolescents.
Diakses 4 Juli 2020. Tersedia di https://www.who.int/tb/publications/2018/tb-
childhoodroadmap/en/
8. World health organization. Global tuberculosis report 2019. Diakses 5 Juli 2019.
Tersedia di https://www.who.int/tb/publications/global_report/en/
9. World health organization. Epidemiologi of childhood TB. Diakses 5 Juli 2019. Tersedia
di https://www.who.int/tb/challenges/ChildhhoodTB_section1.pdf?ua=1
10. Direktorat penyakit menular langsung sub direktorat tuberkulosis. Dasboard TB. Diakses
5 Juli 2020. Tersedia di https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard-tb/
11. Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak 2. Edisi 15. Jakarta : EGC;
2000.
12. Bakhtiar B. Pendekatan diagnosis tuberculosis pada anak di sarana pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2016; 16 (2).
13. Nurwitasari A, Wahyuni CU. The Effect of Nutritional Status and Contact History
toward Childhood in Jember. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2015 Mei; 3(2): h 158-169.
14. Yustikarni K, Sidhartani M. Faktor risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi
mycobacterium tuberculosis. Sari Pediatrik. 2015; 17(2): 136-140.
15. Putra GS, Dewi RRK, Hapsari DI, dkk. Parents knowledge as a risk factor of
tuberculosis in children .Advances in Health Sciences Research.2019 ;24: 202-4.
16. Kelompok kerja tb anak depkes idai. Diagnosis dan tatalaksana TB anak. Jakarta:
Kementerian kesehatan Republik Indonesia; 2008.
17. Yadav R, Vaidya P, Mathew JL. Utility of Xpert MTB/RIF Assay for Diagnosis of
Pediatric Tuberculosis Under Programmatic Conditions in India. Journal of
Epidemiology and Global Health. 2020; 10(2): h 153-6.
18. Concepcion NDP, Laya BF,Andronikou S,dkk.. Standardized radiographic
interpretation of thoracic tuberculosis in children. Pediatric Radiolology. 2017; 47(10):
h 1237–48.
19. Najeeha Talat Iqbal,a,b Kumail Ahmed,a Farah N. Qamar.Antibody-Secreting Cells To
Diagnose Mycobacterium tuberculosis Infection in Children in Pakistan. mSphere. 2020;
5(1): h 1-12.
20. Erisma R, Lubis G, Yani FF. Hubungan asupan nutrisi dengan kadar vitamin D pada
tuberkulosis anak. Sari Pediatrik. 2016; 18(1): 40-4.
21. Ikatan dokter anak Indonesia. Jadwal imunisasi 2017. Diakses 5 Juli 2020. Tersedia di
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017.
22. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi klinik konsep klinis dan proses proses penyakit 2.
Edisi 5. Jakarta: EGC; 2005.
23. Departemen ilmu kesehatan anak fakultas kedokteran UGM. Multi drug resistant pada
anak diagnosis dan tatalaksana. Diakses 6 Juli 2020. Tersedia di
http://libmed.ugm.ac.id/download.php?file=psd%5Epdf%5E145%5E13454220161109
24. Yahya WS, Agustin H, Yunus F, dkk. Tatalaksana tuberkulosis resistensi ganda pada
anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2016; 43(5): h 336-8.