Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

TBC PARU DENGAN EFUSI PLEURA

Disusun Oleh

Christina Sonia Wibowo

112019164

Pembimbing

dr. Susanto Isman, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 29 JULI – 05 OKTOBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Jumlah kasus penyakit TB paru pada anak mengalami perkembangan pesat terutama pada

tahun 2014. Untuk menangani permasalahan TB anak yang sudah banyak terjadi di berbagai

negara maka sudah dilakukan gebrakan dengan menerbitkan berbagai panduan tingkat global

yang dikeluarkan WHO dan sudah mulai diadopsi oleh berbagai negara di dunia termasuk

Indonesia (Kemenkes RI, 2016).1

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa TB paru telah

didiagnosis pada kelompok umur < 1 tahun sebesar 2‰, kelompok umur 1-4 tahun sebesar

4‰, kelompok umur 5-14 tahun sebesar 0,30‰, sedangkan pada kelompok umur orang

dewasa lainnya juga menunjukkan prevalensi yang sama sebesar 3‰. Hasil penelitian

Riskesdas tahun 2013 juga memperlihatkan bahwa terjadi suatu masalah kesehatan terbaru

terkait kejadian TB paru yang sudah menyerang kelompok umur anak-anak dan balita

(Kemenkes RI, 2013).1

TB merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang sering terjadi pada anak.

Anak sangat rentan terinfeksi TB terutama yang kontak erat dengan pasien TB terkonfirmasi

bakteriologis dan anak juga lebih beresiko untuk menderita TB berat seperti TB milier (TB

diseminata) dan TB meningitis. Infeksi TB anak saat ini menunjukkan sumber penyakit TB

di masa depan. Beban kasus TB Anak di dunia tidak dapat diketahui karena kurangnya alat

diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus

TB Anak, sehingga diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan

penanganan yang benar. Pada tahun 2017 terdapat 10 juta kasus TB di dunia dan terdapat 1,6

juta jiwa meninggal karena TB. Diantara kasus tersebut terdapat 1 juta kasus TB anak (0-14
tahun) yang diperkirakan sekitar 7.5 juta anak terinfeksi TB setiap tahunnya. Selain itu, lebih

dari 1 juta kasus baru TB Anak terjadi setiap tahun.2

Gejala umum pada TB anak adalah batuk, demam dan penurunan berat badan. Sedangkan

gejala utamanya adalah lesu atau tidak aktif. Pada umumnya, gejala TB adalah batuk namun

gejala tersebut jarang terjadi pada anak karena gejala TB pada anak tidak khas. Anak dengan

gejala utama batuk dan/atau anak dapat mengeluarkan dahak, anak tersebut wajib diperiksa

dahak dengan Tes Cepat Molekuler (TCM) atau mikroskopis SPS. Apabila anak

terkonfirmasi bakteriologis atau BTA positif, maka anak tersebut termasuk sumber penularan

bagi lingkungan sekitarnya. Anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan malnutrisi atau

kondisi immunosupresan memiliki risiko paling tinggi untuk menderita TB, terutama TB

yang menyerang paru. Namun TB juga dapat menyerang organ lain, yakni sebesar 20-30%.

Bayi dan balita memiliki risiko paling tinggi untuk terkena TB berat seperti TB meningitis

yang mampu menyebabkan buta, tuli serta kelumpuhan.2


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT: RSUD KOJA

Nama : Christina Sonia Wibowo Tanda Tangan


NIM : 112019164
...............................
dr. Pembimbing / Penguji: dr. Susanto Isman , Sp.A

...............................

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An. VM
Tanggal lahir (umur) : 22 November 2007 (12 tahun 9 bulan)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kalibaru Timur
Agama : Islam

ORANG TUA
Ayah
Nama lengkap : Tn. AR
Alamat : Kalibaru Timur
Usia : 38 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Tukang

Ibu
Nama lengkap : Ny. S
Alamat : Kalibaru Timur
Usia : 35 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh pabrik

Hubungan dengan orang tua : Anak kandung

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada 3 Agustus 2020, pukul 1:00 WIB.
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan demam sekitar 4 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Anak laki-laki usia 12 tahun dibawa ke RSUD Koja pukul 15:20 dengan keluhan
demam dan batuk yang hilang timbul sejak 1 bulan lalu. Batuk tidak berdahak. Ibu
mengatakan bahwa pasien sudah berobat untuk batuknya ke klinik dan mendapat obat batuk.
Setelah minum obat, batuk hilang dalam seminggu, namun seminggu kemudian batuk akan
muncul lagi. Seminggu sebelum masuk RS Cilincing, anak tidak merasa lemas atau demam,
namun ketika diukur suhunya dirumah, didapatkan 39 oC. Sudah berobat di puskesmas, diberi
obat batuk dan obat penurun panas. Setelah minum obat, batuk berkurang dan demam hilang.
Ibu tidak ingat obat apa yang diberikan oleh klinik dan puskesmas, namun dikatakan ibu
bahwa dalam sebulan SMRS, batuk akan hilang seminggu setelah minum obat, lalu akan
muncul lagi setelahnya, berulang terus dalam sebulan itu.
Tidak ada muntah, mual, pusing, atau keringat malam. Anak juga tidak merasa sesak
dan masih aktif. Ibu dan pasien mengatakan bahwa di rumah maupun di lingkungan rumah
tidak ada orang sekitar yang memiliki gejala batuk-batuk lama. Tetapi selama karantina
Covid, pasien sering ke warnet dari pagi sampai sore untuk mengerjakan tugas secara online.
Pasien tidak selalu menggunakan masker ketika pergi ke warnet. Namun pasien menyangkal
pernah berdekatan dengan orang lain di warnet yang memiliki gejala batuk. Ibu pasien pun
menyangkal bahwa pasien pernah memiliki gejala seperti ini sebelum sebulan lalu. Nafsu
makan anak masih baik namun terjadi penurunan BB dari yang biasanya 33kg menjadi 31 kg
ketika masuk RSUD Cilincing.
Pasien dibawa ke RSUD Cilincing pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 12 malam,
didapatkan hasil pemeriksaan yaitu sesak napas dan terdapat demam. Dari keterangan ibu
pasien dikatakan bahwa pasien dibawa ke RS karena keluhan batuk-batuk yang tidak sembuh
dan demam 38oC beberapa jam (sekitar 4 jam) SMRS. Pasien sudah diberi obat penurun
panas sebelum pergi ke RS namun ibu pasien tetap ingin membawa anaknya untuk diperiksa
di RS karena melihat anaknya yang terus-terusan kambuh batuk dan demamnya walaupun
sudah berobat. Keluarga pasien diberitahu bahwa dari hasil pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan cairan pada paru-paru pasien, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Koja untuk
evaluasi penyebab efusi dan taping pleura bila diperlukan.
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Alergi (-) Asma (-) Tumor
(-) Penyakit jantung bawaan (+) Typhoid (-) Diare kronis
(-) Batu empedu (-) Perdarahan otak (-) Kelainan kongenital
(-) Penyakit Pembuluh darah (-) Tuberkulosis (-) Kejang Demam
(-) Sepsis (-) Meningoencephalitis (-) Pneumonia
(-) Disentri (-) Kolera (-) Difteri
(-) Kecelakaan (-) Glomerulonephritis (-) Operasi

Ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah mengalami gejala serupa sebelum satu
bulan SMRS. Ibu pasien mengatakan bahwa penyakit berat yang pasien pernah alami yaitu
demam typhoid beberapa tahun lalu.

Riwayat Keluarga
Umur Keadaan Penyebab
Hubungan keluarga
(tahun) kesehatan meninggal
Kakek (pihak ayah) - Meninggal Tidak diketahui
Nenek (pihak ayah) - Meninggal Tidak diketahui
Kakek (pihak ibu) - Meninggal Tidak diketahui
Nenek (pihak ibu) - Meninggal Tidak diketahui
Ayah 38 Sehat -
Ibu 35 Sehat -
Kakak - Sehat -
Kakak - Sehat -
Adik - Sehat -
Adik - Sehat -

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi 
Asma 
Tuberkulosis 
Hipertensi 
Diabetes  Nenek
KejangDemam 
Epilepsi 
Ibu pasien mengaku bahwa keluarga tidak ada riwayat penyakit serupa dan tidak memiliki
riwayat penyakit kronis, kecuali nenek dari pihak ibu yang memiliki diabetes.

Riwayat Sosial

Pasien tinggal bersama keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan 4 saudara pasien, yang
membuat 1 rumah ditinggali oleh 7 anggota keluarga. Ibu pasien mengaku bahwa ventilasi
rumah cukup baik karena pintu dan jendela sering dibuka, dan sinar matahari selalu masuk ke
dalam rumah. Di rumah tidak ada yang punya kebiasaan merokok.

Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran

KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Tidak pernah ANC
Penyakit Kehamilan Tidak ada

KELAHIRAN
Tempat Kelahiran Rumah dukun beranak
Penolong Persalinan Dukun beranak
Cara Persalinan Spontan pervaginam
Masa Gestasi 39 minggu (cukup bulan)
Keadaan Bayi Berat badan lahir : 3200 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak ingat
Langsung menangis : Langsung menangis
Pucat/biru/kuning/kejang : Tidak ada
Nilai APGAR : Tidak diketahui
Kelainan bawaan : Tidak ada

- Kesan : Neonatus cukup bulan dan sesuai masa kehamilan

Riwayat Imunisasi
Ibu mengatakan bahwa pasien tidak pernah mendapat imunisasi

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik pada tanggal 25 Juli 2020 di IGD Koja (15:20)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E 4, M 6, V 5 (15)

Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu tubuh : 37,0 oC
Tekanan darah : 123/76 mmHg
SpO2 : 97%

Data antropometri
Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 155 cm

Paru : vesikuler +/+ (suara menurun pada kedua lapang paru), Rhonki -/-,
wheezing-/-

Jantung : BJ I-II normal

Abdomen : supel, BU (+), nyeri tekan (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)

Pemeriksaan Umum (3 Agustus 2020, 13:00)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E 4, M 6, V 5 (15)

Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 102 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu tubuh : 37,1 oC
Tekanan darah : 110/70 mmHg
SpO2 : 97%
Data antropometri
Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 12,9 kg/m2

Interpretasi (CDC)

TB/U : 50-75% (normal)


BB/U :<5% (underweight)
BMI/U : <5 (underweight)
Pemeriksaan Sistematis

Kepala : Tidak teraba benjolan, rambut hitam distribusi merata, tidak mudah dicabut,
cekung (-).
Mata : Konjungtiva tidak anemis +/+, sklera ikterik -/-, kornea kanan dan kiri jernih,
pupil bulat isokor +/+ diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, sekret -/-, kedua mata tidak cekung.
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen -/-, sekret -/-.
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, sekret -/-.
Mulut : Bentuk normal, mukosa buccal merah muda, sianosis (-), tremor (-), tonsil
T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis.
Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba pembesaran, trakea di tengah.
Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk thoraks normal, simetris kanan dan kiri saat stasis
maupun dinamis, retraksi sela iga (-), tidak tampak sesak
 Palpasi : Tidak ada pelebaran sela iga, massa/benjolan (-)
 Perkusi : sonor pada paru kiri
Pada paru kanan, mulai redup pada SI 6 dan 7.
 Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+ suara napas menurun di dada
kanan, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
 Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis di sela iga IV linea midclavicularis
sinistra.
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Tampak rata, tidak tampak adanya vaskularisasi, lesi, atau
perubahan warna
 Auskultasi: Bising usus (+) normal.
 Palpasi : tidak teraba benjol, tidak terdapat nyeri, tidak teraba adanya
perbesaran hepar dan lien, turgor kulit baik.
 Perkusi : timpani
Ekstremitas (lengan & tungkai)
Akral hangat, CRT <2 detik
Tonus : Normotonus,
Massa : Tidak ada,
Sendi : Gerakan baik, tidak ada pembengkakan atau nyeri
Edema : - - Sianosis: - -
- - - -

Pemeriksaan Genitalia
Tidak ada indikasi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Tes Mantoux pada tanggal 25 Juli 2020, dibaca pada tanggal 28 Juli 2020 dengan
hasil negatif.
 Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 25 Juli 2020 di RSUD Cilincing
Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 10.6 g/dL 13-17

Hematokrit 32 % 41-50

Leukosit 12,6 103/uL 5-10

Trombosit 415 103/uL 150-400

Eritrosit 4,7 juta/uL 4,5-5,5

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 1 % 0-3

N. Segmen 74 % 35-66

Limfosit 20 % 24-44

Monosit 5 % 3-6
Elektrolit

Na 135 mEq/L 136-146

K 3,8 mEq/L 3,5-5,0

Cl 94 mEq/L 98-106

Glukosa Sewaktu 105 mg/dL <140

Analisa Gas Darah

pH 7,45 7,38-7,45

PCO2 31,5 mmHg 38-42

PO2 99 mmHg 75-100

HCO3 22 mEq/L 22-28

Saturasi 98 % 94-100

Rapid SARS-COV-2 Antibodi

Rapid SARS-COV-2 Non-reaktif


IgG

Rapid SARS-COV-2 Non-reaktif


IgM

 Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan pada tanggal 25 Juli 2020 di RSUD Koja

Hasil Satuan Nilai Rujukan


Darah Lengkap
Hemoglobin 11.3 g/dL 12,5-16,1
Leukosit 11.26 103/uL 4 -10,5
Hematokrit 33.8 % 36-47
Trombosit 415 103/uL 136-337
Eritrosit 5.06 Juta/uL 4,2-5,6

Hitung Jenis
Basofil 0.3 % 0,2-1,2
Eosinofil 0.1 % 0,8-7
Neutrofil 77.5 % 34-67,9
Limfosit 12.5 % 21,8-53,1
Monosit 9.6 % 5,3-12,2

Analisa Gas Darah


pH 7.516 7,35-7,45
pCO2 25.0 mmHg 32,0-45,0
PO2 92.5 mmHg 95-100
HCO3 20.4 mEq/L 21-28,8
Base Excess -2.7 Mmol/L -2,5 - +2,5
O2 saturation 98.1 % 94-100

Elektrolit
Natrium 132 mEq/L 135-147
Kalium 3.64 mEq/L 3,5-5
Klorida 102 mEq/L 96-108

Glukosa sewaktu 106 mg/dL 60-100

CRP Kuantitatif 10.83 mg/dL <0.5

 Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan pada tanggal 29 Juli 2020

Hasil Satuan Nilai Rujukan


Kimia Klinik
Albumin 3,10 g/dL 3,8-5,4
SGOT (AST) 17 U/L <40
SGPT (ALT) 10 U/L <41
Ureum 12.8 mg/dL 16,6-48,5
Kreatinin 0.46 mg/dL 0,44-0,68

 Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2020

Hasil
Mikrobiologi
Tes Cepat Molekular Spesimen Sputum
MTB (+) Rifampisin sensitif

 Pemeriksaan Foto Polos Thoraks Posisi Supine Proyeksi PA pada tanggal 3 Agustus
2020
o Perselubungan homogen di apikolaterobasal hemitoraks kanan yang menutupi sinus-
hemidiafragma kanan dan di laterobasal hemitoraks kiri yang menutupi dinus-
diafragma kiri
o Jantung tidak membesar (CTR<50%)
o Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
o Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
o Corakan bronkovaskular kedua paru yang tervisualisasi baik
o Tidak tampak infiltrate maupun nodul di kedua lapangan paru yang tervisualisasi
o Tulang-tulang dinding dada kesan intak

Kesan : efusi pleura bilateral

V. RINGKASAN (RESUME)

Anak laki-laki usia 12 tahun 8 bulan datang dengan demam dan batuk yang hilang
timbul sejak sebulan lalu. Batuk sembuh sementara setelah minum obat batuk, namun
akan kambuh lagi setelah seminggu tanpa batuk. Pasien tidak ada riwayat kontak
TBC. Pasien dirujuk ke RSUD Koja dengan hasil rontgen dari RSUD Cilincing yaitu
terdapat efusi pleura bilateral.

Dari pemeriksaan fisik di RSUD Koja didapatkan frekuensi napas sedikit


meningkat dari normal (24x/menit) namun saturasi oksigen masih baik (97%), pasien
sudah tidak ada demam dan tidak mengeluh adanya sesak. Perkusi paru kanan redup,
bunyi vesikuler paru kanan dan kiri menurun, tidak ada retraksi.

Pada hasil rontgen thorax didapatkan gambaran efusi pelura bilateral. Tes
Mantoux didapatkan hasil negatif. Dari hasil Tes Cepat Molekular didapatkan MTB
positif sensitif rifampisin.

VI. WORKING DIAGNOSIS

TBC paru dengan efusi pleura


Dasar Diagnosis: gejala klinis pasien adalah batuk yang timbul lagi walaupun sudah
minum obat dan sudah berlangsung >3 minggu, terdapat demam dan penurunan berat
badan. Pasien dan keluarga menyangkal adanya kontak dengan orang lain yang memiliki
gejala serupa, tidak ada KGB yang membesar atau nyeri, tidak ada pembengkakan sendi.
Uji tuberculin/Mantoux didapatkan hasil negatif. Foto rontgen thorax terdapat efusi
pleura bilateral. Tes Cepat Molekuler didapatkan hasil MTB (+) sensitif rifampisin.
VII. DIFFERENTIAL DIAGNOSA
- Pneumonia ringan-sedang
Dasar Diagnosis: terdapat febris <38,5 , peningkatan respiration rate (24x/menit),
terdapat perselubungan pada rontgen thorax, leukositosis, namun pada pasien batuk
tidak produktif dan tidak ada sesak.

- COVID19
Dasar Diagnosis: terdapat demam, gejala pernapasan (batuk kering), namun pada
pemeriksaan Rapid SARS-COV2 IgM dan IgG didapatkan hasil non-reaktif.

VIII. PEMERIKSAAN YANG DIANJURKAN

 Foto polos Thorax posisi supine proyeksi AP/PA dan lateral, juga posisi left
lateral decubitus ataupun right lateral decubitus

IX. PENATALAKSANAAN
 INH 300 mg
 Rifampisin 450 mg
 Pirazinamid 1,5 Tab
 Etambutol 1,5 Tab
 Metilprednison 2X16 mg

X. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad bonam


Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Subyektif Objektif Assesment Penatalaksanaan


25/7/20 Batuk hilang  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
timbul sejak 1  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
Bangsal
bulan SMRS.  TTV: Suhu 38oC, nadi 112x/menit, suspek TB  Kaen3B 1500
anak
pernafasan 28x/menit paru cc/hari
 BBS: 31 kg  Ceftriaxone 1x1.5
 Mata: Konjungtiva Anemis -/-, mata gr IV
cekung -/-  Paracetamol
 Thoraks: Retraksi -/-, Vesikuler +/+ 3x0,25 tablet
 Cor: Bunyi jantung I dan II murni  Vestein syr 3x5 ml
regular, gallop (-) , murmur (-)
 Abdomen: BU (+), nyeri tekan (-)
 Extremitas ; akral hangat, sianosis (-),
CRT <2 detik, edema (-)
 Xray toraks : efusi paru bilateral
 Hb 10.6 g/dL, Leukosit 12.600/uL
 Rapid SARS-COV2 non reaktif
26/7/20 Tidak sesak,  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk masih  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
ada  Suhu: 36,7 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR :102 x/menit paru cc/hari
 Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Paracetamol
3x0,25 tablet
 Vestein syr 3x5 ml

27/7/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu : 36,5 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 98 x/menit paru cc/hari
 Auskultasi paru: vesikuler +/+  Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml

28/7/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 37,8 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 100 x/menit paru cc/hari
 Mantoux (-)  Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Paracetamol
3x0,25 tablet
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
29/7/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang -Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 38,5 oC -IBA  Kaen3B 1500
 HR : 100 x/menit cc/hari
 Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Paracetamol
3x0,25 tablet
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
 Amikasin
2x100mg

30/7/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 37,5 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 96 x/menit paru cc/hari
 Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
 Amikasin
2x100mg

31/7/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 37,4 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 110 x/menit paru cc/hari
 Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
 Amikasin
2x100mg
1/8/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 37,0 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 96 x/menit paru cc/hari
 Auskultasi paru: vesikuler +/+  Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
 Amikasin
2x100mg
 Inhalasi : untuk
mengeluarkan
sputum untuk
specimen Tes
Cepat Molekuler
2/8/20 Masih ada  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
batuk  Kesadaran: Compos mentis bilateral lpm
 Suhu: 36,9 oC suspek TB  Kaen3B 1500
 HR : 98 x/menit paru cc/hari
 Ceftriaxone 1x1.5
gr IV
 Vestein syr 3x5 ml
 Ambroxol 3x5ml
 Amikasin
2x100mg

3/8/20 Batuk sudah  Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Efusi paru  O2 Nasal kanul 2
tidak ada  Kesadaran: Compos mentis bilateral ec lpm
Jam 13:00
 Suhu: 37,1 oC TB paru  Kaen3B 1500
 HR : 102 x/menit cc/hari
 RR : 20x/menit  Ceftriaxone 1x1.5
 TD : 110/70 mmHg gr IV
 Auskultasi paru : vesikuler menurun  Vestein syr 3x5 ml
+/+  Ambroxol 3x5ml
 Tes Cepat Molekuler : MTB (+)  Amikasin
Sensitif Rifampisin 2x100mg
 Xray throrax : efusi pleura bilateral
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya (ekstraparu) seperti, kelenjar, kulit, saluran pencernaan,
selaput otak, dan sebagainya. Kuman TB terdapat pada percik renik (droplet) dalam ukuran
yang sangat kecil (<5μm) yang akan terhirup dan mencapai alveolus.2,3

Saat kuman TB sudah masuk didalam tubuh, anak dapat mengalami infeksi TB
ataupun sakit TB. Infeksi TB dapat diketahui dengan berbagai perangkat diagnosik infeksi
TB, misalnya uji tuberkulin. Anak yang positif terinfeksi TB (uji tuberkulin positif) belum
tentu menderita sakit TB. Sedangkan sakit TB, kondisi anak ditambah dengan adanya
kelainan klinis yang bisa di dapat dari skoring TB dan juga pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi.4,5

KLASIFIKASI

Secara definisi terduga TB adalah anak yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB, pasien TB anak dibagi menjadi terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis
secara klinis. Terkonfirmasi bakteriologis adalah anak yang terdiagnosis dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis positif. Sedangkan terdiagnosis secara klinis adalah anak yang
tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien
TB oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. 1 Berikut di bawah ini
merupakan beberapa klasifikasi yang ada :3

a. Klasifikasi berdasarkan anatomi dari penyakit


1. Tuberkulosis paru
2. Tuberkulosis ekstraparu, contohnya tuberculosis meningitis, tulang/sendi,
kelenjar, pleura, skrofuloderma, abdomen, sistem retikuloendotelial, ginjal,
jantung.
3. Tuberkulosis Milier / Diseminata : kuman sudah menyebar secara hematogen,
menyebar ke banyak organ, dan menyebabkan penyakit di berbagai tempat. TB
milier jarang terjadi tapi merupakan penyakit yang serius. Pada gambaran
radiografi, terlihat gambaran millet seeds tersebar di seluruh lapang paru. TB jenis
ini paling sering terjadi pada bayi dan anak dibawah 5 tahun, dan orang yang
immunocompromised. TB milier dapat terdeteksi dari 1 organ tertentu (termasuk
otak), pada beberapa organ, maupun di seluruh tubuh. Kondisi ini
dikarakteristikan dengan banyaknya jumlah basil TB.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Pasien baru TB : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari
28 dosis)
2. Pasien pernah diobati TB : pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama
1 bulan atau lebih. Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir yaitu pasien kambuh, pasien yang diobati kembali setelah
gagal, pasien yang diobati kembali setelah putus obat, dan pasien TB yang pernah
diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.
1. Mono resisten (TB MR) : resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
2. Poli resisten (TB PR) : resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain INH dan Rifampisin.
3. Multi drug resisten (TB MDR) : resisten terhadap INH dan rifampisin secara
bersamaan
4. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan
5. Resisten Rifampisin (TB RR) : resisten terhadap riampisin dengan atau tanpa
resisten terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip atau
metode fenotip
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1. HIV positif
2. HIV negatif
3. HIV tidak diketahui

EPIDEMIOLOGI
Setiap tahunnya, 10 juta orang sakit karena TB. Walaupun penyakit ini dapat dicegah
dan disembuhkan, 1,5 juta orang meninggal tiap tahunnya, menjadikan TB penyakit infeksius
yang paling membunuh nomor satu di dunia. TB merupakan penyebab tertinggi kematian
orang dengan HIV dan juga kontributor besar terhadap resistensi obat antimikroba.6,7

Sebagian besar orang yang jatuh sakit karena TB tinggal di negara-negara


berpendapatan rendah-menengah, tetapi TB ada di seluruh dunia. Sekitar setengah dari
proporsi kejadian TB ada di 8 negara berikut, yaitu: Bangladesh, Cina, India, Indonesia,
Nigeria, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan. Sekitar 25% dari populasi dunia terestimasi
terinfeksi kuman TB. Hanya 5-15% dari proporsi tersebut yang jatuh sakit dengan TB aktif,
sisanya terinfeksi TB namun tidak jatuh sakit dan tidak bisa menularkan penyakitnya. Infeksi
TB dan penyakit TB dapat disembuhkan dengan antibiotik.6,7

Diagnosis TB pada dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan sputum (BTA) yang
positif. Pada anak, konfirmasi diagnosis sulit sehingga mengakibatkan penanganan TB anak
terabaikan, sampai beberapa tahun TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di
banyak negara, termasuk Indonesia. Beban kasus TB Anak di dunia tidak dapat diketahui
karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak, sehingga diperkirakan banyak anak menderita TB
yang tidak mendapatkan penanganan yang benar.2 Kasus TB yang terabaikan (under
diagnosis and under reporting) terdapat 65% kasus pada anak berusia < 5 tahun dan 40%
kasus pada anak berusia 5-14 tahun. Jadi rata-rata di dunia ada sekitar 55% kasus TB pada
anak berusia 0-14 tahun yang tidak terlaporkan.8,9. Pada tahun 2017 terdapat 10 juta kasus TB
di dunia dan terdapat 1,6 juta jiwa meninggal karena TB. Diantara kasus tersebut terdapat 1
juta kasus TB anak (0-14 tahun) yang diperkirakan sekitar 7.5 juta anak terinfeksi TB setiap
tahunnya. Selain itu, lebih dari 1 juta kasus baru TB Anak terjadi setiap tahun.6,7

TB pada anak banyak terjadi pada usia 0-14 tahun. Proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB di Indonesia tahun 2010 yaitu 9.4%, kemudian menjadi 8.5% pada tahun
2011; 8.2% pada tahun 2012; 7.9% pada tahum 2013; 7.16% pada tahun pada tahun 2014.
Proporsi kejadian TB anak di Indonesia yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari
yang diperkirakan 10-15%, dan pada tingkat kabupaten kota menunjukkan variasi proporsi
yang cukup besar antara 1.2-17.3% di tahun 2015. Pada tahun 2019 di Indonesia, ada sekitar
27/10.000 balita menderita TB, 2/10.000 anak berusia 5-14 tahun terkena TB, dan 63.111
total kasus TB anak. Tahun 2019 juga tercatat 35% dari keseluruhan kasus TB di Indonesia
tidak terlaporkan.8-10

Gejala umum pada TB anak adalah batuk, demam dan penurunan berat badan.
Sedangkan gejala utamanya adalah lesu atau tidak aktif. Pada umumnya, gejala TB adalah
batuk namun gejala tersebut jarang terjadi pada anak karena gejala TB pada anak tidak khas.
Anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan malnutrisi atau kondisi immunosupresan
memiliki risiko paling tinggi untuk menderita TB, terutama TB yang menyerang paru.
Namun TB juga dapat menyerang organ lain, yakni sebesar 20-30%. Bayi dan balita memiliki
risiko paling tinggi untuk terkena TB berat seperti TB meningitis yang mampu menyebabkan
buta, tuli serta kelumpuhan.2

ETIOLOGI

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum yang merupakan family
Mycobactericeae. Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil tuberkel yang merupakan
batang lurus ataupun lengkung, gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, panjang sekitar 2-4 µm. Bakteri ini dapat tampak sendiri-sendiri atau
dalam kelompok pada spesimen klinis yang diwarnai atau media biakan. Bakteri penyebab TB
merupakan aerob obligat yang tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol sebagai
sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling
baik pada suhu 37-41°C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Karakteristik
mycobacteria adalah ketahanan asamnya/ bakteri tahan asam (BTA) dan permukaan sel
berlilin yang mengandung tiga lapis tipis peptidoglikan yang terhubung dan dilapisi oleh asam
lemak rantai panjang (asam mikolik).11 Pewarnaan yang biasa dipakai adalah pewarnaan Ziehl-
Neelsen dengan karbolfukhsin. Bila diwarnai, mereka melawan perubahan warna dengan etanol
dan hidrokhlorida atau asam lain. Protein yang terdapat pada dinding bakteri ini yang terikat
pada lipid dapat memicu terjadinya reaksi tuberculin. Mikobakterium tumbuh lambat, waktu
pembentukkannya adalah 12-24 jam. Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat
biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu
tambahan. Namun pertumbuhan dapat dideteksi dalam 1-3 minggu pada medium cairan
selektif. Ketika kuman TB di dalam tubuh host, dapat terbentuk granuloma yaitu struktur
agregasi imun seluler (infiltrat sel inflamasi mononuclear), yang walaupun berfungsi untuk
“mengurung” dan membatasi pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis, juga menyediakan
tempat untuk bertahan hidup dimana bakteri akan sewaktu-waktu bisa menyebar luas. Ketika
bakteri berada di dalam granuloma, metabolisme bakteri melambat tetapi tetap bisa
melepaskan antigen yang menstimulasi remodelling dinding granuloma selama sistem imun
baik. Jika sistem imun mulai turun, dinding granuloma akan menipis dan rusak, menyebabkan
organisme yang terkurung di dalam terekspos oksigen dan memicu pertumbuhan baru dan
menyebar. Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui partikel airborne (droplet
nuclei), sehingga sebagian besar fokus primer tuberculosis terdapat dalam paru.8,12-15

PATOGENESIS

Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (1-5 µm)
akan masuk dan dapat mencapai alveolus dan memperbanyak diri di alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non-spesifik,
sehingga tidak terjadi reaksi imun spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan sehingga dalam 2-8 minggu, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan dan diperkenalkan kepada sel-sel
darah putih yang lain. Hal ini memicu respons imun dimana sel darah putih membunuh atau
mengurung sebagian besar bakteri dalam sebuah struktur yang disebut granuloma. Pada tahap
ini, infeksi tuberculosis sudah terjadi namun laten sehingga host tidak sakit dan tidak bisa
menularkan infeksi kepada orang lain tetapi dapat dideteksi dengan tes tuberkulin. Kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag dan jika
sistem imun melemah, dinding granuloma akan rusak, terjadi lisis makrofag, dan bakteri
dapat terespos oksigen dan melanjutkan berkembang biak. Di tahap ini, sudah bukan laten
tetapi sudah menjadi penyakit TB dan pasien dapat menularkan kuman kepada orang lain.
Perkembangan dari TB laten menjadi penyakit TB dapat terjadi cepat maupun bertahun-tahun
kemudian.13-17 Selanjutnya kuman TB akan membentuk lesi di tempat tersebut yang disebut
focus primer Ghon.3

Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Fokus Ghon biasanya terletak di subpleural dan
sering di bagian atas dari lobus bawah dan bagian bawah dari lobus atas dan tengah, dimana
tempat-tempat ini memiliki ventilasi yang paling baik. 18 Jika fokus primer terletak di lobus
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak diapeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer/kompleks Ghon (primary complex/Ghon’s complex).3

Waktu sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara


lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman yang
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular. 3

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik
(cellular mediated immunity, CMI). 3

Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkejuan (nekrosis kaseosa) dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. 3

Pada bagian tengah granuloma terdapat focus nekrosis yang dinamakan nekrosis
kaseosa dimana terdapat kumpulan sel-sel paru dan sel inflamasi yang mati. Tampakan
nekrosis kaseosa speerti keju karena kaya akan lipid. Jika sistem imun host melemah dan
kuman TB tidak bisa dibendung oleh granuloma, reaktivasi kuman TB akan berakibat
kerusakan jaringan paru disekitar granuloma (fokus primer). Kerusakan jaringan ini akan
mengalami fibrosis dan nekrosis kaseosa melebar seiring kuman TB terus merusak jaringan
paru, sehingga terbentuk kavitas. Cavitas biasanya terjadi pada apex paru atau pada bagian
apex dari lobus bawah. Jika cavitas meluas dan merusak dinding jalan napas, kuman TB
dapat menyebar naik ke trakea, mulut, hidung dan dapat ditransmisikan ke orang lain melalui
droplet. Jika kuman TB mendapat akses ke pembuluh darah, kuman akan menyebar secara
hematogen dan menginfeksi organ lain menyebabkan TB milier/TB diseminata. TB milier
jarang terjadi dan biasanya terjadi pada orang dengan sistem imun yg sangat lemah seperti
pada penderita HIV. 3,19

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. 3

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 3

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang ginjal, dan
lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat
dewasa. 3
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis3

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata


akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak berusia <5 tahun
(balita) terutama di berusia <2 tahun. 3

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehinga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. 3
FAKTOR RESIKO

Faktor risiko utama kejadian TB anak terjadi pada tingkat rumah tangga seperti kontak
dengan sumber penularan serta kondisi malnutrisi. Anak yang terinfeksi kuman TB sebagian
besar tertular dari anggota keluarga, pengasuh ataupun tetangga. Paparan TB didapatkan
seseorang yang paling memiliki kedekatan dengan penderita tuberkulosis. Risiko juga akan
meningkat apabila orang yang mengalami batuk tidak menutupi mulut dengan benar. Hampir
semua infeksi TB lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan saputangan yang
mengandung kuman TB. Seorang ibu yang infeksius juga merupakan risiko bagi balita atau
anak yang ada di sekitarnya khususnya yang tinggal dan tidur bersama di ruangan yang
sempit dan lembab. Gizi buruk dapat mengurangi daya tahan tubuh terhadap TB. Faktor ini
menjadi sangat penting khususnya pada masyarakat miskin dengan ketahanan pangan yang
rendah. Anak yang mengalami malnutrisi lebih rentan dalam menghadapi infeksi TB. Jika
anak sakit TB daya tahan tubuh yang lemah akan mempengaruhi kondisi anak, kepadatan
penduduk, serta kebersihan lingkungan juga berperan. Ada juga faktor lain, seperti sumber
penularan penyakit, usia, tidak mendapat imunisasi BCG, virulensi serta jumlah kuman juga
memegang peran penting dalam sakit TB.20,21

Pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan orang, dalam hal ini pemahaman


tentang penyebaran TB, rumah bersih dan gaya hidup sehat. Pendidikan orang tua merupakan
peran penting untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak mereka tentang penyakit menular
seperti TB. Pengetahuan, pendidikan, dan kebiasaan positif merupakan faktor penting untuk
mengembangkan perilaku orang. Pengetahuan yang cukup akan mengarah pada pengambilan
keputusan yang tepat. Pengetahuan tentang penyakit memiliki peranan dalam mengurangi
tingkat penyakit dan kematia, serta dapat menghentikan penyebaran TB di Indonesia
masyarakat. Pengetahuan dan persepsi tentang TB dapat mempengaruhi perilaku untuk
mencari perawatan dan kepatuhan terhadap pengobatan.22

ANAMNESIS

Penemuan TB anak dapat ditemukan dengan dua cara, secara pasif dan secara aktif.
Penemuan secara pasif dilakukan pada anak yang mempunyai gejala klinis, dan akan
dilakuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai fasilitas kesehatan. Penemuan
dilakukan melalui kolaborasi program HIV, penyakit tidak menular (seperti: diabetes
mellitus), program gizi dan KIA, dan sebagainya. Sedangkan penemuan secara aktif
dilakukan melalui investigasi kontak pada anak yang kontak erat dengan pasien TB menular
(seperti: yang tinggal serumah). Biasanya pasien TB menular merupakan TB dewasa dengan
BTA positif. 3

Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum/ sistemik dan gejala spesifik
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. 3

Gejala umum/ sistemik antara lain: 3,4

- Napsu makan berkurang

- Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh
(failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu
1bulan.

- Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lainnya.

- Batuk ≥2 minggu, bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama
semakin parah). Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotik atau obat asma (sesuai
indikasi).

- Lesu atau malaise; anak kurang aktif bermain.

- Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal ataupun tempat lain

- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
atau perut membesar

Gejala spesifik antara lain: 3,4

1. Tuberkulosis kelenjar.
Sering terjadi di daerah leher (region colli), terjadi pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) tidak nyeri. Tidak berespon dengan pemberian antibiotika, terbentuk rongga dan
bernanah.

2. Tuberkulosis sistem saraf pusat


Pada meningitis TB gejala yang ditemukan biasanya demam lama, sakit kepala diikuti
kejang dan penurunan kesadaran. Pada tuberkuloma otak: gejala-gejala adanya lesi desak
ruang.

3. Tuberkulosis sistem skeletal


Pada tuberkulosis tulang belakang (spondylitis) terjadi penonjolan tulang belakang/
daerah punggung biasaya sulit membungkuk. Pada tuberkulosis tulang panggul (koksitis)
menyebabkan pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. Pada
tuberkulosis tulang lutut (gonitis) meyebabkan pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas, tuberkulosis juga dapat terjadi di tulang kaki dan tangan disebut juga Spina
ventosa/daktilitis.

4. Tuberculosis mata
Konjungtivitis fliktenularis terdapat bintik di limbus kornea yang sangat nyeri.
Tuberkel koroid hanya terlihat dengan funduskop.

5. Tuberkulosis kulit (skrofuloderma)


Ditandai adanya luka disertai dengan jembatan kulit antar tepi luka.

6. Tuberculosis organ-organ lain


Misalnya peritonitis TB, TB ginjal; dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada
organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada sebagain besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan yang khas. Pada pemeriksaan
antropometri terdapat gizi kurang bahkan gizi buruk dengan grafik dibawah garis merah.
Penurunan berat badan terjadi dalam 2 bulan berturut-turut. Suhu subfebris dapat ditemukan
pada sebagian pasien. Kelainan pada pemeriksaan fisik baru dijumpai jika TB mengenai
organ tertentu. Pada TB vertebra terdapat gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multiple, tidak nyeri tekan, konsistensi kenyal,
kadang saling melekat (konfluens), dan ukuran besar (>2x2 cm), biasanya pembesaran KGB
terlihat jelas bukan hanya teraba. Hal tersebut terjadi pada TB kelenjar. Meningitis TB
terdapat kaku kuduk, dan tanda rangsang meningeal lain. Skrofuloderma terdapat ulkus kulit
dengan skinbridge biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal. Konjungtivis
fliktenularis yaitu adanya nodul inflamasi pada daerah limbus yang disebut fliken.4, 23
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5
tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas. Namun demikian, karena kesulitan
pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan
bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Cara
mendapatkan sputum pada anak dengan berdahak, bilas lambung, induksi sputum (dengan
inhalasi NaCl3%).3

Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi
hari. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) misalnya Xpert MTB / RIF dapat menjadi
pilihan juga. TCM dapat mengidentifikasi kuman TB dalam waktu cepat (kurang lebih 2 jam)
dan juga menentukan ada tidaknya resistensi terhadap rifampisin. Studi retrospektif di India
pada 2.787 sampel dari terduga TB anak usia < 14 tahun didapatkan sensitivitas BTA dan
Xpert MTB / RIF bila dibandingkan dengan kultur adalah 24,6% (14,1-37,8%) dan 81%
(68,6-90,1%). Akurasi diagnostik Xpert MTB / RIF dan BTA masing-masing adalah 97,1%
dan 92,2%. Xpert MTB / RIF meningkatkan tingkat deteksi hingga empat kali lipat jika
dibandingkan dengan BTA. Xpert MTB / RIF assay adalah metode yang paling cepat,
sensitif, dan spesifik untuk konfirmasi mikrobiologis dan deteksi resistansi rifampisin pada
tuberkulosis anak. Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB
yaitu mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Jenis media untuk pemeriksaan
biakan yaitu media padat; hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu dan media cair; hasil
biakan bisa diketaui lebih cepat (1-2 minggu) tetapi lebih mahal. 3,24,25

2. IGRA

Interferon-Gamma Release Assay merupakan pemeriksaan untuk mengukur reaktivitas imun


seseorang terhadap infeksi MTB. IGRA dapat mengindikasikan adanya infeksi MTB namun
tidak bisa membedakan antara infeksi atau sakit TB. Sel darah putih dari orang yang
terinfeksi MTB akan mengeluarkan INF-g ketika dicampur dengan antigen MTB. Darah
pasien akan dicampur dengan antigen dan control kemudian akan dibaca konsentrasi IFN-g
atau jumlah sel yang memproduksi IFN-g. Keuntungan IGRA yaitu hanya perlu sekali datang
untuk tes, hasil bisa didapatkan dalam 24 jam, tidak memengaruhi respon untuk pemeriksaan-
pemeriksaan lainnya, riwayat vaksinasi BCG tidak membuat false-positive pada hasil IGRA.
Kekurangan IGRA yaitu darah harus diproses dalam 8-30 jam setelah diambil, eror dalam
mengumpulkan atau memindahkan specimen atau dalam memproses dan membaca hasil akan
memengaruhi akurasi IGRA, tidak bisa memprediksi apakah orang ini akan berkembang
menjadi sakit TB dikemudian hari, dan tesnya biasanya mahal. Hasil yang didapatkan adalah
positif, negatif, atau indeterminate/borderline.26

3. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak,


khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin juga diseebut
dengan mantoux test. Uji tuberkulin dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD RT 23 2TU
secara intrakutan dibagian volar lengan dengan arah suntikan memanjang lengan
(longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan
dilaporkan dalam millimeter berapapun ukurannya, termsuk 0 mm. Indurasi ≥ 10mm
dinyatakan positif. Indurasi <5mm dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm
meragukan dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif
menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan sakit TB pada anak. Reaksi uji tuberculin
positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh,
sehingga uji tuberculin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB. 3,4

3. Foto Toraks

Gambaran foto toraks tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/ tanpa infiltrate (visualisasinya selain dengan foto toraks PA atau AP, harus disertai
foto toraks lateral), adanya konsolidasi segmental/lobular, efusi pleura, milier, atelektasis,
kavitas, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. 3
Gambar 2. Gambaran radiologi pada TB anak27

4. Pemeriksaan Histopatologi (PA/ patologi anatomi)

Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis kaseosa


di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit atau jaringan lain yang dicurigai
TB.3,4

Dalam studi case-control di Pakistan, mengembangkan penggunaan uji mycobacterial-


antibody-secreting cell (MASC). MASC uji biomarker berbasis darah yang mengukur
aktivasi kekebalan yang berkelanjutan terhadap TB dengan memanen Peripheral blood
mononuclear cell (PBMC) dan membiakkannya tanpa stimulasi antigenik. Penggunaan uji
MASC sebagai biomarker berbasis darah untuk penyakit TB menunjukkan beberapa harapan
di antara anak-anak dengan penyakit yang dikonfirmasi secara mikrobiologis walaupun hanya
memiliki spesifisitas 78% dan sensitivitas 53% serta PPV (positive predictive value) 69%.28

DIAGNOSIS

Kendala utama dalam tatalaksana TB anak adalah penegakan diagnosis. Kesulitan


menemukan kuman penyebab pada TB anak menyebabkan penegakan diagnosis TB anak
memerlukan kombinasi dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
Diagnosis pada anak tidak hanya berdasarkan pada Foto Toraks. Diagnosis TB pada anak
didasarkan pada 4 hal yaitu konfirmasi bakteriologis TB, gejala klinis yang khas TB, adanya
bukti infeksi TB (uji tuberculin positif atau kontak erat dengan pasien TB), gambaran foto
toraks sugestif TB. Pendekatan diagnosis TB pada Anak menggunakan Sistem Skoring yang
disusun Kementerian Kesehatan RI bersama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Sistem Skoring TB Anak merupakan pembobotan terhadap gejala, tanda klinis dan
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Masing-masing gejala pada sistem skoring harus dilakukan analisis untuk menentukan
apakah termasuk dalam parameter sistem skoring. 3

Pada fasilitas pelayanan kesehatan primer dengan fasilitas terbatas atau dengan akses
yang sulit untuk pemeriksaan, maka dapat mengikuti alur diagnosis TB anak. Langkah awal
dengan pengambilan dan pemeriksaan sputum : 3

1. Jika hasil mikrobiologi (BTA/TCM) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2. Jika hasil negatif atau tidak dapat diambil maka lakukan uji tuberkulin dan foto toraks.
- Jika tidak ada akses/ fasilitas pemeriksaan maka anak dengan riwayat kontak erat dengan
pasien TB menular, dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT. Jika tidak ada riwayat kontak
lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk untuk
uji tuberkulin dan foto toraks.

- Jika tersedia fasilitas uji tuberkulin dan foto toraks, hitung menggunakan skoring. Skor total
≥ 6 (diagnosis TB dan berikan OAT). Skor total < 6 dengan uji tuberkulin positif atau ada
kontak erat (diagnosis TB dan berikan OAT). Skor total < 6 dengan uji tuberkulin negatif
atau tidak ada kontak erat lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi
ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi.

Jika ditemukan foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura/ milier/ kavitas, adanya
gibbus atau koksitis, adanya tanda bahaya, kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, dan
kegawatan lain (seperti sesak napas) maka rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. 3
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Anak3

Penjelasan : 3

1. Pemeriksaan bakteriologis tetap merupakan pemeriksaan utama untuk konfirmasi


diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperoleh
specimen dahak, diantaranya induksi sputum. Pemeriksaan mikrokopis dilakukan 2
kali dan dinyatakan positif jika satu spesimen diperiksa memberikan hasil positif.
2. Observasi persisten gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu dimana rujukan tidak
memungkinkan dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebgainya.
4. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke 2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan factor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resisten obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat pada pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah
perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak3


TATALAKSANA

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif yaitu 3-5 OAT selama 2 bulan awal
dan fase lanjutan dengan panduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan. Regimen
dasar diberikan INH, rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan pertama, dilanjutkan INH
dan rifampisin selama 4 bulan kemudian (2HRZ-4HR). Pada TB paru berat (milier; destroyed
lung) dan TB ekstraparu diberikan 4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan
INH dan rifampisin selama 4-6 bulan kemudian sesuai dengan perkembangan klinis. TB paru
berat atau dengan risiko resistensi maka diberikan etambutol pada permulaan pengobatan.
Pada TB kelenjar superfisial, terapinya sama dengan regimen dasar. Pada TB susunan saraf
pusat terutama meningitis, perikarditis, TB milier dan efusi pleura diberikan prednisone 1-2
mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2-6 minggu. 3-
5

Kortikosteroid dapat mengurangi risiko terjadinya perubahan atau scarring pada pleura
(seperti penebalan atau perlengketan pada pleura), pada X-ray thorax di akhir follow up hinga
16 persen. Kortikosteroid dikombinasi dengan OAT telah dipercayai oleh klinisi dapat
mempercepat penyembuhan dari pleuritis TB dan membantu menegah komplikasi jangka
panjang. Namun kurang banyak informasi mengenai fungsi paru untuk memperjelas apakah
kortikosteroid mengurangi risiko gangguan fungsi paru setelah pleuritis TB.29

Digunakan juga untuk profilaksis, dibagi menjadi profilaksis primer dan sekunder.
Profilaksis primer digunakan untuk mencegah tertular/ infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif. Profilaksis sekunder untuk
mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok infeksi TB. Dosis yang diberikan yaitu INH 5-
10mg/kgBB/ hari selama 3 bulan pada profilaksis primer, dan 6-12 bulan pada profilaksis
sekunder. 3-5
Table 2. Dosis OAT untuk anak3

2.Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed dose combination (FDC)

Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,


paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT / FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin
(R) 75 mg, INH (H) 50 mg dan pirazinamid (Z) 150 mg , serta obat fase lanjutan, yaitu R 75
mg dan H 50 mg dalam satu paket.1

Table 2. Dosis OAT KDT untuk anak3

3.Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
Malnutrisis berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi
harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan
mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, atau pengamatan gejala dan tanda
malnutrisi seperti edema atau muscle wasting. Data berat badan dicatat tiap bulan dan
memantau grafik tumbuh. Jika berat badan belum ideal tapi pola grafik sudah menaik dan
memasuki garis di atasnya, hal tersebut merupakan respon yang baik. Pemberian makanan
tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan
suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika
anak masih dalam masa menyusu. Vitamin D diketahui juga berperan dalam pengobatan
TB.Vitamin D dapat meningkatkan imunitas tubuh terhadap penyakit infeksi. Menurut
penelitian yang dilakukan di Padang, dari 57 orang subyek usia 1- 14 tahun diketahui
sebanyak 83,3% insufiensi vitamin D dan 94,7% yang terinfeksi TB mendapat asupan
vitamin D dibawah RDA (Recommended dietary allowances) < 600 IU. Vitamin D bisa
didapatkan dari paparan sinar ultraviolet B (UVB), ikan, telur, susu dan produk olahan susu,
margarin, serta multivitamin yang mengandung vitamin D. Pada penelitian tidak ada yang
bermakna dari hubungan status gizi terhadap asupan vitamin D, karena sebagian besar subyek
memiliki status gizi baik tetapi juga mengalami insufiensi vitamin D.3,4,30

Defisiensi vitamin D dberhubungan dengan risiko infeksi tuberculosis dan kerentanan untuk
berkembang menjadi penyakit TB dan progresi penyakit. Mekanisme yang pernah dipaparkan
yaitu vitamin D mencegah atau membatasi infeksi dari MTB dengan mengikat bentuk
bioaktif dari vitamin D terhadap reseptor vitamin D, yaitu reseptor nuklear polimorfik yang
meregulasi ekspresi gen-gen penting untuk fungsi imunitas yang terlibat dalam produksi
sitokin. Sebuah systematic review oleh Sutaria et al. mengevaluasi hasil 21 RCT untuk
menilai hubungan kadar vitamin D yang rendah dengan TB, hubungan reseptor vitamin D
dan kerentanan terhadap TB, dan peran suplementasi vitamin D dalam pengobatan dan
pencegahan TB. Sutaria et al.. menyimpulkan bahwa 1) orang dengan TB memiliki kadar
vitamin D yang rendah dari orang yang sehat, 2) orang dengan kadar reseptor vitamin D
tertentu memiliki peningkatan kerentanan terhadap TB, 3) pasien TB yang mendapat
suplementasi vitamin D memiliki outcome yang baik.31,32

4.Pemantauan dan hasil evaluasi


Pemantauan dan hasil evaluasi mencakup dua hal, yaitu pemantauan pengobatan dan hasil
akhir pengobatan. Berikut merupakan pemaparan tentang pemantauan dan hasil evaluasi : 3

Pemantauan pengobatan3

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh pengawas
menelan obat (PMO). Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase
intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada TB
milier dilakukan pemeriksaan radiologis ulangan setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura
setelah pengobatan 2-4 minggu. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu
pemantau pengobatan.

Hasil akhir pengobatan3

- Sembuh : pasien TB baru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal
pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.

- Pengobatan lengkap : pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara


lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negative
namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

-Gagal : pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT

-Meninggal : Pasien TB yang meninggal oleh sebab apa pun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.

-Putus Obat : pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya
terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
-Tidak dievaluasi : pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya,
termasuk dalam kriteria ini adalah “pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten /kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

5. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakmampuan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
dan meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat.

- Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.
- Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan difase lanjutan dan
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

6. Pengobatan ulang TB pada anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan gejala
TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan
cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukan hasil
positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah
mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk melakukan uji tuberculin ulang. 3

7.Tatalaksana efek samping obat

Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada dewasa. Efek
samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh isoniazid,
rifampisin atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu dilakukan secara rutin
pada anak yang memulai pengobatan TB. Peningkatan enzim hati tanpa gejala klinis bukan
merupakan indikasi penghentian terapi anti TB. Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus
harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB.
Adanya keluhan neuritis perifer (misalnya; kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6)
dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10mg tiap 100mg
INH.3

PENCEGAHAN

1. Pencegahan dengan Isoniazid


Anak yang tinggal serumah dengan TB dewasa BTA positif memiliki resiko infeksi
TB 50-60% dan 10% nya berisiko menjadi sakit TB. Pencegahan isoniazid (INH) diberikan
pada anak usia < 5 tahun, anak dengan HIV positif, anak dengan kondisi imunokompromais
(seperti gizi buruk, diabetes mellitus, keganasan, ataupun konsumsi steroid sistemik jangka
panjang). Dosis INH 10mg/kgBB/hari (maksimal 300mg/ hari) selama 6 bulan. 3

2. Pencegahan pada anak kontak dengan pasien TB Resistensi Obat (RO)


Jika anak yang kontak tidak terbukti sakit TB maka diberikan Levofloxacin dan
etambutol selama 6-9 bulan. Risiko berkembangnya penyakit TB pada anak yang berkontak
dengan sumber penularan paling tinggi 1-2 tahun pertama sejak terjadinya infeksi. Oleh
sebab itu, semua kontak anak yang tidak bergejala TB harus di observasi setiap bulan selama
2 tahun untuk memantau timbulnya gejala. 3

3. Investigasi kontak
Investigasi kontak (IK) merupakan salah satu cara menemukan pasien TB secara
aktif. IK seharusnya dilakukan kepada semua orang yang berkontak pada pasien TB, tetapi
sumberdaya yang ada terbatas. IK diprioritaskan pada anak usia 0-14 tahun dengan kriteria
kontak dengan TB infeksius (terkonfirmasi bakteriologis), kontak dengan TB RO, kontak
dengan TB yang terinfeksi HIV, kontak dengan yang terinfeksi HIV. Langkah-langkah yang
dipakai untuk melakukan IK adalah identifikasi kontak, pemeriksaan untuk menentukan ada
tidaknya infeksi atau sakit TB, investigasi anak dengan kontak pada TB RO, investigasi
kontak pada kasus indeks TB anak. 3

4. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette Guerin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG diberikan satu kali sebelum
usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif
untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering
didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena
tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi
BCG yaitu kepada bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif, bayi terlahir dari ibu pasien
infeksi HIV/AIDS, limfadenitis BCG.3,33

PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis TB anak baik jika dikenali sejak dini dan pengobatan yang
efektif. Pada sebagian besar anak dengan TB paru, penyakit akan sembuh total, dan hasil
radiologis menjadi normal, prognosis anak dengan tuberkulosis tulang dan sendi dan
meningitis TB tergantung pada stadium penyakit ketika dimulainya pengobatan. Sangat
diharapkan kepatuhan pengobatan, penanganan gizi sehingga dapat mendukung proses
penyembuhan. Pada pasien dengan sistem imun yang baik, terapi menggunakan OAT
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika bakteri sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen terapi, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Ketika terjadi resistensi atau
intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampicin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%,
bahkan lebih rendah lagi.12, 34

TUBERKULOSIS MULTI DRUG RESISTANT (MDR)

TBC Resisten OAT merupakan perkembangan dari TBC biasa, kemudian pada
akhirnya sesuai dengan kondisiniya berkembang menjadi kebal akan obat tertentu dan
beberapa jenis obat lainnya. Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR,
dan XDR. Anak mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil M.
tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Data menunjukan 5% dari
seluruh kasus TB di tahun 2014 adalah kasus MDR TB. Data surveilans menunjukkan bahwa
sekitar 480.000 orang terkena MDR TB pada tahun 2014, dan 190.000 orang meninggal
karena MDR TB. Meningkatnya jumlah kasus MDR TB pada dewasa, baik yang diobati
maupun tidak diobati, kasus MDRTB pada anak pun mestinya semakin meningkat. Namun
demikian, sampai saat ini data pasti jumlah kasus MDR TB pada anak di dunia belum
diketahui dengan pasti. Pada diagnosis TB MDR, anak memiliki gejala TB dan riwayat
pengobatan sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama, adanya
kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang meninggal saat
pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Pemeriksaan Xpert MTB / RIF lebih digunakan
daripada tes mikroskop, kultur dan kerentanan obat konvensional sebagai tes diagnostik awal pada
anak-anak yang dicurigai memiliki TB MDR.3, 27,35
Gambar 4. Alur Diagnosis TB Resistensi Obat3

Tatalaksana TB MDR anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien MDR TB. Obat-obatan
yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dewasa dengan penyesuaian dosis
sesuai dengan berat badan pada anak. Pengobatan dilakukan kepada anak dengan TB resisten
obat terkonfirmasi berdasarkan hasil uji kepekaan obat tersebut, jika kontak erat kasus TB
resisten obat sesuai dengan hasil uji kepekaan obat (sumber penularan), kontak tidak jelas
dengan kasus TB resisten obat atau anak gagal terapi OAT lini 1 diasumsikan resisten
terhadap rifampisin dan INH. Obat diberikan setiap hari dengan pengawasan langsung
petugas kesehatan. Pengobatann terdiri dari kombinasi sekurangnya 5 jenis OAT pada tahap
awal. Pengobatan awal harus rawat inap di RS Rujukan TB MDR selam 2 minggu.
Pirodoksin (Vitamin B6) diberikan 10mg setiap minum 50mg sikloserin atau pada HIV.
Kriteria OAT TB MDR ada 3 kelopok yaitu obat dengan aktivitas bakterisid (aminoglikosida,
tionamid, dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam), obat dengan aktivitas bakterisid
rendah (flourokuinolon) dan obat dengan aktivitas bakteriostatik (etambutol, sikloserin, dan
PAS).3,36

Panduan pengobatan OAT TB resisten obat: 3

Panduan ini terdiri dari panduan OAT standar dan panduan OAT individual. Panduan ini
terdiri dari kombinasi OAT lini pertama dan kedua. Pada tahap awal, kombinasi terdiri dari
sekurangnya 5 jenis OAT: 3

1. Panduan Standar (TB RR/ TB MDR)


Untuk pasien TB Resisten Rifampisin (RR) dan TB MDR di faskes TB-RO dan faskes TB-
RO rujukan. Pengobatan dapat berjalan selama 9-11 bulan atau 20-26 bulan.

Contoh :
4 OAT inti (1 grup A, 1 grup B, 2 grup C) yaitu Kanamisin (Km), Levofloksasin
(Lfx), Etionamid (Ato, Sikloserin (Cs). 1 OAT lini pertama (grup D1) yaitu
Pirazinamid (Z). 1 obat tambahan yaitu Etambutol.
2. Panduan Individual (XDR)
Panduan ini untuk pasien TB pre-XDR dan TB XDR. Panduan ini adalah kombinasi OAT
lini pertama, OAT lini kedua dan OAT jenis baru (minimal 24 bulan). Panduan OAT standar
dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan MTB menjadi panduan individual
yang ditetapkan oleh dokter terlatih di faskes TB-RO rujukan.

Tabel 3. Dosis OAT Resistensi Obat3

Pemantauan kemajuan pengobatan sangat penting. Setiap bulan melakukan pemeriksaan


bakteriologi pada tahap awal dan setiap 2 bulan pada tahap lanjutan. Pemantauan PMO setiap
hari terhadap efek samping obat. Pemantauan BB, keluhan dan gejala klnis. Melakukan foto
toraks 6 bulan sekali atau bila komplikasi. Pemeriksaan kadar elektrolit dan ureum kreatinin
setiap bulan selama mendapat obat suntik. Pemeriksaan TSH 6 bulan sekali atau jika ada
gejala hipotiroidisme. Pemeriksaan SGOT/SGPT setiap 3 bulan atau ada gejala hepatitis
imbas obat. Jika muntah saat pemberian obat ethionamide dan PAS maka diberikan dalam
dosis rendah dan ditinggika 1-2 minggu sampai mencapai dosis yang dianjurkan dengan dosis
terbagi Dosis tunggu diberi jika tidak muntah lagi. Patuh dalam minum obat. Efek samping
lini 2 lebih sering dari lini 1, biasanya efek sampingnya mual muntah. 3

Tabel 4. Pemantauan kemajuan pengobatan3


Tabel 5. Efek Samping OAT dan tatalaksananya3
Analisis Kasus

Pasien laki-laki berusia 12 tahun datang ke RS karena demam sekitar 4 jam yang lalu dan
batuk yang hilang timbul sejak sebulan lalu. Ibu pasien mengatakan bahwa suhu saat demam
sebelum ke RS adalah 38oC. Pasien sudah diberi obat penurun panas sebelum pergi ke RS
namun ibu pasien tetap ingin membawa anaknya untuk diperiksa di RS karena melihat
anaknya yang terus-terusan kambuh batuk dan demamnya walaupun sudah berobat.

Pada anamnesis, didapatkan gejala yaitu batuk kering yang terkadang disertai demam. Pasien
sudah beberapa kali berobat untuk batuknya. Setelah minum obat, batuk sembuh untuk
seminggu, kemudian akan muncul lagi, dan selalu seperti itu setiap berobat kembali. Nafsu
makan pasien masih baik namun terjadi penurunan BB sejak sakit, yaitu dari yang biasnaya
33kg menjadi 31kg saat ditimbang di RS. Pasien masih aktif dan tidak merasa sesak atau
lemah. Pasien memiliki kebiasaan ke warnet dan terkadang tidak memakai masker. Dari
keterangan pasien dan ibu pasien, tidak ada kontak dengan orang yang punya riwayat TB atau
batuk-batuk lama.

Pemeriksaan foto toraks menunjukkan adanya efusi pleura bilateral. Pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukositosis. Uji tuberculim/Mantoux pasien adalah negative. Pada Tes
Cepat Molekuler (Xpert MTB/Rif) didapatkan MTB positif dan sensitive rifampisin.
Ditinjau dari skoring TB untuk diagnosis, riwayat kontak TB tidak jelas (skor 0), tes Mantoux
diapatkan hasil negative (skor 0), BB/U pasien adalah <5% (skor 2), pasien memiliki demam
tetapi tidak terus menerus setiap hari dan jarang terjadi selama 1 bulan terakhir (skor 0),
batuk yang dialami pasien tetap kambuh walaupun sudah diberi obat batuk selama sebulan
terakhir (skor 1), tidak ada pembesaran KGB (skor 0), tidak ada pembengkakan tulang/sendi
(skor 0), foto toraks menunjukkan efusi pleura bilateral (skor 1). Jadi total skoring TB pasien
ini adalah 4, yang berarti negative bila ditinjau dari skoring dan perlu observasi 2-4 minggu,
yang jika gejalanya menetap maka akan dievaluasi ulang untuk kemungkinan TB atau
dirujuk. Namun dari hasil TCM didapatkan positif MTB sehingga diagnosis TB paru bisa
ditegakkan.

Pasien ini merupakan pasien TB baru yang belum pernah ada riwayat TB maupun
pengobatan TB sebelumnya, dan hasil TCM didapatkan sensitive rifampisin. Hal ini
mengindikasikan pengobatan regimen dasar yaitu 2HRZ-4HR (atau dengan regimen OAT
dewasa kategori 1 karena BB anak >30kg) dan ditambah dengan steroid (misalnya prednisone
1-2mg/kghari selama 2-4 minggu karena pasien terdapat efusi pleura. Untuk evaluasi
pengobatan, pasien harus kontrol ke fasilitas kesehatan tempat dan dipastikan bahwa
pengobatan rutin, dipantau BTA dan efek samping obat setiap 2 minggu selama masa intensif
& tiap bulan selama masa lanjutan. Pasien juga perlu pemeriksaan ulang foto toraks setelah
2-4 minggu pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat jendral pencegahan dan pengendalian penyakit. Petunjuk teknis manajemen
dan tatalaksana TB anak. Jakarta: Kementerian kesehatan Republik Indonesia; 2016.
2. Direktorat penyakit menular langsung sub direktorat tuberkulosis. Tb anak. Diakses 4
Juli 2020. Tersedia di https://tbindonesia.or.id/pustaka/pedoman/tb-anak/
3. Cissy BK. Epidemiologi tuberkulosis. Sari Pediatri. 2019 Agustus; 11(2). h 124-9.
4. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis. Infodatin. 2018.
5. Pudjadi AH, hegar B, handryastuti S, dkk. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Ikatan
dokter anak Indonesia; 2009. h 323-8.
6. Raharjoe NN. Tatalaksana tuberkulosis pada anak. Sari Pediatri.2001 Juni; 3(1). h 24-35.
7. World health organization. Roadmap towards ending TB in children and adolescents.
Diakses 4 Juli 2020. Tersedia di https://www.who.int/tb/publications/2018/tb-
childhoodroadmap/en/
8. World health organization. Global tuberculosis report 2019. Diakses 5 Juli 2019.
Tersedia di https://www.who.int/tb/publications/global_report/en/
9. World health organization. Epidemiologi of childhood TB. Diakses 5 Juli 2019. Tersedia
di https://www.who.int/tb/challenges/ChildhhoodTB_section1.pdf?ua=1
10. Direktorat penyakit menular langsung sub direktorat tuberkulosis. Dasboard TB. Diakses
5 Juli 2020. Tersedia di https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard-tb/
11. Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak 2. Edisi 15. Jakarta : EGC;
2000.
12. Bakhtiar B. Pendekatan diagnosis tuberculosis pada anak di sarana pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2016; 16 (2).
13. Nurwitasari A, Wahyuni CU. The Effect of Nutritional Status and Contact History
toward Childhood in Jember. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2015 Mei; 3(2): h 158-169.
14. Yustikarni K, Sidhartani M. Faktor risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi
mycobacterium tuberculosis. Sari Pediatrik. 2015; 17(2): 136-140.
15. Putra GS, Dewi RRK, Hapsari DI, dkk. Parents knowledge as a risk factor of
tuberculosis in children .Advances in Health Sciences Research.2019 ;24: 202-4.
16. Kelompok kerja tb anak depkes idai. Diagnosis dan tatalaksana TB anak. Jakarta:
Kementerian kesehatan Republik Indonesia; 2008.
17. Yadav R, Vaidya P, Mathew JL. Utility of Xpert MTB/RIF Assay for Diagnosis of
Pediatric Tuberculosis Under Programmatic Conditions in India. Journal of
Epidemiology and Global Health. 2020; 10(2): h 153-6.
18. Concepcion NDP, Laya BF,Andronikou S,dkk.. Standardized radiographic
interpretation of thoracic tuberculosis in children. Pediatric Radiolology. 2017; 47(10):
h 1237–48.
19. Najeeha Talat Iqbal,a,b Kumail Ahmed,a Farah N. Qamar.Antibody-Secreting Cells To
Diagnose Mycobacterium tuberculosis Infection in Children in Pakistan. mSphere. 2020;
5(1): h 1-12.
20. Erisma R, Lubis G, Yani FF. Hubungan asupan nutrisi dengan kadar vitamin D pada
tuberkulosis anak. Sari Pediatrik. 2016; 18(1): 40-4.
21. Ikatan dokter anak Indonesia. Jadwal imunisasi 2017. Diakses 5 Juli 2020. Tersedia di
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017.
22. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi klinik konsep klinis dan proses proses penyakit 2.
Edisi 5. Jakarta: EGC; 2005.
23. Departemen ilmu kesehatan anak fakultas kedokteran UGM. Multi drug resistant pada
anak diagnosis dan tatalaksana. Diakses 6 Juli 2020. Tersedia di
http://libmed.ugm.ac.id/download.php?file=psd%5Epdf%5E145%5E13454220161109
24. Yahya WS, Agustin H, Yunus F, dkk. Tatalaksana tuberkulosis resistensi ganda pada
anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2016; 43(5): h 336-8.

Anda mungkin juga menyukai