Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an karena, Hadis
diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda
Nabi SAW :

‫ْأ‬
‫َم ْن َك َّذ َب َعلَّي ُم َتِع مًدا َفْلَيَتَبَّو َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّناِر‬

Artinya : “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam
neraka disediakan”.

Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadis dari Nabi Muhammad SAW banyak
mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan Hadis adalah salah
satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau
pengurangan terhadap materi Hadis. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti Hadis sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian Hadis
semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan Hadis itu sendiri secara historis telah
dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu Hadis tidak mencukupkan
diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan Hadis di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba
mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian Hadis ditinjau dari
berbagai aspek.

B. Tujuan Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengertian hadis dan syarat-syaratnya.
2. Untuk lebih memahami dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.
3. Untuk mengetahui pembagian dari Hadis dari segi Kuantitas dan Kualitas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Hadis atau al- Hadis menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu
yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang
singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut
dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli
memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis ialah: “Segala perkataan
Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala
yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.1 Ada juga yang memberikan
pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”. Sementara para ulama ushul
memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan
taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.2
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti
bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia
biasa. Yang dikatakan Hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran
Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW.
Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-
ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur
dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat
dikategorikan sebagai Hadis.

1
Soetari AD, Endang, Ilmu Hadis ( Bandung: Amal Bakti Press 1997), h. 4.
2
Tohan, Mahmud , Tafsir Mustalah Hadis (Jakarta : Insan Press, 2002), h. 6

2
B. Klasifikasi Hadis dari segi kualitas dan kuantitas
1. Pembagian Hadis berdasarkan kuantitas
Hadis berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu Hadis dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hadis mutawatir dan
Hadis ahad.
a. Hadis mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring
iringan atau berturut turut antara satu dengan yang lain.
Hadis mutawatir ialah suatu (Hadis) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan.” Tidak dapat dikategorikan dalam Hadis mutawatir, yaitu
segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera,
seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun
yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi
mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadis yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan
haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar Hadis itu
langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian Hadis itu atau
orang-orang yang menyampaikan Hadis itu harus dapat memberikan keyakinan
tentang kebenaran Hadis tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui
bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan Hadis. Ada yang melihat
atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat
diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang periwayatkan Hadis itu.3
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara
mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.
- Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
Suatu Hadis dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
 Hadis (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang
disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut Hadis
3
Idris, Studi Hadis. (Kencana. : Jakarta, 2010) h. 32

3
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
 Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-
orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi
cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
 Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan)
pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadis mutawatir yang memenuhi
syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan
Al-Hazimi menyatakan bahwa Hadis mutawatir tidak mungkin terdapat
karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya
sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di
atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan-jalan Hadis, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan Hadis mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab
yang khusus menghimpun Hadis-Hadis mutawatir, seperti Al-Azharu al-
Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Hadisi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 4

- Macam–macam Hadis mutawatir

4
Ibid, h. 33-34

4
 Mutawatir lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya, baik
dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
 Mutawatir ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna
Hadis secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh
berbeda antara beberapa periwayatan perawi, tetapi maksud
kesimpulannya sama.
 Mutawatir ‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah silamiyah
yang dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan
dan diikuti oleh para sahabat.

2. Hadis Ahad
Menurut Istilah ahli Hadis, tarif Hadis ahad antara lain adalah :
“Suatu Hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah
pemberita Hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang,
empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa Hadis tersebut masuk ke dalam Hadis mutawatir.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya
kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis
Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad
adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada
Hadis Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman
penulis adalah defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang
mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
- Macam–macam Hadis Ahad
 Hadis Masyhur : Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari
Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian
Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat
Mutawatir”.
Dengan demikian, Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam
macam, yaitu:
1. Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. Contohnya hadis

5
yang berasal dari Anas r.a., dia berkata: Bahwasanya Rasulullah
SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan
hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan.
(HR. Bukhari dan Muslim).
2. Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (HR
Abu Daud dan Ibn Majjah).
3. Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih, contohnya:
“Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah (tidak
disengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa”.
(HR Ibn Majjah).
4. Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul
Figh dan kalangan awam, seperti: “Muslim yang sebenarnya itu
adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-muslim
lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad
itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan
yang diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
5. Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti :
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
6. Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan”. (HR Tirmidzi).

3. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya
’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal
dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan
“sangat”. Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya
tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun
boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa
salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal
ini adalah untuk membedakan dari Hadis Masyhur.

4. Hadis Gharib

6
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al-
munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi, yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari
kerabatnya”. Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan
sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut
dinamakan Hadis Gharib.
Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan
Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:
“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal
sanad.”
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di
tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:
“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang
perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan
sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ). Contoh
Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dar i al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya
Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar
(alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).5

C. Pembagian Hadist Berdasakan Kualitas


Berdasarkan kualitas Hadis dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti Hadis yang bersih dari cacat, Hadis
yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan Hadis sahih, yang diberikan oleh
ulama, antara lain :“Hadis sahih adalah Hadis yang susunan lafadnya tidak cacat
dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta
para rawinya adil dan dabit.”6

5
Suryadilaga, M. Alfatih, Ulumul Hadis. (Teras Buku, Yogyakarta : 2010) h. 45
6
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. (Amzah Press, Jakarta : 2010) h. 49

7
Syarat Hadis Sahih adalah:
a. Perawinya harus bersifat adil. Adil di sini artinya bukandalam memutuskan
perkara, melainkan orang yang selalu memelihara ketaatan kepada Allah SWT
dan menjauhi perbuatan maksiat. Seorang perawi yang adil adalah
kepribadiannyamencerminkan orang yang berupaya selalu menjauhi dosa-dosa
kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan
tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar
syara’.
b. Perawinya harus memiliki kriterai dhabith. Maksudnya adalah orang yang
sempurna ingatannya, terutama dalam mengingat hafalan hadits, baik sanadnya
maupun matannya. Ingatan seorang perawi harus lebih banyak dari pada
lupanya. Dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya,
menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
c. Sanadnya bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya
benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak
awal hingga akhir sanadnya.
d. Tidak ada cacat atau illat. Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam
arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-
shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat. ‘Illat hadis dapat
terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-
sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
e. Matannya tidak syaz atau janggal. Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak
syadz, dalam arti bertentangan atau menyelesihi orang yang terpercaya dan
lainnya.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi Hadis
hasan adalah : “yang kami sebut Hadis hasan dalam kitab kami adalah Hadis yang
sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap Hadis yang diriwayatkan melalui sanad di
dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan Hadisnya, tidak
janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang
demikian kami sebut Hadis hasan.”
Syarat Hadis hasan adalah :
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi Hadis sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.

8
e. Tidak ada cacat atau illat.

3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti Hadis yang lemah, yakni para ulama
memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya Hadis itu berasal
dari Rasulullah SAW.
“Hadis daif adalah Hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat Hadis sahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat Hadis hasan.” Jadi Hadis daif itu bukan saja tidak
memenuhi syarat-syarat Hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat
Hadis hasan. Pada Hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya
dugaan untuk menetapkan Hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Hadis dhaif
karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan Hadis dhaif karena adanya cacat pada
rawi atau matan.
a. Hadis dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad,
maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi Hadis dhaif
yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut bahasa, berarti Hadis yang terlepas. Para ulama
memberikan batasan bahwa Hadis mursal adalah Hadis yang gugur rawinya
di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada
tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan Hadis
dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan
melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan Hadis,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
Hadis mursal adalah Hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan
sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
2) Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ menurut etimologi ialah Hadis yang terputus. Para ulama
memberi batasan bahwa Hadis munqathi’ adalah Hadis yang gugur satu atau
dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di
akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah
tabi’in. Jadi, pada Hadis munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang
gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur,

9
maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi
yang gugur itu adalah tabi’in.
3) Hadis Mu’dhal
Menurut bahasa, Hadis mu’dhal adalah Hadis yang sulit dipahami. Batasan
yang diberikan para ulama bahwa Hadis mu’dhal adalah Hadis yang gugur
dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
4) Hadis Mu’allaq
Menurut bahasa, Hadis mu’allaq berarti Hadis yang tergantung. Batasan
para ulama tentang Hadis ini ialah Hadis yang gugur satu rawi atau lebih di
awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan
(tidakdisebutkan).7

b. Hadis dhaif karena cacat pada matan atau rawi


Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti
pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang
buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi
yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun
cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz Hadis atau
diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz
yang sebenarnya.
Contoh-contoh Hadis dhaif karena cacat pada matan atau rawi :

1) Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, Hadis ini memiliki pengertian Hadis palsu atau dibuat-
buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah Hadis
yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada
dirinya. Golongan-golongan pembuat Hadis palsu yakni musuh-musuh
Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni
kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic
terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhu’ merupakan seburuk-buruk Hadis dhaif. Peringatan
Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan Hadis dhaif serta
menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya. “Barangsiapa yang sengaja
berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya
dalam neraka”.
2) Hadis Matruk atau Hadis Mathruh

7
Ibid, h. 47-48

10
Hadis ini, menurut bahasa berarti Hadis yang ditinggalkan / dibuang. Para
ulama memberikan batasan bahwa Hadis matruk adalah Hadis yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik
berkenaan dengan Hadis ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh Hadis matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada
wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”. Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri
dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad,
‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin
Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur
Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, Hadis
tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadis Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti Hadis yang diingkari atau tidak
dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa Hadis munkar ialah
Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang
kuat.
4) Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, Hadis mu’allal berarti Hadis yang terkena illat . Para
ulama memberi batasan bahwa Hadis ini adalah Hadis yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada
sanad, matan, ataupun keduanya.
5) Hadis Mudraj
Hadist ini memiliki pengertian Hadis yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari Hadis itu.
6) Hadis Maqlub
Menurut bahasa, berarti Hadis yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada
nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang
lain.
7) Hadis Syadz
Secara bahasa, Hadis ini berarti Hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan
para ulama, Hadis syadz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi Hadis itu berlainan dengan Hadis-Hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan
dibandingkan dengan Hadis-Hadis lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada
sanad, pada matan, ataupun keduanya.

11
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah
hari-hari makan dan minum.”

BAB III

12
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai
berikut ;
1. Hadis diyakini sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Quran. Hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada manusia..
2. Berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan
suatu Hadis dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hadis mutawatir : suatu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berdusta dan tidak terdapat
kejanggalan didalamnya, dan
b. Hadis ahad : suatu hadist yang pemberitaannya tidak mencapai jumlah perawi
hadist mutawatir
3. Berdasarkan kualitas Hadis dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Hadis sahih : hadist yang bersih dari cacat, hadist yang benar berasal dari
nabi.
b. Hadis hasan : bagus atau baik, yaitu hadist yang sanadnya baik, tidak ada rawi
yang dicurigai berdusta.
c. Hadis dhoif : hadist yang kebenarannya lemah, dan tidak memenuhi hadis-
hadis hasan dan shahih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Thahhan, Mahmud. Taysir Mustalah Al-Hadis. Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim


1979.
As-Syahrawi, Ibrahim Dasuki. Musthalah Al-Hadis. Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-
Fanniyah Al-Muttahidah.
Hasyim, Ahmad Umar . Qowa’id UshululHadis. Beirut: Darul Kitab Al Araby 1984.
Idria. Studi Hadis. Jakarta: Kencana 2010.
Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah 2009.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushulul Hadis: Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya
Media Pratama 1998
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
Soetari AD, Endang, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Suryadilaga, M. Alfatih. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras 2010.
Tohan, Mahmud , Tafsir Mustalah Hadis, Jakarta : Insan Press, 2002
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Studi Hadis. Surabaya: IAIN SA Press
2011.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.1997.

14
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan

A. Pendahuluan................................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan Makalah........................................................................... 1

Bab II : Pembahasan

A. Pengertian Hadis......................................................................................... 2
B. Klasifikasi Hadis dari segi kualitas dan kuantitas................................ 3

Bab III : Penutup.

A. Kesimpulan................................................................................................... 13

Daftar Pustaka

15
MAKALAH

KLASIFIKASI HADIS
DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITASNYA

DISUSUN OLEH :
JOHAN WAHYUDI

SEMESTER : 1 (SATU)
FAKULTAS / PRODI : EKONOMI SYARIAH
MATA KULIAH : STUDI AL HADIS TEMATIK
DOSEN : Dr. TOBIBATUSSA’DAH, M.Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

TAHUN 2023

16

Anda mungkin juga menyukai