Anda di halaman 1dari 10

KRITERIA KEBENARAN

KRITERIA KEBENARAN

Sub. Bagian Dasar-dasar Pengetahuan

1. A. PENDAHULUAN

Kebenaran merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering kali dengan
dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan
menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan
yang benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru
melakukan pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah
kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri, yang
menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar walaupun orang
tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar
anaknya mau belajar matematika. Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar
karena seorang guru matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu
hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian
pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut dengan
keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa
yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembohong.[1]

Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika semua yang
disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta
didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif maupun
positif dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa
yang menjadi kriteria kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak
ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan,
konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak
netral, bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif atau sepanjang masa?

Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu
rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum
kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan
menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat
Islam.

Oleh karena itu pemakalah akan membahas sekitar kriteria kebenaran ditinjau dalam
pendekatan filsafat sebagai salah satu bagian dari dasar-dasar pengetahuan. Apakah itu
kebenaran, bagaimana proses pengetahuan dianggap benar. serta bagaimana mendapatkan
kebenaran dengan berbagai macam pendekatan ilmiah. Paling tidak sebagai pijakan
kriteria kebenaran yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1. B. POKOK BAHASAN
2. 1. Pengertian Kebenaran

Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-


hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan
diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam
diri pengenal dan masyarakat pengenal.

Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah
sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu
pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam
kerangka berfikir sebagai berikut:

ü Yang logis ialah yang masuk akal

ü Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional

ü Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam

ü Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.

ü Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra
rasional.[2]

Dengan menggunakan istilah logis dan rasional sebagai bahan dasar dari kebenaran
dalam pengetahuan, maka kriteria kebenaran tidak dapat berdiri sendiri sebagai hasil
disiplin ilmu, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang akan
diselesaikan manusia dalam kehidupannya, baik masih berupa hipotesa ( dugaan
kebenaran sementara) sehingga menghasilkan teori, teori bisa menjadi hukum. Secara
garis besar Ahmad Tafsir menggambar skema permasalahan sampai menjadi kebenaran
secara teori sebagai berikut:[3]

dugaan
Belum diuji kebenaran
Selalu benar (bukti empiris)
hipotesa
teori
Diuji kebenaran dan terbukti
Adanya sebab akibat (rasional)
Hukum/ aksioma

Dengan melihat skema di atas, dapatlah dikatakan bahwa ketika ada masalah, maka
sebagai manusia yang serba ingin tahu akar masalah maka ada dugaan. Berangkat dari
dugaan maka ada anggapan sementara yang kita sebut hipotesa. Hipotesa ini merupakan
anggapan kebenaran sementara yang belum teruji secara teoritis. Hipotesa ini ada karena
adanya sebab akibat yang dapat dibenarkan secara rasional. Hipotesa yang sudah diuji
kebenaran dan terbukti kebenarannya maka menjadi teory misalnya dalam teory tabularsa
dalam pendidikan. Sedangkan suatu teori yang selalu benar secara empiris maka naik
tingkatannya menjadi aksioma atau hukum.

Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain,
Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu: 1.
Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang
benar ( sunguh-sungguh ada, betul demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4.
Selalu izin,perkenan, 5. Jalan kebetulan.[4]

Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran
dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran
metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara
yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan
epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan
realitas objektif. Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh
berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi.
Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.[5]

Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas


objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia
didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak
diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan
dengan fakta. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran
epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh
ada.

Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu
berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang
dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya
mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan
Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan
eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran
mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian
kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika formal
Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan pembuktian materil
atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian probabilitas.[6]

Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat,
pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah,
bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di
muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk
lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap
oleh manusia.[7]

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa
yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam
bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih
tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka
yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).[8]

Dengan melihat berbagai kajian tentang kebenaran sebagai dasar-dasar pengetahuan,


penulis berpendapat bahwa terdapat keanekaragaman kebenaran itu sendiri, tergantung
berangkat dari disiplin ilmu apa, pendekatan apa yang dipakai dalam menentuan
kebenaran, dan aliran filsafat apa yang dijadikan paradigm berpikir. Bagi kalangan agama
kebenaran yang berasal dari wahyu Allah adalah mutlak kebenarannya. Sedangkan
kebenaran hasil pemikiran manusia bersifat nisbi. Kebenaran dari wahyu Allah tidak
semua bersifat jelas dan gamblang, akan tetapi banyak informasi tentang kebenaran yang
mengarahkan kepada manusia untuk berfikir, memperhatikan, mengkaji proses yang
terjadi di alam ini, paling tidak jika tidak ada kebenaran yang absolut, maka setidaknya
pendekatan terhadap kebenaran itu sendiri.

Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan,


maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik
dengan cara mengadakan penelitian atau mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini
dibedakan menjadi dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non
ilmiah. Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan
kebenaran non ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah. Kebenaran non ilmiah antara lain:

• Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak
ditemukan secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu
dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya,
dipukul, kemudian bunyi.
• Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian
konsep yang dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh
kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan
adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi penelitian psikologi
membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan masa depan
peserta didik.
• Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa
menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya
dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman
lama dan mendarah daging di suatu bidang.
• Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang-
ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameter-parameter sampai
akhirnya menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.
• Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang
dipikirkan secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya
lebih rendah.
• Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh
kewibawaan seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki
otoritas dalam suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima
begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar bisa salah karena tanpa
prosedur ilmiah.
• Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan
rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi
sebagian yang lain tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap
kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur`an
sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw diyakini
kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang non
muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab yang lainnya.

Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah paling tidak kita


dapat membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji
secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah
sekarang bagaimana kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah.

1. 2. Kriteria Kebenaran Ilmiah

Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini,
adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan
yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah
dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada
penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan
sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada
saat itu.

Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu,
agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan
standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk
pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah
pada makna lainnya. Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi
bermakna keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah
dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.[9]
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah.

Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk mendapatkan kebenaran


berikut!

Penelitian
kebenaran
Ilmu pengetahuan
proses
hasil
proses

Dengan memperhatikan tahapan denah jika dikaji dari penelitian maka kebenaran
merupakan proses dari hasil ilmu pengetahuan dan sebelumnya telah dilakukan
penelitian. Maka dengan itu kaitan dengan bagaimana proses menghasilkan kebenaran
secara ilmiah yang sistematis, supaya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula.

Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan
dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua
objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya.
Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.

Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis


tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk
mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi
logis dari watak objek. Maka secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian
antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang
menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek
yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [10]

Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat
pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata-kata yang
dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak
memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat
adalah susunan kata-kata yang memiliki arti yang dapat berupa:

_ Pernyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”,

_ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”,

_ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun


_ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”

Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar
atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan,
matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat
tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi
perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori
ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli
lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat
menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-
ahli lainnya akan berusaha untuk menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar.
Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya jika tidak bernilai benar.
Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori
telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala.
Beberapa nama menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut diperhitungkan karena telah
berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM), Charles S
Peirce (1839 − 1914), dan Bertrand Russell (1872 − 1970).[11] Paparan berikut akan
membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang dimuat di
dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah. Untuk menjelaskan
tentang kriteria kebenaran ini perhatikan dua kalimat berikut:

a. Semua manusia akan mati.

b. Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180°.

Pertanyaannya, dari dua kalimat tersebut, kalimat manakah yang bernilai benar dan
manakah yang bernilai salah. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kalimat tersebut
dikategorikan bernilai benar atau salah, dan bilamana suatu kalimat dikategorikan
sebagai kalimat yang bernilai benar atau salah. “Semua manusia akan mati,” merupakan
suatu pernyataan yang bernilai benar karena kenyataannya memang demikian. Artinya,
kalimat yang menyatakan bahwa semua manusia akan mati tersebut adalah sesuai atau
cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, yaitu sejak jaman dahulu kala sampai saat ini,
setiap makhluk hidup yang bernama manusia akan mati. Tidak hanya itu, tidak dapat
ditunjukkan akan adanya orang (bahkan hanya satu orangpun)yang bersifat kekal atau
abadi. Pernyataan a) bernilai benar karena pernyataan itu melaporkan, mendeskripsikan
ataupun menyimpulkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Pernyataan a) tersebut
akan bernilai salah jika sudah ditemukan suatu alat atau obat yang sangat canggih
sehinggaakan ada orang yang tidak bisa mati lagi. Sedangkan pernyataan b) bernilai
benar karena pernyataan itu konsisten atau koheren ataupun tidak bertentangan dengan
aksioma yang sudah disepakati kebenarannya dan konsisten juga dengan dalil atau
teorema sebelumnya yang sudah terbukti. Itulah sekilas tentang teori korespondensi dan
teori koherensi yang memungkinkan kita untuk dapat menentukan benar tidaknya suatu
pernyataan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Suriasumantri menyatakan bahwa ada tiga teori
yang berkait dengan kriteria kebenaran ini, yaitu: teori korespondensi, teori koherensi,
dan teori pragmatis. Namun sebagian buku hanya membicarakan dua teori saja, yaitu
teori korespondensi dan teori koherensi karena pragmatism dijadikan sebagai pelengkap
dua teori tersebut. Sehingga pembicaraan kita hanya berkait dengan dua teori tersebut.

Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran


yaitu terori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi adalah suatu teori yang
menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren
atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita
mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar,
maka penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati
adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
Teori lainnya adalah teori korespondensi dengan tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ),
pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu
kota Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan pernyataan yang benar sebab
pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dan
sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung ,
maka pernyataan tersebut tidak benar.[12]

Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak
awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan
kenyataan yang diketahuinya.[13]

Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa
kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan,
maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang
kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana
dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori
korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.

Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi yang


berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara
pernyataan yang satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system
pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang
unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori
kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[14] Kelemahan dari teori koherensi ini
terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal.
Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika
dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada
relativisme kebenaran.

Kedua teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang dipergunakan dalam
cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang
berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses
pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung
suatu pernyataan tertentu menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran
pragmatis.

Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang
mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran.
Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar , jika
pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia.[15]

Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan


kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan
mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu
tidak lagi bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.

Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific
methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat
kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu
pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah
banyaknya teori baru yang semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin
berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang
melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal, Biologi berkepentingan untuk
meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai makhluk yang berbudaya,
begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan kesejehateraan manusia,
bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan
keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh
pengalaman, pengetahuan, cita-cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri
manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan
melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat
menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.[16]

Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu.
Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan
terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan
dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut
langkah-langkah sama akan yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil
yang ajeg ( consisten) atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut
Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap
orang, karena pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias,
dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan subyektif. Atau kebenaran ilmiah
terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendaki untuk mengujinya.[17]
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar
pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari
objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal.
Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik
yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal.

Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi
semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam
pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan
metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan
melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel,
tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi
karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang
kemampuan akal budinya.

Anda mungkin juga menyukai