Anda di halaman 1dari 10

PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA MENURUT JOHN PIAGE

Dosen pembimbing :

Lina Amelia, M.Pd

Kelompok 1

Mauizah Zahra :1711070041

Meli daini :1711071143

Hera susanti :1711070037

Jusriana :1711070039

Lelen harwina :1711070040

Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD)


Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Bina Bangsa Getsempena
(STKIPBBG)
Darusalam Banda Aceh
2020-2021

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur kepada Allah Swt, karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa
sholawat dan salam kami limpahkan kepada Nabi Muhammmad SAW, pada para sahabatnya,
keluarganya sampai kepada kita umat-Nya.Alhamdulillah makalah yang kami buat ini
berjudul Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini menurut johan piage. Makalah ini dibuat
sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Perkembangan Anak Usia Dini. Makalah ini
tersusun tak lepas dari bimbingan Bu Lina Amelia, M.Pd. Oleh karena itu kami
mengucapkan terima kasih atas bimbingan beliau. Kami menyadari makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kami berharap kritik dan saran membangun dari semua
pihak guna sempurnanya makalah ini.Akhirnya kami berharap mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi dunia pendidikan. Amin

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………....…2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang………………………………………………………….... …….4


1.2 Rumusan masalah………………………………………………………...…....4
1.3 Tujuan dan manfaat penulisan………………………………………………....4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian moral................................................................................................5

2.2 Pengembangan aturan permainan……………………………………………,.5

2.3 intensi dan konteskuensi………………………………………………………6

2.4 Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal…………………………….…7

2.5 Bagaimana Tahap perkembangan moral………………………………...……8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………...9

3.2 saran…………………………………………………………………………..9

Daftar pustaka…………………………………………………………………....10

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Usia dini merupakan usia yang sangat penting dan menentukan bagi perkembangan
anak. Masa ini disebut sebagai the golden age, yaitu saat perkembangan otak, sebagai
pusat kecerdasan, organ sensoris, dan organ keseimbangan, berkembang sangat pesat.
Hampir 80% kecerdasan anak sudah berkembang pada masa ini. Di Indonesia, usia dini
terhitung sejak lahir sampai 6 tahun (Slamet Suyanto, 2003: 36). Usia TK merupakan
salah satu rentang umur pada anak usia dini, yaitu usia 4 sampai 6 tahun
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki fungsi utama mengembangkan semua
aspek perkembangan anak secara maksimal dan menyeluruh. Aspek perkembangan anak
meliputi perkembangan moral dan nilai– 2 nilai agama, sosial emosional, kognitif,
bahasa, fisik–motorik, kemandirian dan seni. Aspek–aspek perkembangan tersebut tidak
berkembang secara sendiri– sendiri, tetapi saling terintegrasi dan terjalin satu sama lain
1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas maka kami mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

2.1. Bagaimana Pengertian moral?

2.2 Bagaimana Pengembangan aturan permainan?


3.3 Bagaimana intensi dan konteskuensi?
4.4 Bagaimana Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal?
5.5 Bagaimana Tahap perkembangan moral?

1.3 Tujuan dan manfaat penulisan

2.1. Untuk mengetahui Pengertian moral

2.2 Untuk mengetahui Pengembangan aturan permainan

3.3 Untuk mengetahui intensi dan konteskuensi

4.4 Untuk mengetahui intensi dan konteskuensi

5.5 Untuk mengetahui Tahap perkembangan moral

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Moral

Moral berasal dari kata latin mores yang di artikan tata cara dalam kehidupan, adat
istiadat, kebiasaan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagi macam
prilaku yang harus di patuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur
prilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok social dan masyarakat

a.Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget

Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam
Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak
adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan
membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial.
Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang
untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka
tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget
menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum
mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya
aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam
permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan
yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian
antar pemain.

Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan,
yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous. Sebelum mempelajari perbedaan kedua
tahap tersebut berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan pengamatan
Piaget terhadap anak-anak yang sedang bermain kelereng.

2.2 Pengembangan aturan permainan

Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba mempelajari tingkah laku anak
melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget untuk memahami bagaimana anak-anak
berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget

5
memilih permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas penelitiannya, juga
untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk menjelaskan dan membuat aturan sendiri.
Dari hasil wawancaranya dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah
jawaban yang berbeda-beda pula.

Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:28),
diketahui bahwa:

a. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan


cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima
aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.

b. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing
anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki
empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini
cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia ini
mereka sering melanggar aturan tersebut.

c. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan
meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur).

d. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama
tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang bisa
diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.

2.3. Intensi dan konsekuensi

Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan
moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak
pada masalah-masalah moral seperti berbohong.Dari hasil penelitiannya, Piaget (dalam
Cahyono dan Suparyo, 1985:31)menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda
cenderung menilai suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material.
Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu
memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan.

Intensi dan komsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari


tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna
berbohong, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab dengan

6
anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperolehlah hasil bahwa anak-anak yang lebih muda
usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup
mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna bohong adalah sesuatu
yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk diucapkan.

2.4. Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal

Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan pelanggaran dalam keluarga,


yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak
mengenai keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengklasifikasikan
hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory
punishment) dan hukuman-hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).

 Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood (dalam Cahyono dan Suparyo,


1985:33) mengemukakan, bahwa hukuman harus atas pertimbangan yang wajar antara
bobot kesalahan dan juga bobot penderitaan si pelanggar atas hukuman yang
ditimpakan. Contoh hukuman ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul,
menampar, tidak memberi uang jajan, dilarang bermain untuk sementara waktu, dan
sebagainya.
 Hukuman yang bersifat resiprositas (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34)
senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang
dibuat. Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat
perbuatannya. Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.

Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34), diketahui
bahwa hukuman resiprositas dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan
moralnya pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat
bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun
mencapai 50% memilih hukuman ini, dan anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80%
memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih anak-anak yang
perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak pada tingkat usia ini, percaya
bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang,
dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara alamiah.

Antara Equality dan Equity

7
Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan distributif
yaitu equality dan equatity.

Menurut pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:35), equality yaitu
pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu
pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu.

Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget


mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon anak-anak
berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:

1. Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat
hukum yang harus dijalankan.

2. Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi
hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan tertinggi.

3. Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak
akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.

2.5. Tahap perkembangan moral

Berdasarkan pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget (dalam Slavin, 2006:52),


menyimpulkan bahwa terdapat dua tahap perkembangan moral dengan ciri-cirinya masing-
masing,yaitu sebagai berikut:

a. Heteronomous morality (usia 5-10 tahun) pada tahap perkembangan moral ini, anak
memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki oleh tuhan, orang tua dan
guru yang tidak dapat di rubah dan harus di patuhi dengan sebaik-baiknya.
Maksudnya moral itu tidak dapat di ubah dan hanya dimiliki orang-otang yang lebih
dewasa dari si anak.
b. Autonomous morality (usua 10 tahun ke atas) moral tumbuh melalui kesadaran,
bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral.
Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah
laku ang berarti si anak mulai sadar dengan adanya moral maka anak tersebut dapat
dinilai baik dan buruknya.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan moral anak usia dini maka dapat di ambil kesimpulan makna
agama bagi anak-anak adalah sesuatu yang bersifat konkrit dan jauh lebih kuat daripada
dirinya, sehingga mampu memberi perlindungan.

3.2 saran

Setiap anak memiliki pemahaman yang berbeda, oleh karena itu pendidik harus
mengetahui sampai mana anak itu memahami tentang moral

9
Daftar pustaka

Suyadi, M.Pd. I .2010 psikologi belajar paud. Yogyakarta:bintang pustaka abadi

10

Anda mungkin juga menyukai