Anda di halaman 1dari 5

TA’ARUDH AL-ADILLAH

(Pertentangan Antar Dalil)


A. Pengertian Ta‟arudh Al-Adillah

 Secara bahasa, ta‟arudh mashdar dari ( ‫تعارضا‬-‫يتعارض‬-‫ )تعارض‬yang artinya

pertentangan/kontradiksi. Sedangkan al-adillah jamak dari kata dalil (‫ )دليل‬yang

berarti alasan, tanda, argumentasi.


 Secara istilah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil
dengan hukum yang dikandung dalil lainnya yang kedua dalil tersebut berada dalam
satu level/derajat.

B. Syarat Ta‟arudh Al-Adillah


 Dua dalil yang kontradiktif itu sama dari segi levelnya sehingga bisa terwujud suatu
dalil yang bertolak belakang & berseberangan. Olehnya tidak mungkin terjadi
kontradiksi antara dalil yang kuat dengan dalil yang lemah.
 Adanya dua hukum yang berseberangan yang ditetapkan oleh dua dalil, seperti satu
ditetapkan halal & yang lain haram. Olehnya itu jika dua dalil itu sama hukumnya,
maka tidak terjadi kontradiksi karena bisa saja yang satu sebagai penegas &
pendukung terhadap dalil lainnya.
 Objek hukum yang bertentangan tersebut sama.
 Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu

C. Cara Penyelesaian Ta‟arudh Al-Adillah


Ulama Hanafiyah Ulama Syafi‟iyah
1. Nasakh Al-Jam‟u wa al-taufiq
2. Tarjih Tarjih
3. Al-Jam‟u wa al-taufiq Nasakh
4. Tasaqut al-dalilain Tasaqut al-Dalilain

Nurul Chotimah | 1
 Al-Jam‟u wa al-taufiq
Adalah mengumpulkan & mengkompromikan kedua dalil yang kontradiksi. Ini
sesuai dengan kaidah “Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih utama
daripada mendisfungsikan salah satu dalil secara keseluruhan”.
 Tarjih
Adalah menguatkan & mengamalkan salah satu dari kedua dalil. Tarjih dilakukan
apabila pengkompromian kedua dalil tidak dapat dilakukan. Seorang mujtahid boleh
menguatkan salah satu dalil dengan sesuatu hal yang dapat mendukungnya, serta
mengamalkan dalil yang lebih kuat.
Hadis Rasulullah Saw. Berikut. Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata, adalah Abu
Hurairah berkata, “Barangsiapa yang junub sampai tiba waktu subuh, maka tidaklah
ada puasa baginya.”(HR Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadis. Dari Rasulullah dan Ummu Salamah istri
Nabi Saw. Bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw masih dalam keadaan junub,
bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau puasa.” (HR Malik).
Kedua hadis di atas terjadi ta‟arudh, namun ulama mengatakan dalil hadis kedua
(riwayat Aisyah dan Ummu Salamah lebih kuat) dari pada hadis riwayat Abu
Hurairah.
 Nasakh
Secara bahasa adalah membatalkan, memindahkan, merubah. Nasakh berarti
membatalkan hukum yang ada, didasarkan adanya dalil yang datang kemudia yang
mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama. Nasakh dapat
dilakukan apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan.
 Tasaqut al-Dalilain
Tasaqut secara bahasa berarti melemparkan. Secara istilah adalah
melemparkan/menjatuhkan kedua dalil yang kontradiksi. Maksudnya apabila terdapat
dua dalil yang kontradiksi, lalu tidak dapat (dikompromikan, di-tarjih, di-nasakh),
maka kedua dalil tersebut dijatuhkan pengamalannya (kedua dalil tersebut tidak
diamalkan). Seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil dan berijtihad dengan
dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang kontradiktif tersebut.

Nurul Chotimah | 2
D. Macam-Macam Ta‟arudh al-Adilah
 Ta‟arudh antara Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an
ۖ ‫ص َن بِأَن ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشرا‬ ِ ِ َّ
ً ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أَ ْزَو‬
ْ َّ‫َٰجا يَتَ َرب‬ َ ‫َوٱلذ‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh
hari”. (QS. Al-Baqarah: 234).
Sedangkan dalam ayat berikut:
ِ ْ َ‫وو ُ ْاو‬
ۗ ‫اا اَ َج ُ ُه َّن اَ ْن يَّ َ ْع َن َ ْ َ ُه َّن‬ َ ُ‫َوا‬
َ
”....Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya...” (QS At Thalaq : 4).

Dalam QS.Al-Baqarah: 234 menghendaki bahwasanya setiap orang yang


meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan
empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak. Sedangkan
dalam Qs. At-Thalaq: 4 menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang hamil,
iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal
mati suaminya atau tidak.
Jadi dua nash tersebut saling bertentangan pada kasus ini. Dua ayat di atas harus
dikompromikan. Jika istri yang ditinggal suaminya sedang hamil, maka hendaknya
ber-iddah dengan salah satu yang lebih dari dua ketentuan di atas. Seandainya ia
melahirkan kandungannya sebelum empat bulan sepuluh hari dari tanggal wafat
suaminya, maka ia harus menanti sampai sempurna empat bulan sepuluh hari.
Apabila dalam empat bulan sepuluh hari ia belum juga melahirkan, maka iddah-nya
sampai ia melahirkan.
 Ta‟arudh Al-qur‟an dengan Sunnah
ۗ َ ْ ‫ت اِ ْن تَرَك َخْي را ۖ ۨ الْو ِ يَّي ُ لِْلوالِ َديْ ِ ْااَ ْ رِ ْ َ ِالْم ْعرْ ِ ۚ َحقًّا َعلَى الْم ِتَّيق‬ ِ ِ
ُ َُ َ َ َ َ ً َ ُ ‫ضَر اَ َح َد ُك ُم الْ َم ْو‬
َ ‫ب َعلَْي ُك ْم اذَا َح‬
َ ‫ُكت‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu,

Nurul Chotimah | 3
jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat
dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS.
Al-Baqarah: 180).
Sedangkan hadis Rasulullah Saw menyatakan sebaliknya:
Artinya.“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw.
Bersabda ketika khutbah haji wada‟ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak
kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi).
 Ta‟arudh Sunnah dengan Sunnah
“Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang).” (H.R
Bukhari dan Muslim). Hadist di atas menjelaskan bahwa riba hanya terdapat adalah
nasiah. Sedang dalam hadist lain Rasulullah Saw bersabda:
“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (H.R
Bukhari dan Muslim).
Dari dua hadits di atas tampak terlihat adanya pertentangan mengenai hukum riba.
Hadist pertama menjelaskan bahwa riba hanya terdapat pada jual beli sedangkan
hadits kedua melarang riba fadl kecuali menukar benda yang sejenis. Jika
dikompromikan kedua hadits di atas maka dapat disimpulkan bahwa riba yang
diharamkan ialah riba nasiah sedangkan riba fadl dibolehkan jika benda yang ditukar
itu sejenis.
 Ta‟arudh Sunnah dengan Qiyas
Sabda Nabi Muhammad Saw : “Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta
ataupun kambing (agar kelihatan besar), barang siapa membelinya sesudah terjadi
demikian, maka boleh memilih di antara dua pandangan yang dianggap baik bila
menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu, atau mengembalikannya dengan
membayar satu sha’ dari tamar.” (H.R Muthafaqun „Alaih dari Abi Hurairah).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian unta atau kambing
itu pembeli dengan membayar satu sha‟ dari tamar. Ini pendapat Jumhur. Ulama
Hadawiyah berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila
masih dan bila telah habis dengan mengganti harga air susu itu, hal ini diqiyaskan
pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak

Nurul Chotimah | 4
yang menggunakan barang orang lain itu mengganti sejumlah atau senilai dengan
yang telah dipergunakan.
 Ta‟arudh Qiyas dengan Qiyas
Muhammad Abu Zahra mencontohkan tentang perwalian. Aliran Hanafiah
memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran Syafi‟i tentang illat perwalian bagi
anak perempuan. Menurut Imam Abu Hanifah, illat perwalian adalah sighar (keadaan
di bawah umur), oleh karena itu hak perwalian hilang apabila anak itu sudah sampai
usia baligh. Adapun menurut Imam Syafi‟i, illat-nya adalah bukarah (kegadisan), jadi
hak perwalian hilang apabila anak sudah melangsungkan pernikahan, walaupun
belum sampai usia baligh, dan hak perwalian tetap ada walaupun usia sudah sampai
baligh tetapi belum menikah.

Nurul Chotimah | 5

Anda mungkin juga menyukai