Anda di halaman 1dari 12

Makalah amtsalul qur’an

Dosen pengampu:

Kamaluddin.spdi

Penyusun :

Abdullah farid

Iqbal al faruq

Sekolah tinggi ilmu al qur’an dan tafsir wali songo Situbondo 2020

KATA PENGANTAR
Puji syukurkita panjatkanke hadirat AllAh SWT atas Rahmat,Hidayah, dan inayah-
nya Penulis dapat menyelesaikan makalah ini.shalawat serta salam semoga selalu
tercurah Atas nabi Muhammad Saw.sebaik-baik makhluk yang pernah di
ciptakan,yang sangat lembut hatinya,yang kasih sayangnya kepada kita tidak bisa
diuangkapkan lagi dengan kata-kata.

Makalah yang berjudul’’amtsalul qur’an”penulis yang disusun untuk


memenuhi tugas mata kuliah studi amtsalul qur’an

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Halili.Spd.i selaku dosen


pengampuh yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan
makalh ini.

Dan kami semua pihak,khusus nya para pembaca makalah ini,kami


harapkan kritik dan saran yang membangun agar penulisan dapat mengureksi
kesalahan tersebut dan sebagai bahjan pembelajaran bagi pelis dimasa yang akan
dating.

PEMBAHASAN
Amtsal Al-Qur’an

A. Definisi Amtsal Al-Qur’an


Menurut Supiana dan Karman (2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak
dari matsal. Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah,
syibh, dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amtsal dalam sastra adalah
penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu
pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba ramiyah min
ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh kesalahan
pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin Yaghust
Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun
kadang-kadang benar.
Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang
menakjubkan. Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan dalam banyak ayat.
Seperti,

‫َم اٍء َغْيِر َء اِس ٍن َو َأْنَهاٌر ِم ْن َلَبٍن َلْم َيَتَغَّيْر َطْع ُم ُه َو َأْنَهاٌر ِم ْن َخ ْم ٍر َل َّذ ٍة‬ ‫َم َثُل اْلَج َّنِة اَّلِتي ُوِع َد اْلُم َّتُقوَن ِفيَها َأْنَهاٌر ِم ْن‬
‫ِفيَه ا ِم ْن ُك ِّل الَّثَم َر اِت َو َم ْغ ِف َر ٌة ِم ْن َر ِّبِهْم َك َم ْن ُه َو َخاِل ٌد ِفي الَّن اِر‬ ‫ِللَّش اِر ِبيَن َو َأْنَه اٌر ِم ْن َع َس ٍل ُمَص ًّفى َو َلُهْم‬
‫َو س ُُقواَم اًءَح ِم يًم اَفَقَّطَع َأْمَع اَء ُهم‬

“perumpamaan surga yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa


ialah: ada padanya beberapa sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan
baunya), dan beberapa sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, serta
beberapa sungai dari arak yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan
juga beberapa sungai dari madu yang suci bersih. Dan ada pula untuk mereka di
sana segala jenis buah-buahan, serta keredaan dari Tuhan mereka...” (QS.
Muhammad: 15).
Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam
menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan
keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor.
Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam masalah Amtsal dalam Al-
Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu
yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau
salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan. Al-Qur’an
secara terminologi menurut Drs. Anwar Rosihin, M.Ag beliau berkata
bahwasannya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan
perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang
dikemukakan Al-Qur’an (2008: 28).
Menurut Syahidin (2009 : 78), di dalam Al-Qur’an ditemukan 165 tempat yang
memakai kata amtsal (permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk
mengumpamakan) dan masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan
perumpamaan.
Ash-shidieqy (1972: 174) didalam Al-Qur’an sendiri, kata amtsal dipergunakan
dalam beberapa pengertian, sebagai berikut.
a. matsal diartikan dengan “perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”
b. matsal berarti “contoh atau tauladan”
c. matsal berarti “penerangan”
d. matsal berarti “tanda atau bukti”
e. matsal berarti “keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta
menakjubkan”, dan
f. matsal berarti “perbandingan”
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian
besar berupa penggunaan tasybih sharih, seperti:
“sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan)
yang kami turunkan dari langit.” (QS. Yunus: 24).
Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak
langsung), mislanya:
“...Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain sukakah salah
seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujurat: 12).
Dikatakan dhimmi karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih. Dan ada
pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
“Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Hajj: 73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak
dapat menciptakan seekor lalat pun” oleh Allah disebut dengan Amtsal padahal
didalamnya tidak terdapat isti’arah maupun tasybih.
Berkaitan dengan amtsal dalam Al-Qur’an kuntowijoyo, memandang bahwa “pada
dasarnya kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian”(1991: 327-329).
Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah
dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang
komprehensif mengenai nilai-nilai sejarah islam, sedangkan bagian kedua
dimaksudkan sebagai ajakan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah
kesabaran Nabi Ayyub misalnya menggambarkan tipe sempurna tentang betapa
gigihnya kesabaran orang yang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah
kezaliman Fir’aun menggambarkan mengenai kejahatan tirani pada masa paling
awal yang pernah dikenal manusia. Adapun kisah Tsamud yang membunuh unta
milik Nabi Saleh lebih menggambarkan mengenai penghianatan masal oleh
konspirasi-konspirasi kafir.
B. Jenis Amtsal dalam Al-Qur’an
Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal
kaminah, dan amtsal mursalah.
1) Amtsal musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh
matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal ini seperti
banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, dan berikut ini beberapa diantaranya:
a. Tentang orang munafik
“perumpamaan (matsal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang
benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai
gelap gulita, guruh dan kilat...sampai dengan- Sesungguhnya Allah berkuasa atas
segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang
munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nar) dalam firman-Nya, “adalah
seperti orang yang menyalakan api..,” karena di dalam api terdapat unsur cahaya.
Matsal yang lain adalah berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang yang
ditimpa) hujan lebat dari langit...,” karena di dalam air terdapat materi kehidupan.
Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan
menghidupkannya. Allah juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua
keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk
penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka memperoleh kemanfaatan
materi dengan sebab masuk islam. Namun keislaman mereka tidak memberikan
pengaruh terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada
dalam api itu,”Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.” Kemudian
membiarkan unsur api “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan
mereka yang berkenaan dengan api.
Adapun dalam matsal air (ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan
orang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh, dan kilat, kekuatannya
terkuras habis. Lalu ia menyumbat telinga dengan jari jemarinya, sambil
memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Gambaran ini laksana Al-
Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khithabnya bagi mereka
seperti petir yang turun menyambar.
b. Allah juga menyebutkan dua macam matsal air (ma’i) dan api (nar), dalam
surat ar-Ra’d, untuk menggambarkan yang hak dan yang batil,
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
dilembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang
mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikian Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d: 17).
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untik menghidupkan hati diserupakan
dengan air hujan yang diturunkannya untuk menghidupkan bumi dan tumbuh-
tumbuhan. Hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir dilembah
akan menghanyutkan buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila
mengalir di hati akan berpengaruh terhadapa nafsu syahwat, dengan
menghilangkannya. Inilah matsal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan
air (hujan) dari langit...” Demikianlah Allah membuat matsal bagi yang hak dan
yang batil.
Mengenai matsal nari, dikemukakan dalam firman-Nya: Dan dari apa (logam) yang
mereka lebur dalam api....” Logam, bail emas, perak, tembaga, maupun besi, ketika
dituangkan kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran dan karat yang
melekat padanya, memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan,
sehingga karat itu hilang dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan
dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air
menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2) Amtsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas
lafazh tamtsil, tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam
redaksinya singkat padat, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan
kepada yang serupa dengannya. Contohnya:
(a) Ayat-ayat yang senada dengan suatu ungkapan “sebaik-baik perkara adalah
yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang.” Yaitu:
a. Fi rman Allah tentang sapi betina: “Sapi betina yang tidak tua dan tidak
muda; pertengahan di antara itu.....” (QS. Al-Baqarah: 68).
b. Firman-Nya tentang nafkah: “Dan mereka yang apabila membelanjakan
(hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu seimbang).” (QS. Al-Furqon:67).
c. Firman-Nya mengenai shalat: “Dan janganlah kamu mnegeraskan suaramu
dalam salammu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’:110).
d. Firman-Nya mengenai infaq: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) terlalu mengulurkannya.”(QS. Al-
Isra’:29).
(b) Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang yang mendengar itu tidak sama
dengan yang menyaksikannya sendiri.” Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
Allah berfirman, “apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “saya telah
percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” (QS. Al-Baqarah: 260).
(c) Ayat yang senada dengan ungkapan, “seperti yang kamu telah lakukan, maka
seperti itu kamu akan di balas.” Misalnya, “Barang siapa mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’: 123).
(d) Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang mukmin tidak akan masuk dua
kali lubang yang sama.” Misalnya firman melalui lisan Ya’kub: “Bagaimana aku
mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu.” (QS. Yunus: 12:64).
3) Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan
lafazh tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal,
seperti:
1. “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (QS. Yusuf :51).
2. “tidak ada yang akan bisa menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.”
(QS. An-Najm: 58).
3. “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya
(kepadaku).” (QS. Yusuf: 41).
4. “Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81).
5. “Tiap-tiap khabar berita mempunyai masa yang menentukannya (yang
membuktikan benarnya atau dustanya), dan kamu akan mengetahuinya.” (QS. Al-
An’am: 67).
6. “Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencankannya sendiri.” (QS. Fathir: 43).
7. “Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-
masing.’” (QS. Al-Isra’:84).
8. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216).
9. “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS.
Al-Mudastsir: 38).
10. “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (QS. Ar-Rahman:
60).
11. “Amatlah lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang
disembah.” (QS. Al-Mukminun: 53).
12. “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang
bekerja.” (QS. Ash-Shaffat: 61).
13. “Tidak sama yang buruk dengan yaang baik.” (QS. Al-Maidah: 100).
14. “Betapa yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan
yang banyak dengan idzin Allah.” (QS. Al-Baqarah: 246).
15. “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al-
Hasyr: 14).
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan Amtsal
mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsal?
Sebagaimana ahli ilmu memandang bahwa hal seperti keluar dari adab Al-Qur’an.
Ar-Razi mengatakan kita menafsirkan ayat,
“Untukmulah agamamu, dan untukku lah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
“Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai matsal ketika mereka
saling meninggalkan satu sama lain (karena berselisih), padahal ini tidak
dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal,
tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.” Demikian
Ar-Razi.
Ulama lain berpendapat, bahwa tak ada halangan bila seseorang mempergunakan
Al-Qur’an sebagai matsal, jika itu serius, tidak untuk main-main. Misalnya, ia
sangat merasa besrsedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-
sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan,
“Tidak ada yang menyingkapnya selain dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar
mengikuti itu, maka ia menjawab,
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja menampakkan
kehebatannya lalu ia menggunakan Al-Qur’an sebagai matsal, meskipun saat
bercanda dan bersenda gurau.
C. Faidah-Faidah Amtsal
Baidan (2005: 259), Amtsal memberikan konstribusi yang cukup besar dalam daya
pikir bagi umat islam dalam memahami pemahaman terhadap Al-Qur’an. Manna’
Al-Qaththan mengemukakan dalam kitabnya Mahabits fi ulumil Qur’an sebagai
berikut.
a. Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang
dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya.
b. Mengungkapkan hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan
sesuatu yang tampak.
c. Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang
padat, seperti Amtsal kaminah dan Amtsak mursalah dalam ayat-ayat diatas.
d. Mendorong orang yang diberi Matsal untuk berbuat sesuai dengan isi Matsal,
jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat Matsal
bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan
memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
e. Menjauhkan dan menghindarkan, jika isi matsal berupa sesuatu yang di
benci jiwa. Misalnya tentang larangan menggunjing.
f. Untuk memuji orang diberi matsal.
g. Untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk
oleh orang banyak. Misalnya matsal tentang keadaan orang yang dikaruniai
kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamal-kannya.
h. Amtsal lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat,
lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah
banyak menyebutkan Amtsal dalam Al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.
i. Menurut Anwar menyatakan bahwa pesan yang disampaikan melalui amtsal
lebih mengenai hati, lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan
serta lebih kuat pengaruhnya (2001: 109).
D. Tujuan Amtsal Al-Qur’an
Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal Al-
Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-
Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar manusia
menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik
dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin
dihindari. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Az-Zumar
ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an, Rasulullah SAW bersabda
dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
‫إَّن اْلُقْر َأَن َنَز َل َع َلى َخ ْمَسِة َأْو ُج ٍه َح اَل ٍل َو َحَر اٍم َو ُم ْح َك ٍم َو ُم َتَش اِبٍه َو َأْم َث اٍل َف اْع َلُم ْو ا ِب اْلَح اَل ِل َو اْج َتِنُب ْو ا اْلَح َر اَم‬
‫َو اَّتِبُعْو ا اْلُم ْح َك َم َو َأِم ُنْو ا ِباْلُم َتَش اِبِه َو اْعَتِبُرْو ا ِباَأْلْم َثاِل‬
(Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram,
muhkam, mutasyabih dan amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah
keharamannya; ikutilah muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah
pelajaran dari amtsalnya).
Dari dalil al-Qur’an dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-
Qur’an adalah sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing
menuju jalan yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat.
Menurut izzan (2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan terperinci
yaitu.
a. mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga
menjadi jelas, konkret dan berkesan.
b. amtsal memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang dimaksud dan
padanya.
c. adanya keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan keadaan yang
dianalogikan.
PENUTUP
A. Simpulan
Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain,
demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Ada
juga yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam
menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan
keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor.
Ibnu Qayyim dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan
bahwa Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua
indra dengan yang lain karena adanya kemiripan.
Amtsal di dalam Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal
kaminah, dan amtsal mursalah.
Amtsal musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal
atau sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal kaminah, yaitu
yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi ia
menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat,
dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa
dengannya. Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak
menggunakan lafazh tasybih secara jelas.
Faedah-faedah Amtsal: Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam
bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah
menerimanya. Mengungkapkan hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-
akan sesuatu yang tampak. Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam
satu ungkapan yang padat.Para ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan
tujuan dari amtsal Al-Qur’an. Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan
ayat-ayat amtsal Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah
agar manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang
baik dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat
mungkin dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

Manna’ Al-Qaththan. 2005. pengantar studi Al-Qur’an. Jakarta: Pusta ka Kautsar.


Nasrudin Baidan, Wawasan ilmu baru tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005,
(Cetakan ke 1, hlm. 259).
Anwar, Rosihin. 2008. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Hasby Ash-Shidieqy. 1972. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Syahidin. 2009. Menelusuri metode dalam Al-Qur’an. Bandung: CV.Alfabeta.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma islam : interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan.
Supiana dan Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Isalamika.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Izzan, Ahmad. 2007. Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakur.

Anda mungkin juga menyukai