Anda di halaman 1dari 11

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL

ISSN 1410-1298 | Nomor 30, Tahun XV, 2013 | Halaman 3–13


Diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST)
http://www.insist.or.id/ | http://blog.insist.or.id/insistpress/ | http://jurnalwacana.com/

Pengantar
Ekologi Politik REDD+:
Kontestasi Politik, Modal,
dan Pengetahuan
Rini Astuti
Victoria University of Wellington, Selandia Baru
riniastuti1@gmail.com

N
arasi mengenai krisis perubahan iklim tidak hanya mendominasi
tajuk-tajuk berita utama di media, tetapi juga telah mengubah
peta pengaturan sumberdaya alam global, terutama hutan tropis
di negara berkembang. Hal ini didasari oleh berbagai kajian saintiik
yang menyebutkan bahwa angka deforestasi hutan tropis telah mencapai
level yang mengancam kehidupan manusia (Houghton 2003, 2005; FAO
2006; Corbera dan Schroeder 2011). Dalam artikelnya, Köhl et al. (2009)
menggambarkan bagaimana pengetahuan saintiik dimobilisasi oleh institusi-
institusi transnasional seperti International Panel for Climate Change
(IPCC) untuk mengembangkan inisiatif internasional guna menahan laju
deforestasi dan degradasi hutan yang kian berkembang. Salah satu inisiatif
tersebut dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation Plus (REDD+). REDD+ adalah salah satu upaya penyerapan
karbon dan mekanisme pencegahan emisi yang secara aktif diusulkan oleh
negara berkembang untuk disertakan dalam mekanisme protokol Post-
Kyoto (Miles dan Kapos 2008; Wertz-Kanounnikof dan Angelsen 2009).
REDD+ berbasis pada gagasan bahwa negara-negara berkembang akan
dibayar untuk meningkatkan stok karbon dengan melakukan konservasi
4 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

hutan mereka melalui berbagai kebijakan dan pengukuran kinerja (Angelsen


dan Wertz-Kanounnikof 2008).
Menduduki posisi strategis sebagai negara dengan luas hutan tropis
terbesar ketiga di dunia serta laju deforestasi terbesar kedua, Indonesia
merupakan salah satu tempat inisiatif-inisiatif pengaturan krisis ini coba
dilakukan. Baik di tingkat global maupun di Indonesia, demam REDD+
(REDD+ rush) didorong oleh diskursus tentang “win-win solution” yang
dimimpikan oleh semua pihak (Kanowski, McDermott, dan Cashore 2011).
REDD+ dianggap mampu menyatukan agenda penyelamatan lingkungan
dan pengentasan kemiskinan dengan kepentingan kapitalisme modal dalam
satu wadah (Brown, Seymour, dan Peskett 2008; Miles dan Kapos 2008).
Karakteristik inilah yang menjadikan REDD+ sebagai contoh gamblang
diskursus modernisasi ekologi, sebuah wacana yang populer semenjak
dipublikasikannya Laporan Brundlant bertajuk Our Common Future pada
1980-an (Bäckstrand dan Lövbrand 2006). Modernisasi ekologi merupakan
diskursus yang mendukung pemikiran bahwa krisis ekologi dapat diselesaikan
melalui transformasi sektor bisnis menjadi lebih “hijau” dan berkelanjutan
(Hajer 2005; Bäckstrand dan Lövbrand 2006). Strategi teknokrasi pasar
seperti sistem insentif digunakan untuk mendorong perubahan perilaku para
pihak, terutama aktor swasta. Teknologi ramah lingkungan dan mekanisme
perlindungan sosial dikenalkan pada industri-industri ekstraktif untuk
menjadikannya bisnis yang lebih beretika. Melalui narasi bisnis etis ini,
banyak pihak menjadikan REDD+ sebagai kuda tunggangan untuk mencapai
agenda mereka. Misalnya, gerakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) yang memakai REDD+ sebagai kendaraan untuk mendorong
pengakuan hak-hak masyarakat adat. Berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang hirau pada isu konservasi, seperti World Wide Fund for Nature
(WWF) dan he Nature Conservancy (TNC), memaknai REDD+ sebagai
salah satu bentuk sumber pembiayaan yang berkelanjutan saat komitmen
negara donor mulai melemah. Secara umum, gerakan lingkungan, akademisi,
dan pemerintah mengklaim memakai REDD+ sebagai momentum untuk
mendorong reformasi tata kelola hutan di Indonesia.
Di sisi lain, terdapat diskursus yang membentuk REDD+ sebagai
strategi neoliberalisasi alam untuk mengakumulasi keuntungan melalui
komodiikasi jasa lingkungan (Okereke dan Dooley 2010; Sullivan 2013).
Diskursus ini membahas secara mendalam dimungkinkannya proses
marginalisasi dan pengabaian hak-hak komunitas adat dan komunitas
lain yang bergantung pada hutan. Terlebih jika menimbang pengalaman
akuisisi sumber-sumber penghidupan masyarakat di negara berkembang
yang dilakukan atas nama proses pembangunan (Resosudarmo 2005; Li
2012). Berbagai persoalan mendasar yang belum selesai, seperti sengketa
tata batas kawasan hutan, konlik tenurial, korupsi di sektor kehutanan, dan
perencanaan tata ruang provinsi yang masih terkatung-katung, merupakan
kompleksitas ekologi politik yang akan dimasuki oleh REDD+ (Indrarto
et al. 2012). Banyak ahli memprediksi bahwa berbagai warisan persoalan
ini akan melebur dengan kompleksitas teknis yang dibawa oleh REDD+
sehingga berpotensi memperkeruh dan memperburuk struktur ketidakadilan
sosial maupun lingkungan (McGregor 2010; Okereke dan Dooley 2010).
Tujuh tahun semenjak gagasan mengenai REDD+ dikenal di Indonesia,
lebih dari 70 aktivitas REDD+ berupa program percontohan di lapangan
maupun pembuatan kebijakan telah diidentiikasi dalam sebuah laporan
yang disusun oleh UN REDD Programme Indonesia (Mardiastuti 2012).
Beragam aktor dengan segala kepentingannya menjadi partisipan dalam
proses yang oleh berbagai pihak dilabeli sebagai mekanisme perbaikan
tata kelola hutan Indonesia. Sebuah upaya yang oleh Foucault (1991)
dinamakan sebagai “kepengaturan” (governmentality). Sebagai upaya
kepengaturan, REDD+ mencoba memodiikasi hubungan antara manusia
dan alam melalui praktik-praktik yang membentuk ulang perilaku dan
keinginan subjek-subjek kehutanan untuk mencapai apa yang disebut Li
(2012) sebagai kehendak untuk memperbaiki. Menggunakan rasionalitas,
pengetahuan, diskursus, kosakata, dan strategi tertentu, REDD+ coba
dinormalisasi sebagai strategi baru tata kelola kehutanan. Akan tetapi, upaya
kepengaturan ini tentu tidak lepas dari kontestasi berbagai kepentingan,
kompromi, dan kegagalan dalam mencapai perbaikan yang dikehendaki. Hal
ini karena REDD+ hadir bukan dalam ruang kosong. REDD+ muncul dalam
dinamika tata kelola hutan Indonesia dengan seluruh sejarah persoalannya.
Lebih lanjut, pihak-pihak yang terlibat di dalam upaya kepengaturan ini
memiliki motivasi, keinginan, dan kepentingan berbeda yang bisa jadi saling

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013 5


6 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

berbenturan dan menegasikan. Jurnal WACANA edisi ini berupaya untuk


melihat berbagai paradoks dan benturan yang membentuk wajah REDD+
di Indonesia melalui pendekatan ekologi politik. Pendekatan ini diambil
dengan harapan dapat mendedah secara jernih berbagai narasi, kontestasi
politik, dan kepentingan yang lahir di sepanjang peta jalan implementasi
REDD+ di Indonesia.

Ekologi Politik REDD+


Ekologi politik adalah sebuah pendekatan eklektik untuk menganalisis
konteks politik hubungan antara manusia dan alam (Robbins 2011).
Ekologi politik menitikberatkan analisis terhadap keterkaitan antara sistem
ekonomi politik global dengan krisis dan degradasi lingkungan yang terjadi
di ranah lokal. Ekologi politik berakar pada pendekatan strukturalis dan
Marxisme, yang kemudian berkembang dengan mengadopsi pendekatan
post-strukturalis, misalnya konsep-konsep pengetahuan/kekuasaan yang
dikembangkan oleh Foucault dalam memahami peran diskursus dalam
melegitimasi praktik-praktik eksploitasi dan akuisisi sumberdaya alam
(Forsyth 2003; Peet dan Watts 2004; Springate-Baginski dan Blaikie 2007;
McGregor 2010). Analisis terhadap politisasi pengetahuan merupakan
salah satu karakteristik dalam ekologi politik, terutama untuk mengetahui
bagaimana bioisik alam direpresentasikan melalui pengetahuan dalam
kebijakan dan gerakan masyarakat sipil. Forsyth (2003) mengingatkan para
peneliti lingkungan untuk memberi perhatian pada mekanisme produksi
pengetahuan mengenai sumberdaya alam yang digunakan untuk melegitimasi
praktik-praktik ekonomi politik agar dianggap pantas. Untuk itu, bisa
disimpulkan bahwa sebuah analisis ekologi politik mengenai REDD+ akan
mengombinasikan isu kekuasaan dengan konstruksi pengetahuan yang
digunakan untuk memperkuat dan melanggengkan bentuk kuasa tersebut.
REDD+ dapat ditelisik dengan melihat berbagai diskursus yang dipakai
dalam meligitimasi dibentuknya tata kelola baru interaksi manusia dan hutan
yang didasari oleh logika sistem neoliberal (Bäckstrand dan Lövbrand 2006;
McGregor 2010). Diskursus semacam pembangunan berkelanjutan dan
ekonomi hijau sering dipakai dalam melegitimasi implementasi REDD+ di
Indonesia. Hutan dan pohon direpresentasikan melalui pemodelan komputer
serta dipetakan dan diukur berdasarkan kandungan karbon yang tersimpan.
Keputusan-keputusan akan nilai ekologi sebuah bentang alam tidak lagi
hanya diukur dari keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis, tetapi juga
dari potensi kandungan karbon. Diskursus ini berpotensi memberdayakan
pihak tertentu dan memarginalkan pihak yang lain.

Keadilan sosial dan konlik perebutan sumberdaya alam di negara


berkembang merupakan fokus lain yang menjadi perhatian dalam analisis
ekologi politik (Escobar 1995; Peet dan Watts 2004). Interaksi antara negara,
masyarakat, dan industri dalam konlik-konlik semacam itu, terutama di
tempat-tempat yang memiliki nilai penting bagi komunitas internasional,
misalnya wilayah pedalaman hutan tropis Borneo, Amazon, atau negara-
negara penghasil minyak di semenanjung Afrika, merupakan subjek
penting analisis ekologi politik. Peet and Watts (2004) mencatat bahwa
narasi mengenai keterancaman dan ketidakadilan ini jamak dikonstruksi
dan direpresentasikan melalui sudut pandang para peneliti dan ahli-ahli
pembangunan Barat, lengkap dengan diagnosis dan resep generik mereka.
Salah satu tema penting dalam ekologi politik adalah diskusi mengenai
kapitalisme dan sistem pasar sebagai penyebab utama krisis lingkungan di
negara-negara berkembang. Diskusi mengenai hal ini jamak terjadi terutama

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013 7


8 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

di kalangan para peneliti yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran


Marcuse dan Habermas, yang menjelaskan bahwa manusia dan dunianya
didominasi oleh instrumen dan rasionalitas industri modern yang bersifat
eksploitatif (Forsyth 2003).
REDD+ dapat dikaji dengan memetakan proses komodiikasi karbon
dan jasa lingkungan yang lain sebagai sebuah komoditas baru yang dikenal
dengan istilah “komoditas virtual” (Bumpus dan Liverman 2008). Sebagai
komoditas virtual, karbon kredit tidak dibatasi oleh jarak geograis serta
mekanisme transportasi dan distribusi, tetapi lebih dibatasi oleh standar-
standar internasional untuk memastikan veriikasi dan validasi pengurangan
emisi karbon yang dihasilkan oleh sebuah proyek REDD+ (McGregor
2010). Sebagai hasilnya, sebuah mekanisme baru produksi dan konsumsi
global telah muncul. Di hulu rantai produksi ini terdapat komunitas adat
atau komunitas lain yang hidup di sekitar hutan serta pengembang proyek
REDD+. Di hilir rantai konsumsi terdapat negara-negara pengemisi serta
perusahaan besar yang tertarik untuk membeli dan berinvestasi dalam
sebuah proyek pengurangan emisi. Di tengah rantai produksi-konsumsi
ini terdapat negara berkembang, LSM, konsultan, dan berbagai aktor lain
yang memfasilitasi terciptanya karbon sebagai komoditas baru. Penguasaan
pengetahuan dan modal menentukan kesetaraan maupun ketimpangan
relasi kuasa di sepanjang rantai produksi-konsumsi ini.
Narasi ekologi politik mengenai REDD+ di Indonesia semestinya
memerhatikan hal-hal yang diuraikan di atas dan dapat memberikan
penjelasan yang lebih terstruktur tentang bagaimana masing-masing
pemangku kepentingan memiliki akses terhadap potensi manfaat REDD+:
siapa yang termarginalisasi, siapa yang dirugikan dan siapa yang dimenangkan.
Memahami bagaimana akses ini dikontestasi dan dinegosiasikan adalah
hal utama dalam memahami bagaimana sebuah kebijakan dan regulasi
berdampak terhadap masyarakat. Kebijakan REDD+ tidak berada di
ruang kosong, akan tetapi melekat dalam hubungan dialektis antara
alam dan masyarakat, dan antarkelas serta kelompok-kelompok di dalam
masyarakat itu sendiri. Relasi dialektis ini berevolusi secara dinamis. Hutan
memengaruhi manusia, begitu juga manusia membentuk hutan melalui
berbagai intervensi kebijakan dan program yang melekat di tiap tingkat,
baik lokal, nasional, maupun global. Melalui kerangka analisis ekologi
politik, REDD+ di Indonesia dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan dan
pengetahuan baru yang membentuk dan dibentuk oleh kondisi politik
ekonomi hutan di tingkat lokal, nasional, dan global. Melalui rasionalitas
karbon ekonomi, REDD+ memproduksi cara baru dalam memandang dan
menghargai hutan. REDD+ juga mendorong dibentuknya berbagai pranata
regulasi, institusi, strategi, dan aliansi baru. Selain itu, implementasi REDD+
di Indonesia dipandang telah memberikan ruang manuver tidak hanya
bagi rasionalitas karbon ekonomi, tetapi juga bagi isu-isu keadilan sosial
dan lingkungan untuk kembali menjadi pusat perhatian para pemangku
kepentingan kehutanan (Luttrell et al. 2012; Forsyth dan Sikor 2013).

Isi Jurnal
Terdapat lima tulisan yang mengisi Jurnal WACANA kali ini. Kajian
utama merupakan terjemahan Indonesia dari artikel “Trajectories of Land
Acquisition and Enclosure: Development Schemes, Virtual Land Grabs, and
Green Acquisitions in Indonesia’s Outer Islands” (he Journal of Peasant
Studies, Vol. 39, No. 2, April 2012, 521–549). Artikel ini ditulis oleh John
F. McCarthy, Jacqueline A.C. Vel, dan Suraya Aif (2012). Penerjemahan
artikel ini dilakukan oleh Hery Santoso. Artikel ini mengupas REDD+
sebagai salah satu skema pengambilalihan semu lahan berskala besar. Skema
ini tidak murni melakukan akuisisi lahan, tetapi menggunakannya untuk
kepentingan investasi spekulatif dan akses terhadap pembiayaan bank.
Diskursus kelangkaan pangan, energi, dan perubahan iklim digunakan
sebagai rasionalitas untuk memuluskan proses-proses akuisisi. McCarthy,
Vel, dan Aif menggunakan Indonesia, terutama wilayah pedalaman,
sebagai contoh tempat kepentingan-kepentingan penguasaan lahan saling
menegasikan. Artikel ini membahas secara mendalam pergulatan antara
klaim pribumi terhadap lahan mereka yang diadu dengan konsesi untuk
sektor bisnis, konservasi, dan penataan ruang.
Tulisan kedua ditulis oleh Rini Astuti, mahasiswa tingkat doktoral yang
saat ini sedang melakukan penelitian lapangan mengenai ekologi politik
REDD+ di Indonesia. Tulisan ini mengulas REDD+ dengan menggunakan
pendekatan Foucauldian, terutama dengan kerangka teori governmentality.

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013 9


10 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

Menggunakan beberapa contoh strategi dan praktik yang coba dilakukan


oleh negara dan aktor lainnya dalam mengarusutamakan rasionalitas karbon
ekonomi, Astuti mencoba mengerangkai REDD+ sebagai sebuah upaya
kepengaturan. Lebih lanjut, tulisan ini memberikan contoh bagaimana
partisipasi dalam pembuatan kebijakan REDD+ digunakan sebagai strategi
politik negara untuk mengatur perilaku aktivis lingkungan. Tulisan ini juga
membahas bagaimana pengetahuan saintiik tertentu digunakan untuk
membentuk nilai ekonomi dalam satuan emisi karbon melalui proses
simpliikasi, standardisasi, dan veriikasi.
Dua tulisan selanjutnya berangkat dari data empiris yang sangat kaya dari
studi antropologi yang dilakukan masing-masing oleh Ciptaningrat Larastiti
dan Yetty Oktayanty. Ciptaningrat Larastiti dan Yetty Oktayanti merupakan
mahasiswa pascasarjana yang terlibat dalam kerjasama penelitian antara
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo. Memakai data yang diperoleh
melalui penelitian etnograis di Desa Baun Bango, Kabupaten Katingan,
Provinsi Kalimantan Tengah, Larastiti memberikan contoh bagaimana
proses akuisisi lahan berlangsung sengit. Tulisan ini mencoba menganalisis
perubahan peruntukan lahan yang sangat cepat terjadi, walaupun proses
moratorium pemberian izin baru pengelolaan hutan sedang berlangsung.
Menggunakan kerangka land grabbing (pencaplokan lahan), tulisan ini
melihat REDD+ sebagai agenda hijau yang berpotensi mendorong proses
pencaplokan dan perubahan peruntukan lahan. Gelombang-gelombang
konsesi pengelolaan hutan yang saling menegasikan serta peran, akses,
dan reaksi masyarakat Baun Bango terhadap inisiatif-inisiatif di sekitar
mereka digambarkan dengan detail dalam tulisan ini.
Oktayanty mendedah bagaimana REDD+ diterima dan diterjemahkan
masyarakat Desa Buntoi, sebuah desa percontohan REDD+. Memakai
framework antropologi ekonomi, tulisan ini memberikan gambaran
bagaimana niat pemberdayaan oleh pengusung proyek REDD+ dapat
diterima dengan baik karena bertumpang susun dan menjawab kebutuhan
pragmatis ekonomi masyarakat. Lebih lanjut, menggunakan kerangka analisis
Harvard, Oktayanty memeriksa irisan antara program pemberdayaan yang
dibawa oleh REDD+ dengan beban serta akses dan kontrol perempuan
Buntoi dalam mengelola mata pencaharian mereka.
Tulisan terakhir merupakan ulasan yang ditulis oleh Darmanto
terhadap buku Global Political Ecology (2011). Buku tersebut hasil sunting
bersama antara Richard Peet, Paul Robbins, dan Michael John Watts.
Peresensi menjelaskan bagaimana pendekatan ekologi politik yang diulas
dalam buku Global Political Ecology dapat memberikan kerangka yang
kaya untuk melihat REDD sebagai salah satu narasi krisis yang digunakan
untuk memobilisasi pengetahuan, kapital, dan kekuasaan.
Selamat membaca! []

Daftar Pustaka
Angelsen, A. dan S. Wertz-Kanounnikof. 2008. “What Are the Key Design Issues
for REDD and the Criteria for Assessing Options?” Dalam Moving Ahead with
REDD: Issues, Options, and Implications, disunting oleh A. Angelsen, 11–21.
Bogor: Center for International Forestry Research (Cifor).
Bäckstrand, K. dan E. Lövbrand. 2006. “Planting Trees to Mitigate Climate Change:
Contested Discourses of Ecological Modernization, Green Governmentality
and Civic Environmentalism.” Global Environmental Politics 6 (1): 50–75.
Brown, D., F. Seymour, dan L. Peskett. 2008. “How do We Achieve REDD Co-
Beneits and Avoid Doing Harm?” Dalam Moving Ahead with REDD: Issues,
Options, and Implications, disunting oleh A. Angelsen, 107–118. Bogor: Center
for International Forestry Research (Cifor).
Bumpus, A.G. dan D.M. Liverman. 2008. “Accumulation by Decarbonisation and
the Governance of Carbon Ofsets.” Economic Geography 84 (2): 127–155.
Corbera, E. dan H. Schroeder. 2011. “Governing and Implementing REDD+.”
Environmental Science & Policy 14 (2): 89–99. DOI: 10.1016/j.envsci.2010.11.002.
Escobar, A. 1995. Encountering Development: he Making and Unmaking of the
hird World. New Jersey: Princeton University Press.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2006. Global Forest Resources Assessment
2005: Progress towards Sustainable Forest Management. Roma: FAO.
Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology: he Politics of Environmental Science.
London: Routledge.
___ dan T. Sikor. 2013. “Forests, Development and the Globalization of Justice.”
he Geographical Journal 179 (2): 114–121. DOI: 10.1111/geoj.12006.

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013 11


12 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013

Foucault, M. 1991. “Governmentality.” Dalam he Foucault Efect: Studies in


Governmentality, disunting oleh G. Burchell, C. Gordon, dan P. Miller, 87–104.
Chicago: he University of Chicago Press.
Hajer, M.A. 2005. “Coalitions, Practices, and Meaning in Environmental Politics:
From Acid Rain to BSE.” Dalam Discourse heory in European Politics: Identity,
Policy, and Governance, disunting oleh D. Howarth dan J. Toring, 297–315.
Hampshire dan New York: Palgrave Macmillan.
Houghton, R.A. 2003. “Revised Estimates of the Annual Net Flux of Carbon to the
Atmosphere from Changes in Land Use and Land Management 1850–2000.”
Tellus 55B: 378–390.
___. 2005. “Tropical Deforestation as a Source of Greenhouse Gas Emissions.” Dalam
Tropical Deforestation and Climate Change, disunting oleh P. Moutinho dan
S. Schwartzman, 13–21. Belem dan Washington, D.C.: Instituto de Pesquisa
Ambiental da Amazônia (IPAM) dan Environmental Defense.
Indrarto, G.B., P. Murharjanti, J. Khatarina, I. Pulungan, F. Ivalerina, J. Rahman,
M.N. Prana, I.A.P. Resosudarmo, dan E. Muharrom. 2012. he Context of
REDD+ in Indonesia: Drivers, Agents, and Institutions. Bogor: Center for
International Forestry Research (Cifor).
Kanowski, P.J., C.L. McDermott, dan B.W. Cashore. 2011. “Implementing REDD+:
Lessons from Analysis of Forest Governance.” Environmental Science & Policy
14 (2): 111–117. DOI: 10.1016/j.envsci.2010.11.007.
Köhl, M., T. Baldauf, D. Plugge, dan J. Krug. 2009. “Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD): A Climate Change Mitigation
Strategy on a Criticial Track.” Carbon Balance and Management 4 (10). DOI:
10.1186/1750-0680-4-10.
Li, T.M. 2012. he Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan
di Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Luttrell, C., I.A.P. Resosudarmo, E. Muharrom, M. Brockhaus, dan F. Seymour. 2012.
“he Political Context of REDD+ in Indonesia: Constituencies for Change.”
Environmental Science & Policy 35: 67–75. DOI: 10.1016/j.envsci.2012.10.001.
Mardiastuti, A. 2012. he Role of UN-REDD in the Development of REDD+ in
Indonesia – Volume III: Highlights of REDD+ Related Projects in Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, UN REDD Programme
Indonesia, Food and Agriculture Organization (FAO), United Nations
Development Programme (UNDP), United Nations Environment Programme
(UNEP).
McGregor, A. 2010. “Green and REDD? Towards a Political Ecology of Deforestation
in Aceh, Indonesia.” Human Geography 3 (2): 21–34.
Miles, L. dan V. Kapos. 2008. “Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation
and Forest Degradation: Global Land-Use Implications.” Science 320 (5882):
1454–1455. DOI: 10.1126/science.1155358.
Okereke, C. dan K. Dooley. 2010. “Principles of Justice in Proposals and Policy
Approaches to Avoided Deforestation: Towards a Post-Kyoto Climate
Agreement.” Global Environmental Change 20 (1): 82–95. DOI: 10.1016/j.
gloenvcha.2009.08.004.
Peet, R. dan M. Watts, penyunting. 2004. Liberation Ecologies: Environment,
Development, Social Movements. Edisi Kedua. London dan New York: Routledge.
Resosudarmo, B.P., penyunting. 2005. he Politics and Economics of Indonesia’s
Natural Resources. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Robbins, P. 2011. Political Ecology: A Critical Introduction. West Sussex: Wiley-
Blackwell.
Springate-Baginski, O. dan P. Blaikie, penyunting. 2007. Forest, People & Power:
he Political Ecology of Reform in South Asia. London: Earthscan.
Sullivan, S. 2013. “Banking Nature? he Spectacular Financialisation of Environmental
Conservation.” Antipode 45 (1): 198–217. DOI: 10.1111/j.1467-8330.2012.00989.x.
Wertz-Kanounnikof, S. dan A. Angelsen. 2009. “Global and National REDD+
Architecture: Linking Institutions and Actions.” Dalam Realising REDD+:
National Strategy and Policy Options, disunting oleh A. Angelsen, 13–24.
Bogor: Center for International Forestry Research (Cifor).

wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 30/XV/2013 13

Anda mungkin juga menyukai