Anda di halaman 1dari 13

PERSAHABATAN

Nikmatnya bila semua serba tercukupi, semua keinginan bisa terpenuhi sampai barang apapun
bisa dibelinya, itulah riska, seorang anak dari kongomerat yang sangat kaya, Ibu dan Ayahnya
adalah pengusaha besar yang berada di daera Kota Jakarta. Tapi hal yang sangat baik dari
keluarga itu adalah mereka mampu bersikap dan berperilaku layaknya orang biasa, bersopan
santun, ramah terhadap tetangga begitupun kepada orang-orang yang berkunjung ke
rumahnya. Tak terkecuali dengan riska, anaknya manis dan tidak pernah manja dengan orang
tuanya, dia bisa bersikap baik terhadap semua orang termasuk teman-temanya sehingga
banyak yang betah ketika bertamu kerumahnya.

Salah satu sahabat terbaik riska yaitu Ika, dia berasal dari keluarga sederhana, rumahnya yang
masih satu kecamatan dengan riska mambuatnya gampang untuk bermain atau sekedar
bertemu dengan riska. Namun pada hari ini sahabatnya Ika tak pernah keliatan lagi,, hampir
sudah 3 minggu ini.

“Ko` Ika ngga` pernah keliatan? Kemana ya, g biasanya dia selalu masuk sekolah”.

“Mungkin sakit” , jawaban dari Mama

“Kalo begitu coba nanti sore aku pengen ke rumahnya lagi”. Kata riska sangat bersemangat

Sudah beberapa kali riska mengetuk pintu, namun tak ada jawaban dari dalam rumah,
kemudian tiba – tiba muncul orang dari sebelah rumah.

“Ada apa mb”, tanya orang lelaki itu

“Saya mau mencari teman saya , Ika namanya”, jawabnya cepat

Alangka terkejutnya jawaban dari lelaki itu, jika Ika yang selama ini dia kenal dan menjadi
sahabatnya mengontrak di rumah itu, kemudian kembali ke desanya karena menurut kabar
orang tuanya sudah berhenti bekerja akibat di PHK oleh perusahaanya.

Sekembalinya riska ke rumah, ia hanya bisa melamun dan tidak bisa berbuat apa – apa. Lantas
ia pun bergegas ingin mencari Ika di desanya.

“Mama, aku ingin mencari Ika, biarkan dia bisa melanjutkan sekolahnya lagi”, tanyanya

“Baiklah kalo itu keinginanmu, mari bergegas dan segera mencari alamt Ika dahulu”, jawab
Mamanya dengan penuh perhatian

Akhirnya keinginan Riska terpenuhi, dan selama beberapa jam bertanya – tanya di tempat
pedesaan yang pernah Riska ketahui, bisa menemukan alamat rumah Ika. Kedatanganya pun
disambut haru dan isak tangis oleh keluarganya termasuk Ika. Pelukan hangat diantara
mereka menjadikan persahabatanya semakin erat.

“Ika, kedatanganku sama keluarga ingin mengajakmu kembali bersekolah sekaligus ikut kami
ke Jakarta lagi”. Katanya Riska

“Soal sekolah dan biaya apapun, kamu ngga` usah khawatis biar saya yang menanggunya”,
lanjut Papa Riska
“Baiklah bila Riska dan Bapak Ibu menghendaki dan memberikan kesempatan itu pada saya,
saya sangat bersyukur dan banyak mengucapkan terima kasih atas kebaikan Riska dan
keluarga”. Jawabnya Ika diselingi haru yang luar biasa.

“terima kasih banyak Pak, Buk, kami tidak bisa lagi harus memberikan imbalan seperti apa,
karena hanya petani biasa”, lanjutnya Ibu dan Bapak Ika

Lalu mereka pun kembali berpelukan untuk kembali menyambut Ika menjadi sahabatnya
kembali.

Amanat dari cerpen diatas : Sahabat sejati itu seperti bintang, dia memang tak selalu terlihat.
Tapi dia selalu ada untukmu
PEMBUAT KUBAH DAN TUKANG POS

IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari.
Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan:
makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.

Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.

Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang
nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-
tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.

"Kosong?"

"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.

"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.

"Banyak surat diantar hari ini?"

"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."

"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."

"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah
tak sampai."

"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."

Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu.
Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah,
orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.

Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si
tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya
anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu,
menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.

"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.

"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan.
Tiap hari begitu, berpuluh tahun."

"Sejak muda membuat kubah?"

"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja.
Dan tak pernah dia pasang tarif."

"Maksud Bapak?"

"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"

"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali
melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua
menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya
seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"

Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat
ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya
mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir
jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia
melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat
lengkung tak ubahnya batang-batang padi.

"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan
bercerita.

Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.

"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat
kubah itu sendiri yang tahu."

"Tidak pernah Bapak tanya?"

"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap
hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."

Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya.
"Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya.
Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."

"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"

"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua
ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin
sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"

"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."

"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.

Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak
kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya
kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah
mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi
belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak
mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih
baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman
merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu
pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau
seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum
teh serta menyantap pisang goreng.

ANGIN MENABUH DAUN-DAUN

Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar.
Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup
terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah
menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset.
Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja
dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang
sudah kosong, beku di dekat Bapak.

Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia
tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu,
jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak
sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-
sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia
menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan.
Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.

Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia
lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut
Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-
benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah
jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu
dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal
uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar
kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama
menggoda dalam mimpinya.

Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku
sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang
pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak
menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu.

Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta
Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun
belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas
dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia
merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah,
dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis.

*****

Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan. Guru-guru di sekolah
membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka menggelar aksi mogok mengajar sampai
batas waktu yang tidak ditentukan. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak,
semua guru di kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka
bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara
menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.

Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari
kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri
lumpuh total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi
hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau
menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap, berbondong-bondong menuju
gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan aspirasi di sana . Mereka masih sempat
tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.
SAFRIDA ASKARIYAH

Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar
rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi.
Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.

Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah
banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa.
Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana
Malahayati—wanita yang tidak mau dijajah.

Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu
sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya.

Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah
bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada di ujung.

Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di
tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik.
Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-
bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.

"Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida
tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan
dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata
Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki.

Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu
tak berarti apa-apa untuk Safrida.

Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan
meunasah.

Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si Suman merdu sekali.
Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi.

Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari itu adalah hari kelabu
untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari hari itu.

Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggigil.
Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya.

"Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida.

Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan tabuh di dadanya tak tinggal
diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu. Bahkan semenjak dahulu.
"Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu.
Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.

Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat
SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.

Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah.

Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun,
lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di
sampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula di rumoh dapu?

Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapan tak berhenti.
Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai ajal itu seperti di depan gerbang.

Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya
ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.

Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan
anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah
itu.

Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari
cengkeramnya.

"Sudah cukup mandi jih mak..."

"Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah
tertawa-tawa sembari mengatakan 'geli...geli...'

Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida. Di kampungnya, semua
perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak satu pun pria yang mau memperistri dirinya.
Padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal,
ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh
suami dan anak-anak yang lucu.

"Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka
Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega.

Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh muda
bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulunya.

Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak,


Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti
waktu merunduk tadi.

Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara
yang berperawakan tinggi dan hitam keling meminta KTP Bapak.
"Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar.

"Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak gentar.

"Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!" sambung kawannya juga dengan tak kalah
kasarnya.

"Periksa rumah ini!"

Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah
tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan
para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali
serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya!
BADAI LAUT BIRU

SIANG itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara.
Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-
perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan,
dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam.

Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-
bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak
perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras.
Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.

Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret
ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap
hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan
keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di
geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan.

Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi
dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh
itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir
lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya
yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat
mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai
berhasil naik ke geladak.

"Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya
tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak.

Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak
Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam
orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang
masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter.
Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun
mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru.

Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding
perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas
matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar
sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning
seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu.
Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi
dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang
tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis
keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya
meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang
waktu.

Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya,
namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik
sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib,
kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja.
Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi
negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.

"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan.

Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera
melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya
dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung
hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak
bersinar, condong ke ufuk barat.

Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan


melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah.

"Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan.

Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang
awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan
tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke
samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu
mencari keseimbangan.

"Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi.

Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu.
Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-
lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.

Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah
disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam
ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi
umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang
memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan
air itu tertarik menurut larinya ikan.

Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah
dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik
umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan
menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih
pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap.
Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau
sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau
berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya.
Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak
mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.

Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang
mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat
beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu,
memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari
timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak
biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi
kadang-kadang masuk ke geladak perahu.

Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim.
Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya.

"Tumben kau membawa jarum super!"

" Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok,
mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu
buyar di koyak-koyak angin laut.

"Kalau hasil kita begitu terus enak, ya."

"Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis,
dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita
nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-
apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli
perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi.

"Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di
daerah kita."

"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat
dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita."

"Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?"

"Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi
modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita
hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh."

"Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat
harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?"

"Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau
sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak
dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu."

"Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak
berdaya."

"Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya,
kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam."

Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang.
Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit.

Anda mungkin juga menyukai