Anda di halaman 1dari 4

Soni memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

Ia tak habis pikir, tempatnya bekerja yang


mengajarkan pondasi kehidupan bagi anak untuk menjadi manusia yang beradab untuk masa depan
kini telah mengecewakannya. Ia merasa jatuh dan terlempar ke dasar jurang ketika pimpinan rapat
memutuskan bahwa siswa pelanggar aturan itu lagi – lagi harus terbebas dari hukuman dan bisa
tertawa lepas, sementara untuk yang lain harus terkulai lemas menerima akibat dari perbuatan yang
jauh dari kata sepadan.

Soni, lelaki paruh baya itu bekerja sebagai seorang guru di sekolah bertaraf internasional. Ia sangat
bangga dan senang dapat bekerja di sana karena sekolah tersebut sangatlah sesuai dengan apa yang
menjadi idealismenya. Sebagai salah satu sekolah yang bergengsi “TUNAS BANGSA” mempunyai
sederet peraturan yang luar biasa untuk mencetak generasi bangsa yang beradab, disiplin dan
bermartabat yang siap berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Oleh karenanya tidak sembarang calon
siswa yang dapat bersekolah di sana.

“Dasar tikus kecil sialan. Berani – beraninya dia mengobrak – abrik semua ini.” Teriaknya dalam
mobil.

Sambil terus mengumpat, Soni menancap gas mobilnya dalam – dalam. Sesekali ia juga
membunyikan klakson seperti orang sedang kerasukan. Ia sangat kesal dengan hasil rapat yang baru
saja selesai. Seminggu lagi adalah hari dimana acara kenaikan kelas dilaksanakan. Setiap pendidik
diharuskan untuk melaporkan apa yang menjadi hasil evaluasi belajar setiap siswa sebagai bahan
acuan kenaikan kelas. Dalam rapat tersebut, Soni adalah satu – satunya pendidik yang sangat idealis.
Lelaki yang selalu berpakaian rapi itu sangat konsisten selama ini dalam mengambil keputusan. Apa
yang menjadi keputusannya selalu bersumber dari apa yang dilihatnya dan tak pernah sedikit pun
membiarkan bias masuk apalagi hal yang bersifat pribadi. Ia sangat profesional dalam bekerja.
Sehingga wajar jika hari ini ia merasa dihancurkan.

Sejak tahun ajaran baru kemarin, suasana sekolah dirasa berbeda olehnya. Hal itu berawal dari
masuknya anak seorang salah satu crazy rich di kota ini. Siswa tersebut sangat jauh dari apa yang
menjadi standar untuk masuk ke TUNAS BANGSA. Tetapi Soni sangatlah mengerti bahwa anak punya
potensi dan membutuhkan proses untuk beradaptasi. Awalnya Ia berusaha meyakinkan diri sendiri,
tetapi hal itu dirasakan semakin jauh dari apa yang dia kehendaki. Bukannya menjadi baik, siswa
tersebut malah menjadi penyakit bagi siswa yang lain.

Soni selalu berusaha untuk melakukan upaya pencegahan supaya hal ini tidak semakin menjadi,
namun ia tak menyangka jika secepat itu dampak yang ditimbulkan oleh ulah siswa tersebut. Satu -
satunya cara yang ia harus lakukan adalah memangkas dan membuang penyebab kekacauan ini
supaya tidak semakin menjadi. Tapi usahanya selalu gagal dan tak mendapat respon dari kepala
sekolah ataupun ketua yayasan, bahkan para guru yang lain seakan acuh dengan apa yang sedang
terjadi.

“Ciiiitttt.......” bunyi rem mobil yang diinjaknya dengan sangat dalam. Soni kaget setengah mati ketika
di depannya muncul seseorang yang hampir saja ia tabrak. Ia baru sadar, sikap emosionalnya yang
tidak dapat dikendalikan kali ini dapat membahayakan orang lain. Dengan menarik nafas dalam –
dalam lalu menghembuskannya, ia mencoba mengatur emosinya dan melanjutkan perjalanannya.

Soni memang orang yang tergolong introvert. Ia lebih nyaman meluapkan emosinya dengan alam
ketimbang kepada orang lain. Oleh karena itu, seperti biasa ia ingin mengunjungi sebuah hamparan
tepi danau di desa perbatasan kota tempat ia tinggal. Di sana ia bebas merenungkan apa yang telah
terjadi, menurunkan emosi dan pikiran yang sedang kalut serta ia bisa sekalian melihat
pemandangan yang menyejukkan mata. Membuat suasana hatinya menjadi normal kembali.
Sudah beberapa jam Soni berada di tepi danau. Duduk di jok mobil dengan pintu terbuka sambil
meneguk minuman soda, ia menenangkan pikirannya. Sesekali ia bersiul dan memandang sekitar
danau. Suasana yang jauh dari kebisingan, hijaunya pohon dan rerumputan serta suara kicauan
burung yang memanjakan telinga membuatnya melupakan segalanya.

Dari jauh ia melihat seorang pemuda sedang memancing di tepi danau, duduk seorang diri di bawah
pohon sambil menunggu ikan menangkap umpan dikailnya. Soni sebenarnya ingin sekali bergabung
dengan pemuda itu tapi hal itu tidak dilakukannya. Ia lebih memilih melihatnya dari kejauhan.

Senyum Soni tiba – tiba melebar saat pemuda itu dilihatnya terperosok ke danau. Bahkan Soni
sempat tertawa lepas melihat kejadian itu. Namun, senyum tawa itu berubah menjadi kepanikan
ketika ia menyadari bahwa pemuda itu kesulitan untuk naik ke atas danau. Tanpa pikir panjang Soni
segera berlari untuk membantu pemuda itu. Tapi sesampai di tempat tersebut, ternyata pemuda itu
sudah bisa bangkit dengan sendirinya.

“Set...” umpatnya lirih. Ia merasa tertipu dan terlalu mendramatisi tentang apa yang barusan ia lihat.

“Ada apa bang ?” Tanya pemuda itu keheranan melihat Soni terengah – engah sambil ngedumel.

“Ndak apa -apa. Kirain tadi mau tenggelam.” Jawab Soni sambil terengah – engah.

“Oh.. tadi itu terlilit senar bang, jadi susah berdiri.” Jelas pemuda itu sambil membersihkan sampah
jerami rumput yang menempel di baju dan celananya.

“Oh gitu.” Dengan perasaan sedikit malu ia memberikan lengannya ke pemuda itu.

“Pegang tanganku. Aku bantu naik.”

“Makasih bang.” Pemuda itu menyambutnya dengan senang hati.

Setelah berhasil membantu pemuda itu naik di pinggiran danau, Soni duduk di bawah pohon yang
ada di dekatnya. Ia tersenyum sendiri mengingat apa yang barusan ia lakukan membuatnya merasa
sangat konyol. Pemuda itu pun mengikutinya duduk di sebelahnya. mereka berdua mengobrol
panjang lebar tentang kejadian yang baru saja terjadi sampai alasan mereka ke danau itu. Soni
akhirnya tahu kenapa dan untuk apa pemuda itu menangkap ikan. Alasan yang sederhana,
menghabiskan waktu sambil mencari sesuatu yang nantinya akan digunakannya mengisi perut yang
kosong.

Setelah puas mengobrol, Soni pamit untuk pergi dari tempat itu terlebih dahulu. Ia melihat langit
sudah mulai senja. Ia harus segera pulang dan melakukan tugas untuk acara kegiatan penerimaan
hasil belajar yang akan dilaksanakan minggu depan. Ia merasa sangat puas seperti biasanya, setelah
pulang dari danau itu entah kenapa selalu ia membawa semangat baru yang bisa membantunya
menjalankan aktivitas yang berat di tempatnya bekerja.

Pembagian rapor hasil belajar siswa telah selesai dilaksanakan hari ini. Soni berencana langsung
pergi liburan ke pinggiran desa untuk menghilangkan kepenatan. Memang harus diakui, Soni adalah
tipikal orang yang mudah untuk mencari hiburan. Dia tidak harus pergi ke tempat yang jauh dan
mahal untuk memperoleh kenyamanan. Hanya sekedar keluar dari hiruk pikuk perkotaan dan
menikmati suasana di desa tetangga saja sudah cukup membuatnya rileks dan kembali bersemangat.

Hari sudah menjelang malam. Ia masih ada di jalanan menuju tempat liburan yang ia rencanakan.
Buka hal mengagetkan memang, pada saat liburan tiba jalanan menuju ke wisata desa selalu macet
panjang. Berada di sekitar waduk tempat yang biasa ia lewati, tiba – tiba ada sosok pemuda yang
tampaknya ia kenal sedang berlari dengan anak kecil. Pemuda itu lari dengan raut wajah panik di
tengah keramaian jalan yang kebetulan sedang terjebak lampu merah menuju ke arah mobilnya
berada.

Tepat persis di sebelah mobilnya pemuda itu menyuruh anak kecil tersebut bersembunyi. Ia
berusaha menenangkan dan memberikan arahan kepada anak kecil tersebut untuk tenang. Tak lama
kemudian di belakang mereka ada beberapa orang yang sedang menyusul mengejarnya. Melihat hal
tersebut, pemuda itu menjauh dari mobil dan berteriak ke arah sekelompok orang yang
mengejarnya untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Woi sini, kejar gua kalo kalian bisa. Dasar lemah.” Teriak pemuda itu berusaha menarik perhatian
mereka dan lari secepat yang ia bisa.

Soni jadi penasaran dengan apa yang barusan terjadi. Ia segera membuka pintu mobilnya dan
menyuruh anak kecil tersebut masuk ke mobilnya.

“Dik, masuk ke mobil cepetan. Sebelum mereka balik.” Ucap Soni dengan suara lirih.

Anak itu pun segera masuk ke mobil dengan masih diselimuti perasaan takut.

“Tenang saja, kamu aman sekarang.” Soni berusaha menenangkan anak kecil tersebut.

“Terima kasih om.” Balasnya.

Sambil terus berkonsentrasi menyetir di keramaian jalan, Soni memperhatikan anak kecil tersebut. Ia
tak habis pikir anak sekecil itu sudah hidup dengan kerasnya kehidupan jalanan. Sambil menawarkan
minuman, Soni mencoba membuka obrolan dengan anak itu. Ia berharap bisa menenangkan hati
anak itu dari rasa takutnya.

“Nama kamu siapa dik?” tanya Soni sambil memberikan sebotol air mineral.

“Bima om.” Jawabnya sambil membuka minuman yang diberikan Soni.

“Bima, om ajak muter – muter dulu ya sekitaran sini, supaya orang - orang tadi nggak ngejar – ngejar
kamu lagi.” Jelas Soni

Bima tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Sepanjang
perjalanan Soni mencoba mengobrol dengan Danar. Dia sangat terenyuh mengetahui bahwa bocah
yang baru menginjak usia kelas 5 SD itu harus berjuang hidup dengan menjalani kehidupan jalanan
kota yang keras dan jauh dari kata aman untuk anak – anak. Dari obrolan singkat itu, Ia juga
mengetahui alasan kenapa anak kecil itu sampai dikejar oleh sekelompok orang tadi.

Bima tidak mau memberikan uang hasil jualannya hari ini kepada mereka. Dulu, Bima selalu
memberikan hasil jualannya kepada mereka saat minta atau lebih tepatnya dipaksa. Hal itu Bima
lakukan karena ia ketakutan dan tidak ada orang yang peduli dengannya. Tetapi, semenjak bertemu
dengan Irwan, pemuda yang menemaninya melarikan diri tadi, Ia diajarkan untuk berani melawan
dan tidak mudah memberikan apa yang menjadi miliknya kepada orang lain.

Setelah Soni yakin situasi sudah terkendali. Ia memutar kendaraannya menuju tempat awal
pertemuan tadi. Dalam perjalanan, Soni menawarkan jika ia akan mengantarkan Bima sampai ke
rumahnya dan Bima pun menyetujuinya. Setelah sampai di dekat rumah Bima, dari dalam mobil
terlihat seorang pemuda yang terlihat cemas dan kebingungan. Tapi semua itu sirna ketika Bima
membuka pintu mobil dan lari ke arah pemuda itu.

“Bang Irwan.” Teriaknya sambil berlari.


Irwan pun menyambutnya dan mengecek keadaan Bima. Irwan terlihat sangat perhatian dengan
keadaan Bima. Setelah meyakinkan anak itu dalam kondisi baik – baik saja, Irwan menyuruh Bima
segera masuk rumah dan mengunci pintunya. Ia juga berpesan kepada Bima bahwa jangan sampai
neneknya tahu dengan kejadian yang baru saja terjadi. Maklum saja, selain usia yang sudah lanjut,
nenek juga sangat mengkhawatirkan Bima. Bahkan Bima pernah dilarang keluar rumah dan
berjualan saat ia menceritakan ada seseorang yang mencoba memukulnya.

Anda mungkin juga menyukai