Anda di halaman 1dari 43

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU:

Matematika dan Pendidikan Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Oleh:
Hanan (23031140018)

Magister Pendidikan Matematika


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kesempatan
kepada kami dalam menyelesaikan karya tulis ini guna untuk memenuhi tugas akhir
dari dosen. Karya tulis yang dibuat ini dengan judul “Konstruksi dan Implementasi
Filsafat Ilmu: Matematika dan Pendidikan Matematika”. Sebelumnya, saya meminta
maaf kepada semua orang yang akan membaca karya tulis yang telah dibuat ini, karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, saya yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan karya tulis ini.

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan tugas karya tulis ini agar melatih kemampuan literasi agar terbiasa
membuat karya tulis baik saat di kampus maupun saat di luar kampus. Selain itu, saya
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
karya tulis ini dari awal sampai akhir.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi karya tulis ini agar menjadi lebih baik lagi.

Yogyakarta, 28 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

BAB I FILSAFAT UMUM

A. Ontologi .......................................................................................................... 3
B. Epistimologi ................................................................................................... 5
C. Aksiologi ........................................................................................................ 6

BAB II FILSAFAT ILMU

A. Ontologi Ilmu ................................................................................................. 9


B. Epistimologi Ilmu .......................................................................................... 11
C. Aksiologi Ilmu ............................................................................................... 12

BAB III MEMBANGUN FILSAFAT ILMU (DARI REALITA MENUJU IDEALITA)

A. Review Video Kuliah Filsafat Prof. Marsigit, M.A. ...................................... 14


B. Review The Critique of Pure Reason by Immanuel Kant .............................. 16

BAB IV MENERAPKAN FILSAFAT ILMU

A. Sejarah/Perkembangan Matematika ............................................................... 21


B. Ideologi Pendidikan (Paul Ernest).................................................................. 24
C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praksis (Review CMAP
Theory Learning ............................................................................................. 28

BAB V PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF ................................. 33

BAB VI PENUTUP ................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 37

ii
PENDAHULUAN

Filsafat merupakan salah satu cabang ilmu yang memiliki makna dan relevansi
tersendiri terhadap masalah-masalah praktis yang urgen dan mendesak. Permasalahan
yang menuntut penyelesaian praktis cenderung menyebabkan stigma mengenai filsafat
beragam. Sehingga, beriringan dengan hal itu, kehadiran filsafat ilmu terlalu dini di
satu pihak, tetapi juga dapat dianggap terlalu cepat dalam satu pihak.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pendidikan secara menyeluruh telah
dirasakan oleh umat manusia secara ambivalen. Maksudnya yaitu kadang bernilai
positif, kadang bernilai negatif. Ilmu pengetahuan dan etika, serta pengetahuan dan
perbuatan merupakan dua hal yang senantiasa harus berhubungan. Pada zamannya,
pendidikan telah menunjukkan peranannya dalam memegang kendali kehidupan
manusia.
Seiring perkembangan zaman, filsafat diartikan sebagai ilmu yang bersifat
mencari hakikat sesuatu yang berupaya melakukan penafsiran-penafsiran atas
pengalaman manusia, serta sebagai Upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Filsafat memiliki peranan
penting dalam dunia pendidikan, yaitu sebagai kerangka acuan bidang filsafat
pendidikan guna mewujudkan cita-cita pendidikan yang diharapkan oleh suatu
Masyarakat atau bangsa. Oleh karena itu, filsafat menjadi panutan dalam setiap jenjang
dan aspek kehidupan salah satunya dalam bidang pendidikan.
Filsafat yang lahir menjadi tumpuan ilmu pendidikan pada dasarnya merupakan
ilmu pengetahuan yang normative, dan mejadi disipilin ilmu yang merumuskan kaidah-
kaidah nilai yang dijadikan ukuran tingkah laku manusia yang hidup di Tengah
Masyarakat dan hidup dalam lingkup pendidikan. Filsafat dan ideologi dalam
pendidikan merupakan sumber yang mengilhami segala aspek kehidupan suatu bangsa
itu sendiri.

1
Filsafat pendidikan adalah muara ide dari berbagai kebutuhan utama
pendidikan seperti landasan pendidikan, pendekatan pengajaran, model pembelajaran,
dan berbagai aspek lain yang dibutuhkan untuk melanjutkan keilmuan pendidikan.
Seperti filsafat pada umumnya, filsafat ini juga mempertanyakan berbagai
kemungkinan yang telah ada, lalu mempertanyakan kebenarannya agar dapat
memutuskan kebenaran baru dalam menggiati keilmuan ini.
Filsafat pendidikan adalah kajian kritis terhadap pemikiran dan sikap yang telah
dan/atau akan dibuat melalui pencarian dan analisis konsep paling mendasar untuk
menciptakan pertimbangan yang lebih baik dan sesuai dalam skop pendidikan yang
berusaha untuk mewujudkan pembelajaran yang dapat diikuti oleh peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya dari segi keilmuan, kepribadian, dan nilai positif
lainnya.

2
BAB I
FILSAFAT UMUM

Filsafat merupakan objek pikiran yang prosesnya berlangsung dalam pikiran


manusia. Dalam proses terbeut mengandung berbagai macam komponen, yaitu
kompenen pikir yang terdiri dari etika, logika, dan estetika. Ketiga komponen tersebut
saling bersinergi dengan aspek kajian ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga
aspek kajian tersebut merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam segala
proses, terlebih proses yang melibatkan kegiatan berpikir. Aspek ontologi merupakan
aspek keapaan, epistimologi merupakan aspek kebagaimanaan, dan aspek aksiologi
merupakan aspek yang bermakna sebagai kegunaan. Untuk pemahaman lebih lanjut,
dapat dilihat dalam pembahasan berikut,
A. Ontologi
Secara bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ontos” berarti
yang ada, dan “Logos” yang berarti ilmu. Dengan kata lain, ontologi merupakan
suatu cabang imu yang membicarakan tentang yang ada. Adapun secara istilah,
ontologi berarti sebagai suatu cabang dalam filsafat yang berhubungan dengan
hakikat hidup suatu keberadaan segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (Mahfud
dalam Rokhmah, 2021). Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara
fundamental dan cara berbeda dimana wujud dari kategori-kategori yang logis dan
berlainan (Bakri, 2023).
Ontologi, sebagai cabang dari metafisika, merupakan arena eksplorasi
filosofis yang menggali konsep keberadaan, eksistensi, dan realitas. Pada intinya,
ontologi bertanya pada jenis entitas apa yang ada, bagaimana entitas tersebut dapat
dikelompokkan, dan bagaimana keterkaitan mendasar antara mereka dapat dipahami.
Teori-teori ontologis, dengan berbagai komitmen teoretis, sering kali disebut sebagai
"ontologi"(Edward N. Zalta’s, 2023). Ontologi juga berdialog mengenai seluruh yang

3
jelas, misalnya ulasan seluruh perbedaan mengenai barang serta makhluk hidup
(Ermisa dan Zulfah, 2023).
Ontologi pertama kali dikenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M,
dengan memperkenalkan teori tentang hakikat yang bersifat metafisis. Selanjutnya,
metafisis sendiridibagi menjadi dua yaitu metafisis umum dan khusus. Metafisis
umum inilah yang merupakan bagian darinontologi (Bakri, 2023). Sejarah ontologi
penuh dengan perdebatan mendasar tentang esensi eksistensi, disertai refleksi
mendalam terhadap metode, status, dan konsep dasar di dalam disiplin ilmu itu
sendiri. Pada era modern, ontologi dilihat sebagai domain filsafat yang mandiri,
menghadirkan metode penyelidikan terhadap permasalahan filosofis tentang konsep
atau fakta-fakta eksistensi (Corazzon & Raul, n.d.). Filsuf-filsuf meruncingkan
perdebatan seputar apakah entitas seperti meja dan kursi, singa dan harimau, doktrin
filosofis, angka, kebenaran, dan keindahan, seharusnya dianggap sebagai sesuatu
yang "nyata" atau sebagai entitas yang bersifat lebih abstrak.
Objek material ontologi merupakan yang ada, yaitu individu, ada umum, ada
terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan
metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada. Sedangkan
objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Berdasarkan
pengkategoriannya, ada beberapa karakteristik ontologi yaitu; 1) ontologi merupakan
studi tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya dan bersifat abstrak; 2)
ontologi sebagai cabang filsafat yang mengkaji tata dan struktur realitas dalam arti
seluas mungkin; 3) ontologi sebagai cabang ilmu yang mencoba melukiskan hakikat
terakhir yang ada; 4) ontologi merupakan cabag ilmu yang mempelajari tentang status
realitas (Bakri, 2023).
Ontologi sebagai bidang studi yang dinamis dan bervariasi dalam ranah
filsafat, tetap menjadi fokus penting bagi mereka yang ingin menjelajahi esensi
keberadaan dan realitas. Singkatnya, ontologi dapat diartikan sebagai bagian dari
filsafat yng mencoba mencari hakikat dari sesuatu, yang kemudian dikaji lagi secara
tersendiiri menurut cabang ilmu yang disesuaikan.

4
B. Epistemologi
Epistemologi, sebagai cabang eksploratif dalam dunia filsafat, merambah
ranah pengetahuan manusia, meresapi esensi, asal-usul, dan batasan-batasan yang
memayungi pemahaman kita. "Epistemologi" sendiri berasal dari gabungan kata
Yunani "episteme" dan "logos," yang masing-masing membawa makna
"pengetahuan" dan "akun" atau “alasan”(Edward N. Zalta, 2020). Secara istilah,
epistemologi merupakan suatu ilmuyang mengkaji tentang sumber pengetahuan,
metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut (Dewi Rokhmah,
2021).
Epistemologi singkatnya dapat diartikan sebagai teori pengetahuan yang
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai
objek tersebut (Zamroni, 2022). Sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat dan
lingkungan pengetahuan, epistemologi juga membahas mengenai hal yang
berhubungan dengan dasar ilmu pengetahuan itu sendiri, serta penegasan bahwa
seseorang memiliki pengetahuan tersebut. Dalam sumber yang lain juga disebutkan
bahwa epistemologi juga diketahui sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian,
pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan (Dewi Rokhmah, 2021).
Sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu, dan ilmu
sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik unntuk menemukan prinsip
kebenaran yang terdapat pada objek kajian ilmu merupakan penjabaran dari
epistemologi (Nasaruddin Yunos, 2020). Adapun landasan dalam tataran epistemolgi
yaitu proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika,
estetika, bagaimana cara prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, keindahan seni, dan
kebaikan moral (Pajriani, T.R., dkk, 2023).
Epistimologi secara hakiki lebih berkaitan dengan filsafat. Dalam
epistemologi sendiri terdapat upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. Aktivitas ini ditempuh melalui proses perenungan dan berpikir
secara filosofis dan analitis (Mahbub, 2013). Pemikir-pemikir epistemologi tak hanya
menggali sisi rasionalitas kepercayaan dan pembenaran epistemik, namun juga

5
menyelami ruang lingkup pengetahuan manusia dan isu-isu terkait lainnya.
Kompleksitas hubungan antara epistemologi, ilmu pengetahuan alam, dan subdivisi
filsafat kuno lainnya, seperti etika, logika, dan metafisika, menghadirkan variasi
pandangan yang menarik (David A. Truncellito, n.d.).
Epistemologi terbagi beberapa macam, yaitu epitemologi metafisis,
epistemologi skeptis, apistemologi kritis, spistemologi individual, dan espistemologi
sosial. Selanjutnya epistemologi memiliki tiga cabang utama yaitu alethiologi,
epistemologi formal, dan meta epistemologi. Alethiologi secara bahasa dapat
diartikan sebagai studi tentang kebenaran atau sifat kebenaran. Adapun epistemologi
formal dapat diartikan sebagai pendekatan metodologis analitik tradisional.
Sedangkan meta epistemologi adalah kajian meta filosofis tentang subjek, masalah-
masalah dan metode serta tujuan dari epistemologi sendiri (Mahbub, 2013).
Epistemologi yang dinaturalisasikan berkembang sejak anad ke-20 dengan
W.V. Queen sebagai pelopornya (Mahbub, 2013). Sejarah epistemologi, yang berakar
dari zaman Yunani kuno, terus membentang hingga masa kini, menyajikan warisan
filosofis dalam perjalanan pikiran Barat. Isu-isu esensial dalam epistemologi
mencakup sifat pengetahuan proposisional, sifat pembenaran, dan seberapa jauh
pengetahuan manusia dapat menjelajahi batasannya.
Secara keseluruhan, dapat dilakukan penyederhanaan bahwa epistemologi
merupakan cabang ilmu yang bertujuan untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu
itu terjadi, bagaimana cara mengetahuinya, bagaimana cara membedakannya, dan
lainnya yang masih bisa dikaitkan dengan keadaan dan kondisi sesuatu dalam ruang
dan waktu.
C. Aksiologi
Secara bahasa, aksilogi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “aksios” yang
berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi, merupakan cabang
filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, aksiologi diartikan sebagai kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian-kajian tentang nilai-nilai khususnya

6
etika. Aksiologi juga dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi tolak ukur
kebenaran. Etika dan moral sebagai dasar normatif penggalian dan penelitian serta
penerapan suatu ilmu (Abadi, T.W., 2016). Berdasarkan pemaparan tersebut, jelas
bahwa aksiologi merupakan hal yang mengkaji tentang masalah nilai, terutama dalam
etika dan estetika. Otomatis, jelas bahwa aksiologi akan mengkaji mengenai hal yang
baik dan buruk/jahat.
Aksilogi merupakan teori tentang nilai, yang menjawab pertanyaan mengenai
untuk apa objek tersebut dipelajari (Zamroni, 2022). Aksiologi, sebagai lahan
eksploratif dalam dunia filsafat, membenamkan diri dalam studi nilai, menjelajahi
esensi, klasifikasi, dan esensialitas nilai. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang
dianggap baik, sejauh mana kebaikan itu dinilai, dan bagaimana kebaikan-kebaikan
tersebut saling bersinggungan menjadi pusat perhatian aksiologi. Ini bukan sekadar
mencari pengkategorian hal-hal yang dianggap baik, tetapi juga mengukur sejauh
mana kebaikan tersebut dapat diartikulasikan dan dipahami (Edward N. Zalfa, 2021).
Aksiologi terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu moral conduct, estetic
expression, dan socio political life. Moral conduct diartikan sebagai tindakan moral
yang melahirkan disiplin khusus yang disebut etika. Estetic expression merupakan
ekspresi keindahan yang melahirkan keindahan sendiri. Dan socio political life
merupakan hal yang penting dalam lahirnya filsafat kehidupan politik (Abadi, T.W.,
2016).
Dalam eksplorasi epistemologis dan ontologisnya, aksiologi membagi
dirinya menjadi kategori-kategori menarik, seperti etika dan estetika. Aksiologi tidak
hanya menggali nilai-nilai pribadi dan moral dalam dinamika perilaku sosial, tetapi
juga mengamati keindahan dan harmoni dalam berbagai konteks. Lebih dari itu,
aksiologi mencurahkan perhatiannya pada refleksi kritis terhadap seni, alam, dan
budaya, serta penelitian nilai-nilai sensorik atau sensorik-emosional, yang sering
disebut sebagai penilaian rasa dan sentimen(Edward N. Zalfa, 2021)

7
Secara singkat, aksiologi tidak hanya menelusuri makna nilai, tetapi juga
menggali ragam pengalaman manusia, termasuk etika, estetika, dan studi mendalam
tentang nilai-nilai sensorik atau sensorik-emosional.

8
BAB II
FILSAFAT ILMU

Berbagai proses filsafat telah dijabarkan dan dikumpulkan sehingga


membentuk suatu paradigma dalam pendidikan. Filsafat matematika berperan
menyediakan landasan/pondasi pengetahuan matematis yang sistematis dan yang
secara absolut dapat melindungi landasan tersebut dari berbagai macam kontradiksi
dan paradok dalam kaitannya dengan kebenaran matematis (Sukardjono, 2000). Peran
yang seperti ini berkaitan dengan dasar-dasar landasan matematika yang telah
dikembangkan oleh aliran absolutisme yang menjadi pusat dari seluruh filsafat
matematika, saat ini. Perincian bidang filsafat matematika yang dapat dikemukakan
dan diharapkan lebih sistematis mencakup beberapa bagian sebagai berikut (Slamet,
2008):
A. Ontologi Ilmu
Ontologi matematika menyelidiki esensi dan sifat dari objek-objek yang
menjadi pusat perhatian dalam matematika. Ini bukan hanya bagian penting dari
filosofi matematika, tetapi juga melibatkan pemikiran tentang epistemologi dan etika.
Dalam penelitian pendidikan matematika, studi ontologi berkaitan dengan
pertimbangan filosofis yang memengaruhi cara pengetahuan diproduksi dan
disebarkan di bidang tersebut. Meskipun tidak ada buku teks atau survei umum yang
secara spesifik membahas ontologi matematika, terdapat pengantar yang dapat diakses
dalam filsafat matematika yang mencakup aspek-aspek yang relevan (Chesky, n.d.-a).
Sejumlah peneliti mendorong untuk melebihi pembahasan epistemologis dan
aksiologis dalam filosofi pendidikan matematika dengan memasukkan perspektif
ontologis. Mereka membayangkan terbentuknya hubungan baru antara pembahasan
filosofis dan pengajaran matematika. Filosofi pendidikan matematika yang tengah
berkembang ini bertujuan untuk menyelidiki ontologi dengan tujuan meningkatkan

9
pemahaman tentang esensi pengetahuan matematika dan unsur-unsur yang
membentuknya .
Ontologi matematika menggali keberadaan dan sifat objek-objek yang menjadi
pusat perhatian matematika. Dalam ranah ini, perhatian khusus diberikan pada
keseimbangan yang perlu dijaga antara tantangan epistemologis dan ontologis. Sebagai
contoh, pada awalnya, opsi ontologis yang paling sederhana adalah mengakui
keberadaan objek matematika abstrak, seperti angka atau himpunan, yang menjadi
dasar istilah matematika. Tetapi, menjelaskan bagaimana kita sebagai makhluk duniawi
dapat memahami objek-objek yang bersifat aspasial dan atemporal tersebut, ternyata
menjadi permasalahan yang menantang.
Ontologi pada akhir-akhir ini dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Hubungan antara pandangan ontologis (atau metafisis) dengan matematik cukup
banyak menimbulkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh sebagian filsuf
matematik. Dalam ontologi matematik dipersoalkan cakupan dari pernyataan
matematik (cakupannya suatu dunia yang nyata atau bukan). Pandangan realisme
empirik menjawab bahwa cakupan termaksud merupakan suatu realitas. Eksistensi dari
entitas-entitas matematik juga menjadi bahan pemikiran filsafati. Terhadap problim
filsafati ini pandangan Platonisme menjawab bahwa titik dan garis yang sesungguhnya
terdapat dalam dunia transenden yang kini hanya diingat oleh jiwa manusia di dunia
ini, sedang konsepsi Aristotelianisme mengemukakan bahwa entitas-entitas itu
sungguh ada dalam dunia empirik tetapi harus disuling dengan abstraksi. Suatu hal lagi
yang merupakan problim yang bertalian ialah apakah matematik ditemukan oleh
manusia atau diciptakan oleh budinya
Alternatif ontologis yang lebih sederhana adalah menolak keberadaan objek-
objek tersebut. Namun, dengan pendekatan ini, kita perlu menjelaskan apa yang
membuat teori-teori matematika menjadi benar, atau setidaknya mendekati kebenaran,
dan bagaimana kita dapat memahami fakta-fakta matematika. Berbagai pandangan
bermunculan dari berbagai cara menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini .

10
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang kuno (Didi Haryono, 2015).
Singkatnya, ontologi dapat diartikan sebagai hakikat realita sesuatu. Jika dikaitkan
dengan matematika, maka ontologi matematika dapat disebut sebagai istilah lain dari
hakikat matematika sendiri. Ontologi matematika menyangkut jawaban atas
pertanyaan, “apa itu matematika”.
Matematika menurut Russefendi dapat diartikan sebagai ilmu berpikir yang
deduktif, karena matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak dapat
didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil yang dibuktikan
kebenarannya. Menurut James dan James matematika adalah ilmu tentang logika,
bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan. Adapun
menurut Kline disebutkan bahwa matematika bukan pengetahuan menyendiri,
melainkan pengetahuan yang ada untuk membantu manusia memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi, dan alam (Rusefendi, 1988).
Dari beberapa penjabaran di atas, matematika merupakan pengetahuan yang
mempelajari tentang logika, khususnya bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep
yang berhubungan dengan yang lainnya. Matematika berhubungan dengan pola dan
hubungan sebagai suatu jalan atau pola berpikir. Selanjutnya, matematika dapat
ditentukan karena mempelajari mengenai sifat-sifat, teori-teori yang telah dibuktikan
kebenarannya, didefinisikan, aksioma, teori yang dibuktikan kebenarannya.
B. Epistimologi Ilmu
Epistemologi pendidikan matematika adalah eksplorasi tentang pengetahuan
matematika dan proses perolehannya. Ini melibatkan perspektif teoritis dan filosofis
yang dapat diaplikasikan dalam ranah matematika dan pendidikan. Epistemologi
memegang peran sentral dalam konteks pendidikan matematika, karena pandangan
individu terhadap epistemologi dapat memberikan dampak pada pendekatan mereka
terhadap pemahaman dan pencapaian dalam memperoleh pengetahuan (Fina Fitri
Nurjannah, 2022).
Epistemologi matematika erat kaitannya dengan isu-isu yang terkait dengan
metafisika dan epistemologi matematika. Filsuf telah memberikan perhatian khusus

11
pada pertanyaan-pertanyaan ontologis dan epistemologis seputar matematika, seperti
sifat entitas matematika dan bagaimana kita dapat memahami pengetahuan tentang
mereka. Penelitian epistemologi matematika bertujuan untuk mengeksplorasi esensi
epistemologi matematika dan bagaimana konsep tersebut dapat diaplikasikan dalam
pembelajaran matematika (Triadafillidis, n.d.).
Epistemologi matematika adalah teori pengetahuan yang sasaran
penelaahannya ialah pengetahuan matematik. Epistomologi sebagai salah satu bagian
dari filsafat merupakan pemikiran reflektif terhadap berbagai segi dari pengetahuan
seperti kemungkinan, asal-mula, sifat alami, batas- batas, asumsi dan landasan,
validitas dan reliabilitas sampai kebenaran pengetahuan. Dengan demikian landasan
matematik merupakan pokok soal utama dari epistemologi matematik.
Berdasarkan pemaparan di atas, epistemologi matematika dapat diartikan
sebagai cabang metafisika yang berguna untuk mengukas matematika sampai ke
akarnya, untuk menekuni kemurnian dari sifat matematika. Misalnya kalau dalam
matematika, pembuktian teorema merupakan salah satu penerapan epistemologi
matematika.
C. Aksiologi Ilmu
Filosofi pendidikan matematika melibatkan aspek-aspek beragam, termasuk
perspektif epistemologis, aksiologis, dan ontologis. Dalam konteks pendidikan
matematika, aksiologi merujuk pada nilai-nilai normatif yang ditempatkan pada tujuan
pendidikan, melibatkan pertimbangan etika dan moral terkait dengan pengajaran dan
pembelajaran matematika. Diskusi mengenai aksiologi dalam filsafat pendidikan
matematika sangat krusial untuk mengidentifikasi tujuan yang harus dicapai oleh
pendidikan matematika (Chesky, n.d.-b).
Filosofi pendidikan matematika juga mencakup teori-teori pedagogis yang
menyarankan strategi belajar mengajar yang efektif. Klasifikasi ini dapat dilakukan
secara dikotomis berdasarkan tujuan pendidikan dan teori pedagogi. Tujuan pendidikan
menetapkan sasaran yang harus dicapai dalam pendidikan matematika, sementara teori

12
pedagogis memberikan panduan mengenai strategi belajar mengajar yang efektif
(Nataly Chesky, 2013).
Aksiologi matematika terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran,
tanggung jawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas
mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa
mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Aksiologi
matematika sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan umat
manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari
pengaruh matematika. Sehingga dapat dikatakan Filsafat matematika adalah cabang
ilmu pengetahuan dari filsafat yang mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar,
dan dampak- dampak matematika serta meencari kebenaran dari fenomena–fenomena
dalam pendidikan.
Secara singkat, aspek aksiologis dari filsafat pendidikan matematika
memainkan peran penting dalam menentukan nilai-nilai normatif dan tujuan
pendidikan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran matematika. Aspek ini
merupakan komponen penting dalam wacana filosofis yang lebih luas, membentuk
dasar tujuan dan strategi pendidikan matematika (Ernest et al., n.d.).
Berdasarkan pemaparan di atas, aksiologi matematika merupakan cabang ilmu
metafisika yang membahas mengenai kegunaan atau nilai matematika dalam
kehidupan. Melihat sejauh mana pemanfaatan matematika dalam kehidupan.
Contohnya bisa dilihat dari penerapan perbandingan trigonometri dalam kehidupan,
yaitu dalam mengukur tinggi bangunan dengan perbandingan.

13
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT

Dalam membangun pemikiran diperlukan dasar-dasar yang kuat. Terlebih jika


hal yang dibangun merupakan hal yang sifatnya mendalam. Maka diperlukan dasar
yang lebih kuat lagi. Diperlukan pengenalan dari nol mengenai unsur terkecilnya. Hal
ini dapat dimulai dari kegiatan berikut,
A. Review Video Perkuliahan oleh Prof. Marsigit, M.A.
Manusia termasuk dalam metafisik. Maksudnya yaitu sifatnya masih didahului
sifat yang lain, dan sifat yang lain tersebut masih didahului lagi dengan sifat lainnya
yang lebih terdahulu lagi. Atau dengan kata lain, setelah yang ada, masih ada yang ada
lagi, begitu pula dengan yang sebelumnya. Singkatnya, hal tersebut menunjukkan
bahwa manusia itu tidak sempurna, dan dengan ketidaksempurnaan tersebut manusia
dapat bertahan atau hidup. Sekalipun sempurna, manusia itu hanya dapat dikatakan
sempurna dalam ketidaksempurnaan, dan tidak sempurna dalam kesempurnaan. Sifat
manusia itu, jika salah satunya hilang, maka tidak ada kehidupan. Awal dari segala
macam sifat/kehidupan manusia itu terbagi menjadi dua, yaitu fatal dan vital. Fatal
maksudnya bersifat terpilih, tetap. Singkatnya fatal dapat dikatakan sebagai takdir,
dengan kuasa Tuhan sebagai tingkatan tertingginya, sehingga menghasilkan
spiritualism. Kuasa Tuhan bersifat esa/monoism dan terkenal sebagai causa prima
(sebab dari segala sebab). Fatal menghasilkan idealism dengan indetitas yang
menunjukkantautologis yang bersifat absolut, sehingga memiliki hasil berupa
definisi/asumsi yang akan menghasilkan teorema dan aksioma yang merupakan bagian
dari hukum. Hukum ini bersifat formal/normatif. Oleh karena itu, menghasilkan hal
yang bersifat apriori atau paham dengan seluk beluk walaupun tanpa melihat. Melalui
aproiri munculah paham faham rasionalism. Sedangkan vital merupakan hal yang
masih bisa berubah atau dapat dipilih, sehingga diperlukan ikhtiar. Hal yang vital
bersifat realism dan matrealism (seperti benda). Contohnya adalah corespondentialism

14
yang merupakan hukum alam. Hal inilah yang menghasilkan persepsi yang bersifat
saintek sehingga diperlukan pembuktian berdasarkan pengalaman antarfenom
(aposteriori) yang memunculkan empiritism. Corespondentialism bersifat kontradiksi
yang umumnya menghasilkan novelty yang bersifat jamak/pluralism.
Rene Descartes merupakan tokoh rasionalism yang bersifat sceptism yang
termasuk dalam ranah fatal. Ren Descartes menentang pendapat David Hume yang
merupakan tokoh aposteriori yang termasuk dalam ranah vital. David Hume menganut
faham empiricsm. Pertentangan kedua tokoh yang menganut faham yang bertentangan
ini terjadi karena, Rene Descartes meragukan keberadaan Tuhan untuk mencari
keberadaan Tuhan sendiri. Dia merasa bahwa segala hal yang terjadi hanya mimpi,
sehingga dia menuntut pembuktian bahwa kehidupan ini memang nyata dan bukan
hanya mimpi. Hal ini dibuktikan dengan menunjukkan bahwa mimpi tidak dapat
melibatkan proses berpikir dengan pernyataan David Hume “Aku tidak berpikir karena
aku sedang berpikir” atau yang dikenal dengan cupito erfasum yang artinya ilmu itu
dasarnya rasio, karena jika ilmu hanya bersifat logis maka tidak ada perkembangan
dalam pengetahuan. Lalu muncul lah penengah antara keduanya yaitu Immanuel Kant
(1671) dengan pernyataanya bahwa Rene Descartes benar karena apriorinya, dan David
Hume benar karena sintetiknya. Selanjutnya muncul lagi seorang tokoh yang Bernama
August Compte yang menyatakan bahwa agama tidak bisa dioatuhi karena tidak logis.
Dia berpendapat bahwasanya semua yang kamu kerjakan dan kamu pikirkan itu tidak
ada gunanya bagi dunia. Hal ini didukung dengan faham yang Bernama positivism.
Teknologi menghasilkan kesejahteraan tetapi juga bisa menghasilkan
kemunafikan, karena nyatanya seringkali orang-orang lalai dan melupakan
kewajibannya kepada Tuhan. Umumnya, Masyarakat zaman sekarang sudah termasuk
dalam bagian masyarakat kontemporer. Dimana proses paling awal dimulai dari archaic
(manusia batu), tribal (pedalaman), tradisional, feudal, postmodern, dan power now
yang menganut faham Trumpisme. Faham ini merupakan faham yang menentang
semuanya karena berkuasa. Proses tersebut menghasilkan faham capitalism,
materialism, pragmatism, utilitalism, dan liberalism.

15
B. Review Critique of Pure Reason by Immanuel Kant
Critique of Pure Reason merupakan suatu karya monumental Immanuel Kant
yang dinilai memiliki pengaruh yang besar dalam dunia filsafat. Bahkan ada yang
menyebutkan, buku ini merupakan titik awal lahirnya filsafat modern. Karya
Immanuel Kant ini secara garis besar membicarakan mengenai akal pikiran manusia
beserta batasannya. Dalam buku ini, Kant menolak pendapat skeptisisme David
Hume yang menyatakan bahwa sains dapat dibenarkan jika memiliki dasar yang
apriori. Selain itu, melalui karyanya ini, Kant juga menentukan seberapa banyak hal
yang dapat diketahui melalui nalar tanpa melibatkan pengalaman masa lalu. Serta,
Kant berusaha untuk mendamaikan antara rasionalisme dan empirisisme. Untuk lebih
jelasnya, berikut poin singkat pemaparan inti dari buku Crititique of Pure Reason.
1. Perbedaan Antara Pengetahuan Murni dan Pengetahuan Empiris
Pengetahuan pada dasarnya berawal dari pengalaman. Pengetahuan ini
dinamakan sebagai pengetahuan empiris yang memiliki sumber aposteriori
(berdasarkan pengalaman). Namun, bisa jadi pengetahuan empiris merupakan
gabungan yang diterima melalui kesan, dimana kemampuan kognisi muncul dari
dirinya sendiri. Pengetahuan yang terbebas dari pengalaman dan kesan indra
dinamakan sebagai apriori, yang bertentangan dengan pengetahuan empiris.
Pengetahuan apriori ada yang murni dan ada yang tidak murni. Pengetahuan
apriori murni merupakan pengetahuan yang dengannya tidak ada unsur empiris.
Misalnya suatu preposisi “setiap perubahan memiliki sebab” merupakan preposisi
apriori tetapi tidak murni karena perubahan hanya dapat diperoleh dari
pengalaman.
2. Intelek Manusia dalam Keadaan yang Tidak Filosofis bahkan dikuasai oleh
Apriori Tertentu
Tidak diragukan lagi bahwa yang namanya pengalaman mengajarkan objek
ini dan itu dibentuk sedemikian rupa, tapi tidak aka nada jika terbentuk dengan
cara sebaliknya. jika terdapat preposisi di dalamnya berisi gagasan kebutuhan, hal
itu tidak berasal dari konsep lainnya kecuali jika satu sama lain saling melibatkan

16
gagasan tentang kebutuhan tersebut, maka hal itu benar-benar bersifat apriori.
Penilaian empiris tidak perbah menunjukkan hal yang bersifat mutlak, tapi hanya
dengan asumsi dengan merupakan universalitas komparatif (dengan induksi).
Dengan demikian, kebutuhan dan universalitas ketat merupakan tes yang
sempurna untuk membedakan pengetahuan murni dan empiris yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lain. Dengan tes tersebut, pada hakikatnya, bidang murni
dari sebuah kognisi apriori yang dimiliki dan digunakan.
Dengan menggunakan preposisi “setiap perubahan memiliki sebab” akan
dengan mudah melayani tujuan. Dalam kasus sebelumnya konsep penyebab jelas
melibatkan konsep kebutuhan koneksi dengan efek, dan universalitas hukum yang
ketat, maka sebab keseluruhan akan lenyap.
3. Filsafat Membutuhkan Sebuah Ilmu Pengetahuan yang Akan Menentukan
Kemungkinan, Prinsip, dan Jangkauan Pengetahuan Manusia Secara Apriori
Intinya menyebutkan bahwa kognisi tertentu berada di atas lingkup semua
pengalaman, melalui konsepsi yang semuanya berada di atas lingkup pengalaman
yang tidak ada objek sesuai, sehingga tampak memperluas jangkauan penilaian
yang melebihi batas. Dalam bidang ini, pengalaman tidak memberikan instuksi
penyelidikan akal budi, yakni yang dapat mencapai lingkup fenomena Indera.
Masalah yang tidak dapat dihindari mengenai akal budi murni adalah
tentang Tuhan, kebebasan (kehendak), dan keabadian. Ilmu dengan
pendahuluannya memiliki pbjek utama bagi solusi atas masalah ini bernama
metafisika, yang merupaka ilmu pengetahuan yang bersifat dogmatis sejak awal,
yaitu dengan melakukan sebuah pelaksanaan tugas tanpa investigasi mengenai
kemampuan dan ketidakmampuan akal budi.
Ilmu matematika memberikan contoh yang cemerlang, karena independent
dari semua pengalaman, sehingga pengetahuann apriori dapat ditunjukkan. Dalam
hal ini matematika menempatkan diri sebagai objek, dan kognisi hanya dapat
dipresentasikan secara intuisi. Hal ini diabaikan karena intuisi dapat ditujukkan
secara apriori, sehingga tidak dapat dibedakan dengan konsepsi murni. Karena

17
disesatkan oleh kekuatan akal budi, maka dapat dilihat batas untuk memperluas
pengetahuan. Adapun hal yang membebaskan selama proses membangun dari
semuaketakutan atau kecurigaan, dan membujuk dalam keyakinannyang kuat.
Sebagian besar kegiatan dalam menyelidiki akal budi terdiri dari analisis konsepsi
tentang objek.
4. Perbedaan Antara Penilaian Analitis dan Sintetis
Penilaian analitis (affirmative) merupakan penilaian yang memiliki
hubungan dengan predikat, dimana subjek dipikirkan melalui identitas. Penilaian
hubungan kadang dipikirkan tanpa identitas disebut sebagai penilaian sintetis.
Yang pertama bersifat menerangkan, yang kedua penilaian argumentatif karena
yangbpertama tidak menambahkan predikat bagi konsep subjek, tapi hanya
menganalisis konsep penyusunannya. Yang kedua menambah pemahaman tentang
subjek yang tidak mengandung predikat di dalamnya, dan belum pernah ada
analisis yang pernah ditemukan di dalamnya. Dengan penambahan predikat
tersebut, maka menjadi penilaian sintetis. Semua pendapat dari pengalaman selalu
bersifat sintetis
5. Dalam Sebuah Ilmu Teoritis tentang Akal Budi dalam Penilaian Sintetis
“Apriori” terkandung Beberapa Prinsip
Ada tiga poin dalam pokok bahasan ini, yaitu
a. Penilaian matematika yang selalu bersifat sintetis. Seperti yang diketahui
bahwa semua kesimpulan matematika bergerak maju sesuai dengan prinsip
kontradiksi (yang merupakan sifat setiap kepastian apodeistis yang pasti
diperlukan), orang menjadi yakin bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu juga
diakui dan dikenal dengan cara yang sama.
b. Ilmu filsafat alam (fisika) mengandung dalam dirinya penilaian sintetis
apriori sebagai prinsip-prinsipnya.
c. Metafisika yang dipandang hanya sebagai ilmu uji coba, namun berdasarkan
sifat akal budi manusia yang sangat diperlukan yang berisi preposisi sintetis
apriori.

18
6. Masalah Universal dalam Akal Budi Murni
Masalah yang tepat mengenai akal budi murni terkandung dalam
pertanyaan “bagaimana penilaian sintetis apriori yang benar?”. David Hume
adalah yang paling cepat dalam menangani semua masalah ini. Namun, tidak
pernah diperoleh dalam pikirannya ketepatan yang akurat, dan tidak
menganggap pernyataannya berasa dalam universalitas. Sebaliknya, David
Hume berhenti dalam preposisi sintetis koneksi mengenai akibat dengan
akibatnya (prinsip kausalitatis) dan menyatakan bahwa preposisi seperti apriori
bersifat mustahil. David Hume menyimpulkan semua ilmu metafisika bersifat
khayalan yang timbul dari khayalan tentang akal budi dalam wawasan yang
sebenarnya dipinjam dari pengalaman, dan kebiasaan tersebut telah
menunjukkan keharusannya. Berdasarkan pernyataan ini, yang merusak semua
filsafat murni. Solusi dari masalah di atas yaitu memahami kemungkinan
penggunaan akal budi murni dalam fondasi dan konstruksi dari semua ilmu yang
mengandung pengetahuan teoritis apriori terhadap objek.
Bagi pikiran manusia, tanpa dorongan apapun yang dapat dipandang
sebagai kesia-siaan belaka yang telah berlangsung dan didorong oleh perasaan
akan kebutuhannya sendiri terhadap pertanyaan yang tidak dapat dijawab melalui
metode empiris atau prinsip yang berasal darinya, sehingga dalam diri tiap orang
terkandung sistem metafisika. Sistem metafisika akan selalu ada hingga akal budi
terbangun untuk melakukan kekuatan spekulasinya.
Pertanyaan terakhir yang muncul dalam masalah universal di atas yaitu
“bagaimana metafisika dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan?”, sehingga
dengan demikian kritik terhadap akal budi pada akhirnya mengarah secara alami
dan pasti kepada pengetahuan.
7. Ide Pembagian Ilmu Pengetahuan Tertentu Berdasarkan Kritik dan Akal Budi
Murni
Dari semua yang sudah dipaparkan, maka tampak ilmu pengetahuan
tertentu yang dapat disebut sebagai Critique of Pure Reason. Karena akal budi

19
adalah kemampuan yang melengkapi kita dengan prinsip pengetahuan apriori.
Oleh karena itu, akal budi murni adalah kemampuan yang berisi prinsip-prinsip
untuk memahami hal-hal yang bersifat apriori. Penguasaan semua konsepsi
radikal yang berfungsi sebagai prinsip sintetis yang merupakan alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan utama. Dengan demikian, mengenai Critique
of Pure Reason merupakan bagian dari filsafat transendental yang lengkap, tapi
masih belum merupakan ilmu pengetahuan itu sendiri, karena sejauh ini hanya
melanjutkan analisis yang diperlukan bagi kekuatan penilaian pengetahuan
sintetis apriori. Filsafat transdental adalah hasil dari filsafat akal budi murni dan
hanya bersifat spekulatif. Karena semua hal yang bersifat praktis, sejauh yang
mengandung motif berkaitan dengan perasaan dan dimiliki oleh sumber kognisi
empiris.

20
BAB IV

MENERAPKAN FILSAFAT

A. Sejarah/Perkembangan Matematika
Pada mulanya, matematika dikenal sebagai ratunya ilmu pengetahuan.
Menurut bahasa latin, matematika berarti mempelajari. Secara umum, matematika
dapat diartikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang didapat dengan proses
berpikir. Para matematikawan, umumnya bergulat pada bidang matematika sendiri
tanpa adanya penerapan dalam pikiran, meskipun penerapan praktis munculnya
matematika, seringkali ditemukan belakangan (Ovan, 2022).
Pada zaman Yunani Kuno, khususnya selama periode sekitar 600 SM hingga
300 SM yang dikenal sebagai periode klasik matematika, terjadi pergeseran yang
signifikan dalam karakter matematika. Matematika tidak hanya berfokus pada
aplikasi praktis, melainkan juga berkembang menjadi suatu struktur pengetahuan
deduktif yang kohesif. Pergeseran ini melibatkan transisi dari penyelesaian masalah
praktis menuju pemahaman tentang kebenaran matematis secara umum, menjadi
landasan bagi perkembangan teori, dan mengangkat matematika sebagai suatu
disiplin ilmu mandiri. Masyarakat Yunani pada masa itu menunjukkan ketertarikan
yang besar terhadap struktur logis dalam matematika(Fakultas & Uny, n.d.).
Pada abad ke-19 dan 20, penciptaan mesin otomatis muncul berbarengan
dengan bidang sains dan bidang matematika. Dengan kata lain, matematika diangkat
dari pengalaman manusia yang bergelut dengan masalah praktis dalam kehidupan
sehari-hari (Ovan, 2022). Kontribusi paling menonjol bangsa Yunani terhadap
perkembangan matematika terletak pada dipilihnya metode deduktif dan
kepercayaannya bahwa fenomena alam dapat disajikan dengan lambang-lambang
bilangan, dan terbuktinya zaman sekarang melalui adanya alat elektronik digital
(Sukardjono, 2011).

21
Selain itu, sebagaimana yang disebutkan, ilmu matematika juga
memberikan inspirasi yang signifikan bagi para filsuf Yunani dalam merinci
pemikiran filosofis mereka. Hubungan erat antara matematika dan filsafat melahirkan
cabang ilmu yang dikenal sebagai filsafat matematika. Filsafat matematika mencakup
semua pemikiran reflektif terkait dengan dasar-dasar matematika dan kaitannya
dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Arif Abas, 2014).
Kita dapat menghubungkan teori Perry dengan posisi dalam filsafat
matematika. Ini adalah filosofi publik matematika, dinyatakan secara eksplisit dan
diekspos ke perdebatan publik. Di sini kita mempertimbangkan filosofi pribadi
matematika, yang bersifat pribadi dan implisit teori, kecuali jika dipikirkan matang-
matang, dinyatakan secara eksplisit dan dipublikasikan. Perbedaan antara
pengetahuan obyektif dan subyektif, dibuat antara lain oleh Polanyi (1958), yang
berpendapat pentingnya peran komitmen terhadap pengetahuan pribadi, menawarkan
dukungan untuk bentuk, jika bukan rincian, teori Perry. Dari teori Perry hingga filsafat
pribadi matematika, pandangan matematika dapat dibedakan pada masing-masing
tiga tingkatan. Pandangan dualistik matematika menganggapnya berkaitan dengan
fakta, aturan, prosedur yang benar, dan kebenaran sederhana yang ditentukan oleh
otoritas absolut. Matematika dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan eksak; ia
memiliki struktur yang unik. Mengerjakan matematika adalah mengikuti aturan.
Dalam pandangan Multiplistik matematika, beberapa jawaban dan beberapa
rute menuju suatu jawaban diakui, tetapi dianggap sama validnya, atau merupakan
masalah preferensi pribadi. Tidak semua kebenaran matematika, jalur menuju
kebenaran tersebut atau penerapannya diketahui, sehingga dimungkinkan untuk
berkreasi dalam matematika dan penerapannya. Namun, kriteria untuk memilih dari
keragaman ini masih kurang. Pandangan relativistik matematika mengakui banyak
jawaban dan pendekatan terhadap masalah matematika, dan evaluasinya bergantung
pada matematika sistem, atau konteks keseluruhannya. Demikian pula pengetahuan
matematika dipahami bergantung pada sistem atau kerangka yang diadopsi, dan
terutama pada logika batin matematika, yang memberikan prinsip dan kriteria

22
evaluasi. Kami selanjutnya menghubungkan kelompok pandangan matematika ini
dengan filosofi matematika yang berbeda, baik publik maupun privat. Perbedaan
utama dalam filsafat matematika adalah antara absolutisme dan fallibilisme. Aliran
pemikiran absolut menyatakan bahwa pengetahuan matematika itu pasti, namun ada
alasan rasional untuk menerima (atau menolaknya). Pengetahuan matematika
dibangun dalam filosofi ini melalui logika yang diterapkan pada teori matematika.
Filsafat-filsafat ini juga mengakui banyaknya pendekatan dan solusi yang mungkin
terhadap masalah matematika, bahkan jika ada kebenaran abadi yang dapat
ditemukan melalui cara-cara ini. Oleh karena itu, filosofi publik dan sistem
kepercayaan seperti itu bersifat Relativistik, karena pengetahuan dievaluasi dengan
mengacu pada suatu sistem atau kerangka kerja. Hal yang sama juga berlaku pada
filsafat fallibilist yang diterbitkan.
Namun, di luar aliran pemikiran publik ini, dan aliran pemikiran 'pribadi',
terdapat filosofi matematika personal yang lebih sempit. Dua yang akan dibedakan
sama-sama absolutis. Yang pertama adalah pandangan Dualistik matematika sebagai
kumpulan fakta-fakta yang benar, dan metode-metode yang benar, yang
kebenarannya ditetapkan dengan mengacu pada otoritas. Perspektif ini menekankan
kebenaran absolut versus kepalsuan, kebenaran versus ketidakbenaran, dan bahwa
terdapat serangkaian pengetahuan matematika unik yang disetujui oleh otoritas.
Pandangan ini disebut pandangan 'instrumental' matematika (Ernest, 1989b, c, d). Hal
ini telah diidentifikasi dalam penelitian empiris mengenai keyakinan guru (Cooney
dan Jones, 1988; Ernest, 1989a; Oprea dan Stonewater, 1987; dan Thompson, 1984).
Ini akan disebut 'pandangan absolutis dualistik terhadap matematika.
Filosofi pribadi matematika yang kedua dapat diidentifikasi yaitu
Multiplistik. Pandangan ini juga memandang matematika sebagai seperangkat fakta,
aturan, dan metode yang tidak perlu dipertanyakan lagi, namun tidak menganggap
pilihan dan penggunaan di antara kumpulan fakta tersebut sepenuhnya ditentukan
oleh otoritas atau sumber lain. Jadi terdapat sejumlah sudut pandang atau evaluasi

23
“jawaban” yang mengacu pada situasi atau permasalahan matematika yang serupa,
dan pilihan dapat dibuat sesuai dengan preferensi penganut keyakinan tersebut.
Pandangan seperti itu dapat disimpulkan untuk anak Benny, dalam studi
kasus Erlwanger (1973), yang melihat matematika sebagai kumpulan aturan (yang
tidak konsisten), yang harus dipilih berdasarkan preferensi atau kemanfaatan.
Skovsmose (1988) menyiratkan bahwa penggunaan matematika yang tidak reflektif
dalam pemodelan matematika adalah pragmatis, dan mungkin mewujudkan filosofi
tersebut. Ormell (1975) melaporkan pandangan banyak ilmuwan dan teknolog bahwa
matematika adalah kumpulan alat untuk digunakan ketika diperlukan, masing-masing
untuk digunakan (Ernest, n.d.).
Dilihat dari sudut pandang aksiologi matematika, tentu terlintas dalam
pikiran mengenai alasan mempelajari matematika. Sebenarnya cukup diingatkan saja
bahwa kehidupan tidak dapat lepas dari yang namanya matematika. Matematika
merupakan sendi kehidupan. Singkatnya, tidak ada kehidupan tanpa matematika,
karena pada hakikatnya matematika selalu digunakan dalam segala proses setiap
harinya.
B. Ideologi Pendidikan
Pada dasarnya objek ontologis filsafat terdiri dari sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada. Dalam perkembangannya, terdapat pola kesejajaran dan interaksi
antar aliran filsafat. Jika bersifat berubah, maka lahirlah Filsafat Heraklitosianisme
yang sejajar dengan filsafat Realisme, Relativisme, Empirisisme, dan Pragmatisme.
Namun, jika bersifat tetap maka lahirlah Filsafat Permenidesianisme yang sejajar
dengan filsafat Idealisme, Absolutisme, Formalisme, dan Rasionalisme. Jika objek
berpikirnya di luar pikiran, maka lahirlah Filsafat Realisme atau Relativisme. Namun,
jika di dalam pikiran maka lahirlah Filsafat Idealisme atau Absolutisme. Jika sumber
pengetahuan adalah rasio, maka lahirlah Filsafat Rasionalisme. Namun, jika
bersumber dari pengalaman, maka lahirlah Filsafat Empirisisme. Jika sumbernya
adalah Tuhan maka lahirlah Filsafat Teologi atau Spiritualisme. Namun, jika
sumbernya materi maka lahirlah Filsafat Materialisme. Jika yang dicari adalah

24
substansi maka lahirlah Filsafat Substansialisme atau Esensialisme. Namun, jika yang
dicari adalah yang ada maka lahirlah Filsafat Eksistensialisme. Jika berpusat pada
manusia maka lahirlah Filsafat Humanisme.
Filsafat merupakan wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh fikir dan
pikiran hanya bersifat simpomatik sintetik-analitik (mempresentasikan filsafat
terisolasi oleh ruang dan waktu). Solusi dari filsafat umumnya mengarah pada
kompromi kontradiktif antar representasi filsafat.
Semua aliran filsafat bersifat Egosentrime memiliki potensi buruk,
sehingga diperlukan Holisisme agar diperoleh komprehensivitas menuju potensi baik.
Ideologi merupakan bentuk operasionalisasi filsafat, karena dia terkait dengan ruang
dan waktu yang berupa konteks ejarah seseorang atau suatu bangsa. Sementara politik
dapat dikaitkan sebagai keadaan Masyarakat untuk memperoleh kekuasaan. Sadar
ataupun tidak, paradigma merupakan refleksi kontekstual dari ujung tombak filsafat,
ideologi dan politik yang mempengaruhi arah kebijakan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pendidikan merupakan suatu program yang erat kaitannya dengan
kehidupan seseorang, sehingga pendidikan yang baik akan membawa segala aspek
kehidupan ke arah lebih baik. Politik pendidikan berkaitan langsung dengan
ideologinya (Paul Ernest, 1995). Indonesia merupakan merupakan bangka yang
menganut demokrasi Pancasila, sehingga menganut ideologi pendidikan Public
Educator.
1. Tesis, Antitesis, dan Sintesis Filsafat, Ideologi, dan Politik Pendidikan
Pendidikan terdiferensiasi oleh politik, ideologi, dan filsafat. Berdasarkan
pengalaman intuisi Pendidikan Esensialisme Mutlak, sehingga bersifat Anti-
Spiritualisme dengan sifat-sifat lain pada akhirnya bersifat Materialisme, Realisme,
dan Eksistensialisme. Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka Pendidikan
Realisme Mutlak bersifat Anti-Idealisme. Namun sejalan dengan Materialisme,
Empirisisme dan Eksistensialisme. Pendidikan Eksistensialisme mengejar
kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada. Dalam dunia Kontemporer,

25
ditemukan Pendidikan Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-
ended Mutlak, Kebebasan Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi.
Pendidikan Kapitalisme bersifat Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital, Materialisme,
Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak, Reduksionisme,
Sosialisme, Dunia Terpotong, Closed-ended, dan Alienisasi. Pendidikan
Humanisme Mutlak bersifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme, Egosentris, dan Dunia
Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial bersifat Eksploitasi Vital, Kolaborasi,
Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended. Pendidikan Pragmatisme Mutlak
bersifat Praktis (budaya instant), Anti-Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-
Idealsime. Pendidikan Sentralistik bersifat Monokultur, Eksploitasi vital,
Pendidikan Laskar, Closed-ended Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia
Terbelah, Sosialisme, Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan
Formalisme bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme,
Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia Terbelah.
Pendidikan Demokrasi Pancasila bersifat Spiritualsme, Mono-Dualis
(Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-tertutup, Demokratis, Public Educator,
Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal Ika (monokultur-heterogonomous), dan Dunia-
Akhirat (seutuhnya).
2. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi
Pendidikan
Politik dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia belum konsisten, kompak
dan komprehensif. Secara filsafat struktur demukian dikatakan belum sehat atau
tidak sehat. Politik Pendidikan tidak selaras dengan Filsafat dan Ideologi
Pendidikan. Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia tersandera oleh praktek
Politik Demokrasi Transaksional dan Politik Uang, serta godaan yang sangat besar
karena tidak ada alternatif lain kecuali pelan tetapi pasti menuju Egosentrisitas Pasar
Bebas. Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia memandang Pendidikan sebagai
Investasi dan memandang Kurikulum sebagai Instrumen untuk mencapai Tujuan
Egosentris Elitisme Populis. Guru menjadi korban kebijakan Populis Pragmatis,

26
karena mental guru hanya sebagai Pelaksana Ketat dari kebijakan Pemerintah dalam
Bidang Pendidikan, dan guru mensyukuri hal tersebut karena mental guru hanya
sebagai Pelaksana Ketat dari kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendidikan.
3. Kedudukan dan Hubungan Filsafat, Ideologi, dan Politik Pendidikan Indonesia
(Pancasila) di antara Bangsa-bangsa Dunia
Kedudukan Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia adalah ke arah mana
pola karakterisasi atau perjalanan Ideologi dan Politik Pendidikan Indonesia
mengkristal /mengakar/membudaya ke dalam fatalitasnya dan mengarah ke dalam
vitalitasnya. Politik Pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dan pada
akhirnya tidak begitu jelas skema pengembangannnya. Politik Pendidikan
Positivisme menganggap tidak dapat mengandalkan Karakter Spiritual untuk
membangun dunia yang lebih maju, karena menganggap sebagian Karakter
Spiritual mempunyai Karakter Irasional yang tidak dapat digunakan untuk
mengembangkan metode saintifik. Pergulatan panjang selama lebih dari 2 (dua)
abad telah mentrasformasikan Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik
Pendidikan Kontemporer, Mainset Pendidikan Indonesia Kontemporer bersifat
dan menuju karakter Pragmatisme, Kapitalisme dsb. Dengan wajah implementasi
tersebut, telah dan akan pribadi Indonesia yang berkarakter Terbelah, Berkonteks
Dunia Terbelah, Bersifat Materialis, Budaya Instant, Dominan pada Duniawiyah,
Saintisme Absolut (Riset tanpa batas dan Anti-Spiritualisme), Hedonisme, Pribadi
Plin-plan, dan Tergoda Spiritualismenya, Korupsi, Kriminal, Politik Uang,
Budaya/Kesenian Palsu, Tuntunan menjadi Tontonan, dan Tontonan menjadi
Tuntunan.
Berdasarkan isu di atas, maka saya setuju dengan pengusulan Konsep
Politik Pendidikan Indonesia yang bernama Pendidikan Demokrasi Pancasila
sebagai SOLUSI untuk mengatasi Krisis Multi Dimensi Bangsa Indonesia. Karena
pendidikan sangat penting dan hendaknya memiliki tujuan yang jelas dalam
membangun karakter umat suatu bangsa (Marsigit, 2014).

27
C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praksis
Sebenarnya esensi matematika dan filsafat pendidikan dapat dilihat dari
persamaan dan perbedaannya. Matematika dan filsafat pendidikan memiliki
persamaan yaitu sama-sama bergerak pada tingkat generalitas dan abstraksi yang
tinggi; sama-sama menggunakan akal/rasional; tidak memerlukan eksperimen dan
peralatan laboraturium. Sedangkan perbedaannya terletak pada metode yang
digunakannya. Dalam matematika dilakukan dengan metode deduksi saja,
sedangkan filsafat dilakukan dengan metode rasional (Novita Sari & Armanto,
2022).

No Paradigma/Teori/Model Sintak Link/Referensi


/Strategi/
Metode/Pendekatan
1 Problem Solving Menurut Polya: G.Polya, How to
1. Memahami masalah Solve it a new
2. Merencanakan aspect of
penyelesaian mathematical
3. Menyelesaikan method
masalah
4. Meninjau kembali
2 Problem Based Learning Menurut Tan (2003) Oon Seng Tan,
1. Meeting the problem Problem Based
2. Problem analysis and Learning and
generation of Creativity
learning issues
3. Discovery and
reporting
4. Solution presentation
and reflection
5. Overview,
integration, and
evaluation

28
3 Presentation and Menurut Richard Rochard I.
Explanation 1. Overview and Arends,
perspective Teaching for
2. Connecting Student Learning
presentation teaching to
the contect and science
learning
3. Planning for
presentations and
explanations
4. Delivering
presentations and
explanations

Berikut adalah 5 ideologi pendidikan menurut Paul Ernest


Social Industrial Technological Old humanist Progre Public
trainer pragmatist
group ssive educat

educat or

or
Political Radical Conservative Conservaive/ Liberal Democr

Ideology right, new Liberal atic

right socialist

View of Set of Body of Body of pure Personali Social

Mathemat truths, and knowledge knowledge zed constru

ics rules maths ctivism

Moral Authoritari Pragmatism, Rule centred Caring, Liberty,

Values an Expediency structure empathy, equality

‘Victorian’ human

values values

29
Theory of Rigid Meritocratic Class Welfare Need a

Society hierarchy hierarchy stratified state reform

market-

place

Theory of Empty Child ‘empty Culture tames Character Social

the Child vessel vessel’ building conditio

ns view

Theory of Efford Ability Cast of mind Varies Cultural

Ability product

Mathemat Numeracy Certification Transfer of Creativit Contruc

ical aims and social knowledge y t their

our live

30
training in

obedience

Theory of Hard work, Skill Application Activity, questio

Learning practice acquisition explor ning

ati on

Theory of Drill, Skill instuctor explain Facilitat Discuss

Teaching Tranmissio motivate e ion

Mathemat n personal

ics explorati

on
Theory of Chalk and Microcomputer Visual aids explore Socially

Resources talk only s relevant

Authent

ic

Theory of External Certicication hierarchy Portopo Various

Assesment testing of skill profiling li o modes

in Maths simple

basics

31
Theory of Differentiat Vary Aability only Human Accom

Social ed curriculum iz e modatio

Diversity schooling, b neutral n of

monocultur y future social

alist occupations

32
BAB V

PENDIDIKAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF

Konstruktivisme, sebagai aliran dalam filsafat ilmu, psikologi, dan teori


belajar mengajar, menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi dari
pemahaman pribadi. Dalam konteks pendidikan, konstruktivisme menyoroti peran
krusial peserta didik dalam membangun pengetahuan mereka sendiri berdasarkan
pengalaman pribadi. Ini berarti bahwa peserta didik tidak hanya menjadi subjek pasif,
melainkan aktif terlibat dalam proses pembelajaran, sementara peran guru lebih bersifat
sebagai fasilitator dan motivator, memberikan dukungan dalam perjalanan
pembelajaran (Syarif Husain, 2023).
Prinsip belajar aktif, situasional, menarik, dan menantang menjadi poin
penting dalam konstruktivisme, dengan penekanan pada pengaitan pengetahuan lama
dengan informasi baru. Dalam dunia pendidikan saat ini, konstruktivisme dianggap
sebagai model pendekatan alternatif yang mampu mengatasi kelemahan pendekatan
behavioristik yang memandang pengetahuan sebagai konstruksi hasil analisis dan
kesimpulan.
Dengan kemampuan high order thinking skills (HOTS) yang sangat
diperlukan oleh siswa, konstruktivisme dianggap relevan dan penting dalam konteks
pendidikan modern. Konsep ini juga tercermin dalam Kurikulum Merdeka Belajar
(KMB), di mana beberapa fitur konstruktivisme, seperti kolaborasi dan pembelajaran
aktif, menjadi bagian integral dari pendekatan tersebut (Gatot Pramono, 2023).
Dengan demikian, konstruktivisme membawa implikasi signifikan dalam
dunia pendidikan, menekankan peran aktif peserta didik dalam proses pembelajaran,
kolaborasi, dan pengaitan pengetahuan yang sudah dimiliki dengan informasi baru.
Konsep ini terus menjadi topik penting dalam pengembangan pendidikan
modern(Kukuh et al., n.d.-a).

33
Pembelajaran dengan sistem konstruktivisme merupakan pembelajaran yang
bersifat membangun konsep pemahaman. Konstruktivisme membimbing agar siswa
berpikir kritis dan terarah (Kukuh et al., n.d.-b). Hal ini sudah diterapkan dalam proses
pembelajaran sekarang. Salah satunya diterapkan dalam proses belajar mengajar yang
dilakukan Prof. Marsigit, M.A. Dalam proses pembelajarannya, Prof. Marsigit, M.A.
menerapkan pendekatan open ended.
Pola pembelajaran tersebut sangat bersesuaian dengan pendekatan open
ended. Hal ini dilihat dari definisi open ended sendiri. Open ended merupakan
pendekatan dalam pembelajaran yang dalam praktiknya menekankan pada suatu posisi
dimana siswa dihadapkan dengan suatu permasalahan yang bersifat terbuka dan
memancing ragam berpikir dalam satu kesatuan ((Afgani, n.d.). Pendekatan open
ended tentunya memiliki tujuan sendiri dalam penerapannya. Pendekatan open ended
bertujuan untuk mendorong kreatifitas siswa dan mendorong kemampuan siswa dalam
berpikir matematis dalam menentukan pemecahan masalah secara bersamaan. Dengan
kata lain, kegiatan dan pemikiran matematis siswa dilakukan bersamaan (Aras, 2018).
Pemberian kuis di awal pembelajaran Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof.
Marsigit, M.A. merupakan bentuk penyajian masalah terbuka kepada mahasiswa. Hal
ini mengarahkan siswa untuk berpikir kreatif dalam menemukan solusi atas
permasalahan yang diberikan. Kuis yang diberikan juga merupakan permasalahan yang
sifatnya relate dengan kehidupan, sehingga mahasiswa tidak dituntut untuk berpikir
terlalu tinggi, ditambah lagi dengan tingkatan filsafat yang terkenal memerlukan
pemikiran tingkat tinggi. Dalam kelas Filsafat Ilmu, permasalahan disajikan dengan
lebih halus dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tidak meninggalkan esensi
filsafat sendiri sebagai pondasi segala ilmu.
Selanjutnya, mahasiswa diarahkan dan diberikan penjelasan mengenai
permasalahan yang dikira masih belum jelas. Hal ini akan lebih efektif dalam
pembelajaran, karena menuntut mahasiswa untuk membangun pengetahuannya
sendiri, sehingga terciptalah suatu pemahaman tingkat tinggi yaitu pemahaman yang
bersifat logis. Mahasiswa akan lebih mudah dalam mengingat segala ilmu yang

34
didapatkan, karena bersifat realistik. Dengan pemberian pemahaman konsep mendasar
yang kuat membuat pembelajaran Filsafat yang umumnya begitu berat, menjadi lebih
ringan.

35
BAB VI
PENUTUP

Kesimpulan

Filsafat merupakan cabang ilmu yang sangat penting dalam segala aspek
kehidupan. Filsafat bersifat mengupas secara mendalam suatu cabang ilmu. Dalam
filsafat dibahas secara mendalam cabang ilmu tersebut. Mulai dari mengupas
mendalam cabang ilmu tersebut, mengulas secara mendalam keabsahan cabang ilmu
tersebut, dan kegunaanya dalam kehidupan. Matematika merupakan cabang ilmu yang
penting untuk dikaji secara mendalam melalui filsafat. Melalui itu, lahirlah sintak-
sintak dalam pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran, penting untuk
membangun pemahaman. Salah satunya dengan menerapkan pembelajaran yang
bersifat konstruktiisme. Metode yang dapat digunakan adalah metode open ended.

36
DAFTAR PUSTAKA

Afgani, J. D. (n.d.). Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran Matematika.

Aras, I. (2018). PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA Open-Ended Approach in Mathematics Learning.
https://doi.org/10.35334/edu.v5i2.1005

Arif Abas. (2014). Sejarah Matematika.

Chesky, N. (n.d.-a). Beyond Epistemology and Axiology: Locating an Emerging


Philosophy of Mathematics Education. In ANALYTIC TEACHING AND
PHILOSOPHICAL PRAXIS (Vol. 34).

Chesky, N. (n.d.-b). Beyond Epistemology and Axiology: Locating an Emerging


Philosophy of Mathematics Education. In ANALYTIC TEACHING AND
PHILOSOPHICAL PRAXIS (Vol. 34).

Corazzon, & Raul. (n.d.). Theory and History of Ontology Raul Corazzon ||
rc@ontology.co || Info.

David A. Truncellito. (n.d.). Epistemology. Internet Encyclopedia of Philosophy.

Dewi Rokhmah, Ilmu dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistimologi, dan


Aksiologi, CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7, No. 2, 2021.

Edward N. Zalfa. (2021, March 4). Value Theory. Stanford Encyclopedia of


Philosophy.

Edward N. Zalta. (2020, April 11). Epistemology. Stanford Encilopedia of Philosophy.

Edward N. Zalta’s. (2023, March 13). Logic and Ontology. Stanford.

Ernest, P., Skovsmose, O., Paul Van Bendegem, J., Bicudo, M., Miarka, R., Kvasz, L.,
& Moeller, R. (n.d.). The Philosophy of Mathematics Education ICME-13
Topical Surveys. http://www.springer.com/series/14352

37
Fakultas, M. A., & Uny, P. (n.d.). SEJARAH DAN FILSAFAT MATEMATIKA.

Fina Fitri Nurjannah, A. W. (2022). Mathematical epistemology in mathematics


learning: Its definition, role and implementation. AIP Conference Proceedings.

Gatot Pramono. (2023, March 21). Konstruktivisme dalam Kurikulum Merdeka


Belajar (KMB).

Kukuh, N., Pinton, M., Mustafa2, S., Negeri, S., & Malang, B. (n.d.-a). Ndaru Kukuh
Masgumelar, Pinton Setya Mustafa Teori Belajar Konstruktivisme dan
Implikasinya dalam Pendidikan dan Pembelajaran.
https://siducat.org/index.php/ghaitsa

Kukuh, N., Pinton, M., Mustafa2, S., Negeri, S., & Malang, B. (n.d.-b). Ndaru Kukuh
Masgumelar, Pinton Setya Mustafa Teori Belajar Konstruktivisme dan
Implikasinya dalam Pendidikan dan Pembelajaran.
https://siducat.org/index.php/ghaitsa

Marsigit. (2014). REFLEKSI PENDIDIKAN KONTEMPORER INDONESIA:

Nataly Chesky. (2013). Beyond Epistemology and Axiology: Locating an Emerging


Philosophy of Mathematics Education. Analytic Teaching and Philosopical
Praxis.

Ovan. (2022). Landasan Filsafat Matematika Ontologi, Epistomologi, dan Aksiologi.


Yogyakarta: Cahaya Harapan.

Pama Bakri, dkk, Ontologi Filsafat. PRIMER: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Vol. 1,
No. 3, 2023.
https://www.researchgate.net/publication/372064888_ONTOLOGI_FILSAF
AT

38
Syarif Husain. (2023, November 16). TEORI KONSTRUKTIVISME DAN
PENDIDIKAN ISLAM.

Sukardjono. (2011). Filsafat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

Triadafillidis, T. A. (n.d.). Dominant Epistemologies in Mathematics Education.

Zamroni, Mohammad.(2022). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis,


Epistimologis, dan Aksiologis. Yogyakarta: IRCiSoD

Ermisa dan Ardimen Ya Zulfah, Ontologi Ilmu Pengetahuan, Journal of Education,


Vol. 6, No. 1, 2023
https://www.researchgate.net/publication/371631161_Ontologi_Ilmu_Penget
ahuan

Mahbub Setiawan, Epistemologi Barat (Studi tentang Teori Pengetahuan Barat


Modern), KONTEMPLASI: juenal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 1,
2013.
https://www.researchgate.net/publication/342457806_EPISTEMOLOGI_BA
RAT_STUDI_TENTANG_TEORI_PENGETAHUAN_BARAT_MODERN

Pajriani, T.R., dkk., Epistemologi Filsafat. PRIMER: Jurnal Ilmiah Multidisiplin,


Vol. 1, No. 3, 2023
https://www.researchgate.net/publication/372065005_EPISTEMOLOGI_FI
LSAFAT

Yunos, Nasaruddin, Epistemologi: Makna dan Perbincangan Mengenainya dari


Sudut Falsafah Peradaban Islam, LMCW2163 Tamadun Islam dan Tamadun
Asia, 2020,
https://www.researchgate.net/publication/340297169_Epistemologi_Makna_
dan_perbincangan_mengenainya_dari_sudut_falsafah_Peradaban_Islam

39
Abadi, Totok. W., Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika, KANAL: Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol. 4, No. 2. 2016.
https://www.researchgate.net/publication/326653111_Aksiologi_Antara_Etik
a_Moral_dan_Estetika

Haryono, Didi. 2015. Filsafat Matematika. Bandung: Matematika

40

Anda mungkin juga menyukai