PENGARUSUTAMAAN PEMUDA
DALAM PERTUMBUHAN GEREJA
A. REGENERASI
Regenerasi adalah penerus, pembaru, orang yang melanjutkan, penggantian generasi
tua pada generasi muda atau peremajaan generasi. Regenerasi dalam biologi adalah
menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau lepas. Nah, jika kita melihat dan
mencermati hari-hari akhir ini kata generasi dan regenerasi cenderung menjadi istilah yang
booming. Regenerasi adalah sebuah keharusan bukan sebuah pilihan dalam kepemimpinan.
Anak muda adalah generasi penerus yang seharusnya menjadi tonggak pergerakan terdepan
dalam gereja Tuhan. Anak muda harus diakomodasi untuk membuat pergerakan yang besar
dalam setiap gereja lokal. Generasi tua seharusnya menyadari peran penting dari generasi
muda. Sehingga tercipta keharmonisan dan sinergi yang kuat di antara dua generasi ini.
Tidak ada saling kecurigaan melainkan yang ada adalah saling bergandengan tangan untuk
membentuk kekuatan yang tidak mudah diruntuhkan.
“Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.”
(Pkh. 1:4).
Ayat di atas mempunyai pengertian bahwa Allah menjadikan generasi demi generasi
sebagai perputaran baru atau regenerasi bagi kehidupan ini dan bertujuan untuk
meneruskan rencana Allah dalam dunia ini. Di bawah ini adalah prinsip-prinsip regenerasi:
Sebuah kesalahan: tidak ada tongkat estafet kepemimpinan dari generasi pelopor
kepada generasi penerus.
Sebuah ancaman: generasi pendahulu tidak mau melepaskan tongkat estafet
kepemimpinan.
Suatu bencana: bila generasi pendahulu dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga
sebelum regenerasi dijalankan.
Sebuah tragedy: pemimpin muda tidak menghargai generasi pendahulu.
Paul Weston berkata bahwa regenerasi adalah menghormati masa lalu untuk
membentuk masa depan. Apakah yang sudah kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak-
anak kita terhadap regenerasi dan kader bagi gereja Tuhan, keluarga, bangsa dan negara?
B.1. Father
Dalam hidup ini, kita membutuhkan Bapa surgawi, bapak jasani, dan bapak rohani.
Gembala sidang atau pemimpin senior harus berfungsi sebagaimana Tuhan memanggilnya
tetapi juga harus berperan atau menjalankan fungsi sebagai bapak bagi yang dipimpinnya
(Fathering the generation). Istilah fathering mengacu pada pola kepemimpinan yang
membapaki atau melakukan pengayoman seorang bapak rohani pada anak-anak rohaninya.
Kebutuhan generasi akhir zaman ini adalah kebutuhan hadirnya seorang bapak. Kehausan
akan kasih bapak melanda banyak generasi. Banyak generasi mengalami fatherlessness,
tidak pernah merasakan fungsi seorang bapak. Lalu, apa sebenarnya syarat menjadi bapak
yang baik? Seorang bapak harus dewasa. Dewasa dalam iman, usia, pemikiran, dan
bertindak. Seorang bapak harus dekat dengan Bapa Sorgawi. Seorang bisa menjadi bapak
karena ia telah berjumpa dan mengalami kasih Bapa sorgawi. Semakin kita dekat dengan
Bapa sorgawi, semakin kita menjadi serupa dengan Dia.
Bapak yang baik merasa aman ketika melihat puta-putranya dipakai oleh Tuhan sama
seperti dia, berada di tengah-tengah anaknya, dan tidak takut terjadi kudeta atau
perpecahan dalam keluarganya. Father hunger melanda semua generasi baik di dalam
maupun di luar gereja. Ada beberapa tipe bapak (father types) yang sering kita jumpai di
dunia ini:
1. Bapak yang baik (the good father)
2. Bapak yang berorientasi pada kinerja (the performance oriented father)
3. Bapak yang pasif (the passive father)
4. Bapak yang tidak hadir (the absentee father)
5. Bapak yang otoriter (the authoritarian father)
6. Bapak yang kasar (the abusive father)
Sebagai anak-anak Tuhan, kita sangat bersyukur karena memiliki Tuhan yang sangat
dekat. Ini dibuktikan ketika Dia memanggil Bapa-Nya dengan sebutan Bapa (Yoh. 5:18),
bahkan Dia juga menyatakan diri-Nya dengan Bapa adalah satu (Yoh. 10:30). Hal yang sama
juga berlaku dengan kita. Pemanggilan Bapa menunjukkan adanya kedekatan secara relasi.
Yesus juga mengajarkan kita tentang satu pola doa yang diawali dengan sebutan Bapa, yang
dikenal dengan istilah ‘Doa Bapa Kami’ (Mat. 6:9). Tuhan Yesus sedang memperkenalkan
betapa dekatnya Dia dengan sang Bapa.
Pola kepemimpinan pembapaan sangat kontras dengan pola kepemimpinan biasa, di
mana pola kepemimpinan biasa hanya memiliki hubungan sebatas atasan dan bawahan,
majikan dan anak buah, pemimpin dan yang dipimpin dan orientasi hanya pada tugas.
Berbeda dengan pola kepemimpinan pembapakan, hubungan yang terjadi adalah antara
bapak dan anak secara rohani, dan orientasinya bukan pada tugas mereka semata,
melainkan lebih mengarah pada impartasi kehidupan.
Pola kepemimpinan selalu orientasinya pada tugas-tugas yang ada, sedangkan pola
kepemimpinan pembapakan berorientasi pada pribadi (generasi). Pola kepemimpinan biasa
bersifat otoriter, sedangkan pola kepemimpinan pembapakan bersifat kasih. Pola
kepemimpinan biasa mengarah ke organisasi atau struktural, sedangkan pola
kepemimpinan pembapakan mengarah pada kekeluargaan. Nah, sebagai pemimpin, Anda
sekarang ada di posisi mana?
Tuhan Yesus selama di bumi tidak hanya mengajar dan melatih murid-Nya. Dia juga
membapaki mereka. Dia sangat sabar terhadap proses pendewasaan dari murid-murid-Nya.
Dia sabar terhadap Petrus yang menyangkal Dia, sabar terhadap Tomas yang meragukan
Dia, sabar terhadap Yohanes yang pernah menyombongkan dirinya, bahkan sabar terhadap
Yudas Iskariot yang biasa mencuri uang kas.
Rupanya rahasia untuk menjadi bapak yang baik harus diawali dengan menjadi anak
yang baik. Menjadi anak yang baik kelak menghasilkan pemimpin yang memiliki hati bapak
yang baik. Pada akhir zaman ini, Tuhan sedang memulihkan hubungan antara anak dan
bapak, pemimpin dan orang-orang yang dipimpin, senior dan junior.
“Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-
anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.”
(Mal. 4:6).
Pada nats Perjanjian Baru, para murid menyinggung tentang hati bapa yaitu dalam
Yohanes 14:8, Kata Filipus kepada-Nya: “Tuhan tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu
sudah cukup bagi kami.” Kata ‘cukup’ di sini menggunakan kata arkeo yang berarti be
content (menjadi berisi), be sufficient (menjadi cukup), be enough (menjadi cukup). Arkeo
juga memiliki pengertian yang lain yaitu: to be possessed of unfailing strength.
Dari dua nats di atas, terlihat jelas bahwa hati bapa bukanlah sekedar ‘trend’ atau
kebutuhan sesaat atau kebutuhan saat ini. Ini adalah suatu pesan dan kehendak Tuhan yang
nyata bagi umat-Nya. Ayat tentang hati bapa ini menjadi penutup Perjanjian Lama sebelum
kita memasuki zaman Tuhan Yesus Kristus. Artinya, Nabi Maleakhi menjadi alat bagi suara
Tuhan tentang pentingnya hati bapa pada zaman sekarang ini. Seorang bapak yang baik
mampu mengerti dan memahami kebutuhan dasar anak-anaknya. Sebenarnya apa saja yang
menjadi kebutuhan dasar anak-anak yang harus dipenuhi seorang bapak?
1. Kebutuhan akan kasih tanpa syarat yang dinyatakan secara terbuka (the need for
unconditional expressed love)
2. Kebutuhan akan rasa aman dan penghiburan (the need to feel secure and comforted)
3. Kebutuhan akan pujian dan kata-kata yang membangun (the need for praise and
affirmation)
4. Kebutuhan pengarahan akan tujuan hidup (the need for a purpose in life)
Kebutuhan-kebutuhan di atas adalah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang
bapak dan tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun. Kebutuhan ini adalah kebutuhan mendasar.
Jika kita ingin menjadi bapa yng baik, perhatikanlah dengan seksama kebutuhan anak-anak
Anda.
Tidak sedikit pemimpin yang membuat goresan luka bagi generasi di bawahnya. Ini
terjadi karena para pemimpin hanya membangun hubungan antara atasan dan bawahan.
Banyak generasi di bawah menjadi pahit karena para senior yang seharusnya menjadi bapak
justru menjadi bos dalam gereja. Pemimpin yang seperti ini sedang membangkitkan rasa
tawar hati bagi generasi di bawahnya. Jika Anda demikian, bertobatlah, saatnya Anda
mengobati luka-luka yang pernah Anda buat untuk generasi di bawah Anda sekarang juga.
Jangan tunda-tunda lagi sebelum luka bertambah parah!
Seorang pria membawa pulang mobil baru kebanggaannya. Lalu ia meninggalkan
mobil tersebut sejenak untuk melakukan kegiatan lain. Anak lelakinya yang baru berumur 5
tahun sangat gembira melihat ada mobil baru, kemudian ia mencoret-coret mobil itu
dengan batu yang tajam. . . . akibatnya mobil baru tersebut catnya tergores.
Pria tersebut berlari menghampiri anaknya dan menghantam tangan anaknya dengan
palu sebagai hukuman. Setelah sang ayah tenang kembali, ia segera membawa anaknya ke
rumah sakit. Walau dokter telah mencoba segala usaha untuk menyelamatkan jari-jari
anaknya yang hancur, semua usaha gagal.
Akhirnya, dokter memutuskan untuk melakukan amputasi semua jari pada kedua
tangan anak kecil tersebut. Ketika anak kecil itu sadar dari operasi amputasi dan jarinya
telah tiada dan dibungkus perban, dengan polos ia berkata, “Papa, aku minta maaf tentang
mobilmu.”
Saat ayahnya kembali ke rumah dan melihat goresan yang ditulis anaknya, ia terkejut
karena tertulis “I love you Daddy”.
Karena ayahnya terharu dan tak bisa menahan sedih, ia hanya bisa menangis sejadi-
jadinya. Mobil dapat diperbaiki, tetapi tulang yang hancur dan hati yang disakiti sering tidak
dapat diperbaiki.
Kisah di atas merupakan contoh seorang bapa yang membuat luka atau goresan
terhadap generasi di bawahnya (anaknya). Luka yang tidak mungkin bisa disembuhkan
kembali. Seorang anak pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi seorang bapa tidak
seharusnya menghukum sampai seorang anak (baik anak jasmani maupun anak rohani)
mengalami ‘cacat permanen’ dalam kehidupannya. Bapa yang baik tidak pernah membuat
anaknya ‘cacat permanen’ dalam berbagai kehidupan. Bapa yang baik adalah bapa yang
marah dengan tidak meninggalkan luka yang menganga. Seorang bapa boleh marah, tetapi
tidak sampai berbuat dosa (Ef. 4:26). Seorang bapak harus mampu menegur dengan kasih.
Bapa yang tetap ‘merotan’ anaknya, jika memang anaknya kedapatan keliru. Firman Tuhan
juga mengatakan bahwa hajaran atau tongkat didikan akan menghilangkan kebodohan anak
muda. Bapa yang mengasihi anaknya akan mendisiplinkan jika anaknya terbukti bersalah.
“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi
anaknya, menghajar pada waktunya.” (Ams. 13:24).
“Kebodohan melekat pada hati orang muda (youth/YLT), tetapi tongkat didikan akan
mengusir itu daripadanya.” (Ams. 22:15).
Bapak yang baik sebelum bertindak ia akan berpikir panjang terhadap apa yang
dilakukannya. Itulah karakteristik seorang bapak, bisa marah, bisa memeluk, bisa membalut,
bisa memberi dorongan, kekuatan, pengharapan dan tentu bisa memberikan kenyamanan
dalam kehidupan anak-anaknya. Bapa yang baik harus menerapkan kasih dan disiplin secara
seimbang. Kasih tanpa disiplin akan melahirkan generasi yang manja dan cengeng.
Sebaliknya, disiplin tanpa kasih akan melahirkan generasi pemberontak.Karena itu,
keseimbangan antara kasih dan disiplin dalam mendidik seorang putra harus diterapkan
oleh para bapak supaya lahir generasi-generasi yang tangguh, militant bahkan munculnya
generasi ilahi.
Bob Pierce adalah founder World Vision dan Samaritan’s Purse. Ini adalah organisasi
misi Kristen yang mendunia. World Vision adalah lembaga bantuan dan pembangunan
Kristen terbesar yang melayani lebih dari 50 juta orang per tahun di lebih dari 100 negara di
seluruh dunia. Rekan-rekannya berkata: ‘Ia seorang yang tak kenal lelah dalam
memenangkan jiwa-jiwa,’ ‘Saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih berbelas
kasihan dari dia,’ ‘Ia benar-benar seorang Samaria Kristen yang secara harfiah menyerahkan
nyawanya untuk orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia.’
Di balik image yang ‘sempurna’ tersebut, bagaimana seorang Bob Pierce di mata
keluarganya? Kenyataannya, ia mengabaikan keluarganya sendiri, sebagai contoh ketika
seorang putrinya akan mencoba bunuh diri, ia menelepon ayahnya yang berada di Timur
Jauh dan memintanya untuk segera pulang. ‘Saya hanya ingin merasakan tangan ayah
memeluk saya’ kata anaknya. Bahkan isterinya juga memohon agar ia pulang. Bob Pierce
tidak menuruti permintaan keluarganya dan malah memesan tiket ke Vietnam. ‘Saya sudah
menduga ia tidak akan pulang’ kata anaknya. Beberapa tahun kemudian, ia benar-benar
berhasil bunuh diri. Hubungan Bob Pierce dan isteri serta anaknya yang lain sangat tegang.
Mereka tidak saling berbicara selama bertahun-tahun dan pada usia 64 tahun, masa terakhir
hidupnya, ia menjadi terasing dari keluarganya. Semua kisah ini ditulis oleh putrinya Marilee
Pierce Dunker dalam buku yang berjudul Man of Vision, Woman of Prayer.
Gagal menjadi bapa berarti Anda sebagai pemimpin senior akan mengalami
‘perkabungan’ pada akhir hidup Anda. Bob Pierce gagal mendengarkan dan memenuhi
kebutuhan yang diinginkan oleh anaknya secara jasmani. Ia hanya sukses memenuhi apa
yang ia mau, yaitu melayani orang lain. Ia gagal melayani keluarganya. Ia gagal melayani
anak-anaknya. Seorang bapak seharusnya membuka telinga lebar-lebar untuk setiap jeritan
anak-anaknya. Jika sukses menjadi pemimpin yang membapaki, akan ada kebahagiaan yang
tak bisa digantikan oleh apa pun pada akhir kehidupan Anda. Pilihan ada di tangan kita,
jangan pernah salah memilih. Sebenarnya apa saja yang harus disediakan seorang bapak
yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya?
1. Seorang bapak harus menyediakan keintiman (kehadiran – presence) dengan anak-
anak, karena posisi dan fungsi sang bapak tidak bisa digantikan atau diwakilkan oleh
apa pun dan siapa pun.
2. Seorang bapak harus menyiapkan waktu, bukan sisakan waktu bagi ana-anaknya,
karena waktu yang disiapkan menjadikan anak begitu dihargai oleh bapaknya.
Mengapa harus menyiapkan waktu? Karena jika tidak diagendakan, hal yang sering
terjadi adalah anak-anak hanya mendapatkan waktu sisa dari bapaknya. Anak-anak
yang dikasihi tidak hanya membutuhkan cinta (love) dari bapaknya, tetapi juga
waktu (time). Seorang bapa harus memberikan waktu yang berkualitas bagi anak-
anaknya karena banyak masalah muncul karena bapak-bapak absen di tengah-
tengah generasi ini.
3. Seorang bapak harus menyediakan disiplin bagi anak-anaknya, disiplin dalam otoritas
yang tegas, disiplin dalam mengajarkan atau menanamkan firman Tuhan, dan disiplin
dalam mementor anak-anaknya. Disiplin adalah bentuk kasih sayang yang kadang
belum bisa dipahami oleh anak-anak.
4. Seorang bapak harus menyediakan kasih tak bersyarat bagi anak-anaknya. Kasih
inilah yang membuat anak-anak bangga dengan bapaknya, kasih inilah yang
membuat anak memiliki paradigm yang benar tentang seorang bapak.
5. Seorang bapak harus menyediakan nilai-nilai bagi anak-anaknya. Tidak ada nilai yang
baik tanpa hubungan yang baik juga. Jika seorang bapak rindu investasi nilai yang
baik bagi anak-anaknya, seorang bapak perlu hadir dalam segala kondisi bagi anak-
anaknya.
6. Seorang bapak harus memberikan pujian (praise) bagi anak-anaknya, karena pujian
inilah yang akan memberikan lecutan semangat bagi anak-anaknya untuk
mengerjakan tugas-tugasnya. Pujian inilah yang menyadarkan keberatan mereka di
hadapan bapak.
7. Seorang bapak harus memberikan hadiah (present) bagi anak-anaknya. Hadiah ini
diberikan bukan karena kasih bersyarat, melainkan karena memang inilah satu
kewajiban yang harus bapak kerjakan untuk anak-anaknya.
8. Seorang bapak juga harus berani menunjukkan kebanggan (pride) atas anak-anaknya
baik secara pribadi maupun di hadapan umum. This is my beloved son, ini
merupakan kalimat yang membangkitkan dan menyadarkan identitas sang anak di
hadapan sang bapak dan orang lain.
Imam Eli telah gagal menjadi bapa yang baik bagi anak-anaknya secara jasmani (1 Sam.
2:11-25) dan pada anaknya secara rohani (1 Sam. 3:1-18). Hal ini berakibat sangat buruk
bagi dirinya, kepemimpinannya, bahkan bagi anak-anaknya (generasi di bawahnya). Eli tidak
peka dengan apa yang telah dan sedang dilakukan anak-anaknya berkaitan dengan korban
persembahan (1 Sam. 2:11-17). Eli memiliki toleransi yang tidak ilahi dalam hidupnya.
Sebagai bapak, Eli hanya memiliki kelembutan dan kasih yang tinggi tanpa diikuti dengan
disiplin dan ketegasan terhadap anak-anaknya. Akhirnya, Eli mengalami kematian yang tak
wajar sebagai imam (1 Sam. 4:18). Ia juga kehilangan generasi d bawahnya (anak-anaknya)
dengan cara yang sangat tragis (1 Sam. 4:11), bahkan tidak beberapa lama setelah
kematiannya, menantunya pun meninggal (1 Sam. 4:20). Semua penerus Eli meninggal,
karena Eli tidak pernah menjadi bapak yang baik bagi anak-anaknya.
“Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan
TUHAN” (1 Sam. 2:12).
Daud juga telah gagal menjadi bapak yang baik dalam kasus Amnon dan Tamar. Hal itu
mengakibatkan terjadinya kekacauan hubungan antara Daud dan anak-anaknya, dan antara
anak-anak yang lainnya – kekacauan dalam keluarga besar Daud dan dalam kerajaan Israel.
Waktu dilaporkan tentang kejahatan dan kebejatan Amnon, sang raja sangat marah, tetapi
Alkitab mencatat Daud sebagai bapak dan raja tidak berbuat apa-apa terhadap dosa atau
kesalahan anaknya tersebut (2 Sam. 13:21). Daud sebagai bapak hanya memiliki kelembutan
bukan ketegasan. Daud gagal mendengarkan apa yang disampaikan Absalom dalam kasus
Amnon dan Tamar. Seorang bapak seharusnya membuka telinganya untuk menerima
keluhan anak-anaknya. Daud tidak membuka telinganya dalam kasus ini. Padahal salah satu
kebutuhan utama seorang anak adalah sang bapak bisa mendengarkan apa yang sedang
disampaikan oleh anak. Kehadiran seorang bapak menjadi kebutuhan utama seorang anak,
bukan yang lain! Sebagai bapak, Daud telah menyepelekan masalah yang sedemikian besar
bagi keluarga kerajaan. Sebagai bapak dan raja, Daud tidak memiliki respons yang diinginkan
oleh Absalom dalam mencari keadilan. Akhirnya Absalom membenci Amnon yang telah
memerkosa adiknya (2 Sam. 13:22). Absalom selanjutnya membunuh Amnon dan
merencanakan pembunuhan terhadap Daud (mengkudeta ayahnya sendiri!) – 2 Samuel
13:20-22, 13:28, 15:12; Mazmur 3. Ini adalah peristiwa tragis dalam sebuah keluarga
kerajaan. Absalom mencari dan menegakkan keadilan secara pribadi karena ia tidak
menemukan itu dalam diri bapaknya.
“Demikianlah persepakatan gelap itu menjadi kuat, dan makin banyaklah rakyat yang
memihak Absalom.” (2 Sam. 15:12).
Kita dipanggil tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi pemimpin yang memiliki hati
bapa bagi semua generasi, teristimewa generasi di bawahnya. Menjadi bapak yang mau
membuka telinga untuk generasi di bawah kita. Kita harus menjadi bapa secara jasmani dan
juga bapa secara rohani. Ketika gagal menjadi pemimpin yang berhati bapa, nasib kita tidak
akan jauh berbeda dari Eli dan Daud. Eli kehilangan semua generasinya, sedangkan Daud
mendapatkan perlawanan dari generasi di bawahnya. Seharusnya sebagai pemimpin kita
meneladani seorang bapak dalam perumpamaan anak yang terhilang (Luk. 15:11-32).
Sebagai bapak, ia bekerja keras, supaya bisa meninggalkan warisan yang terbaik bagi
generasi di bawahnya. Bapa yang baik selalu meninggalkan legacy bagi generasi di
bawahnya. Akan tetapi, sebagai pemimpin kita juga harus selalu membuka hati untuk
‘menolongnya’ ketika generasi di bawahnya bersalah atau jatuh dalam dosa. Karena kita
tidak diberi hak untuk menghakimi.
Para pemimpin senior memiliki tanggung jawab untuk menerima kembali dan
memulihkan generasi di bawahnya yang telah jatuh, itulah salah satu tanggung jawabnya.
Seorang bapak harus membalut, memeluk, dan memberikan kepercayaan kembali. Dalam
perumpamaan itu, sang bapak memberikan jubah, cincin, dan kasut yang baru bagi anak
bungsunya. Ini berarti sang bapak mengembalikan kepercayaan dirinya, memberikan
otoritas, dan memberikan tanggung jawab yang baru kepada anaknya yang terhilang dan
kembali lagi itu. Itu adalah pemimpin yang berhati bapa. Satu lagi yang tidak kalah
pentingnya, sang bapak mengadakan sebuah pesta penyambutan yang luar biasa bagi si
bungsu. Artinya, ketika generasi di bawah kita kembali pada destiny dan jalannya Tuhan,
para senior harus berbahagia, para senior harus menyambutnya dengan sukacita, jangan
berlaku seperti si sulung yang melakukan hal sebaliknya. Si sulung menjadi marah (Luk.
15:28). Sebuah respons yang seharusnya tidak perlu ditunjukkan jika si sulung mengerti
posisinya.
Apa sebenarnya kriteria menjadi pemimpin yang memiliki hati bapa? Sebenarnya
banyak kriteria yang ada, tetapi mari kita fokuskan pada apa yang Alkitab tulis dalam Injil
Lukas 15. Pada nats tersebut kita melihat beberapa kriteria seorang bapak:
Mengampuni
Memberikan kesempatan kedua
Menerima anaknya (jasmani maupun rohani) dalam keadaan apa pun atau tanpa
syarat
Merestorasi (memulihkan keadaan)
Memberikan identitas (jubah dan sandal)
Memberikan otoritas (cincin)
Di bawah ini bagan perbandingan pemimpin yang memiliki hati bapa dan pemimpin
yang tidak memiliki hati bapa. Pemimpin yang sekedar menjadi atasan dan pemimpin yang
mengerti esensi sebuah kepemimpinan yang diteladani dari kebenaran firman Tuhan.
Generasi yang tidak memiliki figure bapak dalam rumah dan dalam gereja, suatu saat
mereka akan mencari figure bapa di luar. Dan hal ini sangat membahayakan jika mereka
berjumpa dengan ‘bapa-bapa’ yang tidak mengerti dan tidak hidup dalam kebenaran.
Karena itu, sebagai bapa secara jasmani maupun rohani jadilah bapa bagi anak-anak Anda.
Ismael adalah contoh generasi yang tidak memiliki figure bapa. Apa yang akhirnya terjadi
atas Ismael? Ismael menjadi generasi yang liar, kasar, keras, dan kehidupannya tak ada
kedamaian. Ismael menjadi seorang piatu. Ia kehilangan apa yang seharusnya ia miliki.
Ketika usianya menginjak remaja, justru sebaliknya kasih bapa yang seharusnya ia nikmati
justru tak ia peroleh.
“Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu;
tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan
di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” (Kej. 16:12).
Seorang bapak harus meningkatkan hubungan yang berkualitas dengan anak-anaknya.
Dalam hubungan bapak dan anak sangat dibutuhkan komitmen, keterbukaan, dan tentunya
kerelaan hati untuk mau diajar dan membagi hidup. Ketika semua ini terjalin dengan baik,
hubungan akan semakin kuat dan kokoh. Tidak ada lagi roh piatu dalam gereja Tuhan.
B.2. Figur
Pemimpin harus menjadi figure atau model bagi juniornya atau orang-orang yang
dipimpinnya. Pemimpin adalah etalase atau suratan terbuka bagi generasi di atasnya,
generasinya sendiri, maupun generasi di bawahnya. Ketika pemimpin gagal menjadi teladan,
ia sedang membuka cela bagi kepemimpinannya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Warisan terbaik seorang pemimpin adalah bagaimana pemimpin bisa menjadi model atau
teladan bagi yang dipimpinnya. Warisan ini tidak bisa ditukar dengan apa pun. Ini adalah
warisan yang tak lekang waktu bagi para suksesor.
Ada pepatah mengatakan, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ like father like son –
yang berarti anak-anak adalah cerminan orangtuanya (bapaknya). Jika hendak tahu siapa
bapaknya, lihat saja anak-anaknya. Sama dengan kepemimpinan, jika hendak tahu siapa
pemimpinnya, lihat saja orang-orang yang dipimpinnya (generasi di bawahnya). Karakter
seorang anak tidak akan jauh berbeda dengan bapaknya.
Seorang pemimpin atau bapa harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya karena
apa yang dilakukan oleh bapa, itu pula yang akan dilakukan oleh anak-anaknya. Anak-anak
punya sifat untuk meniru (copy) apa yang pemimpin atau bapak lakukan. Mengapa harus
teladan? Karena teladan atau tindakan kita lebih banyak berbicara daripada hal-hal yang kita
ucapkan (action speaks louder than words).
Pemimpin senior atau bapa harus menjadi teladan dalam hal rendah hati seperti
Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya (Yoh. 13:14-15). Hal yang sama juga dilakukan rasul
Paulus pada jemaat di Korintus (1 Kor. 4:6). Pemimpin yang rendah hati adalah pemimpin
yang akan mendapatkan promosi.
“Aku memberikan teladan ini kepada kalian, supaya kalian juga melakukan apa yang
sudah kulakukan kepadamu.” (Yoh. 13:15 / BIS).
Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos,
karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan: “Jangan
melampaui yang ada tertulis,” supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri
dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain (1 Kor. 4:6).
Ketika pemimpin gagal menjadi contoh atau teladan, sebenarnya mereka sedang
mengurangi kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin harus menjadi bapa
yang senantiasa bisa diteladani. Teladan apa saja yang harus dilakukan oleh para pemimpin?
Teladan dalam berbuat baik (Tit. 2:7), teladan dalam kesabaran dan penderitaan (Yak. 5:10),
teladan dalam kekudusan dan rendah hati (1 Ptr. 2:21), dan teladan dalam seluruh
kehidupan (1 Tim. 4:12). Sebuah teladan berbicara lebih keras daripada perkataan yang kita
ucapkan. Teladan lebih powerful daripada khotbah-khotbah kita. Menjadi teladan berarti
menjadi berkat bagi semua generasi. Teladan adalah pintu masuk pengaruh yang tidak bisa
dibendung oleh apa pun juga. Tanpa teladan, khotbah sebagus apa pun tak memiliki
kekuatan yang besar. Teladan adalah perkataan dan perbuatan yang berjalan seirama.
Teladan adalah kekuatan yang mampu membuat orang lain tertarik dengan kita. Teladan
adalah berani hidup benar ketika orang lain berbuat salah. Teladan adalah berani hidup di
atas rata-rata seperti Nuh (Kej. 6:9). ‘Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan
tidak bercela di antara orang-orang sezamannya (perfect he hath been among his generation
/ YLT). Teladan adalah tetap bercahaya ketika cahaya orang lain mulai redup. Teladan adalah
warisan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dengan teladan, orang-orang dapat
dimenangkan.
B.3. Friend
Friend berasal dari akar kata freedom yang memiliki arti bebas, tidak ada tuntutan,
bersifat memberi, leluasa, dan percaya. Sahabat adalah harta paling berharga dalam
kehidupan ini. Salah satu ciri seorang sahabat atau teman adalah adanya keterbukaan (tidak
ada rahasia), dan hal ini sudah dibuktikan dari persahabatan antara Yonathan dan Daud.
Dua orang muda ini hubungan persahabatannya begitu luar biasa (1 Sam. 18:1). Yonatan
juga mengikatkan perjanjian dengan Daud. Ada 3 macam janji dalam bahasa Inggris:
Promise, commitment, dan covenant. Promise dan commitment bisa batal dan dibatalkan
dengan sebuah alasan tetapi tidak dengan covenant. Covenant adalah sumpah! Dengan
alasan apa pun, hal ini tidak bisa dibatalkan. Perjanjian ini adalah perjanjian yang tertinggi.
“Then Jonathan and David made a covenant, because he loved him as his own soul.” (1
Sam. 18:3 / KJV).
“Jika aku masih hidup, bukankah engkau akan menunjukkan kepadaku kasih setia
TUHAN? Tetapi jika aku sudah mati, janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap
keturunanku sampai selamanya. Dan apabila TUHAN melenyapkan setiap orang dari musuh
Daud, melainkan kiranya TUHAN menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud dari muka
bumi, janganlah nama Yonatan terhapus dari keturunan Daud, melainkan kiranya TUHAN
menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud.” (1 Sam. 20:14-16).
Daud tetap memperhatikan dan menepati perjanjian (covenant) persahabatan mereka
untuk ‘mengangkat’ Mefiboset (putra Yonatan yang timpang kakinya) untuk makan
sehidangan dengan Daud, mendapatkan kekayaan, bisa tinggal di Yerusalem, serta
mendapatkan kasih Allah melalui diri Daud, karena adanya covenant dari persahabatan
mereka (2 Sam. 9:1-13).
“Berkatalah Daud: “Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku
akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan.” (2 Sam. 9:1).
“Demikianlah Mefiboset diam di Yerusalem, sebab ia tetap makan sehidangan dengan
raja. Adapun kedua kakinya timpang.” (2 Sam. 9:13).
Tuhan Yesus ketika di muka bumi ini bukan hanya berperan sebagai guru bagi murid-
murid-Nya, tetapi Dia juga berperan sebagai sahabat bagi mereka.
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat
oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan
kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh. 15:15).
Kita harus belajar menjadi sahabat dengan mempelajari persahabatan yang Yesus
lakukan. Yesus menjalankan hidup dengan loyal, dapat dipercaya, jujur dan setia. Seorang
sahabat bukan hanya ada keterbukaan, melainkan ada saling di dalamnya: saling mengerti,
saling mengasihi, saling memberi, saling memahami, saling mendukung, dan saling
menopang. Dalam keadaan dukalah, persahabatan teruji kualitasnya
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam
kesesakan.” (Ams. 17:17).
Bahkan Alkitab menunjukkan kita bahwa seorang sahabat bisa lebih karib dari seorang
saudara (Ams. 18:24). “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat
yang lebih karib dari pada seorang saudara.” Allah juga pernah membuat pernyataan yang
luar biasa tentang Abraham. Abraham bukan saja bapa orang percaya atau orang beriman
(Rm. 4:11-12), tetapi di hadapan Tuhan Abraham juga disebut sebagai sahabat-Nya (Yak.
2:23), “Karena itu Abraham disebut: Sahabat Allah.” Dalam persahabatan, hal terpenting
adalah keterbukaan dan kepercayaan. Jika kedua hal ini ada, persahabatan itu akan menjadi
kuat bahkan tak menutup kemungkinan menjadi abadi.
Berikut ini adalah ukuran-ukuran persahabatan yang terambil dalam Injil Yohanes 15:13-14:
1. Adanya pengorbanan
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (ay. 13).
2. Adanya kesetiaan dan keteladanan
“Kamu adalah sababat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan
kepadamu.” (ay. 14).
3. Adanya keterbukaan
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat
oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah
memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.”
(ay. 15).
Mark Vickor Hansen adalah pencipta seri buku Chicken Soup. Waktu penghasilannya
mencapai 1 juta dollar, ia bertemu dengan Anthony Robbins dan bertanya, “Penghasilan
Anda demikian besar, bagaimana saya bisa mencapainya juga?” Anthony bertanya,
“Siapakah kelompok pemikir utama Anda?” Ia menjawab “Kelompok Jutawan.” Anthony
Robbins berkata, “Di situ Anda keliru, Anda harus bergaul dengan kelompok miliarder, pasti
mereka akan membuat Anda berpikir pada tingkatan mereka.” Kini Hansen hampir
mencapai angka penghasilan 1 miliar dolar.
Menurut penelitian, suatu hal negatif punya pengaruh lebih kuat 9 kali lipat
dibandingkan sesuatu hal yang positif. Dunia ini juga lebih banyak orang yang negatif
daripada orang yang positif. Seorang sahabat, teman, atau komunitas tertentu bisa
memengaruhi kita baik atau buruk. Hal ini diteguhkan juga oleh penelitian yang dilakukan
oleh Dr. David dari Universitas Harvard, yang menyimpulkan setelah 25 tahun hidup teman-
teman Anda memiliki pengaruh terhadap hidup atau kesuksesan Anda.
Apa yang harus dipetik oleh kisah para pemimpin di atas? Ya, seharusnya para
pemimpin senior bisa membangun hubungan dengan juniornya dengan pola persahabatan.
Kita bisa menjadi teman curhat yang baik, tanpa mengurangi kewibawaannya. Jika
pemimpin senior bisa menjadi sahabat, akan ada kenyamanan yang diperoleh para
juniornya. Junior tidak canggung, tidak takut, tidak minder ketika berjumpa dengan para
senior. Pemimpin yang bisa menjadi sahabat adalah pemimpin yang akan mempermudah
dan memperingan semua tanggung jawab yang diembannnya.
Disadari atau tidak, spirit of friendship sudah mulai pudar bahkan berangsur-angsur
hilang dari para pemimpin. Sadar atau tidak sadar , sebagai pemimpin kita sering berperan
hanya sebagai orang yang selalu di atas tanpa menganggap yang dipimpinnya (generasi di
bawahnya) adalah rekan atau sahabat kerja yang penting dalam hidupnya. Mulai sekarang
jadilah sahabat bagi generasi di bawah Anda. Buatlah generasi di bawah Anda nyaman
dengan Anda. Dengan sendirinya, ketika mereka ada sesuatu yang hendak disampaikan,
generasi di bawah Anda akan dengan aman dan sukacita datang pada pemimpin yang bisa
menjadi sahabatnya.
B.4. Fasilitator memiliki arti seorang yang menyediakan sesuatu, penyedia atau
penghubung.
Sebagai seseorang yang hidup lebih dahulu seharusnya menjadi fasilitator yang baik.
Sebagai pemimpin senior seharusnya menjadi penghubung dan penyedia, bukan
menghalangi generasi di bawahnya. Jika kita melihat Alkitab, sebenarnya ada pemimpin-
pemimpin yang luar biasa yang telah berperan sebagai fasilitator dalam kepemimpinan
mereka. Pelayanan kita seharusnya menjadi jembatan antara generasi pendahulu dan
generasi sekarang. Berfungsi sebagai diplomat rohani antar generasi.
Yohanes Pembaptis menjadi fasilitator bagi Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis
membuka jalan bagi pelayanan Tuhan Yesus. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi
Yesaya (40:3). Mereka segera mengerti apa maksud Yohanes, ketika dikatakannya, bahwa
Yesaya dulu berkata, ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: “Persiapkanlah
jalan untuk Tuhan!” Teranglah bahwa Yohanes Pembaptis itu seorang yang mempersiapkan
jalan bagi Tuhan. Jadi, Tuhan akan datang dan Yohanes Pembaptis disuruh ntuk
mempersiapkan jalan tersebut.
“Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: “Lihatlah, aku menyuruh utusan-Ku
mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan bagi-Mu.” (Mrk. 1:2).
Daud menjadi fasilitator bagi Salomo. Daud menyediakan barang-barang untuk
pembangunan Bait Suci (1 Taw. 22:2-19). Daud menjadi pemimpin senior yang tidak berpikir
tentang dirinya saja. Ia memikirkan tentang generasi di bawahnya. Mempersiapkan yang
dibutuhkan oleh generasi di bawah adalah panggilan dan kewajiban seorang pemimpin.
Bapa yang baik selalu meninggalkan warisan yang terbaik bagi anak cucunya. Kebanggaan
seorang anak adalah mendapatkan warisan bapaknya. Ketika seorang bapak meninggalkan
warisan, anak-anak akan senantiasa bergairah dan selalu mengingat kehebatan bapaknya.
“Karena pikir Daud: “Salomo anakku masih muda dan kurang berpengalaman, dan
rumah yang harus didirikannya bagi TUHAN haruslah luar biasa besarnya sehingga menjadi
kenamaan dan termashyur di segala negeri; sebab itu baiklah aku mengadakan persediaan
baginya!” Lalu Daud membuat sangat banyak persediaan sebelum ia mati. (1 Taw. 22:5).
Rasul Paulus juga dalam satu kesempatan pernah menjadi fasilitator bagi Onesimus
berkenaan dengan kasusnya terhadap Filemon. Sebagai penghubung, Rasul Paulus
menjamin keberadaan Onesimus dan supaya Filemon bisa menerima ia kembali di
rumahnya.
“Aku Paulus, menjamin dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya –
agar jangan kukatakan: “Tangungkanlah semuanya itu kepadamu!” Karena engkau
berhutang padaku, yaitu dirimu sendiri.” (Flm. 1:19).
Andreas juga pernah menjadi fasilitator ketika menghubungkan seorang anak kecil
pada Tuhan Yesus dalam peristiwa mukjizat 5.000 orang makan sampai kenyang (Yoh. 6:1-
15). Andreas menjadi penghubung sekalipun dalam perjalanannya ada keraguan dalam
dirinya. Apakah orang sebanyak itu bisa diberi makan hanya dari makanan seorang anak
kecil (5 roti dan 2 ikan)?
“Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-
Nya: “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, tetapi apakah
artinya itu untuk orang sebanyak ini?” (Yoh. 6:8-9).
Sebenarnya masih banyak contoh dalam Alkitab berkaitan dengan para fasilitator,
seseorang yang berperan sebagai penghubung atau penyedia. Bahkan saya menyebutnya
dengan istilah ‘peran orang kedua’. Fasilitator yang keberadaannya tidak terlalu dikenal,
mereka bukan pemimpin, namun melalui keberadaan merekalah terjadi hal-hal yang luar
biasa. Mereka bukanlah tokoh utama, tetapi bisa melakukan hal-hal yang bahkan tokoh
utama pun belum pernah melakukannya. Bahkan melalui peran mereka, tokoh-tokoh utama
mendapatkan sesuatu yang sangat besar. Melalui mereka tokoh-tokoh utama dibantu
keberadaannya.
Rahab, perempuan sundal yang menyembunyikan 2 pengintai yang diutus oleh
Yosua untuk mengintai kota Yerikho (Yos. 2:1-24; 6:25).
Anak perempuan dari negeri Israel dan para pegawai, yang menyarankan Naaman
panglima Aram untuk menaati hal yang nabi Elisa perintahkan (2 Raj. 5:1-27).
Mereka tidak disebutkan namanya dalam Alkitab, tetapi mereka memiliki peran
dalam kesembuhan Naaman. Dua pihak ini juga tidak disebut identitasnya.
Janda di Sarfat, wanita yang memberi makan pada nabi Elia dari makanan terakhir
yang dimilikinya (hanya memiliki segenggam roti dan sedikit minyak dalam buli-buli).
Wanita ini juga tidak disebutkan namanya, hanya disebut tempat ia tinggal, Sarfat (1
Raj. 17:7-16).
Seorang anak kecil, dalam mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus ketika memberi
makan 5.000 orang. Ia menjadi fasilitator sekalipun yang ia miliki tak pernah bisa
menjawab kebutuhan. Ia hanya memiliki 5 roti jelai dan 2 ikan (Yoh. 6:1-4). Nama
anak ini juga tidak pernah disebutkan, tetapi ia punya peran yang besar dalam
mukjizat yang Tuhan Yesus lakukan.
Pemimpin yang bijaksana mampu dan mau menjadi penghubung, menjadi diplomat,
menyediakan persediaan bagi generasi di bawahnya (orang-orang yang dipimpinnya) bukan
hanya soal materi belaka, tetapi banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan seorang
pemimpin. Memberikan waktunya, dirinya, telinganya, nasihatnya bahkan materinya untuk
generasi di bawahnya. Itulah pelayanan yang sesungguhnya. Bukan berbicara soal-soal
rohani saja, kadang-kadang sering materi juga harus dikeluarkan untuk orang-orang yang
kita pimpin. Jangan hanya membuka hati bagi generasi, tetapi sebagai pemimpin kita juga
harus membuka dompet kita. Investasi sesuatu untuk generasi di bawah adalah hal yang
pantas dan seharusnya menjadi tanggung jawab pemimpin senior. Jangan pelit untuk
berinvestasi bagi generasi.