Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ENAM

PENGARUSUTAMAAN PEMUDA
DALAM PERTUMBUHAN GEREJA
A. REGENERASI
Regenerasi adalah penerus, pembaru, orang yang melanjutkan, penggantian generasi
tua pada generasi muda atau peremajaan generasi. Regenerasi dalam biologi adalah
menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau lepas. Nah, jika kita melihat dan
mencermati hari-hari akhir ini kata generasi dan regenerasi cenderung menjadi istilah yang
booming. Regenerasi adalah sebuah keharusan bukan sebuah pilihan dalam kepemimpinan.
Anak muda adalah generasi penerus yang seharusnya menjadi tonggak pergerakan terdepan
dalam gereja Tuhan. Anak muda harus diakomodasi untuk membuat pergerakan yang besar
dalam setiap gereja lokal. Generasi tua seharusnya menyadari peran penting dari generasi
muda. Sehingga tercipta keharmonisan dan sinergi yang kuat di antara dua generasi ini.
Tidak ada saling kecurigaan melainkan yang ada adalah saling bergandengan tangan untuk
membentuk kekuatan yang tidak mudah diruntuhkan.
“Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.”
(Pkh. 1:4).
Ayat di atas mempunyai pengertian bahwa Allah menjadikan generasi demi generasi
sebagai perputaran baru atau regenerasi bagi kehidupan ini dan bertujuan untuk
meneruskan rencana Allah dalam dunia ini. Di bawah ini adalah prinsip-prinsip regenerasi:

 Bumi adalah tempat di mana kehendak Tuhan harus diselesaikan.


 Generasi demi generasi ada untuk melakukan kehendak Tuhan.
 Tuhan memiliki tekanan kebenaran yang khusus dalam setiap generasi.
 Setiap generasi bertangung jawab untuk menyelesaikan kehendak Tuhan pada
generasi mereka.
 Regenerasi menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya atau generasi di atasnya.
 Generasi penerus harus memiliki DNA yang sama dengan generasi sebelumnya.

A.1. Hambatan Regenerasi


Mengapa gereja perlu melakukan regenerasi dan kaderisasi? Karena gereja harus
menjalankan atau melaksanakan amanat Agung Tuhan Yesus Kristus (Mat. 28:19-20). Ini
adalah suatu perintah bukan imbauan atau saran. Regenerasi dapat tersendat bila hal-hal ini
ada:

 Sebuah kesalahan: tidak ada tongkat estafet kepemimpinan dari generasi pelopor
kepada generasi penerus.
 Sebuah ancaman: generasi pendahulu tidak mau melepaskan tongkat estafet
kepemimpinan.
 Suatu bencana: bila generasi pendahulu dipanggil pulang ke rumah Bapa di sorga
sebelum regenerasi dijalankan.
 Sebuah tragedy: pemimpin muda tidak menghargai generasi pendahulu.
Paul Weston berkata bahwa regenerasi adalah menghormati masa lalu untuk
membentuk masa depan. Apakah yang sudah kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak-
anak kita terhadap regenerasi dan kader bagi gereja Tuhan, keluarga, bangsa dan negara?

A.2. Rencana Ilahi


Dalam Alkitab banyak dibicarakan soal generasi dan regenerasi, hal ini menunjukkan
bahwa Tuhan begitu concern terhadap setiap generasi dan perjalanan regenerasi.
Regenerasi adalah rencana ilahi. Generasi dan regenerasi selalu ada dalam agenda Tuhan,
bahkan sejak penciptaan pertama, hal itu menjadi desain Tuhan, terbukti dari apa yang
Alkitab tulis di dalamnya. Tuhan mengasihi semua generasi dan juga merencanakan
terjadinya regenerasi.
“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah (be
fruitful/YLT – bicara kualitas) dan betambah banyak (multiply/YLT – bicara kuantitas);
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu . . . .” (Kej. 1:28).
Dari ayat di atas, Tuhan dari awal sudah berfikir tentang regenerasi (beranak cucu dan
bertambah banyak). Hal ini berarti Tuhan tetap rindu manusia menjaga ritme untuk tetap
ada dalam regenerasi yang terus senantiasa terjaga keutuhan dan kelestariannya. Tuhan
juga begitu peduli tentang kegerakan regenerasi muda, hal ini dibuktikan dari apa yang
dinubuatkan Nabi Yoel.
“Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas
semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan (putra-putrimu/BIS) akan
bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu (pemuda-
pemudi/BIS) akan mendapat penglihatan-penglihatan . . . .” (2:28)
Bukan hanya Nabi Yoel yang menulis tentang nubuatan generasi yang akan
mendapatkan porsi yang luar biasa dalam kegerakan Tuhan yang akan terjadi, tetapi
perkataan ini diulangi dalam Perjanjian Baru di Kisah Para Rasul 2:17.
Bahkan jika kita melihat Kitab Maleakhi, kitab ini ditutup dengan sebuah perkataan
yang menarik tentang apa yang akan Tuhan perbuat terhadap generasi ke generasi (lintas
generasi)
“Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-
anak kepada bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.” (4:6).
Perkataan yang sama dikutip dokter Lukas, yang tertuang dalam Injil Lukas 1:17,
bahwa kedatangan Tuhan akan didahului oleh sebuah pemulihan dalam lintas generasi. Ada
sebuah hubungan yang harus dipulihkan terlebih dahulu dari para pelopor (generasi di atas)
dan generasi di bawahnya sebelum hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu datang. Begitu
serius Tuhan membicarakan sebuah generasi dan regenerasi. Begitu peduli Tuhan
merencanakan sebuah pemulihan dari generasi ke generasi. Ini adalah fakta yang Alkitab
tulis dan akan menjadi fakta dalam kehidupan setiap generasi. Pemimpin yang tahu hatinya
Tuhan akan berjalan sesuai dengan perintah-Nya, yaitu mengasihi generasi dan
mempersiapkan regenerasi.
Karakter pelayanan generasi ini adalah pelayanan (roh) Elia dengan prinsip pelayanan
pendamaian untuk membuat hati bapak-bapak berbalik pada anak-anak dan hati anak-anak
pada bapak-bapaknya. Artinya, pelayanan kita seharusnya menjadi jembatan antara
generasi pendahulu dan generasi sekarang. Berfungsi sebagai diplomat rohani antar
generasi. Pelayanan kita adalah pelayanan yang melibatkan generasi ke generasi.

A.3. Perjalanan Regenerasi


Tampaknya perjalanan Tuhan mengenai generasi dan regenerasi tidak pernah berhenti
begitu saja, tetapi akan terus berlanjut. Jika kita melihat Alkitab maka ada banyak contoh
yang luar biasa tentang perjalanan sebuah generasi dan regenerasi. Musa adalah contoh
nabi Israel yang sukses dalam mengkader generasi berikutnya. Ya, dari hidup Musa muncul
tokoh yang ‘fenomenal’, tokoh muda yang brilian, tokoh muda yang smart, dialah Yosua.
Beranjak pada Nabi Elia, nabi ini memiliki banyak murid, karena dicatat dalam Alkitab ada
sekolah nabi pada zamannya, tetapi ada satu murid yang menjadi next generation yaitu
Elisa. Melalui Elia muncul nabi Elisa yang mampu membuat mujizat 2 kali lipat dari apa yang
pernah dilakukan oleh Elisa. Musa dan Elia melakukan regenerasi yang tepat waktu dan
tepat orang. Musa dan Elia menyadari betapa pentingnya tongkat estafet diserahkan pada
generasi di bawahnya.
Dalam Perjanjian Baru, kita melihat apa yang Tuhan Yesus lakukan. Dia kumpulkan
murid-murid, diajari, dilatih, diperlengkapi dan diutus. Inilah metode regenerasi Tuhan
Yesus. Tuhan Yesus tidak pernah one man show. Dia menjadikan Petrus dari seorang
pecundang menjadi seorang pemimpin yang memiliki pengaruh besar. Dia menjadikan
murid-murid yang berlatar belakang sederhana memiliki kuasa yang luar biasa. Tuhan Yesus
mengutus murid-murid-Nya untuk membuat regenerasi yang baru (menjadikan bangsa
murid-Nya).
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus . . . .” (Mat. 28:19).
Bergerak ke area Rasul Paulus. Ya, siapa yang tidak paham dengan rasul yang satu ini,
seorang yang sukses menulis 1/3 kitab Perjanjian Baru. Bukan hanya memiliki murid tetapi
Rasul Paulus sukses meregenerasi. Ada nama Timotius anak rohaninya, Titus, Filemon,
Priskila & Akwila dan masih banyak lagi anak didik Rasul Paulus. Mereka adalah pribadi-
pribadi yang paham tentang generasi dan regenerasi.
Untuk sukses dalam mempersiapkan para pemimpin muda, kita harus membangunnya
sampai empat generasi. Seperti seorang bapa memiliki seorang anak, cucu, cicit, dan
seterusnya. Kita belajar dari 2 Timotius 2:2, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di
depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang
cakap mengajar orang lain.” Dari rasul Paulus kepada Timotius, orang yang dapat dipercaya
dan generasi yang keempat adalah orang lain. Jika kita sebagai pemimpin tidak membangun
kepemimpinan sampai empat generasi, ancaman akan datang pada kita bahkan apa yang
kita bangun akan mengalami kehancuran.
Tuhan Yesus dan rasul Paulus sadar benar bahwa regenerasi penting untuk sebuah
kelangsungan perluasan Kerajaan Allah. Mereka menyadari keterbatasan dirinya, mereka
sadar hidup mereka tidak selamanya di muka bumi ini, karena itu mereka melakukan
metode yang tepat. Metode itu adalah regenerasi!
Pentingnya gereja lokal menyadari peran aktif generasi dan tidak kalah pentingnya
regenerasi merupakan kehidupan bergereja yang sangat sehat. Ketika gereja lokal lupa atau
lalai melayani generasi, perjalanan gereja lokal suatu saat akan terhenti. Hal yang sama juga
akan terjadi bahkan lebih parah ketika gereja lokal lalai mempersiapkan pentingnya sebuah
regenerasi dalam gereja. Ketika kesadaran tentang regenerasi tidak ada, itu menjadi
ancaman yang sangat serius bagi sebuah kepemimpinan dan gereja lokal. Tuhan Yesus ke
murid-murid-Nya, Paulus ke Timotius adalah regenerasi yang jelas. Dan regenerasi harus
selalu ada legacy karena legacy adalah bagian dari regenerasi. Legacy yang jelas menjadikan
pelayanan berkelas bagi generasi di bawahnya. Generasi tanpa legacy adalah generasi yang
piatu. Legacy juga menandakan generasi yang lebih tua menyadari pentingnya estafet
kepemimpinan yang harus terus berjalan. Legacy juga merupakan kekuatan yang dahsyat
dalam kepemimpinan. Legacy atau warisan harus disediakan bapa baik bapa secara jasmani
atau rohani. Musa meninggalkan warisan bagi Yosua bagaimana bersekutu dengan Tuhan,
Elia meninggalkan warisan pada Elisa bagaimana bertindak dengan iman, Tuhan Yesus
meninggalkan warisan kepada murid-murid-Nya bagaimana harus melayani dan Louis serta
Eunike meninggalkan pusaka atau warisan bagi Timotius yaitu hidup dalam firman Tuhan.
Generasi dan regenerasi seharusnya menjadi agenda yang tidak kalah pentingnya
dibandingkan dengan program-program gereja. Ketika fokus gereja hanya ke program saja,
suatu saat para pemimpin dalam gereja akan menyesali apa yang telah mereka lakukan.
Seharusnya gereja Tuhan konsen pada pembentukan mental generasi, pengawasan
(pembapaan) terhadap generasi, melayani generasi, mencintai generasi, mengutus generasi,
dan mempercayai generasi. Gereja Tuhan juga harus bersiap-siap untuk mempersiapkan
next leader. Tidak hanya bertumpu pada satu sosok atau figur, yang akhirnya akan terjadi
pengultusan secara pribadi kepada pemimpin tersebut. Ini sangat berbahaya. Jika sudah
pada tahap pengultusan pemimpin, ada yang salah dalam pengajaran di gereja lokal
tersebut. Ketika yang dikultuskan meninggalkan gereja, gereja akan mengalami masalah
yang besar. Akan terjadi guncangan bahkan tak sedikit akan terjadi perpecahan dan hal yang
paling buruk adalah terjadinya kekosongan dalam gereja tersebut (larinya jemaat ke tempat
lain).

A.4. Waktu Regenerasi


Pemimpin harus memahami bahwa mereka ini sedang lari secara estafet bukan lari
secara sprint. Regenerasi atau yang disebut pergantian dari senior pada yunior terkadang
menjadi polemik bila dilakukan pada saat yang tidak tepat baik dalam hal waktu atau
penerusnya. Generasi senior bisa jatuh dalam lubang yang disebut post power syndrome,
yakni keadaan tidak siap digantikan oleh yunior dan berada dalam situasi tidak berkuasa
atau berfungsi dalam pelayanan yang sebelumnya. Jika para senior belum siap untuk
‘pensiun’, hal yang terjadi bukan hanya mengalami post power syndrome, tetapi juga akan
menjadi blocker (penghalang) bagi generasi di bawahnya. Regenrasi bisa menjadi momok
yang menakutkan bagi para pemimpin senior. Beberapa pemimpin senior tidak siap
memberikan kepercayaan pada pemimpin muda, mereka tidak memiliki keberanian dan
tekad yang serius untuk melakukan hal tersebut. Akibatnya, ketika pemimpin senior
mengakhiri masa kepemimpinannya karena meninggal dunia, pelayanan yang dirintis sekian
lama pun hancur berantakan. Bukankah hal ini sangat disayangkan? Seorang pemimpin
senior memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan suksesi kepemimpinan. Dan hal ini
harus dilakukan dengan serius, sebab ini sangat memengaruhi seluruh rencana Allah di atas
muka bumi ini.
Jika regenerasi yang tidak tepat waktu terjadi, para pemimpin muda atau yunior bisa
jatuh dalam lubang syndrome Absalom. Ini adalah keadaan ambisius yang hendak menjegal
senior agar bisa memimpin atau menggantikan fungsi pelayanan yang ada. Untuk sebuah
regenerasi, kita harus paham bahwa pemimpin senior jangan terlambat meregenerasi
kepemimpinan, mengapa? Akan berakibat fatal dalam organisasi yang Anda bangun. Jangan
sampai pemimpin senior sudah di ambang maut, tetapi belum tahu siapa yang hendak
melanjutkan kepemimpinan tersebut. Ini adalah kesalahan besar yang sering dilakukan
pemimpin. Terbukti jika hal itu terjadi, gereja lokal yang dibangun ‘runtuh’ karena sang
senior sudah dipanggil Tuhan.
Bila regenerasi dilaksanakan pada saat yang tidak tepat dan belum siap, konflik bisa
terjadi bahkan kekacauan dalam sistem dan fungsi pelayanan. Sebaliknya, bila generasi
senior dan yunior sama-sama tidak mengambil inisiatif kerja sama, ini akan menimbulkan
kekosongan fungsi pelayanan, kemorosotan, bahkan kehancuran pelayanan itu sendiri.
Dalam kepemimpinan, kita diibaratkan sebagai pelari estafet. Pelari estafet tidak boleh
terlalu cepat atau terlambat dalam memberikan tongkat estafetnya pada pelari berikutnya.
Seorang pelari estafet harus paham bahwa ada critical line atau garis kritis yang harus
diperhatikan. Jika tongkat estafet diberikan sebelum critical line, sang pelari akan
didiskualifikasi. Hal yang sama berlaku ketika sang pelari memberikan tongkat estafet pada
pelari berikutnya harus melewati critical line. Jika para pemimpin senior memahami
pentingnya regenerasi, mereka akan berlari dan ketika tiba di critical line-nya tak akan
menunggu lama untuk menyerahkan tongkat estafetnya.
Hal yang sama dilakukan oleh para petani zaman dulu ketika memasang sebuah kuk
pada dua ekor kerbau atau lembu saat membajak sawah. Rupanya kebiasaan petani waktu
itu memasang kuk pada hewan yang berpasangan. Hal yang menarik dari pasangan binatang
itu adalah binatang yang satu lebih senior dan binatang yang satunya lebih yunior. Mengapa
demikian? Ini adalah langkah pembelajaran bagi yunior untuk menanggung kuk, melatih
otot dan kekuatannya. Bagi yang senior, hal ini bertujuan untuk membantu dan menuntun
yang yunior. Dalam hal ini, yang senior akan memikul beban yang lebih berat (karena secara
tubuh sedikit lebih besar). Ketika binatang yang senior hendak pensiun karena faktor usia
dan tenaga, pasangannya (yang lebih muda) akan dipasangkan dengan pasangan baru dan
masih yunior. Dari sini kita melihat para petani zaman itu sudah memahami pentingnya
regenerasi hewan-hewan peliharaannya. Para petani tidak mau gagal dalam membajak
sawahnya karena faktor usia sang binatang. Para petani mempersiapkan binatang mereka
dengan bijak. Sapi senior dan yunior dipasangkan. Mereka berjalan beriringan. Mereka
saling menopang dan mereka saling melengkapi. Para petani saja menyadari betapa
pentingnya mentoring dan meregenerasi binatangnya, bagaimana dengan Anda sebagai
leader?
“Setelah Elia pergi dari sana, ia bertemu dengan Elisa bin Safat yang sedang membajak
dengan dua belas pasang lembu, sedang ia sendiri mengemudikan yang kedua belas . . . .” (1
Raj. 19:19).
Pertanyaannya adalah, kapan saat yang tepat terjadinya regenerasi? Apa yang perlu
dipersiapkan oleh masing-masing generasi dalam mensukseskan dan melancarkan apa yang
sudah ada? Belajar dari suksesi pelayanan dan kepemimpinan Elia pada Elisa, setidaknya ada
beberapa prinsip yang dapat kita petik bersama.
Regenerasi adalah inisiatif Allah pada mansuia agar rencana dan kehendak Allah
berjalan melewati sejarah dan masa depan, agar maksud Allah untuk menolong
menyelamatkan dan memulihkan manusia boleh terwujud. Orang-orang yang dipilih,
dipanggil dan dipakai Allah untuk melaksanakan tugas ini harus melihatnya sebagai suatu
kehormatan dan tujuan hidup yang mulia (Rm. 8:28-29; 1 Ptr. 1:2; Ef. 2:10). Generasi muda
tidak boleh mendahului waktunya Tuhan dalam sebuah perjalanan regenerasi. Jangan
memiliki ambisi pribadi! Jangan buru-buru! Ingat apa yang terjadi atas diri Yusuf ketika
sudah mulai bosan di penjara? Ia ingin keluar dengan caranya sendiri, meminta bantuan
orang lain (kepala juru minuman), tetapi apa yang terjadi? Sebaliknya Yusuf tetap dipenjara
selama 2 tahun (Kej. 40:23; 41:1). Kenapa? Karena Tuhan punya Kairos (waktu) tersendiri
untuk mempromosikan kita. Tuhan tidak perlu bantuan orang lain untuk membuat Yusuf
diangkat tinggi. Hari ini jika kalian belum diangkat, tetap sabar, jangan seperti Yusuf yang
meminta bantuan orang lain. Tetap bersandar kepada Tuhan. Karena ketika kita
mengandalkan orang lain, Alkitab mencatat kita menjadi terkutuk (Yer. 17:5).
“Tetapi, ingatlah kepadaku apabila keadaanmu telah baik nanti, tunjukkanlah terima
kasihmu kepadaku dengan menceritakan hal ihwalku kepada Firaun dan tolong keluarkan
aku dari rumah ini.” (Kej. 40:14).
“Tetapi Yusuf tidaklah diingat oleh kepala juru minuman itu, melainkan dilupakannya.”
(Kej. 40:23).
“Setelah lewat dua tahun lamanya, bermimpilah Firaun, bahwa ia berdiri di tepi sungai
Nil.” (Kej. 41:1).
Kenapa harus menunggu waktu yang terbaik? Kenapa harus menunggu waktu Tuhan
untuk regenerasi? Karena regenerasi juga merupakan sebuah promosi. Perlu disadari bahwa
promosi yang belum waktunya itu sangat berbahaya. “Orang yang tergesa-gesa akan salah
langkah” (Ams. 19:2). Jika waktunya tidak tepat, akan sangat berbahaya buat yang
meregenerasi, diregenerasi, maupun yang dipimpin. Promosi perlu proses. Tidak ada budaya
instan dalam agendanya Tuhan. Produk-produk instan sangat berbahaya. Di sinilah kita
melihat apa yang Alkitab tuliskan itu benar adanya bahwa orang yang mengandalkan
manusia dan mengandalkan kekuatannya sendiri itu terkutuk. “Terkutuklah orang yang
mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya
menjauh dari pada TUHAN” (Yer. 17:5). Ingat peristiwa Hagar? Ketika Hagar mengandung
apa yang dilakukannya terhadap Sara (majikannya – generasi di atasnya)? Hagar
menganggap rendah Sara. Hagar memiliki respons yang keliru terhadap sebuah promosi
(diangkat ke posisi yang lebih atas dan lebih mulia). Ketika kita mendapatkan promosi bukan
berarti kita diizinkan untuk meremehkan orang lain. Karena itu, Tuhan membutuhkan
waktu-Nya (Kairos) untuk mempromosikan setiap kita supaya kita tidak melakukan
kesalahan yang pernah dilakukan Hagar.
“Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu,
bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu.” (Kej. 16:4).
Promosi dan legacy yang belum waktunya sangat membahayakan karena akan
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang sombong, egois, arogan, tidak menghargai
pendahulunya dan tidak tahu menggunakan warisannya dengan baik dan benar. Promosi
yang belum waktunya membahayakan bagi diri kita sendiri (jatuh dalam dosa kesombongan)
dan membahayakan orang lain (mengangap rendah dan remeh orang lain). Dan kedua hal
ini adalah dosa di mata Tuhan.
“Setelah ia (Raja Uzia) menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal
yang merusak. Ia berubah setia kepada TUHAN, Allahnya, dan memasuki bait TUHAN untuk
membakar ukupan di atas mezbah pembakaran ukupan.” (2 Taw. 26:16).
“Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke
negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.”
(Luk. 15:14).
Regenerasi Elia dan Elisa berjalan dengan baik karena ada kerja sama, komunikasi dan
kerendahhatian di antara mereka. Ini yang harus diterapkan oleh para pemimpin, di antara
senior pada junior atau sebaliknya, mereka harus ada kerja sama, komunikasi, dan
kerendahhatian.
Di samping itu, ini yang harus diperhatikan pemimpin senior atau generasi tua ketika
hendak melakukan regenerasi, pemimpin harus in charge dan intens bersama-sama dengan
generasi muda. Ketika pemimpin melakukan dua hal di atas (mengisi terus-menerus),
pemimpin senior lebih mengerti dan memahami generasi penerusnya. Ketika senantiasa in
charge dan intens, hubungan yang terjadi akan seperti Musa dan Yosua, Elia dan Elisa,
Tuhan Yesus dan murid-murid, serta Paulus dan Timotius. Jika ditanya kapan waktu yang
tepat melakukannya? Waktu yang tepat dan terbaik adalah waktunya Tuhan, tetapi kapan
waktu Tuhan itu? Sebagai pemimpin yang takut Tuhan dan tidak takut tersaingi, dengan hati
yang murni pasti dalam perjalanan, Tuhan memberikan kepekaan dan sign (tanda) untuk
pergantian tersebut. Seorang pemimpin seharusnya seperti pelari estafet yang tahu kapan
harus berlari dan kapan harus menyerahkan tongkat estafetnya pada pelari berikutnya.
Sudahkah Anda para pemimpin senior in charge dan intens dengan para yunior? Jika belum,
lakukan sekarang sebelum terlambat! Hal yang harus diperhatikan oleh seorang bapak
dalam memberikan legacynya adalah kedewasaan sang anak dan penerimaan tanggung
jawabnya selama ini. Warisan harus diberikan kepada anak yang sudah dewasa dan siap
menerimanya.

A.5. Fakta Berbicara


Sangat disayangkan sejak zaman Alkitab ditulis sudah banyak pembunuhan terhadap
generasi. Dari generasi ke generasi The Killer of The Generation bermunculan dan berkuasa.
The Killer of The Generation yang pertama dicatat dalam Alkitab adalah Kain. Kain adalah
pembunuh yang pertama, ia membunuh ¼ manusia di muka bumi. Ia membunuh Habel
adiknya sendiri, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari kakaknya. Memang The
Killer of The Generation tidak semata-mata menghabisi nyawa seseorangnya (lebih tepatnya
generasi di bawahnya), tetapi juga bisa membunuh melalui mental, karakter masa depan
generasi di bawahnya dan tidak memberi kesempatan orang di bawahnya untuk maju atau
berkembang. The Killer of The Generation selalu dilakukan oleh generasi di atas kita, yang
seharusnya berperan untuk memberikan kesempatan, membuka jalan, memperlengkapi,
serta mempercayai generasi di bawahnya.
Raja Firaun adalah The Killer of The Generation bagi Musa dan bayi laki-laki Israel (Kel.
1:16). Kakak-kakak Yusuf dalam Kitab Kejadian adalah contoh The Killer of The Generation
terhadap Yusuf (Kej. 37:12-36). Isai dan Saul adalah The Killer of The Generation terhadap
Daud (1 Sam. 16:11-12; 18:6-29). Raja Herodes adalah The Killer of The Generation bagi
Yesus dan anak-anak di Betlehem dan sekitarnya (Mat. 2:11-12, 16). Sejarah mencatat
gereja mula-mula mengalami pertumbuhan justru karena pembunuhan terhadap generasi
(aliran yang baru) di bawah semakin gencar. Gereja Katolik Roma pada abad-abad pertama
adalah The Killer of The Generation bagi Martin Luther dan gereja Protestan.
Ketidaksetujuan Martin Luther terhadap surat penghapusan dosa (indulgensi) adalah latar
belakang Martin Luther menghadapi tantangan yang tidak mudah dari generasi sebelumnya
(Katolik Roma). Aliran Protestan juga menjadi The Killer of The Generation bagi aliran
(generasi) di bawah mereka (Baptis, Calvinis, Pentakosta, Karismatik). The Killer of The
Generation terus bergerak bahkan dalam gereja Tuhan, baik gereja secara universal maupun
lokal. Cukup disayangkan memang spirit ini terus hidup dan berkembang dalam gereja
hingga saat ini. Coba lihat saja, jika ada gereja baru berdiri, gereja-gereja yang sudah lama
berdiri menjadi gelisah dan resah. Pemimpin-pemimpin rohani menjadi marah dengan
aliran-aliran yang baru ini. Bahkan tidak sedikit yang memberi cap gereja atau aliran baru ini
sebagai aliran sesat, tidak alkitabiah, melenceng dll. Sadar atau tidak, inilah spirit pembunuh
generasi.
Apakah kita akan menjadi pelaku dari The Killer of The Generation kembali? Jika kita
masih iri terhadap kegerakan yang baru muncul dan yang mendapatkan banyak umat,
sebenarnya ini adalah awal mula dari hal yang disebut The Killer of The Generation. Coba
Anda renungkan kembali, jika hari ini Anda adalah pemimpin dalam gereja lokal, pelayan
Tuhan, pendeta, evangelis, atau apa pun profesi Anda, jangan pernah menghidupi spirit
yang satu ini, karena sangat berbahaya bagi hidup dan komunitas Anda. Buanglah jauh-jauh,
jangan mau dikhamiri, jangan mau dibelenggu, jangan mau dikecoh oleh tipu muslihat Iblis.
Ini adalah benih-benih perpecahan dan pembunuhan terhadap generasi.
Seharusnya kita yang membunuh spirit ini bukan sebaliknya. Kita harus menghargai
generasi bukan menghabisinya. Gereja yang sudah lama ada bisa menghargai gereja baru,
sebaliknya gereja yang baru tetap menjaga respek terhadap gereja pendahulu. Aliran yang
baru tidak mengangap dirinya paling sempurna, denominasi yang baru tidak meremehkan
denominasi yang lama. Mereka harus saling bergandengan tangan untuk menyempurnakan
rencana agung Tuhan Yesus dalam gerejanya yang beragam aliran ini. Gereja yang muda
secara usia menghormati gereja yang tua, sebaliknya gereja yang tua secara usia tidak
menekan gereja yang muda. Harus tetap menjaga keutuhan gereja Tuhan, sehingga dunia
melihat Kristus dalam gereja yang beraneka ragam ini. Kita boleh bangga terhadap
denominasi kita, tetapi kita tidak diizinkan untuk menjadi hakim, menyerang, memfitnah,
bahkan menjelek-jelekkan denominasi lainnya. Karena belum ada gereja yang sempurna di
muka bumi ini, yang harus dikerjakan adalah setiap denominasi berfungsi sesuai dengan
panggilan Allah dalam dirinya masing-masing.

A.6. Memproduksi Generasi vs. Menghabisi Generasi


Gereja seharusnya menjadi tempat yang terbaik untuk memproduksi generasi bukan
menghabisi generasi. Pemimpin senior seharusnya mengambil tanggung jawab yang utama
dari kelangsungan estafet kepemimpinan. Ini adalah panggilan yang mulia!
Gereja yang sehat rupanya ditentukan oleh seberapa banyak generasi yang diproduksi.
Generasi yang militant dan berkualitas tentunya. Pemimpin yang berhasil juga adalah
pemimpin yang berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin muda yang berkualitas.
Keberhasilan menjadi sebuah kegagalan ketika tidak ada yang dipercaya untuk menjadi
penerus. Jika Tuhan mempercayakan pemimpin-pemimpin muda lahir dalam kepemimpinan
Anda, mengapa harus menunggu tua baru Anda percaya? Jangan mengebiri semua potensi
yang mereka miliki. Anda harus bangga jika ada orang-orang muda di sekitar Anda yang
memiliki potensi yang lebih baik dari Anda. Itu artinya Anda sebagai pemimpin telah
melahirkan generasi yang lebih baik.
Memproduksi generasi penerus adalah tanggung jawab pemimpin. Namun, tidak
sedikit para pemimpin yang melemparkannya ke Tuhan. Itu adalah tanggung jawab dan hak
Tuhan. Bagaimana tanggapan Alkitab? Jelas sekali bahwa Tuhan Yesus sendiri sudah
memberikan contoh dalam hal ini. Salah satu tujuan Yesus datang ke dunia adalah untuk
memuridkan. Tuhan Yesus memerintahkan murid-murid-Nya juga untuk memuridkan yang
lainnya (Mat. 28:19). Inilah langkah yang benar dan tepat, yakni memultiplikasi murid.
Gereja sampai hari ini ada karena Tuhan Yesus selama di muka bumi melakukan
tugasnya dengan baik. Tuhan Yesus melakukan pemuridan (memproduksi murid-murid)
bukan mengebiri para murid. Dia tidak kerja seorang diri. Dia memenangkan jiwa-jiwa,
memuridkan, membapaki, dan mengutus. Paulus juga melakukan hal yang sama seperti
yang Tuhan Yesus lakukan. Paulus memproduksi Timotius dan Titus. Ingatlah ketika gereja
kuat dalam metode ini (memproduksi generasi), gereja itu masuk dalam kategori gereja
yang kuat dan sehat, berakar dan berdasar, bertumbuh dan pastinya akan berbuah.
Dr. Bill Bright, Founder Lembaga Pelayanan Mahasiswa Internasional mengingatkan
“mahasiswa (pemuda) hari ini adalah pemimpin hari esok. Ini berarti mereka harus
dipersiapkan, dimuridkan, dan di mentoring. Apalagi kita sedang hidup di dunia dengan
jumlah penduduk yang hampir setengahnya adalah generasi muda. Tugas ini sangat penting
karena kita begitu lemah dalam mementor generasi muda. Lihat saja di dunia politik terjadi
kecenderungan kader ‘dinasti’. Hal yang sama juga banyak terjadi dalam lingkungan gereja.
Jika pemimpin gereja hanya melahirkan generasi dari sistem ‘dinasti’, sebenarnya ada
hal-hal yang kurang tepat, karena panggilan gereja adalah memuridkan semua generasi
muda dalam gereja. Bukan hanya memuridkan dinastinya. Di gereja Indonesia, ini sudah
sangat umum bahwa dinastilah yang pasti mewarisi gereja dan pelayanan ayahnya.
Harus ada produksi generasi dalam gereja dan kepemimpinan gereja. Jika tidak, yang
terjadi adalah seperti yang sudah sering terjadi. Ketika sang gembala atau pemimpin senior
meninggal dunia, tempat pelayanan atau gereja yang dipimpin atau digembalakannya ikut
‘meninggal’. Jangan mengulangi hal yang sama! Sesuatu yang berbeda didapatkan dari cara
yang berbeda juga. Jika pengalaman-pengalaman buruk dari pemimpin lain sudah pernah
Anda dengar bahkan Anda lihat, jangan membuat kesalahan yang mirip bahkan sama. Albert
Einstein pernah berkata, “Hanya orang gila yang melakukan cara yang sama terus-menerus
tetapi mengaharapkan hasil yang berbeda.” Kebanggan dan kebahagiaan kita sebagai
pemimpin adalah jika hal yang pernah kita bangun bisa dilanjutkan oleh generasi-generasi di
bawah kita bahkan menjadi lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Sekarang pertanyaan yang perlu direnungkan sangat sederhana: Anda ini masuk dalam
golongan mana? Golongan pemimpin yang memproduksi generasi atau menghabisi
generasi. Ada pemimpin senior yang pernah berkomentar, ‘soal pengganti saya itu urusan
Tuhan’. Saya tidak setuju 100% dengan hal tersebut. Sebagai pemimpin yang bijaksana, kita
harus tetap mempersiapkan next leader yang nantinya menerima tongkat estafet dari kita
sebagai pemimpin senior serta melanjutkan perjalanan kepemimpinan senior;
memproduksi, mempersiakan, dan mempercayai generasi di bawahnya. Bukankah
seharusnya demikian? Musa ada Yosua, Elia ada Elisa, Daud ada Salomo, Tuhan Yesus ada
murid-murid dan Paulus ada Timotius dan Titus. Pertanyaannya adalah setelah Anda turun,
ada siapa?

B. PANGGILAN SEORANG PEMIMPIN


Generasi pendahulu punya panggilan yang mulia dan besar bagi generasi di bawahnya.
Jadi tugas pemimpin pendahulu bukan hanya meregenerasi mereka, tetapi juga harus
mampu membuka jalan dan membuat generasi muda diberkati melalui hidup mereka.
Generasi pendahulu harus mau berinvestasi untuk generasi di bawahnya. Dalam
kepemimpinan, kata kunci yang tidak bisa diabaikan adalah hubungan. Kunci dari sebuah
hubungan adalah komunikasi. Kunci dari sebuah komunikasi adalah kepercayaan. Selain
meregenerasi, apa saja tanggung jawab pemimpin senior? Setidaknya ada 4 F yang harus
dikerjakan oleh para pemimpin senior bagi juniornya. Menjadi bapak (Father), seperti Paulus
pada Timotius (2 Tim. 1:2). Menjadi teladan (Figure) seperti yang Paulus lakukan terhadap
Timotius (1 Kor. 4:16). Menjadi teman atau sahabat (Friend) seperti yang dilakukan Tuhan
Yesus pada murid-murid-Nya (Yoh. 15:15). Dan menjadi penyedia dan penghubung
(Fasilitator), seperti yang dilakukan oleh Raja Daud kepada Salomo dan Rasul Paulus dalam
kasus Onesimus terhadap Filemon (Flm. 1).

B.1. Father
Dalam hidup ini, kita membutuhkan Bapa surgawi, bapak jasani, dan bapak rohani.
Gembala sidang atau pemimpin senior harus berfungsi sebagaimana Tuhan memanggilnya
tetapi juga harus berperan atau menjalankan fungsi sebagai bapak bagi yang dipimpinnya
(Fathering the generation). Istilah fathering mengacu pada pola kepemimpinan yang
membapaki atau melakukan pengayoman seorang bapak rohani pada anak-anak rohaninya.
Kebutuhan generasi akhir zaman ini adalah kebutuhan hadirnya seorang bapak. Kehausan
akan kasih bapak melanda banyak generasi. Banyak generasi mengalami fatherlessness,
tidak pernah merasakan fungsi seorang bapak. Lalu, apa sebenarnya syarat menjadi bapak
yang baik? Seorang bapak harus dewasa. Dewasa dalam iman, usia, pemikiran, dan
bertindak. Seorang bapak harus dekat dengan Bapa Sorgawi. Seorang bisa menjadi bapak
karena ia telah berjumpa dan mengalami kasih Bapa sorgawi. Semakin kita dekat dengan
Bapa sorgawi, semakin kita menjadi serupa dengan Dia.
Bapak yang baik merasa aman ketika melihat puta-putranya dipakai oleh Tuhan sama
seperti dia, berada di tengah-tengah anaknya, dan tidak takut terjadi kudeta atau
perpecahan dalam keluarganya. Father hunger melanda semua generasi baik di dalam
maupun di luar gereja. Ada beberapa tipe bapak (father types) yang sering kita jumpai di
dunia ini:
1. Bapak yang baik (the good father)
2. Bapak yang berorientasi pada kinerja (the performance oriented father)
3. Bapak yang pasif (the passive father)
4. Bapak yang tidak hadir (the absentee father)
5. Bapak yang otoriter (the authoritarian father)
6. Bapak yang kasar (the abusive father)
Sebagai anak-anak Tuhan, kita sangat bersyukur karena memiliki Tuhan yang sangat
dekat. Ini dibuktikan ketika Dia memanggil Bapa-Nya dengan sebutan Bapa (Yoh. 5:18),
bahkan Dia juga menyatakan diri-Nya dengan Bapa adalah satu (Yoh. 10:30). Hal yang sama
juga berlaku dengan kita. Pemanggilan Bapa menunjukkan adanya kedekatan secara relasi.
Yesus juga mengajarkan kita tentang satu pola doa yang diawali dengan sebutan Bapa, yang
dikenal dengan istilah ‘Doa Bapa Kami’ (Mat. 6:9). Tuhan Yesus sedang memperkenalkan
betapa dekatnya Dia dengan sang Bapa.
Pola kepemimpinan pembapaan sangat kontras dengan pola kepemimpinan biasa, di
mana pola kepemimpinan biasa hanya memiliki hubungan sebatas atasan dan bawahan,
majikan dan anak buah, pemimpin dan yang dipimpin dan orientasi hanya pada tugas.
Berbeda dengan pola kepemimpinan pembapakan, hubungan yang terjadi adalah antara
bapak dan anak secara rohani, dan orientasinya bukan pada tugas mereka semata,
melainkan lebih mengarah pada impartasi kehidupan.
Pola kepemimpinan selalu orientasinya pada tugas-tugas yang ada, sedangkan pola
kepemimpinan pembapakan berorientasi pada pribadi (generasi). Pola kepemimpinan biasa
bersifat otoriter, sedangkan pola kepemimpinan pembapakan bersifat kasih. Pola
kepemimpinan biasa mengarah ke organisasi atau struktural, sedangkan pola
kepemimpinan pembapakan mengarah pada kekeluargaan. Nah, sebagai pemimpin, Anda
sekarang ada di posisi mana?
Tuhan Yesus selama di bumi tidak hanya mengajar dan melatih murid-Nya. Dia juga
membapaki mereka. Dia sangat sabar terhadap proses pendewasaan dari murid-murid-Nya.
Dia sabar terhadap Petrus yang menyangkal Dia, sabar terhadap Tomas yang meragukan
Dia, sabar terhadap Yohanes yang pernah menyombongkan dirinya, bahkan sabar terhadap
Yudas Iskariot yang biasa mencuri uang kas.
Rupanya rahasia untuk menjadi bapak yang baik harus diawali dengan menjadi anak
yang baik. Menjadi anak yang baik kelak menghasilkan pemimpin yang memiliki hati bapak
yang baik. Pada akhir zaman ini, Tuhan sedang memulihkan hubungan antara anak dan
bapak, pemimpin dan orang-orang yang dipimpin, senior dan junior.
“Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-
anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.”
(Mal. 4:6).
Pada nats Perjanjian Baru, para murid menyinggung tentang hati bapa yaitu dalam
Yohanes 14:8, Kata Filipus kepada-Nya: “Tuhan tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu
sudah cukup bagi kami.” Kata ‘cukup’ di sini menggunakan kata arkeo yang berarti be
content (menjadi berisi), be sufficient (menjadi cukup), be enough (menjadi cukup). Arkeo
juga memiliki pengertian yang lain yaitu: to be possessed of unfailing strength.
Dari dua nats di atas, terlihat jelas bahwa hati bapa bukanlah sekedar ‘trend’ atau
kebutuhan sesaat atau kebutuhan saat ini. Ini adalah suatu pesan dan kehendak Tuhan yang
nyata bagi umat-Nya. Ayat tentang hati bapa ini menjadi penutup Perjanjian Lama sebelum
kita memasuki zaman Tuhan Yesus Kristus. Artinya, Nabi Maleakhi menjadi alat bagi suara
Tuhan tentang pentingnya hati bapa pada zaman sekarang ini. Seorang bapak yang baik
mampu mengerti dan memahami kebutuhan dasar anak-anaknya. Sebenarnya apa saja yang
menjadi kebutuhan dasar anak-anak yang harus dipenuhi seorang bapak?
1. Kebutuhan akan kasih tanpa syarat yang dinyatakan secara terbuka (the need for
unconditional expressed love)
2. Kebutuhan akan rasa aman dan penghiburan (the need to feel secure and comforted)
3. Kebutuhan akan pujian dan kata-kata yang membangun (the need for praise and
affirmation)
4. Kebutuhan pengarahan akan tujuan hidup (the need for a purpose in life)
Kebutuhan-kebutuhan di atas adalah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang
bapak dan tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun. Kebutuhan ini adalah kebutuhan mendasar.
Jika kita ingin menjadi bapa yng baik, perhatikanlah dengan seksama kebutuhan anak-anak
Anda.
Tidak sedikit pemimpin yang membuat goresan luka bagi generasi di bawahnya. Ini
terjadi karena para pemimpin hanya membangun hubungan antara atasan dan bawahan.
Banyak generasi di bawah menjadi pahit karena para senior yang seharusnya menjadi bapak
justru menjadi bos dalam gereja. Pemimpin yang seperti ini sedang membangkitkan rasa
tawar hati bagi generasi di bawahnya. Jika Anda demikian, bertobatlah, saatnya Anda
mengobati luka-luka yang pernah Anda buat untuk generasi di bawah Anda sekarang juga.
Jangan tunda-tunda lagi sebelum luka bertambah parah!
Seorang pria membawa pulang mobil baru kebanggaannya. Lalu ia meninggalkan
mobil tersebut sejenak untuk melakukan kegiatan lain. Anak lelakinya yang baru berumur 5
tahun sangat gembira melihat ada mobil baru, kemudian ia mencoret-coret mobil itu
dengan batu yang tajam. . . . akibatnya mobil baru tersebut catnya tergores.
Pria tersebut berlari menghampiri anaknya dan menghantam tangan anaknya dengan
palu sebagai hukuman. Setelah sang ayah tenang kembali, ia segera membawa anaknya ke
rumah sakit. Walau dokter telah mencoba segala usaha untuk menyelamatkan jari-jari
anaknya yang hancur, semua usaha gagal.
Akhirnya, dokter memutuskan untuk melakukan amputasi semua jari pada kedua
tangan anak kecil tersebut. Ketika anak kecil itu sadar dari operasi amputasi dan jarinya
telah tiada dan dibungkus perban, dengan polos ia berkata, “Papa, aku minta maaf tentang
mobilmu.”
Saat ayahnya kembali ke rumah dan melihat goresan yang ditulis anaknya, ia terkejut
karena tertulis “I love you Daddy”.
Karena ayahnya terharu dan tak bisa menahan sedih, ia hanya bisa menangis sejadi-
jadinya. Mobil dapat diperbaiki, tetapi tulang yang hancur dan hati yang disakiti sering tidak
dapat diperbaiki.
Kisah di atas merupakan contoh seorang bapa yang membuat luka atau goresan
terhadap generasi di bawahnya (anaknya). Luka yang tidak mungkin bisa disembuhkan
kembali. Seorang anak pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi seorang bapa tidak
seharusnya menghukum sampai seorang anak (baik anak jasmani maupun anak rohani)
mengalami ‘cacat permanen’ dalam kehidupannya. Bapa yang baik tidak pernah membuat
anaknya ‘cacat permanen’ dalam berbagai kehidupan. Bapa yang baik adalah bapa yang
marah dengan tidak meninggalkan luka yang menganga. Seorang bapa boleh marah, tetapi
tidak sampai berbuat dosa (Ef. 4:26). Seorang bapak harus mampu menegur dengan kasih.
Bapa yang tetap ‘merotan’ anaknya, jika memang anaknya kedapatan keliru. Firman Tuhan
juga mengatakan bahwa hajaran atau tongkat didikan akan menghilangkan kebodohan anak
muda. Bapa yang mengasihi anaknya akan mendisiplinkan jika anaknya terbukti bersalah.
“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi
anaknya, menghajar pada waktunya.” (Ams. 13:24).
“Kebodohan melekat pada hati orang muda (youth/YLT), tetapi tongkat didikan akan
mengusir itu daripadanya.” (Ams. 22:15).
Bapak yang baik sebelum bertindak ia akan berpikir panjang terhadap apa yang
dilakukannya. Itulah karakteristik seorang bapak, bisa marah, bisa memeluk, bisa membalut,
bisa memberi dorongan, kekuatan, pengharapan dan tentu bisa memberikan kenyamanan
dalam kehidupan anak-anaknya. Bapa yang baik harus menerapkan kasih dan disiplin secara
seimbang. Kasih tanpa disiplin akan melahirkan generasi yang manja dan cengeng.
Sebaliknya, disiplin tanpa kasih akan melahirkan generasi pemberontak.Karena itu,
keseimbangan antara kasih dan disiplin dalam mendidik seorang putra harus diterapkan
oleh para bapak supaya lahir generasi-generasi yang tangguh, militant bahkan munculnya
generasi ilahi.
Bob Pierce adalah founder World Vision dan Samaritan’s Purse. Ini adalah organisasi
misi Kristen yang mendunia. World Vision adalah lembaga bantuan dan pembangunan
Kristen terbesar yang melayani lebih dari 50 juta orang per tahun di lebih dari 100 negara di
seluruh dunia. Rekan-rekannya berkata: ‘Ia seorang yang tak kenal lelah dalam
memenangkan jiwa-jiwa,’ ‘Saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih berbelas
kasihan dari dia,’ ‘Ia benar-benar seorang Samaria Kristen yang secara harfiah menyerahkan
nyawanya untuk orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia.’
Di balik image yang ‘sempurna’ tersebut, bagaimana seorang Bob Pierce di mata
keluarganya? Kenyataannya, ia mengabaikan keluarganya sendiri, sebagai contoh ketika
seorang putrinya akan mencoba bunuh diri, ia menelepon ayahnya yang berada di Timur
Jauh dan memintanya untuk segera pulang. ‘Saya hanya ingin merasakan tangan ayah
memeluk saya’ kata anaknya. Bahkan isterinya juga memohon agar ia pulang. Bob Pierce
tidak menuruti permintaan keluarganya dan malah memesan tiket ke Vietnam. ‘Saya sudah
menduga ia tidak akan pulang’ kata anaknya. Beberapa tahun kemudian, ia benar-benar
berhasil bunuh diri. Hubungan Bob Pierce dan isteri serta anaknya yang lain sangat tegang.
Mereka tidak saling berbicara selama bertahun-tahun dan pada usia 64 tahun, masa terakhir
hidupnya, ia menjadi terasing dari keluarganya. Semua kisah ini ditulis oleh putrinya Marilee
Pierce Dunker dalam buku yang berjudul Man of Vision, Woman of Prayer.
Gagal menjadi bapa berarti Anda sebagai pemimpin senior akan mengalami
‘perkabungan’ pada akhir hidup Anda. Bob Pierce gagal mendengarkan dan memenuhi
kebutuhan yang diinginkan oleh anaknya secara jasmani. Ia hanya sukses memenuhi apa
yang ia mau, yaitu melayani orang lain. Ia gagal melayani keluarganya. Ia gagal melayani
anak-anaknya. Seorang bapak seharusnya membuka telinga lebar-lebar untuk setiap jeritan
anak-anaknya. Jika sukses menjadi pemimpin yang membapaki, akan ada kebahagiaan yang
tak bisa digantikan oleh apa pun pada akhir kehidupan Anda. Pilihan ada di tangan kita,
jangan pernah salah memilih. Sebenarnya apa saja yang harus disediakan seorang bapak
yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya?
1. Seorang bapak harus menyediakan keintiman (kehadiran – presence) dengan anak-
anak, karena posisi dan fungsi sang bapak tidak bisa digantikan atau diwakilkan oleh
apa pun dan siapa pun.
2. Seorang bapak harus menyiapkan waktu, bukan sisakan waktu bagi ana-anaknya,
karena waktu yang disiapkan menjadikan anak begitu dihargai oleh bapaknya.
Mengapa harus menyiapkan waktu? Karena jika tidak diagendakan, hal yang sering
terjadi adalah anak-anak hanya mendapatkan waktu sisa dari bapaknya. Anak-anak
yang dikasihi tidak hanya membutuhkan cinta (love) dari bapaknya, tetapi juga
waktu (time). Seorang bapa harus memberikan waktu yang berkualitas bagi anak-
anaknya karena banyak masalah muncul karena bapak-bapak absen di tengah-
tengah generasi ini.
3. Seorang bapak harus menyediakan disiplin bagi anak-anaknya, disiplin dalam otoritas
yang tegas, disiplin dalam mengajarkan atau menanamkan firman Tuhan, dan disiplin
dalam mementor anak-anaknya. Disiplin adalah bentuk kasih sayang yang kadang
belum bisa dipahami oleh anak-anak.
4. Seorang bapak harus menyediakan kasih tak bersyarat bagi anak-anaknya. Kasih
inilah yang membuat anak-anak bangga dengan bapaknya, kasih inilah yang
membuat anak memiliki paradigm yang benar tentang seorang bapak.
5. Seorang bapak harus menyediakan nilai-nilai bagi anak-anaknya. Tidak ada nilai yang
baik tanpa hubungan yang baik juga. Jika seorang bapak rindu investasi nilai yang
baik bagi anak-anaknya, seorang bapak perlu hadir dalam segala kondisi bagi anak-
anaknya.
6. Seorang bapak harus memberikan pujian (praise) bagi anak-anaknya, karena pujian
inilah yang akan memberikan lecutan semangat bagi anak-anaknya untuk
mengerjakan tugas-tugasnya. Pujian inilah yang menyadarkan keberatan mereka di
hadapan bapak.
7. Seorang bapak harus memberikan hadiah (present) bagi anak-anaknya. Hadiah ini
diberikan bukan karena kasih bersyarat, melainkan karena memang inilah satu
kewajiban yang harus bapak kerjakan untuk anak-anaknya.
8. Seorang bapak juga harus berani menunjukkan kebanggan (pride) atas anak-anaknya
baik secara pribadi maupun di hadapan umum. This is my beloved son, ini
merupakan kalimat yang membangkitkan dan menyadarkan identitas sang anak di
hadapan sang bapak dan orang lain.
Imam Eli telah gagal menjadi bapa yang baik bagi anak-anaknya secara jasmani (1 Sam.
2:11-25) dan pada anaknya secara rohani (1 Sam. 3:1-18). Hal ini berakibat sangat buruk
bagi dirinya, kepemimpinannya, bahkan bagi anak-anaknya (generasi di bawahnya). Eli tidak
peka dengan apa yang telah dan sedang dilakukan anak-anaknya berkaitan dengan korban
persembahan (1 Sam. 2:11-17). Eli memiliki toleransi yang tidak ilahi dalam hidupnya.
Sebagai bapak, Eli hanya memiliki kelembutan dan kasih yang tinggi tanpa diikuti dengan
disiplin dan ketegasan terhadap anak-anaknya. Akhirnya, Eli mengalami kematian yang tak
wajar sebagai imam (1 Sam. 4:18). Ia juga kehilangan generasi d bawahnya (anak-anaknya)
dengan cara yang sangat tragis (1 Sam. 4:11), bahkan tidak beberapa lama setelah
kematiannya, menantunya pun meninggal (1 Sam. 4:20). Semua penerus Eli meninggal,
karena Eli tidak pernah menjadi bapak yang baik bagi anak-anaknya.
“Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan
TUHAN” (1 Sam. 2:12).
Daud juga telah gagal menjadi bapak yang baik dalam kasus Amnon dan Tamar. Hal itu
mengakibatkan terjadinya kekacauan hubungan antara Daud dan anak-anaknya, dan antara
anak-anak yang lainnya – kekacauan dalam keluarga besar Daud dan dalam kerajaan Israel.
Waktu dilaporkan tentang kejahatan dan kebejatan Amnon, sang raja sangat marah, tetapi
Alkitab mencatat Daud sebagai bapak dan raja tidak berbuat apa-apa terhadap dosa atau
kesalahan anaknya tersebut (2 Sam. 13:21). Daud sebagai bapak hanya memiliki kelembutan
bukan ketegasan. Daud gagal mendengarkan apa yang disampaikan Absalom dalam kasus
Amnon dan Tamar. Seorang bapak seharusnya membuka telinganya untuk menerima
keluhan anak-anaknya. Daud tidak membuka telinganya dalam kasus ini. Padahal salah satu
kebutuhan utama seorang anak adalah sang bapak bisa mendengarkan apa yang sedang
disampaikan oleh anak. Kehadiran seorang bapak menjadi kebutuhan utama seorang anak,
bukan yang lain! Sebagai bapak, Daud telah menyepelekan masalah yang sedemikian besar
bagi keluarga kerajaan. Sebagai bapak dan raja, Daud tidak memiliki respons yang diinginkan
oleh Absalom dalam mencari keadilan. Akhirnya Absalom membenci Amnon yang telah
memerkosa adiknya (2 Sam. 13:22). Absalom selanjutnya membunuh Amnon dan
merencanakan pembunuhan terhadap Daud (mengkudeta ayahnya sendiri!) – 2 Samuel
13:20-22, 13:28, 15:12; Mazmur 3. Ini adalah peristiwa tragis dalam sebuah keluarga
kerajaan. Absalom mencari dan menegakkan keadilan secara pribadi karena ia tidak
menemukan itu dalam diri bapaknya.
“Demikianlah persepakatan gelap itu menjadi kuat, dan makin banyaklah rakyat yang
memihak Absalom.” (2 Sam. 15:12).
Kita dipanggil tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi pemimpin yang memiliki hati
bapa bagi semua generasi, teristimewa generasi di bawahnya. Menjadi bapak yang mau
membuka telinga untuk generasi di bawah kita. Kita harus menjadi bapa secara jasmani dan
juga bapa secara rohani. Ketika gagal menjadi pemimpin yang berhati bapa, nasib kita tidak
akan jauh berbeda dari Eli dan Daud. Eli kehilangan semua generasinya, sedangkan Daud
mendapatkan perlawanan dari generasi di bawahnya. Seharusnya sebagai pemimpin kita
meneladani seorang bapak dalam perumpamaan anak yang terhilang (Luk. 15:11-32).
Sebagai bapak, ia bekerja keras, supaya bisa meninggalkan warisan yang terbaik bagi
generasi di bawahnya. Bapa yang baik selalu meninggalkan legacy bagi generasi di
bawahnya. Akan tetapi, sebagai pemimpin kita juga harus selalu membuka hati untuk
‘menolongnya’ ketika generasi di bawahnya bersalah atau jatuh dalam dosa. Karena kita
tidak diberi hak untuk menghakimi.
Para pemimpin senior memiliki tanggung jawab untuk menerima kembali dan
memulihkan generasi di bawahnya yang telah jatuh, itulah salah satu tanggung jawabnya.
Seorang bapak harus membalut, memeluk, dan memberikan kepercayaan kembali. Dalam
perumpamaan itu, sang bapak memberikan jubah, cincin, dan kasut yang baru bagi anak
bungsunya. Ini berarti sang bapak mengembalikan kepercayaan dirinya, memberikan
otoritas, dan memberikan tanggung jawab yang baru kepada anaknya yang terhilang dan
kembali lagi itu. Itu adalah pemimpin yang berhati bapa. Satu lagi yang tidak kalah
pentingnya, sang bapak mengadakan sebuah pesta penyambutan yang luar biasa bagi si
bungsu. Artinya, ketika generasi di bawah kita kembali pada destiny dan jalannya Tuhan,
para senior harus berbahagia, para senior harus menyambutnya dengan sukacita, jangan
berlaku seperti si sulung yang melakukan hal sebaliknya. Si sulung menjadi marah (Luk.
15:28). Sebuah respons yang seharusnya tidak perlu ditunjukkan jika si sulung mengerti
posisinya.
Apa sebenarnya kriteria menjadi pemimpin yang memiliki hati bapa? Sebenarnya
banyak kriteria yang ada, tetapi mari kita fokuskan pada apa yang Alkitab tulis dalam Injil
Lukas 15. Pada nats tersebut kita melihat beberapa kriteria seorang bapak:

 Mengampuni
 Memberikan kesempatan kedua
 Menerima anaknya (jasmani maupun rohani) dalam keadaan apa pun atau tanpa
syarat
 Merestorasi (memulihkan keadaan)
 Memberikan identitas (jubah dan sandal)
 Memberikan otoritas (cincin)
Di bawah ini bagan perbandingan pemimpin yang memiliki hati bapa dan pemimpin
yang tidak memiliki hati bapa. Pemimpin yang sekedar menjadi atasan dan pemimpin yang
mengerti esensi sebuah kepemimpinan yang diteladani dari kebenaran firman Tuhan.

Hati Bapa Bukan Hati Bapa


Mengampuni Menghakimi
Memberi Meminta
Memberkati Mengutuk
Memberikan arahan dan petunjuk Memberikan perintah dan instruksi
Mengevaluasi Mengkritik
Membebaskan Mengontrol

Generasi yang tidak memiliki figure bapak dalam rumah dan dalam gereja, suatu saat
mereka akan mencari figure bapa di luar. Dan hal ini sangat membahayakan jika mereka
berjumpa dengan ‘bapa-bapa’ yang tidak mengerti dan tidak hidup dalam kebenaran.
Karena itu, sebagai bapa secara jasmani maupun rohani jadilah bapa bagi anak-anak Anda.
Ismael adalah contoh generasi yang tidak memiliki figure bapa. Apa yang akhirnya terjadi
atas Ismael? Ismael menjadi generasi yang liar, kasar, keras, dan kehidupannya tak ada
kedamaian. Ismael menjadi seorang piatu. Ia kehilangan apa yang seharusnya ia miliki.
Ketika usianya menginjak remaja, justru sebaliknya kasih bapa yang seharusnya ia nikmati
justru tak ia peroleh.
“Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu;
tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan
di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” (Kej. 16:12).
Seorang bapak harus meningkatkan hubungan yang berkualitas dengan anak-anaknya.
Dalam hubungan bapak dan anak sangat dibutuhkan komitmen, keterbukaan, dan tentunya
kerelaan hati untuk mau diajar dan membagi hidup. Ketika semua ini terjalin dengan baik,
hubungan akan semakin kuat dan kokoh. Tidak ada lagi roh piatu dalam gereja Tuhan.

B.2. Figur
Pemimpin harus menjadi figure atau model bagi juniornya atau orang-orang yang
dipimpinnya. Pemimpin adalah etalase atau suratan terbuka bagi generasi di atasnya,
generasinya sendiri, maupun generasi di bawahnya. Ketika pemimpin gagal menjadi teladan,
ia sedang membuka cela bagi kepemimpinannya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Warisan terbaik seorang pemimpin adalah bagaimana pemimpin bisa menjadi model atau
teladan bagi yang dipimpinnya. Warisan ini tidak bisa ditukar dengan apa pun. Ini adalah
warisan yang tak lekang waktu bagi para suksesor.
Ada pepatah mengatakan, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ like father like son –
yang berarti anak-anak adalah cerminan orangtuanya (bapaknya). Jika hendak tahu siapa
bapaknya, lihat saja anak-anaknya. Sama dengan kepemimpinan, jika hendak tahu siapa
pemimpinnya, lihat saja orang-orang yang dipimpinnya (generasi di bawahnya). Karakter
seorang anak tidak akan jauh berbeda dengan bapaknya.
Seorang pemimpin atau bapa harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya karena
apa yang dilakukan oleh bapa, itu pula yang akan dilakukan oleh anak-anaknya. Anak-anak
punya sifat untuk meniru (copy) apa yang pemimpin atau bapak lakukan. Mengapa harus
teladan? Karena teladan atau tindakan kita lebih banyak berbicara daripada hal-hal yang kita
ucapkan (action speaks louder than words).
Pemimpin senior atau bapa harus menjadi teladan dalam hal rendah hati seperti
Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya (Yoh. 13:14-15). Hal yang sama juga dilakukan rasul
Paulus pada jemaat di Korintus (1 Kor. 4:6). Pemimpin yang rendah hati adalah pemimpin
yang akan mendapatkan promosi.
“Aku memberikan teladan ini kepada kalian, supaya kalian juga melakukan apa yang
sudah kulakukan kepadamu.” (Yoh. 13:15 / BIS).
Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos,
karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan: “Jangan
melampaui yang ada tertulis,” supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri
dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain (1 Kor. 4:6).
Ketika pemimpin gagal menjadi contoh atau teladan, sebenarnya mereka sedang
mengurangi kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin harus menjadi bapa
yang senantiasa bisa diteladani. Teladan apa saja yang harus dilakukan oleh para pemimpin?
Teladan dalam berbuat baik (Tit. 2:7), teladan dalam kesabaran dan penderitaan (Yak. 5:10),
teladan dalam kekudusan dan rendah hati (1 Ptr. 2:21), dan teladan dalam seluruh
kehidupan (1 Tim. 4:12). Sebuah teladan berbicara lebih keras daripada perkataan yang kita
ucapkan. Teladan lebih powerful daripada khotbah-khotbah kita. Menjadi teladan berarti
menjadi berkat bagi semua generasi. Teladan adalah pintu masuk pengaruh yang tidak bisa
dibendung oleh apa pun juga. Tanpa teladan, khotbah sebagus apa pun tak memiliki
kekuatan yang besar. Teladan adalah perkataan dan perbuatan yang berjalan seirama.
Teladan adalah kekuatan yang mampu membuat orang lain tertarik dengan kita. Teladan
adalah berani hidup benar ketika orang lain berbuat salah. Teladan adalah berani hidup di
atas rata-rata seperti Nuh (Kej. 6:9). ‘Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan
tidak bercela di antara orang-orang sezamannya (perfect he hath been among his generation
/ YLT). Teladan adalah tetap bercahaya ketika cahaya orang lain mulai redup. Teladan adalah
warisan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dengan teladan, orang-orang dapat
dimenangkan.

B.3. Friend
Friend berasal dari akar kata freedom yang memiliki arti bebas, tidak ada tuntutan,
bersifat memberi, leluasa, dan percaya. Sahabat adalah harta paling berharga dalam
kehidupan ini. Salah satu ciri seorang sahabat atau teman adalah adanya keterbukaan (tidak
ada rahasia), dan hal ini sudah dibuktikan dari persahabatan antara Yonathan dan Daud.
Dua orang muda ini hubungan persahabatannya begitu luar biasa (1 Sam. 18:1). Yonatan
juga mengikatkan perjanjian dengan Daud. Ada 3 macam janji dalam bahasa Inggris:
Promise, commitment, dan covenant. Promise dan commitment bisa batal dan dibatalkan
dengan sebuah alasan tetapi tidak dengan covenant. Covenant adalah sumpah! Dengan
alasan apa pun, hal ini tidak bisa dibatalkan. Perjanjian ini adalah perjanjian yang tertinggi.
“Then Jonathan and David made a covenant, because he loved him as his own soul.” (1
Sam. 18:3 / KJV).
“Jika aku masih hidup, bukankah engkau akan menunjukkan kepadaku kasih setia
TUHAN? Tetapi jika aku sudah mati, janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap
keturunanku sampai selamanya. Dan apabila TUHAN melenyapkan setiap orang dari musuh
Daud, melainkan kiranya TUHAN menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud dari muka
bumi, janganlah nama Yonatan terhapus dari keturunan Daud, melainkan kiranya TUHAN
menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud.” (1 Sam. 20:14-16).
Daud tetap memperhatikan dan menepati perjanjian (covenant) persahabatan mereka
untuk ‘mengangkat’ Mefiboset (putra Yonatan yang timpang kakinya) untuk makan
sehidangan dengan Daud, mendapatkan kekayaan, bisa tinggal di Yerusalem, serta
mendapatkan kasih Allah melalui diri Daud, karena adanya covenant dari persahabatan
mereka (2 Sam. 9:1-13).
“Berkatalah Daud: “Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku
akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan.” (2 Sam. 9:1).
“Demikianlah Mefiboset diam di Yerusalem, sebab ia tetap makan sehidangan dengan
raja. Adapun kedua kakinya timpang.” (2 Sam. 9:13).
Tuhan Yesus ketika di muka bumi ini bukan hanya berperan sebagai guru bagi murid-
murid-Nya, tetapi Dia juga berperan sebagai sahabat bagi mereka.
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat
oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan
kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh. 15:15).
Kita harus belajar menjadi sahabat dengan mempelajari persahabatan yang Yesus
lakukan. Yesus menjalankan hidup dengan loyal, dapat dipercaya, jujur dan setia. Seorang
sahabat bukan hanya ada keterbukaan, melainkan ada saling di dalamnya: saling mengerti,
saling mengasihi, saling memberi, saling memahami, saling mendukung, dan saling
menopang. Dalam keadaan dukalah, persahabatan teruji kualitasnya
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam
kesesakan.” (Ams. 17:17).
Bahkan Alkitab menunjukkan kita bahwa seorang sahabat bisa lebih karib dari seorang
saudara (Ams. 18:24). “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat
yang lebih karib dari pada seorang saudara.” Allah juga pernah membuat pernyataan yang
luar biasa tentang Abraham. Abraham bukan saja bapa orang percaya atau orang beriman
(Rm. 4:11-12), tetapi di hadapan Tuhan Abraham juga disebut sebagai sahabat-Nya (Yak.
2:23), “Karena itu Abraham disebut: Sahabat Allah.” Dalam persahabatan, hal terpenting
adalah keterbukaan dan kepercayaan. Jika kedua hal ini ada, persahabatan itu akan menjadi
kuat bahkan tak menutup kemungkinan menjadi abadi.
Berikut ini adalah ukuran-ukuran persahabatan yang terambil dalam Injil Yohanes 15:13-14:
1. Adanya pengorbanan
“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (ay. 13).
2. Adanya kesetiaan dan keteladanan
“Kamu adalah sababat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan
kepadamu.” (ay. 14).
3. Adanya keterbukaan
“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat
oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah
memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.”
(ay. 15).
Mark Vickor Hansen adalah pencipta seri buku Chicken Soup. Waktu penghasilannya
mencapai 1 juta dollar, ia bertemu dengan Anthony Robbins dan bertanya, “Penghasilan
Anda demikian besar, bagaimana saya bisa mencapainya juga?” Anthony bertanya,
“Siapakah kelompok pemikir utama Anda?” Ia menjawab “Kelompok Jutawan.” Anthony
Robbins berkata, “Di situ Anda keliru, Anda harus bergaul dengan kelompok miliarder, pasti
mereka akan membuat Anda berpikir pada tingkatan mereka.” Kini Hansen hampir
mencapai angka penghasilan 1 miliar dolar.
Menurut penelitian, suatu hal negatif punya pengaruh lebih kuat 9 kali lipat
dibandingkan sesuatu hal yang positif. Dunia ini juga lebih banyak orang yang negatif
daripada orang yang positif. Seorang sahabat, teman, atau komunitas tertentu bisa
memengaruhi kita baik atau buruk. Hal ini diteguhkan juga oleh penelitian yang dilakukan
oleh Dr. David dari Universitas Harvard, yang menyimpulkan setelah 25 tahun hidup teman-
teman Anda memiliki pengaruh terhadap hidup atau kesuksesan Anda.
Apa yang harus dipetik oleh kisah para pemimpin di atas? Ya, seharusnya para
pemimpin senior bisa membangun hubungan dengan juniornya dengan pola persahabatan.
Kita bisa menjadi teman curhat yang baik, tanpa mengurangi kewibawaannya. Jika
pemimpin senior bisa menjadi sahabat, akan ada kenyamanan yang diperoleh para
juniornya. Junior tidak canggung, tidak takut, tidak minder ketika berjumpa dengan para
senior. Pemimpin yang bisa menjadi sahabat adalah pemimpin yang akan mempermudah
dan memperingan semua tanggung jawab yang diembannnya.
Disadari atau tidak, spirit of friendship sudah mulai pudar bahkan berangsur-angsur
hilang dari para pemimpin. Sadar atau tidak sadar , sebagai pemimpin kita sering berperan
hanya sebagai orang yang selalu di atas tanpa menganggap yang dipimpinnya (generasi di
bawahnya) adalah rekan atau sahabat kerja yang penting dalam hidupnya. Mulai sekarang
jadilah sahabat bagi generasi di bawah Anda. Buatlah generasi di bawah Anda nyaman
dengan Anda. Dengan sendirinya, ketika mereka ada sesuatu yang hendak disampaikan,
generasi di bawah Anda akan dengan aman dan sukacita datang pada pemimpin yang bisa
menjadi sahabatnya.

B.4. Fasilitator memiliki arti seorang yang menyediakan sesuatu, penyedia atau
penghubung.
Sebagai seseorang yang hidup lebih dahulu seharusnya menjadi fasilitator yang baik.
Sebagai pemimpin senior seharusnya menjadi penghubung dan penyedia, bukan
menghalangi generasi di bawahnya. Jika kita melihat Alkitab, sebenarnya ada pemimpin-
pemimpin yang luar biasa yang telah berperan sebagai fasilitator dalam kepemimpinan
mereka. Pelayanan kita seharusnya menjadi jembatan antara generasi pendahulu dan
generasi sekarang. Berfungsi sebagai diplomat rohani antar generasi.
Yohanes Pembaptis menjadi fasilitator bagi Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis
membuka jalan bagi pelayanan Tuhan Yesus. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi
Yesaya (40:3). Mereka segera mengerti apa maksud Yohanes, ketika dikatakannya, bahwa
Yesaya dulu berkata, ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: “Persiapkanlah
jalan untuk Tuhan!” Teranglah bahwa Yohanes Pembaptis itu seorang yang mempersiapkan
jalan bagi Tuhan. Jadi, Tuhan akan datang dan Yohanes Pembaptis disuruh ntuk
mempersiapkan jalan tersebut.
“Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: “Lihatlah, aku menyuruh utusan-Ku
mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan bagi-Mu.” (Mrk. 1:2).
Daud menjadi fasilitator bagi Salomo. Daud menyediakan barang-barang untuk
pembangunan Bait Suci (1 Taw. 22:2-19). Daud menjadi pemimpin senior yang tidak berpikir
tentang dirinya saja. Ia memikirkan tentang generasi di bawahnya. Mempersiapkan yang
dibutuhkan oleh generasi di bawah adalah panggilan dan kewajiban seorang pemimpin.
Bapa yang baik selalu meninggalkan warisan yang terbaik bagi anak cucunya. Kebanggaan
seorang anak adalah mendapatkan warisan bapaknya. Ketika seorang bapak meninggalkan
warisan, anak-anak akan senantiasa bergairah dan selalu mengingat kehebatan bapaknya.
“Karena pikir Daud: “Salomo anakku masih muda dan kurang berpengalaman, dan
rumah yang harus didirikannya bagi TUHAN haruslah luar biasa besarnya sehingga menjadi
kenamaan dan termashyur di segala negeri; sebab itu baiklah aku mengadakan persediaan
baginya!” Lalu Daud membuat sangat banyak persediaan sebelum ia mati. (1 Taw. 22:5).
Rasul Paulus juga dalam satu kesempatan pernah menjadi fasilitator bagi Onesimus
berkenaan dengan kasusnya terhadap Filemon. Sebagai penghubung, Rasul Paulus
menjamin keberadaan Onesimus dan supaya Filemon bisa menerima ia kembali di
rumahnya.
“Aku Paulus, menjamin dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya –
agar jangan kukatakan: “Tangungkanlah semuanya itu kepadamu!” Karena engkau
berhutang padaku, yaitu dirimu sendiri.” (Flm. 1:19).
Andreas juga pernah menjadi fasilitator ketika menghubungkan seorang anak kecil
pada Tuhan Yesus dalam peristiwa mukjizat 5.000 orang makan sampai kenyang (Yoh. 6:1-
15). Andreas menjadi penghubung sekalipun dalam perjalanannya ada keraguan dalam
dirinya. Apakah orang sebanyak itu bisa diberi makan hanya dari makanan seorang anak
kecil (5 roti dan 2 ikan)?
“Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-
Nya: “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, tetapi apakah
artinya itu untuk orang sebanyak ini?” (Yoh. 6:8-9).
Sebenarnya masih banyak contoh dalam Alkitab berkaitan dengan para fasilitator,
seseorang yang berperan sebagai penghubung atau penyedia. Bahkan saya menyebutnya
dengan istilah ‘peran orang kedua’. Fasilitator yang keberadaannya tidak terlalu dikenal,
mereka bukan pemimpin, namun melalui keberadaan merekalah terjadi hal-hal yang luar
biasa. Mereka bukanlah tokoh utama, tetapi bisa melakukan hal-hal yang bahkan tokoh
utama pun belum pernah melakukannya. Bahkan melalui peran mereka, tokoh-tokoh utama
mendapatkan sesuatu yang sangat besar. Melalui mereka tokoh-tokoh utama dibantu
keberadaannya.
 Rahab, perempuan sundal yang menyembunyikan 2 pengintai yang diutus oleh
Yosua untuk mengintai kota Yerikho (Yos. 2:1-24; 6:25).
 Anak perempuan dari negeri Israel dan para pegawai, yang menyarankan Naaman
panglima Aram untuk menaati hal yang nabi Elisa perintahkan (2 Raj. 5:1-27).
Mereka tidak disebutkan namanya dalam Alkitab, tetapi mereka memiliki peran
dalam kesembuhan Naaman. Dua pihak ini juga tidak disebut identitasnya.
 Janda di Sarfat, wanita yang memberi makan pada nabi Elia dari makanan terakhir
yang dimilikinya (hanya memiliki segenggam roti dan sedikit minyak dalam buli-buli).
Wanita ini juga tidak disebutkan namanya, hanya disebut tempat ia tinggal, Sarfat (1
Raj. 17:7-16).
 Seorang anak kecil, dalam mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus ketika memberi
makan 5.000 orang. Ia menjadi fasilitator sekalipun yang ia miliki tak pernah bisa
menjawab kebutuhan. Ia hanya memiliki 5 roti jelai dan 2 ikan (Yoh. 6:1-4). Nama
anak ini juga tidak pernah disebutkan, tetapi ia punya peran yang besar dalam
mukjizat yang Tuhan Yesus lakukan.
Pemimpin yang bijaksana mampu dan mau menjadi penghubung, menjadi diplomat,
menyediakan persediaan bagi generasi di bawahnya (orang-orang yang dipimpinnya) bukan
hanya soal materi belaka, tetapi banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan seorang
pemimpin. Memberikan waktunya, dirinya, telinganya, nasihatnya bahkan materinya untuk
generasi di bawahnya. Itulah pelayanan yang sesungguhnya. Bukan berbicara soal-soal
rohani saja, kadang-kadang sering materi juga harus dikeluarkan untuk orang-orang yang
kita pimpin. Jangan hanya membuka hati bagi generasi, tetapi sebagai pemimpin kita juga
harus membuka dompet kita. Investasi sesuatu untuk generasi di bawah adalah hal yang
pantas dan seharusnya menjadi tanggung jawab pemimpin senior. Jangan pelit untuk
berinvestasi bagi generasi.

Anda mungkin juga menyukai