Anda di halaman 1dari 29

Jakarta, 22 April 2023

PERIHAL : Kesimpulan dalam perkara Nomor : 168/G/2023/PTUN.JKT

Didalam perkara antara :

Yang tersebut di bawah ini adalah :


Muhamad Fuad Asrori, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan
Wiraswasta, Tempat Tinggal Jalan Suryo Nomor 31, Blok S, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan dalam hal ini diwakli selaku Kuasa Hukum:
1. Heri Ramadhan, S.H.,
M.H-----------------------------------------------------------
Berkewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Advokat yang dapat
bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama dari Kantor Hukum
PRAMATARAM RBS & REKAN, alamat Mutiara Taman Palem, Blok
D I/66, Lt. II - Jalan Kamal Raya Outerring Road, Cengkareng - Jakarta
Barat 11730,, yang selanjutnya disebut sebagai

------------------------------------ TERGUGAT -------------------------------------------

MELAWAN
Nama : Stefie Anawula Momahe Rahmat, S.E
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Direktur Hijrah Group
Alamat : Jalan Jalan Gunung Sahari IV, Nomor 1, Gunung
Sahari Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat
Dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya:
Dhelyanti Dwi Irawan, S.H., M.H. Pekerjaan Advokat/Pengacara
berkewarganegaraan Indonesia, Aulia Maulani, S.H. ,M.H. Pekerjaan
Advokat/Pengacara berkewarganegaraan Indonesia, Kantor Hukum
Hendra Soenardi, yang beralamat di Menara Pertiwi Lantai 38, Jalan
Mega Kuningan Barat III Nomor 3, Jakarta 12950 Berdasarkan Surat
Kuasa Khusus, tertanggal 21 Februari 2023 bertindak untuk dan atas
nama PT. Indorealty Tata Persada yang selanjutnya disebut sebagai :
……………………………… PENGGUGAT
..

Dengan hormat,
Sehubungan dengan telah selesainya diajukan gugatan, jawaban
tergugat, replik, duplik bukti-bukti dari penggugat dan tergugat, serta
telah didengarkannya keterangan saksi dari penggugat dan tergugat
dalam perkara Tata Usaha Negara dalam nomor perkara : Nomor
168/G/2023/PTUN.JKT, maka perkenankanlah saya sebagai kuasa
hukum TERGUGAT bertindak untuk dan atas nama TERGUGAT II
INTERVENSI mengajukan kesimpulan sebagai berikut :
A. DALAM POKOK PERKARA

1. Bahwa, Gugatan a quo, mengenai:


- Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional, Nomor
7/Pbt/KEM-ATR/BPN/XII/2022, tentang Pembatalan Sertipikat
Hak Guna Bangunan, Nomor 5283/Kelapa Gading Barat, atas
Nama PT Indorealty Tata Persada, Luas 85.000 M2, terletak di
Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading,
Kota Administrasi Jakarta Utara, sebagai Pelaksanaan
Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap/BHT,
tertanggal 20 Desember 2022;
2. Bahwa, Tergugat II Intervensi/Muhamad Fuad Asrori menolak tegas
seluruh dalil dalil Gugatan a quo, kecuali terhadap hal hal
yang dengan tegas diakui kebenarannya;
3. Bahwa, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta TIDAK
BERWENANG memeriksa dan mengadili perkara a quo, sebab
obyek sengketa, tidak dapat digolongkan dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara, melainkan tindakan faktual
pengecualian Beschikking, sebagai konskwensi hukum terhadap
hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasar ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, sebagai konskwensi hukum
atas amar Putusan Pengadilan Perdata Berkekuatan Hukum
Tetap/BHT, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
1. FAKTA-FAKTA DALAM PERSIDANGAN
1. Bukti-Bukti Surat
Bahwa, Tergugat II Intervensi telah mengajukan alat
bukti berupa fotokopi surat-surat yang telah diberi meterai cukup
serta telah dicocokkan dengan pembandingnya, masing-masing
diberi tanda T II Intv – 1 sampai dengan T II Intv – 12, sebagai
berikut:
1) Bukti T II Intv – 1 : Keputusan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7/Pbt/KEM-
ATR/BPN/XII/2022 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Guna
Bangunan Nomor 5283/Kelapa Gading Barat, Atas Nama PT
Indorealty Tata Persada, Luas 85.000 M2, terletak di Kelurahan
Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Kota
Administrasi Jakarta Utara, sebagai Pelaksanaan Putusan
Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap, tanggal Desember
2022, (totokopi sesuai dengan aslinya);
2) Bukti T II Intv – 2 : Berita Acara Eksekusi Pengosongan
No.24/Eks/2018/PN.Jkt.Utr Jo. No.79/Pdt.G/2011/PN.Jkt.U Jo. No.
314/PDT/2012/PT.DKI Jo.
No.1450K/Pdt/2013Jo.No.310PK/Pdt/2016 Jo No.747
PK/Pdt/2017 tanggal 11 Maret 2020, (fotokopi sesuai dengan
aslinya);
3) Bukti T II Intv – 3 : Surat Keterangan Nomor
S.Tap/3526/XII/2019/ Ditreskrimum Tentang Penghentian
Penyidikan yang dikeluarkan oleh Dirreskrimum Polda Metro
Jaya selaku Penyidik, (fotokopi dari fotokopi);
4) Bukti T II Intv – 4 : Surat Dirreskrimum Polda Metro Jaya A.n
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Nomor: B/24490/
XII/RES.1.9/2019/Ditreskrimum tanggal 31 Desember 2019 yang
ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Perihal:
Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, (fotokopi dari
fotokopi);
5) Bukti T II Intv – 5 : Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Nomor: PRINT-173/M.1.10/Ep.2/02/2021 tanggal 11 Februari
2021 yang dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat, (fotokopi sesuai dengan aslinya);
6) Bukti T II Intv – 6 : Surat Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor: W10.UI/80/HN.01.I.2022.03,Esr, tanggal 26
Januari 2022, yang ditujukan kepada Muhamad Fuad Asrori
Bin H. Asrori Alias Muhamad Fuad, Perihal: Permohonan Status
Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht Van Gewijsde), (fotokopi
sesuai dengan aslinya);
7) Bukti T II Intv – 7 : Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Nomor 27/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel, tanggal 15 April 2020,
(fotokopi sesuai dengan aslinya);
8) Bukti T II Intv – 8 : Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Nomor 04/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Pst, tanggal 20 April 2021,
(fotokopi dari fotokopi);
9) Bukti T II Intv – 9 : Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Nomor 06/Pid.Pra/2020/PN. Jkt.Pst, tanggal 8 Juni 2021, (fotokopi
sesuai dengan aslinya);
10) Bukti T II Intv – 10 : Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor
5283/Kelapa Gading Barat, atas nama PT Indorealty
Tata Persada, Luas 85.000 M2, terletak di Kelurahan
Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta
Utara, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (fotokopi dari
fotokopi);
11) Bukti T II Intv – 11 : Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Nomor 4790 K/Pdt/2022, tanggal 30 Desember 2022,
(fotokopi sesuai dengan aslinya);
12) Bukti T II-Intv–12 : Putusan Peninjauan Kembali ke-II
Mahkamah Agung Nomor: 747 PK/Pdt/2017 tanggal 13
Desember 2017, (fotokopi sesuai dengan salinan asli);
Bahwa Tergugat II Intervensi selain mengajukan bukti surat juga
telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi Ahli yang telah memberikan
keterangan di bawah sumpah/janji menurut Agama dan
kepercayaannya sebagai berikut:
2. Bukti-Bukti Saksi Ahli
1) AHLI I TERGUGAT II INTERVENSI: Nama Nama Muhammad
Nurfatra Dinarto, S.H., S.E., M.M., Sp.N., MRE., M.Hum., M.Kn.,
tempat tanggal lahir Hulu Siau, 22 Agustus 1963, Jenis Kelamin
Laki-Laki, Alamat Perum Citra Garden 2 Blok L-3/12, RT/RW.
004/012, Kelurahan/Desa Pegadungan, Kecamatan Kali Deres,
Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, Agama Kristen, Pekerjaan
Notaris/PPAT dan Dosen di Tarumanegara, Kewarganegaraan
Warga Negara Indonesia dan memberikan pendapat sebagai
berikut:
- Bahwa apabila dalam suatu sertipikat itu ada suatu catatan yang
berbunyi bidang tanah ini objeknya berperkara di Pengadilan,
yang kedua subjek hukum nama yang tertera di dalam
Sertipikat tersebut menyatakan tidak akan melakukan kegiatan
dan melakukan perbuatan hukum apapun di atas tanah yang
diterbitkan Setipikat, kemudian yang ketiga subjek hukum
sertipikat menyatakan menerima suatu apapun akibat hukum
yang timbul apabila selaku pihak yang kalah. Jadi dalam
penerbitan suatu Sertipikat yang kita kenal sekarang ini
dengan PTSL, sporadik, sistematis dan seterusnya itu
apapun namanya metode penerbitannya Sertipikat itu masuk
melalui jalan panjang sekian macam tergantung asal
mulanya tanah itu dari apa misalnya dari hak atas tanah yang
bukan berasal dari Undang-Undang Pokok Agraria dan
seterusnya, maka mereka akan menempuh beberapa tahapan
tahapan jika sertipikat itu sampai diterbitkan. Bawah
kemudian Sertipikat itu ada catatan-catatan tersendiri misalnya
catatan yang biasa dan masih sering dibagian bawah lembar
sebelah kiri bagian bawah diikuti dengan kolom petunjuk
kadang ada kalimat, tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan
dari instansi yang berwenang terkadang ada catatan-catatan
begitu, itu ada pertimbangan- pertimbangan tertentu dari BPN,
misalnya tanah itu dilokasi tersebut peruntukannya seperti apa
dan seterusnya yang diharapkan supaya tidak terjadi
pelanggaran terhadap peruntukannya terutama disitu, itu salah
satu contoh petunjuk yang ada di Sertipikat lembar sebelah
kiri di bagian bawah. Kalau yang sudah sering dilihat bahwa
kemudian ada petunjuk- petunjuk yang lain lagi itu
mungkin saja terjadi dan petunjuk itu sebenarnya bukan
mengakibatkan Sertipikatnya menjadi batal tetapi petunjuk itu
adalah yang dipakai oleh BPN kalau dalam hal ada
permintaan atau permohonan pengalihan kalau bahasa
kerennya mau balik nama, tetapi di BPN disebutnya
pengalihan hak, pengalihan hak apakah jual beli, apakah hibah
dan lain-lain disitu petunjuk-petunjuk itulah yang akan menjadi
pedoman bagi BPN. Bagaimana petunjuk itu kita bisa lihat di
Sertipikat itu Ahli jelaskan Sertipikat itu yang biasa beredar di
masyarakat yang kita sering pegang itu terdiri dari dua
komponen yang satu disebut dengan Surat Ukur dan yang satu
lagi disebut dengan buku tanah. Surat ukur maupun buku
tanah itu mereka mempunyai asli katakanlah aslinya
disimpan di BPN tetapi setiap kali Sertipikat yang kita pegang
itu kemudian akan dilakukan peralihan dan seterusnya, maka
kita sering dengar harus dilakukan pengecekan di BPN,
pengecekan di BPN itu nanti akan ada bukti pengecekannya
yang zaman dulu pakai stempel, ada tulis tangan, ada
validasinya sekarang pengecekan bisa menggunakan el
(elektronik) itu di dalam Sertipikat elekronik itu hasil
pengecekannya akan muncul seperti apa yang ditanyakan
oleh pihak Tergugat II Intervensi seperti kalimat-kalimat tadi ada
Sita atau ada apa semua akan muncul di situ bahkan
kalaupun Sertipikat itu dijadikan jaminan maka pemegang hak
tanggungannya pun muncul namanya disitu disamping
pemegang haknya. Jadi misalnya pemegangnya si a itu
pemegang hak tanggungan Bank b misalnya itu semu akan
muncul disitu kalaupun ada semacam blokir, blokir dari
Pengadilan dari instansi tertentu maka disitu akan tampak
sehingga BPN tidak akan melakukan proses lanjutannya.
Contoh miasalnya Ahli selaku PPAT juga tidak boleh
melakukan peralihan hak dalam hal ada catatan-catatan seperti
itu yang nampak dilembar pengecekan. Kalau zaman dulu
waktu pengecekan masih manual hanya stempel, sudah dicek
tanggal sekian, jam sekian, kalau sekarang ada notifikasinya,
ada keterangan-keterangan yang membuat kita lebih paham
Sertipikat itu sekarang statusnya seperti apa, tetapi catatan
yang seperti Tergugat II sebutkan itu tidak membuat
Sertipikat itu sendiri batal karena proses untuk batal
ada tahapan tersendiri lagi;
- Bahwa apabila Putusan Hakim menyatakan: pertama Sertipikat
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, yang kedua menang
adalah yang ada objek di dalam sertipikat tersebut yang ketiga
Putusan tersebut bersifat condemnatoir penghukuman, yang
keempat Putusan Hakim yang BHT (Berkekuatan Hukum
Tetap) tersebut bersifat condemnatoir kemudian Pengadilan
melakukan eksekusi dengan menyerahkan secara yuridis
maupun secara fisik kepada pemenang. Jadi ada beberapa
ketentuan yang mengenai saksi bacakan dari Perka BPN
Nomor 3 Tahun 2011 itu tentang perbuatan hukum
pertanahan berupa penerbitan Pasal 56 peralihan dan atau
pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan Putusan
Pengadilan dilaksanakan dengan keputusan yang
berwenang proses pengolahan dalam rangka penerbitan
surat keputusan sebagaimana tersebut dilaksanakan setelah
diterimanya Putusan Pengadilan oleh BPN RI berupa:
a. salinan resmi putusan pengadilan yang dilegalisir pejabat
berwenang;
b. urat keterangan dari pejabat berwenang di lingkungan
pengadilan yang menerangkan bahwa putusan
dimaksud telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde); dan;
c. Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi untuk putusan perkara
yang memerlukan pelaksanaan eksekusi.
Jadi pertanyaan yang disampaikan semuanya sudah
memenuhi tinggal satu lagi yang harus dilakukan pembatalan
di BPN dengan dasar surat- surat tadi, maka garis besar saya
sampaikan surat-suratnya antara lain dari Pengadilannya
sendiri. Kemudian pelaksanaan eksekusi akhirnya dengan dasar
surat-surat itu semua kemudian baru dari BPN melakukan
pencatatan tetapi itu pun juga dengan jangka waktu 2 tahun
dan ada sedikit rambu-rambu lagi. Produk hukum untuk
pembatalan itu sendiri yaitu Sertipikat sendiri dilakukan oleh
pejabat yang berwenang dalam hal ini di BPN itu kalau
memang ada cacat administrasi atau cacat yuridis di dalam
penerbitannya misalnya menggunakan data-data yang tidak
sesuai atau misalnya suatu Sertipikat ganda dan seterusnya atau
sertiplikat itu diperoleh dengan alas hak yang sebenarnya
asetnya sudah dialihkan dan seterusnya terjadi kesalahan di
sana atau cacat administrasi misalnya kepada personnya atau
salah orang. Siapa yang mempunyai, orang lain yang
mengajukan permohonan dan juga pelaksanaan Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum, jadi ini
baru pembatalan bisa dilakukan secara garis besarnya seperti
itu yang disampaikan betul semua, tapi masih ditambah satu
yaitu ada proses pembatalan di BPN sendiri terhadap Sertipikat
yang notabene merupakan produk dari BPN;
- Bahwa semua beban pembuktian untuk menyatakan bahwa
Sertipikat itu tidak mempunyai kekuatan hukum itu ada di
Pengadilan, pembuktiannya di Pengadilan dan disitulah nanti
Hakim yang akan menilai berdasarkan bukti-bukti yang ada
apakah Sertipikatnya itu masih kekuatan hukum atau tidak,
kalau memang sudah keputusannya seperti itu,
memang seharusnya dijalankan tetapi kalau tidak
dijalankan kapan habisnya perkara terus terulang, terulang,
dan terulang, tapi kalau sudah kekuatan Putusan Pengadilan
yang notabene sudah melihat dari bukti-bukti, pemeriksa,
mendengarkan dan seterusnya itu seharusnya dimasukkan.
Memang dalam prakteknya dalam hukum administrasi
sampai saat ini untuk masalah Sertipikat Ahli perlu tambahkan
karena kondisinya dengan adanya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, maka terjadi pergeseran dalam
publikasinya dulu sisi publikasinya sistem negatif yang kemudian
sekarang ada sisi negatif yang mengandung atau yang positif
istilahnya mengandung dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 kata-katanya mengandung
dengan sistem itu maka ada batasan 5 tahun untuk melakukan
suatu keberatan, disisi lain di negara- negara yang lebih maju
mereka sudah mengarah pada sistem yang positif dimana
negara aktif untuk bahasa sederhananya melakukan proses
Sertipikat Tanah. Dalam hal terjadi kesalahan dalam penerbitan
Sertipikat dalam kasus seperti itu, maka di belahan bumi
negara lebih maju seperti di Swis, Austria dan seterusnya
mereka itu bahkan di Singapura dan dibeberapa negara yang
lain, negara akan mengganti kerugian kalau memang terjadi
kesalahan tetapi untuk mengganti kerugian itu negara
membebankan biaya atau disebut asuransi jadi yang
mengganti siapa nanti asuransinya. Kalau di Indonesia
situasinya agak berbeda, bagaimana mau dibebankan
kepada asuransi karena yang sekarang dikejar adalah
penerbitan Sertipikat dengan biaya semurah mungkin,
secepat mungkin dan seterusnya. Jadi kalau memang sisi
positif itu mau dijalankan di Indonesia publikasi positif maka
biayanya akan pasti akan ada multivikasi dan biaya akan
dialihkan tanggungjawabnya keasuransi itu. Yang menjadi
kendala di negara kita karena itu sistemnya negatif yang
bertendensi atau yang mengandung nilai positif itu yang sistem
publikasi untuk pendaftaran tanah, jadi pendaftaran tanah yang
terjadi sekarang ini dilakukan oleh Pemerintah dan seterusnya
yang secara pasti dan sedikit banyak pasti ada kemungkinan
terjadi kecerobohan atau kesalahan baik dari data yang
dimaskukan atau dalam pelaksanaan dilapangan;
- Bahwa apabila Putusan tersebut tidak bersifat
condemnatoir menghukuman, namun bersifat pengumaman atau
diumumkan tetapi tidak ada perintah untuk menghukum yang
kalah untuk menyerahkan. Disatu sisi ada Putusan yang sudah
BHT yang sudah penghukuman yang sudah eksekusi kemudian
yang terjadi tindakan a quo akhirnya disatu sisi itu
menyatakan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum artinya
disatu sisi menyatakan itu sudah berakibat hukum untuk
dikeluarkan sertipikat, tetapi dilain sisi masih mengaku
pemiliknya. Ketika ada hal semacam ini alat ukurnya apakah
benar ini sudah tidak mempunyai kekuatan hukum dengan
alat ukur Putusan Peradilan tidak boleh serta merta
menyatakan ini masih milik seseorang. Dari pernyataan tersebut
di atas, sebenarya kita harus berpatokan dengan Putusan
Pengadilan, tetapi kalau Putusan Pengadilannya bukan
bersifat menghukum maka pasti dari pihak Pengadilan ada
pertimbangan-pertimbangan tertentu, mengapa mengeluarkan
Putusan semacam itu. Mengutip pendapat dari para ahli
hukum dikatakan bahwa fungsi hukum itu ada 3 (tiga) macam
ada yang kepastian hukum, ada yang keadilan ada yang
kemanfaatan, kalau mau yang kepastian hukum itu yang
dikerjakan diawal tapi terkadang sesuatu yang pasti belum
tentu adil. Contoh ada satu Putusan Pengadilan, seseorang
yang telah membeli satu aset kemudian karena kekurang
pahaman dan seterusnya dia tidak membuat Akta Jual Beli
dia hanya berdasarkan sepotong kuitansi, apa artinya sepotong
kuitansi kemudian dibawa ke BPN, BPN tidak mau
melanjutkan dan itu dibawa ke Pengadilan. Sebenarnya
kalau bicara tentang kepastian hukum harus ada akta
peralihannya tetapi dengan keadilan sedangkan si penjualnya
sudah tidak bisa ditemukan, kemudian Pengadilan memutuskan
yang memerintahkan BPN untuk melakukan pengalihan hak
itu salah satu contoh. Demikian juga dengan asas publikasi
dan seterusnya maka rasanya lebih cocok kalau negara kita
menggunakan sistem publikasi yang positif tetapi itu akan
menimbulkan akibat disisi kemanfaatan bagaimana untuk
masyarakat manfaatnya bagaimana, sedangkan biayanya
jadi meninggal jadi seperti itu. Jadi kita harusnya memang
Putusan Pengadilannya memberikankan katakanlah
penghukuman tetapi pasti dari pihak Majelis Hakim ada
pertimbangan tertentu atau yang dimohonkan tidak sampai
disitu, tidak sampai untuk menyatakan tidak sah dan seterusnya
atau tidak berkekuatan hukum, jadi patokannya dari
Putusan Pengadilan;
- Bahwa selain ada yang dijadikan keinginan kemudian antara
keinginan dan harapan itu seperti yang tadi Ahli sampaikan
ada kepastian hukum dan ada keadilan sebagaimana kita
diajarkan oleh Para Dosen bahwa keadilan dan kepastian
hukum itu tidak bisa bertemu sehingga sebagaimana
tadi Ahli sampaikan yang dijadikan alat ukur adalah
kepastian hukumnya itu, kepastian hukum inilah yang akan
dijadikan patokan dasar dalam melaksanakan hal berikutnya;
- Bahwa apabila terdapat kesalahan sebuah Sertipikat yang
memiliki nomor yang sama misalkan sertipikat ini diberikan
tahun 2015, yang kedua misalkan sertipikat diterbitkan tahun
2016, selanjutnya surat keputusan dasar penerbitan itu juga
berbeda misalkan seperti itu, kemudian surat ukurnya juga
berbeda dan batas-batas tanah itu juga berbeda tetapi nomornya
sama dan Sertipikat tersebut yang 2015 tadi itu kemudian
dibatalkan oleh Pengadilan dan sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Kemudian ada permohonan dari pihak yang
dibatalkan tersebut untuk membatalkan sertipikat yang di tahun
2017. Kalau terjadi demikian dalam prakteknya seringkali terjadi
tumpang tindih terhadap objeknya juga bisa terjadi tumpang
tindih di dalam penomorannya, baik penomoran itu nomor
Sertipikat suatu alas haknya ataupun nomor surat ukurnya jadi
bisa terjadi seperti itu dan di dalam praktek dan sering
dialamai serta sering menemukan, jadi terkadang mereka ini
sudah ribut saja kok lama bener, sebenarnya Ahli lagi
mengurus di BPN karena terjadi nomor tumpang tindih. Jadi
yang bisa dilakukan di BPN mereka akan mengambil yang
sedang diproses itu misalnya 2015 dan 2017 kemudian yang
lagi diurus yang tahun 2015 maka yang 2015 ini yang
nomornya diganti supaya tidak double kalau dia menunggu
yang 2017 kapan dia datang Sertipikatnya tidak tahu jadi
siapa yang datang duluan langsung untuk diambil
nomornya dan diganti itu prakteknya. Seringkali juga terjadi
itu dalam hal salah administrasi penomoran terjadi tumpang
tindih kasusnya kalau tumpang tindih harus dilihat lagi di peta-
peta besarnya di BPN itu letaknya dimana dan nomor itu
letaknya dimana karena seringkali tumpang tindih. Bahkan Ahli
pernah mengalami di daerah Villa Kapuk Mas si pembeli Ahli
tunjukan ini letak surat ukurnya bukan yang itu ternyata dari
ujung kanan seharusnya objek ke-4 tetapi ternyata gambarnya
agak dihitamkan disurat ukur itu objek ke-3 terus dia bilang
Pak Notaris maaf saya bukan sok pinter orang yang mau beli
itu selisih 1 (satu), tapi kenapa hanya selisih 1 (satu) ternyata itu
Sertipikat produk dari waktu itu jadi diurus lagi dan
dibetulkan. Jadi dalam hal ada kesalahan pembetulan yang
memang diketahui yakin ini bukan karena sengketa karena
kesalahan administrasi, maka PBN akan melakukan cara-cara
seperti itu, itu secara garis besar karena terjadi memang
kesalahan pada awal surat ukur akan berbeda kasusnya
kalau dampak memang terjadinya karena itu sengketa.
Sengketa itu bisa juga muncul suatu Sertipikat yang
dimunculkan dari beberapa dokumen yang berbeda misalnya
dokumen awalnya itu dari surat girik, sebenarnya sebagian
dari surat girik yang induk sudah dialihkan tetapi disebelah
kirinya belum dilakukan pencatatan dan itu mengakibatkan bisa
dimohonkan lagi oleh pihak lain apa yang kita bisa. Yang paling
ekstrem kalau memang ada mafia itu Sertipikat betul pun bisa
jadi tidak betul karena adanya mafia tanah jadi mana yang lebih
dahulu bukan apakah yang tahun 2015 dan yang tahun 2017
itu menunjukkan bagian paling betul, belum tentu nanti harus
ada suatu penelitian lebih lanjut dilihat kasusnya karena apa
dan seterusnya apakah ada unsur pidananya dan seterusnya itu
BPN yang lebih tahu karena dia mempunyai data-data
pendukung untuk penerbitan suatu Sertipikat;
- Bahwa apabila ada letak yang berbeda dasar
keputusan yaitu pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan produk
hukum yang diterbitkan oleh Kementerian apakah merupakan
salah satu pengecualian dari Kementerian ATR. Di dalam
Pasal 30 Permen ATR itu Nomor 21 tahun 2020 pembatalan
itu dilakukan kalau pertama ada cacat administrasi atau
cacat yuridis terhadap produk hukum yang diterbitkan oleh
Kementerian atau Kantor Wilayah tersebut dari BPN jadi
cacat administrasi atau cacat yuridis. Kemudian yang bagian b
nya itu pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang membatalkan produk hukum yang
diterbitkan oleh Kementeian sampai disitu, tetapi juga ada
alasan- alasan yang dapat digunakan oleh BPN Pasal 54
itu alasan yang kalimatnya ayat (1) BPN RI wajib melaksanakan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak
melaksanakannya, untuk alasannya adalah ada beberapa
alasan, yang huruf a yaitu terhadap objek Putusan terdapat
Putusan lain yang bertentangan terhadap objek Putusan yang
sedang diletakan sita jaminan terhadap objek Putusan sedang
menjadi objek gugatan dalam perkara lain dan alasan lain yang
diatur dalam peraturan perundang- undangan dan ini yang
membuat istilahnya sementara ditunda dulu pembatalan karena
masih menggantung tetapi secara prinsip dia bisa melakukan
pembatalan yang tadi yang saya sebutkan misalnya nomornya
double dia akan melapor pembatalan dengan berita acara
internal mereka bahwa saat nomor itu dibatalkan, kemudian
diberikan nomor yang baru itu salah satu contoh pembatalan
karena kesalahan administrasi. Kalau cacat yuridis dia nanti
akan melihat dokumen pendukung atau yang menjadi alasan
penerbitan sertipikat itu siapa yang lebih betul katakanlah
begitu yang dokumennya yang betul akhirnya dengan alasan
yuridis dasar-dasar pengajuan pensertipikatan itu dapat
dilakukan pembatalan terhadap Sertipikat yang sudah
diterbitkan dan yang terakhir adalah mengenai pembatalan
karena melaksanakan Putusan Pengadilan;
- Bahwa apabila kasus yang ada dalam Putusan Pengadilan itu
berbeda dengan batas-batas yang lainnya itu harus
diperiksa terlebih dahulu betulkah batas-batasnya seperti itu,
Ahli pernah mengalami ini ternyata disurat ukurnya itu
menunjuk lokasi yang sebenarnya berbeda tapi di dalam
surat ukurnya sama jadi dia waktu mengukur tidak tahu
bagaimana penunjuk batasnya itu salah menunjuk tanah
akhirnya diterbitkan Sertipikat dan Sertipikat itu letaknya sama
dengan sertipikat yang lain jadi itu sengketa itu berarti terjadi
kesalahan dan itu harus dibetulkan dan harus diperiksa lagi
intinya kesalahannya apakah yuridis atau administrasi, dengan
dasar itu semua seharusnya menjadi dokumen pendukung
seperti di meja sidang mau dilanjutkan ke Pengadilan bawah ini
sudah dibatalkan sudah diterbitkan yang baru dan seterusnya;
- Bahwa kalau pembatalan Sertipikat berdasarkan Putusan
Pengadilan itu Pengadilan yang memutuskan menyatakan
tidak berlaku tetapi tidak sampai disitu tapi bahwa betul-betul
dilaksanakannya harus ada proses lebih lanjut itu di
Pengadilan Negeri tapi kalau yang memutuskan
pembatalan itu dari Pengadilan Tata Usaha Negara;
- Bahwa Sertipikat itu sebuah produk dari Aparatur Negara
yang nanti Putusannya harus dengan Pengadilan Tata
Usaha Negara jadi hanya maknanya masalah kepribadinya di
Pengadilan Perdata;
- Bahwa terkait pembatalan sertipikat oleh Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap tadi Ahli sempat menjelaskan ada
pengecualian misalkan kalau kita baca Pasal 37 ayat 2 itu
pelaksanaan Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikecualikan terhadap: a. objek Putusan terdapat Putusan
lain sekamar yang bertentangan. Misalnya memang ada
Putusan berkekuatan hukum tetap terkait permasalahan 1
(satu) bidang tanah karena ada Putusan yang si a menang, tapi
sekarang ada Putusan perdata lain yang menyatakan si b
menang, jadi memang ada 2 (dua) Putusan, pertama
kemudian si b menang, karena Pasal 37 sudah dijelaskan
pengecualian dengan Putusan Pengadilan yang bertentangan
kalua terjadi seperti ini seharusnya siapa yang melaksanakan
ketentuan dalam kondisi tersebut, maka dalam
bahasanya Putusan atau pelaksanaan pembatalan itu bisa
dipilih dengan alasan itu oleh BPN dilaksanakan terlebih dahulu
sampai ada Putusan inkracht selama dia masih nyangkut di
Putusan yang lain atau masih sedang dalam perkara yang
lain;
- Bahwa kalau ada 2 (dua) Putusan sampai perkara itu juga
sudah selesai juga dan perkara dua-duanya sudah BHT
katakanlah sudah berkekuatan hukum tetap menilainya kalau
dua-duanya katakanlah sudah berkekuatan hukum tetap dalam
waktu 2 (dua) bulan dia harus diselesaikan proses
pelaksanaannya tidak boleh lama-lama juga; Bahwa apabila ada
2 putusan putusan pertama si a yang menang dan yang kedua
si b menang. Ini ceritanya ada 2 Putusan itu ceritanya
berbeda ini sebenanya ini ada kasus yang terjadi juga itu
di Jalan Senopati Jakarta Selatan itu ada 1 objek pas dibelokkan
ke Senopati dari Jalan Sudirman itu ada beberapa Putusan
Pengadilan yang berbeda jadi kira-kira 3 tahun yang lalu saya
melakukan penelitian karena waktu melakukan penelitian
berkaitan dengan keberhasilan mediasi di Pengadilan di dalam
bidang hukum pertanahan itu di Pengadilan Negeri Jakarta
Barat dan di Bogor. Kemudian Ahli mengambil
wawancara langsung ke BPN Pusat, BPN Pusat mengatakan
BPN pun tidak bisa memberikan sertipikat karena Putusan-
Putusannya berbeda dan sampai sekarang setahu Ahli itu masih
menggantung, itu yang terjadi di lapangan;
- Bahwa tolak ukurnya untuk menentukan putusan ini
betentangan atau tidak lembaga mana yang kerkompeten. Ini
pendapat Ahli pribadi, karena di dalam praktek Ahli sudah
ceritakan begitu pun sampai sekarang setahu Ahli belum
tuntas. Jadi kalau pertanyaan ini diajukan dari pihak BPN
misalnya kepada Ahli ini bagaimana, Ahli akan mengatakan BPN
daripada anda sulit-sulit minta Fatwa saja ke Mahkamah Agung
karena itu Putusan bermuara ke Mahkamah Agung biar
Mahkamah Agung melakukan Desiminasi terhadap Putusan
yang ada dan seterusnya. Ini kalau pendapat Ahli pribadi
karena masing-masing Putusan Pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap tidak bisa yang 1 (satu) lebih
dimenangkan dan 1 (satu) lebih dikalahkan atau pun dilihat
Ketua Majelisnya yang mana yang lebih senior juga tidak
bisa begitu. Jadi tentunya semua kekuatannya sama jadi tinggal
dimintakan fatwa saja, jadi apa yang harus dilakukan
tindakannya seperti apa dan ini juga pernah terjadi dalam
kasus perdata berkaitan dengan adanya unsur asing di dalam
pemberian suatu asset. Itu terjadi ada 1 (satu) orang yang
membeli asset kalau membeli mungkin pengalaman kita pribadi
hanya diminta KTP saja, tetapi giliran mau transaksi jual beli itu
PPAT nya rewel minta macam-macam KTP, Surat Nikah,
Kartu Keluarga itu Ahli sebagai PPAT sudah melakukan tetapi
begitu dilihat datanya ternyata suaminya orang Jepang, PPAT
nya tidak berani melaksanakan karena pembelian itu ada unsur
asing di dalamnya. Berarti kalau mereka tidak berpisah harta,
kemudian dimintakan Fatwa ke Pengadilan Negeri tetapi semua
tidak bisa jalan karena masih terpaku pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, apa yang dilakukan oleh si istri itu,
dia melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan
dengan Putusan Nomor 49 Mahkamah Konstitusi tahun
2015 maka dibolehkan untuk dilakukan perjanjian
pernikahan atau yang disebut dengan perintah dasar yang
sudah kawin atau dilaksanakan dulu pernikahan tetapi tidak ada
pembicaraan terlebih dahulu dan ternyata bisa dilakukan
sepanjang pernikahan itu. Salah satu contoh bahwa di dalam hal
seperti itu dilakukan dengan judicial review terhadap ketentuan
Undang-Undang itu Undang-Undang yang menetapkan
tentang pembuatan perjanjian perkawinan yang harus
dilakukan sebelum pernikahan. Jadi dalam kasus tadi
kalau Ahli dimintakan dari BPN, BPN minta Fatwa saja
dari Mahkamah Agung karena ini Putusan dari Pengadilan
Umum yang di bawah Mahkamah Agung, seperti itu
pandangan Ahli secara pribadi;
- Bahwa Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum tetap harusnya dilaksanakan dengan beberapa
kriteria tadi antara lain jadi risalah pengosongan dan
seterusnya kemudian dilakukan pembatalan. Tetapi kemudian
kalau muncul adanya intervensi misalnya ada perkara dan
seterusnya ini menjadi suatu bahan penilaian dari BPN sendiri
apakah ini objek yang sama sehingga membuat BPN itu
melakukan katakan dilay tapi kalau objeknya berbeda tidak perlu
dilakukan dilay itu dijalankan saja, tetapi kalau dengan
pertimbangan dari Kepala Kantornya sendiri seharusnya
kalau sudah lengkap tadi dari ada Putusan Pengadilannya
sudah ada berita acara pengosongannya harusnya dijalankan
selama tidak ada alasan lain;
- Bahwa mengenai mulai dari Girik sampai dengan Sertipikat
apakah diperbolehkan mendapatkan hak atas tanah melalui
Pengadilan, setahu Ahli permohonan itu bukan ke Pengadilan
terlebih dahulu permohonannya, untuk permohonan hak atas
tanah dilakukan ke BPN dengan beberapa kriteria antara lain
penguasaan fisik tanah itu sudah sekian lama. Kalau
mengajukan permohonan hak atas tanah ke Pengadilan
saksi tidak tahu juga dan apakah Pengadilan mau menerima
karena harusnya kewenangan untuk menerbitkan Sertipikat itu
bukan di Pengadilan, kewenangan menerbitkannya adalah di
BPN secara teknis;
- Bahwa kalau dipertentangkan antara data yuridis dan data fisik
karena yang satu mengenai data yuridis dan yang satu data
fisik, kalau di BPN ada ketentuan tentang tanah atau tante-
tante, tante-tante itu tanah-tanah terlantar istilahnya yang lazim
di Agraria itu disebut begitu. Jadi kalau dia pegang data yuridis
berarti dia ada surat, katakanlah Ahli seorang TKI dan Ahli
pegang surat, Ahli lagi mencari Visa untuk negara ini, Ahli
berada di Dubai misalnya seperti itu, itu masuk akal. Kemudian
ada orang yang Ahli minta untuk menjaga kebon sudah 5
tahun dan seterusnya yang bersangkutan mengajukan
permohonan hak untuk tanah yang sudah didiami, beberapa
hal yang akan dilakukan oleh BPN waktu melakukan
pengukuran dan seterusnya BPN akan memanggil saksi-saksi
kanan, kiri, depan, belakang, Utara, Timur, Barat dan Selatan.
Jadi mereka juga menandatangani bahwa betul si orang ini
adalah pemiliknya dan mungkin mereka bisa jadi sudah ngobrol
juga dan seterusnya, tetapi pemegang haknya adalah Ahli, Ahli
pernah mempelajari ketentuan tentang tante-tante tadi dan Ahli
telah melakukan penelantaran terhadap tanah. Jadi ini
pertentangan antara yuridis dan fisiknya itu yang dia kuasai,
tetapi Ahli sudah menelantarkan, karena Ahli menelantarkan itu,
itulah makanya dari BPN sendiri juga sekarang ini mengarah
kepada Permen-Permen yang baru ini memberikan jangka waktu
hanya 5 tahun untuk hal-hal atas tanah yaitu berdasarkan
Hukum Agraria untuk segera dilakukan permohonan hak
menjadi hak yang dikenal dalam Hukum Agraria;
- Bahwa apakah Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai
kewenangan untuk menguji tentang suatu kepemilikan. Jadi
Putusan di PTUN ini menyangkut tentang Aparatur Negara
perbuatan yang berkaitan katakanlah dengan BPN tadi
secara pribadi di Peradilan Perdata sudah disampaikan maka
untuk putusan pembatalannya dari Pengadilan Tata Usaha
Negara akan menyatakan bahwa itu penghukuman dan
berusaha untuk membatalkan yang lama dan kemudian
menerbitkan yang baru oleh yang berwenang kepada yang
berhak itu intinya;
2) AHLI II TERGUGAT II INTERVENSI: Nama Dr. H. RASJI, S.H.,
M.H., Tempat Tanggal Lahir Indramayu, 19 April 1964, Jenis
Kelamin Laki-Laki, Alamat Perumahan Merpati Blok O Nomor 18,
Jalan Peta Utara, RT/RW. 006/010, Kelurahan/Desa
Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Provinsi DKI
Jakarta, Agama Islam, Pekerjaan Dosen Tetap pada Universitas
Tarumanegara, Kewarganegaraan Warga Negara Indonesia dan
telah memberikan pendapat sebagai berikut:
- Bahwa mengenai kepemilikan yang sudah diputus secara
final oleh Peradilan Umum dan menjadi kompetenti
kewenangan Peradilan Umum dan untuk mengadili hal-hal yang
berkaitan dengan kepemilikan apakah sudah tidak lagi menjadi
kompetensi kewenangan mengadili Peradilan Tata Usaha
Negara. maka Ahli berpendapat sesuai dengan kepemilikan
yang sudah diputus oleh Pengadilan Umum Ahli
berpendapat bahwa karena sudah ada Putusan Pengadilan
yang merupakan keputusan hukum oleh lembaga yang
berwenang yang menyatakan status kepemilikan itu, maka
mengenai sengketa kepemilikan sudah menjadi putus secara
hukum sehingga itu adalah menjadi ranahnya Peradilan
Umum untuk sengketa kepemilikan itu dan mestinya tidak
menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara karena
sengketa kepemilikan sudah diputus oleh Pengadilan Umum;
- Bahwa terakit dengan kepemilikan yang sudah final kemudian
berbunyi Sertipikat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
apakah hubungan subjek hukum dan objek sudah gugur, putus,
atau sudah hangus sehingga nama yang ada atau yang
melekat di dalam Sertipikat tersebut sudah tidak memiliki
legalitas atau sudah tidak memiliki kepentingan hukum. Ahli
berpendapat sesuai sesuai dengan hal tersebut di atas Ahli
dapat pemahaman bahwa hak kepemilikan itu sudah diputus
oleh Pengadilan maka status hak kepemilikan sesuai Putusan
Pengadilan itu adalah mengikuti Putusan Pengadilan, maka
berdasarkan Putusan Pengadilan tadi hak atau hubungan
hukum subjek dan objeknya sudah tidak ada lagi karena
sengketanya sudah selesai sengketa kepemilikannya sudah
diputus oleh Pengadilan dan sudah mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
- Bahwa ketika hak atau Sertipikat sudah difinalisasikan dengan
dinyatakan Sertipikat tidak mempunyai kekuatan hukum apakah
dalam kapasitasnya masih memiliki kepentingan atau masih
mempunyai legalitas untuk tetap sebagai yang
berkepentingan. Jadi Sertipikat tersebut sebenarnya tidak lagi
Sertipikat itu memiliki kepentingan hukum terhadap objek
tanahnya, karena sudah putus hubungan hukum sehingga tidak
ada lagi hak kepentingan dari subjek hukum yang sudah
diputus oleh Pengadilan itu terhadap objek hukumnya. Sehingga
terkait dengan kewenangan untuk mengajukan kepentingannya
sudah tidak ada karena secara hukum sudah diputuskan bahwa
tidak ada hubungan lagi antara subjek dengan objek kepemilikan
tanah tadi, sehingga tidak mempunyai legal standing lagi
untuk mengajukan upaya untuk kepentingannya ke
Pengadilan Tata Usaha Negara;
- Bahwa ketika Amar Putusan Peradilan Umum yang
terkait sudah difinalisasi tersebut maka objek Sertipikat
tersebut menjadi miliknya si pemenang. Selanjutnya pemenang
mengajukan permohonan untuk membatalkan Sertipikat produk
Kementerian, kemudian Kementerian menerbitkan objek
sengketa atau pembatalan Sertipikat sebagai pelaksanaan
Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap apakah
Kementerian ini sesuai dengan Pasal 37 ayat 1 berkewajiban
untuk membatalkan Sertipikat yang telah terlebih dahulu
karena ada Putusan Peradilan Umum yang berkekuatan hukum
tetap. Berkaitan sertifikat yang sudah tidak punya kekuatan
hukum berdasarkan Putusan Pengadilan tadi secara Hukum
Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara dapat
mengeluarkan sertipikat sehingga dengan Peraturan
Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 2011 dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2020 berkewajiban untuk melaksanakan
Putusan Pengadilan tersebut yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap, tetapi pihak yang berkepentingan dengan
sertipikat yang sudah mendapatkan Putusan Pengadilan
secara berkekuatan hukum tetap punya hak untuk
mengajukan pembatalan ke pejabat pembuat Sertipikat
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Berdasarkan hak tadi maka boleh mengajukan tindakan
hukum untuk pembatalan sertipikat ke BPN dan BPN
berdasarkan Peraturan Menteri tadi berkewajiban untuk
mengeluarkan keputusan tentang pembatalan hak atas tanah
berdasarkan Putusan Pengadilan, karena Putusan Pengadilan
menurut Hukum Tata Usaha Negara berbentuk Permen tadi
itu menjadi dasar bagi Menteri Agraria untuk mengeluarkan
keputusan pembatalan hak atas tanah;
- Bahwa apabila Kementerian sudah menerbitkan surat
pembatalan yang menjadi objek, apakah surat pembatalan ini
benar memenuhi atau bertetangan dengan Pasal 2 huruf e
bahwa keputusan tersebut atas pengecualian dari Keputusan
Tata Usaha Negara. Mengenai terakit dengan Pasal 2
huruf e dari Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
(UU PTUN) yaitu perubahan atas Undang-Undang Peradilan
Tata Usaha Negara Nomor 9 tahun 2004.
- Bahwa Pasal 2 itu mengandung pengecualian Keputusan
Tata Usaha Negara yang tidak menjadi kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 2 menyatakan
Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk dalam
pengertian Undang-Undang ini maksudnya yang disengketakan
ke Pengadilan TUN salah satunya adalah menurut ketentuan
Pasal 2 huruf e yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar
putusan badan peradilan ini dikecualikan dari kompetensi
untuk diadili oleh PTUN sehingga pihak yang terkait dengan
keputusan ini sebenarnya juga tidak mempunyai akibat hukum
atas keputusan itu dan tidak punya legal standing untuk
menggugat ke PTUN dan PTUN pun tidak mempunyai
Kompetensi Absolut untuk mengadili Keputusan TUN seperti
itu;
- Bahwa ketika pihak yang mengajukan tidak mempunyai
kepentingan sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 Undang-
Undang Peratun yang kepentingannya tidak dirugikan oleh
Keputusan Tata Usaha Negara apakah masih memiliki
kepentingan terhadap kepentingan yang dirugikan atau
kepentingan yang dirugikan itu sudah ada sejak putusan
berkekuatan hukum tetap dari Peradilan Umum. Hal tersebut
Ahli berpendapat bahwa menyinggung Pasal 53 dari Undang-
Undang PTUN itu adalah Pasal yang memberikan dasar orang
atau badan hukum perdata untuk mengajukan gugatan ke
PTUN apabila merasa dirugikan kepentingannya oleh
Keputusan Tata Usaha Negara, kalau Ahli mendengar
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah
Keputusan Menteri Agraria tentang pembatalan hak atas tanah
ini. Sesuai dengan Pasal 2 huruf e tapi ini dikecualikan dari
Putusan yang menjadi Kompetensi PTUN maka
keputusan ini sebenarnya tidak menimbulkan kerugian kepada
pihak Penggugat karena tidak ada hubungan hukum tidak ada
hak Keputusan Tata Usaha Negara yang dimiliki oleh
Penggugat karena itu keputusan Menteri Agraria tidak
menimbulkan kerugian dan akibat hukum kepada orang atau
badan hukum perdata dalam hal ini adalah Penggugat;
- Bahwa Ahli di Untar mengajar Hukum Tata Negara (HTN),
Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), kemudian mengajar juga tentang
Kewarganegaraan;
- Bahwa kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah
Peradilan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha
Negara. Kalau menurut Pasal 47 dari Undang-Undang PTUN
disana dikatakan Peradilan Tata Usaha Negara adalah
Peradilan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pasal 47 dari
Undang-Undang PTUN mengenai kewenangan absolut dari
Pengadilan Tata Usaha Negara;
- Bahwa kalau misalnya ada Keputusan Tata Usaha Negara itu
digugatnya secara umum benar ke PTUN tetapi secara
khusus Undang-Undang PTUN mengatur rumusan PTUN
nya tersendiri sehingga ada pengecualian dari Keputusan
TUN yang tidak bisa diadili oleh PTUN;
- Bahwa berkaitan dengan Peradilan Perdata kalau sudah keluar
Putusan kepemilikan Peradilan Perdata, Sertipikat itu tidak
mengikat atau mungkin terkait dengan legal standing. Kalau
sepengetahuan Ahli Peradilan Perdata itu terkait dengan
sengketa kepemilikan status hak milik itu ada di Sertipikat,
ketika hak kepemilikan yang ada di Sertipikat disengketakan
dan diputus oleh Peradilan Perdata lalu kepemilikannya
berdasarkan Putusan atau mungkin punya si pihak lain, maka
Sertipikat itu tidak punya kekuatan hukum mengikat lagi karena
haknya itu sudah diputus oleh Pengadilan atau kepemilikan itu
bukan ada pada nama yang tertera di dalam Sertifikat itu. Tetapi
tidak menyatakan sertipikat tidak berlaku karena Putusan
Pengadilan Negeri hanya menyatakan hak kepemilikannya. Jadi
untuk menyatakan Sertipikat tidak berlaku tidak mempunyai
kekuatan mengikat sah atau batal itu adalah PTUN tetapi status
hak kepemilikannya itu bisa diadili di Perdailan Perdata;
- Bahwa di dalam Pasal 37 Permen ATR Nomor 21 Tahun 2020
itu wajib melaksanakan pemeriksaan atau Putusan BHT, yang
Pasal 37 ayat (2) berbunyi, pelaksanaan putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
terhadap: a. objek putusan terdapat putusan lain sekamar
yang bertentangan. Jadi Pasal 37 ayat 2 bisa dikecualikan kalau
memang pada saat perubahan data administrasi Pertanahan
itu akan dialihkan, tetapi pada saat itu tidak ada karena
data administrasi Pertanahan harus disesuaikan dengan status
Hukum Pertanahan. Kalau dari Peraturan Menteri ATR/BPN
wajib membuat surat keputusan tentang pembatalan walaupun
ada pengecualiannya kalau pada saat itu terjadi, kalau saat itu
tidak terjadi maka BPN harus memvalidasi data administrasi
pertanahan. Intinya kalau misalnya terjadi itu ada salah satu
pengecualian yang terjadi di dalam proses itu berarti jadi
tidak wajib pada saat itu, karena pengertiannya status
pertanahannya pada saat itu ketika pengajuan saat itu
seperti apa kalau tidak ada maka itu harus dikeluarkan
keputusan Kementerian Agraria;
- Bahwa terkait Pasal 2 huruf e Undang-Undang Peratun
pengaturan pasti ada maksudnya apakah alasan filosofis,
yirudis mengapa peraturan itu bunyinya seperti itu. Dari Pasal 2
ini banyak pengecualiannya terhadap Putusan TUN salah
satunya yang disebutkan dalam Pasal 2 huruf e itu, karena
disitu disebutkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ini sebenarnya merupakan keputusan Legislatif bukan
keputusan Yudikatif, Yudikatif dalam teori Hukum Administrasi
Negara itu lembaga yang berbeda dengan Eksekutif, Keputusan
Tata Usaha Negara itu putusan eksekutif sehingga ketika
putusan itu didasarkan pada putusan legislatif hanya sebagai
pelaksana itu sifatnya hanya melaksanakan lebih lanjut
keputusan Pengadilan sehingga itu putusan yang sudah
menjadi sengketa final di Pengadilan itu, itu yang harus
ditetapkan administrasinya;
- Bahwa Pasal 37 ayat 2 ini intinya memang Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu dilaksanakan
oleh Kementerian, kalau misalnya ada putusan dan juga ada
putusan lain yang bertentangan itu, Pasal 2 huruf e tetap
berlaku karena itu menjadi pengecualian kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga diluar kompetensi
Absolut dari Pengadilan TUN;
- Bahwa pihak lain yang mempunyai hak terhadap putusan
lain yang mungkin berdasakan putusan itu dia menjalankan
haknya untuk melaksanakan putusan itu contohnya adalah
kasus ini bisa mengajukan ke Menteri untuk bisa dikeluarkan
keputusan tentang pembatalan hak atas tanah. Jadi pihak yang
menang berdasarkan Putusan Pengadilan mempunyai hak
secara hokum, mempunyai hak ada administrasi
pertanahan maka mengajukanlah upaya penatausahaan
Pertanahan ke Badan Pertahanan Nasional, sehingga menurut
Pasal 56 Permen Nomor 3 Tahun 2011 itu perbuatan hukum
penatausahaan di bidang Pertanahan apakah pengalihan
ataupun pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan
Putusan Pengadilan diajukan dengan dilaksanakan keputusan
Pejabat yang berwenang atau pejabat yang berwenang ini
adalah Badan Pertahanan Nasional, sehingga Pasal 38
mengatakan BPN mengeluarkan keputusan pembatalan hak
atas tanah berdasarkan Putusan Pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap ini administrasinya harus
divalidasi hak yang berwenang mengajukan untuk validasi
update data supaya menjadi status terdaftar di Badan
Pertanahannya itu sesuai dengan Putusan Pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Bahwa mengenai asas contrarius actus Ahli tidak bisa
menjelasan karena di dalam Hukum Administrasi Negara tidak
dikenal asas contrarius actus itu;
- Bahwa memang KTUN yang menjadi sengketa itu kalau
Undang-Undang PTUN ada upaya administratif dan ada upaya
langsung untuk menggugat ke PTUN. Ketika sudah ke PTUN
dan kebetulan untuk Pertanahan ini melalui jalur PTUN
sehingga Putusan Pengadilan itu akan menjadi dasar Perubahan
status hak atas tanah, perubahan dasar hak atas tanah itu
maka si pemenang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan
mengenai peralihan hak atas tanahnya di PTUN. Tetapi
kalau terkait dengan Paradilan Umum itu bukan terkait
dengan sengketa keputusan tetapi sengketa hak atas
kepemilikan, begitu sengketa atas hak kepemilikan ada putusan
yang mengatakan si b yang menang maka si b ini mempunyai
hak sertipikat kepemilikan atas tanah itu, ini yang bisa
mengajukan ke Badan Pertanahan untuk dimintakan
pembatalan hak atas tanah yang ada atas namanya di dalam
Sertipikat itu;
- Bahwa Putusan Pengadilan Perdata tidak bisa menyatakan
Sertifikat itu batal yang dapat menyatakan Sertipikat itu batal
adalah BPN;
- Bahwa Kalau Putusan di Pengadilan Perdata yang menyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebelum
dibatalkan hak atas tanah dalam bentuk sertifikatnya,
Sertipikat itu tidak punya kekuatan hukum mengikat sehingga
nama yang tertera di dalam Sertipikat itu tidak punya kekuatan
lagi atas hak kepentingannya di dalam Sertipikat,
sehingga nanti administrasinya yang menang di perdata tadi
mengajukan kepada BPN untuk meminta pembatalan sekaligus
kalau memang mengajukan permohonan peralihan hak
atas tanah, nanti akan dikeluarkan Sertifikat atas tanahnya;
- Bahwa proses atau hal-hal yang harus dilakukan oleh
Kementerian ATR/BPN sesuai dengan asal 37 itu sebelum
BPN membatalkan produk hukumnya tersebut contohnya ini
putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap Pengadilan
Perdata, jadi Putusan Pengadilan ini setelah diputus diberikan
kepada para pihak Penggugat dan Tergugat, BPN kalau
memang itu tidak tahu tidak bisa melakukan apa-apa, nanti
berdasarkan atas permohonan katakanlah pemenang dari
Peradilan Perdata itu maka yang menang diperdata itu
mengajukan ke BPN dan BPN akan mengetahui bahwa
ada Putusan Pengadilan yang dijadikan dasar untuk pembatalan
hak atas tanah yang diajukan oleh pengguna Putusan
Pengadilan. Maka BPN itu akan melakukan tindakan
administrasi Pertanahan, sehingga produk hukum yang tadinya
sudah dikeluarkan oleh BPN dalam bentuk Sertifikat atas
tanah dan berdasarkan permohonan pemohon yang
melampirkan dengan surat keputusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, kemudian ada surat keterangan yang
menyatakan itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
ada Berita Acara Eksekusinya, maka BPN akan melakukan
tindakan administrasi untuk mengeluarkan Keputusan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/BPN tentang pembatalan hak atas
tanah itu;
- Bahwa BPN tidak perlu melakukan pemeriksaan terhadap
putusannya atau data yuridisnya seperti apa itu, makanya ada
tiga yang disyaratkan pertama lampiran keputusannya harus
disampaikan atau harus dilampirkan dalam permohonan itu,
kedua ada keterangan yang menyatakan ini sudah inkracht
sudah punya kekuatan hukum tetap, ketiga harus ada Berita
Acara Eksekusinya dengan tiga hal itu yang akan menjadi
dasar BPN untuk mengeluarkan keputusan;
- Bahwa mengapa di Permen ATR Pasal 37 ayat 2 disitu ada
pengecualian salah satu pengecualiannya misalkan huruf c.
objek Putusan sedang diletakan sita, d. letak bidang tanah
objek Perkara tidak jelas dan tidak ada eksekusi; e. letak, luas
dan batas bidang tanah objek Perkara yang disebut dalam
amar putusan dan/atau pertimbangan hukum berbeda
dengan letak, luas dan batas bidang tanah yang dieksekusi; f.
tanah objek Perkara telah berubah menjadi tanah Negara atau
haknya telah hapus. Bagaimana PBN dan bagaimana
konstruksi berpikirnya dia tidak harus hukumnya tersebut
contohnya ini putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum
Tetap Pengadilan Perdata, jadi Putusan Pengadilan ini
setelah diputus diberikan kepada para pihak Penggugat dan
Tergugat, BPN kalau memang itu tidak tahu tidak bisa
melakukan apa-apa, nanti berdasarkan atas permohonan
katakanlah pemenang dari Peradilan Perdata itu maka yang
menang diperdata itu mengajukan ke BPN dan BPN
akan mengetahui bahwa ada Putusan Pengadilan yang
dijadikan dasar untuk pembatalan hak atas tanah yang diajukan
oleh pengguna Putusan Pengadilan. Maka BPN itu akan
melakukan tindakan administrasi Pertanahan, sehingga
produk hukum yang tadinya sudah dikeluarkan oleh BPN
dalam bentuk Sertifikat atas tanah dan berdasarkan
permohonan pemohon yang melampirkan dengan surat
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian
ada surat keterangan yang menyatakan itu sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan ada Berita Acara Eksekusinya, maka
BPN akan melakukan tindakan administrasi untuk mengeluarkan
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN tentang
pembatalan hak atas tanah itu;
- Bahwa BPN tidak perlu melakukan pemeriksaan terhadap
putusannya atau data yuridisnya seperti apa itu, makanya ada
tiga yang disyaratkan pertama lampiran keputusannya harus
disampaikan atau harus dilampirkan dalam permohonan itu,
kedua ada keterangan yang menyatakan ini sudah inkracht
sudah punya kekuatan hukum tetap, ketiga harus ada Berita
Acara Eksekusinya dengan tiga hal itu yang akan menjadi
dasar BPN untuk mengeluarkan keputusan;
- Bahwa mengapa di Permen ATR Pasal 37 ayat 2 disitu ada
pengecualian salah satu pengecualiannya misalkan huruf c.
objek Putusan sedang diletakan sita, d. letak bidang tanah
objek Perkara tidak jelas dan tidak ada eksekusi; e. letak, luas
dan batas bidang tanah objek Perkara yang disebut dalam
amar putusan dan/atau pertimbangan hukum berbeda
dengan letak, luas dan batas bidang tanah yang dieksekusi; f.
tanah objek Perkara telah berubah menjadi tanah Negara atau
haknya telah hapus. Bagaimana PBN dan bagaimana
konstruksi berpikirnya dia tidak harus
- Bahwa, Pada akhirnya para pihak mohon Putusan Pengadilan;
C. PETITUM
Bahwa berdasarkan dalil dan bukti-bukti sebagaimana tersebut
diatas, maka tergugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara ini untuk memutus perkara yang amarnya
sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
1. Menerima Eksepsi Tergugat II Intervensi untuk seluruhnya;
2. Menolak atau setidak-tidaknya menyatakan tidak menerima gugatan
penggugat
3. Menyatakan bahwa gugatan penggugat kabur atau tidak jelas
(obscure libel);
4. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat.
DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat.Atau Apabila
Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex a quo et bono).

Jakarta, 22 April 2023


Hormat kami,
Kuasa Hukum Tergugat

Helda Bunga Bure, S.H., M.H

Anda mungkin juga menyukai