Anda di halaman 1dari 23

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

“Interprofessional Collaboration Practice di Ruang Rawat Inap”

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3 (A.3)
Aprilia Tyara Putri 2311313062
Diana Hura 2311311031
Dian Kartika Agustina 2311312055
Nelda Vitryani 2311313054
Nurul Oktria S 2311313060
Suci Ananda Sandrawati 2311312046
Syanina Meilani Sinaga 2311312063

Dosen Pengampu:
Ns. Ilfa Khairina, M. Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa
makalah ini dengan baik dan tanpa suatu kendala berarti.
Tidak lupa kami dari kelompok 3 mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Mata Kuliah Konsep Dasar Keperawatan, Ibu Ns. Ilfa Khairina, yang telah
membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan makalah ini. Begitu pula
kepada teman-teman seperjuangan yang telah memberi masukan dan pandangan
kepada kami selama menyelesaikan makalah ini.
Makalah berjudul “Interprofessional Collaboration Practice di Ruang Rawat
Inap” ini disusun untuk memenuhi tugas semester 1 mata kuliah Konsep Dasar
Keperawatam.
Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Karenanya, kami menerima kritik serta saran yang
membangun dari pembaca agar kami dapat menulis makalah secara lebih baik pada
kesempatan berikutnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat dan berdampak besar
sehingga dapat memberi inspirasi bagi para pembaca, terutama bagi mahasiswa
keperawatan yang sedang mempelajari suatu konsep dasar terkait Interprofessional
Collaboration Practice.

Padang, 09 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG........................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................3
C. TUJUAN.............................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................5
PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE............................5
B. TUJUAN INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE...........6
C. MANFAAT INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE.......7
D. PERAN PERAWAT DI INTERPROFESSIONAL COLLABORATION
PRACTICE................................................................................................................7
E. PENGEMBANGAN PANDUAN KOMPETENSI INTERPROFESSIONAL
COLLABORATION PRACTICE DI RUANG RAWAT INAP...............................9
1 METODE PENELITIAN..............................................................................10
2 HASIL PENELITIAN..................................................................................11
3 PEMBAHASAN...........................................................................................16
BAB III.......................................................................................................................20
PENUTUP..................................................................................................................20
A. KESIMPULAN................................................................................................20
B. SARAN.............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di era teknologi yang sudah pesat sekarang, banyak sekali yang dapat
dimanfaatkan dalam bidang apapun, seperti dalam bidang kesehatan saat ini,
di era kemajuan ilmu kesehatan saat ini, pendidikan sangat penting dalam
menunjang kualitas pelayanan kesehatan, oleh karena itu perlunya sistem
pendidikan yang berkualitas dan mempunyai orientasi ilmu pengetahuan yan
berkembang pesat. Kerja sama dan kolaborasi antar profesi kesehatan untuk
meningkatkan kepuasan pasien dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Pendekatan kolaborasi yang masih berkembang saat ini yaitu interprofessional
kolaborasi (ICP) sebagai wadah dalam upaya mewujudkan praktik kolaboratif
yang efektif antar profesi.
IPC merupakan wadah kolaborasi efektif unutk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada pasien yang didalamnya terdapat profesi tenaga
kesehatan meliputi dokter, perawat, farmasi, ahli gizi, dan fisioterapi. Profesi-
profesi kesehatan tersebut melakukan kolaborasi profesi dengan berbagi motif
yaitu perkembangan penyakit yang kompleks, meningkatkan kualitas kinerja
profesi kesehatan dan mutu layanan kesehatan. Saat ini kelompok kami akan
membahas peranan IPC yang terjadi di ruang rawat inap sebuah rumah sakit,
disana kami akan menganalisis apakah terjadi hambatan dalam melaksanakan
peran IPC, dengan melakukan penelitian menggunakan kuesioner yang diisi
oleh perawat primer dan asuhan yang terdapat di rumah sakit tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1 Apa yang dimaksud dengan Interprofessional Collaboration Practice
(IPC)?

iv
2 Bagaimana Interprofesional Collaboration Practice (IPC) di ruang
rawat inap suatu rumah sakit?
3 Hambatan apa yang ditemukan dalam melaksanakan Interprofessional
Collaboration Practice di ruang rawat inap?

C. TUJUAN
1 Untuk membantu mahasiswa dalam mengetahui konsep dasar dari
Interprofessional Collaboration Practice.
2 Untuk membantu mahasiswa mengetahui Interprofessional
Collaboration Practice (IPC) yang terjadi di ruang rawat inap.
3 Untuk membantu mengetahui apa saja hambatan yang terjadi saat
melakukan peranan Interprofessional Collaboration Practice di ruang
rawat inap.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE


Interprofessional Collaboration (IPC) adalah proses dalam
mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif antara
pelajar, praktisi. pasien klien keluarga serta masyarakat untuk
mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
The Canadian interprofessional health collaborative menyebutkan
interprofessional collaborative adalah kemitraan antara tim penyedia layanan
kesehatan dan klien dalam pendekatan kolaboratif dan terkoordinasi
partisipatif untuk pengambilan keputusan bersama seputar masalah kesehatan
dan sosial. Praktik interprofessional collaboration telah didefinisikan sebagai
proses yang mencakup komunikasi dan pengambilan keputusan
memungkinkan pengaruh sinergis dari pengetahuan dan keterampilan yang
dikelompokkan. Elemen praktik kolaboratif termasuk tanggung jawab,
akuntabilitas, koordinasi, komunikasi, kerjasama, otonomi, saling percaya dan
saling menghormati. Kemitraan inilah yang menciptakan tim interprofesional
yang dirancang untuk bekerja pada tujuan bersama untuk meningkatkan hasil
pasien, interaksi kolaboratif menunjukkan perpaduan budaya profesional Dan
tercapai meskipun berbagai keterampilan dan pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas perawatan pasien ada karakteristik penting yang
menentukan efektivitas tim, termasuk anggota yang melihat peran mereka
sebagai penting bagi tim komunikasi terbuka keberadaan otonomi dan
kesetaraan sumber daya penting untuk dicatat bahwa kolaboratif
interprofessional yang buruk dapat berdampak negatif pada kualitas
perawatan pasien dengan demikian keterampilan dalam bekerja sebagai tim
interprofessional diperoleh melalui pendidikan interprofessional, penting
untuk perawatan berkualitas tinggi. Guna membentuk suatu team work atau

vi
kerjasama tim yang ideal dibutuhkan kooperasi dan kolaborasi. Kooperasi
(kerjasama) berarti bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan
bersama (tetapi bukan tujuan yang semestinya) Contoh kerjasama yaitu
misalnya Anda berkeluarga lalu cara bekerja sama dengan istri Anda dengan
meletakkan pakaian kotor di mesin cuci turut membantu mencuci piring dan
sebagainya. Lalu apa makna kolaborasi? Kolaborasi dalam bahasa inggris
collaboration, berasal dari kata collaborate yang berarti bekerja antara satu
dengan yang lain, berkooperasi satu sama lain. Menurut kamus besar bahasa
indonesia online, kolaborasi adalah suatu perbuatan berupa kerjasama dengan
musuh, teman dan sebagainya. Menurut Arthur T. Himmelman, kolaborasi
berupa pertukaran informasi, berbagai segala sumber pengetahuan untuk
meningkatkan kapasitas satu dengan yang lain demi tercapainya tujuan
bersama.
Kolaborasi adalah kerjasama yang lebih terfokus pada tugas atau misi
biasa terjadi dalam bisnis, perusahaan atau organisasi lainnya. Misalnya.
untuk menampilkan suatu pentas seni yang luar biasa perlu kolaborasi antara
penari, penyanyi, pemusik, dsb. Kolaborasi adalah proses yang membutuhkan
hubungan dan interaksi antara profesional kesehatan terlepas dari apakah atau
tidak mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari tim. (Kolaborasi
kesehatan).

B. TUJUAN INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE


World Health Organization (2010) menyajikan hasil penelitian di 42
negara tentang dampak dari penerapan praktek kolaborasi dalam dunia
kesehatan menunjukkan hasil bahwa praktek kolaborasi dapat meningkatkan
keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan, penggunaan sumber daya
klinis spesifik yang sesuai, outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan
pelayanan serta keselamatan pasien. WHO (2010) juga menjelaskan praktek
kolaborasi dapat menurunkan komplikasi yang dialami pasien, jangka waktu
rawat inap, ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers).

vii
biaya rumah sakit, rata-rata clinical error, dan rata-rata jumlah kematian
pasien.

C. MANFAAT INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE


1 Meningkatakan komunikasi
2 Peningkatan efisiensi
3 Meningkatkan semangat kerja karyawan
4 Menumbuhkan kreativitas
5 Pemecahan masalah yang lebih baik
6 Jaringan
7 Hasil klinis yang lebih baik, efektivitas biaya keamanan
8 Memperkuat identitas professional

D. PERAN PERAWAT DI INTERPROFESSIONAL COLLABORATION


PRACTICE
Profesi kesehatan yang melakukan IPC akan mengkombinasikan
ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing profesi
kesehatan sehingga tercapai luaran terapi pasien yang optimal dan
berkurangnya biaya kesehatan (Bridges dkk, 2011; Law dkk., 2013).
Profesi kesehatan yang melakukan IPC harus paham bahwa mereka
bekerja sebagai sebuah tim. Agar tujuan dari tim dapat tercapai, setiap profesi
kesehatan perlu memahami ketrampilan, pengetahuan, dan ranah praktik dari
profesi 5 kesehatan yang terlibat (Fair dkk., 2007). Selain itu, setiap profesi
kesehatan perlu memahami dasar dari IPC yaitu tanggung jawab
(responsibility), akuntabilitas (accountability), koordinasi (coordination).
komunikasi (communication), kerjasama (cooperation), ketegasan
(assertiveness), otonomi (autonomy), serta saling percaya dan menghormati
(mutual trust and respect) (Way dkk. 2000). Peran perawat di Interprofesional
Collaboration sama dengan peran profesi yang lain yaitu contohnya apoteker
bekerja sama dengan pasien, keluarga pasien, masyarakat, dan profesi

viii
kesehatan lain untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas
terbaik. (Usman, 1998). Peran perawat dalam Interprofesional Collaboration
dalam bekerja sama dengan klien, sebagai berikut:
1) Memberikan pelayanan pada individu, keluarga, dan masyarakat pada
kondisi yang mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan
perawatan (termasuk perawatan kecacatan dan persiapan menghadapi
kematian).
2) Memberikan advokasi pada pasien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, sebagai tempat konsultasi terhadap masalah
atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.
3) Perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien
beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan yang dialami.
4) Membantu klien dan keluarga dalam menginterpetasikan berbagai
informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien.
5) Mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak
atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
6) Saling mendengarkan dan menghargai pendapat yang diberikan
7) Berbagi informasi tentang pasien mengenai Kondisi dan pengobatan
yang diberikan (Utami & Hapsari, 2016)
Peran perawat dalam Interprofesional Collaboration dalam bekerja
sama dengan dokter, sebagai berikut:
1) Membaca catatan perawat dalam form MR "Catatan Perkembangan
Terintegrasi"
2) Bersama-sama aktif berpartisipasi dalam program-program di rumah
sakit

ix
3) Bertukar pendapat dalam pemberian pengobatan dan perawat bagi
pasien (Utami & Hapsari, 2016).

E. PENGEMBANGAN PANDUAN KOMPETENSI


INTERPROFESSIONAL COLLABORATION PRACTICE DI RUANG
RAWAT INAP
Dalam memahami kasus peranan Interprofessional Collaboration
Practice (IPC) yang terjadi di ruang rawat inap rumah sakit, kami mengambil
sebuah artikel atau jurnal studi kasus dengan judul “Pengembangan Panduan
Kompetensi Interprofessional Collaboration Practice di Ruang Rawat Inap”
yang dikeluarkan oleh Journal of Telenursing (JOTING) volume 4, nomor 2
pada bulan desember 2022, yang mana journal ini disusun oleh Hellen
Sindim, Hanny Handiyani, Cori Tri Suryani, Nurdiana dari Universitas
Indonesia, RSUPN dr Cipto Mangunkusum.
Praktik kolaborasi di rumah sakit membutuhkan persamaan
persepsi untuk menjamin keselamatan pasien. Sebanyak 44% resiko pasien
jatuh disebabkan karena kurangnya komunikasi (LeLaurin Shorr, 2019).
Evidance based praktik kolaborasi masih terus berkembang, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa setelah menerapkan tim dalam perawatan,
angka kejadian pasien jatuh pada unit saraf dan onkologi menurun (Rohm et
al., 2020) dan kejadian medication error secara signifikan lebih rendah setelah
penerapan tim kolaborasi interprofessional antara dokter, perawat, apoteker
(Irajpour et al, 2019) Oleh karena itu model praktik kolaboratif
interprofesional disarankan untuk digunakan dirumah sakit untuk
meningkatkan hasil kesehatan (White-williams&Shirey, 2022)
Profesi keperawatan jugaberperan penting dalam praktik kolaborasi
karena perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung.
Namun, dalam praktik kolaborasi perawat lebihmerasakan banyak hambatan
daripada dokter (Yusra et al, 2019). Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya
kejelasan peran dalam praktik kolaborasi (LaMothe et al., 2021). Padahal

x
dalam penelitian di Libanon, perawat memiliki skor lebih tinggi dalam
berkolaborasi (Ahmadieh et al., 2020).
Tenaga Kesehatan yang bekerja di rumah sakit perlu memiliki
kompetensi interprofesional untuk melaksanakan praktik kolaborasi.
Kompetensi interprofesional dalam perawatan kesehatan yaitu
mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap seluruh profesi
yang bekerja sama dengan pasien dan keluarga untuk meningkatkan hasil
kesehatan. Kompetensi interprofesional memiliki pengaruh signifikan dalam
mendukung praktik kolaborasi (Josi et al., 2020), karena strategi untuk
mengintegrasikan kompetensi interprofessional collaboration practice dapat
menghasilkan tim yang berkinerja tinggi (White-williams & Shirey, 2022).
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu kepala ruangan dan
clinical care manager di ruang rawat inap tentang praktik kolaborasi bahwa
terjadi hambatan dalam komunikasi secara verbal dan adanya pergantian
dokter residensi setiap tiga bulan di ruang rawat inap. Hambatan yang paling
banyak terjadi antara dokter dan perawat dalam hal perencanaan pasien,
kolaborasi implementasi, dan discharge planning. Berdasarkan fenomena dari
wawancara tersebut. studiini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menganilisis masalah praktik kolaborasi di ruang rawat inap menggunakan
kuesioner serta memberikan draft kepada bidang keperawatan kepada dalam
melaksanakan praktik kolaborasi di ruang rawat inap.
1 METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan yaitu studi kasus dengan menggunakan
pilot project yang dilakukan dalam rangkaian kegiatan residensi di rumah
sakit Tipe A Jakarta Pusat. Metode ini menggunakan teori perubahan Kurt
Lewin yang dilakukan pada September – Oktober 2021. Pemilihan sampel
dalam studi ini dilakukan dengan menggunakan total sampling dengan
kriteria perawat primer dan perawat asuhan yang bertugas di gedung A
dan Kirana. Total perawat yang bersedia menjadi responden berjumlah
264 orang.

xi
2 HASIL PENELITIAN
Karakteristik dari responden dalam survei yang diperoleh pada
penelitian ini disajikan dalam tabel berikut:

Karakteristik responden di gedung A dan Kirana berdasarkan


jenis kelamin hasilnya adalah didominansi oleh wanita; berusia pada
rentang 21-30 tahun; lulusan diploma keperawatan; level
kompetensi terbanyak adalah PK III dengan status kepegawaian
terbanyak adalah Non PNS. Hambatan yang ditemukan dalam data
demografi yaitu pada tingkat pendidikan, sebanyak 70% pendidikan
terakhir perawat di Gedung A dan Kirana adalah DIII Keperawatan.
Kuesioner selanjutnya mengkaji tentang peran kepala ruangan dalam
praktik kolaborasi. Kuesioner ini diisi oleh perawat primer dan
perawat asuhan. Persepsi perawat terhadap fungsi manajemen kepala
ruangan dijelaskan dalam gambar 1.

xii
Berdasarkan hasil keseluruhan kuesioner, persepsi staf
terhadap peran kepala ruangan sudah baik yaitu dengan nilai average
67,5%. Namun, perawat menilai peran informasional kepala ruangan
pada pertanyaan saya diperkenalkan kepala ruangan pada PPDS yang
baru 82 staf (2%) menilai cukup, 48 staf (1,6%) menilai kurang.
Kuesioner selanjutnya mengkaji tentang fungsi manajemen
kepala ruangan terhadap praktik kolaborasi yang diisi oleh perawat
primer dan perawat asuhan, yang dijelaskan dalam diagram 2 berikut
ini:

xiii
Hasil data pada gambar 2 menunjukkan bahwa persepsi staf
terhadap fungsi manajemen kepala ruangan sudah baik yaitu dengan
nilaiaverage 69,4%. Namun, fungsi ketenagaan pada pertanyaan “ada
orientasi singkat bersama dokter residensi” terkait pelaksanaaan
praktik kolaborasi dengan profesi lain di ruangan 97 staf (36,75%)
menilai cukup, 41 staf (15,6%) menilai kurang. Kuesioner selanjutnya
mengkaji tentang pelaksanaan praktik kolaborasi di ruang rawat inap
yang diisi oleh perawat primer dan perawat asuhan, yang dijelaskan
dalam diagram 3 berikut ini:

xiv
Total Capaian Responden (TCR) dalam kuesioner ini sudah
baik yaitu 72,0%. Namun, komunikasi interprofesi pada pertanyaan
”terjadi perbedaan pendapat tentang rencana tujuan perawatan pasien”
79 staf (54,7%) menjawab sangat sering. Kemudian pada pertanyaan
”komunikasi yang buruk antar profesi kesehatan menyebabkan
kesalahan dan keterlambatan tindakan yang diberikan” 128 staf
(58,9%) menjawab sering. Kriteria persentasecapaian responden yaitu
85-100%= sangat baik; 66-84%= baik; 51-65%= cukup; 36-50%=
kurang baik. Berdasarkan kriteria tersebut, maka hasil yang
teridentifikasi pada pertanyaan variabel komunikasi total TCR yaitu
54,7% dan 58,9% bermakna cukup. Hasil wawancara dan
kuesioner selanjutnya di analisis menggunakan fishbone untuk
menetapkan masalah didapatkan bahwa fungsi perencanaan terkait
praktik kolaborasi untuk meningkatkan kompetensi perawat perlu
dioptimalkan, karena strategi untuk meningkatkan praktik kolaborasi
interprofesional kesehatan adalah menyusun panduan dan manajemen
tim yang jelas.

xv
Berdasarkan hasil identifikasi masalah, analisis masalah,
penetapan masalah, kemudian memaparkan kepada unit terkait, pada
tahap ini menyepakati plan of action usulan perbaikan yang akan
diterapkan dalam pelayanan keperawatan. Tahapan perubahan dalam
Kurt Lewin terdiri dari 3 tahapan yaitu unfreezing, movement, dan
refreezing. Pada tahap unfreezing di lakukan pengambilan data melalui
data sekunder, observasi, wawancara, dan survei. Analisis masalah
menggunakan fishbone, selanjutnya setelah menganalisis masalah,
menetapkan masalah yang di diskusikan bersama substansi pelayanan
keperawatan dan komite keperawatan. Hasil analisis disampaikan juga
kepada kepala instalasi dan kepala ruangan Gedung A dan Kirana
melalui presentasi hasil pengkajian, kemudian membuat plan of action
yang disepakati oleh semua pihak.
Tahap movement yaitu merancang implementasi dengan
pendekatan POSAC yaitu pada tahap perencanaan menyusun panduan
kompetensi interprofessional collaboration practice berdasarkan telaah
literatur dan jurnal, kemudian pengorganisasian dan ketenagaan
melakukan konsultasi draft kepada pihak terkait dan melakukan
pembahasan rancangan bersama bidang keperawatan, komite

xvi
keperawatan dan penanggung jawab Keperawatan Gedung A dan
Kirana sebagai perwakilan dari seluruh perawat Gedung A dan Kirana.
Tahap refreezing yaitu evaluasi dengan menyerahkan draft
panduan kepada kelompok substansi pelayanan keperawatan, dengan
membuat rencana tindak lanjut yang di setujui oleh koordinator
kelompok substansi pelayanan keperawatan untuk dapat
ditindaklanjuti dan membuat regulasi baru yang dapat diterapkan di
ruang rawat inap. Secara singkat dijelaskan dalam gambar berikut ini

3 PEMBAHASAN
Hambatan yang ditemukan dalam data demografi yaitu pada
tingkat pendidikan, sebanyak 70% pendidikan terakhir perawat di Gedung
A dan Kirana adalah DIII Keperawatan. Dalam hasil penelitian
sebelumnya bahwa tingkat Pendidikan yang lebih tinggi memiliki
perspektif positif pada praktik kolaborasi, sehingga memudahkan perawat
untuk berkolaborasi dengan profesi lainnya. Peran dan fungsi kepala
ruangan dalam praktik kolaborasi sangat penting, karena setiap

xvii
pemimpin harus mampu menyatukan orang-orang dengan sudut pandang
berbeda. Kepala ruangan dapat menjadi role model dalam pelaksanaan
praktik kolaborasi di ruangan. Peran kepala ruangan dibutuhkan dalam
memfasilitasi dan mempengaruhi staf yang ada diruangan (Warashati et
al., 2020). Kepemimpinan seperti ini juga akan berdampak positif untuk
meningkatkan keselamatan pasien dengan mengurangi kesalahan tindakan
(Setyowati, 2019).
Kualitas pelayanan rumah sakit sangat ditentukan oleh
keberhasilan interprofessional collaboration practice, karena praktik
kolaborasi memiliki banyak manfaat seperti membangun budaya
keselamatan pasien (Ries, 2016) dan mengurangi tingkat kesalahan medis
(Morley& Cashell, 2017). Strategi untuk meningkatkan praktik kolaborasi
interprofesional kesehatan yaitu dengan meningkatkan tingkat
keterampilan atau kompetensi setiap profesi (Pileño et al., 2018).
Pengamatan yang dilakukan antara tahun 2017-2021 memberikan bukti
bahwa tim interprofesional berkinerja tinggi tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui peningkatan kompetensi IPCP dan proses peningkatan
kualitas yang berkelanjutan (White-williams & Shirey, 2022).
Dalam melaksanakan praktik kolaborasi, setiap profesi
kesehatan perlu mengetahui enam kompetensi dalam interprofessional
collaboration practiceyaitu komunikasi interprofesional, perawatan
berpusat pada pasien, kejelasan peran, tim berfungsi dengan baik,
kepemimpinan kolaboratif, dan resolusi konflik interprofesional. Enam
domain ini memiliki pengaruh signifikan dalam praktik
kolaborasi interprofesional di rumah sakit (Josi et al., 2020)
Kompetensi interprofessional collaboration practice menurut dalam CICH
terdiri dari perawatan yang berpusat pada pasien, kejelasan peran, kerja
sama tim, kepemimpinan kolaboratif dan resolusi konflik
interprofessional.

xviii
Peneliti di beberapa negara melakukan penelitian yang paling
berpengaruh terhadap praktik kolaborasi di rumah sakit, seperti
halnya pada rumah sakit di US, faktor yang paling berpengaruh yaitu
komunikasi dan perawatan berpusat pada pasien (Rohm et al., 2020)
rumah sakit di Switzerland faktor yang paling mempengaruhi yaitu
kejelasan peran (Josi et al., 2020) rumah sakit di London yang paling
mempengaruhi komunikasi (Iedema et al., 2019) dan di indonesia
keberfungsian tim dan kepemimpinan kolaboratif (Soemantri et al., 2019).
Draft panduan disusun berdasarkan telaah literatur dan jurnal
tentang interprofessional collaboration practice di rumah sakit dan
masukan dari berbagai pihak di rumah sakit. Draft Panduan berisi BAB I
pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, tujuan, kebijakan. BAB II
definisi menjelasakan pengertian, manfaat, kerangka, dan peran
profesional kesehatan dalam praktik kolaborasi. Kemudian pada BAB III
ruang lingkup menjelaskan unit kerja, peran, fungsi dan tugas perawat.
BAB IV menjelaskan tentang tata laksana yang sesuai 6 kompetensi
CIHC.
Salah satu upaya yang terbukti dapat meningkatkan kompetensi
yaitu menyusun panduan yang terdapat kejelasan peran dan pemrosesan
konflik (Setiadi et al, 2017). Draft ini menjadi dasar pelayanan
keperawatan untuk melakukan pembahasan bersama profesi lainnya di
rumah sakit, karena pembahasan untuk menetapkan tujuan bersama dan
standar yang jelas merupakan strategi yang dapat meningkatkan praktik
kolaborasi (Müller et al., 2018). Dengan disusunnya draft panduan
kompetensi interprofessional collaboration practice sebagai langkah
awal yang dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kompetensi
dalam pelaksanaan praktik kolaborasi diruang rawat inap. Hasil akhir
program residensi manajemen keperawatan adalah tersusunnya draft
panduan interprofessional collaboration practice yang telah diserahkan

xix
kepada kelompok substansi pelayanan keperawatan dan diharapkan dapat
segera dilakukan pembahasan dengan profesi lainnya.

xx
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Interprofessional collaboration merupakan salah satu hal yang sangat
diperlukan dalam menangani masalah kesehatan. Elemen praktik kolaboratif
termasuk tanggung jawab, akuntabilitas, koordinasi, komunikasi, kerjasama,
otonomi, saling percaya dan saling menghormati Tanpa adanya kolaborasi
dari tim kesehatan, pengobatan tidak dapat berjalan secara optimal. Dalam
kolaborasi tim kesehatan, masing-masing tenaga kesehatan mempunyai peran
dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dari hasil penelitian dalam joural didapatkan adanya terjadi hambatan
dalam komunikasi secara verbal dan adanya pergantian dokter residensi setiap
tiga bulan di ruang rawat inap. Hambatan yang ada paling banyak terjadi
antara dokter dan perawat dalam hal perencanaan pasien, kolaborasi
implementasi, dan discharge planning. TCR dalam kuesioner ini sudah baik,
namun komunikasi interprofesi pada pertanyaan memiliki perbedaan pendapat
tentang rencana tujuan perawatan pasien kemudian komunikasi yang buruk
antar profesi kesehatan menyebabkan kesalahan dan keterlambatan tindakan
yang diberikan. Implementasi dari pilot studyini yaitu melaksanakan fungsi
perencanaan dalam manajemen dengan melakukan penyusunan draft panduan
interprofessional collaboration practice untuk meningkatkan kompetensi
perawat di RS Tipe A di Jakarta. Penyusunan draft panduan kompetensi IPCP
perawat dapat mendukung perawat dalam melakukan interprofessional
collaboration practice di ruang rawat inap.

B. SARAN
Penulis berharap agar semua mahasiswa keperawatan dapat
memahami dan mendalami materi IPC supaya kolaborasi antara petugas

xxi
kesehatan dapat berjalan lebih baik untuk untuk mengembangkan
interprofessional, berbasis tim, pendekatan kolaboratif yang meningkatkan
hasil pasien dan kualitas perawatan keselamatan pasien nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

Jembatan, D. R., Davidson, R. A., Odegard, P. S., Maki, I. V. & Tomkowiak,


J. (2014). praktek terbaik dari pendidikan interprofessional. (April 2011), 0- 10.

xxii
Kurniawan, D. (2014). Interprofessional Education Sebagai Upaya
Membangun Kemampuan Perawat dalam Berkolaborasi dengan Tenaga Kesehatan
Lain. Retrieved from https://nersdicky.wordpress.com/2014/12/10/interprofessional-
education- sebagai-upaya-membangun-kemampuan-perawat-dalam-berkolaborasi-
dengan-tenaga-kesehatan-lain/
https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JOTING/article/view/4258/3009

xxiii

Anda mungkin juga menyukai