Anda di halaman 1dari 9

Makalah

Hukum Perdata Islam di Indonesia I


“Perkawinan antar Pemeluk Agama dan antar Warga Negara”

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Elimartati, M.Ag
Firdaus, S. Sy., M.H.

Oleh Kelompok 12 :
Abrar Yasfi 2130201001
Alief Dinul Haq 2130201010

PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS
BATUSANGKAR
2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya diserahkan kepada Allah SWT yang
telah mensyariatkan hukum islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam semoga
Allah SWT sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syariat islam
untuk diimani, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Berkat rahmat dan karunia Allah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia I dengan judul "mendeskripsikan sanksi pelanggaran
Hukum dalam perkawinan" dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari bahwa makalah
yang penulis buat ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun yang
lainnya.
Dalam kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada
Dosen Hukum Perdata Islam I yang mengajar dikelas AHS-5A dan kawan–kawan yang
telah mendukung penulis dalam penulisan makalah ini. Akhir kata penulis
mengharapkan agar makalah ini bermanfaat baik bagi kawan-kawan maupun bagi
penulis sendiri. Aamiin.

Batusangkar, 10 desember 2023

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHSAN
A. Sanksi dalam perkawinan ............................................................. 2
B. Sanksi KDRT ............................................................................... 3

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................. 7
B. Kritik Dan Saran........................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang
membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang
meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya disebut intim dan seksual. Perkawinan
umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
Pasal 1 menyatakan bahwa Perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa”.
Serta umumnya perkawinan terjalin antara agama yang sama atau memiliki keyakinan
yang sama. Namun beberapa fenomena menarik berkembang yang menghadirkan perkawinan
beda agama. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji dikarenakan mengikat dua kepercayaan
yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1 Apa itu Sanksi dalam perkawinan?
2 Apa itu Sanksi KDRT?

C. Tujuan
1 Untuk Mengetahui Sanksi dalam perkawinan
2 Untuk Mengetahui Sanksi KDRT.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sanksi dalam perkawinan
Pasal 279 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa mengadakan perkawinan
padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu, atau barang siapa mengadakan perkawinan
padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi
penghalang untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Setiap orang yang melakukan perkawinan poligami tanpa melalui prosedur yang
telah ditetapkan oleh Undang-undang dapat dituntut menurut Pasal 279 KUHP pidana.
Meskipun demikian perkawinan poligami tidak sesuai dengan aturan Undang-undang
atau disebut juga poligami liar yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat
yang tidak tersentuh oleh hukum namun ada juga tindak pidana perkawinan itu dituntut
berdasarkan Pasal 279 KUHP pidana tersebut.Ketika perkawinan menjadi tindak pidana,
maka ada beberapa orang yang menjadi pelaku perbuatan tersebut, yaitu suami (laki-laki)
dan istri (perempuan). Berdasarkan Pasal 279 KUHP pidana hukuman itu dijatuhkan
kepada kedua pelaku tersebut.
Dengan demikian perundang-undangan Indonesia terlihat berusaha menghargai
istri sebagai pasangan hidup suami. Buktinya untuk poligami suami harus lebih dahulu
ada persetujuan dari istri.
Untuk itu perundang-undangan Indonesia memberikan kepercayaan sepenuhnya
kepada hakim di Pengadilan Agama. Hakim bisa mengabulkan permohonan laki-laki
untuk berpoligami, jika syaratsyarat telah terpenuhi
Dengan demikian, ringkasnya adalah di dalam islam tidak ada sanksi poligami
karena ayat sendiri tidak ada menjelaskan bahwa ketika suami berpoligami harus
mendapatkan persetujuan dari istri, namun dengan catatan pula, sang suami harus bisa
berlaku adil, sebagai syarat diperbolehkanya poligami. Namun undang-undang banyak
disyariatkan ada persetujuan dari istri ( UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 3,4,
dan 5, pada Kompilasi Hukum Islam pasal 55, 56, 57, 58, dan pada PP No. 9 Tahun 1975
pasal 40, 41, 42, 43 yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Hal ini beretujuan untuk
melindungi pihak istriyang dipoligami, hanya undang -undang membentuk Sanksi pidana
dalam poligami maksimal 5 tahun penjara tanpa izin istri, namun jika perbuatan didasari
atas kebohongan maka ancaman pidana 7 tahun, jika ditinjau dari maslahahhal ini
merupakan langkah-langkah yang banyak mengarah kepada kebaikan sesuai dengan
kaidah:
ِ ‫ح‬ ‫ل‬
ِ ‫ا‬ ‫ص‬
َ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِدا َ ْولَى ِم ْن َج ْل ِب ْال َم‬

Artinya: “menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan dari pada


mengambil sebuah kemaslahatan.
Jadi sanksi pidana dalam poligami lebih banyak mamfaatnya dari pada
mudaraatnya, sehingga dalam hal ini laki-laki yang ingin berpoligami banyak-banyak
berpikir dulu sebelum melakukan poligami.

2
B. Sanksi KDRT
Pengertian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah tindakan yang
dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga.
Tindakan ini meliputi ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang tidak
sesuai dengan hukum, yang terjadi dalam konteks kehidupan keluarga.
Menurut Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 mendefinisikan kekerasan
dalam rumah tangga sebagai segala tindakan yang menyebabkan penderitaan atau
kesengsaraan dalam bentuk KDRT baik fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap
seseorang, terutama perempuan, dalam lingkup rumah tangga.
KDRT dapat terjadi karena rendahnya kemampuan anggota keluarga untuk
beradaptasi satu sama lain, sehingga anggota keluarga yang memiliki kekuasaan dan
kekuatan cenderung menggunakan dominasi dan eksploitasi terhadap anggota keluarga
yang lebih lemah.
Kemudian, KDRT juga dapat muncul sebagai dampak dari intervensi lingkungan
di luar keluarga yang mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orangtua atau
kepala keluarga, dan tercermin dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga.

Bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi :


a. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dalam konteks KDRT, menurut Pasal 8 UU KDRT, merujuk
pada tindakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap seseorang yang
tinggal dalam lingkup rumah tangga.
Ini juga mencakup pemaksaan hubungan seksual antara salah satu anggota rumah
tangga dengan orang lain, baik untuk tujuan komersial maupun tujuan lain yang
ditentukan.
b. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 UU KDRT, kekerasan fisik dapat dijelaskan sebagai tindakan
yang menyebabkan timbulnya rasa sakit, penyebab jatuh sakit, atau luka berat pada
seseorang.
c. Kekerasan Psikis
Menurut Pasal 7 UU KDRT, kekerasan psikis dapat diartikan sebagai tindakan
yang menghasilkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, kehilangan kemampuan untuk
bertindak, perasaan tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis yang berat pada seseorang.
d. Kekerasan Pelantaran Rumah Tangga
Pasal 9 UU KDRT mengatur bahwa penelantaran rumah tangga dapat dijelaskan
sebagai tindakan di mana seseorang tidak memenuhi kewajiban memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam lingkup rumah
tangganya, meskipun secara hukum atau persetujuan mereka memiliki tanggung jawab
tersebut.
Selain itu, penelantaran juga mencakup tindakan seseorang yang membatasi atau
melarang orang tersebut untuk bekerja secara layak, baik di dalam maupun di luar rumah,
sehingga korban menjadi bergantung secara ekonomi dan berada di bawah kendali orang
tersebut.
Hukuman Bagi Pelaku KDRT
a. Kekerasan Seksual

3
Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah sebagai
berikut:

1. Pidana penjara selama empat tahun hingga 15 tahun atau denda sebesar Rp 12 juta
hingga Rp 300 juta diberlakukan bagi setiap orang yang memaksa orang yang berada
dalam lingkup rumah tangga untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial atau tujuan tertentu.

2. Pidana penjara selama lima tahun hingga 20 tahun atau denda mulai dari Rp 25 juta
hingga Rp 500 juta diberlakukan jika kekerasan seksual tersebut menyebabkan korban
mengalami luka yang tidak bisa sembuh sepenuhnya, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan selama minimal satu bulan atau setidaknya satu tahun secara tidak
berurutan, menyebabkan gugurnya atau kematian janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya organ reproduksi.

b. Kekerasan Fisik
Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga adalah sebagai
berikut:
1. Pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta
diberlakukan bagi setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga.
2. Pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta
diberlakukan jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban jatuh sakit atau
menderita luka berat.
3. Pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta diberlakukan
jika kekerasan fisik tersebut menyebabkan korban meninggal.
4. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta
diberlakukan jika kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya, namun tidak menyebabkan penyakit atau hambatan dalam menjalankan
pekerjaan atau aktivitas sehari-hari.
c. Pelaku Psikis
Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan psikis dalam rumah tangga adalah sebagai
berikut:
1. Pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta diberlakukan
bagi setiap pelaku yang melakukan tindakan kekerasan psikis dalam rumah tangga.

2. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta
diberlakukan jika kekerasan psikis tersebut dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya, namun tidak menyebabkan penyakit atau menghambat dalam menjalankan
pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.

d. Pelaku penelantaran rumah tangga


Pelaku penelantaran rumah tangga dapat dikenai hukuman penjara maksimal
selama tiga tahun atau denda maksimal sebesar Rp 15 juta.
Hukuman ini berlaku bagi pelaku yang menelantarkan anggota keluarga dalam
rumah tangganya atau yang dengan sengaja membatasi anggota keluarganya untuk
bekerja, sehingga menyebabkan terjadinya ketergantungan ekonomi.

4
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setiap orang yang melakukan perkawinan poligami tanpa melalui
prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-undang dapat dituntut menurut Pasal
279 KUHP pidana. Meskipun demikian perkawinan poligami tidak sesuai dengan
aturan Undang-undang atau disebut juga poligami liar yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang tidak tersentuh oleh hukum namun ada juga tindak
pidana perkawinan itu dituntut berdasarkan Pasal 279 KUHP pidana tersebut.Ketika
perkawinan menjadi tindak pidana, maka ada beberapa orang yang menjadi pelaku
perbuatan tersebut, yaitu suami (laki-laki) dan istri (perempuan). Berdasarkan Pasal
279 KUHP pidana hukuman itu dijatuhkan kepada kedua pelaku tersebut.
B. KRITIK DAN SARAN
Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembutan makalah ini. Hal ini disebabkan
karena masih terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku pembuat
makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami
juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan
pembaca pada umumnya

5
DAFTAR PUSTAKA

Huzaimah Tahido Yanggo, 2005,Masail Fiqhiyah,

Mahjuddin, 2012 Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam,Jakarta: Kalam Mulia

Mohd.Idris Ramulyo, , 1996,Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Al-Nawawy. n.d. al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Tanzil . Semarang: Usaha Keluarga, tt.

Elimartati, 2014. Bunga Rampai Perkawinan Di Indonesia.. Stain Batusangkar Press.

Mohd. Idris ramulyo, S. H. 2004. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Bumi Aksara.

Muhammad, N. E. 2020. Realitas Perkawinan Beda Agama Perspektif Keluarga Sakinah. Jurnal
Al- Mizan, Volume 16 No. 2.
Palandi, A. C. 2013. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lex Privatum, Volume 1 No. 2.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M. A. 2015. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Raus, A. 2015. Perkawinan Anatar Pemeluk Agama Di Indonesia. Jurnal Juris, Volume 14 No 1.

S, L. A. 2017. Perkawinan Anatar Negara di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata


Internasional.Kertha Patrika, Volume 39 No 3.

Soekanto, S. 2003. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai