Anda di halaman 1dari 13

HALAL BI HALAL ULANG TAHUN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah: Ibadah dan Ritual Keagamaan


Dosen Pengampu:

Hj. S. Nor Hasanah, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh:
Sem. III / S1 PAI
Kelas B
Nurhasanah (12201068)

Muhammad Adib Azmi (12201169)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) PONTIANAK
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya berupa kesehataan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Halal Bi Halal Ulang Tahun” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi Mata Kuliah Ibadah
dan Ritual Keagamaan yang diampuh oleh Ibu Hj. S. Nor Hasanah, S.Pd.I., M.Pd. kami
harap semoga dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca,
serta minat untuk mengetahui lebih dalam mengenai apa saja ritual dari bangun dan
pindah rumah.
Kami sadar bahwa kami masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
menyusun makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu, kami sangat senang jika para pembaca memberi saran dan kritik terhadap makalah
ini.

Pontianak, 30 November 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN 2
A. Sejarah Awal Pelaksanaan Halal Bi Halal dan ulang tahun 2
B. Kedudukan Hukum Dan Hujjah Tentang Halal Bi Halal Dan
Ulang Tahun 5
C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pelaksanaan Halal Bi Halal
Dan Ulang Tahun 7

BAB III PENUTUP 9


A. Kesimpulan 9
B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Halal bi halal adalah tradisi dalam budaya Indonesia yang dilakukan
setelah Idul Fitri untuk saling memaafkan dan mempererat hubungan
antarindividu serta kelompok. Sementara ulang tahun adalah perayaan yang
umum di mana seseorang merayakan tahun baru dalam kehidupannya. Kedua
perayaan ini memiliki makna yang mendalam dalam mempertahankan hubungan
sosial yang harmonis dan menghargai momen kebersamaan.
Halal bi halal terkandung beberapa nilai seperti gotong royong, saling
maaf-memaafkan, dan mempererat tali silaturahmi, mengajarkan pentingnya
toleransi dan kebersamaan. Sementara ulang tahun merupakan momen refleksi
pribadi di mana seseorang merayakan pertumbuhan, pencapaian, dan bersyukur
atas kesempatan hidup yang diberikan.
Ketika keduanya digabungkan, halal bi halal ulang tahun menjadi
kesempatan yang unik untuk merayakan tahun yang baru dalam kehidupan sambil
mengingat pentingnya memelihara hubungan baik dengan orang lain dan
menerima serta memberikan maaf. Ini juga menggarisbawahi nilai-nilai
persaudaraan dan kerukunan dalam sebuah perayaan yang memadukan aspek
spiritual dan pribadi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah awal pelaksanaan halal bi halal dan ulang tahun?
2. Bagaimana kedudukan hukum dan hujjah tentang halal bi halal dan ulang
tahun?
3. Jelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan halal bi halal dan
ulang tahun.
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah awal pelaksanaan halal bi halal dan ulang tahun.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum dan hujjah tentang halal bi halal dan
ulang tahun.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan halal bi
halal dan ulang tahun.

1
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Sejarah Awal Pelaksanaan Halal Bi Halal dan Ulang Tahun


Halal bihalal ialah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, yang
di tengahnya terdapat satu huruf (kata penghubung) yaitu ba’ (baca/bi). Sedangkan istilah
halal bihalal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki makna hal maaf
memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, yang biasa diadakan
dalam sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan makna berhalal bihalal artinya
bermaaf-maafan pada waktu lebaran. Dengan demikian dalam halal bihalal berarti
terdapat unsur silaturahim (Syam, 2023: 14).
Menurut Quraish Shihab, kata halal dari segi bahasa diambil dari akar kata halla
atau halala yang memiliki berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian
kalimatnya. Secara bahasa, makna halla ialah menyelesaikan problem atau kesulitan,
meluruskan benang kusut, dan mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang
membelenggu. Dengan demikian, makna halal bihalal akan memberikan sebuah
pemahaman universal bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang mengubah
hubungannya dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dari
yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun perkara tersebut belum tentu haram.
Quraish Shihab memberi catatan, bahwa tujuan halal bihalal adalah menciptakan
keharmonisan antar sesama. Kata halal dalam perspektif hukum artinya kebalikan atau
antonim dari perkara haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga
pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa. Sementara halal adalah sesuatu
yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian, maka halal bihalal dapat
berarti perbuatan yang menjadikan sikap seseorang terhadap orang lain yang tadinya
haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf (Zulfikar, 2018:32).
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak gugusan pulau yang besar dan
kecil. Di dalam pulau-pulau ini, ada puluhan ribu orang dengan budaya dan tradisi yang
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal.

2
Menurut pandangan kedua, halal secara bahasa memiliki arti bermacam-macam,
seperti: meluruskan benang kusut, memecahkan masalah, mencairkan yang beku, dan
melepaskan ikatan.
Sedangkan tujuannya adalah untuk memulihkan keharmonisan kekeluargaan yang
disebabkan oleh suatu kesalahan baik di sadari ataupun tidak disadari dan untuk meminta
maaf sehingga kekeluargaan akan semakin erat dengan rasa saling memaafkan, kasih
sayang dan penghayatan.
Meskipun dalam agama Islam sebagaimana yang disebutkan diatas bahwa
budaya Halal bihalal ini sesuai dengan salah satu tujuan atau makna Islam yaitu tentang
silaturrahim. Dalil ayat Al-Qur`an yang menjadi tumpuan silaturrahim dari makna Halal
Bihalal salah satunya terdapat surah An-Nisa` ayat 1 yang berbunyi:

‫ِثا ٱ ًلس وَ و اَهسٱء۟ا ٱو ٱق ٱت وَ ا ء ً ٓاَس نِ وَا‬ ‫ٱَٰٓبا ٱَاءل َّ ثا س اٱلَّ ٱ ٱل ٱَٰٓاَه سَ و‬


َ ‫ََٰٓاَاستو‬ َّ ُ ‫اََّا ء‬ َ ‫اَِاستو‬
‫ِث س ٱ‬ ‫ََّٰٓ ا َِّّا ٱ‬
‫اثَِء ٱ‬
‫ٱَٰٓاًِلٱ ٱ‬ ‫اا ء نَ ٱ‬
‫ٱَٰٓال نِ ٱُ ٱ‬ ‫اِ ٱو ٱق ٱ‬ ‫س ا ء نَ و ٱ س ٱ‬
‫اِ ءَ ٱ وَ ٱ‬

‫ٱاِ نَِ ٱ ن َٱَٰٓ ٱ اا ءأٓساااا‬ ‫َقٱ نل وَ ن ا ٱ لءلًلَََّٰٓ سهٱء۟اا ٱ ٱ‬


‫ََّٰٓ ا ٱِّهوِٓٱ ا ءًل ءه ٱ‬ ‫ََّاَٱَٰٓٓٱ ا ٱ‬
‫سٱ‬

Artinya: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Makna ayat tersebut sebagaimana diterangkan didalam Kitab Tafsir Al-Misbah,


bahwa kata al-arham merupakan bentuk jama` dari Rahim yaitu jalan tempat turunnya
(jalan lahir). Sehingga dengan pengertian tersebut berarti makna peranakan disini adalah
keluarga yang kemudian menjadi hubungan yang erat dalam kekeluargaan atau lebih
istilahnya dikenal menjaga silaturrahim antar keluarg
Setiap perintah yang diberikan oleh Allah kepada manusia memiliki konsekuensi
mutlak bagi siapa saja yang meinggalkannya. Begitu juga dengan orang yang

3
mengabaikan atau bahkan memutus silaturrahim. Allah memberikan ancaman pemutusan
hubungan-Nya dengan siapa saja yang memutuskan silaturrahim. Jadi dapat disimpulkan
bahwa silaturrahim adalah menjaga hubungan dalam keluarga yang mana di Indonesia
dalam budayanya dikenal Halal Bihalal.
Jadi, halal bihalal merupakan suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di
Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling
memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan
setelah melakukan solat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di
hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Intinya halal bihalal merupakan silaturrahmi dan saling memaafkan, yang mana hal ini
terdapat dalam salah satu hadis yang berbunyi:

ُ‫سأ َ لَهُ فِي أَث َ ِر ِه فَ ْليَ ِص ْل َر ِح َمه‬ َ ‫َم ْن أَحَبَّ أ َ ْن يُ ْب‬


َ ‫س َط لَهُ فِي ِر ْزقِ ِه َويُ ْن‬

Artinya: “Siapa saja yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan pengaruhnya,
maka sambunglah tali persaudaraan” (HR Bukhari dan Muslim).
Tradisi halalbihalal mula-mula dirintis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang bernama Raden Mas Said (lahir 7 April 1725),
yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan
para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit
dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh
Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan
istilah halalbihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan
halalbihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
Nah berdasarkan asal usulnya halalbihalal merupakan perpaduan antara
unsur budaya Jawa dan budaya Islam yang juga memiliki manfaat yang besar
dalam mempererat tali silaturrahim antar umat Islam. (Husna, 2019: 50).
Halal bihalal secara eksistensinya menjadi salah satu saranan dalam membangun
hidup kerukunan di tengah-tengah masyarakat majemuk. Membangun silahturahmi di

4
dalam kehidupan beragama melalui halal bihalal menjadi pilihan dan dapat memberikan
kontribusi yang sangat besar ditengah-tengah merajut kerukunan dan kebersamaan
(Kalundag, 2020: 8).
Dalam pandangan Islam, ulang tahun sering disebut dengan Maulid. Dimana
dalam sejarah terdapat dua pandangan yang memaparkan tentang awal mula munculnya
tradisi maulid. Pertama, tradisi maulid awalnya diadakan pertama kali oleh Khalifah
Mu’iz li Dinillah. Dimana beliau adalah seorang khalifah pada masa dinasti Fatimiyyah
di Mesir yang lahir pada tahun 341 H. Setelah itu, perayaan maulid di larang oleh Al-
Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali dilaksanakan pada masa Amir li Akhamillah pada
tahun 524 H, pendapat tersebut disampaikan oleh Al- Sakhawi (wafat 902 H).
Kedua, Maulid diadakan oleh Khalifah Mudhaffah Abu Said pada tahun 630 H,
dimana acara tersebut diadakan secara besar-besaran. Dimana saat itu, Mudhaffar sedang
memikirkan bagaimana agar dapat terbebas dari kekejaman Temujin atau yang lebih
dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M) yang berasal dari negara Mongol.
Dimana Jengiz Khan merupakan raja yang naik tahta ketika umurnya 13 tahun, dimana
dia dapat mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama yang ingin menguasai dunia.
Dimana untuk menghadapi serangan dari Jengiz Khan, maka Mudhaffar mengadakan
acara maulid. Dalam acara tersebut terdapat berbagai makanan yang disajikan, dimana
acara tersebut menghabiskan dana sekitar 300.000 dinar uang emas. Selain itu, beliau pun
turut mengundang para orator untuk menumbuhkan sikap nasionalisme dan heroisme
kaum muslimin, dan hasilnya adalah mereka memiliki semangat yang menggebu-gebu
dan siap menjadi benteng kokoh Islam (Maysarotin, 2021: 30).

B. Kedudukan Hukum Dan Hujjah Tentang Halal Bi Halal Dan Ulang Tahun
Di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis definisi halal bihalal memang tidak
ditemukan. Namun definisi halal bihalal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
memiliki arti memaafkan dimana setelah melakukan puasa Ramadhan diadakan di tempat
yang luas oleh sekumpulan orang. Menurut analisa Quraish Shibab, istilah halal bihalal
memiliki tiga arti.
Pertama, dari segi hukum kata halal berarti lawan dari kata haram. Haram ialah

5
sesuatu yang dilarag atau seorang mukallaf yang melahirkan dosa dan siksa. Jika istilah
halah bihalal dikaitkan dengan pengertian halal lawan dari haram maka akan
menimbulkan kesan, jika orang yang melakukan halal bihalal akan terhindar dari dosa
dan menjadikan sikap seseorang yang tadinya berdosa menjadi halal. Namun dalam
tinjauan hukum ini masih terdapat kelemahan.
Kedua, tinjauan halal bihalal dari segi kebahasaan. Kata halal dari segi bahasa
diambil dari kata halla atau halala yang memiliki berbagai bentuk dan makna sesuai
rangkaian kalimatnya. Secara bahasa, makna halla ialah menyelesaikan problem,
meluruskan benang kusut, dan melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian
makna halal bihalal dari segi kebahasaan memberikan pemahaman yang universal bahwa
seseorang menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungannya dari keruh
menjadi bersih, dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun perkara tersebut
belum tentu haram.
Ketiga, makna halal bihalal jika ditinjau dari Al-Qur’an kata halal ditemukan
sebanyak 6 ayat yang terliput dalam 5 surah. Dua diantaranya dirangkaikan dengan kata
haram dan dikemukakan dalam konteks negative, sedangkan keempat sisanya selalu
dirangkaikan dengan kata hulu (makanlah) dan kata thayyibah (yang baik). Empat ayat
terjahir berupa tinjauan halal bukan dalam konteks kecaman disamping dirangkai dengan
kata hulu juga dirangkai dengan kata thayyib yang berarti menyenangkan. Sebagaimana
Surah Al-Baqarah ayat 168 yang berarti : “Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang
halal dan baik yang terdapata di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah
setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu”. Pada ayat tersebut Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hambanya yang beriman untuk mngkonsumsi
makanan yang baik atas rezeki yang Allah berikan agar mereka senantiasa selalu
bersyukur kepada Allah. Mengkonsumsi perkara halal adalah sarana terkaulnya doa dan
diterimanya amal ibadah sebagaimana mengkonsumsi perkara haram menghalangi doa
dan tertolaknya amal ibadah.
Fakhruddin al-Razi memaknai kata halal QS. Al-Baqarah 168 dengan arti sesuatu
yang cara memperolehnya dan wujud barangnya harus dibenarkan oleh syariat. Misalnya
dari minyak dari segibarang yang dihalalkan dengan syariat, namun menjadi haram ketika

6
memperolehnya dengan mencuri..
Hal tersebut sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang membagi haram menjadi
dua macam. Pertama haram lidzatihi yaitu sesuatu yang diharamkan karena sudah asalnya
haram seperti daging anjing. Kedua haram ligharihi yaitu sesuatu yang diharamkan
karena menyalahi aturan syariat, seperti merampok, mencuri dan lain-lain. Makna thayyib
di ayat tersebut adalah lawan dari khabits yang berarti jelek atau menjijikkan. Thayyib
adalah perkara secara akal dan fitrah dianggap suci dan baik. Misal tembakau merupakan
perkara yang jelek karena membahayakan kesehatan, ini masuk kategori khabits.
Ungkapan ini menandakan bahwa masih ada yang halal tetapi tidak thayyib. Ini diperkuat
dengan hadis Nabi pada penjelasan sebelumnya bahwa perkara halal yang paling dibenci
Allah ialah thalaq (cerai).

C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pelaksanaan Halal Bi Halal Dan Ulang


Tahun
Adapun nilai nilai yang terdapat dalam halal bihalal yang harus kita ketahui agar
kita senantiasa malaksanakan halal bihalal dan tidak memutus tali silaturahmi atau
persaudaraan, nilai nilai dalam halal bihalal, sebagai berikut (Anggraeni, 2021: 30-33)
a. Nilai Kasih Sayang Kasih
sayang menurut kamus besar bahasa Indonesia ialah “perasaan sayang, cinta
kasih”. Kasih sayang adalah suatu sikap saling menghormati dan mengasihi
semua ciptaan Tuhan baik mahluk hidup maupun benda mati seperti
menyayangi diri sendiri sendiri berlandaskan hati nurani yang luhur. Kita
sebagai warga negara yang baik sudah sepatutnya untuk terus memupuk rasa
kasih sayang terhadap orang lain tanpa membedakan saudara ,suku, ras,
golongan, warna kulit, kedudukan sosial, jenis kelamin, dan tua atau muda
seperti yang telah dijelaskan dalam QS Ar-Rum ayat 21:

‫َو َجعَ َل بَ ْينَ ُكم م ََّودَّةً َو َر ْح َمة‬

7
Artinya:"...dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang" (Q.S. Ar-
Rum 30: 21)
b. Nilai Kebahagian
kebahagiaan adalah perasaan positif yang dapat membuat pengalaman
menyenangkan berupa perasaan senang, damai dan termasuk juga didalamnya
kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya perasaan tertekan
ataupun menderita. Semua kondisi ini merupakan kondisi kebahagiaan yang
dirasakan individu.
c. Nilai Ampunan (maghfirah)
Makna maghfirah (pengampunan) secara bahasa adalah assatr (tertutup),
artinya menutup segala dosa yang telah dilakukan hamba-Nya, atau menutup
dosa dan aib hamba-Nya. Dalam Al-Quran menjelaskan:
َ ‫ِإ ََّّل الَّ ِذينَ تَابُوا ِمن قَ ْب ِل أَن ت َ ْقد ُِروا‬
َّ ‫علَي ِْه ْم فَا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
َ‫اّلل‬

‫غفُور رَّ ِحيم‬


َ

Artinya: "kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu
dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Q.S. Al-Maidah 5: 34).

d. Nilai Berkah
Arti berkah disini adalah mendapatkan keberkahan kebahagian dengan
melaksanakan halal bihalal karena dengan kasih sayang, kebahagiaaan dan
ampunan dari seseorang yang kita lukai hatinya menjadikan keberkahan
didalam hidup.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Halal bihalal merupakan tradisi khas yang merefleksikan bahwa Islam adalah
agama toleransi, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama.
Pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan kesalahan orang lain dan
sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga tetap menjadi warna
tersendiri bagi masyarakat muslim Indonesia. Terlepas dari makna sebenarnya kegiatan
halal bihalal tergantung pada niat orang yang menggelarnya dan perspektif setiap
masyarakat dari mana menilainya. Jangan sampai silaturahmi hanya sebatas simbol
kepedulian dan ajang pencitraan untuk memenuhi agenda tahunan dalam rangka
memeriahkan hari raya kemenangan.

B. Saran
Tentunya terhadap penyusun menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah
di atas masih banyak kesalahan baik yang disengaja maupun tidak serta jauh dari
kata sempurna. Oleh Karena itu, penyusun mengharapkan adanya kritik sekaligus
saran. Adapun nantinya penyusun akan segera melakukan perbaikan dari susunan
makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
bisa membangun dari para pembaca ataupum peserta didik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, S. (2021). TRADISI HALAL BIHALAL DALAM MENJAGA SILATURAHMI PADA


MASA COVID-19. Lampung: Raden Intan Repository.
Husna, M. (2019). HALAL BIHALAL DALAM PERSPEKTIF ADAN DAN SYARIAT.
Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol. 2(1) Hlm. 45-56.
Kalundag, A. (2020). Meranjut Kebersamaan dalam Praktik Halal Bihalal di Mesjid Al-
Muhajirin Kema Satu di Tengah Masyarakat Majemuk. Jurnal Mahasiswa kristen, Vol.
2(2) Hlm. 1-9.
Maysarotin, S. (2021). DARI SLAMETAN WETON KE PERAYAAN ULABG TAHUN.
Semarang: Eprints Walisongo.
Syam, S. I. (2023). Esensi Kesalehan Sosial dalam Tradisi Halalbihalal di Indonesia. Journal of
Creative Student Reasearch, Vol. 1(3) Hlm. 12-20.
Zulfikar, E. (2018). Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadis. Jurnal Studi
Al-Qur'an Membangun Tradisi Berfikir Qur'an, Vol. 14(2) Hlm. 29-52.
Anshoriy, Nasruddin. “Merawat Lingkungan dengan Tradisi Islam”, IBDA: Jurnal
Kajian Islam dan Budaya 10.1 (2012): 131-141.

Eko Zulfikar. “Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Al-Qur`an dan Hadist dan Jurnal
Studi Al-Quran”, Vol 14, No 2, Tahun 2018

Maisarotil Husna. “Halal bihalal dalam Perspektif Adat dan Syariat” PERADA 2.1
(2019):45-56.
Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, hlm. 409.

Sa’diyah Fatichatus. (2000). Living Hadis as A Lifestyle (A Portrait of The Dialectics of Hadis
and Culture in Indonesia). International Journal Ihya’ ‘Ulum Al -Din, 2 (22).

Al- Jauhari bin Isma’il Hammad. (1979). al-Shihah Taj al-Lughah wa Shihah al- ‘Arabiyah, ed.
Ahmad ‘Abdul Ghafur’ Aththar. Beirut: Dar al-‘Ilm alMalayin.

Baqi, Muhammad Fuad ‘Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li al- Fazi al-Qur’an al Karim. Beriut:
Dar al-Fikr.

10

Anda mungkin juga menyukai