Mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengebangkan
minatnya. Dengan diterangkan sekali saja, mereka telah dapat menangkap maksudnya,
sedangkan peserta didik yang lain masih perlu dijelaskan lagi, mereka banyak waktu terluang,
yang kemudian apabila kurang diantisipasi oleh gurunya, akan digunakan untuk mengadakan
aktivitas sekehendaknya, misalnya mencubit atau benda benda kecil atau kapur keteman teman
sekitarnya.
Akibat lebih lanjut, mereka dapat menjadi anak yang berprestasi di bawah potensinya
(underachiever) malah mungkin (mengalami kesulitan belajar). .Selain itu Arland (1971) juga
mengemukakan bahwa lebih dari separuh berpretasi anak nyang berpotensi kecerdasan dan bakat
istimewa berprestasi di bawah potensinya disebabkan karena tidak mendapat program
pendidikan yang sesuai
Untuk menghindari sifat-sifat yang kurang baik ini, melalui pelayanan pendidikan yang
disesuaikan dengan bakat, minat, kemampuan dan kecedasan peserta didik, agar mereka dapat
memanifestasikan potensinya yang masih latent, yakni sebagaimana ciri-ciri mereka seperti yang
telah dikemukakan di atas.
Prevalensi Siswa dengan Kecerdasan dan Bakat Istimewa
Perbedaan yang ada dalam cara anak-anak diindentifikasi memiliki keceredasan dan bakat
istimewa, terdapat perbedaan yang mencolok dalam jumlah anak di ketahui. Pendekatan ini
mencerminkan persepsi yang jelas eklusif mengenai sifat-sifat keberbakatan dan jumlah orang
yang akan dilayani.
Opini berbeda mengenai sifat keberbakatan dan jumklah orang yang dilayani dikemukakan oleh
Rezulli dan Reis. Namum menurut Reis,semakin kecil siswa dekat terhadap realitas jumlah
sebenarnya yang masuk sebagai berbakat. Meskipun definisi dan jumlah orang yang
diindentifikasi berbakat berbeda , semua guru mempunyai anak berkemampuan unggul dan
berbakat khuisus di kelas.
Program Pendidikan Bagi Siswa dengan Potensi Kecerdasan Potensi Kecerdasan dan
Bakat Istimewa
Di negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan untukn perserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Gets dan Dillon, dalam Hallahan dan
Kaufman, 1982), antara lain:
• Sekolah musim panas di negeri dengan empat musim,
• Pendidikan dasar tidak berjenjang,
• Diterima lebih awal di perguruan tinggi,
• Pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi para perserta didik setingkat sekolah
menegah,
• Mata-mata pelajaran disekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi,
• Kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertantu yang ada dalam kurikulum,
• Kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum,
• Seminar-seminar hari Sabtu,
• Pengelompelompokan berdasarkan kemampuan,
• Pengayaan di kelas-kelas biasa,
• Guru tamu,
• Penambahan mata pelajaran,
• Tugas-tugas kelompok dan tugas ekrakurikuler,
• Wisata karya,
• Pelajaran-pelajaran biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lain,
• Percepatan
• Sekolah-sekolah khusus
• Program konsultasi
• Bimbingan/ tuturial
• Belajar mandiri
• Pertukaran belajar
• Program pemberian penghagaan,
• Program kegiatan yang ditawarkan lembaga non-sekolah, seperti museum,
perpustakaran dan
• Kurikulum khusus
Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dapat
berupa:
1. Program pengayaan, yaitu pemberian pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan
dan bakat istimewa yang dimiliki perserta didik, dengan penyediaan kesempatan dan
fasilitas belajar tambahan yang bersifat perluasan /perdalaman,setelah yang
bersngkutan menyelesaikan tugas-tugas yang diprogramkan untuk perserta didik
lainnya.
2. Program percepatan, yaitu poemberian pelayanan pendidikan sesuai potensi
kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki oleh perserta didik, dengan memberi
kesempatan kepada mereka untuk dapat menyelesaikan program reguler dalam jangka
waktu yang lebih singkat dibanding teman-temannya.
Kebutuhan Pendidikan Khusus Siswa dengan Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa.
Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
istimewa dapat dilakukan. Meskipun penting bagi tiap altenatif dalam memberikan bantuan
khusus dan kesempapatan untuk siswa berbakat, faktanya tetap bagi siswa yang ikut serta dalam
altenatif ini pada umumnya pendidikannya masih berupa produk pengalaman mereka di kelas
umum. Tidak ada yang lebih penting dibanding guru-guru kelas umum yang mengerti
kebutuhan-kebutuhan mereka dan mau mengajarkan mereka dengan cara yang kreatif.
Ranah Keberbakatan
Clark (1988) telah menjelaskan lima ranah sifat siswa-siswa yang memiliki keberbakatan.
• Ranah kognitif
adalah meliputi sejenis kemampuan tinggi yang dijelaskan terdahulu dalam konsep
Renzulli mengenai keberbakatan siswa yang berbakat adalah pembelajaran yang
cepat dan pengingat informasi yang unggul.
• Ranah afektif
Ranah afektif menurut Clark adalah suatu kecenderungan terhadap kedalaman
emosional dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Termasuk juga dalam ranah
ini adalah kecenderungan terhadap tingkat- tingkat penilaian moral yang tinggi.
• Ranah fisik
Clark meneliti siswa yang berbakat menunjukkan suatu perbedaan yang tidak lazim
antara perkembangan fisik dan intelektual. Mereka juga menunjukkan toleransi yang
rendah terhadap perbedaan antara standar mereka sendiri dengan ketidak mampuan
fisik untuk memenuhi standar.
• Ranah intuitif
Ranah intuitif berhubungan dengan kemampuan kreativitas. Lagi-lagi sama dengan
definisi RenzulIi, Clark berpendapat bahwa siswa yang berbakat dapat menu njukan
kapasitas kreatif yang luar biasa dalam bidang usaha kreatif
• Ranah Sosial
Pada ranah sosial, iswa yang berbakat menunjukan kleinginan yang kuat untuk
memenuhi potensi-potensi pribadi mereka, sementara ia juga membuat kontribusi
sosial yang positif. Mereka dapat menggunakan kemampuan intelektual tinggi
terhadap solusi masalah-masalah lingkungan sosial budaya mereka.
Interaksi Faktor-Faktor Keberbakatan
David Feldman telah melakukan penelitihan longitudinal dan akstensi pada 6 sampel anak yang
di anggap prodigie (Feldman, 1980, 1986) pada bidang- bidang yang ditelitinya:
• Memilki kemampuan luar biasa
• Ketika lahir kemampuan ini diketahui, dinilai, dan membantu perkembangan
kemampuan tersebut,
• Menerima pengajaran dari guru terbaik yang memiliki pengetahuan yang sangat luar
biasa atas suatu ranah dan sejarahnya, dan menenamkan pengetahuan itu dengan
menggunakan minat dan komitmen untuk belajar
• Menunjukan dorongan dari dalam yang kuat dan komitmen yang pada bidang mereka.
Kesempurnaan fisik seringkali menjadi ukuran pertama kenormalan seseorang bayi saat
ia dilahirkan. Pada kebanyakan orang tua mereka selalu berharap, bahwa Allah mentakdirkan
mereka untuk mendapatkan anak yang sempurna baik secara fisik maupun secara psikis.
Biasanya ketidak sempurnaan fisik lebih mudah dideteksi karena terlihat secara langsung. Tetapi
ketidak sempurnaan secara psikis maupun mental sulit dikenali seiring dengan waktu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu dari anak yang memiliki kekurangan atau
keterbelakangan mental adalah autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan pada anak
yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autism adalah
gangguan neurobiologis berat yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak
tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Autisme berasal dari bahasa Yunani yakni kata “Auto” yang berarti berdiri sendiri. Arti
kata ini ditujukan pada seseorang penyandang autism yang seakan-akan hidup di dunianya
sendiri. Safaria (2005: 1), memaparkan bahwa Kenner mendeskripsikan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan
penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang
repetitif dan stereotip, ingatan yang sangat kuat. Autisme memiliki tanda-tanda sejak masa
pertumbuhan awal, Kanner menyebutnya dengan infantile autism (autisme pada anak-anak).
Lebih lanjut Safaria menjelaskan bahwa gejala autisme termasuk ke dalam kategori gangguan
perkembangan pervasive (pervasive developmental disorder).
Di Indonesia, autis juga mendapat perhatian luas dari masyarakat maupun profesional
karena jumlah anak autis yang meningkat dengan cepat. Sampai saat ini belum ada data resmi
mengenai jumlah anak autistik di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan
bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autis atau GSA di Indonesia mencapai
475.000 orang. Setiap anak autis adalah unik. Masing-masing memiliki simtom-simtom dalam
kuantitas dan kualitas yang berbeda. Karena itulah pada beberapa tahun terakhir ini muncul
istilah ASD (Autistic Spectrum Disorder) atau GSA (Gangguan Spektrum Autistik).
Mendidik anak autis bukan merupakan hal yang sederhana, meskipun untuk
melakukannya dibutuhkan bantuan terapis namun keterlibatan orang tua dalam penyusunan
prioritas program pendidikan tetap mutlak adanya. Orang tua yang bertanggung jawab akan
keberhasilan pendidikan anaknya, tidak terlepas pada dasar pendidikan yang akan digunakan.
Persoalan terhadap anak autisme, orang tua dituntut untuk mengerti hal hal seputar autisme dan
mampu mengorganisir kegiatan terapi untuk anaknya. Para ahli/ terapis tidak akan dapat bekerja
tanpa peran serta orang tua, dan terapi tidak akan efektif bila orang tua tidak dapat bekerjasama,
karena umumnya para ahli bekerja berdasarkan data yang diperoleh orang tua dalam memahami
anak-anaknya. Orang tua seharusnya menjadi pihak yang pertama kali mengetahui segala hal
tentang anaknya karena orang tualah yang mendampingi proses tumbuh kembang sejak bayi.
Anak-anak penyandang autis masih dapat diobati dan mampu menjadi anak yang normal
seperti anak-anak yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian dan bimbingan penuh dari
orang tua untuk dapat membantu meningkatkan perkembangan diri anak autisme. Karena anak
autis yang disebabkan oleh faktor genetik akan lebih sulit untuk dapat meningkatkan kualitas
gangguan perkembangannya. Sedangkan anak-anak autis yang disebabkan oleh bentukan sosial
akan lebih mudah untuk diarahkan, dan orang tua juga akan lebih mudah untuk dapat
meningkatkan kualitas gangguan perkembangannya. Keberhasilan terapi bagi penyandang
autisme dapat dilakukan dengan berbagai metode dan terapi, antara lain dengan terapi perilaku,
terapi wicara, terapi okupasi, terapi remediasi, terapi bermain, terapi musik, terapi visual, dan
terapi kebersamaan. Selain terapi tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara memberikan
perhatian, pelatihan dan pendidikan secara khusus bagi penyandang anak autis. Sehingga anak
autis tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam berkomunikasi maupun berinteraksi
dengan teman-teman sebayanya.
Jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus sangat bervariasi, begitu pula faktor-
faktor penyebabnya cenderung berbeda, sehingga dalam alternatif bantuan, serta teknik-teknik
yang digunakan 27 dalam layanan bimbingan cenderung berbeda. Sunaryo Kartadinata, dkk
(2002:136) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus pada dasarnya memiliki kebutuhan
yang sama dengan anak normal, hanya saja ia mempunyai kebutuhan khusus disebabkan
kelainannya, seperti: kebutuhan sosial, kebutuhan pendidikan, kebutuhan disiplin, kebutuhan
akan gambaran diri, kepercayaan diri, dan kebebasan berkembang. National Research Council of
the National Academy of Sciences merekomendasikan enam kemampuan yang harus diberikan
dalam pendidikan kepada anak autistik secara prioritas yakni:
1) functional, spontaneous communication,
2) social skill that are age-appropriate (e.g., with very young children, responding to
mother),
3) play skills, especially play with peers,
4) cognitive (thinking) skills that are useful and applied in everyday life,
5) appropriate behavior to replace problem behavior,
6) functional academic skills, when appropriate to the needs of the child (Hallahan &
Kauffman, 2006:413). Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka kemampuan
yang harus diberikan dalam pendidikan yaitu:
1. komunikasi spontan dan fungsional,
2. kemampuan sosial yang sesuai umur (contohnya anak yang masih kecil
menanggapi ibunya),
3. kemampuan bermain dengan teman sebaya,
4. kemampuan kognitif (berpikir) yang berguna dan berlaku dalam kehidupans
sehari-hari,
5. perilaku yang lebih pantas untuk menggantikan perilaku yang bermasalah, dan
6. kemampuan akademik yang fungsional, yang cocok dengan kebutuhan anak.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, anak autistik pada umumnya
memerlukan bimbingan belajar yakni bimbingan keterampilan dasar belajar, pengawasan tingkah
laku atau sikap, bimbingan kemampuan komunikasi, dan sosial. Akan tetapi pemberian layanan
bimbingan belajar lebih baik berdasarkan hasil asesmen pada anak.
Daftar Pustaka
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/sceducatia/article/download/530/470
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Psikoislam/article/download/5625/3582
http://eprints.uny.ac.id/14426/1/Oktaviani%20Budi%20Utami_10108241110.pdf