Anda di halaman 1dari 72

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam tatanan

kehidupan masyarakat. Peran strategis bank dalam pembangunan ekonomi

masyarakat, meliputi peran sebagai media untuk dapat memobilisasi dana

masyarakat dalam rangka akselerasi pembangunan, berperan sebagai dinamisator

penggerak kegiatan sektor riil untuk semakin terpacu sekaligus juga berperan

untuk memenuhi kemudahan kebutuhan masyarakat dalam berbagai transaksi

dalam jasa lalu lintas keuangan.1 Lembaga perbankan mempunyai karakteristik

usaha yang berbeda dengan lembaga non bank pada umumnya. Diantara

perbedaannya, eksistensi lembaga perbankan sangat bergantung pada unsur

kepercayaan.2 Karakteristik lain dari bisnis bank adalah sebagian besar usaha

bank dibiayai dengan utang (simpanan masyarakat dan utang lainnya). Sementara

modal bank lebih kecil akan gampang habis bahkan menjadi negatif tatkala bank

mengalami kerugian cukup besar, akibatnya bank pun akan mengalami masalah

solvabilitas.3

1
Azis S. Lapadengan, Analisis Fungsi Penggunaan Lembaga Kepailitan Dalam Penyelesaian Kredit
Macet Perbankan, Jurnal Law Review Vol.I/No.2/April-Juni /2013 Edisi Khusus, 2013. hal.1.
2
Sentosa Sembiring, “Sinopsis Hukum Perbankan”, dalam Percikan Gagasan tentang Hukum II:
Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Parayangan, A.F
Erawaty, dkk, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 104.
3
Bank Indonesia, Menyingkap Tabir Seluk Beluk Pengawasan Bank, Bank Indonesia, Jakarta, 2010,
hal. 20.
2

Pada saat bank mengalami masalah dari bisnis yang dijalankan akan

berdampak pada utang (simpanan masyarakat dan utang lainnya). Sehingga yang

mengalami kerugian tidak hanya bank tapi juga pihak-pihak lain yang memiliki

kaitan dengan utang bank yaitu pihak kreditur (masyarakat yang menaruh

uangnya di bank maupun pihak-pihak yang memberikan pinjaman pada bank).

Masalah yang terjadi pada bank diselesaikan dengan hukum kepailitan.

Di Indonesia dalam menjawab tantangan perekonomian dunia juga

melakukan langkah perbaikan terkait dengan hukum kepailitan. Perbaikan

peraturan perundang-undangan terkait kepailitan diawali tahun 1998 dengan

lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan. Peraturan ini lahir pada saat

Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998 yang mengakibatkan sejumlah

perusahaan nasional maupun multinasional di Indonesia mengalami pailit.

Kemudian pada tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari substansi pengaturan

kepailitan sebelumnya serta untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan

hukum masyarakat, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 4 Undang-

undang ini dalam penjelasan umumnya disebutkan memiliki cakupan yang lebih

luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian

utang-piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya

4
Ronald Saija, Kadek Agus Sudiarawan. Perlindungan Hukum Bagi Perusahaan Debitur Pailit dalam
Menghadapi Pandemi Covid 19, Jurnal Batulis Civil Law Review, volume 2 nomer 1, 2021. hal. 67.
3

perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan

yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk

menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. 5

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditor.

Keadaan demikian pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan kondisi keuangan

(financial distress) dari usaha debitor yang mengalami kemunduran.6

Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131-1132 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang bertujuan untuk melindungi tindak kesewenang-

wenangan para kreditor kepada debitornya, sebaliknya juga untuk melindungi

hak para kreditor yang menjadi tanggung jawab dari pihak debitor atas utang-

utangnya.

Bank Indonesia selaku otoritas utama dalam permohonan kepailitan

terhadap bank sebagai kunci dalam pelaksanaan konflik utang piutang atau dalam

perkara kepailitan. Akibatnya kewenangan BI cukup besar peranannya dalam

kepailitan yang melibatkan bank dimana bank sebagai debiturnya, dan sejauh

mana dalam pengajuan kepailitan bank. Sehingga dalam mengajukan

permohonan kepailitan sebuah bank, Bank Indonesia memiliki indikator

menetapkan kepailitan sebuah bank, demi melindungi kepentingan-kepentingan

5
Ibid.
6
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan) Cet. II, Penerbit
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta. 2009. hal. 1.
4

para pihak yang berhubungan erat dengan bank sebagai penghimpun dan

penyalur dana masyarakat.

Pemberian hak khusus oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk tidak

dapat dipailitkan langsung oleh krediturnya lebih didasarkan pada pertimbangan

pentingnya bank dalam sauatu masyarakat modern serta tingginya sensitifitas

dari lembaga perbankan terhadap kesehatan aktivitas atau stabilitas pertumbuhan

perekonomian yang bila terganggu akan juga sangat berhubungan dengan

stabilitas politik sebuah negara.7

Saat ini kewenangan pengawasan bank telah beralih kepada Otoritas Jasa

Keuangan. Sehingga dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan maka lembaga

tersebut dapat diberi kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit terhadap bank karena lembaga tersebut yang mengetahui kondisi bank

apakah insolven atau tidak, serta apakah bank tersebut telah menjalankan prinsip

kehati-hatian dan lembaga yang diberi kewenangan tersebut harus menjalankan

kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang serta kreditor sebagai pihak

yang berhak memperoleh pemenuhan dari kontrak.8

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula

7
Ricardo Simanjuntak, Tinjauan Kritis Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Likuidasi Bank, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 23 No. 3 Tahun 2004, hal 89.
8
Sylvia Janisriwati, Kepailitan Bank (Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia dalam Kepailitan
Suatu Bank), Logoz Publishing, Bandung, 2011. hal 166.
5

berada pada Bank Indonesia telah dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan,

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 55 ayat (2) yang berbunyi : “Sejak tanggal

31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan

kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke

OJK”. Dalam penjelasan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan

bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan

yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar dapat dicapai mekanisme

koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam

sistem keuangan sehingga dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem

keuangan. Pada Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, telah

disebutkan bahwa “dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mengindikasikan bank

tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin

memburuk, Otoritas Jasa Keuangan segera menginformasikan ke Bank Indonesia

untuk mengetahui langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia”.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

masalah kepailitan Bank di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masalah kepailitan Bank di bawah

pengawasan Bank Indonesia, sehingga ada konflik norma yang timbul dalam

penyelesaian kepailitan Perbankan.


6

Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun akan menguraikannya dalam

suatu pokok bahasan dengan judul “Analisis Hukum Permohonan Kepailitan

Bank Menurut Hukum Positif Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penyusun

dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan kapailitan bank menurut hukum positif Indonesia ?

2. Apakah Bank Indonesia tetap dapat mengajukan pailit terhadap bank pasca

berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan ?

3. Apa akibat hukum dari putusan pailit oleh bank menurut hukum positif

Indonesia ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis dan memahami pengaturan kapailitan bank menurut

hukum positif Indonesia.

b. Untuk menganalisis dan memahami kewenangan Bank Indonesia dalam

mengajukan pailit terhadap bank pasca berlakunya Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

c. Untuk menganalisis dan memahami akibat hukum dari putusan pailit

oleh bank menurut hukum positif Indonesia


7

2. Manfaat penelitian

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pengembangan khasanah ilmu hukum pada umumnya dan

hukum kepailitan pada khususnya serta pengkajian hukum khususnya

yang berkaitan dengan pengaturan kapailitan bank menurut hukum

positif Indonesia dan akibat hukumnya.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

pemikiran dan pertimbangan dalam memahami pengaturan kapailitan

bank menurut hukum positif Indonesia dan akibat hukumnya.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak menimbulkan penafsiran terlalu luas dan untuk lebih

terarah dalam melakukan penelitian ini maka diperlukan pembatasan ruang

lingkup penelitian yang sesuai dengan latar belakang yang menjadi dasar

pemikiran serta perumusan masalah yang menjadi fokus utama kajian dalam

penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada persoalan

pengaturan permohonan pailit oleh bank menurut hukum positif Indonesia dan

akibat hukumnya.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan

1. Pengertian Kepailitan

Kata pailit yang dalam bahasa Inggris bankrupt berasal dari undang-

undang di Italia yang disebut dengan banca rupta.9 Dalam bahasa Belanda

yaitu disebut dengan failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata

benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu

faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. 10 Sedangkan

dalam bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu keadaan

dimana seorang debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih.11

Pailit di dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai

keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utang-utangnya.

Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Kepailitan (PK), yang

menentukan “Pengutang yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik

9
Suparji, Kelaplitan, UAI Press. Jakarta. 2018. hal. 2.
10
Victor Situmorang & Soekarso. Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
1994. hal. 18.
11
Zaeny Asyhadie. Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 2005. hal. 225.
9

atas pelaporan sendiri maupun atas permohonan seorang penagih atau lebih,

dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”.12

Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan

seorang debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya.

Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna

menjamin kepentingan bersama dari para kreditornya. 13

Menurut Imran Nating, Kepailitan merupakan suatu proses di mana

seorang debitur yang mempunyai kesulitankeuangan untuk membayar

utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak dapat membayar

utangnya. Pernyataan pailit menyatakan debitur demi hukum kehilangan hak

untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang dimasukan kepailitan,

terhitung sejak pernyataan kepailitan.14

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara

para kreditur atas kekayaan debitur oleh Kurator. Kepailitan dimaksudkan

untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh

kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga

kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak

12
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Rajawali pers, Jakarta.
2002, hal. 24-25
13
Victor Situmorang & Soekarso. Lok.cit.
14
Imran Nating, Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Penggurusan dan Pemberesan Harta
Pailit. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2004. hal. 6.
10

masing-masing, karena Kepailitan ada demi untuk menjamin para kreditur

untuk memperoleh hak-haknya atas harta debitur pailit.15

Pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan

debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini. Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut,

pengadilan niaga dapat menunjuk Kurator untuk melakukan pengurusan

dan/atau pemberesan terhadap harta debitor pailit. Kurator kemudian

membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan

piutangnya masing-masing. Istilah pailit berbeda dengan istilah penundaan

kewajiban pembayaran utang (PKPU). PKPU adalah suatu keadaan dimana

seorang debitor tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

2. Asas Kepailitan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya

15
Ibid. hal. 9.
11

menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada

sejumlah asas-asas kepailitan yakni:16

a. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang

merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat

ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat

ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa

ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para

pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah

terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan

pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak

mempedulikan kreditur lainnya.

d. Asas Integrasi

16
Rachmadi Usman. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2004,
hal. 12.
12

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung

pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan

yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

3. Para Pihak Dalam Proses Kepailitan

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ada beberapa pihak yang

terlibat dalam proses kepailitan, yaitu pemohon pailit, debitor pailit, Hakim

Pengadilan Niaga (Hakim Pemutus), Hakim Pengawas, Kreditor dan/Panitia

Kreditor dan Kurator.

a. Pihak Pemohon Pailit

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah

pihak pemohon pailit yaitu pihak yang mengambil inisiatif untuk

mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, dalam perkara biasa

disebut sebagai pihak penggugat. Menurut Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pemohon dalam suatu

perkara pailit adalah salah satu dari pihak berikut ini:17

a) Pihak debitor itu sendiri


b) Salah satu atau lebih dari pihak kreditor
c) Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan
umum
d) Pihak Bank Indonesia (sekarang Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011) jika
debitornya adalah suatu bank.

17
Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Ctk.Pertama, Kencana,
Jakarta, 2012, hal. 37.
13

e) Pihak Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang OJK


Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011) jika
debitornya adalah suatu perusaahan efek.
f) Menteri keuangan (sekarang OJK Berdasarkan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2011) jika debitornya yang bergerak
di bidang kepentingan publik. Misalnya : Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun.
g) Menteri keuangan jika debitornya Badan Usaha Milik
Negara yang modalnya tidak terbagi atas saham.

b. Pihak Debitor Pailit

Pihak debitor pailit adalah pihak yang memohon atau

dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi

debitor pailit adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor

dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih.

c. Hakim Niaga

Perkara kepailitan diperiksa oleh Hakim Majelis (tidak boleh

Hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat

kasasi. Hanya untuk perkara perniagaan lainnya yakni yang bukan

perkara kepailitan untuk tingkat Pengadilan petama yang boleh

diperiksa oleh Hakim tunggal dengan penetapan Mahkamah Agung

(Pasal 302 UndangUndang Kepailitan). Hakim Majelis tersebut

merupakan Hakim-Hakim pada Pengadilan Niaga, yakni Hakim-hakim

Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi Hakim Pengadilan

Niaga berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Di samping itu,


14

terdapat juga hakim Ad Hoc yang diangkat dari kalangan para ahli

dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

d. Hakim Pengawas

Dalam pengawasan pelaksanaan pemberesan harta pailit, dalam

keputusan kepailitan, oleh Pengadilan harus diangkat seorang Hakim

Pengawas di samping pengangkatan Kurator. Di antara tugas dan

wewenang dari Hakim Pengawas menurut Undang-Undang Kepailitan

sebagai berikut :

1) Menetepkan jangka waktu tentang pelaksanaan perjanjian yang

masih berlangsung antara debitor dengan pihak kreditornya, jika

antara pihak kreditor dengan pihak kurator tidak tercapai kata

sepakat. (Pasal 36 Undang-Undang Kepailitan)

2) Memberikan putusan atas permohonan kreditor atau pihak ketiga

yang berkepentingan yang haknya ditangguhkan untuk mengangkat

penangguhan apabila Kurator menolak permohonan pengangkatan

penanggungan tersebut. (Pasal 56 Undang- Undang Kepailitan).

e. Panitia Kreditor

Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah apa yang disebut

Panitia Kreditor. Pada prinsipnya, suatu panitia kreditor adalah pihak

yang mewakili pihak kreditor, sehingga panitia kreditor tentu akan

memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditor. Ada


15

dua macam panitia kreditor yang diperkenalkan oleh Undang-Undang

Kepailitan, yaitu :

1) Panitia kreditor sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan

pailit).

2) Panitia kreditor (tetap) yakni yang dibentuk oleh Hakim Pengawas

apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditor

sementara. Dalam Pasal 79 Undang-Undang Kepailitan disebutkan

dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan

dapat membentuk Panitia Kreditor (sementara) yang terdiri atas tiga

(3) orang yang dipilih dari Kreditor yang dikenal dengan maksud

memberikan nasihat kepada Kurator. Yang dimaksud dengan

Kreditor yang sudah dikenal adalah Kreditor yang sudah

mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Atas permintaan kreditor

konkuren, dan berdasarkan putusan kreditor konkuren dengan suara

terbanyak biasa (simple majority), Hakim pengawas berwenang

menggantikan panitia kreditor sementara dengan panitia kreditor

(tetap), atau membentuk panitia kreditor (tetap) jika tidak diangkat

panitia diangkat sementara. Dalam hal ini, Hakim pengawas wajib

menawarkan kepada kreditor untuk membentuk suatu panitia

kreditor.

f. Kurator
16

Dalam tahapan kepailitan, ada satu lembaga lagi yang sangat

penting keberadaannya, yakni kurator. Kurator merupakan lembaga

yang diadakan oleh undang-undang untuk melakukan pemberesan

terhadap harta pailit. Vollmar menyatakan bhawa “De kurator is belas,

aldus de wet, met het beheer en de vereffening van de failliete boedel”

(kurator adalah bertugas, menurut undang-undang, mengurus, dan

membereskan harta pailit). Dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan,

maka di dalamnya terdapat pengurusan dan pengalihan harta pailit di

bawah pengawasan hakim pengawas.18

B. Tinjauan Umum Lembaga Perbankan

1. Pengertian Bank

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijekaskan mengenai

pengertian dari Bank :

Bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan


mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan
jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.19

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

18
Ibid. hal. 38.
19
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2013.
hal. 7-8.
17

dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kemudian agar masyarakat mau

menyimpan uangnya di bank maka pihak perbankan memberikan

rangsangan berupa balas jasa yang akan diberikan kepada si penyimpan.

Balas jasa tersebut dapat berupa bunga, bagi hasil, hadiah, pelayanan atau

balas jasa lainnya. Setelah memperoleh dana dalam bentuk simpanan dari

masyarakat, maka oleh perbankan, dana tersebut diputar kembali atau

dijualkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal

dengan istilah kredit, dan juga dikenakan jasa pinjaman kepada penerima

kredit dalam bentuk bunga dan biaya administrasi yang besarnya

dipengaruhi besarnya bunga simpanan.20

Menurut G.M. Verryn Stuart, bank adalah suatu badan yang

bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat

pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain,

maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang

giral.21

Perbankan di Indonesia mempunyai bentuk dan jenis yang sangat

banyak yang dipengaruhi oleh keadaan kondisi lingkungan, baik dari segi

sosial budaya maupun segi alam dan sejarah perkembangannya. Perbankan

Indonesia mempunyai karakteristik yang mungkin sedikit berbeda dengan

20
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 25.
21
Hermansyah. Op.cit. hal. 8.
18

corak perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umum corak

perbankan Indonesia tetap sama dengan yang berlaku menyeluruh di belahan

dunia manapun.22 Karakteristik ini banyak dipengaruhi oleh ideologi

pancasila dan tujuan negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) beserta amandemennya.

Karakteristik tersebut jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia, sebagai

berikut:23

a. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi

ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya

adalah sebagai penghimpun dan mengatur dana masyarakat dan

bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas

nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;

b. Pebankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan

pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat

Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI

1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur trilogi

pembangunan;

22
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2012, hal. 3.
23
Ibid.
19

c. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya

kepada masyarakat harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi

tantangan-tantangan yang semakin berat dan luas, baik dalam

perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.

Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan

penyalur dana masyarakat, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di Indonesia ini, lembaga

perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan (agent of

development).24 Menurut Kasmir, fungsi bank sebagai lembaga perantara

keuangan antara masyarakat yang kelebihan dana dengan masyarakat yang

kekurangan dana.25

Menurut Pasal 4 Undang-Undang 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, perbankan

Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam

rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas

nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Perbankan

Indonesia juga mempunyai tujuan yang strategis dan tidak semata-mata

berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang non

ekonomis seperti masalah menyangkut stabilitas nasional yang mencakup

24
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung. 2010, hal.
16.
25
Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015. hal. 4.
20

antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial. 26 Selain itu fungsi

perbankan ialah sebagai :27

a. Lembaga jasa penitian uang emas atau perak;

b. Melakukan transaksi pertukaran mata uang (money exchanger) satu

negara dengan mata uang negara lainnya sesuai dengan permintaan para

pedagang, yang dibukukan di sebelah pasiva (dikredit), yaitu berupa

kewajiban dalam rekening berjalan, artinya pada rekening tersebut dapat

ditambahkan titipan baru serta dapat ditarik sewaktu-waktu (dengan

mendebet rekening tersebut) oleh pemilik rekening. Jenis rekening ini

dikenal dengan Rekening Giro atau Rekening Koran;

c. Kasir atau pemegang kas dari pemegang rekening;

d. Mengelola uang yang didepositkan oleh nasabah, pengendapan (deposit)

dana pada bank dimanfaatkan agar menjadi produktif (menghasilkan),

dengan cara meminjamkannya kepada pihak lain yang memerlukan,

dengan memungut sejumlah imbalan yang lazim disebut bunga

(interest);

e. Sebagai pemberi kredit, pada mulanya uang yang dipinjamkan berupa

uang emas atau perak yang berasal dari titipan pemegang rekening, kini

bank tidak lagi meminjamkan uang dalam bentuk emas dan perak, tetapi

dalam bentuk bukti kepemilikan emas atau perak berupa sertifikat yang

26
Hermansyah. Op.cit. hal. 20.
27
Muhammad Djumhana, Op.cit. hal. 105.
21

mewakili kepemilikan emas atau perak yang disimpan pada bank

tersebut, sekalipun demikian apabila dikehendaki, sertifikat dapat

ditukarkan dengan mudah dengan emas atau perak yang ada di bank,

sertifikat sebagai bukti kepemilikan kedua jenis logam mulia tersebut

dapat menjadi alat pembayaran yang diterima secara luas oleh

masyarakat umum.

2. Asas Perbankan

Perbankan Indonesia menerapkan asa kehati-hatian dalam

melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 Tentang Perbankan, yaitu “Perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan

prinsip kehati- hatian”. Dengan adanya prinsip kehati-hatian ini, maka bank

dalam melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya ke masyarakat diwajibkan untuk bertindak secara hati-hati,

cermat, teliti dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan meminimalisir

kemungkinan resiko yang akan terjadi.

Diterapkannya prinsip kehati-hatian ini tidak lain agar bank selalu

dalam keadaan sehat. Dengan diberlakukannya prinsip kehati- hatian,

diharapkan masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu dalam mentimpankan

uangnya kepada bank.


22

C. Tinjauan Umum Tentang Bank Indonesia

Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk

mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan

melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi

sebagai leader of last resort. Bank yang berfungsi dan menjalankan kewenangan

sebagai bank sentral di Indonesia, yaitu Bank Indonesia, sesuai dengan

penjelasan Pasal 23 UUD NRI 1945 bahwa Bank Indonesia yang akan

mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas. Kedudukan demikian

selanjutnya akan diatur dalam Undang- Undang dan saat ini Undang-Undang

telah terbit sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011

tentang Mata Uang.28

Undang-Undang yang kini berlaku yang mengatur kedudukan Bank

Indonesia sebagai bank sentral, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia serta Undang-Undang perubahannya, yakni Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 29 Undang- Undang tersebut merupakan

peraturan pengganti dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank

Sentral. Bank Indonesia mengemban amanat UUD NRI 1945 khususnya Pasal 23

ayat (3) bahwa Bank Indonesia agar dapat menjaga uang sebagai alat tukar tetap,

28
Djiwandono. Mengelola Bank Indonesia dalam Masa Krisis. LP3ES. Jakarta. 2001. hal. 44-45.
29
Maqdir Ismail, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum, Navila Idea, Yogyakarta.
2009, hal. 32.
23

harganya jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur, dengan kata

lain uang rupiah harus memiliki kestabilan nilai, kestabilan nilai rupiah, yakni

kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa juga terhadap mata uang negara

lain. Amanat tersebut diakomodasi dalam ketentuan yang berkaitan dengan

tujuan adanya Bank Indonesia.30

Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara

kestabilan rupiah.

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter perbankan dari sistem

pembayaran maka tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga kestabilan

moneter, tetapi juga kestabilan sistem keuangan (perbankan dan sistem

pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan moneter

tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan tidak akan banyak artinya dalam

mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan

stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan,

kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas jasa

keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang

mendasari efektivitas kebijakan moneter.31

30
Ibid. hal. 45.
31
Muhammad Djumhana, Op Cit, hlm. 110-111.
24

Bank Indonesia dalam mengemban tugas menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia untuk:

1. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran


laju inflasi yang ditetapkannya;
2. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara
tertentu, seperti operasi pasar terbuka di pasar uang, baik rupiah
maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan,
cara-cara ini pun dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.

Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi

bank, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia, berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan

dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,

melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai

dengan ketentuan perUndang-Undangan. Mengacu pada ketentuan tersebut maka

sangat jelas bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan

kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun

represif.32

Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pengaturan bank

selain berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 juga mengacu

pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pengawasan yang dilakukan


32
Muhammad Djumhana, Op Cit, hlm. 156.
25

oleh Bank Indonesia terhadap bank dapat berupa pengawasan langsung, yaitu

berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, juga

dapat berupa pengawasan tidak langsung yaitu suatu bentuk pengawasan dini

melalui penelitian, penganalisaan dan pengevaluasian laporan bank. Bank

Indonesia dapat melakukan pengawasan secara berkala sekurang-kurangnya satu

tahun sekali untuk setiap bank.33

D. Tinjauan Umum Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan menyebutkan:

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat dengan OJK, adalah


lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini.”

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah

sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar

modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada

dasarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK ini hanya

mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan

dari lembaga yang memiliki kekuasaan didalam pengaturan dan pengawasan

terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, dengan dibentuknya OJK

diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif didalam

penanganan masalah-masalah yang timbul didalam sistem keuangan. Dengan


33
Ibid.
26

demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan

adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi.34

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,

OJK mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan

terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu

mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan

mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Definisi secara

umum yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan adalah setiap perusahaan yang

bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-

duanya.35

Secara normatif ada empat tujuan pendirian Otoritas Jasa Keuangan :36

1. Meningkatkan dan memelihara kepercayaan public di bidang jasa keuangan;

2. Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan;

3. Meningkatkan pemahaman public mengenai bidang jasa keuangan; dan

4. Melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan

kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan:

1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;

34
Rebekka Dosma Sinaga, Sistem Koordinasi Antara Bank Indonesia Dan Otoritas Jasakeuangan
Dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan, Jurnal Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2013, hal.2.
35
Kasmir, Op.cit. hal.2.
36
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, hal.42.
27

2. Serta mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara

3. berkelanjutan dan stabil; dan

4. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi

menyelenggarakan system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi

terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor keuangan. OJK melaksanakan

tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

1. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;

2. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan

3. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pension, lembaga

pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Tugas OJK ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi bahwa OJK melaksanakan

tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.


28

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa Keuangan

berlandaskan asas-asas sebagai berikut:37

1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam

setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan

umum;

4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta

rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan;

5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

37
Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan
Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara), Medan, 2013. hal.107.
29

6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan

Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Tujuan OJK adalah untuk menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara

teratur, adil, transparan, akuntabel, yang mana mengingatkan pemikiran pada

prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate

Governance) yang terdiri dari 5 prinsip, yaitu:38

1. Transparency (keterbukaan informasi) Secara sederhana bisa diartikan

sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat

waktu;

2. Accuntability (akuntabilitas) Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem,

kejelasan akan hak dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang

ada;

3. Responsibility ( pertanggungjawaban) Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap

peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pembayaran pajak,

hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan

lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama

masyarakat dan sebagainya;


38
Ibid.
30

4. Independency (kemandirian) Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola

secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau

intervensi dari pihak manapun maupun yang tidak sesuai dengan peraturan

yang berlaku; dan

5. Fairness (kesetaraan atau kewajaran) Prinsip ini menuntut adanya perlakuan

yang adil dalam memenuhi hak shareholders dan stakeholders sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku.


31

BAB III

METODE PENELITIAN

Dengan menggunakan metode yang baik maka akan mendapatkan hasil yang

maksimal dari permasalahan yang diteliti. Metode ilmiah yang dimaksud adalah

segala proses ilmiah yang dilakukan oleh peneliti untuk dapat mencarikan solusi dari

permasalahan yang diajukan.

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum 39 serta

penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala

hukum yang bersifat normatif.

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan dan

menganalisis bahan-bahan penulisan penelitian ini adalah :

1. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach), dilakukan

dengan menelaah semua ndang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang diketengahkan.40 Pendekatan perundang-undangan

39
H. Zainuddin Ali, M. A., Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. hal. 24.
40
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hal 110.
32

dilakukan dalam rangka penelitian hukum untuk kepentingan praktis

maupun penelitian hukum untuk kepentingan akademis.

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach), dilakukan manakala peneliti

tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Dalam menggunakan

pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum yang

dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para sarjana hukum, pendapat

para ahli hukum atau doktrin-doktrin hukum.41

C. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

1. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang dibutuhkan adalah bahan

hukum yang bersumber dari data kepustakaan yaitu bahan hukum yang

diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan Perundang-Undangan yang

terkait dengan masalah yang diteliti.

2. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan sesuai

dengan masalah yang diangkat seperti peraturan perundang-undangan:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

41
Ibid, hal. 115.
33

2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan; dan

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pandangan/pendapat

(doktrin), buku, jurnal-jurnal ilmiah dan jurnal hukum.

c. Bahan hukum tersier yaitu yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus (hukum) ensiklopedia Indonesia.

D. Tehnik pengumpulan bahan hukum

Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen atau studi

pustaka, yaitu pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan

mengumpulkan buku-buku, literatur-literatur, Peraturan Perungang-Undangan

yang kemudian di kutip hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.

E. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dan diperoleh dalam penelitian,

kemudian diolah secara sistematis, selanjutnya dilakukan analisis dengan metode

kualitatif, yaitu data yang disusun dan disajikan berupa rangkaian kalimat-

kalimat yang menggambarkan hasil penelitian yang didasarkan pada masalah

yang diteliti. Penyimpulan atau penarikan kesimpulan terhadap penelitian ini


34

menggunakan metode deduktif, yaitu : menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang

dihadapi.42

42
Muhaimin, 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram University Press. Mataram. Hal. 71.
35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kapailitan Bank Menurut Hukum Positif Indonesia

Kehadiran hukum kepailitan di Indonesia berawal dengan diberlakukannya

Faillissement Verordening Stbl. Tahun 1905 Nomor 217 jo. Stbl. Tahun 1906

Nomor 348 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia yang pada waktu

itu disebut dengan Hindia Belanda, pemberlakuan Faillissement Verordening

berdasarkan asas konkordansi sesuai dengan politik hukum kolonial pada waktu

itu dengan memperluas berlakunya hukum Belanda di tanah jajahan dikenal

dengan eenheidsbeginsel. Pada awalnya pemberlakuan Faillissement Verordening

ditujukan kepada golongan Eropa dan golongan Timur Asing dan bagi orang-

orang yang menundukkan diri pada hukum tersebut.43

Pesatnya perkembangan ekonomi di Hindia Belanda yang didominasi oleh

golongan Eropa, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk memberlakukan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Belanda untuk memberikan

perlindungan hukum dan memberikan kepastian hukum bagi golongan Eropa

tersebut. Pemberlakuan Faillissement Verordening sebagai sumber hukum positif

pada saat itu tidak dirasakan manfaat keberadaan Faillissement Verordening bagi

masyarakat dagang untuk menyelesaikan masalah kepailitan, pemberlakuan

43
Tami Rusli, 2019, Hukum Kepailitan Di Indonesia, Universitas Bandar Lampung Press, Lampung.
Hal. 1.
36

Faillissement Verordening dengan asas konkordansi menjadikan hukum

kepailitan tersebut tetap sebagai hukum Belanda dan melindungi dan berlaku

untuk kalangan penjajah dan kolega-kolega dagangnya.44

Sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan ekonomi keadaan

demikian sudah tidak sesuai lagi, setelah Indonesia merdeka perlu adanya

pembaruan dan penyesuaian norma-norma, kaidah-kaidah dan peraturan

perundang-undangan yang dapat memenuhi tuntutan zaman, pertumbuhan dan

perkembangan ekonomi yang semakin pesat dan berkembang, kegiatan ekonomi

tidak hanya bersifat sederhana, lokal dan nasional, kegiatan ekonomi telah

melibatkan perusahaan besar (Holding Compay) dengan skala kegiatan

internasional, sehingga timbul desakan dari masyarakat bisnis internasional

termasuk lembaga-lembaga internasional untuk melakukan perubahan dan

pembaruan di bidang hukum ekonomi.45

Keadaan demikian yang mendorong dan melatar belakangi agar kegiatan

legislasi hukum di bidang ekonomi khususnya pembaruan Faillissement

Verordening perlu dan sangat mendesak untuk dilakukan, Pemberlakuan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut Perpu)

Nomor 1 Tahun 1998, dengan tujuan akan membantu mengatasi keadaan

ekonomi yang tidak menguntungkan dan menyempurnakan kekurangan yang ada

pada Faillissement Verordening Perpu nomor 1 Tahun 1998 tersebut kemudian

44
Ibid.
45
Sunarmi, 2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi 2, Softmedia,
Jakarta, hal. 6-7.
37

disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Membayar Utang.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh Kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing,

karena Kepailitan ada demi untuk menjamin para kreditur untuk memperoleh

hak-haknya atas harta debitur pailit.46

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dirasakan masih

belum memadai, Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa hukum kepailitan

sangat dominan melindungi kepentingan kreditor, hal tersebut dapat dilihat dari

persyaratan untuk dinyatakan pailit yaitu adanya dua utang atau lebih, dan salah

satunya telah jatuh tempo dan anehnya tidak satupun pasal yang mensyaratkan

bahwa Debitor harus dalam keadaan tidak lagi mampu membayar (insolvent),

keadaan ini bertentangan dengan filosofi universal dari kepailitan yaitu kepailitan

terhadap Debitor dapat dikabulkan apabila Debitor sudah berada dalam keadaan

tidak lagi mampu membayar utangnya.47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998

dinilai tidak mampu mengatasi kemacetan upaya-upaya penyelesaian utang

perusahaan, pengadilan hanya digunakan untuk menghindari kewajiban

46
Imran Nating, Op.cit, hal. 9.
47
Sunarmi, Op.cit. hal. 9.
38

membayar utang. Kemudian lahir Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, mulai berlaku berlaku tanggal 18

Oktober 2004. Dimana tujuan dari pembuatan undang-undang itu sendiri adalah

agar dapat tercapai keadilan bagi para pihak.

Di dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan & Penundaan Pembayaran Utang mengatur dalam hal kepailitan jika

debitur adalah bank maka permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank

Indonesia, begitu pula dalam rangka mengatur dan mengawasi bank, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 setelah diubah menjadi Undang-Undang No. 3

Tahun 2004 dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009

Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang

Bank Indonesia Pasal 33 yang memaparkan bahwa dalam hal keadaan suatu

Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha

Bank yang bersangkutan dan / atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi

kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank

Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan.

Kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1131-1132 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang bertujuan untuk melindungi tindak kesewenang-

wenangan para kreditor kepada debitornya, sebaliknya juga untuk melindungi

hak para kreditor yang menjadi tanggung jawab dari pihak debitor atas utang-
39

utangnya, apabila lembaga perbankan sebagai debitur pailit, kreditor dan kurator

tidak mempunyai kewenangan untuk memailitkan debitur kecuali dari Bank

Indonesia sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bank Indonesia sebagai induk dari lembaga perbankan yang ada di

Indonesia yang salah satu tugasnya adalah untuk memelihara dan menjaga

kestabilan sistem moneter maka tidak mungkin memailitkan sebuah lembaga

perbankan yang bermasalah, hal ini menjadi ganjalan bagi para kreditor bank

sehubungan dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Bank Indonesia tetap memelihara kestabilan keuangan dan kepercayaan

masyarakat sebagai nasabah sekaligus kreditor bagi bank tanpa memailitkan

lenbaga perbankan yang bermasalah dengan kebijakan yang dibuat. Kedudukan

Bank Indonesia yang mandiri tersebut memberikan kewenangan yang begitu

besar kepada Bank Indonesia.

Dalam hukum kepailitan, bank sebagai debitor yang permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Hal tersebut

dikarenakan bank memiliki karakreristik khusus yaitu dimana besar usaha bank

dibiayai dengan utang (simpanan masyarakat dan utang lainnya). Sementara

modal bank lebih kecil akan gampang habis bahkan menjadi negatif tatkala bank

mengalami kerugian cukup besar, akibatnya bank pun akan mengalami masalah.

Ketika bank mengalami masalah maka harus ditangani sesuai mekanisme dan

ketentuan peraturan yang ada agar dampaknya tidak merugikan nasabah bank,
40

para pemangku kepentingan, serta tidak sampai mengguncang industri

perbankan. Karena pencabutan izin usaha bank merupakan keputusan yang tidak

diinginkan oleh semua pihak.

Penyelesaian bank bermasalah melalui mekanisme likuidasi diatur dalam

Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

(selanjutnya disebut UU Perbankan). Pasal 37 ayat (2) UU Perbankan

memerintahkan likuidasi bank seiring dengan pencabutan izin usaha dan

pembubaran badan hukum bank. Selanjutannya, akan diikuti dengan proses

pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang)

oleh tim likuidasi bank.

Berkaitan dengan persyaratan prosedural kepailitan bank, ketentuan Pasal 2

ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, telah meredukasi persyaratan

kepailitan pada umumnya yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah

bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Ketentuan ini menegaskan bahwa yang boleh mengajukan permohonan pailit

bank adalah Bank Indonesia, tidak boleh diajukan langsung oleh nasabah

penyimpan (kreditor bank) karena tidak memiliki legal standing untuk dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit bank.


41

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur tentang pihak-pihak

yang dapat mengajukan permohonan pailit. Pihak-pihak yang dapat mengajukan

permohonan pailit antara lain:

1. Debitur,

2. Kreditur,

3. Bank Indonesia berwenang untuk mengajukan permohonan pailit apabila

debiturnya adalah bank,

4. Bapepam berwenang mengajukan permohonan pailit jika debiturnya

perusahaan efek,

5. Menteri Keuangan berwenang mengajukan permohonan pailit jika

debiturnya adalah perusahaan asuransi atau Badan Usaha Milik Negara

(BUMN),

6. Permohonan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan jika perkara pailit

menyangkut kepentingan umum.

Kepailitan bank

Kewenangan Bank Indonesia dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, yang diberikan oleh pembentuk undang-undang terkait

dengan kedudukan hukum Bank Indonesia dalam kepailitan bank hanya karena

fungsinya sebagai pemegang otoritas di bidang perbankan belaka dan sekaligus

bermaksud untuk melindungi kepentingan yang lebih besar untuk tetap menjamin
42

kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Oleh karena itu dibutuhkan

bisnis perbankan yang terpercaya dan bertanggung jawab dalam menjalankan

fungsi dan kegiatannya.

Konsep kepailitan dalam kepailitan bank tidak lagi merupakan sita umum

yang mencakup seluruh kekayaan debitor yang ditujukan untuk kepentingan

pelunasan piutang semua kreditor. Tujuan kepailitan dalam kepailitan bank tidak

semata pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan

memperhatikan hak-hak mereka masing-masing sebagai pelunasan piutang, akan

tetapi telah memasukkan tujuan-tujuan lain yang merupakan kepentingan publik

sebagai pelaksanaan tugas dan fungsi otoritas moneter dari Bank Indonesia

sebagai satu-satunya pihak yang diberikan kewenangan mengajukan permohonan

pernyataan pailit atas bank.48

Pada prinsipnya suatu bank dapat dipailitkan, hanya saja pihak yang dapat

bertindak sebagai pemohonnya dibatasi, tidak dapat diajukan pihak lain selain

diajukan oleh Bank Indonesia. Ketentuan ini membatasi pihak yang dapat

mengajukan permohonan pernyataan pailit bank. Maksudnya, pembatasan

prosedural pengajuan pailit bank dikenakan kepada nasabah penyimpan (kreditor

bank), namun bukan meniadakan hak nasabah penyimpan (kreditor bank) untuk

mengajukan permohonan pernyataan pailit bank sepanjang yang bersangkutan

memiliki hak perdata berupa piutang bank.

48
M. Fauzi, “Kedudukan Bank Indonesia dalam Kepailitan Bank (The Position of Bank Indonesia in
the Banking Bankruptcy”, dalam risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/5.-Ked.., diunduh
pada tanggal 14 April 2013, hal. 5.
43

Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit ini tidak menghapus kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan

mengenai pencabutan mengenai izin usaha, pembubaran badan hukum, dan

likuidasi bank sesuai peraturan perundangan. Jadi, maksud dilibatkannya Bank

Indonesia sebagai otoritas perbankan sebagaimaan yang diamanatkan Undang-

Undag Kepailitan adalah untuk memberikan kepastian pemberlakuan yang

semestinya kepada bank sebagai lembaga keuangan yang memegang peran yang

sangat penting dan sangat sensitif dalam aktivitas masyarakat dan Negara.

Pengaturan kepailitan bank seharusnya bisa memberikan kepastian hukum

perlindungan atas hak kreditor bank untuk mendapat pelunasan piutangnya.

Namun konstruksi hukum kepailitan bank yang “menyerahkan” wewenang

kepada Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pailit bank membawa

kepailitan bank ke wilayah kebijakan publik. Hal ini berkaitan dengan kedudukan

Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan, sehingga hak meng-ajukan pailit oleh

kreditor yang merupakan kepentingan individu dari kreditor untuk mendapat

pelunasan piutangnya akan selalu diabaikan oleh Bank Indonesia.49

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, kepailitan harus memberi manfaat bukan

saja bagi kreditor tetapi juga bagi debitor. Sejalan dengan itu, Undang-undang

Kepailitan juga harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan

debitor. Bagi kreditor diadakan untuk memberikan manfaat dan perlindungan

apabila debitor tidak membayar utang-utangnya, sebaliknya bagi para kreditor


49
Ibid. Hal. 6.
44

dapat memperoleh akses terhadap harta kekayaan dari debitor yang dinyatakan

pailit karena tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Namun demikian,

manfaat dan perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Kepailitan tidak

boleh sampai merugikan kepentingan debitor dan para stakeholder debitor yang

bersangkutan.50

Pengaturan kepailitan terhadap bank di Indonesia saat ini hanya diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, sedangkan di dalam undang-undang yang lain

seperti Undang-Undang Perbankan dan Undang-undang tentang Bank Indonesia

tidak mengatur masalah kepailitan bank. Oleh sebab itu, landasan hukum dalam

pengaturan dan pengajuan pailit terhadap bank menggunakan Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

Secara prinsip pengaturan kepalitan berlaku secara umum untuk setiap

debitur yang mengalami pailit untuk dapat diajukan permohonan pailit ke

Pengadilan Niaga. Namun terdapat perbedaan pada adanya pihak-pihak yang

diberikan kewenangan khusus untuk dapat mengajukan permohonan pailit dari

debitur. Hal ini dimaksudkan dalam rangka melindungi kedua belah pihak yaitu

debitur dan kreditur.

50
Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 33-34.
45

Bagi setiap debitur pailit diluar dari Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek,

Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,

Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun, atau Badan

Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, permohonan

pailitnya diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. Bagi Debitornya

adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank

Indonesia.

Bagi Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Sedangkan bagi Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,

Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh

Menteri Keuangan. Dengan adanya pembagian kewenangan pengajuan

permohonan pailit tersebut, itu dapat memberikan perlindungan terhadap

kepentingan negara untuk tetap dapat menjaga kestabilan perekonomian dari

pailitnya lembaga-lembaga usaha yang memiliki dampak sistemik dalam

mempengaruhi stabilitas ekomomi masyarakat dan negara.

Bank sebagai lembaga pembiayaan dan mengelola dana simpanan

masyarakat punya peran penting dalam kesetabilan perekonomian sehingga

pertibangan pengajuan pailitnya perlu kajian khusus, sehingga peran itu

diserahkan pada Bank Indonesia yang mengaturnya sebagai bank sentral. Namun
46

kepastian hukum bagi kreditur yang terdampak dari pailitnya bank perlu

mendapat kepastian dan jaminan untuk tidak dirugikan dengan palitnya suatu

bank. Undang-Undang Kepailitan sudah cukup jelas mengatur prosedur dan

jaminan bagi kreditur untuk mendapatkan pemenuhan hak dari perbuatan hukum

yang sudah dilakukanya dengan debitur bank yang dinyatakan pailit.

B. Kepastian Hukum Pengajuan Pailit Terhadap Bank Pasca Berlakunya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Bank Indonesia memiliki otoritas besar untuk melakukan permohonan

pailit suatu bank sehingga memegang peran kunci untuk mengatasi terkait utang

piutang atau dalam hal perkara kepailitan. Untuk itu karena kewenangannya yang

besar maka peranannya dalam keterlibatannya mengenai urusan kepailitan yang

mana bank sebagai debiturnya. Karena fungsi bank untuk menghimpun serta

menyalurkan dana kepada masyarakat maka Bank Indonesia disini yang memiliki

otoritas untuk menetapkan kepailitan suatu bank karena untuk melindungi

kepentingan masyarakat.51

Kewenangan Bank Indonesia tersebut tertuang di dalam Pasal 2 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan “Dalam hal Debitor adalah

bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”.

51
Saroinsong, A. N. 2014. Fungsi Bank dalam Sistem Penyaluran Kredit Perbankan. Lex Privatum,
Jakarta. hal. 3.
47

Hal tersebut merupakan kewenangan yang merupakan tugas dan fungsi Bank

Indonesia sebagai pengatur dan pengawas perbankan di Indonesia.

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 setelah

diubah menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 dan disempurnakan menjadi

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia mengatur tentang tujuan

Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Konsekuensi sebagai lembaga yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara

kestabilan nilai rupiah, maka Bank Indonesia mempunyai tugas untuk :52

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;


2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
3. Mengatur dan mengawasi bank.

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan perpindahan fungsi, tugas, dan

wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor

Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan mulai

terhitung pada tanggal 31 Desember 2013. Hal tersebut sebagaiman dinyatakan

di dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

“Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang


pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke OJK”.

52
Julius R Latumaerisa, 2011, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta. hal. 73.
48

Salah satu fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dalam pengaturan

dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan adalah dalam hal

pengajuan permohonan kepailitan suatu bank. Di bidang kepailitan keseluruhan

kewenangan Bank Indonesia dapat dikatakan tidak terlalu sentral lagi,

dikarenakan setelah didirikannya Otoritas Jasa Keuangan fungsi pengawasan

terhadap bank bukan lagi menjadi kewenangan atau otoritas Bank Indonesia.

Sehingga koordinasi terkait urusan kelembagaan harus dilakukan antara Bank

Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengaturan dan pengawasannya bersifat

microprudential seperti yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang

menyatakan : “Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor

Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai

wewenang:

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,

merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;

dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:


49

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan, dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan

5. standar akuntansi bank.

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.

d. pemeriksaan bank.”

Pengaturan dan pengawasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang juga meliputi

pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, pengaturan dan

pengawasan mengenai kesehatan bank, pengaturan dan pengawasan mengenai

aspek kehati-hatian dan pemeriksaan bank, sedangkan tugas yang bersifat

macroprudential masih tetap dipegang Bank Indonesia yaitu mencapai dan

memelihara kestabilan moneter. Secara macroprudential Bank Indonesia

mengemban tugas sistemik seperti pengendalian tingkat inflasi, menjaga


50

kestabilan nilai rupiah, menjaga kelancaran sistem pembayaran dan memantau

perbankan secara umum.

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan amandemen Pasal 34

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Penejelasan Pasal 34

menyebutkan bahwa OJK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan

kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan

laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR).53 Tugas dan wewenangnya meliputi microprudential, yakni

pengaturan pengawasan, manajemen risiko dan penindakan (administratif)

terhadap kegiatan perbankan, pasar modal dan LNKB, dengan fungsi pengaturan

dan pengawasan sektor jasa keuangan yakni independensi, terintegrasi dan

menghindari benturan kepentingan.54

Secara historis pembentukan Otoritas Jasa Keuangan diawali dengan

adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank

Indonesia. Tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan,

yakni perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan

lintas sektoral industri jasa keuangan dan amanat Pasal 34 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Pasal ini merupakan respon dari

krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 yang

53
Adrian Sutedi, Loc.cit.
54
Ibid.
51

berdampak pada Indonesia mengakibatkan banyak bank yang bangkrut sehingga

timbul keresahan terhadap Bank Indonesia dalam mengawasi bank-bank di

Indonesia.55

Peran macroprudential yang masih tetap dipegang Bank Indonesia untuk

mencapai dan memelihara kestabilan moneter, membuat Bank Indonesia

memiliki peran yang cukup penting untuk melakukan pengawasan terhadap bank,

termasuk dalam hal penentuan kepailitan yang dialami oleh bank. Pengawasan

terhadap bank secara khusus dapat dibagi menjadi dua untuk menetapkan suatu

bank dapat dinyatakan pailit yaitu menetapkan status bank apakah berdampak

sistemik dan satu lagi tidak berdampak sistemik. Bank dapat dinyatakan pailit

jika bank tersebut tidak berdampak sistemik. Hal ini seperti pemberlakuan

likuidasi suatu bank yang mungkin untuk dilakukan. Tindakan pemberesan asset

jika telah dilakukannya keputusan mencabut izin usaha suatu bank dapat

dikatakan mengarah kepada likuidasi bank inilah yang menjadi perbedaan besar

dengan rangkaian kepailitan yang tidak dapat berujung pada mencabut izin usaha

suatu bank gagal.56

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan bekerja sama dan

berkoordinasi dalam melakukan pertimbangan untuk menentukan dampak

sistemik suatu bank yang akan dinyatakan pailit. 57 Hal ini menunjukkan bahwa

55
Ibid. hal. 36.
56
I Komang Mudita, dkk. 2020, “Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Pemohon Pailit Setelah
Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Interpretasi Hukum. Hal. 49.
57
Ibid.
52

penentuan dampak sistemik dari pailitnya suatu bank dapat mempengaruhi

stabiltas moneter. Sehingga Bank Indonesia mengambil peran yang cukup

penting sebagai tugasnya dalam memelihara kesetabilan moneter.

Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengambil alih sebagian dari tugas Bank

Indonesia berdasarkan Pasal 55 ayat (2) yang menyatakan “Sejak tanggal 31

Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan

kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke

OJK”, tidak menghilangkan kewenangan pengajuan permohonan pailit dari suatu

bank yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Pasal 2 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, telah menyatakan “Dalam hal Debitor adalah

bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”.

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak mengatur dan menyebutkannya secara

khusus terkait kewenangan permohonan pailit dari bank sebagai debitor dapat

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun Otoritas Jasa Keuangan dapat

memberikan pertimbangan sesuai fungsi dan tugasnya mengenai status bank

yang akan dinyatakan pailit apakah berdampak sistemik atau tidak berdampak

sistemik dengan berkoordinasi bersama Bank Indonesia. Ini disebabkan

wewenang makroprudensial masih dimiliki Bank Indonesia selaku bank sentral.


53

Masih melekatnya kewenangan permohonan pailit bank oleh Bank

Indonesia berdasarkan Ketentuan yang diatur oleh Pasal 2 ayat (3) Undang-

Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang membuat pengajuan permohonan pailit bank hanya dapat

dilakukan oleh Bank Indonesia sekalipun setelah berlakunya Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Dengan demikian dalam hal pengajuan pailit bank kreditor tidak bisa langsung

mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan niaga melainkan kreditor

harus mengajukan permohonan pailit kepada Bank Indonesia sebagai badan

independen yang mempunyai wewenang untuk melindungi lembaga perbankan

Indonesia guna untuk menjaga stabilitas moneter yang selanjutnya Bank

Indonesia sendiri yang akan mengajukan permohonan pailit atas bank yang

bermasalah kepada Pengadilan Niaga.

Penegasan permohonan pailit bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia

berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan jaminan

kepastian hukum dalam hal kewenangan menyatakan kepailitan dari suatu bank.

Karena sampai saat ini aturan dalam Otoritas Jasa Keuangan tidak mengaturnya

atau menyebutkannya maupun Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang khususnya pasal 2 ayat

(3) belum berubah dan masih berlaku sehingga tidak dapat dilaksanakan lain.
54

Berdasarkan pembahasan di atas, pada dasarnya kepastian hukum

pengajuan pailit terhadap bank itu masih merupakan kewenangan Bank Indonesia

sepanjang tidak ada aturan secara khusus yang menghapus kewenangan Bank

Indonesia dalam melakukan pangajuan pailit bank. Namun secara prinsip

kewenangan untuk pengaturan, perizinan, pengawasan dan likuidasi terhadap

bank sudah berpindah kepada Otoritas Jasa Keuangan sehingga seluruh aktifitas

yang berkaitan pengaturan dan pengawasan bank termasuk memberikan sanksi

kepada bank dengan pengajuan pailit terhadap bank harusnya sudah dapat

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan seharusnya sudah dapat mengambil alih

peran yang sebelumnya ada di Bank Indonesia untuk masalah kepailitan dari

suatu bank karena seluruh pengaturan dan pengawasan terhadap bank yang

awalnya ada di Bank Indonesia sudah beralih dan tertuang di dalam Undang-

Undang Otoritas Jasa Keuangan. Namun amanat langsung dari Pasal 2 ayat (3)

Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang masih menyatakan bahwa dalam hal debitor

adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank

Indonesia belum dirubah dan tinyatakan secara tegas oleh peraturan perundang-

undangan yang ada. Sehingga kekhususan dari permohonan pailit terhadap bank

masih melekat pada Bank Indonesia.

Masih melekatnya kewenangan permohonan pailit bank pada Bank

Indonesia, menurut penulis memiliki keuntungan tersendiri dikarenakan Bank


55

Indonesia dapat mempertimbangkan kepentingan makroprudensial terhadap

kestabilan perekonomian masyarakat dan negara. Sehingga pertimbangan untuk

mengajukan pormohonan pailit dari bank diambil dengan pertimbangan yang

matang dan terbaik bagi kepentingan masyarakat Indonesia.

C. Akibat Hukum Putusan Pailit Oleh Bank Menurut Hukum Positif Indonesia

Secara umum putusan pailit, mengakibatkan debitor demi hukum

kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang dimasukkan

dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan keputusan pailit. Dalam Pasal 21

Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan, kepailitan meliputi seluruh harta

kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala

sesuatu yang diperolehnya selama kepailitan. Putusan pailit menimbulkan

tindakan dan akibat hukum di dalam kepailitan.

1. Tindakan dalam Kepailitan

Putusan pailit terhadap bank menimbulkan konsekuensi adanya

tindakan yang dapat diambil oleh kurator dengan hakim pengawas terhadap

bank. Tindakan tersebut berupa diambil alihnya seluruh harta pailit dari bank

untuk dilakukan pemberesan untuk kepentingan pelaksanaan putusan pailit

yang dilakukan oleh Kurator dengan hakim pengawas. Karena Kurator

berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta

pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan

tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali sebagaimana ditegaskan di


56

dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Berdasarkan putusan pailit tersebut, bank tidak dapat lagi menguasai

sepenuhnya harta yang menjadi objek kelapilitan karena sudah dalihkan

kepengurusannya kepada Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang

bertindak sebagai Kurator jika tidak ada penunjukan kurator. Hal tersebut

dimaksudkan untuk menjamin kepentingan kreditor terhadap harta pailit

bank.

2. Akibat dalam Kepailitan

Ada beberapa akibat yang timbul disebabkan oleh putusan pernyataan

pailit:58

a. Akibat Hukum Terhadap Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya

Berdasarkan bunyi Pasal 24 UUPKPU disebutkan bahwa terhitung

sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, Debitor pailit demi

hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang

termasuk dalam harta pailit. Artinya, Debitor pailit tidak memiliki

kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang

dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau

dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang

bertindak sebagai Kurator. Oleh sebab itu apabila bank telah dinyatakan

pailit, maka demi hukum bank kehilangan hak untuk menguasai dan
58
Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 50.
57

mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Harta pailit dari

bank dikuasai sementara oleh kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP)

yang bertindak sebagai Kurator.

b. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Timbal Balik

Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang

diadakan oleh Debitor pailit sebelum kepailitan diretapkan. Debitur pailit,

atas izin Kurator, masih dapat meneruskan pelaksanaan perjanjian timbal

balik tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.

Mengenai hal ini, Pasal 36 UUK-PKPU menetapkan bahwa jika pada saat

putusan pernyataan pailit ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang

belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak dengan siapa Debitor mengadakan

perjanjian tersebut dapat meminta kepada Kurator untuk memberikan

kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka

waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut.

Apabila terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru

sebagian dipenuhi, maka pihak yang mengadakan perjanjian dengan bank

dapat meminta kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang

kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang

disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut. Sehingga pihak yang sudah

terlanjur mengadakan perjanjian dengan bank dapat dipenuhi tanpa

terpengaruh oleh putusan pailit yang telah diberikan kepada bank.

c. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa


58

Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam

hal bank telah menyewa suatu barang, maka baik Kurator maupun pihak

yang menyewakan barang tersebut untuk sementara dapat menghentikan

sewa, asalkan pemberitahuan mengenai penghentian sewa tersebut dilakukan

menjelang berakhirnya perjanjian sewa yang bersangkutan sesuai dengan

kebiasaan setempat. Selain itu, dalam waktu penghentian tersebut juga harus

diperhatikan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa atau

jangka waktu yang lazim. Menurut UUK-PKPU, pemberitahuan penghentian

harus diberikan setidaknya 90 (Sembilan puluh) hari sebelum penghentian

perjanjian sewa.

d. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Kerja

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU, seorang pekerja yang

bekerja pada bank yang dinyatakan pailit dapat memutuskan hubungan

kerjanya, dan Kurator juga dapat memutuskan hubungan kerja tersebut

dengan keharusan untuk mengindahkan jangka waktu yang ditentukan dalam

perjanjian kerja mereka atau yang ditentukan dalam Undang-undang.

Hubungan kerja tersebut hanya dapat diputuskan dengan ketentuan bahwa

pemberitahuan tersebut harus dilakukan setidak-tidaknya dalam jangka

waktu 45 (empat puluh lima) hari. Sejak pernyataan pailit berlaku, uang

upah merupakan utang terhadap harta pailit.

Dinyatakannya pailit suatu bank memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positifnya bisa dilihat apabila sebuah bank dipailitkan maka bank yang
59

bersangkutan bisa lepas dari lilitan hutang yang dimilikinya seperti yang diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tetapi kita lihat juga

dampak negatifnya apabila sebuah bank dipailitkan masyarakat sebagai nasabah

tidak akan menginvestasikan dananya di bank karena dengan pailitnya bank

maka kepercayaan masyarakat sebagai nasabah untuk menginvestasikan asetnya

di bank akan pudar. Masyarakat cenderung akan lebih memilih untuk

menginvestasikan asetnya dalam bentuk lain diluar bank seperti halnya membeli

emas atau tanah sebagai tabungan karena dirasa sudah tidak aman apabila

menyimpan dananya di bank.

Jika dilihat dari aspek perekonomian atau finansial, kepailitan sebuah

lembaga perbankan tidak mempunyai dampak positif sama sekali. Hal ini bisa

ditinjau dari beberapa aspek yang telah dipaparkan akan membawa akibat negatif

bagi perekonomian atau finansial. Peranan perbankan di sektor ekonomi

sangatlah vital, uang yang beredar di masyarakat akan kembali ke bank untuk

disirkulasi menurut kegiatan usahanya dan bank akan mendapatkan keuntungan

dari perputaran uang tersebut, apabila sebuah bank dipailitkan maka akan

membawa efek negatif yang berupa hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

bank sehingga bank tidak mampu lagi menjalankan aktivitas usahanya yang

berakibat pada runtuhnya perekonomian karena perputaran uang menjadi tidak

stabil.
60

Apabila Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memutuskan suatu

bank yang dimohonkan pailit tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian,

maka Bank Indonesia akan mengajukan permohonan pailit atas bank yang

bermasalah kepada Pengadilan Niaga. Kemudian setelah Pengadilan Niaga

memutuskan bang yang diajukan permohonan pailit diputus bangkrut atau pailit

oleh Pengadilan Niaga, maka ada beberapa akibat hukum yang akan timbul yaitu

antara lain :

1. Bank sebagai debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan

mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal

putusan pernytaan pailit diucapkan. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal

24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang artinya, bank sebagai debitor

pailit tidak memiliki kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta

kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan

beralih atau dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan yang

bertindak sebagai Kurator.

2. Segala bentuk perikatan bank sebagai debitor yang terbit setelah putusan

pernyataan pailit tidak dapat dibayarkan dari harta pailit, kecuali perikatan

tersebut menguntungkan harta pailit. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal

25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


61

3. Berkaitan dengan tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut

harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Sebagaimana

disebutkan di dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4. Selama beralngsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan

periktan dari harta pailit yang ditujukan untuk terhadap debitor pailit, hanya

dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

5. Suatu tuntutan hukum yang diajukan debitor dan yang yang sedang berjalan

selama kepailitan berlangsung, atas permohonan tergugat, perkara harus

ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil

kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan

oleh hakim.

6. Suatu tuntutan hukum dipengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh

bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan

perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan

pernyataan pailit terhadap debitor.

7. Segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian kekayaan

debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan

sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga

dengan menyandera debitor.


62

8. Penjualan benda bergerak atau tidak bergerak yang dilakukan debitor, yang

prosesnya sebelum putusan pailit diucapkan, atas izin hakim pengawas,

kurator dapat meneruskan penjualan itu atas tanggungan harta pailit.

9. Perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik nama

kapal, pembebanan hak tanggungan, hipotek atau jaminan fidusia yang telah

diperjanjikan terlebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan

pernyataan pailit diucapkan.

10. Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang

diadakan oleh bank sebagai Debitor pailit sebelum kepailitan diretapkan.

Debitur pailit, atas izin Kurator, masih dapat meneruskan pelaksanaan

perjanjian timbal balik tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah

disepakati bersama. Hal tersebut dikarenakan Pasal 36 Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang menyatakan bahwa terhadap perjanjian timbal balik yang

belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian

dengan debitor dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian

tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang

disepakati oleh kurator dan pihak tersebut.

11. Terhadap penyerahan barang yang telah diperjanjikan oleh debitor yang

waktu pelaksanaannya dilakukan setelah putusan pernyataan pailit

diucapkan, maka perjanjian tersebut menjadi hapus, untuk kemudian pihak


63

penerima barang dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk

mendaptkan ganti rugi.

12. Bank sebagai debitor pailit apabila telah menyewa suatu barang, maka baik

Kurator maupun pihak yang menyewakan barang tersebut untuk sementara

dapat menghentikan sewa, asalkan pemberitahuan mengenai penghentian

sewa tersebut dilakukan menjelang berakhirnya perjanjian sewa yang

bersangkutan sesuai dengan kebiasaan setempat. Dimana pemberitahuan

penghentian harus diberikan setidaknya 90 (Sembilan puluh) hari sebelum

penghentian perjanjian sewa. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

13. Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja, atau

debitor melalui kurator dapat memutuskan hubungan kerja tersebut dengan

mengindahkan jangka waktu sesuai dengan persetujuan atau ketentuan

peraturan perundang-undangan, dengan pemberitahuan terlebih dahulu

paling singkat empat puluh lima hari sebelumnya, dengan ketentuan bahwa

upah terutang baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit

diucapkan merupakan utang harta pailit.

14. Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan

pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit

yang meruguikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan.


64

15. Hibah yang dilakukan debitor dapat dimintakan pembatalan kepada

pengadilan, apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah

tersebut dilakukan debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa

tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian pada kreditor.

16. Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan

apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa

permohonan pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan, atau dalam hal

pembayaran tersebut merupakan persekongkokolan antara kreditor dan

debitor dengan maksud menguntungkan kreditor dari kreditor lainnya.

17. Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta

debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus

mengembalikan harta tersebut kepada kurator dan dilaporkan kepada hakim

pengawas.

Berdasarkan penjelasan di atas, akibat hukum dari putusan pailit tersebut

bank kehilangan haknya atas penguasaan dan pengaturan hartanya yang menjadi

objek pailit sehingga bank tidak dapat lagi dengan mudah untuk menguasai dan

mengatur harta kekeyaannya. Pengaturan dan penguasaannya sudah diambil alih

oleh Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai

Kurator untuk menjamin keadilan bagi kreditor terhadap harta Bank yang telah

dinyatakan pailit. Bank juga tidak dapat melakukan kegiatan usaha lain dengan

menggunakan harta pailitnya untuk kepentingan bank itu sendiri terhadap pihak-

pihak lain pasca putusan pailit itu berkekuatan hukum tetap. Jika bank
65

melakukan perbuatan hukum yang dilakukan sebelum dan sesudah putusan pailit

yang berkaitan dengan harta pailit perlu mendapat persetujuan dari Kurator

sebagaiman telah diatur di dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 64 Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

Putusan Pengadilan Niaga terhadap pailitnya suatu bank, memberikan

kepastian hukum bagi pihak Kreditur dan pihak Debitur untuk menyelesaikan

permasalahan perjanjian yang sudah dilakukan, sehingga tidak merugikan kedua

belah pihak. Dari akibat hukum putusan pailit tersebut memberikan batasan

kepada Debitur Bank untuk melakukan perbuatan hukum yang dianggap dapat

merugikan para Krediturnya, baik dalam pengelolaan asset maupun melakukan

perbuatan hukum yang kemudian berkaitan dengan harta kekayaan dari Debitur

bank tersebut.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menjelaskan secara rinci akibat

hukum dari putusan pailit dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 64 yang

implikasinya juga berlaku pada Debitur bank. Dengan hadirnya Kurator atau

Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai Kurator memberikan

jaminan akan pengelolaan harta pailit dari bank untuk dapat diputuskan untuk

kepentingan bersama antara Debitur dan Kreditur. Dengan diambil alihnya

pengelolaan asest pailit dari bank oleh Kurator atau Balai Harta Peninggalan

(BHP) ini dapat menutup akses bank pailit untuk mengalihkan harta kekayaannya
66

yang berpotensi merugikan para krediturnya. Artinya bank sudah tidak dapat lagi

menggunakan harta pailitnya untuk melakukan perbuatan hukum yang dapat

merugikan berbagai pihak lainnya.


67

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat diambil suatu simpulan,

sebagai berikut :

1. Pengaturan kepailitan terhadap bank di Indonesia saat ini hanya diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Oleh sebab itu, landasan hukum

dalam pengaturan dan pengajuan pailit terhadap bank menggunakan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Bank Indonesia tetap dapat melakukan pengajuan pailit terhadap bank pasca

berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, telah menyatakan “Dalam hal Debitor adalah bank,

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia”.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas

Jasa Keuangan tidak mengatur dan menyebutkannya secara khusus terkait

kewenangan permohonan pailit dari bank sebagai debitor dapat dilakukan

oleh Otoritas Jasa Keuangan.


68

3. Akibat hukum dari putusan pailit terhadap bank mengakibatkan bank

kehilangan haknya atas penguasaan dan pengaturan hartanya yang menjadi

objek pailit sehingga bank tidak dapat lagi dengan mudah untuk menguasai

dan mengatur harta kekeyaannya. Pengaturan dan penguasaannya sudah

diambil alih oleh Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang

bertindak sebagai Kurator. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh bank

sebelum dan sesudah putusan pailit yang berkaitan dengan harta pailit perlu

mendapat persetujuan dari Kurator. Hal tersebut sebagaiman telah diatur di

dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan tersebut di atas, penyusun

dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Untuk memberikan kepastian hukum perlu ada penegasan secara khusus di

dalam peraturan perundang-undangan tentang pengajuan permohonan pailit

suatu bank berada pada otoritas Bank Indonesia dan mempertegas

pengaturan hubungan koordinasi yang berkaitan dengan peran, fungsi dan

tugas antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam hal

mengajukan permohonan pailit suatu bank.

2. Pemerintah perlu menjamin kepentingan kreditor sebagai nasabah yang

menyimpan uangnya di bank agar tidak merasa dirugikan akibat pailinya


69

suatu bank. Terlebih lagi pengajuan permohonan pailit terhadap bank hanya

dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.


70

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Adrian Sutedi, 2014, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses,
Jakarta;

Anton Suyatno, 2012, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,


Ctk.Pertama, Kencana, Jakarta;

Bank Indonesia, 2010, Menyingkap Tabir Seluk Beluk Pengawasan Bank, Bank
Indonesia, Jakarta;

Djiwandono, 2001, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa Krisis, LP3ES,


Jakarta;

Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal
Research), Sinar Grafika, Jakarta;

Hermansyah. 2013. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana Prenada


Media Group. Jakarta;

H. Zainuddin Ali, M. A., 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta;

Imran Nating, 2004. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Penggurusan
dan Pemberesan Harta Pailit. RajaGrafindo Persada. Jakarta;

Julius R Latumaerisa, 2011, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta;

Kasmir. 2015. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo


Persada. Jakarta;

Kasmir. 2015. Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta;

Maqdir Ismail, 2009. Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum,
Navila Idea. Yogyakarta;

M. Sunbhan, 2009. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di


Peradilan). Cet. II, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta;
71

Muhaimin, 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram University Press.


Mataram;

Muhammad Djumhana, 2012. Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya


Bakti, Bandung;

Neni Sri Imaniyati, 2010. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika


Aditama, Bandung;

Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta;

Saroinsong, A. N. 2014. Fungsi Bank dalam Sistem Penyaluran Kredit


Perbankan. Lex Privatum, Jakarta;

Sentosa Sembiring, 1993. “Sinopsis Hukum Perbankan”, dalam Percikan


Gagasan tentang Hukum II: Kumpulan Tulisan Ilmiah Hukum Alumni dan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Parayangan, A.F Erawaty, dkk, Citra
Aditya Bakti, Bandung;

Sunarmi, 2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia,


Edisi 2, Softmedia, Jakarta;

Suparji, 2018. Kelaplitan, UAI Press. Jakarta;

Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang


Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta;

Sylvia Janisriwati, 2011. Kepailitan Bank (Aspek Hukum Kewenangan Bank


Indonesia dalam Kepailitan Suatu Bank), Logoz Publishing, Bandung;

Tami Rusli, 2019, Hukum Kepailitan Di Indonesia, Universitas Bandar Lampung


Press, Lampung;

Victor Situmorang & Soekarso. 1994. Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia.


Rineka Cipta. Jakarta;

Zaeny Asyhadie. 2005. Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia.


PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta;

Zainal Asikin, 2002. Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia,


Rajawali pers, Jakarta.
72

2. Jurnal

Azis S. Lapadengan, 2013. Analisis Fungsi Penggunaan Lembaga Kepailitan


Dalam Penyelesaian Kredit Macet Perbankan, Jurnal Law Review
Vol.I/No.2/April-Juni /2013 Edisi Khusus;

I Komang Mudita, dkk. 2020, “Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Pemohon


Pailit Setelah Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan”. Jurnal Interpretasi
Hukum;

Rebekka Dosma Sinaga, 2013. Sistem Koordinasi Antara Bank Indonesia Dan
Otoritas Jasakeuangan Dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Jurnal Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara;

Ricardo Simanjuntak, 2014. Tinjauan Kritis Penyelesaian Perkara Kepailitan


dan Likuidasi Bank, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 3;

Ronald Saija, Kadek Agus Sudiarawan. 2021. Perlindungan Hukum Bagi


Perusahaan Debitur Pailit dalam Menghadapi Pandemi Covid 19, Jurnal
Batulis Civil Law Review, volume 2 nomer 1.

3. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, LN


No. 7 Tahun 2004, TLN No. 4357.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN No. 131 Tahun 2004,
TLN No. 4443.

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang


Otoritas Jasa Keuangan, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253.

Anda mungkin juga menyukai