Kepemimpinan adalah kemampuan untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara antusias. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan
kecakapan atau kemampuan seseorang dalam membujuk orang lain agar orang tersebut mau
bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Davis, 1981).
Terdapat tiga aspek yang mendominasi dalam kepemimpinan, yaitu orang, pengaruh dan
tujuan. Dalam hal ini, kepemimpinan muncul di antara orang-orang, mengikutsertakan
manfaat dari pengaruh, dan digunakan demi pencapaian tujuan. Pengaruh disini
mencerminkan ketidakpasifan keterkaitan di antara orang-orang terkait. Pengaruh tersebut
dirancang guna mencapai tujuan. Oleh sebab itu, kepemimpinan (leadership) bisa diartikan
sebagai kemampuan mempengaruhi orang-orang untuk mencapai tujuan organisasional (Daft,
2003).
Hasil riset Fiedler menemukan adanya tiga dimensi kontingensi yang menetapkan
berbagai faktor situasional utama untuk menentukan efektivitas pemimpin, yakni
sebagai berikut.
a. Hubungan pemimpin dan bawahan (leader member relation), yaitu kadar
hubungan antara pemimpin dengan bawahan merupakan tingkat sejauh mana
kelompok tersebut memberi dukungan pada pemimpinnya.
b. Struktur tugas, yakni sejauh mana tugas-tugas yang harus dilaksanakan itu
terstruktur atau tidak dan apakah disertai oleh prosedur yang tegas dan jelas atau
tidak.
c. Posisi kewenangan, yakni besarnya pengaruh pemimpin terhadap berbagai faktor
wewenang, seperti pengangkatan dan pemberhentian pegawai, promosi,
penegakan kedisiplinan, serta kenaikan gaji.
Skala baik atau buruk dipergunakan untuk menganalisis hubungan pimpinan dan
bawahan, sedangkan skala “tinggi” atau “rendah” dipergunakan bagi dimensi struktur
tugas. Adapun skala “kuat” atau “lemah” diberikan untuk dimensi posisi kewenangan.
Berkaitan dengan ini, seorang pemimpin dinilai telah efektif jika hasil analisis
menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
a. Baiknya hubungan di antara atasan dan bawahan.
b. Tingginya tingkatan struktur dari tugas yang diberikan ke bawahan.
c. Kuatnya posisi kewenangan pimpinan.
Model ini disebut teori kepemimpinan situasi (Situation Leadership Theory/ SLT), yaitu teori
kontingensi yang fokus pada kesiapan pengikutnya. Kesiapan, didefinisikan oleh Hersey dan
Blanchard sebagai tingkat di mana orang memiliki kemampuan dan kemauan untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu.
Teori kepemimpinan situasi menggunakan dimensi kepemimpinan sama dengan Fiedler,
yaitu perilaku tugas dan relasi. Namun, Hersey dan Blanchard melangkah lebih maju dengan
mempertimbangkan masing-masing sebagai tinggi atau rendah lalu menggabungkannya
dengan 4 gaya kepemimpinan berikut:
a. Telling (pekerjaan tinggi- relasi rendah), pemimpin menentukan peranan karyawan dan
mengatur apa, kapam, bagaimana, dan di mana karyawan melaksanakan tugasnya.
b. Selling (pekerjaan tinggi- relasi tinggi), pemimpin menunjukkan perilaku yang
mengarahkan dan mendukung.
c. Participating (pekerjaan rendah- relasi tinggi), pemimpin dan pengikutnya bersama-
sama membuat keputusan, di mana pemimpin memiliki peranan sebagai fasilitator dan
komunikator.
d. Delegating (pekerjaan rendah- relasi rendah), pemimpin kurang memberikan
pengarahan atau dukungan.
a. R1, orang tidak mampu dan tidak memiliki keinginan untuk bertanggung jawab dalam
melakukan suatu pekerjaan. Pengikut tidak kompeten atau tidak percaya diri.
b. R2, orang tidak mampu, namun memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaan