Anda di halaman 1dari 12

CONCLUSION

KEPEMIMPINAN
(6-1-2021)

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN


Pemimpin adalah seseorang yang dapat memengaruhi orang lain dan memiliki
otoritas manajerial, sedangkan kepemimpinan adalah apa yang dilakukan seorang
pemimpin. Kepemimpinan merupakan proses memimpin suatu kelompok dan
memengaruhi kelompok tersebut dalam mencapai tujuannya. Karena memimpin
merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen, maka idealnya bahwa setiap
manajer haruslah menjadi seorang pemimpin. Pemimpin dan kepemimpinan, seperti
motivasi, merupakan topik yang terkait dengan perilaku organisasi.

TEORI SIFAT (TRAIT THEORIES) TEORI AWAL KEPEMIMPINAN, YANG BERFOKUS


PADA SIFAT-SIFAT SEORANG PEMIMPIN
Fokus riset kepemimpinan pada tahun 1920 an dan 1930 an terletak pada
pemahaman mengenai sifat pemimpin, yaitu karakteristik yang membedakan antara
pemimpin dan bukan pemimpin. Sifat-sifat yang diteliti adalah stabilitas emosi,
kemampuan bersosialisasi, termasuk kelancaran berbicara di depan orang banyak,
penampilan fisik, dan golongan sosial.
Terlepas dari usaha keras peneliti, mungkin mustahil untuk mengidentifikasi sifat-
sifat yang senantiasa membedakan antara seorang pemimpin dengan bukan pemimpin.
Terlalu optimis jika kita menganggap bahwa ada sifat yang konsisten dan unik yang
diaplikasikan secara universal oleh seluruh pemimpin yang efektif, tanpa melihat
bagaimana kepemimpinannya. Berikut adalah tujuh sifat yang berkaitan dengan
kepemimpinan yang efektif (proses kepemimpinannya, bukan pada orangnya):
 Penggerak
Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yang tinggi. Mereka memiliki keinginan yang
tinggi terhadap keberhasilan (ambisius), memiliki banyak energi, tidak kenal lelah
dalam menjalankan aktivitasnya, dan menunjukkan inisiatif.
 Hasrat untuk memimpin
Pemimpin memiliki hasrat yang kuat untuk memengaruhi dan memimpin orang
lain. Mereka menunjukkan kemauan yang tinggi untuk menerima tanggung jawab,
• Kejujuran dan integritas
Pemimpin harus dapat membangun hubungan yang dapat dipercaya oleh anggota
kelompoknya, dengan cara bertindak jujur dan tidak berkhianat, serta menjaga
konsistensi antara ucapan dengan perbuatannya.
 Kepercayaan diri
Karyawan mencari pemimpin yang tidak ragu-ragu. Seorang pemimpin harus
menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi agar dapat meyakinkan anggota
kelompoknya terhadap keputusan dan tujuan yang harus dicapai.
 Kecerdasan
Pemimpin harus memiliki tingkat kecerdasan yang mumpuni untuk dapat
mengumpulkan, menyatukan, dan mengolah serta menafsirkan banyak informasi.
Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan, mencari solusi,
dan mengambil keputusan yang tepat.
• Pengetahuan yang relevan dengan pekerjaannya
Pemimpin yang efektif haruslah memiliki pengetahuan tentang operasi bisnis
perusahaan, industri, dan lingkungan organisasi, serta paham mengenai beerbagai
permasalahan teknis yang ada terkait dengan pekerjaannya. Dengan pengetahuan
yang mendalam tentang ruang lingkup pekerjaannya dan organisasi, seorang
pemimpin diharapkan dapat mengambil keputusan yang terbaik, termasuk
memahami dampak dari hasil keputusannya tersebut.
 Ekstraversi
Pemimpin adalah orang yang enerjik dan penuh semangat. Dia juga harus pandai
bergaul, tidak menarik diri dan tegas.

TEORI PERILAKU, YANG JUGA MERUPAKAN TEORI AWAL TENTANG


KEPEMIMPINAN
Para peneliti tentang kepemimpinan menyadari bahwa sifat itu sendiri tidak cukup
membantu dalam mengidentifikasi pemimpin yang efektif, karena penjelasan yang
semata-mata hanya berdasarkan pada teori sifat mengesampingkan interaksi antara
pemimpin dengan anggotanya (faktor situasional).
Oleh karena itu, penelitian kepemimpinan di era akhir tahun 1940 an hingga
pertengahan tahun 1960 an lebih berkonsentrasi pada jenis perilaku pemimpin. Dalam
hal ini, peneliti ingin mengetahui apakah pemimpin yang efektif memiliki perilaku yang
unik. Berikut adalah empat kajian utama mengenai perilaku pemimpin, yang
diselenggarakan di Amerika Serikat:
 Penelitian yang dilakukan Universitas lowa
Meneliti tiga gaya kepemimpinan untuk menentukan gaya kepemimpinan yang
paling efektif, yaitu gaya autokrasi, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire. Gaya
autokrasi menggambarkan pemimpin yang mendikte metode kerja, membuat
keputusan sepihak, dan membatasi partisipasi karyawan. Gaya demokratis
menggambarkan pemimpin yang melibatkan karyawan dalam membuat keputusan,
mendelegasikan wewenang, mendorong partisipasi, dan menggunakan umpan balik
sebagai kesempatan untuk melatih karyawan. Terakhir, gaya laissez-faire (biarkan
terjadi) menggambarkan pemimpin yang memberikan kesempatan atau kebebasan
kepada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan atau
suatu tugas dengan cara apapun juga yang menurut mereka pantas.
Berdasarkan hasil riset para peneliti menunjukkan bahwa gaya demokratis
menghasilkan kinerja yang unggul, baik dalam kuantitas maupun kualitas pekerjaan.
Di samping itu, anggota kelompok merasa lebih puas di bawah pemimpin yang
demokratis.
 Penelitian yang dilakukan Universitas Ohio State
Mengidentifikasi dua dimensi penting perilaku pemimpin, yaitu inisiasi struktur dan
konsiderasi. Dua dimensi ini seringkali menghasilkan kinerja dan kepuasan anggota
kelompok yang tinggi, meskipun tidak selalu terjadi.
Insiasi struktur mengacu pada sejauh mana pemimpin menentukan perannya
maupun peran anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Inisiasi struktur
mencakup perilaku yang berusaha mengorganisir suatu pekerjaan dan tujuan.
Sedangkan konsiderasi mengacu pada sejauh mana pemimpin memiliki hubungan
kerja dengan anggota kelompoknya, yang mempertimbangkan karakteristik saling
percaya dan menghargai gagasan, serta perasaan anggota kelompok. Pemimpin
dengan perhatian yang tinggi bersedia membantu mengatasi masalah anggota
kelompoknya, menunjukkan sikap yang bersahabat, mudah didekati, serta
memperlakukan seluruh anggota kelompoknya secara setara. Pemimpin juga
senantiasa memperhatikan kenyamanan, kesejahteraan, status, serta kepuasan
anggota kelompoknya.
 Penelitian yang dilakukan Universitas Michigan
Mengidentifikasi karakteristik perilaku pemimpin yang berkaitan dengan efektivitas
kinerja. Penelitian ini juga menemukan dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu
orientasi pada karyawan dan orientasi pada produksi. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa pemimpin yang berorientasi pada karyawan mampu mencapai tingkat
produktivitas dan kepuasan anggota kelompok yang tinggi. Pemimpin yang
berorientasi pada karyawan lebih menekankan relasi antar pribadi, sedangkan
pemimpin yang berorientasi pada produksi lebih menekankan aspek pekerjaan atau
tugas anggota kelompoknya.
 Grid Manajerial
Merupakan hasil pengembangan dari dimensi perilaku yang telah dijelaskan
sebelumnya, yaitu perhatian pada karyawan dan perhatian pada produksi (hasil
kerja). Grid ini menghasilkan lima gaya perilaku pemimpin yang dinamakan sebagai
impoverished management (manajemen yang lemah), task management
(manajemen tugas), manajemen middle of the road, manajemen country club, dan
manajemen tim.
Grid manajerial mengevaluasi manfaat perilaku pemimpin dengan membuat ranking
skala dari 1 (rendah) hingga 9 (tinggi) untuk masing-masing dimensi perilaku
(perhatian pada hasil kerja dan perhatian pada karyawan). Sumbu X menunjukkan
perhatian pada hasil kerja, sedangkan sumbu Y menunjukkan perhatian pada
karyawan. Ranking skala akan ditunjukkan dalam format (X,Y). Walaupun grid ini
memiliki 81 potensi (9 x 9) gaya perilaku pemimpin, namun hanya 5 gaya saja yang
diberikan nama sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Berikut adalah
penjelasan atas kelima gaya perilaku tersebut, mulai dari manfaat yang terendah
hingga tertinggi. Manajemen yang lemah (1,1) mengerahkan usaha yang paling
minimal untuk menyelesaikan pekerjaan demi mempertahankan keanggotaan
organisasi. Manajemen middle of the road (5,5) menghasilkan kinerja organisasi
yang cukup, yang dapat dicapai dengan menyeimbangkan antara hasil kerja dan
memelihara semangat karyawan pada tingkat kepuasan tertentu. Manajemen tugas
(9,1) mendorong efisiensi operasional, yang dapat dicapai melalui pengaturan
kondisi kerja dengan meminimalkan gangguan pada elemen manusia. Sedangkan
manajemen country club (1,9) memberikan perhatian yang tulus terhadap
kebutuhan karyawan akan relasi yang baik, sehingga mampu menciptakan atmosfer
atau lingkungan kerja serta irama kerja yang nyaman dan ramah dalam organisasi.
Terakhir, manajemen tim (9,9) mendorong komitmen karyawan untuk
menyelesaikan pekerjaannya, dan menciptakan ketergantungan terhadap
kepentingan bersama untuk membentuk hubungan dalam organisasi yang saling
menghargai dan saling percaya.
Manajer dapat menghasilkan kinerja terbaik saat menerapkan gaya manajemen tim
(9,9). Sayangnya, grid ini tidak menjelaskan mengenai apa yang menjadikan manajer
seorang pemimpin yang efektif. Grid ini hanya dapat memberikan kerangka kerja
saja mengenai konsep gaya kepemimpinan, bahkan hanya ada sedikit bukti yang
mendukung kesimpulan bahwa gaya manajemen tim paling efektif diterapkan di
berbagai situasi. Para peneliti menemukan bahwa untuk dapat memprediksi
kesuksesan dalam kepemimpinan ternyata berkaitan dengan sesuatu yang lebih
kompleks, tidak hanya sekedar mengisolasi beberapa sifat atau perilaku pemimpin.
Para peneliti mulai mencari pengaruh situasi. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan
apa yang mungkin lebih sesuai dalam situasi yang berbeda.

TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN


Teori ini (if-then) mendefinisikan gaya kepemimpinan yang kata lain, teori ini
mencoba berusaha mengkaitkan antara gaya kepemimpinan dengan faktor
kontingensinya yaitu berbagai situasi yang berbeda. Dalam situasi yang berbeda maka
gaya kepemimpinan yang akan diterapkan juga akan berbeda. Ada tiga teori kontingensi
kepemimpinan, yaitu model Fiedler, teori kepemimpinan situasi Hersey dan Blanchard
(situational leadership theory), serta teori jalur – tujuan (path-goal theory).

TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN MODEL FIEDLER


Model kontingensi pertama tentang kepemimpinan dikembangkan oleh Fred
Fiedler. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kelompok yang efektif sangat tergantung
pada kesesuaian antara gaya kepemimpinan dengan banyaknya kendali serta
pengawasan terhadap suatu situasi tertentu. Model ini ada berdasarkan anggapan
bahwa gaya kepemimpinan tertentu akan lebih efektif diterapkan dalam jenis situasi
tertentu pula.
Fiedler menjelaskan bahwa faktor penting untuk mencapai kesuksesan dalam
kepemimpinan adalah bergantung pada gaya kepemimpinannya, baik yang berorientasi
pada pekerjaan maupun hubungan antar personal. Penelitian Fiedler mengungkapkan
tiga dimensi kontingensi yang menentukan faktor kunci situasional terhadap tingkat
keberhasilan efektivitas pemimpin, yaitu:
 Relasi pemimpin dengan anggotanya, yang menggambarkan tingkat kepercayaan
dan rasa hormat karyawan anggota kelompok) terhadap pemimpinnya, yang dinilai
sebagai baik atau tidak baik.
 Stuktur tugas, yang menggambarkan tingkat di mana penugasan suatu pekerjaan
telah terstrukturisasi dan terformulasi, yang dinilai sebagai tinggi atau rendah.
 Posisi pengaruh, yang menggambarkan tingkat pengaruh atau wewenang seorang
pemimpin dalam hal perekrutan, pemecatan, pendisiplinan, pengajuan promosi , dan
pengusulan kenaikan gaji, yang dinilai sebagai kuat atau lemah.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan memiliki kinerja yang lebih baik pada
situasi di mana:
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong baik, struktur tugas sangat
terstruktur (tinggi formulasinya), dan pemimpin memiliki posisi pengaruh atau
wewenang yang kuat.
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong baik, struktur tugas sangat
terstruktur (tinggi formulasinya), meskipun posisi pengaruh atau wewenangnya
lemah.
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong baik, meskipun struktur tugasnya
rendah, namun posisi pengaruh atau wewenangnya adalah kuat.
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong buruk, dan struktur tugasnya
rendah, namun pemimpin tersebut memiliki posisi pengaruh atau wewenang yang
kuat.
Sedangkan pemimpin yang berorientasi padaa relasi (hubungan antar personal) akan
memiliki kinerja yang lebih baik pada situasi di mana:
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong baik, namun struktur tugas yang
rendah, dan posisi pengaruh atau wewenang yang lemah.
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong buruk, namun struktur tugas yang
tinggi, dan posisi pengaruh atau wewenang yang kuat.
 Relasi pemimpin dengan anggotanya tergolong buruk, namun struktur tugas yang
tinggi, dan posisi pengaruh atau wewenang yang lemah.
Fiedler menganggap bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah bersifat tetap,
sehingga hanya ada dua cara untuk memperbaiki efektivitas pemimpin. Cara yang
pertama adalah dengan mengusulkan pemimpin baru yang memiliki gaya
kepemimpinan yang lebih sesuai
dengan situasi yang ada. Sedangkan alternatif yang kedua adalah dengan mengubah
situasi yang ada menjadi situasi yang lebih sesuai dengan gaya pemimpinnya. ini dapat
dilakukan dengan memperbaiki hubungan antara pemimpin dengan anggotanya,
mengatur ulang pekerjaan, dan menaikkan atau meurunkan kewenangan yang dimiliki
pemimpin.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji validitas model Fiedler dan
menunjukkan bukti yang cukup untuk mendukung, model tersebut. Namun, model ini
tetap menuai kritik. Kritik yang Pemimpin menunjukkan perilaku yang mengarahkan
dan
sulit untuk dievaluasi.

TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN MODEL SITUASI HERSEY DAN BLANCHARD


Paul Hersey dan Ken Blanchard membangun sebuah teori kepemimpinan yang
didukung oleh para pakar manajemen. Hersey dan Blanchard mengembangkan teori
kepemimpinan situasi (situational leadership theory), yaitu sebuah teori kontingensi
yang fokus pada kesiapan pengikutnya atau anggota yang dipimpinnya. Penekanan pada
anggota kelompok dalam efektivitas kepemimpinan menunjukkan kenyataan bahwa
pengikutlah yang akan menerima atau menolak pemimpinnya. Terlepas dari apa yang
dilakukan pemimpin, efektivitas kelompok tergantung dari tindakan para pengikutnya.
Hersey dan Blanchard mendefinisikan kesiapan sebagai tingkat di mana karyawan
memiliki kemampuan dan kemauan untuk menyelesaikan pekerjaannya.
 Hersey dan Blanchard mengidentifikasi empat gaya kepemimpinan sebagai berikut:
 Telling (orientasi pekerjaan tinggi dengan orientasi relasi yang rendah)
 Pemimpin menentukan peran karyawan dengan mengatur apa, kapan, bagaimana,
dan di mana karyawan melaksanakan tugasnya.
 Selling (orientasi pekerjaan tinggi dan orientasi relasi juga tinggi) pemimpin
menunjukkan perilaku yang mengarahkan dan mendukung
 Participating (orientasi pekerjaan rendah namun orientasi relasi tinggi) Pemimpin
dan anggota kelompoknya secara bersaama-sama membuat keputusan, di mana
dalam hal ini pemimpin berperan sebagai fasilitator dan komunikator.
 Delegating (orientasi pekerjaan rendah dan orientasi relasi juga rendah) Pemimpin
sedikit memberikan pengarahan atau dukungan.

Komponen terakhir dalam model SLT adalah empat tahap kesiapan pengikut anggota
kelompok), yaitu:
 R1
Karyawan tidak mampu dan juga tidak memiliki keinginan untuk bertanggung jawab
atas suatu pekerjaan. Dalam hal ini, karyawan tidak kompeten dan juga tidak percaya
diri.
 R2
Karyawan tidak mampu, namun memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaan
tertentu. Dalam hal ini, karyawan tidak kompeten namun memiliki motivasi untuk
melakukan sesuatu.
 R3
Karyawan mampu, namun tidak memiliki keinginan untuk memenuhi tuntutan
pemimpinnya. Dalam hal ini, karyawan memiliki kompetensi namun tidak bersedia
mengambil tanggung jawab atas suatu pekerjaan.
 R4
Karyawan mampu dan memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaan yang diminta
atasannya.

Teori kepemimpinan situasi (SLT) memandang relasi antara pemimpin dengan


pengikutnya seperti relasi orang tua dengan anaknya. Dalam hal ini, pemimpin harus
dapat bersikap seperti orang tua. Orang tua perlu mengurangi pengawasan kepada
anaknya saat mereka bertambah dewasa dan lebih bertanggung jawab. Demikian juga,
pada saat karyawan mencapai tingkat kesiapan yang lebih tinggi, maka pemimpin akan
mengurangi pengawasan terhadap kegiatan karyawannya.
Teori kepemimpinan situasi menjelaskan bahwa jika pengikut berada pada posisi
R1 (tidak mampu dan juga tidak memiliki keinginan untuk mengerjakan pekerjaan
tertentu), maka pemimpin perlu menggunakan gaya telling dengan memberikan
pengarahan secara spesifik dan sejelas-jelasnya. Jika pengikut berada pada posisi R2
(tidak mampu, namun memiliki keinginan untuk melakukan pekerjaan tertentu), maka
pemimpin harus menggunakan gaya selling dengan menunjukkan orientasi yang tinggi
pada pekerjaan mengingat kemampuan pengikut yang kurang, serta orientasi yang
tinggi pula pada relasi agar pengikut mau mengikuti kemauan pemimpinnya. Jika
pengikut berada pada posisi R3 (mampu namun tidak memiliki keinginan), maka
pemimpin harus menggunakan gaya participating agar memperoleh dukungan dari
pengikutnya. Dan jika pengikut berada pada posisi R4 (mampu dan memiliki keinginan),
maka pemimpin sebaiknya menerapkan gaya delegating dengan tidak perlu melakukan
apa-apa (paling minimal).
Sama seperti teori lainnya, teori kepemimpinan situasi juga tidak terlepas dari kritikan.
Meskipun teori ini didukung oleh para pakar manajemen, namun secara umum hasil
penelitian tidak mendukungnya. Kritikan terjadi karena adanya ketidakkonsistenan
internal pada model dan juga permasalahan metode penelitian yang diterapkan.

PANDANGAN KONTEMPORER (TERBARU) TENTANG KEPEMIMPINAN


TRANSFORMASI - TRANSAKSI
Teori-teori awal tentang kepemimpinan memandang para pemimpin sebagai
transactional leaders, di mana kepemimpinannya menggunakan pendekatan transaksi
(pertukaran). Dalam hal ini, karyawan yang telah bekerja mencapai tujuan unit atau
kelompok akan diberikan penghargaan oleh pemimpinnya atas hasil kerja atau tingkat
produktivitas yang telah dicapainya. Sedangkan transformational leaders cenderung
menstimulasi, menginspirasi, dan mentransformasi semangat, sikap, dan pandangan
anggota kelompoknya untuk mencapai hasil kinerja yang luar biasa.
Pemimpin transformasi senantiasa memperhatikan kepentingan dan kebutuhan
anggota kelompoknya. Pemimpin transformasi juga mengubah (mentransformasi)
pemahaman anggota kelompoknya mengenai isu-isu tertentu dengan cara pandang
yang baru. Pemimpin transformasi membantu membangkitkan semangat dan
memberikan inspirasi bagi para anggotanya untuk berusaha lebih keras lagi dalam
mencapai tujuan kelompok.
Kepemimpinan transformasi merupakan hasil pengembangan dari teori
kepemimpinan transaksi. Kepemimpinan transaksi dan transformasi sebaiknya tidak
dipandang sebagai pendekatan yang saling bertentangan dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan, namun sebaliknya diperlakukan sebagai teori kepemimpinan yang saling
mendukung dan melengkapi. Kepemimpinan transformasi – transaksi diyakini memiliki
penggaruh yang kuat terhadap perputaran karyawan yang rendah, serta meningkatkan
produktivitas, kepuasan karyawan, kreativitas pencapaian tujuan dan kesejahteraan
bagi para anggotanya.

PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG KEPEMIMPINAN KARISMATIK - VISIONER


Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang antusias, memancarkan energi dan
dorongan, serta percaya diri bahwa kepribadian dan tindakannya dapat memengaruhi
orang lain untuk berperilaku dengan cara tertentu. Beberapa pakar manajemen telah
mencoba mengidentifikasi karakteristik pribadi dari seorang pemimpin yang
karismatik. Analisis yang paling komprehensif berhasil mengidentifikasi lima
karakteristik yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang karismatik, yaitu memiliki visi,
mampu memaknai visi tersebut, bersedia mengambil risiko untuk mencapai visi
tersebut, memiliki kepekaan terhadap lingkungan organisasi maupun kebutuhan
karyawan, serta memiliki perilaku yang luar biasa (sangat berkualitas).
Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bukti yang kuat bahwa terdapat
pengaruh yang positif dan signifikan antara pemimpin yang karismatik terhadap
peningkatan kinerja dan kepuasan anggota kelompoknya.
Karisma diyakini sebagai kualitas kepemimpinan yang efektif. Dapatkah seseorang
belajar menjadi pemimpin yang karismatik? Atau apakah pemimpin karismatik
memang terlahir dengan kualitas demikian? Meskipun sebagian kecil pakar manajemen
beranggapan bahwa karisma tidak dapat dipelajari, namun banyak yang percaya bahwa
seseorang dapat dilatih untuk menunjukkan perilaku karismatik. Caranya adalah
dengan belajar menjadi pribadi yang percaya diri, penuh keyakinan, dinamis, terbiasa
berbicara dengan nada suara yang tegas, berlatih mencondongkan badan ke arah lawan
bicara saat berkomunikasi dengan bawahan, serta melakukan kontak mata.
Walaupun istilah visi seringkali dihubungkan dengan kepemimpinan karismatik,
kepemimpinan visioner sangatlah berbeda karena kemampuannya dalam menciptakan
dan memaknai, serta mewujudkan visi masa depan (yang realistis) menjadi sebuah
kenyataan. Visi ini jika diimplementasikan secara tepat mampu bakat, serta sumber
daya yang mumpuni. Visi organisasi haruslah jelas dan menarik (unik) sehingga dapat
menciptakan dorongan atau emosi, memberikan energi yang luar biasa untuk dapat
"melompat jauh" ke
masa depan. Untuk mewujudkannya, tentu saja dibutuhkan keahlian, dan memberikan
inspirasi kepada seluruh anggota kelompok atau organisasi untuk mewujudkannya.

PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG KEPEMIMPINAN TIM


Karena kepemimpinan semakin berperan dalam konteks tim, serta semakin
banyaknya organisasi yang menggunakan kerja tim, maka peranan pemimpin dalam
memfasilitasi anggota tim menjadi sangatlah penting. Dewasa ini, pemimpin yang
terbiasa dengan sistem perintah dan kendali sudah tidak sesuai lagi. Saat ini, diperlukan
para pemimpin yang mampu mengubah gaya kepemimpinannya yang dominan demi
kebaikan dan keberhasilan kerja tim. Sebagian besar pemimpin, keahlian untuk
memimpin sebuah tim tidak ada pada mereka secara alami, namun mereka dapat
mempelajarinya.
Tantangan bagi para manajer dewasa ini adalah mempelajari bagaimana menjadi
pemimpin tim yang efektif. Mereka harus mempelajari berbagai keahlian, seperti
strategi membagi informasi secara benar, mendelegasikan tugas, memberikan
wewenang, serta dapat membaca situasi dalam rangka memahami dan menentukan
saat yang tepat untuk melakukan intervensi atas pekerjaan anggota timnya. Pemimpin
tim yang efektif harus pandai membaca situasi untuk dapat menentukan secara tepat
kapan saatnya membiarkan timnya bekerja sendiri (tanpa gangguan dari atasan) dan
kapan saatnya untuk melakukan intervensi atas pekerjaan timnya. Pemimpin tim
diharapkan untuk tidak terlalu mengawasi timnya ketika anggota tim membutuhkan
lebih banyak otonomi, dan juga sebaliknya untuk tidak meninggalkan timnya di saat
mereka membutuhkan bantuan, arahan, bimbingan, serta dukungan.
Tugas seorang pemimpin tim adalah focus untuk memfasilitasi proses tim. hal ini
mencakup pemberian pelatihan, meninjau ulang kinerja individu dan tim, melakukan
komunikasi secara tepat dan efektif, bertindak sebagai penengah konflik, dan
memberikan solusi atas pemecahan masalah.

BAGAIMANA PARA PEMIMPIN DEWASA INI MEMBANGUN RASA PERCAYA DAN


KREDIBILITASNYA?
Di lingkungan yang serba tidak pasti seperti saat ini, penting bagi para pemimpin
untuk mempertimbangkan membangun rasa percaya dan kredibilitasnya. Komponen
utama dari kredibilitas adalah kejujuran. Kejujuran selalu menjadi karakteristik nomor
satu untuk memilih pemimpin yang dikagumi. Selain jujur, pemimpin yang dapat
dipercaya juga adalah orang yang kompeten dan dapat memberikan inspirasi bagi
anggota kelompoknya atau para pengikutnya. Seorang pemimpin harus mampu
menyampaikan keyakinan dan antusiasnya secara efektif (tepat sasaran). Para
karyawan akan menilai kredibilitas seorang pemimpin dari kejujurannya,
kompetensinya, dan kemampuannya untuk menginspirasi.
Rasa percaya berkaitan erat dengan konsep kredibilitas, bahkan kedua
terminologi ini sering saling menggantikan. Trust didefinisikan sebagai keyakinan akan
integritas, karakter, dan kemampuan seorang pemimpin. Para karyawan yang
mempercayai pemimpinnya akan bersedia menerima tindakan pemimpinnya, karena
mereka yakin bahwa hak dan kepentingan mereka tidak akan disalahgunakan. Berikut
adalah lima dimensi yang mendasari konsep trust:
 Integritas, yaitu memiliki nilai kejujuran dan kebenaran.
 Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan keahlian teknis serta keahlian
interpersonal.
 Konsistensi, yaitu selalu taat azas (menerapkan suatu peraturan, ketentuan, metode,
atau prinsip yang sama atas suatu kasus atau peristiwa yang sama pula).
 Loyalitas, yaitu kemauan untuk melindungi anggota kelompoknya, baik secara fisik
maupun emosi, dengan memegang teguh prinsip moralitas dan etika.
 Keterbukaan, yaitu kemauan untuk berbagi ide, wawasan, pengetahuan, serta
informasi.
Dari kelima dimensi tersebut di atas, integritas merupakan hal yang sangat
penting dan mendasari keempat dimensi lainnya. Rasa percaya menjadi aspek yang
sangat penting dalam kepemimpinan yang efektif. Penting bagi para karyawan untuk
percaya bahwa pemimpin mereka akan memperlakukan mereka secara adil, demikian
juga para pemimpin harus percaya bahwa setiap anggota kelompok dapat memenuhi
tanggung jawabnya. Bagi manajer, kemampuan untuk membentuk rasa percaya
karyawan secara cepat dan mempertahankan kepercayaan tersebut adalah sangat
penting dalam rangka kesuksesan sebuah relasi.
Rasa percaya karyawan terhadap pemimpinnya menjadi penting karena sangat
berhubungan dengan hasil kerja yang positif, termasuk kinerja, perilaku anggota
kelompok, kepuasan kerja, dan komitmen terhadap organisasi. Seorang pemimpin
dapat membangun rasa percaya karyawan terhadapnya dengan cara mempraktikkan
keterbukaan, bersikap adil dan jujur, menunjukkan konsistensi, menepati janji, menjaga
kepercayaan diri, dan menunjukkan kompetensi.

PEMBERDAYAAN KARYAWAN DAN MANFAATNYA


Pemberdayaan karyawan melibatkan peningkatan keleluasaan dan perluasan
wewenang karyawan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, karyawan yang
diberdayakan bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan, memperbaiki
prosedur yang salah, dan mendorong prosedur kerja yang lebih efisien dan efektif.
Dewasa ini, jutaan karyawan dan tim karyawan menetapkan keputusan yang
memengaruhi pekerjaan mereka secara langsung. Mereka membuat anggaran,
menentukan jadwal jam kerja, mengendalikan aktivitas, serta memecahkan masalah
yang dulu dipandang sebagai tugas manajer. Dalam pemberdayaan karyawan ini, semua
karyawan bertindak layaknya seorang pemimpin.
Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan memberdayakan karyawannya
adalah kebutuhan terhadap pengambilan keputusan yang cepat oleh orang yang
dianggap paling mengetahui seluk-beluk permasalahan yang sedang terjadi, di mana
orang ini seringkali adalah orang yang berada di tingkat bawah organisasi. Dewasa ini,
organisasi yang mampu memenangkan persaingan dalam dunia usaha yang serba
dinamis adalah organisasi dengan karyawan yang dapat mengambil keputusan dan
menerapkan perubahan secara cepat.
Alasan lainnya dari pemberdayaan karyawan adalah terkait perampingan di
dalam organisasi dengan menciptakan rentang kendali tugas dan wewenangyang lebih
luas. Meskipun pemberdayaan karyawan bukanlah merupakan satu-satunya solusi
untuk memecahkan semua permasalahan yang ada, namun pemberdayaan karyawan ini
akan dapat bermanfaat apabila para karyawannya memiliki pengetahuan, kemampuan,
dan pengalaman untuk dapat melaksanakan tugas mereka secara baik dan benar.

BUDAYA NASIONAL YANG BERLAKU DI SUATU NEGARA MEMENGARUHI GAYA


KEPEMIMPINAN
Pemimpin yang efektif harus dapat mengatur gaya kepemimpinannya sesuai
dengan situasi lingkungan kerja yang dihadapi. Budaya nasional yang berlaku di suatu
negara merupakan variabel situasi penting yang akan memengaruhi penentuan gaya
kepemimpinan yang paling efektif. Gaya kepemimpinan yang berhasil diterapkan di
India belum tentu akan efektif juga jika diterapkan di negara Swiss. Para manajer di Asia
cenderung mampu mengambil keputusan dengan lebih baik, dapat berkomunikasi
secara efektif, dan memiliki dukungan yang kuat terhadap karyawan.
Budaya nasional yang berlaku di suatu negara memengaruhi gaya kepemimpinan.
Hal ini dikarenakan bahwa budaya nasional memiliki pengaruh yang kuat terhadap
respon yang akan ditunjukkan karyawan. Pemimpin yang efektif seharusnya tidak
memilih gaya kepemimpinan secara acak, mengingat bahwa mereka dibatasi oleh
kondisi budaya yang sebelumnya telah memengaruhi para karyawan yang akan
dipimpinnya.
Berikut ini adalah beberapa contoh mengenai gaya kepemimpinan yang berlaku di
berbagai negara:
 Pemimpin Korea cenderung diharapkan untuk bersikap paternalistik terhadap
karyawan, yaitu gaya kepemimpinan yang menggambarkan hubungan atasan dan
bawahan layaknya hubungan antara seorang bapak dengan anaknya.
 Pemimpin Arab yang bersikap murah hati dan baik hati justru akan dianggap lemah
oleh anggota kelompokya.
 Pemimpin di Jepang harus bersikap rendah hati dan diharapkan untuk lebih sering
berkomunikasi secara efektif dengan bawahannya.
 Pemimpin yang efektif di Malaysia harus menunjukkan sikap simpati, dan
menggunakan cara autokrasi (keputusan yang berpusat pada pemimpin), di mana
tidak melibatkan pengikutnya dalam pengambilan keputusan (bukan partisipatif).
 Pemimpin di Jerman memiliki orientasi yang tinggi terhadap kinerja, rasa simpati
yang rendah, proteksi diri yang rendah, orientasi yang rendah terhadap karyawan,
otonomi yang tinggi, dan tingkat partisipasi yang tinggi.
 Pemimpin di Amerika Serikat lebih menekankan pada tanggung jawab karyawan
dibanding hak, berorientasi pada nilai-nilai demokratis, dan lebih menekankan
rasionalitas disbanding spritualitas, keagamaan, atau hal-hal gaib.
Berdasarkan hasil kajian kepemimpinan lintas budaya yang paling luas dan
lengkap yang pernah dilakukan, ditemukan bahwa ada beberapa aspek universal terkait
dengan kepemimpinan yang efektif. Aspek universal yang dimaksud di sini adalah
kepemimpinan transformasi dan visioner, di mana kedua tipe kepemimpinan tersebut
dapat berlaku efektif di negara mana pun juga. Kedua tipe kepemimpinan tersebut
memiliki daya tarik universal karena dampak dari kemajuan teknologi dan persaingan
global, serta pengaruh multinasional.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan transformasi
adalah kepemimpinan yang cenderung menstimulasi, menginspirasi, dan
mentransformasi semangat, sikap, dan pandangan anggota kelompoknya untuk
mencapai hasil kinerja yang luar biasa. Pemimpin transformasi senantiasa
memperhatikan kepentingan dan kebutuhan anggota kelompoknya. Pemimpin
transformasi juga mengubah (mentransformasi) pemahaman anggota kelompoknya
mengenai isu-isu tertentu dengan cara pandang yang baru. Pemimpin transformasi
membantu membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi bagi para anggotanya
untuk berusaha lebih keras lagi dalam mencapai tujuan kelompok. Sedangkan
kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan dengan kemampuannya untuk
menciptakan dan memaknai, serta mewujudkan visi masa depan (yang realistis)
menjadi sebuah kenyataan.

PERBEDAAN GENDER MEMENGARUHI GAYA DAN EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN


Kesalahpahaman tentang hubungan antara gender dengan perilaku
kepemimpinan dapat memengaruhi proses perekrutan, penilaian kinerja, promosi, dan
keputusan lainnya yang terkait dengan manajemen sumber daya manusia, Dewasa ini,
banyak dijumpai karyawan wanita yang menempati posisi manajemen senior bahkan di
seluruh dunia semakin banyak karyawan wanita yang masuk dalam jajaran manajer
puncak.
Berbagai hasil penelitian mengenai hubungan antara gender dengan gaya
kepemimpinan menyimpulkan bahwa pada umumnya pemimpin pria dan wanita
menggunakan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Pemimpin wanita cenderung demokratis atau partisipatif. Dalam hal ini,
pemimpin wanita lebih mendorong partisipasi anggota kelompoknya dalam
pengambilan keputusan, berbagi kekuasaan dan informasi, serta berusaha untuk
melindungi kepentingan, kebutuhan, dan keinginan pengikutnya, Pemimpin wanita
cenderung menggunakan karisma, keahlian, hubungan, dan keterampilan
interpersonalnya untuk memengaruhi orang lain. Pemimpin wanita cenderung
menerapkan gaya kepemimpinan transformasi untuk memotivasi anggota
kelompoknya. Pemimpin pria cenderung memakai gaya langsung, yaitu sistem perintah
dan kendali. Pemimpin pria mengandalkan legitimate power untuk memengaruhi
anggotanya, berdasarkan otoritas sah yang dimilikinya sebagai pemegang posisi atasan
di dalam organisasi.
Pemimpin pria cenderung menggunakan gaya kepemimpinan transaksi, yaitu
memberikan penghargaan kepada bawahan yang berkinerja baik, dan sebaliknya
memberikan hukuman bagi karyawan yang tidak berkinerja baik atau melanggar
peraturan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, juga ditemukan buktiempiris
bahwanormakelompok dan gaya kerja pria memengaruhi wanita. Dalam hal ini, ada
kecenderungan menurunnya gaya pemimpin wanita yang awalnya demokratis menjadi
autokrasi, khususnya di saat pemimpin wanita tersebut berada di dalam lingkungan
kerja yang didominasi oleh pria. Di samping meneliti pengaruh perbedaan gender
terhadap gaya kepemimpinan, berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk
mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh perbedaan gender terhadap efektivitas
kepemimpinan. Dengan tidak bermaksud untuk menyudutkan para pemimpin pria,
namun sebagian besar hasil penelitian secara tidak sengaja menemukan bahwa
pemimpin wanita lebih unggul dibanding pemimpin pria, khususnya dalam hal kualitas
kerja, memberikan motivasi, melakukan komunikasi, mendengarkan orang lain,
membuat perencanaan strategis, serta dalam menganalisis suatu permasalahan.
Penjelasan yang paling logis dari hasil temuan di atas adalah bahwa kondisi
lingkungan kerja dewasa ini telah berubah dari struktur kerja yang kaku; penuh dengan
kompetisi individu, kendali, dan kerahasiaan, menjadi struktur kerja yang fleksibel,
mengedepankan tim kerja dan kemitraan, berlandaskan sikap saling percaya, serta
keinginan untuk saling berbagi informasi. Dalam kondisi lingkungan kerja dewasa ini,
manajer yang efektif adalah manajer yang mampu menerapkan perilaku interpersonal,
yaitu perilaku yang dengan kesadaran serta ketulusannya mau mendengarkan,
memotivasi, serta mendukung penuh stafnya. Pemimpin wanita biasanya cenderung
memiliki keahlian interpersonal yang lebih baik dibanding pemimpin pria.
Meskipun pemimpin wanita lebih unggul dibanding pemimpin pria dalam hal
kemampuannya untuk memimpin di lingkungan global yang serba dinamis saat ini,
namun perlu dicatat bahwa pada dasarnya tidak ada satu gaya kepemimpinan yang
terbaik untuk semua situasi kerja. Gaya kepemimpinan yang efektif sangat tergantung
pada setiap situasi kerja yang ada, oleh sebab itu meskipun cara memimpin pria dan
wanita berbeda, kita tidak boleh berasumsi bahwa yang satu selalu lebih efektif
daripada yang lainnya.

HAL-HAL YANG DAPAT DIPELAJARI DARI SEBUAH PELATIHAN KEPEMIMPINAN


Perlu dicatat bahwa pada dasarnya tidak semua orang memiliki kemampuan
untuk menjadi pemimpin. Hasil penelitian membuktikan bahwa pelatihan
kepemimpinan akan lebih sukses pada individu yang memiliki tingkat monitor diri yang
tinggi, serta memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi pula dalam hal menyesuaikan
perilakunya terhadap situasi yang berbeda. Di samping itu, orang yang memiliki
motivasi yang tinggi untuk memimpin akan lebih mudah mengembangkan
kepemimpinannya.
Melalui pelatihan kepemimpinan, seseorang dapat belajar tentang bagaimana:
 Memaknai dan mengimplementasikan isi tema penting yang terkandung dalam
sebuah visi perusahaan
 Membangun kepercayaan
 Menganalisis situasi
 Menilai situasi
 Memodifikasi perilaku yang selaras dengan situasi

SUBSTITUSI KEPEMIMPINAN DAPAT MENIADAKAN PENGARUH SEORANG


PEMIMPIN
Pada prinsipnya, organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif. Namun,
kadang-kadang menjadi pemimpin yang efektif dapat juga berarti tidak memimpin. Di
luar keyakinan bahwa beberapa gaya kepemimpinan akan selalu terbukti efektif, apa
pun situasinya, kepemimpinan mungkin tidak selalu penting. Penelitian menunjukkan
bahwa di beberapa situasi. perilaku yang ditampilkan oleh pemimpin menjadi tidak
relevan. Dengan kata lain, individu, pekerjaan, dan variabel organisasi tertentu dapat
bertindak sebagai substitusi kepemimpinan, yang dapat meniadakan pengaruh
pemimpinnya.
Sebagai contoh, seorang karyawan yang memiliki pengalaman, pengetahuan,
keterampilan, dan orientasi profesional yang tinggi, serta kebutuhan untuk bekerja
secara mandiri dapat menetralkan efek kepemimpinan dari manajernya. Karyawan
dengan karakteristik tersebut tidak lagi membutuhkan pemimpin yang mengarahkan,
namun yang mendukung. Demikian juga halnya dengan tugas yang sudah paasti dan
rutin, serta memuaskan secara intrinsik mampu mengurangi tuntutan variabel
kepemimpinan. Contoh lainnya adalah karakteristik organisasi, seperti tujuan formal
yang eksplisit, aturan dan prosedur yang sudah baku, serta kelompok kerja yang
kompak dapat mensubstitusi kepemimpinan yang formal.

Anda mungkin juga menyukai