Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

RUQSHAH IBADAH (SHALAT QASHAR DAN JAMA’


QASHAR)

MATA KULIAH : MASAILUL FIQHIYAH II


DOSEN PENGAMPU : AZIS ASHARI, M.H.I

DISUSUN OLEH:
RIVA RIFQOTUS SHOLIHAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-KHAIRAT
PAMEKASAN
TAHUN AKADEMIK 2023
A. PENDAHULUAN
Sholat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak.
Sholat juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain seperti diungkapkan
dalam sebuah hadits: “hal yang pertamakali dihisab dihari kiamat adalah
sholat”. Khalifah Umar Bin Khattab pernah mengirim surat kepada
gubernur yang diangkatnya. Pesannya, “sesungguhnya tugas kalian sebagsi
gubernur paling utama dimataku adalah sholat. Barang siapa memelihara
shalat berarti ia telah memelihara agamanya. Barang siapa yang lalai
terhadap sholatnya maka dalam urusan lain akan lebih lalai” .
Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang
lain. Jika shalatnya baik, maka baik pula amalnya yang lain. Oleh karena itu
maka shalat tidak bileh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya
kecuali orang yang haid atau nifas atau keadaan bahaya. Namun ada
beberapa keringanan (ruqhshah) bagi orang yang ada dalam
perjalanandalam tata cara pelaksanaan shalat, yaitu dengan cara shalat jama’
dan shalat qashar. Namun hal itu bukan berarti boleh m,eninggalkan shalat
begitu saja hanya berpindah pelaksanan dalam waktu tertentu dan syarat
syarat tertentu.
Menjama’ dan mengqashar shalat termasuk ruqhshah yang diberikan
oleh Allah SWT kepada hambanyakarena adanya kondisi yang menyulitkan
bila shalat dilakukan dalam keadaan biasa. Ruqshah ini merupakan
shadaqah dari Allah SWT. yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh
ketawadu’an.
B. FOKUS BAHASAN
Materi yang akan dibahas dalam Makalah ini difokuskan pada
penjelasan ruqsoh ibadah (sholat qasar dan jama’ qoshor) mulai dari
pengertian, pendapat para ulama serta temuan hukum yang didapat dari para
ulama, dan imam madzhab.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Ruqshah ibadah
Secara etimologi ruqhshah berarti mudah dan ringan sedangkan secara
terminologi rukhsah adalah keringanan-keringanan dalam hukum yang

2
diberikan syari’at kepada seorang mukallaf lantaran ada udzur yang
menyebabkan lahirnya keringanan tersebut.

Hal ini sebagaiamana penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-


Mustashfa halaman 78;

‫ َوِفي‬، ‫ َر ُخ َص الِّسْعُر إَذ ا َتَر اَجَع َو َس ُهَل الِّش َر اُء‬:‫ ُيَقاُل‬،‫َو الُّر ْخ َص ُة ِفي الِّلَس اِن ِعَباَر ٌة َع ْن اْلُيْس ِر َو الُّسُهوَلِة‬
‫الَّش ِريَعِة ِعَباَر ٌة َع َّم ا ُوِّس َع ِلُلُم َك َّلِف ِفي ِفْع ِلِه ِلُع ْذ ٍر َو َع ْج ٍز َع ْنُه َم َع ِقَياِم الَّس َبِب اْلُمَح ِّر ِم‬

“Rukhsah dalam bahasa adalah suatu ungkapan dari kemudahan dan


keringanan. Sementara dalam istilah syara’, rukhsah adalah suatu ungkapan
dari hal-hal yang diperbolehkan bagi mukallaf karena ada udzur. Yang mana
hal-hal tersebut pada awalnya tidak boleh dilakukan dan sebab yang tidak
memperbolehkannya masih ada.”

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa rukhshah adalah kemudahan


atau keringan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada situasi dan kondisi
tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan syari’at lantaran ada
kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.

b. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas
bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri
dari empat rakaat yakni isya’, Dzuhur, Ashar. Sholat maghrib dan subuh
tidak dapat di qashar.

c. Shalat Jama’ Qashar


Menjama’ sholat fardhu sekaligus mengqashar. yakni, mengumpulkan
dua shalat fardhu dalam satu waktu sekaligus menyingkat shalat yang terdiri
dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.

2. Kajian Teori
a. Sebab – Sebab Ruqhshah

3
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah Wa al-
Nadzȃir halaman 126 menyebutkan ada tujuh sebab yang melatarbelakangi
munculnya rukhshah, yaitu; Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan, lupa,
ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan dimana
seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah berbaur
dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.

Bepergian (safar) merupakan salah-satu sebab rukhshah, akan tetapi


tidak semua jenis bepergian bisa dijadikan alasan rukhshah. Ada dua hal
yang harus terpenuhi untuk menjadikan safar sebagai sebab adanya
rukhshah;

a) Jarak tempuh perjalanan mencapai radius tertentu. Menurut Imam Syafi’i


jarak minimal yang harus ditempuh adalah 80 Km, sedangkan menurut
Imam Abu Hanifah 125 Km.
b) Tujuan perjalalanan bukan maksiat seperti merampok, mencuri,
membunuh dan sebagainya. Ini menurut Jumhur Ulama, sementara
menurut Imam Abu Hanifah safar dengan tujuan apapun mendapatkan
keringanan. Alasannya karena sesuatu yang menyebabkan adanya
rukhshah sudah ada, yaitu safar. Sedangkan maksiat merupakan sesuatu
yang terpisah dari safar.

Jika dua syarat ini terpenuhi, maka safar bisa menjadi sebab adanya
rukhshah (keringanan). Diantaranya ialah mengqashar shalat, tidak
berpuasa, dan semacamnya.

b. Macam-Macam Ruqhshah
Berikut ini adalah ulasan mengenai pembagian rukhsah yang terdapat
dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437
H).
Rukhsah terbagi menjadi empat bagian :
1) rukhsah wajibah.
Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.

4
Contoh : kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati
kelaparan.
2) rukhsah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah
dikerjakan.
Contoh : kebolehan meringkas (qashar) salat bagi musafir yang
beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah
semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat
rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas
salat dalam keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena ia
sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan bahkan
hukumnya sunah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan
(masyaqqah) dalam perjalanannya.
Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. :
‫َص َد َقٌة َتَص َّد َق ُهَّللا ِبَها َع َلْيُك ْم َفاْقَبُلوا َص َد َقَتُه‬
Artinya :
“Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian.
Maka terimalah sedekah-Nya”. (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-
Sunan al-Kubra, jus 3 hal 141)
3) rukhsah mubahah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan
atau ditinggalkan.
4) rukhsah khilaf al-aulā. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama
ditinggalkan.
5) Contoh : kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih
mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya).
c. Hukum Shalat Qashar Dan Shalat Jamak

1) Shalat Qashar

Dari Muhammad bin Ja’far: ”Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari


Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Anas
bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah, maka
aku shalat dua rakaat hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata:
“Artinya: Adalah Rasulullah ‫ﷺ‬, manakala keluar sejauh tiga mil atau
tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat):

5
Dia shalat dua rakaat”. (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129)
dan Al-Baihaqi (2/146).

Syaikh Al Albani menilai hadis ini sanadnya Jayyid (Bagus). Semua


perawinya tsiqah,yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i di
mana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah
juga telah meriwayatkan darinya.

Dan hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud
(1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu
Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i: “Sedangkan aku
pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar.
Bahkan oleh karenanya, hadis ini berlaku. Demikian pula hadis ini juga
dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah
Ath-Thayalisi), dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun
Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.

(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata
memandang ke bumi, di mana mata akan kabur ke atas permukaan tanah,
sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah
penjelasan Al-Jauhari.

Namun dikatakan pula, batas satu mil adalah jika sekira memandang
kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki
atau perempuan, dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti
keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama
sekarang adalah sekitar 1680 meter.

a) Kandungan Hukumnya

Hadis ini menjelaskan, bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh
(satu farsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-
Khuththabi telah menjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49): “Meskipun

6
hadis ini telah menetapkan, bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas, di
mana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak
mengetahui seorang pun dari ulama fikih yang berpendapat demikian”.

Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan:\

Bahwa hadis ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim
mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.

Hadis ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak
mengetahui adanya seorang pun ulama fikih yang mengatakan demikian, itu
tidak menghalangi untuk mengamalkan hadis ini. Tidak menemukan, bukan
berarti tidak ada.

Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin


Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah
berfatwa demikian, seperti keterangan yang telah lewat. Bahkan telah
berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar dalam
perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah
(2/108/1) telah meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah,
dari Ibnu Umar yang menuturkan. “Shalat itu boleh diqashar dalam jarak
sejauh tiga mil”. Hadis ini sanadnya Shahih. Seperti yang telah Syaikh Al
Albani jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu
Umar, bahwa dia berkata: “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang,
dan aku mengqashar (shalat)”.

Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz
dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar
(2/111/1).

“Sesungguhnya dia mukim di Makkah, dan manakala dia keluar ke


Mina, dia mengqashar (shalat),” Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan

7
dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi ‫ﷺ‬
ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga,
sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadis. Sedangkan jarak
antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam
Mu’jamul Buldan.

Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan: “Aku mendengar


Ibnu Umar berkata: “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar
shalat” Hadis ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya Shahih.

Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha
maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang Shahih, dari Ibnu Umar,
bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak
menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang
telah Syaikh Al Albani sebutkan adalah jelas memerbolehkan mengqashar
shalat dalam jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah,
terlebih lagi karena adanya hadis yang menunjukkan lebih pendek lagi
daripada itu.

Al-Hafidzh telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468):


“Sesunguhnya hadis itu merupakan hadis yang lebih Shahih dan lebih jelas
dalam menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengannya,
mungkin soal jarak diperbolehkannya mengqashar, di mana bukan batas
akhir perjalanannya.

Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan, bahwa Yahya bin Yazid


bercerita: “Saya bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya
keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua rakaat dua rakaat, sampai saya
kembali. Maka Anas berkata: (Kemudian menyebutkan hadis ini)”.

Jadi jelas, bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian, bukan tentang
tempat di mana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini
adalah, bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan, tetapi

8
dengan melewati batas daerah, di mana seorang telah keluar darinya. Al-
Qurthubi menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak
dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak
tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus, akan tetapi tidak
ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil
memang terlalu sedikit, maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap
berhati-hati.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari
Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Sa’id
bin Musayyab: “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari
Madinah?” Dia menjawab: “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al Albani
mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah
Shahih.

Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan: “Kami pergi bersama


Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan
dalam shalat dan kami berbuka”.

Hadis ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah


tsiqah, kecuali Abil Warad bin Tsamamah, di mana hanya ada tiga orang
meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia itu dikenal sedikit
hadisnya”.

Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar


dalam jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadis
tersebut.

Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum.


Karena dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah
mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surah An-Nisa:

‫وِإَذ ا َضَر ْبُتْم ِفي اَألْر ِض َفَلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح َأن َتْقُصُروْا ِم َن الَّص َالِة‬

9
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa: 101]

Dengan demikian, maka tidak ada pertentangan antara hadis tersebut


dengan atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan
diperbolehkannya qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada
yang disebutkan di dalam hadis tersebut.

Oleh karena itu, Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi


Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan: “Nabi ‫ ﷺ‬tidak
membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan
berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan
itu. Sebagaimana Nabi ‫ ﷺ‬memersilakan kepada mereka untuk
bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang
batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu
‘alam”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Setiap nama di mana


tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam
hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana
‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian, di mana
Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan


diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh
pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan
Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai
dengan kemudahan Islam.

Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga
mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu
tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum
pernah ditempuh sebelumnya.

10
Dalam hadis tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu
dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan
ulama.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) di mana penulisnya


mengatakan: “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian
memilih shalat dua rakaat, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka
ada yang berkata:”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau
mau”.

Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang


pertama. Di mana mereka sepakat, bahwa boleh qashar setelah
meninggalkan rumah. Namun mereka berbeda mengenai sesuatu
sebelumnya. Tapi hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang
perlu disempurnakan, sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul
Mundzir berkata lagi: “Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi ‫ﷺ‬
mengqashar shalat dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari
Madinah”.

Syaikh Al Albani menemukan: Sesungguhnya hadis-hadis yang


semakna dengan hadis ini adalah banyak. Syaikh Al Albani telah
mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari hadis Anas, Abi
Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Silakan periksa no. 562!

Adapun mengenai shalat qashar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-


Utsaimin berpendapat: “Qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib, walau
dari zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya
yang menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan qashar shalat,
berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari
lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka
mensyaratkan, bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km.
Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu, yang penting sesuai
dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu

11
nazham disebutkan: “Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan
syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)“.

Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak
atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar
shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya.
Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi, bagi yang
tengah dalam perjalanan.

b) Qashar Dalam Perjalanan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat


sebagai berikut:

Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Zuhur,


Ashar dan Isya. Dinukil dari Ibnul Mundzir adanya ijma’, bahwa tidak ada
qashar dalam shalat Maghrib dan Subuh. Tidak ada sebab untuk qashar ini
kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang ditetapkan sebagai
rahmat bagi musafir, dan adanya kesulitan yang dialaminya.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata: ‘Aku


menyertai Rasulullah ‫ﷺ‬, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam
perjalanan dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar
dan Utsaman”.

Makna Hadis

Abdullah bin Umar menuturkan, bahwa dia pernah menyertai Nabi


‫ ﷺ‬dalam perjalan beliau. Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar
dan Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara
mereka senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat, dan
tidak lebih dari dua rakaat itu.

c) Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

12
Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib
ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya?

Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan


penyempurnaan shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya.
Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung Ibnu
Hazm. Dia berkata: “Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat”.

Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah ‫ﷺ‬


yang senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi,
bahwa perbuatan tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat
jumhur. Mereka juga berhujjah dengan hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha di
dalam Ash-Shahihaian: “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan
shalat dalam perjalanan, dan shalat orang yang menetap disempurnakan.

Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik
ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi
‫ﷺ‬. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya
shalat.

Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman


Allah “Maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian” [An-Nisa:
101]

Penafian kesalahan di dalam ayat ini menunjukkan, bahwa qashar itu


merupakan rukhshah dan bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu,
dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar, karena dirasa shalat itu
terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadis Aisyah, bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
pernah mengqqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah
puasa dan tidak puasa [Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya, ini
hadis Hasan]

Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut: Ayat ini


disebutkan tentang qashar sifat dalam shalat khauf dan hadis tentang hal ini

13
dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: “Ini merupakan
hadis yang didustakan terhadap Rasulullah ‫”ﷺ‬.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam


mengatakan, sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena
mengikuti Rasulullah ‫ ﷺ‬dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan
pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah
yang lebih baik menurut mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang


kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam
Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang
menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬senantiasa
shalat dua rakaat dalam perjalanan. Begitu pula yang dilakukan Abu Bakar
dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan, bahwa dua rakaat adalah
lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.

2) Shalat Jamak

“Adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam peperangan Tabuk, apabila hendak


berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau ‫ ﷺ‬mengakhirkan
Zuhur, hingga beliau ‫ ﷺ‬mengumpulkannya dengan Ashar. Lalu beliau
‫ ﷺ‬melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau ‫ ﷺ‬hendak
berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau ‫ ﷺ‬menyegerakan
Ashar bersama Zuhur, dan melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian.
Kemudian beliau ‫ ﷺ‬berjalan. Dan apabila beliau ‫ ﷺ‬hendak
berangkat sebelum Maghrib maka beliau ‫ ﷺ‬mengakhirkan Maghrib
sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau ‫ ﷺ‬berangkat
setelah Maghrib, maka beliau ‫ ﷺ‬menyegerakan Isya’ dan melakukan
shalat Isya’ bersama Maghrib“. Hadis ini dikeluarkan oleh Abu Dawud
(1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan
Ahmad (5/241-242), mereka semua memerolehnya dari jalur Qutaibah bin
Sa’id: ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi

14
Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara
marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar:”Tidak ada yang
meriwayatkan hadis ini kecuali Qutaibah saja”.

Syaikh Al Albani menilai: “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak
mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadis ini dari Al-
Laits selain darinya. Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para
perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai Shahih oleh Ibnul Qayyim dan
lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak
baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana
saya menyebutkan mutabi’ (hadis yang mengikuti) kepada Qutaibah dan
beberapa syahid (hadis pendukung) yang memastikan keShahihannya.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain
yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi: “Sesungguhnya mereka
keluar bersama Rasulullah ‫ ﷺ‬pada tahun Tabuk. Maka adalah
Rasulullah ‫ ﷺ‬mengumpulkan antara Zuhur dan Ashar serta Magrib dan
Isya. Abu Thufail berkata: ‘Kemudian beliau mengakhirkan (Jamak Takhir)
shalat pada suatu hari. Lalu beliau ‫ ﷺ‬keluar dan shalat Zuhur dan Ashar
sekalian. Kemudian beliau ‫ ﷺ‬masuk (datang). Kemudian keluar dan
shalat Maghrib serta Isya sekalian“.

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan
Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356),
Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat
Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain.

“Kemudian saya berkata: ‘Apa maksudnya demikian?” Dia berkata:


Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya”.

a) Kandungan Hukumnya

Dalam hadis ini terdapat beberapa masalah. Boleh mengumpulkan dua


shalat pada waktu bepergian, walaupun pada tempat selain Arafah dan

15
Muzdalifah. Demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab
Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘Jamak Shuwari,’ yakni
mengakhirkan Dzuhur sampai mendekati waktu Ashar, demikian pula
Maghrib dan Isya’. Pendapat ini telah dibantah oleh Jumhurul Ulama dari
berbagai segi. Pertama: Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jamak
secara zahir. Kedua: Tujuan disyariatkan jamak adalah untuk mempermudah
dan menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat
Muslim. Sedangkan jamak dalam pengertian ‘Shuwari’ masih mengandung
kesulitan. Ketiga: Sebagian hadis tentang jamak jelas menyalahkan
pendapat mereka itu. Seperti hadis Anas bin Malik yang berbunyi.
“Mengakhirkan Zuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia
menjamak (mengumpulkan) keduanya”. Hadis ini diriwayatkan oleh
Muslim (2/151) dan lainnya. Keempat: Bahkan pendapat itu juga
bertentangan dengan pengertian Jama Taqdim sebagaimana dijelaskan oleh
hadis Mu’adz berikut ini:

“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan
menyegerakan Ashar kepada Zuhur”. Dan sesungguhnya hadis-hadis yang
serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.

Sesungguhnya soal jamak (mengumpulkan dua shalat), disamping


boleh Jama Takhir, boleh juga Jama Taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-
Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq,
sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).

Sesungguhnya diperbolehkan jamak pada waktu turunnya (dari


kendaraan), sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan.
Imam Syafi’i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadis ini dari jalur
Malik, mengatakan: “Ini menunjukkan, bahwa dia sedang turun bukan
sedang jalan. Karena kata ‘dakhala’ dan ‘kharaja’ (masuk dan keluar) adalah
tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir, boleh
menjamak pada saat turun dan pada saat berjalan’.

16
Syaikh Al Albani berpendapat: Dengan nash ini maka tidaklah perlu
menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189)
menuturkan: “Bukanlah petunjuk Nabi ‫ﷺ‬, melakukan jamak sambil
naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan orang. Dan tidak juga jamak itu harus pada waktu dia turun“.

Nampaknya banyak kaum Muslimin yang terkecoh oleh kata-kata


Ibnul Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali. Adalah janggal,
bila Ibnul Qayyim tidak memahami nash yang ada dalam Al-Muwatha’,
Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan
hilang, manakala kita ingat, bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu adalah pada
waktu di mana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan,
sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut, di
samping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal
ini telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah, bahwa gurunya,


yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah
bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa
hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling
mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya? Setelah menuturkan
hadis itu, Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27)
mengatakan: “Pengertian jamak itu ada tiga tingkatan: Manakala sambil
berjalan, maka pada waktu yang pertama. Sedangkan bila turun, maka pada
waktu yang kedua. Inilah jamak sebagaimana disebutkan dalam Ash-
Shahihain dari hadis Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jamak di
Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua, baik dengan berjalan
maupun dengan kendaraan, maka dijamak pada waktu yang pertama. Ini
menyerupai jamak di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan dalam As-
Sunnan (yakni hadis Mu’adz ini). Adapun manakala turun pada waktu
keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadis ini menunjukkan,
bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa

17
beliau mengakhirkan Zuhur, kemudian keluar, lalu shalat Zuhur dan Ashar
sekalian.

Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan


shalat Maghrib dan Isya’ sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk)
dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan
orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun
atau naik.

“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi ‫ﷺ‬. Sesudah itu beliau
‫ ﷺ‬tidak pernah bepergian, kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus
jamak darinya, kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka
tidak ada seorang pun yang menukil, bahwa beliau pernah menjamak di
sana.

Mereka hanya menukilkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬memang mengqashar


di sana. Ini menunjukkan, bahwa beliau ‫ ﷺ‬dalam suatu bepergian
terkadang menjamak dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah
bahwa beliau ‫ ﷺ‬tidak menjamak. Hal ini menunjukkan, bahwa beliau
‫ ﷺ‬tidak menjamak. Dan juga menunjukkan, bahwa jamak bukan
menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila
diperlukan saja, baik dalam bepergian, maupun sewaktu tidak dalam
bepergian, supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir,
bilamana memerlukan jamak, maka lakukan saja, baik pada waktu kedua
atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur
dan istirahat pada waktu Zuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada
waktu Zuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Zuhur karena lelah dan
mengantuk serta lapar, sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia
boleh mengakhirkan Zuhur kepada waktu Ashar, kemudian menjamak
Taqdim Isya dengan Maghrib, lalu sesudah itu bisa tidur, agar bisa bangun
di tengah malam dalam bepergiannya.

18
Maka menurut hadis ini dan lainnya, adalah diperbolehkan menjamak.
Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota,
maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak
diperkenankan menjamak. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas
kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan
bangkai.

Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain


halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam
shalat perjalanan”.

b) Menjamak Dua Shalat Dalam Perjalanan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam


berpendapat sebagai berikut: Diperbolehkan baginya manjamak shalat
Zuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjamak
shalat Maghrib dengan Isya’ dalam salah satu waktu di antara keduanya.
Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah ‫ ﷺ‬dan
kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada
keberatan dalam agama.

“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:


‘Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah menjamak antara Zuhur dan Ashar jika berada
dalam perjalanan, juga menjamak antara Maghrib dan Isya” [Ini lafazh Al-
Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul haq yang
menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan hal ini.
Mushannif mengaitkan takhrij hadis ini kepada keduanya, karena melihat
asal hadis sebagaimana kebiasaan para ahli hadis, karena Muslim mentakhrij
dari riwayat Ibnu Abbas tentang jamak antara dua shalat, tanpa
memertimbangkan lafalnya. Inilah yang telah disepakati bersama. Menurut
Ash-Shan’any. Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa catatan.
Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti]

Makna Hadis

19
Di antara kebiasaan Rasulullah ‫ ﷺ‬jika mengadakan perjalanan,
apalagi di tengah perjalanan, maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak antara shalat
Zuhur dan Ashar, entah taqdim entah Ta’khir. Beliau ‫ ﷺ‬juga menjamak
antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah Ta’khir, tergantung mana yang
lebih memungkinkan untuk dikerjakan, dan dengan siapa beliau ‫ﷺ‬
mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jamak dan
shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya, karena waktu itu
merupakan waktu bagi kedua shalat.

c) Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat tentang jamak ini. Mayoritas


sahabat dan tabi’in memerbolehkan jamak, baik taqdim maupun Ta’khir. Ini
juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ats-Tsaury. Mereka
berhujjah dengan hadis-hadis Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, begitu pula hadis
Mu’adz, bahwa jika Rasulullah ‫ ﷺ‬berangkat sebelum matahari
condong, maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak shalat Zuhur dan Ashar pada waktu
shalat Ashar. Beliau ‫ ﷺ‬mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi
jika beliau ‫ ﷺ‬berangkat sesudah matahari condong, maka beliau ‫ﷺ‬
shalat Zuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika beliau ‫ ﷺ‬berangkat
sebelum Maghrib, maka belaiu ‫ ﷺ‬menunda shalat Maghrib dan
mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika beliau ‫ ﷺ‬berangkat sesudah
masuk waktu Maghrib, maka beliau ‫ ﷺ‬mengerjakan shalat Isya bersama
shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy]

Sebagian Imam menshahihkan hadis ini, sementara yang lain


memermasalahakannya. Asal hadis ini ada dalam riwayat Muslim tanpa
menyebutkan Jama Taqdim.

Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha’y


tidak memperbolehkan jamak. Mereka menakwil hadis-hadis tentang jamak,
bahwa itu merupakan jamak imajiner. Gambarannya, menurut pendapat
mereka, beliau ‫ ﷺ‬mengakhirkan shalat Zuhur hingga akhir waktunya,

20
lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal
waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.

Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian


lafal jamak, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di
antara dua waktunya, yang juga ditentang ketetapan Jamak Taqdim,
sehingga menafikan cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu
Abdil Barr menyatakan, jamak sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat,
yang pertama pada akhir waktunya, dan yang kedua pada awal waktunya,
justru berat dan sulit. Sebab orang-orang yang khusus pun sulit mencari
ketetapan waktunya. Lalu bagaimana dengan orang-orang awam?

Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh
dilakukan ialah Jamak Ta’khir dan tidak Jamak Taqdim. Mereka
menanggapi hadis-hadis yang dikatakan sebagian ulama, yang
dipermasalahkan.

Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jamak. Asy-


Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat, perjalanan merupakan sebab
Jamak Taqdim dan Ta’khir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari
Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan
darinya, pengkhususan jamak pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang
mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy,
ketidaksukaan Malik terhadap jamak, karena khawatir jamak ini dilakukan
orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya
jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadis Ibnu Umar.

Abu Hanifah tidak memerbolehkan jamak, kecuali di Arafah dan


Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena
perjalanan.

Jumhur berhujjah dengan hadis-hadis yang menyebutkan jamak secara


mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan

21
perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’ dari
Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah ‫ﷺ‬
mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Zuhur dan Ashar bersama-
sama, kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’.
Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad hadis ini kuat. Asy-Syafi’y
menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy,
keluar dan masuknya Rasulullah ‫ ﷺ‬menunjukkan, bahwa beliau ‫ﷺ‬
sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan
penolakan secara tegas terhadap orang yang menyatakan, bahwa beliau
‫ ﷺ‬tidak menjamak, kecuali ketika mengadakan perjalanan.

Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadis
Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjamak
Maghrib dan Isya’, seraya berkata: “Jika Rasulullah ‫ ﷺ‬mengadakan
perjalanan, maka beliau ‫ ﷺ‬menjamak keduanya”.

Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadis yang lain
layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak
kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah
jamak tidak dibuat, melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.

Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadis Mu’adz dan


sejenisnya termasuk dalil-dalilnya,bahwa rukhshah jamak tidak ditetapkan,
melainkan ketika mengadakan perjalanan (bukan ketika singgah). Adapun
pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadis yang Shahih dan jelas
maknanya.

Faidah Hadis

Pertama: Seperti yang disebutkan pengarang tentang jamak karena


perjalanan, maka di sana ada beberapa alasan selain perjalanan yang
memerbolehkan jamak, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan,
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬menjamak Maghrib dan Isya’ pada suatu malam
ketika turun hujan. Jamak ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan

22
untuk Zuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di
antaranya Al-Imam Ahmad dan rekan-rekannya.

Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah


‫ ﷺ‬pernah menjamak Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ bukan karena
takut dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan
perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak ulama yang
memerbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini
juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi’y, seperti
Al-Khaththaby dan ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam
Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan, bahwa Al-Imam Ahmad
menetapkan pembolehan jamak bagi orang yang terluka dan karena
kesibukan, yang didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan tentang
masalah ini. Ada pula yang menetapkan pembolehan jamak bagi wanita
istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.

Kedua: Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jamak


diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama
perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah
[Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah
kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau
sama dengan sembilan puluh enam kilometer]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan, bahwa apa pun


yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jamak di
dalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di
dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan perbedaan antara
jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak
dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun
Allah, dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya.
Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah,
yang juga didukung pengarang Al-Mughny.

23
Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang
membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat
yang Shahih.

Ketiga: Menurut jumhur ulama, meninggalkan jamak lebih utama daripada


jamak, kecuali dalam dua jamak, di Arafah dan Muzdalifah, karena di sana
ada kemaslahatan.

d) Hukum Menjamak Shalat Ashar dengan Shalat Jumat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan sebagai berikut:


Tidak boleh menjamak (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jumat,
ketika diperbolehkan menjamak antara shalat Ashar dan Zuhur (karena ada
alasan syari, seperti perjalanan). Seandainya seseorang yang sedang
melakukan perjalanan jauh melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat
Jumat bersama kaum Muslimin di sana, maka (dia) tidak boleh menjamak
Ashar dengan shalat Jumat.

Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga


diperbolehkan untuk menjamak shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan
mengerjakan shalat Jumat, maka dia tidak boleh menjamak shalat Ashar
dengan shalat Jumat. Dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya


atas orang-orang yang beriman” [An-Nisaa: 103]

Maksudnya, (ialah) sudah ditentukan waktunya. Sebagian dari waktu-


waktu ini sudah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala secara global
dalam firman-Nya:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap


malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu
disaksikan (oleh Malaikat)” [Al-Israa: 78]

24
Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama
shalat Ashar ke Jumat dengan menjamak shalat Ashar ke Zuhur?

Jawabnya adalah tidak boleh, karena beberapa sebab:

 Tidak ada qiyas dalam masalah ibadah.


 Shalat Jumat merupakan shalat tersendiri, memiliki lebih dari 20 hukum
(ketentuan-ketentuan) tersendiri yang berbeda dengan shalat Zuhur.
Perbedaan seperti ini menyebabkannya tidak bisa disamakan (diqiyaskan)
ke shalat yang lainnya.
 Qiyas seperti (dalam pertanyaan di atas) ini bertentangan dengan zahir
sunnah. Dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬menjamak Maghrib dengan Isya di
Madinah dalam kondisi aman dan tidak hujan.

Pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah juga turun hujan yang


menimbulkan kesulitan. Akan tetapi beliau ‫ ﷺ‬tidak menjamak shalat
Ashar dengan Jumat, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari
dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah
meminta hujan pada hari Jumat saat beliau ‫ ﷺ‬di atas mimbar. Sebelum
beliau ‫ ﷺ‬turun dari mimbar, hujan turun dan mengalir dari jenggotnya.
Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh hujan yang bisa dijadikan
alasan untuk menjamak shalat, seandainya boleh menjamak Ashar dengan
shalat Jumat. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, pada hari Jumat
berikutnya, seseorang datang dan berkata: “Wahai, Rasulullah. Harta benda
sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka berdoalah kepada Allah agar
memberhentikan hujan dari kami”.

Kondisi seperti ini, (tentunya) memerbolehkan untuk menjamak, jika


seandainya boleh menjamak shalat Ashar dengan shalat Jumat.

Jika ada yang mengatakan: “Mana dalil yang melarang menjamak


shalat Ashar dengan shalat Zuhur?”

25
Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah
terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib
atau sunat). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah
dengan suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan
dalil. Akan tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang
melakukan ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari
orang-orang yang beribadah kepadanya, tanpa dasar syari “Apakah mereka
memunyai Sembahan-Sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura: 21]

Dan firman-Nya:

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agamamu” [Al-Maidah: 3]

Berdasarkan ini, jika ada yang menanyakan: “Mana dalil larangan


menjamak shalat Ashar dengan shalat Jumat?” (Maka) kita mengembalikan
pertanyaan: “Mana dalil yang memerbolehkannya? Karena hukum asal
shalat Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang
memerbolehkan untuk menjamak shalat Ashar, hukum asal ini bisa
diselisihi. (Maka yang) selain itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak
boleh diajukan dari waktunya.

Jika ada yang mengatakan: “Bagaimana pendapatmu jika dia berniat


shalat Zuhur ketika shalat Jumat agar bisa menjamak?”

Jawab, jika seorang imam shalat Jumat di suatu daerah, berniat shalat
Zuhur dengan shalat Jumatnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini
merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka,
shalat Jumat itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jumat ke shalat Zuhur,
berarti mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang
tidak diperintahkan, sehingga berdasarkan hadis di atas, (maka) amalnya
batal dan tertolak.

26
Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jumat dengan niat
Zuhur adalah seorang musafir (misalnya), yang bermakmum kepada orang
yang wajib melaksanakannya, maka perbuatan musafir ini juga tidak sah.
Karena, ketika dia menghadiri shalat Jumat, berarti dia wajib
melakukannya. Orang yang terkena kewajiban shalat Jumat, namun dia
melaksanakan shalat Zuhur sebelum imam salam dari shalat Jumat, maka
shalat Zuhurnya tidak sah.

3) Sholat Jama’ Qashar

Menjama’ dan mengqashar sholat mempunyai aturan tersendiri,


seseorang diperbolehkan menjama’ atau hanya mengqashar sholat dengan
syarat-syarat yang telah terpenuhi. Tidak diharuskan mengqashar sekaligus
menjama’ sholat, tetapi perlu digaris bawahi, bila syarat untuk menjama’
dan mengqashar terpenuhi, tentu saja diperbolehkan menjama’ sholat
sekaligus mengqasharnya.

Salah satu penyebab Bersama itu tidak lain adalah safar. Bahwa safar
atau perjalanan adalah penyebab diperbolehkannya seseorang untuk
menjama’ sholat ataupun mengqasharnya secara bersamaan.

3. Temuan
a. Sholat qashar
1) Syaikh Al-Utsaimin : qashar sholat dianjurkan, bukan wajib, dengan
ketentuan tiga hari lamanya perjalanan. (masih diperselisihkan)
Sebagian mensyaratkan harus mencapai 81 km. Sebagian tidak
menentukan jarak, yg penting sesuai adat/uruf’ yang berlaku.
2) 3 Imam: Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad memperbolehkan
penyempurnaan sholat, namun lebih baik di qashar.
3) Abu hanifah mewajibkan qashar didukung oleh ibnu hazm
4) Mayoritas ulama: mengqashor lebih baik
b. Sholat jama’
1) Jumhur ulama: boleh mengumpulkan 2 sholat pada waktu bepergian
walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah.

27
2) Jumhur ulama: meninggalkan jamak lebih utama daripada jamak, kecuali
dalam dua jamak, di Arafah dan muzdalifah karena disana ada
kemaslahatan.
3) Abu Hanifah: menakwilkan dengan jamak shuwari: mengakhirkan
dzuhur sampai mendekati waktu ashar, demikian pula maghrib dan isya.
Menurutnya, jama’ bukan sunnah safar sebagaimana qashar.
4) abu hanifah dan kedua rekannya, Al-Hasan dan An-Nakhay tidak
memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah.
5) Mayoritas sahabat dan tabiin memperbolehkan jamak, baik taqdim
maupun Takhir. Juga pendapat As-Syafi’i, Ahmad dn At-Tsauri mereka
berhujjah dengan hadits Ibnu Abas dan Ibnu Umar.
6) Ibnu Hazm dan salah satu Riwayat dari malik: boleh jamak ta’khir, tidak
dengan jamak taqdim.
7) syaikh Muhammad bin shalih Al- utsaimin: tidak boleh menjamak sholat
ashar dengan sholat jum’at.
4. Analisa
a. Sholat qashar
1) Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua
rakaat saja.
2) Qashar merupakan sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬dan sunnah Al-Khulafa Ar-
Rasyidun dalam perjalanan mereka.
3) Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan
untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah.
Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua
perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak
membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar,
rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
4) Kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya dan keluwesan syariat ini,
yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena
perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan
untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika

28
tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka
sebagian shalat juga diringankan.
5) Perjalanan di dalam hadis diatas tidak terbatas, tidak dibatasi dengan
jarak jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya. Lalu
rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan.
Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak
pernah disebutkan di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan
menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang
mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan”.
b. Sholat jamak
1) Boleh menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
2) Keumuman hadis menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya
Jamak Taqdim dan Ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil
menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
3) Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Di atas
telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari
masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadis ini menunjukkan
jamak jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadis-hadis lain yang
menyebutkan jamak tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini
mengharuskan jamak dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jamak
di dalam hadis ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin
diabaikan begitu saja. Jika jamak dibenarkan ketika singgah, maka
pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang
pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya
dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil
ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam
hadis ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di
dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
4) Hadis diatas dan juga hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa jamak
dikhususkan untuk shalat Zuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya,
sedangkan Subuh tidak dapat dijamak dengan shalat lainnya.

29
5) Tidak diperbolehkan jama’ sholat jum’at dengan sholat ashar.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Rukhsoh adalah keringanan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada
situasi dan kondisi tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan
syari’at lantaran ada kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.
b. Sholat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas bilangan
rakaatnya.
c. Sholat jama’ adalah mengerjakan dua sholat dengan mengumpulkannya
dalam satu waktu. Adapun sholat yang boleh di jama’ adalah sholat
dzuhur dengan ashar, dan sholat maghrib dan isya.
d. Sholat Jama’ Qashar adalah Menjama’ sholat fardhu sekaligus
mengqashar. yakni, mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu
sekaligus menyingkat shalat yang terdiri dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.
e. Sebab-sebab qashar diantaranya: Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan,
lupa, ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan
dimana seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah
berbaur dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
f. Macam-macam rukhsah yang terdapat dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-
Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437 H) terbagi menjadi empat
bagian : rukhsah wajibah, rukhsah mandubah, rukhsah mubahah.
rukhsah khilaf al-aulā.
g. Sholat qashar dan jamak sesuai dengan hadits dan pendapat para ulama
hukum nya ada yg memperbolehkan, menganjurkan, dan ada juga yang
tidak memperbolehkan.
h. Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar sholat jika syarat-syarat
terpenuhi.
2. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.

30
E. DAFTAR PUSTAKA

257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad Al-Shalih


Al-‘Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, hal 133-134.

Al-mahfani, M Khalilurrahman, Buku Pintar Shalat pedoman shalat lengkap


menuju shalat khusyuk, Jakarta selatan: Wahyu Media, 2008.

Fadli, Riski Maulana, Macam-Macam Rukhshah Dalam Hukum Islam, dalam


https://bincangsyariah.com/kolom/macam-macam-rukhsah-dalam-hukum-
islam/ (24 Oktober 2020)

Fawaid, Achmad, pengertian dan macam-macam rukhshah dalam islam, dalam


https://bincangsyariah.com/khazanah/pengertian-dan-macam-macam-
rukhsah-dalam-islam/ (2 April 2022)

http://www.almanhaj.or.id

Kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadis


Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah

Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diambil dari Fatawa Syaikh


Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

nasihat sahabat, hukum sholat qashar dan sholat jamak, dalam


https://nasihatsahabat.com/hukum-shalat-qashar-dan-shalat-jamak/ (21
April 2017).

Rumah Fiqih Indonesia, bolehkah menjama dua shalat dan mengqasharnya


sekaligus?, dalam http://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2021-bolehkah-
menjama-dua-shalat-dan-mengqasharnya-sekaligus.html (10 April 2014)

Silsilah Al-Hadis Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi


Indonesia Silsilah Hadis Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya,
karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan CV. Pustaka
Mantiq, hal. 362-372.

31

Anda mungkin juga menyukai