Makalah Ruqshah Ibadah New
Makalah Ruqshah Ibadah New
DISUSUN OLEH:
RIVA RIFQOTUS SHOLIHAH
2
diberikan syari’at kepada seorang mukallaf lantaran ada udzur yang
menyebabkan lahirnya keringanan tersebut.
َوِفي، َر ُخ َص الِّسْعُر إَذ ا َتَر اَجَع َو َس ُهَل الِّش َر اُء: ُيَقاُل،َو الُّر ْخ َص ُة ِفي الِّلَس اِن ِعَباَر ٌة َع ْن اْلُيْس ِر َو الُّسُهوَلِة
الَّش ِريَعِة ِعَباَر ٌة َع َّم ا ُوِّس َع ِلُلُم َك َّلِف ِفي ِفْع ِلِه ِلُع ْذ ٍر َو َع ْج ٍز َع ْنُه َم َع ِقَياِم الَّس َبِب اْلُمَح ِّر ِم
b. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas
bilangan rakaatnya. Shalat yang dapat di Qashar adalah Shalat yang terdiri
dari empat rakaat yakni isya’, Dzuhur, Ashar. Sholat maghrib dan subuh
tidak dapat di qashar.
2. Kajian Teori
a. Sebab – Sebab Ruqhshah
3
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah Wa al-
Nadzȃir halaman 126 menyebutkan ada tujuh sebab yang melatarbelakangi
munculnya rukhshah, yaitu; Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan, lupa,
ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan dimana
seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah berbaur
dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
Jika dua syarat ini terpenuhi, maka safar bisa menjadi sebab adanya
rukhshah (keringanan). Diantaranya ialah mengqashar shalat, tidak
berpuasa, dan semacamnya.
b. Macam-Macam Ruqhshah
Berikut ini adalah ulasan mengenai pembagian rukhsah yang terdapat
dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437
H).
Rukhsah terbagi menjadi empat bagian :
1) rukhsah wajibah.
Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.
4
Contoh : kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati
kelaparan.
2) rukhsah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah
dikerjakan.
Contoh : kebolehan meringkas (qashar) salat bagi musafir yang
beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah
semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat
rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas
salat dalam keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena ia
sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan bahkan
hukumnya sunah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan
(masyaqqah) dalam perjalanannya.
Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. :
َص َد َقٌة َتَص َّد َق ُهَّللا ِبَها َع َلْيُك ْم َفاْقَبُلوا َص َد َقَتُه
Artinya :
“Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian.
Maka terimalah sedekah-Nya”. (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-
Sunan al-Kubra, jus 3 hal 141)
3) rukhsah mubahah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan
atau ditinggalkan.
4) rukhsah khilaf al-aulā. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama
ditinggalkan.
5) Contoh : kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih
mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya).
c. Hukum Shalat Qashar Dan Shalat Jamak
1) Shalat Qashar
5
Dia shalat dua rakaat”. (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129)
dan Al-Baihaqi (2/146).
Dan hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud
(1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu
Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i: “Sedangkan aku
pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar.
Bahkan oleh karenanya, hadis ini berlaku. Demikian pula hadis ini juga
dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah
Ath-Thayalisi), dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun
Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.
(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata
memandang ke bumi, di mana mata akan kabur ke atas permukaan tanah,
sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah
penjelasan Al-Jauhari.
Namun dikatakan pula, batas satu mil adalah jika sekira memandang
kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki
atau perempuan, dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti
keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama
sekarang adalah sekitar 1680 meter.
a) Kandungan Hukumnya
Hadis ini menjelaskan, bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh
(satu farsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-
Khuththabi telah menjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49): “Meskipun
6
hadis ini telah menetapkan, bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas, di
mana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak
mengetahui seorang pun dari ulama fikih yang berpendapat demikian”.
Bahwa hadis ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim
mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.
Hadis ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak
mengetahui adanya seorang pun ulama fikih yang mengatakan demikian, itu
tidak menghalangi untuk mengamalkan hadis ini. Tidak menemukan, bukan
berarti tidak ada.
Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu
Umar, bahwa dia berkata: “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang,
dan aku mengqashar (shalat)”.
Hadis ini sanadnya juga Shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz
dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar
(2/111/1).
7
dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi ﷺ
ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga,
sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadis. Sedangkan jarak
antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam
Mu’jamul Buldan.
Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha
maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang Shahih, dari Ibnu Umar,
bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak
menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang
telah Syaikh Al Albani sebutkan adalah jelas memerbolehkan mengqashar
shalat dalam jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah,
terlebih lagi karena adanya hadis yang menunjukkan lebih pendek lagi
daripada itu.
Jadi jelas, bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian, bukan tentang
tempat di mana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini
adalah, bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan, tetapi
8
dengan melewati batas daerah, di mana seorang telah keluar darinya. Al-
Qurthubi menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak
dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak
tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus, akan tetapi tidak
ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil
memang terlalu sedikit, maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap
berhati-hati.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari
Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan: “Aku bertanya kepada Sa’id
bin Musayyab: “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari
Madinah?” Dia menjawab: “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al Albani
mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah
Shahih.
وِإَذ ا َضَر ْبُتْم ِفي اَألْر ِض َفَلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح َأن َتْقُصُروْا ِم َن الَّص َالِة
9
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa: 101]
Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga
mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu
tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum
pernah ditempuh sebelumnya.
10
Dalam hadis tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu
dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan
ulama.
11
nazham disebutkan: “Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan
syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)“.
Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak
atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar
shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya.
Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi, bagi yang
tengah dalam perjalanan.
Makna Hadis
12
Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib
ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya?
Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik
ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi
ﷺ. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya
shalat.
13
dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: “Ini merupakan
hadis yang didustakan terhadap Rasulullah ”ﷺ.
2) Shalat Jamak
14
Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara
marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar:”Tidak ada yang
meriwayatkan hadis ini kecuali Qutaibah saja”.
Syaikh Al Albani menilai: “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak
mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadis ini dari Al-
Laits selain darinya. Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para
perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai Shahih oleh Ibnul Qayyim dan
lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak
baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana
saya menyebutkan mutabi’ (hadis yang mengikuti) kepada Qutaibah dan
beberapa syahid (hadis pendukung) yang memastikan keShahihannya.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain
yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi: “Sesungguhnya mereka
keluar bersama Rasulullah ﷺpada tahun Tabuk. Maka adalah
Rasulullah ﷺmengumpulkan antara Zuhur dan Ashar serta Magrib dan
Isya. Abu Thufail berkata: ‘Kemudian beliau mengakhirkan (Jamak Takhir)
shalat pada suatu hari. Lalu beliau ﷺkeluar dan shalat Zuhur dan Ashar
sekalian. Kemudian beliau ﷺmasuk (datang). Kemudian keluar dan
shalat Maghrib serta Isya sekalian“.
Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan
Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356),
Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat
Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain.
a) Kandungan Hukumnya
15
Muzdalifah. Demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab
Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘Jamak Shuwari,’ yakni
mengakhirkan Dzuhur sampai mendekati waktu Ashar, demikian pula
Maghrib dan Isya’. Pendapat ini telah dibantah oleh Jumhurul Ulama dari
berbagai segi. Pertama: Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jamak
secara zahir. Kedua: Tujuan disyariatkan jamak adalah untuk mempermudah
dan menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat
Muslim. Sedangkan jamak dalam pengertian ‘Shuwari’ masih mengandung
kesulitan. Ketiga: Sebagian hadis tentang jamak jelas menyalahkan
pendapat mereka itu. Seperti hadis Anas bin Malik yang berbunyi.
“Mengakhirkan Zuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia
menjamak (mengumpulkan) keduanya”. Hadis ini diriwayatkan oleh
Muslim (2/151) dan lainnya. Keempat: Bahkan pendapat itu juga
bertentangan dengan pengertian Jama Taqdim sebagaimana dijelaskan oleh
hadis Mu’adz berikut ini:
“Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan
menyegerakan Ashar kepada Zuhur”. Dan sesungguhnya hadis-hadis yang
serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.
16
Syaikh Al Albani berpendapat: Dengan nash ini maka tidaklah perlu
menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189)
menuturkan: “Bukanlah petunjuk Nabi ﷺ, melakukan jamak sambil
naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan orang. Dan tidak juga jamak itu harus pada waktu dia turun“.
17
beliau mengakhirkan Zuhur, kemudian keluar, lalu shalat Zuhur dan Ashar
sekalian.
“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi ﷺ. Sesudah itu beliau
ﷺtidak pernah bepergian, kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus
jamak darinya, kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka
tidak ada seorang pun yang menukil, bahwa beliau pernah menjamak di
sana.
18
Maka menurut hadis ini dan lainnya, adalah diperbolehkan menjamak.
Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota,
maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak
diperkenankan menjamak. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas
kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan
bangkai.
Makna Hadis
19
Di antara kebiasaan Rasulullah ﷺjika mengadakan perjalanan,
apalagi di tengah perjalanan, maka beliau ﷺmenjamak antara shalat
Zuhur dan Ashar, entah taqdim entah Ta’khir. Beliau ﷺjuga menjamak
antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah Ta’khir, tergantung mana yang
lebih memungkinkan untuk dikerjakan, dan dengan siapa beliau ﷺ
mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jamak dan
shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya, karena waktu itu
merupakan waktu bagi kedua shalat.
20
lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal
waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.
Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh
dilakukan ialah Jamak Ta’khir dan tidak Jamak Taqdim. Mereka
menanggapi hadis-hadis yang dikatakan sebagian ulama, yang
dipermasalahkan.
21
perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’ dari
Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah ﷺ
mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Zuhur dan Ashar bersama-
sama, kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’.
Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad hadis ini kuat. Asy-Syafi’y
menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy,
keluar dan masuknya Rasulullah ﷺmenunjukkan, bahwa beliau ﷺ
sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan
penolakan secara tegas terhadap orang yang menyatakan, bahwa beliau
ﷺtidak menjamak, kecuali ketika mengadakan perjalanan.
Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadis
Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjamak
Maghrib dan Isya’, seraya berkata: “Jika Rasulullah ﷺmengadakan
perjalanan, maka beliau ﷺmenjamak keduanya”.
Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadis yang lain
layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak
kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah
jamak tidak dibuat, melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.
Faidah Hadis
22
untuk Zuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di
antaranya Al-Imam Ahmad dan rekan-rekannya.
23
Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang
membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat
yang Shahih.
24
Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama
shalat Ashar ke Jumat dengan menjamak shalat Ashar ke Zuhur?
25
Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah
terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib
atau sunat). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah
dengan suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan
dalil. Akan tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang
melakukan ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari
orang-orang yang beribadah kepadanya, tanpa dasar syari “Apakah mereka
memunyai Sembahan-Sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura: 21]
Dan firman-Nya:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agamamu” [Al-Maidah: 3]
Jawab, jika seorang imam shalat Jumat di suatu daerah, berniat shalat
Zuhur dengan shalat Jumatnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini
merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka,
shalat Jumat itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jumat ke shalat Zuhur,
berarti mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang
tidak diperintahkan, sehingga berdasarkan hadis di atas, (maka) amalnya
batal dan tertolak.
26
Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jumat dengan niat
Zuhur adalah seorang musafir (misalnya), yang bermakmum kepada orang
yang wajib melaksanakannya, maka perbuatan musafir ini juga tidak sah.
Karena, ketika dia menghadiri shalat Jumat, berarti dia wajib
melakukannya. Orang yang terkena kewajiban shalat Jumat, namun dia
melaksanakan shalat Zuhur sebelum imam salam dari shalat Jumat, maka
shalat Zuhurnya tidak sah.
Salah satu penyebab Bersama itu tidak lain adalah safar. Bahwa safar
atau perjalanan adalah penyebab diperbolehkannya seseorang untuk
menjama’ sholat ataupun mengqasharnya secara bersamaan.
3. Temuan
a. Sholat qashar
1) Syaikh Al-Utsaimin : qashar sholat dianjurkan, bukan wajib, dengan
ketentuan tiga hari lamanya perjalanan. (masih diperselisihkan)
Sebagian mensyaratkan harus mencapai 81 km. Sebagian tidak
menentukan jarak, yg penting sesuai adat/uruf’ yang berlaku.
2) 3 Imam: Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad memperbolehkan
penyempurnaan sholat, namun lebih baik di qashar.
3) Abu hanifah mewajibkan qashar didukung oleh ibnu hazm
4) Mayoritas ulama: mengqashor lebih baik
b. Sholat jama’
1) Jumhur ulama: boleh mengumpulkan 2 sholat pada waktu bepergian
walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah.
27
2) Jumhur ulama: meninggalkan jamak lebih utama daripada jamak, kecuali
dalam dua jamak, di Arafah dan muzdalifah karena disana ada
kemaslahatan.
3) Abu Hanifah: menakwilkan dengan jamak shuwari: mengakhirkan
dzuhur sampai mendekati waktu ashar, demikian pula maghrib dan isya.
Menurutnya, jama’ bukan sunnah safar sebagaimana qashar.
4) abu hanifah dan kedua rekannya, Al-Hasan dan An-Nakhay tidak
memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah.
5) Mayoritas sahabat dan tabiin memperbolehkan jamak, baik taqdim
maupun Takhir. Juga pendapat As-Syafi’i, Ahmad dn At-Tsauri mereka
berhujjah dengan hadits Ibnu Abas dan Ibnu Umar.
6) Ibnu Hazm dan salah satu Riwayat dari malik: boleh jamak ta’khir, tidak
dengan jamak taqdim.
7) syaikh Muhammad bin shalih Al- utsaimin: tidak boleh menjamak sholat
ashar dengan sholat jum’at.
4. Analisa
a. Sholat qashar
1) Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua
rakaat saja.
2) Qashar merupakan sunnah Rasulullah ﷺdan sunnah Al-Khulafa Ar-
Rasyidun dalam perjalanan mereka.
3) Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan
untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah.
Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua
perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak
membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar,
rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
4) Kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya dan keluwesan syariat ini,
yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena
perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan
untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika
28
tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka
sebagian shalat juga diringankan.
5) Perjalanan di dalam hadis diatas tidak terbatas, tidak dibatasi dengan
jarak jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya. Lalu
rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan.
Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak
pernah disebutkan di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan
menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang
mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan”.
b. Sholat jamak
1) Boleh menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
2) Keumuman hadis menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya
Jamak Taqdim dan Ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil
menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
3) Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Di atas
telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari
masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadis ini menunjukkan
jamak jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadis-hadis lain yang
menyebutkan jamak tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini
mengharuskan jamak dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jamak
di dalam hadis ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin
diabaikan begitu saja. Jika jamak dibenarkan ketika singgah, maka
pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang
pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya
dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil
ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam
hadis ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di
dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
4) Hadis diatas dan juga hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa jamak
dikhususkan untuk shalat Zuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya,
sedangkan Subuh tidak dapat dijamak dengan shalat lainnya.
29
5) Tidak diperbolehkan jama’ sholat jum’at dengan sholat ashar.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Rukhsoh adalah keringanan hukum bagi mukallaf yang berlaku pada
situasi dan kondisi tertentu. Kemudahan dan keringanan itu diberikan
syari’at lantaran ada kesulitan-kesulitan (udzur) yang merintanginya.
b. Sholat Qashar adalah sholat yang diperpendek atau diperingkas bilangan
rakaatnya.
c. Sholat jama’ adalah mengerjakan dua sholat dengan mengumpulkannya
dalam satu waktu. Adapun sholat yang boleh di jama’ adalah sholat
dzuhur dengan ashar, dan sholat maghrib dan isya.
d. Sholat Jama’ Qashar adalah Menjama’ sholat fardhu sekaligus
mengqashar. yakni, mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu
sekaligus menyingkat shalat yang terdiri dari 4 rakaat menjadi dua rakaat.
e. Sebab-sebab qashar diantaranya: Bepergian (al-shafar), sakit, pemaksaan,
lupa, ketidak tahuan, ‘usru wa ‘umumu al-balwa: adalah suatu kesulitan
dimana seseorang merasa kesulitan untuk menjauhinya dan hal itu sudah
berbaur dengan kehidupan manusia, sifat yang kurang sempurna.
f. Macam-macam rukhsah yang terdapat dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-
Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437 H) terbagi menjadi empat
bagian : rukhsah wajibah, rukhsah mandubah, rukhsah mubahah.
rukhsah khilaf al-aulā.
g. Sholat qashar dan jamak sesuai dengan hadits dan pendapat para ulama
hukum nya ada yg memperbolehkan, menganjurkan, dan ada juga yang
tidak memperbolehkan.
h. Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar sholat jika syarat-syarat
terpenuhi.
2. Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.
30
E. DAFTAR PUSTAKA
http://www.almanhaj.or.id
31