Bahan Pembelajaran IPPU' FH2022-3
Bahan Pembelajaran IPPU' FH2022-3
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
(SEMESTER GASAL 2022/2023)
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
A.KAHAR MARANJAYA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
BAHAN AJAR ILMU PERUNDANG UNDANGAN
DAFTAR ISI
Pertemuan Pertama:
Sistem Hukum,Pengertian, Ruang Lingkup dan
Teori Perundang-undangan
A.Pengantar.
Di dunia terdapat beberapa sistem hukum. Pada masing-masing negara mengembangkan
variasinya sendiri dari masing-masing sistem atau memadukan banyak aspek lainnya ke
dalam sistemnya. Oleh karena itu ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang
dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa
Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, dan sistem hukum agama.
Sistem hukum dunia adalah kesatuan/keseluruhan kaidah hukum yang berlaku di negara-
negara/ daerah di dunia.
Sistem hukum dunia pada masa kini terdiri dari:
1. Hukum sipil/Eropah Kontinental.
2. Sistem hukum Anglo Saxon atau dikenal juga dengan Common Law.
3. Sistem Hukum agama(Islam)
4. Sistem Hukum adat
5. Hukum negara blok timur (Sosialis)
Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem
hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut :
1. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang
sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan
oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui
praktek prosedur hukum.
3. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein
sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati
oleh masyarakat.
4. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa
kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk
penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi
kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ini memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum
sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental
tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo
saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus
diikuti.
8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih
tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo
saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan
kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem
hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
10. Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang
pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
Bagir manan yang mengutip pendapat P. J. P. Tak tentang wet in materiele zin,
melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti material yang esensinya sebagai
berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang berbentuk tertulis. Karena merupakan
keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum
lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku
mengikat umum (aglemeen).
3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus
selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukan bahwa peristiwa
perundang-undangan tidak berlaku terahadap peristiwa konkret atau individu
tertentu.
Konsep perundang-undangan juga dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang
mengikuti pendapat I.C. van der Vlies tentang wet yang formal (het formele
wetsbegrip) dan wet yang materiil (het materiele wetsbegrip). Pendapat ini didasarkan
pada apa tugas pokok dari pembentuk wet (de wetgever). Berdasarkan pemikiran
tersebut, maka yang disebut dengan wet formal adalah wet yang dibentuk berdasarkan
ketentuan atribusi dari konstitusi, sementara wet yang materiil adalah suatu peraturan
yang mengandung isi atau materi tertentu yang pembentukannya tunduk pada prosedur
yang tertentu pula.
Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan
antara legislation dan regulation. Legislation lebih diberi makna sebagai pembentukan
hukum melalui lembaga legislasi (the making of laws via
Legislation). Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang dipaksakan
melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui wewenang eksekutif
(rule or order having force of law issued by executive authority of government).
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan
(legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang
berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
H. Soehino, memberikan pengertian istilah perundang-undangan sebagai berikut:
1. Pertama, berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan perundangan
negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai yang terendah,
yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan.
2. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan perundangan tersebut.
Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum berlaku secara umum dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang menurut proesedur dan tatacara yang ditentukan dalam peraturan
perundanng-undangan”.
Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf e menurut H. Abdul Latief,
meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur);
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau
nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
A. Pengertian Norma
Dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan hidup bermasyarakat maupun sebagai
pribadi yang beradab, selalu membutuhkan norma ataukaidah. Istilah norma berasal dari
bahasa latin yaitu nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit pengertiannnya
menjadi norma hukum. Sedangkan istilah kaidah berasal dari bahasa Arab yaitu qa’idah
yang berarti ukuran atau nilai pengukur. Istilah norma dapat juga disebut kaidah,
patokan, atau aturan, yaitu suatu ukuran yang harus dipatuhi atau ditaati oleh seseorang
atau setiap orang baik dalam hubungannya dengan sesamanya maupun dengan
lingkungannya.
Jadi, norma berfungsi untuk membimbing dab mengarahkan bagaimana manusia
seharusnya berprilaku sehingga mampu menciptakan keamanan, ketertiban, dan
kedamaian dalam kehidupan bersama manusia dimanapun berada dan saling berinteraksi,
karena suatu norma baru dapat hadir manakala terdapat lebih dari satu orang dalam suatu
kehidupan dan suatu lingkungan tertentu.
Pentingnya norma atau aturan tersebut karena kebutuhan sebagai konsekuensi dan
kompleksnya permasalahan dalam pergaulan masyarakat sejalan dengan perkembangan
Negara dan dunia, sehingga hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya
kadang-kadang berbenturan sehingga tidak jarang dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar sesamanya. Karena itu, norma atau aturan tersebut diharapkan mampu
meminimalisir kemungkinan timbulnya konflik.
Beberapa pengertian norma atau kaidah, menurut para ahli antara lain sebagai berikut :
1. Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa “norma atau kaidah merupakan
pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi
kebolehan, anjuran, atau perintah”. Lebih lanjut Jimly Ashhidiqie menjelaskan, jika
pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau
norma yang dimaksud berisi :
a. kebolehan (bahasa Arab disebut mubah atau ibhah);
b. anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu (bahasa Arab disebut sunnah);
c. anjuran negatif untuk tidak melakukan sesuatu (bahasa Arab disebut makruh); dan
d. perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu (bahasa Arab disebut haram).
2. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa pada umumnya
norma hukum berisikan :
a. suruhan, yaitu berisi apa yang harus dilakukan oleh manusia, berupa suatu
perintah untuk melakukan sesuatu;
b. larangan, yaitu berisi apa yang tidak boleh dilakukan;
c. kebolehan, yang berisikan apa yang dibolehkan artinya tidak dilarang dan tidak
disuruh.
3. Maria Farida Indrati Soeprapto, mengatakan bahwa : “norma adalah suatu ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun
dengan lingkungannya”.
4. Sudukno Mertokusumo, mengatakan bahwa : “kaidah pada hakikatnya merupakan
perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang
seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk
dijalankan”.
5. I Gde Pantja Astawa dan Surin Na’a, mengemukakan : “norma atau kaidah dapat
diartikan sebagai patokan atau standar yang dibutuhkan dan harus dipatuhi oleh
manusia sebagai individu dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai
tertentu yang berisikan perintah atau larangan”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat bermacam-macam norma yang diakui
keberadaannya dalam mengatur perilaku kehidupan bersama, yaitu :
1. Norma Agama (Norma Kepercayaan), yaitu norma atau kaidah yang berisi
kewajiban-kewajiban, perintah-perintah, dan anjuran-anjuran yang diyakini
berasal adari Allah SWT untuk dipatuhi oleh pemeluknya;
2. Norma Kesusilaan (Norma Moral), yaitu norma atau kaidah yang berhubungan
dengan manusia sebagai individu.Sebagai pendukung norma ini adalah nurani
individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial.
3. Norma Kesopanan, yaitu norma atau kaidah yang mengatur tata karma atau adat
yang didasarkan pada kebiasaan, kepatuhan, atau kepantasan yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Norma Hukum, adalah norma atau kaidah yang merupakan produk badan pejabat
yang berwenang yang dibentuk melalui proses dan tata cara yang sah dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
2. Maria Farida Indrati Soeprapto, perbedaan norma hukum dengan norma lainnya
adalah sebagai berikut :
a. norma hukum bersifat heteronom karena datang dari luar diri manusia sendiri;
b. norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana, sedangkan norma yang lain
tidak dilekati dengan sanksi pidana; dan
c. sanksi pidana dalam norma hukum dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan
dalam norma-norma lainnya dating dari diri sendiri.
3. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa kaidah hukum harus
ada disamping kaidah-kaidah lainnya, karena :
a. ketiga tata kaidah yang lain dari norma hukum tidak cukup meliputi keseluruhan
kehidupan manusia, misalnya pencatatan kelahiran, perkawinan ataupun kematian,
dan juga peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya; dan
b. kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas apabila hanya diatur oleh ketiga
tata kaidah yang lain.
Norma atau kaidah hukum dapat dibedakan atas beberapa kelompok norma atau kaidah,
yaitu sebagai berikut :
1. Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Norma hukum umum adalah norma hukum yang ditujukan kepada semua orang, dan
biasanya dirumuskan dengan kalimat : “barang siapa . . .dan seterusnya”, “setiap
orang . . .dan seterusnya”, atau “setiap warga negara . . .dan seterusnya”.
Sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan kepada
seseorang, beberapa orang, atau kelompok orang tertentu.
2. Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstarak adalah norma hukum yang dalam perumusannya masih
bersifat abstrak, seperti : “. . . mencuri . . .dan seterusnya”, “. . . menebang . . . dan
seterusnya”. Sedangkan norma hukum konkrit adalah norma hukum dimana perbuatan
yang dirumuskan bersifat konkrit atau riil, misalnya : “. . .mencuri sepeda motor
dengan merk Honda Supra X berwarna biru dirumah . . . dan seterusnya”, “. . .
membunuh Dodot dengan pisau . . . dan seterusnya”.
3. Norma Hukum Einmahlig dan Norma Hukum Duerhaftig
Norma hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlaku sekali selesai.
Contohnya, norma hukum yang tercantum dalam SIM, surat keputusan pengangkatan
pegawai atau pejabat, dan lain-lain.
Sedangkan norma hukum duerhaftig adalah norma hukum yang berlaku terus menerus
dan tidak dibatasi oleh waktu, kecuali karena dicabut dan/atau diganti dengan norma
hukum/peraturan lain.
4. Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum Berpasangan
Norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri atau suatu norma
hukum yang tidak diikuti oleh norma hukum lain. Isinya hanya merupakan dan
bersifat suruhan untuk bertindak atau bertingkah laku. Contoh : Kepala Daerah
memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri dari
beberapa norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder.
Norma hukum sekunder merupakan norma penanggulangan atau penegakan jika
norma hukum primer tidak dilaksanakan atau tidak ditaati. Contoh norma hukum
berpasangan : “Siapa saja dilarang berjualan . . . . . . . . . dihukum dengan kurungan
tiga bulan atau denda lima puluh juta rupiah”. Dalam rumusan tersebut, kata dilarang
berjualan merupakan norma hukum primer, sedangkan kata kurungan tiga bulan
merupakan norma hukum sekunder atau norma pelaksana.
Apabila norma hukum dilihat dari kekuatan berlakunya, maka norma hukum dapat
dibedakan atas :
1. Norma Hukum Imperatif
Norma hukum imperatif ialah norma hukum yang tidak dapat dikesampingkan
keberlakuannya dalam suatu keadaan konkrit (harus ditaati). Contoh : ”Perda dibentuk
oleh DPRD dan dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama”. Hal ini menunjukkan apabila ada Perda yang tidak dibentuk berdasarkan
kesepakatan bersama (DPRD dan Kepala Daerah), maka Perda tersebut batal demi
hukum atau dapat dibatalkan.
2. Norma Hukum Fakultatif
Norma hukum fakultatif ialah norma hukum yang dapat dikesampingkan
keberlakuannya dalam keadaan konkrit. Misalnya : “ Peresiden mempunyai hak
prerogatif dalam mengangkat menteri dan/atau memberhentikan menteri”. Ketentuan
ini dapat dikesampingkan apabila Pemerintah dibentuk atas dasar koalisi dengan
partai lain. Artinya, ketentuan Undang-undang dapat dikesampingkan dengan
kesepakatan bersama. (Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi),
(Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2012).
Norma hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang bersifat
konkret dan individual. Norma hukum bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek
yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkan dengan subjek konkret, pihak dan individu
tertentu. Sedangkan norma hukum yang konkret dan individual ditujukan kepada orang
tertenu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan
tertentu.69 Maria Farida mengemukakan ada beberapa kategori norma hukum dengan melihat
bentuk dan sifatnya, yaitu:
a. Norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah suatu
norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak (addressatnya) umum dan tidak tertentu.
Sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan pada seseorang,
beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu.
b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah suatu
norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti
tidak konkret. Sedangkan norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat
perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret).
c. Norma hukum yang terus-menerus (deurhaftiq) dan norma hukum yang sekaliselesai
(eenmahliq). Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum
yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus
menerus, sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Sedangkan
norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmalig) adalah norma hukum yang berlakunya
hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja sehingga
dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah
norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya jadi
isinya hanya 40 merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak
atau bertingkah laku. Sedangkan norma hukum berpasangan terbagi menjadi dua yaitu norma
hukum primer yang berisi aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di
dalam masyarakat dan norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya
apabila norma hukum primer tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial dengan
aspek kehidupan pribadi, dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi.
(Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.,tentang Kaedah Hukum,(Jakarta:
Radjawali,1978).hlm.15 Kaedah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaedah
agama dan kaidah kesusilaan, karena kaedah ini ditunjukkan kepada manusia sebagai
individu, sedangkan kaedah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah
sopan santun atau tatakrama yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan,
berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaedah-kaedah ini di tujukan bagi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya dengan manusia sebagai
mahluk sosial.
Tujuan kaidah agama dan kaidah kesusilaan adalah agar manusia menjadi sempurna, agar
tidak ada manusia menjadi jahat. Kedua kaidah tersebut ditujukan kepada sikap batin
manusia sebagai individu, sikap batinlah yang disentuh, yang dinilai. Kalau kaidah agama
ditujukan kepada Iman, maka kaidah kesusialaan ditujukan kepada akhlak manusia.
Kaidah sopan santu dan kaidah hukum, sebaliknya bertujuan agar masyarakat menjadi
sempurna, agar jangan sampai ada manusia menjadi korban tindakan yang tidak santun
atau menjadi korban kejahatan.kaidah sopan santun dan kaidah hukum ditujukan kepada
sikap lahir manusia sebagai mahluk sosial, sikap lahirlah yang dinilai, bukan apa yang
dipikirkan atau yang diangan-angankan.misalnya orang tidak dapat dihukum hanya
karena karena ia mimpi mencuri.
Asal kaidah:
Kaidah agama berasal dari Allah swt Tuhan Yang Maha Esa.
Kaidah Kesusilaan asalanya dari diri manusia itu sendiri – baik tidaknya suatu perbuatan,
susila tidaknya suatu perilaku, manusia itu sendirilah yang menentukan.
Kaidah sopan santun berasal dari luar diri manusia secara tidak teratur atau tidak
terorganisir. Sopan tidaknya suatu perbuatan itu tidak berasal dari suatu lembaga resmi,
tetapi dari perorangan secara tidak resmi,tidak terorganisir.
Kaidah hukum berasala dari luar diri manusia secara terorganisir, berasal dari suatu
lembaga resmi (lembaga legislatif, lembaga eksekuti, lembaga yudikatif). Sudikno
Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).hlm.16
Sanksi Kaidah.
Sanksi kaidah agama berasal dari Allah swt Tuhan Yang Maha Esa. Tuhanlah yang
memberi kepada umatnya diakherat nanti.
Kaidah kesusialaan sanksinya berasala dari diri manusia itu sendiri. Manusia itu sendiri
yang memberi sanksi kepada dirinya sendiri yang berbuat tidak susila berupa rasa malu,
penyesalan, dan sebagainya.
Kaidah hukum sanksinya datang dari luar diri manusia secara terorganisir, secara resmi
dari lembaga-lembaga resmi.
Menurut C.J.T. Kansil bahwa terdapat 4 macam norma yaitu pertama norma agama, kedua
norma hukum, ketiga norma kesusilaan, dan keempat norma kesopanan dan dalam buku lain
ditambahkan satu norma lagi yaitu norma kebiasaan. Jadi ada 5 macam norma. Penjelasan 5
macam norma sebagai berikut:
1. Norma agama
Norma agama adalah norma yang hadir dan menjadi pedoman atas keyakinan terhadap
pencipta. Contohnya Agama Islam menjadikan Al-Qur'an dan hadist sebagai norma
agama. Begitupun dengan agama lain seperti injil sebagai norma agama katholik. Dalam
norma agama, beberapa ketentuan diberikan hukuman pada hari akhir atau setelah
kematian individu tersebut, dan dibeberapa ketentuan untuk pelanggaran terhadap norma
agama tertentu langsung diberi hukuman selama dia hidup oleh anggota individu lainnya
seperti hukum rajam, dan lainnya. Norma agama memiliki kekuatan yang bervariasi
tergantung keadaan negara atau masyarakat tersebut. Apabila negara tersebut adalah
negara yang menjunjung tinggi ajaran agama, maka norma agama akan menjadi aturan
yang sangat mengikat, contoh di Aceh, sedangkan bila masyarakat tersebut adalah negara
yang kurang menjunjung tinggi agama maka akan menjadi aturan atau norma yang lemak,
Contohnya penerapan norma agama di Jakarta.
Jadi pengertian norma agama adalah norma yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pedoman dalam hidup manusia dan janji Tuhan terhadap manusia.
2. Norma Kesusilaan
Pengertian norma kesusilaan adalah pedoman hidup yang berkaitan dengan perilaku baik
dan buruk yang didasarkan atas kemampuan untuk mengenali kebenaran dan keadilan
serta membuat pembeda diantaranya.
Sanksi yang dapat terjadi bagi pelanggar norma kesusilaan adalah pengucilan, pencibiran
bahkan dapat pula pengancaman.
3. Norma Kesopanan
Pengertian norma kesopanan adalah pedoman dan peraturan hidup atau nilai nilai yang
telah diatur dalam agama ataupun dalam adat istiadat masyarakat. Sesuatu dikatakan
perilaku tidak sopan dan dikatakan sopan oleh karena adanya norma kesopanan. diatas.
Norma kesopanan merupakan gabungan dari kedua elemen penting pembentuk
kebudayaan dalam masyarakat yaitu adat istiadat dan agama sehingga norma kesopanan
sering disebut sebagai norma moral. (Baca Pengertian kebudayaan dan pengertian moral.
Salah satu contoh norma kesopanan adalah cara berpakaian seseorang. Apabila dia
berpakaian tidak sesuai dengan norma kesopanan maka akan mendapatkan cibiran, hinaan
dari orang disekitarnya dan diapun akan malu dengan hal tersebut.
Macam macam norma kesopanan:
Tidak menggunakan perhiasan dan pakaian yang menor dan mencolok ketika berada
dalam acara berkabung
Memberikan ucapan terima kasih kepada pemberi bantuan ketika memperoleh
bantuan atau pertolongan
Meminta maaf ketika melakukan perbuatan yang salah atau membuat seseorang
merasa jengkel
4. Norma Hukum
Pengertian norma hukum adalah aturan aturan dan ketentuan dalam hidup bermasyarakat
bernegara yang berlaku kepada setiap anggota masyarakat yang dibuat berdasarkan
kesepakatan antara penguasa negara, rakyat atau perwakilan rakyat ataupun lembaga adat
tertentu dalam masyarakat tersebut. Ciri utama dari norma hukum adalah bersifat
memaksa dan mengikat. Keduanya berlaku bahwa aturan tersebut wajib dipatuhi oleh
siapapun dan berlaku untuk siapapun. Selain itu, norma hukum memiliki penegak norma
disebut penegak hukum yang telah diakui oleh masyarakat.
Macam macam norma hukum contohnya:
Tidak melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri. membunuh karena telah diatur
dalam KUHP dan memiliki hukuman yang berat
Setiap warga negara wajib membayar pajak kepada negara atas apa yang dimilikinya
5. Norma Kebiasaan
Pengertian norma kebiasaan atau habit adalah ketentuan dan pedoman yang dihasilkan dari
perbuatan yg dilakukan berulang ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi
kebiasaan (habit) dalam suatu masyarakat. Anggota masyarakat yang tidak melakukan
atau tidak mengikuti norma kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya akan dianggap
aneh.
Macam macam contoh norma kebiasaan:
Salah satu kebiasaan melakukan acara Selamatan atau doa tertentu bagi anak yang
baru dilahirkan
Aktivitas mudik atau pulang ke tempat kelahiran dan keluarga besar berada saat atau
menjelang hari raya.
Kebiasaan memperingati anggota masyarakat yang meninggal dengan mengadakan
acara di Flores.
Pertemuan Ke-Tiga.
Jenis,Hierarki,Materi Muatan, dan Badan/Pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
A.Pengantar.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki.
Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norm
yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih
tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai
Norma Dasar (Grundnorm) dan masih menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma
yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembagalembaga
otoritas-otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi,
sehingga norma yang lebih rendah (Inferior ) dapat dibentuk berdasarkan norma yang lebih
tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu Hierarki. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain
dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “Superordinasi”
dan “Subordinasi” yang special menurutnya yaitu. a. Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi; b. Sedangkan norma yang dibentuk menurut
peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. c. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum
yang dipersonifikasikan dalam bentuk Negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain
hanya dikoordinasikan yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan
norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu
yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang
pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus
(rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang
karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu
kesatuan tatanan hukum. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam hubungan dengan sesamanya atau dengan lingkungan. Istilah norma berasal dari
bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab dan sering juga disebut pedoman,patokan, atau
aturan dalam bahasa indonesia mulamula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus
yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk sudut atau garis yang dikehendaki.
dalam perkembangan, norma itu diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam
bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat jadi, norma adalah segara peraturan yang
harus dipatuhi. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa: 1. Norma membentuk norma dan
norma yang menjadi dasar pembentukan norma lebih tinggi dari pada norma yang dibentuk
seterusnya sampai pada norma yang paling rinci. 2. Dalam kehidupan bernegara dimulai dari,
a. Konstitusi. b. kemudian norma hukum yang dibentuk atas dasar konstitusi c. Selanjutnya
hukum yang substantif atau materil dan seterusnya Karena norma membentuk norma, maka
norma yang dibentuk dari norma dasar yang membentuknya, tidak boleh bertentang dengan
norma dasar pembentukannya. Dengan kata lain bahwa ketentuan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh suatu negara maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
ddengan ketentuan yang lebih tinggi.
Hans Kelsen adalah seorang filsuf dan ahli hukum asal Austria yang dikenal dengan berbagai
teori hukum, salah satunya adalah Teori Stufenbau. Bagaimana penerapan teori Hans Kelsen
tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia? Berikut beberapa pendapat ahli
berkenanaan dengan penerapan teori Hans Kelsen.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan M. Chidir Ali dalam buku Disiplin Hukum (1990), teori
Stufenbau diakomodasi oleh Asas Hierarki (lex superiori derogate legi inferiori). Asas
Hierarki Menggambarkan adanya hierarki atau tata urut dari hukum yang superior menuju
hukum yang inferior.
Menurut Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at dalam buku Teori Hans Kelsen tentang
Hukum (2006), norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan
norma yang dibuat adalah inferior. Artinya, Hans Kelsen menggambarkan adanya tata hukum
yang melandasi pembuatan hukum suatu negara.
Menurut H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik dalam Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara dan
Hukum (2010) tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada
basic norm atau grundnorm (norma dasar). Norma dasar tersebut adalah norma superior yang
menjadi dasar pembentukan norma lainnya yang lebih inferior. Teori Hans Kelsen diterapkan
di Indonesia sebagai hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dari yang superior ke yang lebih
inferior adalah: Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Undang-Undang Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kota atau Kabupaten
Peraturan pelaksana seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain Dari hierarki
tersebut terlihat bahwa norma yang paling superior adalah UUD 1945 yang menjadi norma
dasar (grundnorm). Artinya, semua norma di bawahnya harus dibuat berdasarkan UUD 1945.
Lalu, mengapa pancasila tidak dicantumkan dalam tata urut peraturan perundang-undangan di
Indonesia? Kedudukan pancasila dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagai norma fundamental, hukum dasar, dan juga sumber dari segala sumber hukum
negara. Artinya, UUD 1945 yang menjadi sumber hukum juga terbentuk dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Semua pembuatan hukum dan norma di Indonesia harus sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila karena Pancasila merupakan dasar yang paling fundamental
dalam pembangunan negara Indonesia.
Jenis dan Hierarki.
Jenis dan Hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis dan Tata Urutan Perundang-
undangan Indonesia terakhir di atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tidak ada salahnya terlebih dahulu
mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya tentang Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Indonesia dari masa ke masa, sebagai berikut:
1. Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber
tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik
Indonesia.
Urutannya yaitu :
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
2. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
PerUndang-Undangan.yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) UU;
4) Peraturan pemerintah pengganti UU;
5) PP;
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Pertemuan Ke-Empat.
Asas-Asas Pembentukan dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan
A.Pengantar.
Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, asas
adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum sebagai basic truth , sebab melalui
asas hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum, dan menjadi
sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. Menurut I. C. Van Der
Vlies dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada beberapa asas formal dan
material yang harus perhatikan antara lain sebagai berikut:
1. Asas Formal
A.asas tujuan yang jelas.
B.asas lembaga yang tepat.
C.asas perlunya pengaturan.
D.asas dapat dilaksanakan.
E.asas konsensus.
2. Asas Material
a. asas terminologi dan sistematika yang benar.
b.asas dapat dikenali
c.asas perlakuan yang sama di depan hukum.
d.asas kepastian hukum.
e.asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Untuk dapat memahami secara mudah dan komprehensif serta unntuk menghindari kesalahan
penafsiran terhadap substansi Undang-Unddang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan melalui beberapa Pengertian, berikut :
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan yang mencakup tahapan, perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintah.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrument
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrument
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perunang-Undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan.
Hukum dasar adalah norma dasar bagi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau Pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang.
Asas Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan.
Asas Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
Undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Asas Kejelasan Rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam
pelaksanaannya.
Asas Keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Asas Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
Asas Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Asas Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
Asas Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh Wilayah Indonesia dan
materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus memperhatikan keseragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
Negara.
Asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan Perundang-Undangan yang
bersangkutan antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
b. Dalam hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan
dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Semua asas di atas,
harus terpateri dalam diri penentu kebijakan yang akan membentuk peraturan
perundangundangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam
setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya membentuk peraturan ini?
Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen
lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh
penentu kebijakan, pembentuk peraturan perundang-undangan harus selalu bertanya, apakah
rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan penafsiran?
Di luar asas-asas di atas, dalam ilmu hukum atau ilmu perundangundangan, diakui adanya
beberapa teori atau asas-asas yang selalu mengikuti dan mengawali pembentukan peraturan
perundang-undangan dan secara umum teori dan asas-asas terserbut dijadikan acuan oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan.
Pertemuan Ke -Lima.
Program Legislasi dan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengantar.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah hukum tertinggi di Indonesia, sekaligus norma
dasar/pokok yang mengatur hubungan antara lembaga negara baik secara horizontal maupun
vertikal dan jaminan akan hak-hak dasar warga negara serta hubungan antara negara dengan
warga negara. Atas dasar itu maka, UUD 1954 harus dijadikan pedoman untuk melihat
bagaimana mekanisme pelaksanaan kekuasaan negara dalam wujud organ (Lembaga) negara
yang sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga negara yang diberikan secara
atribusi ataupun delegasi oleh UUD 1945. Sehingga hal mana, sesuai dengan penegasan
bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat) hukum bukan negara kekuasaan
(machtstaat).
Berdasarkan UUD 1945 pasal 20 ayat (1) mengatakan DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif). Meski demikian DPR tidak secara terpisah
bisa membentuk undang-undang secara absolut tanpa persetujuan cabang kekuasaan lain.
Selanjutnya pasal 20 ayat (2) mengatakan setiap rancangan undang-undang di bahas bersama
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, ayat (3) jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang
mengatakan presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Disamping
itu terdapat lembaga negara lain dalam lingkungan legislatif yang mempunyai fungsi
legislasi, yaitu DPD. Menurut pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD dapat mengajukan kepada
DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Terkait kewenangan membentuk undang-undang, Maria Farida berpendapat bahwa ketentuan
dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945 tersebut mempunyai makna, bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang itu sebenarnya dipegang secara bersama-sama oleh DPR dan
Presiden. Pengertian DPR memegang “kekuasaan membentuk” undang-undang yang
ditetapkan dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 seharusnya dapat diartikan sebagai
“memegang kewenangan” karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini suatu kekuasaan
membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung makna kewenangan
membentuk undang-undang. Namun demikian rumusan pasal 20 ayat (1) tersebut dalam
kajian perundang-undangan tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dengan ketentuan pada
ayat-ayat selanjut.
Sementara Proffesor Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa fungsi legislasi oleh cabang
kekuasaan legislatif dalam bentuk konkretnya adalah fungsi pengaturan (regelende functie)
ini terwujud dalam pembentukan undang-undang (wetgevende functie atau law making
function). Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk
menentukan peraturan yang mengikat warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945. )
Selanjutnya, kewenangan pengaturan yang lebih operasional itu dianggap berasal dari
delegasi kewenangan legislatif, sehingga harus ada perintah atau pendelegasian kewenangan
(legislative delegation of rule-making power) kepada lembaga eksekutif untuk menentukan
pengaturan lebih lanjut. )
Lebih jauh menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menetukan
bahwa peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,
adalah kewenangan yang diberikan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat
itu dapat berbentuk kewenangan atributif, kewenangan delegatif, maupun mandat. ) Suatu
kewenangan atributif menunjuk kepada kewenangan yang asli yang di berikan konstitusi atau
diberikan undang-undang sesuai konteks hukum tata negara. Sedangkan kewenangan
delegatif harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang
lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan
tetapi pejabatlah yang diberi mandat. Artinya dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi
mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandatory (pemberi mandat).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat diatas, menurut penulis kewenangan membentuk
undang-undang (wetgevendemacht) ada pada kekuasaan legislatif. Sesuai dengan fungsinya
yaitu fungsi pengaturan (regelende functie) dan berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) UUD
1945. Dengan asumsi, kewenangan ini adalah kewenangan artibutif. Artinya kewenangan
orisinil yang diberikan oleh UUD tahun 1945.
Program Legislasi Nasional.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebelumnya harus mengacu kepada Prakarsa
Pengajuan Rancangan Undang-undang sebagai dasar konstitusionalnya setelah perubahan
UUD 1945 mengalihkan kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sebagaimana
pandangan Jimly Assihidiqie (2005:135), perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi
“Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR” yang diikuti dengan perubahan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang 8 Pasal 20 ayat (1),
UUD 1945. 9 Pasal 21, UUD 1945. 10 Pasal 25 huruf (a), UU MD3. 65 kekuasaan
membentuk undang-undang” telah mendorong pergeseran kekuasaan legislatif atau
kekuasaan pembentuk undang-undang dari tangan Presiden ke DPR. Dalam mewujudkan
negara hukum yang demokratis, pembangunan sistem hukum nasional perlu dilakukan
dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan partisipatif, berintikan
keadilan dan kebenaran untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan membagi mekanisme pembentukan undang-undang ke dalam beberapa
tahapan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
Perencanaan adalah suatu proses di mana DPR dan pemerintah menyusun rencana dan skala
prioritas undang-undang yang dibuat oleh DPR dalam jangka waktu tertentu. Proses ini
diwadahi oleh suatu program yang disebut Program Legislasi Nasional yang selanjutnya
disebut Prolegnas. Keberadaan Prolegnas adalah sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang yang terencana, terpadu, dan sistematis. Proses legislasi setelah
perubahan UUD 1945 berkonsekuensi pada penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan
Pemerintah yang dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. Dalam hal ini, pekerjaan dikoordinasi oleh Baleg DPR RI.
Adapun dalam tahapan koordinasi penyusunan.
Prolegnas menurut Ahmad Yani (2011:60) meliputi: a. Badan legislasi melakukan koordinasi
dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyusun dan menetapkan Prolegnas
jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek; b. Koordinasi Badan Legislasi dengan
pemerintahan dalam penyusunan Prolegnas dilakukan menurut tahap pembahasan, yaitu: 1.
Rapat Kerja (Raker) 2. Rapat Panitia Kerja (Panja) 3. Rapat Tim Perumus (Timus), dan/atau
4. Rapat Tim Sinkronisasi (Timsin) c. Dalam rapat koordinasi, Badan Legislasi bersama
dengan pemerintah membahas bersama daftar usulan dan RUU dari DPR dan daftar usulan
RUU dari pemerintah; d. Prolegnas Jangka Menengah dan hasil pembahasan disepakati
menjadi Prolegnas. Penetapan prioritas Prolegnas tahunan berkaitan erat dengan penentuan
arah kebijakan pembangunan politik hukum nasional. Ia menjadi dasar hukum penyusunan
Prolegnas keanggotaan DPR periode 2009-2014 dengan mengacu kepada UU No. 10/2004
sebelum diganti dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam setiap penyusunan prioritas Prolegnas sebagai pelaksanaan Prolegnas
jangka menengah, DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat
kelengkapan dewan yang khusus menangani 67 bidang legislasi. Dalam hal ini yang
melakukannya adalah Baleg DPR. Untuk penentuan skala prioritas program pembentukan
undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional salah satunya didasarkan
atas aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Adapun ketentuan penyusunan Prolegnas
periode 2009-2014 masih mengacu pada UU No. 10/2004 sebelum diberlakukan UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang melingkupi antara lain:
1. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi:
“Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Nasional”;
2. Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005
tentang Tata Cara Pengelolaan Program Legislasi Nasional yang menentukan
“Prolegnas ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.”
3. Pasal 106 ayat (6) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata
Tertib yang menyatakan bahwa “penyusunan dan penetapan Prolegnas
prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan
setiap tahun sebelum penetapan rancangan undang-undang tentang anggaran
pendapatan dan belanja negara.”
Program legislasi nasional sebagaimana dikenal saat ini merupakan tahapan paling awal dari
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni pada tahap perencanaan
sebagaimana diatur dalam ketentuan umum UU No. 10/2004 yang telah diubah UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam ketentuan tersebut
dinyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”. Namun, menurut M. Solly
Lubis (2011:89-90), program legislasi kedudukannya baru setingkat rencana atau keinginan.
Ia mempertanyakan mengapa banyak kalangan yang menganggapnya sebagai hal yang
penting dan perlu untuk dikelola dengan baik. Sebagaimana dikatakan pada umumnya,
kelemahan dalam aspek perencanaan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi cukup
besar atas tersendatnya pembangunan hukum di negara kita. Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU
No. 10/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengartikan Prolegnas sebagai suatu instrumen atau suatu
mekanisme. Apa yang dikatakan dalam pasal tersebut adalah “Program legislasi nasional
yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.”
Di samping itu, secara operasional Prolegnas sering dipakai ketika merujuk pada materi atau
substansi rencana pembentukan. Lihat dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU
No. 10/2004 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 12/2011. 69
peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, Prolegnas adalah daftar rencana
pembentukan peraturan perundangundangan yang disusun berdasarkan metode dan parameter
tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Rencana legislasi,
sebagaimana dimaksud M. Solly Lubis, adalah “Usulan-usulan berupa rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan, baik untuk jangka panjang, menengah, maupun pendek yang
akan dibuat atau disusun oleh departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dan lembaga
atau institusi-institusi pemrakarsa lainnya” (Lubis 2011:90). Untuk itu, penyusunan Prolegnas
sebagaimana diatur dalam UU No. 12/2012 Penyusunan Rancangan Undang-Undang
didasarkan atas: 1. Perintah UUD 1945; 2. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; 3. Perintah Undang-Undang lainnya; 4. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
5. Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional; 6. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah; 7. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan 8. Aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam pembentukan undang-undang, ada tiga prinsip yang perlu di perhatikan, yaitu:
1. Kesetian kepada cita-cita sumpah pemuda,proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pancasila serta nilai-
nilai konstitusional dalam Undang-Undang Dasar RI tahun 1945.
2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan
damai.
3. Dikembangkannya norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung
dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancer,dan damai, serta
mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.
Adapun visi pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya negara hukum yang
adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan
membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan
kebenaran yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan
bangsa,serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi tersebut, prolegnas disusun dengan misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan materi hukum segala bidang dalam rangka penggantian terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang masih
tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian,
keadilan, dan kebenaran dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum.
3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan
berintegritas tinggi.
4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.
Kebijakan program legislasi nasional diarahkan untuk sebagai berikut :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik,
agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembagunan
daerah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan sebagai
pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Mengganti peraturan peundang-undangan peninggalan kolonial dan
menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
3. Mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam
proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh
Undang-Undang Dasar.
4. Membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat
informasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia, dan
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan kejahatan transnasional.
5. Meratifikasi secara selektif kondisi internasional yang diperlukan untuk mendukung
pembangunan ekonomi, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia serta
pelestarian lingkungan hidup.
6. Membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat
dan kemajuan zaman.
7. Memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas, professional, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan
gender.
8. Menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan di segala bidang
yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara yang mewujudkan
prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi, dan keadilan.
Dalam program legislasi nasional tahun 2005-2009, menurut Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, penentuan skala prioritas Rancangan Undang-Undang ditetapkan
beberapa pertimbangan,yakni :
1. merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945;
2. merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;
4. mendorong percepatan reformasi;
5. merupakan warisan prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang lainnya;
7. merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;
8. berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender;
9. mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.
Adapun maksud pengaturan program legislasi nasional adalah :
1. Memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum dibidang peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.
2. Menyusun skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang sebagai suatu
program yang berkesinambungan dan terpadu yang dijadikan pedoman bersama
dalam pembentukan undang-undang oleh lembaga yang berwenang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.
3. Menyelenggarakan sinergi antarlembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.
Pertemuan Ke-Enam
Prosedur dan Tatacara Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
Pertemuan Ke-Tujuh
Peraturan Perundangan-undangan Lokal
Pengantar.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas
inisiatif sendiri, maka kepada pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan
peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Keberadaan Peraturan Daerah
merupakan conditio sine quanonatau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka
melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti
dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, Peraturan Daerah harus dijadikan pedoman bagi
pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu Peraturan
Daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Kewenangan
pemerintah daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Daerah berlandaskan pada Pasal 18
ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Peraturan Daerah merupakan bagian
integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Bagir Manan berpendapat bahwa, peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan
sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu
unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat
daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia,
Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan
definisi peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan
perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan di daerah”. Pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 mendefinisikan bahwa, “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda
adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”.
Mengenai ruang lingkup Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:
1. Perturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Jenis dan bentuk produk hukum daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, pasal
tersebut menyebutkan jenis dan bentuk produk hukum daerah terdiri atas:
1. Peraturan Daerah;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah;
5. Instruksi Kepala Daerah.
Menurut Mahendra Putra Kurnia, secara lebih jelas mengenai produk hukum daerah,
diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, yang menyatakan bahwa “Produk hukum
daerah bersifat pengaturan dan penetapan”. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006, bahwa produk hukum
daerah yang bersifat pengaturan meliputi:
1. Peraturan Daerah atau sebutan lain;
2. Peraturan Kepala Daerah; dan
3. Peraturan Bersama Kapala Daerah.
Ayat-ayatnya menjelaskan bahwa produk hukum yang bersifat penetapan meliputi:
1. Keputusan Kepala Daerah; dan
2. Instruksi Kepala Daerah.
Sedangkan menurut Abdul Latief, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah
terdiri dari peraturan daerah dan peraturan/keputusan kepala daerah yang mempunyai
sifat mengatur.
Potensi Kearifan Lokal.
Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Hukum Nasional Karl Mannheim menyatakan
bahwa pembangunan di bidang hukum berarti mengusahakan keserasian yang lebih mantap
antara ketertiban dengan ketentraman. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo (2009),
pembangunan hukum sekaligus mengandung dua makna, yaitu usaha memperbaharui hukum
positif sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat
perkembangannya yang mutakhir (modernisasi hukum) sekaligus sebagai usaha untuk
memfungsional hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan
perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang
membangun. Karl Mannheim dan Satjipto Rahardjo bersamaan pandangan bahwa
pembangunan hukum merupakan usaha yang tidak berdiri sendiri, melainkan perlu dilihat
kehadirannya dalam konteks perubahan sosial dan tata nilai (modernisasi). Pembangunan
hukum pada hakekatnya berkaitan pula dengan segi-segi kehidupan lainnya. Kaitan hukum
dengan segi-segi lainnya adalah sama-sama merupakan gejala sosial. Oleh karena itu, proses
pembangunan hukum selalu dibatasi oleh perubahan sosial yang terjadi. Pembangunan
hukum memiliki makna yang progresif sekaligus adaptif. Pembangunan bermakna progresif
karena sifatnya yang selalu aktif memperbaharui hukum menuju ke arah yang diinginkan oleh
masyarakat dan usahanya untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Sedangkan adaptif
karena usahanya untuk untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang
mutakhir. Sebagai bagian dari produk kebudayaan, hukum tidak hanya dipandang sebagai
bangunan norma peraturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas untuk membuat
hukum negara. Lebih dari itu, perspektif antropologi hukum memerlihatkan wujudnya
sebagai sistem pengendalian sosial (social control) untuk menciptakan keteraturan sosial
(social order) dan menjaga ketertiban dalam kehidupan bersama (legal order). Perubahan
sosial di era reformasi telah melahirkan politik hukum yang mempertegas diri bahwa ada
kemauan politik menuju ke arah negara maju yang bercirikan otonomi. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah segera memunculkan serangkaian kebangkitan daerah,
etnik, politik dan hukum. Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam
menopang pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak dalam proses pembangunan
hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah semestinya dijadikan komponen dan
sendi dari pembangunan hukum nasional. Tujuan-tujuan hukum sebagai pengendalian sosial,
penjaga keteraturan sosial dan menjaga ketertiban kehidupan bersama tersebut harus
ditempatkan pada bingkai besarnya yaitu kebudayaan. Setting sosial negara Indonesia yang
multi etnik, multi ras dan multi religi tidak boleh dilupakan oleh para pengambil kebijakan
pembangunan sehingga dapat memahami keinginan masyarakat dan sekaligus mengarahkan
pembangunan hukum ke tujuan yang lebih baik. Dalam konteks kebijakan pembangunan,
pembangunan hukum dalam masyarakat yang multikultural harus dimaknai sebagai
seperangkat kebijakan pemerintah yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat
dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku
bangsa. Hal ini beralasan karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku dan
bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa.
Pengertian peraturan daerah atau yang biasanya disebut dengan perda dapat dibagi menjadi
peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Pengertian peraturan
daerah tersebut dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah serta beberapa peraturan perundang-
undangan lainnya.
Pengertian Peraturan Daerah.
Secara umum, pengertian peraturan daerah dapat disebut juga sebagai instrumen aturan yang
diberikan kepada pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di
masing-masing daerah otonom. Menurut Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, SH., pengertian
peraturan daerah adalah sebagai salah satu bentuk aturan pelaksana undang-undang sebagai
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan peraturan daerah bersumber
dari kewenangan yang telah ditentukan suatu undang-undang. Meski demikian, peraturan
daerah juga dapat dibentuk untuk mengatur hal-hal yang kewenangan untuk mengatur hal-hal
tersebut tidak diatur secara eksplisit oleh suatu undang-undang. Hal tersebut dapat dilakukan
sesuai dengan ketentuan ketentuan UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(3) dan (4). Berikut ini beberapa pengertian peraturan daerah sebagaimana disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pengertian Peraturan Daerah dalam Permendagri No 1 Tahun 2014
1. Pengertian peraturan daerah dalam Permendagri No 1 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
“Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau
nama lainnya, yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.
2. Pengertian peraturan daerah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibagi dalam 2 pengertian, yakni peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
Pengertian peraturan daerah provinsi disebutkan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai
berikut :
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai berikut :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.
Kepala pemerintah daerah di tingkat provinsi adalah Gubernur, kepala pemerintah daerah di
tingkat kabupaten adalah Bupati dan Kepala Daerah di tingkat Kota disebut Walikota.
Demikian pula dengan DPRD, di tingkat Provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan di
tingkat kabupaten/kota disebut dengan DPRD Kabupaten/Kota.
Pengertian peraturan daerah dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah tidak disebutkan secara spesifik mengenai adanya peraturan daerah
provinsi dan kabupaten/kota. Hanya secara umum menyebutkan bahwa Peraturan Daerah
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah.
Ini berarti Peraturan Daerah di bentuk oleh DPRD, yang bila di tingkat provinsi disebut
dengan DPRD Provinsi dan bila di tingkat Kabupaten/Kota disebut dengan DPRD
Kabupaten/Kota, dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, yang bila di tingkat Provinsi
disebut dengan Gubernur, bila di tingkat kabupaten disebut dengan Bupati, dan bila di tingkat
kota disebut dengan Walikota.
Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang terkandung dalam suatu
peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi: ketentuan umum;
materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang diperlukan); ketentuan peralihan
(jika memang diperlukan); dan ketentuan penutup. Materi muatan peraturan daerah dapat
mengatur adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang
menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan
pidana berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda maksimal
Rp. 50.000.000,00.
Pasal 56 ayat 3 UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rancangan Peraturan Daerah
Provinsi mengenai:
Pertemuan Ke-Delapan.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
A. Pengantar.
MERANGKUL ASPIRASI MASYARAKAT Pelibatan aspirasi masyarakat
dalam proses pembentukan undang-undang membutuhkan tahap perencanaan
karena diletakkan dalam konteks kebijakan (policy) publik yang tertulis (Riant
2003:121). Perencanaan, tentu saja, dilakukan karena kebijakan publik akan
mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia, dana, dan
waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan pengelolaan isu. Isu-isu
dari aspirasi yang berkembang harus dipilah dan dipilih dalam urutan prioritas
dan rencana implementasi yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan
mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan. Sebelum
dilakukan, penyusunan suatu RUU baik oleh DPR, DPD, maupun pemerintah
umumnya secara teknis diawali terlebih dahulu dengan (Handoyo 2008):
a. Seminar lokakarya, Focus Group Disccusion (FGD) maupun Expert
Meeting Forum yang diikuti para pakar yang spesifikasi keilmuannya
berkaitan atau sedikit bersinggungan dengan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan yang akan dibentuk. Cara ini oleh tim legal drafting digunakan
untuk menggali berbagai pandangan pakar terkait dengan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk. Pandangan atau pendapat
para pakar tersebut kemudian dirangkum untuk dijadikan bahan-bahan dalam
penyusunan draf RUU dan naskah akademik;
b. Diskusi internal tim legal drafting untuk menformulasikan pandangan dan
pendapat para pakar hasil pertemuan pertama untuk disusun dalam draf awal
draf RUU dan naskah akademik atau disesuaikan dengan kesepakatan tim;
c. Setelah draf awal RUU dan NA selesai, tim legal drafting selanjutnya
melakukan diskusi publik yang pesertanya adalah para pemangku kepentingan
(stakeholder) yang terkait dengan Rancangan Peraturan Perundangundangan
yang akan dibentuk dan pakar-pakar ilmu yang bidang kajiannya berdekatan
dengan materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk;
d. Setelah melakukan kegiatan, tim legal drafting kembali melakukan
kegiatan diskusi kelompok untuk menformulasikan masukan-masukan
pendapat atau pandangan dari pemangku kepentingan dan para pakar dalam
diskusi publik tersebut;
e. Jika pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh tim legal drafting
sudah dipandang cukup, maka tim menyepakati agar draf awal RUU dan NA
dijadikan RUU dan NA yang disempurnakan;
f. Draf RUU dan naskah akademik selanjutnya diajukan untuk memperoleh
tanggapan seperlunya;
g. Jika tanggapan sudah diperoleh (tentunya dengan berbagai usul perbaikan)
maka tim legal drafting melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya seiring
menyusun draf RUU yang materi muatannya bersumber dari naskah
akademik.
h. Uji sahih atas draf Rancangan Peraturan Perundanngundangan dan naskah
akademik. Kegiatan ini dilakukan melalui forum-forum seperti pada saat
melakukan penjaringan aspirasi.
Bagian Ke-Sembilan.
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengantar.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dalam kepustakaan disebut pula Teknik
Perundang-undangan. (Bagir Manan 1997) mengartikan Teknik Perundang-undangan adalah
rangkaian penge-tahuan dan kemampuan yang mencakup segala unsur yang diperlukan untuk
mewujudkan peraturan perundangundangan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang
baik dapat terwujud apabila memenuhi unsur-unsur antara lain: a. perumusannya tersusun
secara sistematis, bahasa sederhana dan baku; b. sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna
dan hasil guna baik dalam wujud ketertiban maupun keadilan; c. sebagai gejala sosial,
merupakan perwujudan pandangan hidup, kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat,
termasuk ke-mampuannya sebagai faktor pendorong kemajuan dan peru-bahan masyarakat;
dan d. sebagai sub-sistem hukum, harus mencerminkan satu rangkaian sistem yang teratur
dari keseluruhan sistem hukum yang ada Untuk mendapat peraturan perundang-undangan
yang baik tersebut diperlukan sejumlah kemampuan yang seharusnya dimiliki perancang,
yakni: a. kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah
yang berkenaan atau berkaitan dengan materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, yang mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis, dan yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan; b. asas, baik asas yang bersifat umum maupun asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang diperlukan da-lam penyusunan
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk; c. kaidah, yakni
kaidah hukum yang berkenaan atau berkaitan dengan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan, sehingga peraturan perundangundangan yang hendak dibentuk
memiliki dasar hukum, baik dasar hukum formal maupun dasar hukum materiil; dan d.
praktik-pengalaman, belajar dari praktik-pengalaman perancangan maupun pelaksanaan
peraturan perundangundangan ataupun pelaksanaan suatu urusan tertentu untuk direpleksikan
dalam penyusunan rancangan peraturan perun-dang-undangan yang kini dikerjakan, termasuk
untuk mendapat-kan pengetahuan mengenai kebutuhan hukum masyarakat dan pemerintahan
(Atmaja dkk 2017).
Kerangka peraturan perundang-undangan meliputu : judul; pembukaan; batang tubuh;
penutup; penjelasan (jika diperlukan); lampiran (jika diperlukan).
A. Judul
1. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor
tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi
Peraturan Perundang-undangan.
3. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah margin
tanpa diakhiri tanda baca. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG.
4. Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase
perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN
2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
5. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, diantara kata
perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali
perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa memerinci perubahan sebelumnya.
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR . . .
TAHUN . . . TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR . . . TAHUN . . . TENTANG . . .
6. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat,
Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat
Peraturan Perundang-undangan yang diubah.Contoh : UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR . . . TAHUN . . . TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
7. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata
pencabutan didepan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN
1985 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1970 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN
PELABUHAN BEBAS SABANG
8. Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) yang
ditetapkan menjadi Undang-undang, ditambahkan kata penetapan didepan nama
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase
menjadi Undang-undang. Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2002
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI
UNDANG-UNDANG
9. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian Internasional,
ditambahkan kata pengesahan didepan nama perjanjian atau persetujuan
Internasional yang disahkan.
10. Jika dalam perjanjian atau persetujuan Internasional Bahasa Indonesia digunakan
sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa
Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf
cetak miring dan diletakkan diantara tanda baca kurung. Contoh :UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH
PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIAON MUTUAL LEGAL ASSISTENCE IN CRIMINAL MATTERS)
11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan Internasional, Bahasa Indonesia tidak
digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam
Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia yang diletakkan diantara tanda baca kurung.
Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN
1997 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS
ILLICIT TRIFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCE
1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA, 1998)
4. Dasar Hukum;
a. Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat.
b. Dasar Hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan tersebut.
c. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hokum hanya
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
d. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-
undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan sudah
diundangkan tetapibelum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
e. Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari
satu, urutan pencatuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-
undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat
pengundangan atau penetapan.
f. Dasar Hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau
beberapa pasal yang berkait. Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua atau
huruf “u” ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
g. Dasar Hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama
judul Peraturan Perundang-undangan. Penulisan undang-undang, kedua huruf “u”
ditulis dengan huruf kapital.
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi
dengan mencantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan diantara tanda baca
kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. . . . . ;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 4316)
h. Dasar Hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan zaman Hindia
Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan
tanggal 27 Desember 1949, terlebih dahulu ditulis terjemahannya dalam bahasa
Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dilengkapi dengan tahun dan
nomor staatsblad yang dicetak miring diantara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel.
Staatsblad 1847 : 23);I
2. . . . ;
i. Cara penulisan sebagaimana dimaksud diatas berlaku juga untuk pencabutan
Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berasal dari Hindia Belanda atau
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27
Desember 1949.
j. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap
dasar hukum diawali dengan angka 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma.
Contoh :
Mengingat : 1. . . . ;
2. . . . ;
3. . . .;
5. Diktum.
a. Diktum terdiri atas :
1. Kata Memutuskan;
2. Kata Menetapkan;
3. Nama Peraturan Perundang-undangan.
b. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara
suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan ditengah
margin.
c. Pada Undang-Undang, sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
d. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH …..
(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA….. (nama daerah),
yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH….(nama daerah)
dan
GUBERNUR …..(nama daerah)
MEMUTUSKAN :
e. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata memutuskan yang disejajarkan
kebawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan
ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
f. Nama yang tercantum dalam Judul Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Mnenetapkan dan didahului dengan pencantuman
jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN
DAERAH
Pertemuan Ke-Sepuluh.
Metode Penafsiran Peraturan Perundang-Undangan.
A.Pengantar.
Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Untuk ini ada beberapa
cara dan metode.
Cara penafsiran:
1. Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang. Sedangkan dalam pengertjan obyektif, apabila
Penafsirannya lepas dan pada pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan
adat bahasa sehari-hari.
2. Dalam pengertian sempit dan luas.
Dalam pengertian sempit (restriktif yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian yang sangat dibatasi misalnya mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)
Pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat dilihat
dan diraba saja.
Dalam pengerti secara luas (ekstentif), ialah apabila dalil yang ditafsjrkan diberi
pengertian seluas-luasnya. Contoh:
Pasai 1756 KUHPerdata alinea ke 2 tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
Barang (pasal 362 KUH Perdata) yang dulu hanya diartikan benda yang dapat dilihat
dan diraba sekarang juga termasuk aliran listrik (Arrest Floge Raad Belanda tanggal
23 Mei 1931).Yang termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis.
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat:
Otentik ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-undang seperti
yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik
mengikat umum.
Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain
hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai
teoretis.
Hakim, penafsiran yang bersumber dan hakim (peradilan) hanya mengikat pihak-
pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (pasal 1917 ayat (1)
KUH Perdata).
Macam-macam metode penafsiran.
Di dalam ilmu hukum metode penafsiran adalah penafsiran menurut:
1. Tata bahasa dan arti kata-kata / istilah (grammaticale interpretatie, taalkundige
interpretatie).
2. Sejarah (historische interpretatie) yang meliputi penafsiran sejarah hukum
(rechtshistorische interpretatie) dan penafsiran sejarah pembuatan undang-undang
(wetshistorische interpretatie).
3. Sistem dan peraturan/undang-undang yang bersangkutan (sistematische,
dogmatisehe dananalogische interpretatie).
4. Keadaan masyarakat (sosiologische, atau teleologische interpretatie).
5. Otentik (penafsiran resmi, authentieke interpretatie, officieele interpretatie).
Bagian Ke – SeBelas.
Naskah Akademik
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengantar.
Pembentukan peraturan oerundang-undangan yang baik selalu diawali dengan penyusunan
Naskah Akademik terelebih dahulu. Naskah akademik merupakan hasil kajian dan penelitian
yang berkenaan dengan permaslahan hukum yang dihadapi dan untuk memecahkan
permaslahan tersebut diperlukan dasar dalam bentuk pperaturan perundang-undangan.
Suatu naskah akademik mempunyai sistematika baku, yang tterdiri dari:
A. PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.01.01
TAHUN 2008
B. SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
JUDUL NASKAH AKADEMIK
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
D. METODE PENELITIAN
BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA
BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM
POSITIF
BAB IV PENUTUP
LAMPIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
BAB I PENDAHULUAN.
Ketentuan peralihan dapat memuat pokok pemikiran antara lain yang menyangkut:
1. Penerapan peraturan perundang-undangan baru terhadap keadaan yang terdapat pada
waktu peraturan perundang-undangan mulai berlaku.
2. Bagaimana seharusnya pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang baru itu.
3. Kemungkinan adanya penyimpangan.
Aturan khusus bagi keadaan hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan
yang baru dan sebagainya.
Ketentuan Penutup. Ketentuan Penutup dapat memuat rumusan norma beserta alternatifnya,
yang antara lain mengenai:
1. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan undang-undang.
2. Nama singkat undang-undang.
3. Status peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
4. Saat mulai berlakunya undang-undang tersebut.
Ketentuan tentang pengaruh undang-undang yang baru terhadap undang-undang yang lain.
Kedudukan peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan mengatur materi yang
sama.
BAB IV PENUTUP.
Berisi kesimpulan jawaban terhadap identifikasi masalah yang telah ditetapkan yang menjadi
pertimbangan penyusunan materi muatan dan rekomendasi terkait dengan pentingnya
penyusunan regulasi dimaksud.
A. Kesimpulan memuat antara lain:
1. Rangkuman pokok isi Naskah Akademik.
2. Bentuk pengaturan, yang dikaitkan dengan materi muatan, apakah materi muatan diatur
dalam bentuk undangundang atau bentuk peraturan lain yang lebih rendah.
3. dan sebagainya.
B. Saran memuat antara lain:
1. Apakah semua materi Naskah Akademik sebaiknya diatur dalam bentuk undang-undang
atau ada sebagian materi yang lebih baik diatur dalam peraturan pelaksanaan.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan
Perda dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan
naskah akademik lebih lanjut.
4. dan sebagainya.
III. SISTEMATIKA KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Konsep awal RUU yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan dengan didasarkan pada
uraian akademik.
Konsiderans:
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan rancangan undang-undang. Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis.
Alas/Dasar Hukum:
Memuat dasar kewenangan pembuatan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
yang memerintahkan pembuatan undang-undang tersebut.
Ketentuan Umum:
Memuat istilah-istilah yang dipakai dalam Naskah Akademik dan pengertiannya.
Materi:
Memuat konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, serta rumusan
norma dan pasal-pasalnya yang disarankan; bila mungkin dengan mengemukakan
beberapa alternatif.
Ketentuan Pidana (jika diperlukan):
Memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang patut dilarang
dengan menyarankan sanksi pidananya.
Ketentuan Peralihan (jika diperlukan):
Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundangundangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan
tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan Penutup:
Pada umumnya memuat:
a. Saran tentang penunjukan lembaga/instansi atau alat perlengkapan Negara yang terkait dan
karena itu perlu diikutsertakan dalam penyusunan dan pelaksanaan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan;
b. Saran tentang pemberian nama singkat Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan;
c. Saran tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan setelah diundangkan;
d. Pendapat tentang pengaruh Peraturan Perundang-undangan yang baru terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang lain; baik yang sudah ada sebelumnya dan Peraturan Perundang-
undangan yang masih harus dibuat.
Pertemuan Ke-DuaBelas.
BAHASA HUKUM & PERATURAN PERUNDANG-UNDANGGAN
Pengantar.
Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri
yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
Bahasa merupakan: alat komunikasi bagi manusia untuk mengungkapkan perasaan,
menyampaikan buah fikiran kepada sesama manusia. Oleh sebab itu bahasa terbagi 3 :
1. LisaN
2. Tulisan
3. Pertanda atau lambang.
Bahasa Indonesia hukum yang berfungsi sebagai alat atau sarana untuk menyampaikan
informasi. Oleh karena bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
bahasa Indonesia. Kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia hukum juga berlaku
dalam bahasa Indonesia hukum, hanya saja antara bahasa hukum dan bahasa Indonesia
mempunyai cirri-ciri yang tegas yang berfungsi sebagai pembeda yaitu yang mencakup
dengan konsep bahasa itu sendiri.
Dalam bahasa Indonesia sesuai konsepnya satu kata dapat mempunyai beberapa arti,
sedangkan dalam bahasa hukum sedapat mungkin menghindarkan seperti hal tersebut.
Karena didalam bahasa hukum terdapat suatu konsep atau prinsip mono smantik atau
kesatuan makna. Hal ini dimaksudkan supaya jangan timbul hal yang berbedayang
menyangkut dengan kaidah hukum.
Tanpa kemampuan berbahasa manusia tidak bias mengembangkan budaya, sebab tanpa
kemampuan berbahasa hilang pola kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari
generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Disamping itu pula tanpa kemampuan
berbahasa manusia tidak dapat melakukan berfikir secara sistematisdan teratur. Dengan
melihat kemampuan berfikir manusia itu maka fungsi bahasa dapat dibagi 2, yaitu:
1. Sebagai alat komunikasi antara manusia
a. Sebagai alat untukmenyampaikan pesan
b. Sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan sikap
c. Sebagai alat komunikasi untuk berfikir
2. Sebagai sarana untuk mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa
tersebut.
Ungkapan fikiran tidak dapat dilakukan tanpa bahasa dalam kaitannya dengan pemahaman
hukum, perlu bahasa hukum itu sendiri oleh karena bahasa hukum tersusun dari symbol-
simbol yang mempunyai arti khusus.
Keistimewaan bahasa hukum adalah: orang selalu tidak merasa puas terhadap makna yang
dikandung dalam istilah hukum sehingga orang selalu mencari terus menerus makna yang
paling tepat.
Oleh karena itu bahasa yang dipelajari yang dipakai dalam ilmu pengetahuan:
1. Lugas dan eksat unuk menghindari ketak samaan dan ketak samara
2. Objektif dan menekankan perasangka pribadi
3. Memberikan definisi yang cermat tentang sifat dan kategori yang diselidikinya
untuk menghindari kesimpang siuran
4. Tidak beremosi dan menghindari tafsiran yng beresensi.
5. Cenderung membakukan makna, kata-katanya, ungkapannya, gayanya,
paparannya berdasarkan konfersi.
6. Tidak dogmatis atau fanaticberkembang terus
7. Bercorak hemat, hanya data yang diperlukan dipakai
8. Bentuk makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil, lebih dimiliki dari pada kata
biasa.
Bahasa hukum adalah: bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban dan keadilan untuk mempertahankan kepentingan pribadi dalam masyarakat.
Bahasa hukum sebagian bagian dari bahasa Indonesia modern maka penggunaannya harus
tetap.
1. Tenang
2. Mono smantik atau kesatuan makna (jangan memberikan penafsiran berbeda-beda)
3. Harus memenuhi syarat-syarat SP3 bahasa Indonesia yaitu:
a. Sintaktik: ilmu tentang makna kata
b. Smantik: seluk beluk
c. Prahmatik. (abc, untuk menyampaikan suatu komunikasi kepada pendengar
Kegiatan berfikir secara hukum dengan menggunakan bahasa hukum merupakan upaya untuk
menemukan pengertian yang esensial dari hukum itu sendiri
Menurut purnadi Purwacaraka dan sarjoeno Soekanto dalam buku (bahder johan
Nasution) judul buku bahasa hukum th 2001 hal 37 menyebutkan ada beberapa macam arti
hukum yang diberikan masyarakat yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan: merupakan suatu ilmu pengetahuan yang tersusun
secara sistematis berdasarkan kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai suatu disiplin: merupakan suatu system tentang ajaran kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah: merupakan sebagai pola atau pedoman atau petunjuk yang
harus ditaati.
4. Hukum sebagai tata hukum: melihat bagaimana struktur dan proses perangkat kaidah-
kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu dalam bentuk
tertulis.
Dari uraian sebagaimana di atas terlihat jelas bahwa hukum memiliki kaitan erat dengan cara-
cara berfikir hukum. Oleh sebab itu bahasa hukum dapat dibagi 3 kelompok yaitu:
1. Bahsa hukum yang bersumber pada aturan-aturan yang dibuat oleh Negara artinya
lebih bersifat pengaturan hak dan kewajiban. Ex: aturan tentang hukum pentensir
( membicarakan tentang hukumannya) Contoh: UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak; UU No 3 tahun 1997 tentang peradilan anak. Yaitu anak yang
berusia 8-18 tahun atau yang belum menikah maka pertanggung jawabannya pidana.
Umur 12 tahun kebawa maka ada beberapa kemungkinan yaitu:
a. Kembalikan kepaada orang tuanya (dalam pengawasan lapas)
b. Diserahkan kepada departemen social untuk di didik
Hukuman anak adalah ½ dari hukuman orang dewasa:
a. Anak pidana dibina oleh Negara
b. Anak Negara dibina oleh Negara dengan biaya Negara
c. Anak sipil dibina oleh Negara tetapi biaya orang tuanya. UU No 12 tahun 1995
tentang lembaga kemasyarakatan
2. Bahasa hukum yang bersumber pada aturan-aturan hukum yang berlaku dimasyarakat.
Bahasa hukum seperti ini ditemui dalam hukum adat dan tidak bertentangan dengan
hukum Negara.Contoh: perkawinan, warisan
3. Bahasa hukum yang bersumber dari para ahli hukum, kelompok-kelompok yang
berprofesi hukum, Contoh: yurisprudensi, asas legalitas, exepsi.
Menurut Anton M.Moeliono, ada beberapa segi kesamaan antara bahasa dan hukum :
a. bahasa dan hukum tidak merupakan struktur yang monolistik;
b. bahasa dan hukum merupakan sistem lambing yang normatif, yang mengatur
perilaku sosial manusia;
c. pelanggaran terhadap aturan atau kaidah bahasa dapat dikenai sanksi sosial,
pelanggaran terhadap hukum dapat dikenai sanksi hukum;
d. lewat pengucapan penuturan performatif, orang dapat memberikan suatu perbuatan
dan dapat melaksanakannya. Di dalam bahasa hukum, tuturan performatif itu
menghasilkan suatu perbuatan hukum. Misalnya tuturan yang memuat verba
performatif, menghukum, memberi kuasa, menyatakan, dan melarang.
Selanjutnya Anton M.Moeliono dalam simposium bahasa dan hukum tahun 1974 di Medan
megemukakan ciri-ciri bahasa keilmuan termasuk bahasa hukum, adalah :
a. bahasa keilmuan adalah lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan
ketaksahan;
b. bahasa keilmuan adalah obyektif dan menekan prasangka pribadi;
c. bahasa keilmuan memeberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori
yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;
d. bahasa keilmuan tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;
e. bahasa keilmuan cenderung memebakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan
gaya paparannya berdasarkan konvensi;
f. gaya bahasa keilmuan tidak dokmatis dan fanatik;
g. gaya bahasa keilmuan bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
h. bentuk, makna, dan fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki
kata biasa.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa teori yang perlu dipahami
oleh perancang yakni teori jenjang norma. Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu
negara. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa
sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan
berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut
norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok. Nawiasky
mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :
1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2) Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3) Formell Gezetz (undang-undang formal);
4) Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum di setiap
negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma yang berbeda dalam setiap kelompoknya.
Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini harus dijadikan
bintang pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pertemuan Ke-Tiga Belas.
Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
A.Penganntar.
Secara teoritis, Pancasila merupakan falsafah negara (philosofische gronslag). Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Ada lima prinsip sebagai philosofische grondslag bagi Indonesia,
yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berbudaya.
Dari sudut sejarah, Pancasila sebagai dasar negara pertama-tama diusulkan oleh Ir.Soekarno
pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni
1945, yaitu pada waktu membahas Pancasila sebagai dasar negara. Sejak saat itu pula
Pancasila digunakan sebagai nama dari dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, meskipun untuk itu terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang berbeda.
Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan Negara
Indonesia harus sesuai dengan Pancasila. Secara historis, Pancasila diambil dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, sehingga mempunya fungsi dan peranan yang sangat luas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejarah membuktikan pada 1 Oktober 1965, persatuan dan kesatuan segenap kekuatan yang
setia kepada Pancasila mampu mematahkan pemberontakan G30S/PKI yang bertujuan
mengubah Pancasila dan meninggalkan UUD 1945. Peristiwa tersebut membuktikan usaha
mengganti Pancasila dengan ideologi lain akan mendapat perlawanan rakyat Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal, sehingga harus diinternalisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan hukum. Dalam kaitannya dengan
pembangunan, hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan,
sarana pembangunan, penegak keadilan dan pendidikan masyarakat.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari pembangunan hukum yang
diarahkan untuk mencapai tujuan negara harus berpijak kepada nilai-nilai Pancasila. Dibawah
ini akan membahas tentang negara hukum Pancasila dan nilai-nilai Pancasilan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan
Negara Hukum Pancasila
Negara hukum Pancasila mengandung lima asas, yaitu Pertama, asas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Asas ini tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, yaitu “…
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3] Berdasarkan
pernyataan ini, Indonesia merupakan negara yang ber-Tuhan, agama dijalankan dengan cara
yang berkeadaban, hubungan antar umat beragama, kegiatan beribadahnya dan toleransi
harus berdasarkan pada Ketuhanan. Kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan
pada tiga pilar, yaitu freedom (kebebasan), rule of law(aturan hukum)
dan tolerance (toleransi)
Kedua, asas perikemanusiaan universal. Asas ini mengakui danmemperlakukan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku,
keturunan, agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dan lainnya. Dalam Pembukaan UUD
1945 merupakan perwujudan dari asas perikemanusiaan dalam hukum positif Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk
menampung segala yang tidak seimbang dalam kehidupan sosial.
Ketiga, asas kebangsaan atau persatuan dalam kebhinekaan, yaitu setiap warga negara
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan, bahwa
bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri dan berdaulat, sehingga tidak
membolehkan adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam hal mengenai urusan
dalam negeri.
Keempat, asas demokrasi permusyawaratan atau kedaulatan rakyat. Penjelmaan dari asas ini
dapat dilihat pada persetujuan dari rakyat atas pemerintah itu dapat ditunjukkan bahwa
presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah, tetapi terlebih dahulu adanya
undang-undang artinya tanpa persetujuan rakyat Presiden tidak dapat menetapkan suatu
peraturan pemerintah.
Kelima, asas keadilan sosial. Asas ini antara lain diwujudkan dalam pemberian jaminan
sosial dan lembaga negara yang bergerak di bidang sosial yang menyelenggarakan masalah-
masalah sosial dalam negara.
Pemikiran negara hukum Indonesia, pada satu sisi berkiblat ke barat dan pada sisi lain
mengacu nilai-nilai kultural Indonesia asli. Pemikiran negara hukum inilah yang kemudian
mendorong pengembangan model negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum
berdasarkan Pancasila. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan
negara hukum. Pancasila merupakan falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka. Pancasila
menjadi sumber pencerahan, sumber inspirasi dan sebagai dasar menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
Sesuai dengan pendapat Daniel S Lev, maka negara hukum Pancasila menjadi paham negara
terbatas dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan
penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara
hukum. Konsep negara hukum Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara hukum formil
dan materiil, karena selain menggunakan undang-undang juga menekankan adanya
pemenuhan nilai-nilai hukum.
Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila menjadi
dasar dari setiap produk hukum. Konsep Negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi
sarana dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum
nasional dan tujuan Negara dimaksudkan sebagai pedoman dan dasar untuk
menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum Pancasila memiliki
beberapa nilai, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, hubungan
fungsional yang proporsional antarakekuasaan-kekuasaannegara, prinsip penyelesaian
sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir jika musyawarah
gagal. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ditransformasikan dalam cita
hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep hukum nasional
Indonesia dalam rangka mewujudkan nilai keadilan, melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Negara hukum Pancasila mengandung sifat kolektif, personal dan religius.
Implementasi dari sifat tersebut adalah keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara
merupakan nilai kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga dan hukum negara harus
disesuaikan apabila mengganggu keselarasan kehidupan bersama.
Indonesia sebagai negara hukum dalam perspektif Pancasila mensyaratkan kesediaan
segenap komponen bangsa untuk memupuk budaya musyawarah. Lintasan sejarah kehidupan
manusia telah memberikan bukti -bukti empiris bahwa elalui musyawarah, suatu bangsa
dapat meraih apapun yang dipandang terbaik bagi bangsanya.
Pada Sila keempat menyatakan bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pernyataan ini secara eksplisit telah
mengamatkan kepada bangsa Indonesia agar mengedepankan musyawarah. Dalam
melaksanakan amanat tersebut, lembaga permusyawaratan dihidupkan pada semua
jenjang/strata sosial dan negara. Lembaga permusyawaratan diberi wewenang untuk
merumuskan hukum yang terbaik bagi komunitasnya dan penerapannya dalam
bermusyawarah harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan etika yang tercakup
dalam Pancasila.
Konsep negara hukum Pancasila tidak bisa lepas dari konseprechsstaat. Hal ini nampak dari
pemikiran Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945. Negara hukum dipahami sebagai
konsep Barat, sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep modern yang
tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Dalam pandangan Soepomo, ada dua
cara pandang dalam melihat hubungan masyarakat, yaitu; pertama, cara pandang
individualistik atau asas perseorangan, di mana perseorangan lebih diutamakan dibandingkan
dengan organisasi atau masyarakat. Pola pemikiran ini berkembang di Eropa Barat dan
Amerika Serikat. Kedua, cara pandang integralistik atau asas kekeluargaan, dimana
masyarakat diutamakan dibandingkan dengan perseorangan. Dari kedua konsep ini, Indonesia
cenderung lebih sesuai dengan yang kedua, yaitu konsep integralistik.
Selaras dengan pandangan Soepomo, Muhammad Yamin menyatakan, ”Republik Indonesia
adalah suatu negara hukum tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau
negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula
negara kekuasaan (machsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan
sewenang-wenang”.
Pandangan para pendiri negara tersebut, menunjukkan ide rechtsstaatmempunyai pengaruh
yang cukup besar dan di sisi lain ada kecenderungan nasional untuk merumuskan suatu
konsep negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas tersebut terlontar dalam gagasan yang
disebut dengan negara hukum Pancasila atau negara hukum berdasarkan Pancasila.
Konsep negara hukum Pancasila memiliki karakter tersendiri yang pada satu sisi ada
kesamaan dan ada perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat dan rule of
law. Negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Negara
hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
yang mengedepankan asas kerukunan.
Menurut Sunaryati Hartono, agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa
keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan
dalam artinya yang materiil. Suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang.
Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli
hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.
Negara hukum Pancasila di samping memiliki elemen-elemen yang sama dengan
elemen negara hukum dalam rechtstaat mauapun rule of law. Pada sisi lain, negara hukum
Pancasila memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia
berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak adanya pemisahan antara negara dan
agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip
keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan
negara kesatuan Indonesia.
Nilai-Nilai Pancasila Dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia sebagai negara hukum, berarti segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasar atas
hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan
hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangka mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembangunan sistem hukum nasional diharapkan lahir produk hukum yang
demokratis, yaitu tercapainya keadilan, ketertiban, keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat
memberikan perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan dan ketenangan.
Dalam pembentukan sistem hukum nasional, termasuk peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan nilai negara yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai tersebut
merupakan harapan-harapan, keinginan dan keharusan. Nilai berarti sesuatu yang ideal,
merupakan sesuatu yang dicita-citakan, diharapkan dan menjadi keharusan. Notonagoro,
membagi nilai menjadi tiga macam, yaitupertama, nilai materiil. Segala sesuatu yang berguna
bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material manusia. Kedua, nilai vital yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas. Ketiga,
nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian yang mengakui
adanya nilai material dan nilai vital.
Nilai yang terkandung dalam Pancasila bersifat universal, yang diperjuangkan oleh hampir
semua bangsa-bangsa di dunia. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila memiliki
daya tahan dan kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Nilai-nilai yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan wujud cita hukum Indonesia, yaitu
Pancasila.
1. Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah
satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan
beragama (freedom of religion). Mochtar Kusumaatdja berpendapat, asas ketuhanan
mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan
dengan agama atau menolak atau bermusuhan dengan agama. Dalam proses penyusuan
suatu peraturan perundang-undangan, nilai ketuhanan merupakan pertimbangan yang
sifatnya permanem dan mutlak.
Dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara,
karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila. Kebebasan beragama dalam arti
positif, ateisme tidak dibenarkan. Komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan
kerukunan. Terdapat dua nilai mendasar, yaitu pertama, kebebasan beragama harus
mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha
Esa tidak dibenarkan; kedua, ada hubungan yang erat antara agama dan negara.
Negara hukum Pancasila berpandangan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya
atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Para pendiri negara menyadari bahwa
negara Indoneia tidak terbentuk karena perjanjian melainkan atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pertama dari dasar negara
Indonesia. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
menyatakan:
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad
SAW orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.
Pidato Soekarno tersebut merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para
anggota BPUPKI dalam pemandangan umum mengenai dasar negara. Para anggota
BPUPKI berpendapat pentingnya dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara. Pendapat
ini menunjukkan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat
yang menganut hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan.
Pada mulanya, sebagian para founding fathers menghendaki agar agama dipisahkan
dengan negara. Pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati mengenai Mukaddimah UUD atau
yang disebut Piagam Jakarta. Kesepakatan tersebut menyatakan dasar negara yang
pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para
pemeluk-pemeluknya”.
Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus
1945, tidak mencantumkan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”.
Berdasarkan nilai Ketuhanan yang Maha Esa, maka negara hukum Pancasila melarang
kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan anti agama, menghina ajaran agama atau
kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Elemen inilah yang menunjukkan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok
antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Dalam pelaksanaan pemerintahan
negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan
dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik
atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau hukum
yang tidak konstitusional.
Nilai Ketuhanan yang maha Esa menunjukkan nilai bahwa negara mengakui dan
melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara mendorong warganya untuk
membangun negara dan bangsa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Sila pertama
dari Pancasila, secara jelas ditindaklanjuti Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini menjadi
dasar penghormatan dasar untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai adanya pengakuan adanya
kekuasaan di luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa
Indonesia, suatu nikmat yang luar biasa besarnya. Selain itu ada pengakuan bahwa
ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan
bangsa Indonesia dan adanya hubungan antara Tuhan manusia-bumi Indonesia itu
membawa konsekuensi pada pertanggung jawaban dalam pengaturan maupun
pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia,
melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan nilai tersebut, dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap
tenggang rasa dan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan, maka Indonesia menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh
satu bangsa terhadap bangsa lain, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh
manusia terhadap manusia lain, oleh penguasa terhadap rakyatnya.
Kemanusian yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
dan mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak
asasi manusia. Nilai ini didasarkan pada kesadaran bahwa manusia adalah sederajat, maka
bangsa Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung pemahaman hukum bahwa
setiap warga Indonesia lebih mengutamakan prinsip manusia yang beradab dalam
lingkup nilai keadilan. Kemanusiaan yang beradab mengandung bahwa pembentukan
hukum harus menunjukkan karakter dan ciri-ciri hukum dari manusia yang beradab.
Hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan setiap putusan hukum
harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan terhadap manusia dalam
Pancasila berarti menempatkan sekaligus memperlakukan setiap manusia Indonesia
secara adil dan beradab.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab membawa implikasi bahwa negara
memperlakukan setiap warga negara atas dasar pengakuan dan harkat martabat
manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir kepada martabatnya.
3. Nilai Persatuan
Sila Persatuan Indonesia mengandung nilai bahwa Indonesia menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi
dan golongan. Persatuan Indonesia terkait dengan paham kebangsaan untuk mewujudkan
tujuan nasional. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan
memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam pandangan Mochtar
Kusumaatmadja, nilai kesatuan dan persatuan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus
merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, semangat persatuan yang bersumber pada Pancasila
menentang praktik-praktik yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, baik
karena alasan perbedaan suku, asal-usul maupun agama. Asas kesatuan dan persatuan selaras
dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman. Semangat persatuan
Indonesia menentang segala bentuk separatisme dan memberikan tempat pada kemajemukan.
Sila Persatuan Indonesia, mengandung pemahaman hukum bahwa setiap peraturan
hukum mulai undang-undang hingga putusan pengadilan harus mengacu pada terciptanya
sebuah persatuan warga bangsa. Dalam tataran empiris munculnya nilai baru berupa
demokratisasi dalam bernegara melalui pemilihan langsung harus selaras dengan sila
Persatuan Indonesia. Otonomi daerah yang tampaknya lebih bernuansa negara federal harus
tetap dalam bingkai negara kesatuan. Semangat untuk membelah wilayah melalui otonomi
daerah tidak boleh mengalahkan semangat persatuan dan kesatuan wilayah.
Persatuan Indonesia merupakan implementasi nasionalisme, bukanchauvinisme daan
bukan kebangsaan yang menyendiri. Nasionalisme menuju pada kekeluargaan bangsa-
bangsa, menuju persatuan dunia, menuju persaudaraan dunia. Nasionalisme dengan
internasionalisme menjadi satu terminologi, yaitu sosio nasionalisme
Hukum yang merupakan wadah dan sekaligus merupakan suatu isi peristiwa penyusunan dari
kemerdekaan kebangsaan Indonesia atau kedaulatannya itu, menjadi dasar bagi kehidupan
kenegaraan bangsa dan Negara Indonesia. dalam rechtsstaat republik Indonesia, hukum
bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga tertinggi dan /atau lembaga tinggi Negara saja,
melainkan lebih dari itu, yaitu yang mendasari dan membimbing tindakan-tindakan lembaga
tinggi Negara tersebut. Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek
kehidupan dan kegiatan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan rakyat Indonesia,
dalam berbagai bidang kehidupan (Attamimi, 1990: 66). Dalam filsafat hukum pengertian
Negara yang disusun dalam suatu tertib hukum, diartikan bahwa suatu peraturan perundang-
undang itu disusun berdasarkan suatu sistem baik sumber formal maupun material hukum.
Keseluruhan sistem sebagaimana dijelaskan diatas adalah merupakan suatu keharusan
sistemik bagi derivasi peraturan perundang-undang lainya termasuk aspek pelaksanaannya.
Penyusunan dan penjabaran norma-norma hukum positif dalam pelaksaan dan
penyelenggaran Negara yang berdasarkan staatsfundamenalnorm adalah merupakan suatu
(das sollen). Namun dalam kenyataannya, setelah reformasi bangsa Indonesia melakukan
reformasi dalam berbagai bidang termasuk bidang hukum, realitasnya (das sein) tidaklah
senantiasa mendasarkan pada sumber nilai dan fakta melainkan berdasarkan kesepakatan
politik dan berdasarkan kepentingan kelompok. Selain itu dasar penyusunan peraturan
perundang-undangan ditentukan oleh faktor dari luar sistem hukum Indonesia, dalam arti
suatu kepentingan transnasional bahkan global. Hal ini nampaknya sejalan dengan analisis
Berger, bahwa di era global kapitalisme yang berakar pada liberalisme, akan mengubah
masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi
sebagian besar bangsa di dunia dan secara tidak langsung juga akan menentukan juga nasib
sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. (Berger, 1988; Pratedja 1996).
Oleh karena itu Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia dan kemudian dalam
kehidupan kenegaraan maka Pancasila merupakan core values, dasar filosofis, maupun
sumber nilai bagi peraturan perundang-undangan Negara Indonesia. Hukum bagi Pancasila
bukan hanya bersifat positif, empiris, formal dan logis belaka melainkan juga mendasarkan
pada nilai-nilai dan pandangan hidup yang berkembang pada masyarakat Indonesia .
berdasarkan realitas tersebut maka hukum pada hakikatnya bukan merupakan suatu realitas
empiris yang terlepas dari hakikat manusia sebagai subjek dan sekaligus objek hukum.
Munculnya peraturan hukum karena tuntunan hidup masyarakat yang semakin kompleks,
sehingga hukum pada hakikatnya dari, oleh, untuk masyarakat. Oleh karena itu menurut
filsafat Pancasila dengan sila keduanya adalah ‘kemanusian yang adil dan beradab’ ,
mengandung suatu konsekuensi bahwa hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya
sehingga antara hukum dan realitas masyarakat tidak dapat dipisahkan.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum,
penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai nilai Pancasila. Namun
dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm berarti menempatkannya di
atas Undang Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian
konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Dengan melacak pada norma dasar dan konstitusi
menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat Hans Nawiasky, serta melihat hubungan
antara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.Memang hingga kini masih terjadi polemik
di kalangan ahli Proklamasi Kemerdekaan, sebenarnya yang dapat disebut sebagai sumber
dari segala sumber hukum.
Polemik ini mencuat ketika Moh.Yamin pada tahun 1959 menggunkan istilah sumber dari
segala sumber hukum tidak untuk Pancasila seperti yang lazim digunakan saat ini, melainkan
untuk Proklamasi Kemerdekaan 17 Agistus 1945 yang disebut dengan “ maha-sumber dari
segala sumber hukum “, the source of the source” ( Denny,2003 dalam Kurnisar ).
Sebagaimana telah ditemukan oleh pembentukan Negara bahwa tujuan utama dirumuskannya
Pancasila adalah sebagai dasar Negara republic Indonesia. Dengan terbentuknya UU No.10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 2 UU No.10 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “ Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum Negara “, dengan tegas menyebutkan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum sebagai berikut : “ Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang
menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa
dan Negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”
Dardji Darmodiharjo menyebutkan, bahwa Pancasila yang sah dan benar adalah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis konstitusional dan secara objektif ilmiah. Secara
yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar
mengatur menyeleggarakan pemerintah Negara. Secara onjektif ilmiah karena Pancasila
adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thinking system, sehingga uraiannya
harus logis dan dapat diterima akal sehat ( Natabaya;2006 ) .
Berkaitan dengan masalah diatas tentunya bahwa Pancasila secara historis memiliki suatu
dasar hukum dimana Pancasila sebagai ladasan atau arah dalam pembuatan hukum di
Indonesia. Secara yuridis Pancasila sudah jelas menjadi hukum dari segala sumber hukum di
Indonesia. Meskipun Pancasila dalam perjalannanya juga mengalami pasang surut, tetapi
Pancasila sampai saat sekarang masih menjadi landasan dalam setiap pembuatan peraturan.
Hal ini didalam setiap undang undang selalu mencantumkan nilai- nilai Pancasila.
Pembangunan hukum dimulai dari pondasi dan jiwa paradigma bangsa Indonesia. Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum yang tertegas dalam UU No.10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan terutama pasal 2 yang menyatakan
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum atau tertib hukum bagi kehidupan
hukum Indonesia, kama hal tersebut dapat diartikan bahwa “ Penempatan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar
dan idiologi Negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan Negara sehingga tiap materi
muatan peraturan perundang undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber hukum Negara merupakan grudnorm dalam system
hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi paradigma norma –norma
dalam pasal pasal UUD 1945. Cita hukum dan falsafah hidup serta moralitas bangsa yang
menjadi sumber segala sumber hukum Negara akan menjadi satu fungsi krisisi dalam menilai
kebijaksanaan hukum( legal policy) atau dapat dipergunakan sebagai pardigma yang menjadi
landasan perbuatan kebijaksanaan ( policy making) dibidang hukum dan perundang undangan
maupun bidang social, ekonomi, dan politik
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilaksanakan secara terpadu, terencana dan berkelanjutan dalam
sistem hukum nasional untuk menjamin perlindungan hak kewajiban setiap warga negara.
Pancasila sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara harus dapat diinternalisasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Pancasila merupakan
landasan filosofis yaitu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum.
Negara hukum berkembang sangat dinamis, mengikuti perkembangan politik, ekonomi dan
sosial Perkembangan negara hukum Indonesia mengarah pada penguatan unsur negara
hukum. Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang adalah negara
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut antara lain, ketuhanan
yang maha Esa, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,
prinsip musyawarah mufakat dan peradilan menjadi sarana mewujudkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang harus lebih bersifat
substansial, yaitu menjamin terwujudnya negara berdasar atas hukum dan perlindungan hak
asasi manusia, menjamin terwujudnya kehidupan kenegaraan yang demokratis, mempercepat
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjamin terwujudnya
pemerintahan yang layak. Dalam konteks pengembangan negara hukum yang demokratis
perlu dilakukan penataan kelembagaan negara agar mampu mewujudkan tujuan
bernegara,berdemokrasi dan hukum
Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka
Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian
dijelaskan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar
Negara tersebut menurut Kaelan ( 2013: 472 ) dapat diperinci sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai dasar Negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum
( sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas
kerokhanoian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan
lebih lanjut dalsam Empat Pokok Pikiran.
2. Meliputi suasana kebatinan ( Geistlicbenbintergrund) dari Udang Undang Dasar 1945.
3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara ( baik hukum dasar tertulis
maupun tidak tertulis )
4. Mengandung norma yang mengharuskan Undang Undang Dasar mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain lain penyelenggara Negara ( termasuk para
penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya
sebagai berikut “ …..Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab “.
5. Merupakan sumber semangat bagi Undang Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara
Negara, para pelaksana pemerintahan ( juga para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksanaan
dan penyelenggaraan Negara karena masyarakat dan negara Indonesia senantiasa tumbuh
dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Dengan semangat yang bersumber pada asas kerokhanian Negara sebagai pandangan
hidup bangsa, maka dinamika masyarakat dan Negara akan tetap diliputi dan diarahkan
asas kerokhanian Negara.
Dalam suatu pelaksanaan kenegaraan suatu piranti yang harus dipenuhi demi tercapainya hak
dan kewajiban warga Negara, maupun Negara adalah perangkat hukum sebagai hasil derivasi
dan dasar filsafat Negara Pancasila. Dalam hubungan ini agar hukum dapat berfungsi dengan
baik sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka hukum seharusnya senantiasa
mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika aspirasi masyarakat. Oleh karena
itu hukum harus senantiasa diperbaharui , agar hukum bersifat actual sesuai dengan keadaan
serta kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan sumber nilai bagi
pembaharuan hukum yaitu sebagai suatu cita hukum, yang menurut Notonagoro
berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam Negara Indonesia (Notonaggoro dalam
Kaelan 2013:466). Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak
derivasi ( sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia termasuk Undang Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945.
Sebagai philosofische grondslag Pancasila pada hakikatnya sebagai sumber tertib hukum
Indonesia. Dalam kedudukannya seperti ini pancasila merupakan pangkal otak derivasi atau
sumber penjabaran dalam proses penyusunan peraturan hukum di Indonesia. Dalam filsafat
hukum suatu sumber hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu (1) sumber formal hukum
yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat
terhadap komunitasnya, dan (2) sumber material hukum, yaitu sumber hukum yang
menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Sumber material hukum ini dapat berupa
nilai-nilai misalnya nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan, nilai keadilan, dan dapat pula berupa
fakta yaitu realitas perkembangan masyarakat, dinamika aspirasi masyarakat, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya (Darmodiharjo, 1996: 206)
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum
kodrat, dan nilai religius merupakan merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum
positif Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dalam susunan yang
hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi diantara berbagai
peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horisontal. Hal ini mengandung suatu
konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan
lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan pancasila sebagai sumbernya,
maka hal ini berarti terjadi ketidak sesuaian maka hal ini berarti terjadi suatu
inkonstitusionalitas (unconstitusionality) dan ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya
maka norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 50)
Menurut Prasetyo (2013: 70) Pancasila merupakan norma tertinggi yang
kedudukannya lebih tinggi dari Konstitusi atau Undang Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan
teori dari Hans Nawiasky mengenai sususnan norma hukum. Susunan tersebut adalah :
1. norma fundamental Negara ( staatsfundamentalnorm),yaitu Pancasila;
2. Aturan dasar Negara ( staatsgrudgesetz) yaitu Undang Undang Dasar 1945;
3. Undang Undanag Formal ( Formal Gezetz) yaitu UU dan Perpu;
4. Peraturan pelaksana atau peraturan otonom ( verordnung enautonome satzung) yaitu :
mulai dari peraturan pemerintah sampai peraturan kepala bupati/walikota.
Dari pendapat diatas tentunya bahwa Pancasila merupakan sumber hukum tertinggi di
Indonesia sehingga segala aturan yang dibuat tidak boleh menyimpang dengan Pancasila.
Segala aturan yang dibuat harus mengandung cita-cita mulia Pancasila yakni keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara dalam proses revitalisasi nilai-nilai pancasila dalam berbagai bidang proses
legislasi hukum menjadi sangat penting, karena seluruh kebijakan dirumuskan melalui suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam hubungannya dengan kebijakan ekonomi misalnya
untuk melakukan revitalisasi tidak mungkin dapat dilaksanakan manakala tidak melakukan
revitalisasi nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Hal ini berdasarkan asumsi ilmiah bahwa suatu produk hukum itu bersumber pada realitas
objektif masyarakat (Indonesia), oleh karena itu produk hukum tidak dapat dipisahkan
dengan eksistensi bangsa Indonesia dengan filsafat hidunya Pancasila.
Bagi bangsa Indonesia dasar nilai welfare state terkandung dalam makna sila kelima
Pancasila ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. oleh karena itu ‘keadilan’
merupakan suatu corevaluesuntuk melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam bidang
ekonomi , sosial budaya dan hankam. Keadilan adalah merupakan prasarat bagi terwujudnyua
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Jikalau kita meninggalkan core values Negara hukum
material, maka esensi rule of law ditafsirkan menempatkan penafsiran hukum pada
kedudukan di bawah pembuat hukum. Artinya penafsiran hukum tidak boleh melampaui
batas batas yang dibuat oleh legistasi, sebagaimana pandangan pahamBegrriffsjuriprudenz,
dogmatic hukum, normative hukum, serta legal positivism, yang mengganggap tek hukum itu
memiliki otonomi yang mutlak
Pertemuan Ke-empat belas :
Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pengantar.
Negara Kesatuan Republik Indonesia di kalangan umat islam dikenal di seluruh dunia, karena
islam di Indonesia hamper semua masarakatanya menganut agama islam.islam juga kadang di
sebut juga dengan fiqih karena di dalam islam fiqih mengandung ayat atau isi yang
terkandung dalam aturan atau tatacara dalam islam dari segi penampilan ,aupum sikap dan
rukun rukun ang ada di islam.ada beberapa penerapan dalam mengartikan syariat islam yang
menimbulkan masalah dalam berbagai kehidupan di antaranya kehidupan pribadi,kehidupan
keluarga,kehidupan bernegara dan bermasyarakat.ada beberapa konsep hukum islam di
Indonesia di antaranya:
1.masi kuatnya anggapan bahwa taqlid(mengikuti pendapat ulama terdahulu)
2.hukum di Indonesia dalam konteks social politik mengandung polemic
3.persepsi sebagian masyarakat mengandung faham fiqih
Ada 4 konsep dalam Reformasi hukum di Indonesia di antaranya sebagai berikut:
1. Konsep syariat - Konsep syariat ialah konsep yang mengartikan bahwa hukun islam di
Indonesia menganut arti jalan yang jelas dan benar karena syariat sendiri berarti
tempat atau aliran islam yang benar.jadi menurut konsep ini islam lebih
menggambarkan norma norma kebenaran.
2. Konsep Fiqih - Konsep ini mengartikah bahwa fiqih bermakna mengetahui sesuatu
dan memahaminya secara baik dan mendalam.karena fiqih dalam islam berarti
sesuatu hal yang menjadikan islam dalam hukun Indonesia menjadi panutan yyang
harus di taati dan harus di lakukan karena islam fiqih menganut sebuah aturan yang
mendasar.
3. Konsep kanun - Ialah konsep yang di dalam nya trdapat hukum yang rasio atau hasil
pemikiran manusia dan kebiasaan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.di dalam
nya terdapat peraturan undang undang.kanun sendiri berarti produk manusia yang di
buatnya berdasarkan ikut campur tangan manusia.kanun di identik dengan undang
undang di Negara Negara islam karena undang undang juga memiliki hak yang
berwenang dalam hukum islam.
4. Konsep hukum islam - Dalam kitab `fiqih dan para pakar hukum islam tidak menulis
tentang hukum islam karena di dalam hukum islam di kenal dengan hukum
syariat.hukum islam di rangkai dari kata hukum dan islam sendiri terpisah dari
rangkaian kata hukum.ada beberapa ahli mengatakan bahwa hukum islam itu
merupakan pedoman moral,bukan dari hukum modern.
Daftar Pustaka.
.
A.Hamid Attamimi., Peranan Keputiusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Jakarta:
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.
--------------. Trajutisna Mustafa Ali. Hasbullah Muhammad Saad, ed, Sumber Daya Manusia
Untuk Indonesia Masa Depan, Jakarta : Mizan, 1997.
-------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta :PT.Bhuana Ilmu Populer,
2007)
-------------, Peradilan Etika dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru Tentang Rule of Law and
Rule of Ethiek, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2015)
--------------, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
--------------dan M..Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (karta: Konstitusi Press,
2006)
Pantja Astawa dan Suprin Na’a., Dinamika Hukum dan Peraturan Perundang-unddangan di
Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Bandung: Alumni. 2008
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto., Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni.
1978.
Poerwadarminta. W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976
Anton M.Moeliono dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Moh Mahfud MD.2008, Demokrasi dan Konsitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, cetakan ke dua.
Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).
Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1981, hal 1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000, hal. 93.
Amiroeddin Syarief, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknis Membuatnya, Jakarta:
Penerbit Bina Aksara , 1987, hal 4-5 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-
undangan, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hal. 21. HKUM4403/MODUL 1 1.5 Ketetapan
MPR-RI No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indoneisa, Bandung: PT.
Mandar Maju, 1998, hal. 17.
12 Bagir Manan, “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada HKUM4403/MODUL
1 1.7.
Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-
20 Oktober 1994), hal. 13. 13 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
Jakarta: Ind. Hill, co. 1992, hal 8.
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1990, hal. 61.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1982, hal. 990. 19 Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico, 1987, hal. 65. 20 Ibid. 1.10
Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Dewan Perwakilan Rakyat RI.Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Tata Cara
Pembentukan Undang-undang
Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).hlm.16