Anda di halaman 1dari 119

BAHAN PEMBELAJARAN

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
(SEMESTER GASAL 2022/2023)

UNTUK KALANGAN SENDIRI

D
I
S
U
S
U
N

Oleh
A.KAHAR MARANJAYA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
BAHAN AJAR ILMU PERUNDANG UNDANGAN
DAFTAR ISI

1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Teori perundang-undangan .................000


2. Jenis, Fungsi dan Kedudukan Norma di Dalam Masyarakat dan
Negara ..................................................................................................................... 000
3. Jenis,Hierarki,Materi Muatan, dan Badan/Pejabat Pembentuk Perundang-
Undangan ............................................................................................ 000
4. Asas-Asas Pembentukan dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan ....000
5. Program Legislasi, Perencanaan dan Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan...................... 000
6. Prosedur dan Tatacara Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
7. Peraturan Perundang-undangan Lokal ......................................000
8. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undanngan.
....000
9. Metode Penafsiran Peraturan PerUndang-Undangan ..............000
10. Naskah Akademik Peraturan PerUndang-Undangan ..............000
11. Bahasa Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan............ 000
12. Kerangka Peraturan Perundang-Undangan
13. Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 000
14. Islam dan peraturan perundang-undangan. ........................... 000

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 113

Pertemuan Pertama:
Sistem Hukum,Pengertian, Ruang Lingkup dan
Teori Perundang-undangan

A.Pengantar.
Di dunia terdapat beberapa sistem hukum. Pada masing-masing negara mengembangkan
variasinya sendiri dari masing-masing sistem atau memadukan banyak aspek lainnya ke
dalam sistemnya. Oleh karena itu ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang
dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa
Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, dan sistem hukum agama.
Sistem hukum dunia adalah kesatuan/keseluruhan kaidah hukum yang berlaku di negara-
negara/ daerah di dunia.
Sistem hukum dunia pada masa kini terdiri dari:
1. Hukum sipil/Eropah Kontinental.
2. Sistem hukum Anglo Saxon atau dikenal juga dengan Common Law.
3. Sistem Hukum agama(Islam)
4. Sistem Hukum adat
5. Hukum negara blok timur (Sosialis)

B. Pengertian Sistem Hukum


Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.
Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu kerjasama antara bagian-bagian atau
unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu. Dalam sistem hukum yang baik
tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian
yang ada. Jika pertentangan tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga
tidak berlarut-larut. Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang
masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan sub-sistem. Kesemuanya itu
bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Contoh : Dalam sistem hukum positif
Indonesia terdapat sub-sistem hukum perdata, sub-sistem hukum pidana, sub-sistem
hukum tata negara yang satu sama lain saling berbeda. Sistem hukum di dunia ini ada
bermacam-macam yang satu dengan lainnya saling berbeda.
C. Macam-Macam Sistem Hukum Dunia
C.1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara Eropa daratan yang sering disebut
sebagai “Civil Law”. Sebenarnya semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di
Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI Sebelum
Masehi. Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaidah
hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris
Civilis”. Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus
Juris Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara
Eropa Daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Italia, juga Amerika Latin dan
Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum
memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang
berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau
kompilasi tertentu”. Prinsip dasar itu dianut mengingat bahwa nilai utama yang
merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”. Dan kepastian hukum hanya
dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia di dalam pergaulan hidup
diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan
berdasarkan sistem hukum yang dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya
berfungsi “menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya”. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para
pihak yang berperkara saja (doktrins Res Ajudicata).
Selain itu juga diakui “peraturan-peraturan” yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif
berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang (peraturan-peraturan
hukum administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai
hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Berdasarkan sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum Eropa Kontinental
penggolongannya ada dua yaitu penggolongan ke dalam bidang “hukum publik” dan
hukum privat”. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur
kekuasaan dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara
masyarakat dan negara. Termasuk dalam hukum publik ini adalah :
1) Hukum Tata Negara
2) Hukum Administrasi Negara
3) Hukum Pidana
Hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan
antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Termasuk
dalam hukum privat ialah :
1) Hukum Sipil
2) Hukum Dagang
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang, maka batas-batas yang
jelas antara hukum publik dan hukum privat itu semakin sulit ditentukan, karena :
a. Terjadinya proses sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat dari makin
banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat yang walaupun pada dasarnya
memperlihatkan adanya unsur “kepentingan umum/masyarakat” yang perlu
dilindungi dan dijamin. Misalnya bidang Hukum Perburuhan dan Hukum
Agraria.
b. Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang kehidupan yang
sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya bidang
perdagangan, bidang perjanjian dan sebagainya.
Hukum sipil (civil law) atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal
System adalah sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada
sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis.
Sistem hukum ini berkembang di daratan Eropa sehingga dikenal juga dengan sistem
Eropa Kontinental. Kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada
daerah-daerah jajahannya.
Secara umum sistem hukum Eropa Kontinental dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum publik: Dimana negara dianggap sebagai subyek/ objek hukum.
2. Hukum privat: Dimana negara bertindak sebagai wasit dalam persidangan/
persengketaan.

C.2. Sistem Hukum Anglo Saxis (Anglo Amerika)


Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Anglo
Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai
sistem “Common Law” dan sistem “Unwritten Law” (tidak tertulis). Walaupun
disebut sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem
hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statutes).
Sistem hukum Anglo Amerika ini dalam perkembangannya melandasi pula hukum
positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa negara Asia
yang termasuk negara-negara persemakmuran Inggris dan Australia selain di
Amerika Serikat sendiri.
Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika ialah “putusan-putusan
hakim/pengadilan” (judicial decision). Melalui putusan-putusan hakim yang
mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum. Di samping putusan hakim,
maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan
peraturan administrasi negara diakui, walaupun banyak landasan bagi terbentuknya
kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusan-putusan di dalam
pengadilan. Sumber-sumber hakim itu (putusan hakim, kebiasaan dan peraturan
administrasi negara) tidak tersusun secara sistematik dalam hirarki tertentu seperti
pada sistem hukum Eropa Kontinental. Selain itu juga di dalam sistem hukum Anglo
Amerika adanya “peranan” yang diberikan kepada seorang hakim berbeda dengan
sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang
bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan
peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat.
Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum
yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi
pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Sistem hukum Anglo Amerika menganut suatu doktrin yang dikenal dengan nama
“the doctrine of precedent / state decisis “ yang pada hakikatnya menyatakan bahwa
dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya
kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara
sejenis sebelumnya (preseden). Dalam hal tidak lain ada putusan hakim lain dari
perkara atau putusan hakim yang telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru
berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense) yang
dimiliknya. Melihat kenyataan bahwa banyak prinsip-prinsip hukum yang timbul
dan berkembang dari putusan-putusan hakim untuk suatu perkara atau kasus yang
dihadapi, maka sistem hukum Anglo Amerika secara berlebihan sering disebut juga
sebagai Case Law.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula
pembagian “Hukum publik dan hukum privat”. Pengertian yang diberikan kepada
hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum
Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertian yang diberikan oleh
sistem hukum Anglo Amerika agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh
sistem hukum Eropa Kontinental. Kalau di dalam sistem hukum Eropa Kontinental “
hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum
dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu”, maka bagi sistem
Hukum Anglo Amerika pengertian “hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-
kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of
persons), hukum perjanjian (laws of contract) dan hukum tentang perbuatan
melawan hukum (laws of torts) yang tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis,
putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.
Sistem hukum Anglo-Saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada
yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sumber hukum sistem hukum Anglo Amerika adalah “putusan-putusan
hakim/pengadilan”(Judical decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang
mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umm. Di samping putusan hakim,
maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan
peraturan administrasi negara diakui, walaupun banyak landasan bagi
terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusan-putusan di
dalam pengadilan. Sumber –sumber hukum itu (putusan hakim, kebiasaan dan
peraturan administrasi negara) tidak tersusun secara sistematis dalam hirarki
tertentu seperti pada sistem hukum Eropa Kotinental. Selain itu juga didalam
sistem hukum Anglo Amerika adanya “peranan” yang diberikan kepada seorang
hakim berbeda dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim berfungsi tidak
hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-
peraturan hukum saja, melainkan perannya sangat besar yaitu membentuk seluruh
tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk
menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip
hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk
memutuskan perkara yang sejenis.
Pengertian Sistem Hukum Anglo Saxon
Sistem hukum Anglo Saxon mula – mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal
dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem Anglo-
Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-
hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia,
Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika
Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini
bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum
Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan
sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum
adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih
mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai
dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol
digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
Sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya bersumber pada :
a. Custom/kebiasaan.
Merupakan sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari
sebagian hukum Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan
suku anglo saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom
law akan melahirkan common law dan kemudian digantikan dengan precedent
b. Legislation
Berarti undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang
demikian tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation
bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu itu
undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan
perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.
c. Case-Law
Sebagai salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri
karakteristik yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakat tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim,
sehingga dikenal dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan
precedent bagi hakim yang akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent
sampai sekarang
Perbedaan Sistem Hukum Anglo Saxon Dan Eropa Kontinenttal
Beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon
sebagai berikut :
1. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang
sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan
oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui
praktek prosedur hukum.
3. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein
sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati
oleh masyarakat.
4. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa
kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk
penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi
kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum
sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental
tidak dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo
saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus
diikuti.
8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih
tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo
saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan
kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem
hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa
kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo
saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.

Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem
hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut :
1. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang
sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan
oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui
praktek prosedur hukum.
3. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein
sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati
oleh masyarakat.
4. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa
kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk
penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi
kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ini memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum
sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental
tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo
saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus
diikuti.
8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih
tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo
saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan
kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem
hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.
10. Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang
pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.

C.3. Sistem hukum adat/kebiasaan


Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di
suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti
hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah
tertentu.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat
adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-
peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan
tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Terminologi
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak ada yang menyatakan
bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof.
Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya
adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang
bersifat kebendaan.

Perdebatan istilah Hukum Adat


 Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang
Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat
berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat
Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
 Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula
menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat
istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch
Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
 Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini
pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri
Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat
(2) yang berlaku pada tahun 1929.
 Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman
Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.
Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan
oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan.
 Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang
ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan
sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
 Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato
Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura: sebagai lanjutan
kesempurnaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk
sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
 Sedangkan pendapat Prof. Nasroen menyatakan bahwa adat Minangkabau telah
dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke
satu tahun masehi.
 Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa
istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh yang bernama
Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar)
pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan
Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam
bidang hukum yang baik.
 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai
peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-
undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas
tertentu dl buku undang-undang yang baku.
 menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis
suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat
(semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur
semua soal yang mungkin terjadi).
 Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya
tentang apa yang dinamakan hukum adat.
 Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga
masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-
kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan
keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang
pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan
senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau
setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.
 Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan
tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut.
Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang
resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan
alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan
tersebut.

C.4. Sistem Hukum Agama (Islam).


Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu.
Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci dalam hal ini Al’Quran.
Sistem hukum ini semula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya
dan penyebaran agama Islam. Kemudian berkembang ke neagara-negara lain di
Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara individual atau kelompok. Sedangkan untuk
beberapa negara di Afrika dan Asia perkembangannya sesuai dengan pembentukan
negara itu yang berasaskan ajaran Islam. Bagi negara Indonesia walaupun mayoritas
warga negaranya beragama Islam, pengaruh agama itu tidak besar dalam bernegara
karena pembentukan negara bukanlah menganut ajaran Islam.
Sistem hukum Islam bersumber kepada:
1. Quran, yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada
Nabi Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
2. Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadis)
mengenai Nabi Muhammad.
3. Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara kerja
(berorganisasi)
4. Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan diantara dua
kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode ilmu hukum berdasarkan
deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari garis
hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan
karena persamaan yang ada.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat
manusia. Karena itu dasar-dasar hukumnya mengatur mengenai segi-segi pembangunan,
politik, sosial ekonomi dan budaya, disamping hukum-hukum pokok tentang kepercayaan
dan kebaktian ibadat kepada Allah. Karena itu berdasarkan sumber-sumber hukumnya,
sistem hukum Islam dalam “Hukum Fikh” terdiri dari dua hukum pokok, ialah:

1. Hukum Rohaniah, lazim disebut “ibadat”, yaitu cara-cara menjalankan kewajiban


tentang keimanan terhadap Allah, seperti sholat, puasa, zakat dan menjalankan
haji.
2. Hukum Duniawi, terdiri dari:
a. Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar
manusia dalam bidang jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan, hukum tanah,
hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada
umumnya.
b. Nikah, yaitu perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri
dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar
perkawinan monogamy dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c. Jinayat, yaitu hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap
hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Sistem hukum Islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Islam dengan keimanan
lahir batin secara individual. Bagi negara-negara yang menganut asas hukum Islam dalam
bernegara melaksanakan peraturan-peraturan hukumnya secara taat sesuai yang dianggap
adil berdarkan peraturan perundangan negara yang dibuat dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Suatu sistem hukum yang mendasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah
(kitab Al-qur’an) dan rasul-nya (As-Sunnah) kemudian disebut dengan syari’at atau hasil
pemahaman ulama terhadap ketentuan di atas (kitab fiqih) kemudian disebut dengan ijtihad
yang menata hubungan manusia dengan allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan
benda.
Bila diperhatikan berbagai definisi yang dikemukakan oleh berbagai ulama tentang kriteria
penetapan sesuatu sebagai hukum syar’i, maka dapat dikatakan:
1. Menurut ulama ushul fiqh, bahwa nash/teks dari pembuat syara’ (Allah dan
RasulNya) itulah yang dikatakan hukum syar’i. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 10, ‫واقيموا‬
‫( الصالة‬Dirikanlah sholat). Jadi perkataa aqiimussholah itulah yang menjadu hukum
syar’i.
2. Sedangkan menurut ulama Fiqh, bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i,
malainkan efek dari kandungan perkataan aqiimusshlolah itulah yang mengakibatkan
terjadinya hukum syar’i.
3. Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib sholat) itulah yang
dikatakan hukum syar’i, berbeda dengan ahli fiqh yang mengatakan bahwa wajib
sholatlah yang yang dikatakan hukum syar’i.
4. Hukum syar’i/syara’ yang di Indonesia lebih sering dipakai istilah hukum Islam
adalah kata yang tidak dikenal dalam ajaran Islam sendiri, tetapi istilah yang dipakai
adalah hukum syar’i, hukum syara’, hukum syari’at, hukum syari’ah, syari’at Islam,
atau fiqh (Islam).
5. Kalau berbicara tentang hukum Islam di Indonesia, maka yang dimaksud adalah
bagaimana hukum yang berlandaskan hukum syar’i itu diterapkan terhadap peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi pada kaum muslimin.
6. Berbagai pendapat ulama dalam mendefinisikan hukum syar’i pada prinsipnya
sependapat bahwa ia (hukum syar’i) adalah perintah Allah swt terhadap manusia
dalam menjalankan kehidupannya, yang berisi aturan/pedoman dalam berhubungan
dengan Allah swt, sesama manusia dan makhluk lainnya. Sumbernya berasal dari
Alquran dan Alhadits serta ijtihad para ulama, dan biasanya hanya mencakup masalah
fiqhiyyah/ibadah, bukan aqidah dan akhlak.
B . Istilah dan Pengertian.
Pada awalnya, orang Jerman yang bernama Bukhardt Krems (1979:38) menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan yang ada dalam bahasa Jerman disebut
“Gesetzgebungs Wissenschaff “. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang interdisipliner yang
berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar menjadi dua
bagian,yaitu :
1. Teori perundang-undangan yang disebut “Gesetzgebungs”, yaitu teori yang
berorientasi untuk mencari kejelasan dan kejernihan pengertian-pengertian yang
bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang disebut “Gesetzgebungslehre”, yaitu teori yang
berorientasi untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
bersifat normatif.
Ilmu perundang-undangan dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Gesetzgebungs verfahren (proses perundang-undangan);
b. Gesetzgebungs methode (metode perundang-undangan);
c. Gesetzgebungs technik (teknik perundang-undangan).
Ilmu pengetahuan perundang-undangan dapat dikembangkan melalui pendidikan karena
ada dua alasan, yaitu alasan teoritis dan alasan praktis, antara lain :
1. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan pendidikan hukum pada fakultas hukum
seluruh Indonesia, terutama untuk latihan keterampilan bagi mahasiswa di bidang
ilmu perundang-undangan, pendidikan klinis hukum, legal drafting.
2. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan tata cara perancangan dan pemebntukan
peraturan perundang-undangan ditingkat pusat ataupun tingkat daerah.
Dalam pembentukan undang-undang, ada tiga prinsip yang perlu di perhatikan, yaitu:
1. Kesetian kepada cita-cita sumpah pemuda,proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pancasila serta
nilai-nilai konstitusional dalam Undang-Undang Dasar RI tahun 1945.
2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan
damai.
3. Dikembangkannya norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka
mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancer,dan
damai, serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.
Adapun visi pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya negara hukum yang adil
dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan
perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi pada
kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
melindungi segenap rakyat dan bangsa,serta tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi tersebut, prolegnas disusun dengan misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan materi hukum segala bidang dalam rangka penggantian terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang masih
tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian,
keadilan, dan kebenaran dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.
2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum.
3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan
berintegritas tinggi.
4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.
Kebijakan program legislasi nasional diarahkan untuk sebagai berikut :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik,
agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembagunan
daerah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan
sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Mengganti peraturan peundang-undangan peninggalan kolonial dan
menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
3. Mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam
proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh
Undang-Undang Dasar.
4. Membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat
informasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia, dan
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan kejahatan transnasional.
5. Meratifikasi secara selektif kondisi internasional yang diperlukan untuk
mendukung pembangunan ekonomi, demokrasi, dan perlindungan hak asasi
manusia serta pelestarian lingkungan hidup.
6. Membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan kemajuan zaman.
7. Memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas, professional,
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan
keadilan gender.
8. Menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan di segala
bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara yang
mewujudkan prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi, dan keadilan.
Dalam program legislasi nasional tahun 2005-2009, menurut Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, penentuan skala prioritas Rancangan Undang-Undang ditetapkan
beberapa pertimbangan,yakni :
1. merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945;
2. merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;
4. mendorong percepatan reformasi;
5. merupakan warisan prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang lainnya;
7. merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;
8. berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender;
9. mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.
Adapun maksud pengaturan program legislasi nasional adalah :
1. Memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum dibidang peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.
2. Menyusun skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang sebagai suatu
program yang berkesinambungan dan terpadu yang dijadikan pedoman bersama
dalam pembentukan undang-undang oleh lembaga yang berwenang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.
3. Menyelenggarakan sinergi antarlembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.
Tujuan program legislasi nasional,yaitu :
1. mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian
dari pembentukan sistem hukum nasional;
2. membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan perekat bidang
pembangunan lainnya serta mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana
rekayasa sosial pembangunan,instrumen pencegah/penyelesaian sengketa,pengatur
perilaku anggota masyarakat dan sarana pengintegrasian bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum,terutama
penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat;
4. menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada,yang tidak sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat;
5. membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat.
(Sumber : Pipin Syarifin, SH.,MH dan Dra. Dedah Jubaedah,M.Si , Ilmu Perundang-
undangan. Halaman 18, Cetakan I. Bandung : CV Pustaka Setia, 2012)

Bagir manan yang mengutip pendapat P. J. P. Tak tentang wet in materiele zin,
melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti material yang esensinya sebagai
berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang berbentuk tertulis. Karena merupakan
keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum
lazim disebut sebagai hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
2. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku
mengikat umum (aglemeen).
3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus
selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukan bahwa peristiwa
perundang-undangan tidak berlaku terahadap peristiwa konkret atau individu
tertentu.
Konsep perundang-undangan juga dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang
mengikuti pendapat I.C. van der Vlies tentang wet yang formal (het formele
wetsbegrip) dan wet yang materiil (het materiele wetsbegrip). Pendapat ini didasarkan
pada apa tugas pokok dari pembentuk wet (de wetgever). Berdasarkan pemikiran
tersebut, maka yang disebut dengan wet formal adalah wet yang dibentuk berdasarkan
ketentuan atribusi dari konstitusi, sementara wet yang materiil adalah suatu peraturan
yang mengandung isi atau materi tertentu yang pembentukannya tunduk pada prosedur
yang tertentu pula.
Perundang-undangan dalam Kamus Black’s Law Dictionary, dibedakan
antara legislation dan regulation. Legislation lebih diberi makna sebagai pembentukan
hukum melalui lembaga legislasi (the making of laws via
Legislation). Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang dipaksakan
melelui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui wewenang eksekutif
(rule or order having force of law issued by executive authority of government).
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa Istilah perundang-undangan
(legislation, wetgeving atau gezetzgebung) mempunyai 2 (dua) pengertian yang
berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
H. Soehino, memberikan pengertian istilah perundang-undangan sebagai berikut:
1. Pertama, berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan perundangan
negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai yang terendah,
yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan.
2. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan perundangan tersebut.
Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia disebutkan dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum berlaku secara umum dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang menurut proesedur dan tatacara yang ditentukan dalam peraturan
perundanng-undangan”.
Sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang terdiri atas:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) huruf e menurut H. Abdul Latief,
meliputi:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur);
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau
nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan


bahwa “jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Penjelasan dari
Pasal 7 ayat (4) menyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai fungsi
sendiri-sendiri. Undang-undang misalnya, berfungsi antara lain mengatur lebih lanjut
hal yang tegas-tegas ‘diminta’ oleh ketentuan UUD dan Ketetapan MPR. Dari semua
Jenis peraturan perundang-undangan, hanya undang-undang dan peraturan daerah saja
yang pembentukannya memerlukan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR,
antara Kepala Daerah dan DPRD, lain-lainnya tidak. Oleh karena itu, untuk dapat
mengetahui materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan perlu
diketahui terlebih dahulu materi muatan undang-undang. Secara garis besar undang-
undang ialah ‘wadah’ bagi sekumpulan materi tertentu, yang meliputi:
1. Hal-hal yang oleh Hukum Dasar (Batang Tubuh UUD 1945 dan TAP MPR) diminta
secara tegas-tegas ataupun tidak untuk ditetapkan dengan undang-undang.
2. Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara Republik Indonesia
sebagai Negara berdasar Atas Hukum atau Rechtstaatdiminta untuk diatur dengan
undang-undang.
3. Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara Republik Indonesia yaitu
Sistem Konstitusi atau Constitutioneel Systeemdiminta untuk diatur dengan undang-
undang.
C. Teori Perundang-Undangan.
Pada awalnya, orang Jerman yang bernama Bukhardt Krems (1979:38) menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan yang ada dalam bahasa Jerman disebut
“Gesetzgebungs Wissenschaff “. Ilmu tersebut merupakan ilmu yang interdisipliner yang
berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar menjadi dua
bagian,yaitu :
1. Teori perundang-undangan yang disebut “Gesetzgebungs”, yaitu teori yang
berorientasi untuk mencari kejelasan dan kejernihan pengertian-pengertian yang
bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang disebut “Gesetzgebungslehre”, yaitu teori yang
berorientasi untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
bersifat normatif.
Ilmu perundang-undangan dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Gesetzgebungs verfahren (proses perundang-undangan);
b. Gesetzgebungs methode (metode perundang-undangan);
c. Gesetzgebungs technik (teknik perundang-undangan).
Ilmu pengetahuan perundang-undangan dapat dikembangkan melalui pendidikan
karena ada dua alasan, yaitu alasan teoritis dan alasan praktis, antara lain :
1. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan pendidikan hukum pada fakultas hukum
seluruh Indonesia, terutama untuk latihan keterampilan bagi mahasiswa di bidang
ilmu perundang-undangan, pendidikan klinis hukum, legal drafting.
2. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan tata cara perancangan dan pemebntukan
peraturan perundang-undangan ditingkat pusat ataupun tingkat daerah.

Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gezetzgebungswissen-schaft), merupakan ilmu


nyang berkembang di Eropa Kontinental khususnya Jerman pada tahun tujuh puluhan,
sementara di negara common law ilmu ini kurang bahkan dapat dikatan tidak berkembang.
Istilah yang digunakan untuk Ilmu Pengetahuan perundang-undangan
(Gezetzgebungswissenschaft), di Belanda istilah yang digunakan ialah Watgeving-
swetenschap, wetgevingsleer, atau Wetgevingskunde. Sedangkan di Inggris istilah yang
digunakan ialah Science of Legislation.
Adapun tokoh atau pemuka dari Ilmu Pengetahuan perundang-undangan
(Gezetzgebungswissen-schaft), adalah Peter Nool, Jorgen Rodig, Burkhardt Krems, Werner
Maihofer, S.O van Poelje, dan W.G. van der Velden.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Perundangan.
Menurut Burrkardt Krems, Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gezetzgebungswissen-
schaft), merupakan ilmu interdisipliner yang berhubgan dengan ilmu politik dan sosiologi.
Secara garis besar Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gezetzgebungswissenschaft),
dapat dibagi dua, yaitu Teori Perunfang-undangan (Gezetgebungs-theorie) dan Ilmu
Perundang-Undangan (Gesetzgebungslehre). Budiman N.P.D.Sinaga., Ilmu Pengetahuan
Perundang-Undangan, Yogjakarta : UII Press, ecatakan kedua Maret 2005. Hlm.5
Selanjutnya Ilmu Perundang-undan,gan dapat dibagi lagi menjadi tiga, yakni; Proses
Perundang-Undangan (Gesetzgebungsverfahren), Metode Perundang-undangan (Gesetz-
gebungsmethode), dan Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungs-tehnik).
Menurut S.J.Fockema Andreae, istilah perundang-undangan ( legislation, wetgevin g, atau
Gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik pemerintah di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.
2. Perundang-undangan adalag segala peraturan negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Maria Farida
Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-Undangan. Dasar-dasar dan Pembentukannya,
Yogjakarta : Kanisius, 1998, hlm.3.

Dengan demikian pengetahuan peraturan perundang-undangan tidak hanya tentang proses


pembentukan/perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara melainkan juga seluruh
peraturan negara yang dihasilkan dari pembentukan peraturan negara itu, baik di tingkat
Pusat maupun di daerah.
Bagian Ke - Dua.
Pengertian, Fungsi dan Kedudukan
Norma di Dalam Masyarakat dan Negara

A. Pengertian Norma
Dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan hidup bermasyarakat maupun sebagai
pribadi yang beradab, selalu membutuhkan norma ataukaidah. Istilah norma berasal dari
bahasa latin yaitu nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit pengertiannnya
menjadi norma hukum. Sedangkan istilah kaidah berasal dari bahasa Arab yaitu qa’idah
yang berarti ukuran atau nilai pengukur. Istilah norma dapat juga disebut kaidah,
patokan, atau aturan, yaitu suatu ukuran yang harus dipatuhi atau ditaati oleh seseorang
atau setiap orang baik dalam hubungannya dengan sesamanya maupun dengan
lingkungannya.
Jadi, norma berfungsi untuk membimbing dab mengarahkan bagaimana manusia
seharusnya berprilaku sehingga mampu menciptakan keamanan, ketertiban, dan
kedamaian dalam kehidupan bersama manusia dimanapun berada dan saling berinteraksi,
karena suatu norma baru dapat hadir manakala terdapat lebih dari satu orang dalam suatu
kehidupan dan suatu lingkungan tertentu.
Pentingnya norma atau aturan tersebut karena kebutuhan sebagai konsekuensi dan
kompleksnya permasalahan dalam pergaulan masyarakat sejalan dengan perkembangan
Negara dan dunia, sehingga hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya
kadang-kadang berbenturan sehingga tidak jarang dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar sesamanya. Karena itu, norma atau aturan tersebut diharapkan mampu
meminimalisir kemungkinan timbulnya konflik.
Beberapa pengertian norma atau kaidah, menurut para ahli antara lain sebagai berikut :
1. Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa “norma atau kaidah merupakan
pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi
kebolehan, anjuran, atau perintah”. Lebih lanjut Jimly Ashhidiqie menjelaskan, jika
pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau
norma yang dimaksud berisi :
a. kebolehan (bahasa Arab disebut mubah atau ibhah);
b. anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu (bahasa Arab disebut sunnah);
c. anjuran negatif untuk tidak melakukan sesuatu (bahasa Arab disebut makruh); dan
d. perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu (bahasa Arab disebut haram).
2. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa pada umumnya
norma hukum berisikan :
a. suruhan, yaitu berisi apa yang harus dilakukan oleh manusia, berupa suatu
perintah untuk melakukan sesuatu;
b. larangan, yaitu berisi apa yang tidak boleh dilakukan;
c. kebolehan, yang berisikan apa yang dibolehkan artinya tidak dilarang dan tidak
disuruh.
3. Maria Farida Indrati Soeprapto, mengatakan bahwa : “norma adalah suatu ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun
dengan lingkungannya”.
4. Sudukno Mertokusumo, mengatakan bahwa : “kaidah pada hakikatnya merupakan
perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang
seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk
dijalankan”.
5. I Gde Pantja Astawa dan Surin Na’a, mengemukakan : “norma atau kaidah dapat
diartikan sebagai patokan atau standar yang dibutuhkan dan harus dipatuhi oleh
manusia sebagai individu dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai
tertentu yang berisikan perintah atau larangan”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat bermacam-macam norma yang diakui
keberadaannya dalam mengatur perilaku kehidupan bersama, yaitu :
1. Norma Agama (Norma Kepercayaan), yaitu norma atau kaidah yang berisi
kewajiban-kewajiban, perintah-perintah, dan anjuran-anjuran yang diyakini
berasal adari Allah SWT untuk dipatuhi oleh pemeluknya;
2. Norma Kesusilaan (Norma Moral), yaitu norma atau kaidah yang berhubungan
dengan manusia sebagai individu.Sebagai pendukung norma ini adalah nurani
individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial.
3. Norma Kesopanan, yaitu norma atau kaidah yang mengatur tata karma atau adat
yang didasarkan pada kebiasaan, kepatuhan, atau kepantasan yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Norma Hukum, adalah norma atau kaidah yang merupakan produk badan pejabat
yang berwenang yang dibentuk melalui proses dan tata cara yang sah dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.

B. Jenis-Jenis Norma Hukum


Untuk lebih jelasnya, dikemukakan pendapat beberapa ahli sebagai berikut :
1. Sudikno Mertokusumo, berpendapat :”kaidah hukum lazimnya diartikan sebagai
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku,
bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terpenuhi”. Selanjutnya, fungsi dari norma hukum mencakup tiga hal, yaitu :
a. untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketenangan;
b. untuk memperbaharui perilaku masyarakat; dan
c. untuk mengarahkan atau membangun peradaban manusia.
Norma hukum mempunyai cirri-ciri yang berbeda dengan norma lainnya, seperti
a. adanya paksaan dari luar berwujud ancaman hukumam bagi pelanggarnya; dan
b. bersifat umum, yaitu berlaku bagi siapa saja.

2. Maria Farida Indrati Soeprapto, perbedaan norma hukum dengan norma lainnya
adalah sebagai berikut :
a. norma hukum bersifat heteronom karena datang dari luar diri manusia sendiri;
b. norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana, sedangkan norma yang lain
tidak dilekati dengan sanksi pidana; dan
c. sanksi pidana dalam norma hukum dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan
dalam norma-norma lainnya dating dari diri sendiri.

3. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa kaidah hukum harus
ada disamping kaidah-kaidah lainnya, karena :
a. ketiga tata kaidah yang lain dari norma hukum tidak cukup meliputi keseluruhan
kehidupan manusia, misalnya pencatatan kelahiran, perkawinan ataupun kematian,
dan juga peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya; dan
b. kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas apabila hanya diatur oleh ketiga
tata kaidah yang lain.

Norma atau kaidah hukum dapat dibedakan atas beberapa kelompok norma atau kaidah,
yaitu sebagai berikut :
1. Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Norma hukum umum adalah norma hukum yang ditujukan kepada semua orang, dan
biasanya dirumuskan dengan kalimat : “barang siapa . . .dan seterusnya”, “setiap
orang . . .dan seterusnya”, atau “setiap warga negara . . .dan seterusnya”.
Sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan kepada
seseorang, beberapa orang, atau kelompok orang tertentu.
2. Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstarak adalah norma hukum yang dalam perumusannya masih
bersifat abstrak, seperti : “. . . mencuri . . .dan seterusnya”, “. . . menebang . . . dan
seterusnya”. Sedangkan norma hukum konkrit adalah norma hukum dimana perbuatan
yang dirumuskan bersifat konkrit atau riil, misalnya : “. . .mencuri sepeda motor
dengan merk Honda Supra X berwarna biru dirumah . . . dan seterusnya”, “. . .
membunuh Dodot dengan pisau . . . dan seterusnya”.
3. Norma Hukum Einmahlig dan Norma Hukum Duerhaftig
Norma hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlaku sekali selesai.
Contohnya, norma hukum yang tercantum dalam SIM, surat keputusan pengangkatan
pegawai atau pejabat, dan lain-lain.
Sedangkan norma hukum duerhaftig adalah norma hukum yang berlaku terus menerus
dan tidak dibatasi oleh waktu, kecuali karena dicabut dan/atau diganti dengan norma
hukum/peraturan lain.
4. Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum Berpasangan
Norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri atau suatu norma
hukum yang tidak diikuti oleh norma hukum lain. Isinya hanya merupakan dan
bersifat suruhan untuk bertindak atau bertingkah laku. Contoh : Kepala Daerah
memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri dari
beberapa norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder.
Norma hukum sekunder merupakan norma penanggulangan atau penegakan jika
norma hukum primer tidak dilaksanakan atau tidak ditaati. Contoh norma hukum
berpasangan : “Siapa saja dilarang berjualan . . . . . . . . . dihukum dengan kurungan
tiga bulan atau denda lima puluh juta rupiah”. Dalam rumusan tersebut, kata dilarang
berjualan merupakan norma hukum primer, sedangkan kata kurungan tiga bulan
merupakan norma hukum sekunder atau norma pelaksana.

Apabila norma hukum dilihat dari kekuatan berlakunya, maka norma hukum dapat
dibedakan atas :
1. Norma Hukum Imperatif
Norma hukum imperatif ialah norma hukum yang tidak dapat dikesampingkan
keberlakuannya dalam suatu keadaan konkrit (harus ditaati). Contoh : ”Perda dibentuk
oleh DPRD dan dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama”. Hal ini menunjukkan apabila ada Perda yang tidak dibentuk berdasarkan
kesepakatan bersama (DPRD dan Kepala Daerah), maka Perda tersebut batal demi
hukum atau dapat dibatalkan.
2. Norma Hukum Fakultatif
Norma hukum fakultatif ialah norma hukum yang dapat dikesampingkan
keberlakuannya dalam keadaan konkrit. Misalnya : “ Peresiden mempunyai hak
prerogatif dalam mengangkat menteri dan/atau memberhentikan menteri”. Ketentuan
ini dapat dikesampingkan apabila Pemerintah dibentuk atas dasar koalisi dengan
partai lain. Artinya, ketentuan Undang-undang dapat dikesampingkan dengan
kesepakatan bersama. (Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi),
(Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2012).
Norma hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang bersifat
konkret dan individual. Norma hukum bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek
yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkan dengan subjek konkret, pihak dan individu
tertentu. Sedangkan norma hukum yang konkret dan individual ditujukan kepada orang
tertenu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan
tertentu.69 Maria Farida mengemukakan ada beberapa kategori norma hukum dengan melihat
bentuk dan sifatnya, yaitu:
a. Norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah suatu
norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak (addressatnya) umum dan tidak tertentu.
Sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan pada seseorang,
beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu.
b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah suatu
norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti
tidak konkret. Sedangkan norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat
perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret).
c. Norma hukum yang terus-menerus (deurhaftiq) dan norma hukum yang sekaliselesai
(eenmahliq). Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum
yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus
menerus, sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Sedangkan
norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmalig) adalah norma hukum yang berlakunya
hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja sehingga
dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah
norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya jadi
isinya hanya 40 merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak
atau bertingkah laku. Sedangkan norma hukum berpasangan terbagi menjadi dua yaitu norma
hukum primer yang berisi aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di
dalam masyarakat dan norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya
apabila norma hukum primer tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi.

Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial dengan
aspek kehidupan pribadi, dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi.
(Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.,tentang Kaedah Hukum,(Jakarta:
Radjawali,1978).hlm.15 Kaedah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaedah
agama dan kaidah kesusilaan, karena kaedah ini ditunjukkan kepada manusia sebagai
individu, sedangkan kaedah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah
sopan santun atau tatakrama yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan,
berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaedah-kaedah ini di tujukan bagi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya dengan manusia sebagai
mahluk sosial.
Tujuan kaidah agama dan kaidah kesusilaan adalah agar manusia menjadi sempurna, agar
tidak ada manusia menjadi jahat. Kedua kaidah tersebut ditujukan kepada sikap batin
manusia sebagai individu, sikap batinlah yang disentuh, yang dinilai. Kalau kaidah agama
ditujukan kepada Iman, maka kaidah kesusialaan ditujukan kepada akhlak manusia.
Kaidah sopan santu dan kaidah hukum, sebaliknya bertujuan agar masyarakat menjadi
sempurna, agar jangan sampai ada manusia menjadi korban tindakan yang tidak santun
atau menjadi korban kejahatan.kaidah sopan santun dan kaidah hukum ditujukan kepada
sikap lahir manusia sebagai mahluk sosial, sikap lahirlah yang dinilai, bukan apa yang
dipikirkan atau yang diangan-angankan.misalnya orang tidak dapat dihukum hanya
karena karena ia mimpi mencuri.
Asal kaidah:
Kaidah agama berasal dari Allah swt Tuhan Yang Maha Esa.
Kaidah Kesusilaan asalanya dari diri manusia itu sendiri – baik tidaknya suatu perbuatan,
susila tidaknya suatu perilaku, manusia itu sendirilah yang menentukan.
Kaidah sopan santun berasal dari luar diri manusia secara tidak teratur atau tidak
terorganisir. Sopan tidaknya suatu perbuatan itu tidak berasal dari suatu lembaga resmi,
tetapi dari perorangan secara tidak resmi,tidak terorganisir.
Kaidah hukum berasala dari luar diri manusia secara terorganisir, berasal dari suatu
lembaga resmi (lembaga legislatif, lembaga eksekuti, lembaga yudikatif). Sudikno
Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).hlm.16
Sanksi Kaidah.
Sanksi kaidah agama berasal dari Allah swt Tuhan Yang Maha Esa. Tuhanlah yang
memberi kepada umatnya diakherat nanti.
Kaidah kesusialaan sanksinya berasala dari diri manusia itu sendiri. Manusia itu sendiri
yang memberi sanksi kepada dirinya sendiri yang berbuat tidak susila berupa rasa malu,
penyesalan, dan sebagainya.
Kaidah hukum sanksinya datang dari luar diri manusia secara terorganisir, secara resmi
dari lembaga-lembaga resmi.
Menurut C.J.T. Kansil bahwa terdapat 4 macam norma yaitu pertama norma agama, kedua
norma hukum, ketiga norma kesusilaan, dan keempat norma kesopanan dan dalam buku lain
ditambahkan satu norma lagi yaitu norma kebiasaan. Jadi ada 5 macam norma. Penjelasan 5
macam norma sebagai berikut:
1. Norma agama
Norma agama adalah norma yang hadir dan menjadi pedoman atas keyakinan terhadap
pencipta. Contohnya Agama Islam menjadikan Al-Qur'an dan hadist sebagai norma
agama. Begitupun dengan agama lain seperti injil sebagai norma agama katholik. Dalam
norma agama, beberapa ketentuan diberikan hukuman pada hari akhir atau setelah
kematian individu tersebut, dan dibeberapa ketentuan untuk pelanggaran terhadap norma
agama tertentu langsung diberi hukuman selama dia hidup oleh anggota individu lainnya
seperti hukum rajam, dan lainnya. Norma agama memiliki kekuatan yang bervariasi
tergantung keadaan negara atau masyarakat tersebut. Apabila negara tersebut adalah
negara yang menjunjung tinggi ajaran agama, maka norma agama akan menjadi aturan
yang sangat mengikat, contoh di Aceh, sedangkan bila masyarakat tersebut adalah negara
yang kurang menjunjung tinggi agama maka akan menjadi aturan atau norma yang lemak,
Contohnya penerapan norma agama di Jakarta.
Jadi pengertian norma agama adalah norma yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pedoman dalam hidup manusia dan janji Tuhan terhadap manusia.
2. Norma Kesusilaan
Pengertian norma kesusilaan adalah pedoman hidup yang berkaitan dengan perilaku baik
dan buruk yang didasarkan atas kemampuan untuk mengenali kebenaran dan keadilan
serta membuat pembeda diantaranya.
Sanksi yang dapat terjadi bagi pelanggar norma kesusilaan adalah pengucilan, pencibiran
bahkan dapat pula pengancaman.
3. Norma Kesopanan
Pengertian norma kesopanan adalah pedoman dan peraturan hidup atau nilai nilai yang
telah diatur dalam agama ataupun dalam adat istiadat masyarakat. Sesuatu dikatakan
perilaku tidak sopan dan dikatakan sopan oleh karena adanya norma kesopanan. diatas.
Norma kesopanan merupakan gabungan dari kedua elemen penting pembentuk
kebudayaan dalam masyarakat yaitu adat istiadat dan agama sehingga norma kesopanan
sering disebut sebagai norma moral. (Baca Pengertian kebudayaan dan pengertian moral.
Salah satu contoh norma kesopanan adalah cara berpakaian seseorang. Apabila dia
berpakaian tidak sesuai dengan norma kesopanan maka akan mendapatkan cibiran, hinaan
dari orang disekitarnya dan diapun akan malu dengan hal tersebut.
Macam macam norma kesopanan:
 Tidak menggunakan perhiasan dan pakaian yang menor dan mencolok ketika berada
dalam acara berkabung
 Memberikan ucapan terima kasih kepada pemberi bantuan ketika memperoleh
bantuan atau pertolongan
 Meminta maaf ketika melakukan perbuatan yang salah atau membuat seseorang
merasa jengkel
4. Norma Hukum
Pengertian norma hukum adalah aturan aturan dan ketentuan dalam hidup bermasyarakat
bernegara yang berlaku kepada setiap anggota masyarakat yang dibuat berdasarkan
kesepakatan antara penguasa negara, rakyat atau perwakilan rakyat ataupun lembaga adat
tertentu dalam masyarakat tersebut. Ciri utama dari norma hukum adalah bersifat
memaksa dan mengikat. Keduanya berlaku bahwa aturan tersebut wajib dipatuhi oleh
siapapun dan berlaku untuk siapapun. Selain itu, norma hukum memiliki penegak norma
disebut penegak hukum yang telah diakui oleh masyarakat.
Macam macam norma hukum contohnya:
 Tidak melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri. membunuh karena telah diatur
dalam KUHP dan memiliki hukuman yang berat
 Setiap warga negara wajib membayar pajak kepada negara atas apa yang dimilikinya
5. Norma Kebiasaan
Pengertian norma kebiasaan atau habit adalah ketentuan dan pedoman yang dihasilkan dari
perbuatan yg dilakukan berulang ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi
kebiasaan (habit) dalam suatu masyarakat. Anggota masyarakat yang tidak melakukan
atau tidak mengikuti norma kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya akan dianggap
aneh.
Macam macam contoh norma kebiasaan:
 Salah satu kebiasaan melakukan acara Selamatan atau doa tertentu bagi anak yang
baru dilahirkan
 Aktivitas mudik atau pulang ke tempat kelahiran dan keluarga besar berada saat atau
menjelang hari raya.
 Kebiasaan memperingati anggota masyarakat yang meninggal dengan mengadakan
acara di Flores.

Perbedaan Norma Hukum dengan Norma-norma lainnya.


Perbedaan norma hukum dengan norma-norma lainnya dapat diketahui dari ciri-
cirinya,yaitu :
1. adanya paksaan dari luar yang berwujud ancaman hukum bagi pelanggarnya
(biasanya berupa sanksi fisik yang dapat dipaksakan oleh alat negara);
2. bersifat umum,yaitu berlaku bagi siapa saja.
Disebutkan pula perbedaan norma hukum dengan norma-norma lainnya sebagaimana
diuraikan oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, yaitu :
1. norma hukum bersifat heteronom karena datang dari luar diri manusia sendiri;
2. norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik
secara fisik sedangkan norma lain tidak;
3. sanksi pidana atau sanksi pemaksa dalam norma hukum dilaksanakan oleh aparat
negara,sedangkan dalam norma-norma lain datang dari diri pribadi manusia.
Pembagian Norma Hukum
Norma hukum menurut pandangan Hans Kelsen termasuk sebagai sistem norma yang
dinamis (nomodynamics). Dinamika suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu : dinamika norma hukum yang vertical dan dinamika norma hukum yang horizontal.
Dinamika norma hukum yang vertical adalah dinamika yang berjenjang dari atas kebawah,
atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical itu, suatu norma hukum itu berlaku,
berdasar, dan bersumber pada norma hukum diatasnya, demikian juga seterusnya sampai
pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua norma hukum yang dibawahnya.
Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi
sumber dan dasar norma hukum yang dibawahnya, dan demikian seterusnya kebawah.
Sedangkan dalam dinamika norma hukum yang horizontal adalah suatu norma hukum
itu bergeraknya tidak ke atas atau ke bawah,tetapi ke samping. Dinamika norma hukum yang
horizontal ini tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma hukum itu
bergerak ke samping karena adanya suatu analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk
kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa.
Di atas merupakan macam-macam norma yang berlaku didalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Pada dasarnya munculnya norma-norma tersebut adalah baik yaitu untuk mengatur
kehidupan manusia menjadi lebih baik lagi. Jadi, sudah sepatutnya kita senantiasa taat
menjalani kelima macam norma yang berlaku tersebut, yaitu norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, norma kebiasaan, dan norma hukum. Semoga dengan ketaatan kita kepada
norma-norma tersebut, negara ini akan menjadi negara yang aman, tertib dan tentram.norma
yang mengatur masyarakat secara garis besar ada dua macam yaitu norma formal dan norma
nonformal.
a. Norma Formal
adalah aturan dan ketentuan dalam kehidupan bermasyarakat yang ada ataupun dibuat oleh
lembaga lembaga dan institusi yang bersifat formal atau resmi. Dengan kata lain, norma
formal memiliki kepercayaan lebih tinggi tentang kemampuannya dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat karena dibuat oleh lembaga lembaga formal. Norma formal
contohnya konstitusi, surat keputusan, peraturan pemerintah, perintah presiden.
b. Norma Non formal
adalah aturan dan ketentuan ketentuan dalam hidup bermasyarakat yang tidak diketahui
bagaimana dan siapa yang menerangkan norma tersebut. Ciri norma non formal tersebut
adalah tidak tertulis atau bilapun tertulis hanya sebagai karya sastra, bukan dalam bentuk
aturan baku yang disertakan dengan pembuat aturan tersebut. Selain itu, norma non-formal
memiliki jumlah yang lebih banyak dikarenakan banyaknya variabel yang ada dalam
norma non-formal.
Di bawah ini kami kemukakan 6(enam) macam macam norma menurut daya pengikatnya:
a. Norma cara atau usage, Norma cara atau usage adalah satu dari 6 norma yang memiliki
daya pengikat yang sangat lemah dikarenakan bersifat individualis dan sanksi yang
diberikan bagi anggota masyarakat yang melanggar norma cara terbilang cukup ringan
yaitu hanya cemohan dan celaan atau ejekan. Contoh dari norma cara adalah cara seorang
dalam masyarakat dalam menulis, umumnya ada yang menggunakan tangan kanan dan
ada juga yang menggunakan tangan kiri.
b. Norma Adat Istiadat (Custom), Pengertian norma adat istiadat atau custom adalah tata
kelakukan yang kekal dan terintegrasi kuat dengan pola pola perilaku masyarakat. Sanksi
yang diberikan bagi pelanggaran terhadap norma adat istiadat bervariasi mulai dari
pengucilan, membayar denda, dan banyak sanksi lain yang ditentukan oleh aturan aturan
adat istiadat yang dimiliki suatu masyarakat.
c. Norma Kebiasaan (Folkways), Pengertian norma kebiasaan adalah pedoman tentang cara
cara berbuat yang diperoleh dari perbuatan yang diulang ulang dalam bentuk sama oleh
banyak orang dan menyukai perbuatan tersebut. Sanksi yang ada bagi pelanggar norma
kebiasaan adalah celaan dan hukuman ringan.
d. Norma Hukum (Laws), Pengertian norma hukum adalah pedoman atau ketentuan hukum
yang mengatur individu dalam masyarakat yang tertulis ataupun tidak tertulis yang
dicirikan oleh adanya penegak hukum dan adanya sanksi yang bersifat menertibkan dan
menyadarkan pelaku pelanggar norma hukum. Contoh norma hukum seperti Undang
Undang tentang Pers (baca pengertian pers).
e. Norma tata kelakukan atau norma moresPengertian norma tata kelakuan adalah
pedoman untuk anggota masyarakat yang ada karena adanya ajaran ajaran agama, akhlak,
filsafat ataupun kebudayaan yang mengatur. Sanksi tata kelakuan juga terbilang ringan
yaitu dengan membayar denda ataupun hanya bersanksi perasaan berdosa.
f. Norma mode atau norma fashion, Pengertian norma fashion adalah norma yang ada
karena hadirnya cara dan gaya anggota dalam masyarakat yang cenderung berubah,
bersifat baru dan cenderung diikuti masyarakat. Norma fashion ini berhubungan erat
dengan sandang pangan yang berlaku saat itu seperti pakaian, potongan rambut, mobil dan
lainnya yang menghias anggota masyarakat.
Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri (cari ayat Al Quran).
Manusia selalu memerlukan orang lain sehingga disebut mahluk sosial (zoon politicon) oleh
Aristoteles. Bahkan pandangan yang lebih ekstrem menurut P.J.Bouman bahwa manusia baru
menjadi manusia setelah hidup dengan sesama.
Dalam kehidupan bersama itu diperlukan “sesuatu yang menjadi pedoman” agar hubungan
antar manusia dapat berlangsung lancar, harmonis, rukun dan damai. Untuk memperlancar
hubungan itu manusia memerlukan norma (dari bahasa latin) atau kaidah (dari bahasa Arab).
Kedua istilah ini mempunyai arti yang sama, oleh karena itu kedua istilah ini dapat digunakan
secara bersamaan atau bergantian tanpa mengubah arti.
Norma adalah “suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya, norma diartikan
sebagai suatu ukuran atau pedoman bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku
dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah “segala aturan yang harus dipatuhi”.
Menurut Amiroeddin Sjarif, norma adalah atau kaidah adalah “suatu patokan atau standar
yang didasarkan kepada ukuran nilai-nilai tertentu”. Secara garis besar norma dapat
dibedakan menjadi norma etika dan norma hukum. Kemudian norma etika dapat dibagi lagi
menjadi norma susila (kesusilaan), norma agama, dan norma kesopanan. Semua norma dapat
dikatakan penting, tetaapi norma hukum berperan lebih utama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan pada ukuran nilai-nilai baik atau burruk
yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat: a). Suruhan (impare), yaitu apa yang
harus dilakukan orang; b). Larangan (prohibire), yaitu apa yang tidak bileh dilakukan orang.
Amiroeddin Sjarif., Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Jakarta :
Rieneka Cipta, 1997.hlm.8
Kaidah menurut Sudikno Martokusumo,”kaidah hukum lazim diartikan sebagai peraturan
hidup yang menentukan bagimana manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap didalam
masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaidah pada
hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap
yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk
dijalankan. Sudikno Mertokusumo., Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogjakarta :
Liberty, 1996. Hlm.5
Fungsi dan tujuan Kaidah.
Fungsi kaidah, adalah melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusisia.
Sedangkan tujuan kaidah adalah ketertiban masyarakat. Kalau kepentingan manusia
terlindungi maka keadaan masyarakat akan tertib. Dengan demikian kaidah hukum bertugas
mengusahakan keseimbangan tatanan didalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuan
hukum tercapai, yaitu ketertiban masyarakat.
Persamaan dan perbedaan norma hukum dan norma lainnya.
Persamaan.
Adapun persamaan antara norma hukum dan noerma lainnya adalah sama-sama sebagai
pedoman bertindak/bertingkah laku. Selain itu norma-norma ini berlaku, berdasar dan
bersumber pada pada suatu norma yang lebih tinggi. Norma-norma yang lebih tinggi berlaku
dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi dan seterusnya sampai ke suatau norma
dasar.
Sedangkan perbedaan antara norma hukum dan norma lainnya dapat diketahui dari ciri-ciri
berikut.” Adanya paksaan dari luar yang berwujud ancaman hukum bagi pelanggarnya
(biasanya berupa sanksi fisik yang dapat dipaksakan oleh alat negara). Bersifat umum, yaitu
berlaku bagi siapa saja. Rosjidi Ranggawidjaja., Pengasntar Ilmu Poerundang-undangan
Indonesia, Bandung :L Manadr Maju, 1998. Hlm.24
Sementara Maria Farida Indrati Soeprapto, mebngemukakan perbedaan norma hukum dan
norma lainnya dapat diketahui
sebagai berikut:
1. Norma hukum bersifat heteronom karena datang dari luar diri kita sendiri.
2. Norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik
sedeangkan norma-norma lainnya tidak dapat dilekakti dengan sanksi pidana atau
sanksi pemaksa secara fisik.
3. Sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik dalam norma hukum dilaksanakan
oleh aparatur negara, sedangkan dalam norma-norma lain datang dari diri sendiri.
Selanjutnya perlu diketahui dan diperhatikan mengenai daya laku dan daya guna
suatu norma hukum. Suatu norma hukum berlaku jika mempunyai daya laku atau
keaabsahan yang diperoleh karena dibentuk oleh Lembaga atau Pejabat yang
berwenang dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku secara sah memiliki daya
guna. Hal ini antara lain disebabkan hukum yang berlaku sah belum tentu ditaati.
Normsa hukum dikatakan berdayaguna jika norma hukum itu tidak hanya berlaku sah
tetapi sekaligus ditaati. Budiman N.P.D.Sinaga., Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan, Yogjakarta : UII Press, ecatakan kedua Maret 2005. Hlm.13-14.

Pertemuan Ke-Tiga.
Jenis,Hierarki,Materi Muatan, dan Badan/Pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
A.Pengantar.
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki.
Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norm
yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih
tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai
Norma Dasar (Grundnorm) dan masih menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma
yang dinamis. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembagalembaga
otoritas-otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi,
sehingga norma yang lebih rendah (Inferior ) dapat dibentuk berdasarkan norma yang lebih
tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu Hierarki. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain
dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “Superordinasi”
dan “Subordinasi” yang special menurutnya yaitu. a. Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi; b. Sedangkan norma yang dibentuk menurut
peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. c. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum
yang dipersonifikasikan dalam bentuk Negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain
hanya dikoordinasikan yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan
norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu
yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang
pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus
(rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang
karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu
kesatuan tatanan hukum. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
dalam hubungan dengan sesamanya atau dengan lingkungan. Istilah norma berasal dari
bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab dan sering juga disebut pedoman,patokan, atau
aturan dalam bahasa indonesia mulamula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus
yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk sudut atau garis yang dikehendaki.
dalam perkembangan, norma itu diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam
bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat jadi, norma adalah segara peraturan yang
harus dipatuhi. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa: 1. Norma membentuk norma dan
norma yang menjadi dasar pembentukan norma lebih tinggi dari pada norma yang dibentuk
seterusnya sampai pada norma yang paling rinci. 2. Dalam kehidupan bernegara dimulai dari,
a. Konstitusi. b. kemudian norma hukum yang dibentuk atas dasar konstitusi c. Selanjutnya
hukum yang substantif atau materil dan seterusnya Karena norma membentuk norma, maka
norma yang dibentuk dari norma dasar yang membentuknya, tidak boleh bertentang dengan
norma dasar pembentukannya. Dengan kata lain bahwa ketentuan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh suatu negara maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
ddengan ketentuan yang lebih tinggi.
Hans Kelsen adalah seorang filsuf dan ahli hukum asal Austria yang dikenal dengan berbagai
teori hukum, salah satunya adalah Teori Stufenbau. Bagaimana penerapan teori Hans Kelsen
tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia? Berikut beberapa pendapat ahli
berkenanaan dengan penerapan teori Hans Kelsen.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan M. Chidir Ali dalam buku Disiplin Hukum (1990), teori
Stufenbau diakomodasi oleh Asas Hierarki (lex superiori derogate legi inferiori). Asas
Hierarki Menggambarkan adanya hierarki atau tata urut dari hukum yang superior menuju
hukum yang inferior.
Menurut Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at dalam buku Teori Hans Kelsen tentang
Hukum (2006), norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan
norma yang dibuat adalah inferior. Artinya, Hans Kelsen menggambarkan adanya tata hukum
yang melandasi pembuatan hukum suatu negara.
Menurut H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik dalam Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara dan
Hukum (2010) tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada
basic norm atau grundnorm (norma dasar). Norma dasar tersebut adalah norma superior yang
menjadi dasar pembentukan norma lainnya yang lebih inferior. Teori Hans Kelsen diterapkan
di Indonesia sebagai hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dari yang superior ke yang lebih
inferior adalah: Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Undang-Undang Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kota atau Kabupaten
Peraturan pelaksana seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain Dari hierarki
tersebut terlihat bahwa norma yang paling superior adalah UUD 1945 yang menjadi norma
dasar (grundnorm). Artinya, semua norma di bawahnya harus dibuat berdasarkan UUD 1945.
Lalu, mengapa pancasila tidak dicantumkan dalam tata urut peraturan perundang-undangan di
Indonesia? Kedudukan pancasila dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagai norma fundamental, hukum dasar, dan juga sumber dari segala sumber hukum
negara. Artinya, UUD 1945 yang menjadi sumber hukum juga terbentuk dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Semua pembuatan hukum dan norma di Indonesia harus sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila karena Pancasila merupakan dasar yang paling fundamental
dalam pembangunan negara Indonesia.
Jenis dan Hierarki.
Jenis dan Hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis dan Tata Urutan Perundang-
undangan Indonesia terakhir di atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tidak ada salahnya terlebih dahulu
mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya tentang Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Indonesia dari masa ke masa, sebagai berikut:
1. Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber
tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik
Indonesia.
Urutannya yaitu :
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
2. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
PerUndang-Undangan.yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) UU;
4) Peraturan pemerintah pengganti UU;
5) PP;
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2) UU/Perppu;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2) Ketetapan MPR;
3) UU/Perppu;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah Provinsi;
6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas :


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis
besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
UUD1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
Setelah itu terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak
berlaku, namun melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD
1945 berlaku kembali sampai dengan sekarang.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban
kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan
(beschikking). Pada masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan
MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah
UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.
Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Contoh : TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER
HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA NOMOR III/MPR/2000

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari
presiden dan DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa
saja presiden yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika
DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk
konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam
rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN
2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan
sebagai berikut:
1.Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR;
2. Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;
3. DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
4. Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan
Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI.
e. Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.
Contoh : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
10 TAHUN 1987 TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN TAMBAHAN,
DAN SATUAN LAIN YANG BERLAKU danPERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48TAHUN1973
TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEUANGAN DAERAH.

f. Peraturan Daerah Provinsi


Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara
yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam
beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi
menjadi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah
dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
Contoh : PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN
PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DI PROPINSI DAERAH
KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA dan PERDA NO. 10 TAHUN 2008 PERATURAN
DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 10 TAHUN 2008
TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
Contoh : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II
GRESIK” NOMOR 01 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK
NOMOR 01 TAHUN 1989 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK
TAHUN ANGGARAN 1989/1990.

Perbedaan Hirarkhi Tata Urutan Perundang-undangan di dalam Undang-


undang 12 tahun 2011 dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ini mempunyai
dampak hukum terhadap Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan dimana sesuai dengan asas bahwa
ketika ada suatu peraturan perundang-undangan yang sama, maka yang digunakan
adalah peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini dipertegas dalam Pasal
102 dimana berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan
Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Perubahan
yang mencolok terdapat pada Hirarkhi Peraturan Perundang-undanganya dimana
dalam UU No 10 tahun 2004.

Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia


Berdasarkan azas “lex superiori derogate lex inferiori” yang maknanya hukum yang unggul
mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka kami merasa harus
memberikan penjelasan mengenai tata urutan perundang-undangan di Indonesia.
Berikut dikemukkakan beberapa defenisi atauu pengertian dari iistiilah yang terdapat atau
diikkenal dalam ilmu perunddang-unndanngan, sebagai beriikut :
1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
2. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar (konstitusi)
yang tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan
Peraturan Perundang-undangan nasional.
3. Ketetapan MPR merupakan putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR,
yang terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :
4. Ketetapan yaitu putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis;
5. Keputusan yaitu putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
6. Undang-Undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan bersama Presiden.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan :
8. Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut;
9. DPR dapat menerima/menolak Perppu tanpa melakukan perubahan;
10. Bila disetujui oleh DPR, Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang;
11. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
12. Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya.
13. Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan.
14. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
Gubernur.
15. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan Bupati/Walikota.

Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebelum menuju pada
poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia menurut UU No. 12 Tahun 2012, tak
ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya.
Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia di masa
sebelumnya.

Badan/Pejabat Yang Berwenang Membentuk Peraturan Perundang-undangan.


Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan,
yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan,
memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.
Menurut Frans Magnis Suseno kewenangan adalah kekuasaan yang dilembagakan. Menurut
H.D Stoud kewewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik didalam hubungan hukum publik. Menurut Nomensen Sinamo, kewenangan yang
dimaksud H.D Stoud ini adalah kewenangan yang dilimpahkan kepada instansi yang
melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam ketentuan perundang-
undangan. Sementara itu menurut S.F Marbun wewenang mengandung arti kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-
hubungan hukum.
Sedangkan dalam Black Law Dictionary kewenangan diartikan lebih luas, tidak hanya
melakukan praktek kekuasaan, tetapi kewenangan juga diartikan dalam konteks menerapkan
dan menegakan hukum, adanya ketaatan yang pasti, mengandung perintah, memutuskan,
adanya pengawasan yuridiksi bahkan kewenangan dikaitkan dengan kewibawaan, kharisma
bahkan kekuatan fisik.
Wewenang merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
sebab didalam wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban, bahkan di dalam hukum
tata negara wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtskracht). ) Artinya
hanya tindakan yang sah (berdasarkan wewenang) yang mendapat kekuasaan hukum
(rechtskracht). ) Sementara itu menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR
mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan.
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
berarti hak dan kewajiban.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan pengertian kewenangan adalah
kemampuan untuk bertindak berdasarkan kekuasaan yang sah. Dikatakan kemampuan untuk
bertindak sebab, kata bertindak mengandung arti berbuat, beraksi, berlaku, perbuatan,
tindakan, dan langkah yang menunjukan suatu kemampuan. Kemampuan itu harus didasarkan
atas kekuasaan yang sah. Hukumlah yang melegitimasi kekuasaan, sehingga dikatakan sah.
Sehingga kewenangan lahir karena kekuasaan yang sah menurut hukum. Suatu tindakan
pejabat publik dikatakan tidak sah (sewenang-wenang) jika tidak berdasar atas hukum. Perlu
di pahami bahwa, antara kekuasaan dan kewenangan saling berkaitan namun tidak
mempunyai arti yang sama.
Sumber-Sumber Kewenangan.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasar atas kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah
hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya hukum itu sendiri pada
hakikatnya adalah kekuasaan. Kalau dikatakan hukum itu adalah kekuasaan tidak berarti
kekuasaan itu adalah hukum. ) Sehingga pelaksanaan suatu kekuasaan harus bersumber dari
hukum.
Menurut Miriam Budiardjo Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar
negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat bekerja
untuk melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang atau negara. ) Kekuasaan yang diberikan kepada negara
(organ-organ negara) harus dengan batas-batas yang pasti yang diwujudkan dalam hukum
supaya kewenangan (hak dan kewajiban) penyelenggara negara dapat di pastikan oleh hukum
yang mengikat antara negara dengan warga negara.
Kewenangan yang dilandasi oleh ketentuan hukum disebut kewenangan hukum. Sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ)
dalam mengeluarkan keputusan, bersumber dari kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan
bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan
dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. ) Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah
suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. ) Sedangkan menurut Nomensen Sinamo dalam kepustakaan hukum
administrasi hanya ada dua cara utama untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan
delegasi, adapun mandat hanya kadang-kadang saja. Oleh karena itu ditempatkan secara
tersendiri. )
Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh kewenangan yakni atribusi (atributie),
delegasi (delegatie) dan mandat (mandaat). ) atribusi (atributie) adalah wewenang
pemerintahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang
pemerintah dimaksud telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
wewenang ini kemudian disebut sebagai asas legalitas (legalitiebeginsel), wewenang ini
dapat didelegasikan. ) Delegasi (delegatie) adalah wewenang yang diperoleh atas dasar
pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi
adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi (atributie) akibat hukum ketika
wewenang dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris). ) Mandat
(mandaat) adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara
atasan dengan bawahan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari segi tanggung jawabnya maka pada wewenang mandat (mandaat) tanggung
jawab dan tanggunggugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), penerima mandat
(mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggunggugat atas wewenang yang
dijalankan. )
Terhadap pengertian mandat, S.F. Marbun sebagaimana dikutip oleh Nomensen Sinamo
menjelaskan, bahwa pengertian mandat menurut hukum tata negara dengan hukum
administrasi negara ada perbedaan yang prisipiil, hal ini jika dikaitkan dengan penjelasan
UUD 1945 sebelum diamandemen yang merujuk pada hubungan fungsional antara MPR dan
Presiden, yakni Presiden sebagai mandataris MPR. Disini hubungan fungsional yang ada
menggunakan istilah mandat (mandataris). Perbedaan yang sangat prinsipiil, yakni berkaitan
dengan tanggung jawab dan tanggunggugat pemberi mandat. Menurut hukum administrasi
negara tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pemberi mandat, sedangkan Presiden
sebagai mandataris MPR dimaknai Presiden bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR
bertanggung jawab kepada rakyat yang berdaulat, namun demikian tanggunggugat tetap
berada pada presiden, sebenarnya wewenang dimaksud cenderung wewenang delegasi. )
Kewenangan Membentuk Undang-Undang.
Sebagaimana telah dibicarakan dimuka, kewenangan lahir karena kekuasaan yang sah.
Kekuasaan yang sah menciptakan hukum, sebaliknya hukum memberi legitimasi terhadap
kekuasaan sehingga dapat dikatakan sebuah kekuasaan itu sah. Maka berbicara tentang
sumber kewenangan membentuk undang-undang, tentu hukum harus dijadikan acuan. Oleh
sebab, di dalam negara hukum (rechtstaat) dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya
dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum
dengan sistem eropa kontinental.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah hukum tertinggi di Indonesia, sekaligus norma
dasar/pokok yang mengatur hubungan antara lembaga negara baik secara horizontal maupun
vertikal dan jaminan akan hak-hak dasar warga negara serta hubungan antara negara dengan
warga negara. Atas dasar itu maka, UUD 1954 harus dijadikan pedoman untuk melihat
bagaimana mekanisme pelaksanaan kekuasaan negara dalam wujud organ (Lembaga) negara
yang sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga negara yang diberikan secara
atribusi ataupun delegasi oleh UUD 1945. Sehingga hal mana, sesuai dengan penegasan
bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat) hukum bukan negara kekuasaan
(machtstaat).
Berdasarkan UUD 1945 pasal 20 ayat (1) mengatakan DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif). Meski demikian DPR tidak secara terpisah
bisa membentuk undang-undang secara absolut tanpa persetujuan cabang kekuasaan lain.
Selanjutnya pasal 20 ayat (2) mengatakan setiap rancangan undang-undang di bahas bersama
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, ayat (3) jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang
mengatakan presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Disamping
itu terdapat lembaga negara lain dalam lingkungan legislatif yang mempunyai fungsi
legislasi, yaitu DPD. Menurut pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD dapat mengajukan kepada
DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Terkait kewenangan membentuk undang-undang, Maria Farida
berpendapat bahwa ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945 tersebut
mempunyai makna, bahwa kekuasaan membentuk undang-undang itu sebenarnya dipegang
secara bersama-sama oleh DPR dan Presiden.
Masih menurut Farida, pengertian DPR memegang “kekuasaan membentuk” undang-undang
yang ditetapkan dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 seharusnya dapat diartikan sebagai
“memegang kewenangan” karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini suatu kekuasaan
membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung makna kewenangan
membentuk undang-undang. Namun demikian rumusan pasal 20 ayat (1) tersebut dalam
kajian perundang-undangan tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dengan ketentuan pada
ayat-ayat selanjut.
Sementara, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa fungsi legislasi oleh cabang kekuasaan
legislatif dalam bentuk konkretnya adalah fungsi pengaturan (regelende functie) ini terwujud
dalam pembentukan undang-undang (wetgevende functie atau law making function). Fungsi
pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan
peraturan yang mengikat warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945. ) Selanjutnya,
kewenangan pengaturan yang lebih operasional itu dianggap berasal dari delegasi
kewenangan legislatif, sehingga harus ada perintah atau pendelegasian kewenangan
(legislative delegation of rule-making power) kepada lembaga eksekutif untuk menentukan
pengaturan lebih lanjut.
Lebih jauh menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menetukan
bahwa peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,
adalah kewenangan yang diberikan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat
itu dapat berbentuk kewenangan atributif, kewenangan delegatif, maupun mandat. Suatu
kewenangan atributif menunjuk kepada kewenangan yang asli yang di berikan konstitusi atau
diberikan undang-undang sesuai konteks hukum tata negara. Sedangkan kewenangan
delegatif harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang
lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan
tetapi pejabatlah yang diberi mandat. Artinya dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi
mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandatory (pemberi mandat). ).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat diatas, menurut penulis kewenangan membentuk
undang-undang (wetgevendemacht) ada pada kekuasaan legislatif. Sesuai dengan fungsinya
yaitu fungsi pengaturan (regelende functie) dan berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) UUD
1945. Dengan asumsi, kewenangan ini adalah kewenangan artibutif. Artinya kewenangan
orisinil yang diberikan oleh UUD tahun 1945.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasar atas kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah
hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya hukum itu sendiri pada
hakikatnya adalah kekuasaan. Kalau dikatakan hukum itu adalah kekuasaan tidak berarti
kekuasaan itu adalah hukum. Sehingga pelaksanaan suatu kekuasaan harus bersumber dari
hukum.
Menurut Miriam Budiardjo Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar
negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat bekerja
untuk melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang atau negara. Kekuasaan yang diberikan kepada negara
(organ-organ negara) harus dengan batas-batas yang pasti yang diwujudkan dalam hukum
supaya kewenangan (hak dan kewajiban) penyelenggara negara dapat di pastikan oleh hukum
yang mengikat antara negara dengan warga negara.
Kewenangan yang dilandasi oleh ketentuan hukum disebut kewenangan hukum. Sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ)
dalam mengeluarkan keputusan, bersumber dari kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan
bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan
dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. ) Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah
suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Sedangkan menurut Nomensen Sinamo dalam kepustakaan hukum
administrasi hanya ada dua cara utama untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan
delegasi, adapun mandat hanya kadang-kadang saja. Oleh karena itu ditempatkan secara
tersendiri.
Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh kewenangan yakni atribusi (atributie),
delegasi (delegatie) dan mandat (mandaat). Atribusi (atributie) adalah wewenang
pemerintahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang
pemerintah dimaksud telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
wewenang ini kemudian disebut sebagai asas legalitas (legalitiebeginsel), wewenang ini
dapat didelegasikan. Delegasi (delegatie) adalah wewenang yang diperoleh atas dasar
pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi
adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi (atributie) akibat hukum ketika
wewenang dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris). Mandat
(mandaat) adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara
atasan dengan bawahan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.
Ditinjau dari segi tanggung jawabnya maka pada wewenang mandat (mandaat) tanggung
jawab dan tanggunggugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), penerima mandat
(mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggunggugat atas wewenang yang
dijalankan.
Terhadap pengertian mandat, S.F. Marbun sebagaimana dikutip oleh Nomensen Sinamo
menjelaskan, bahwa pengertian mandat menurut hukum tata negara dengan hukum
administrasi negara ada perbedaan yang prisipiil, hal ini jika dikaitkan dengan penjelasan
UUD 1945 sebelum diamandemen yang merujuk pada hubungan fungsional antara MPR dan
Presiden, yakni Presiden sebagai mandataris MPR. Disini hubungan fungsional yang ada
menggunakan istilah mandat (mandataris). Perbedaan yang sangat prinsipiil, yakni berkaitan
dengan tanggung jawab dan tanggunggugat pemberi mandat. Menurut hukum administrasi
negara tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pemberi mandat, sedangkan Presiden
sebagai mandataris MPR dimaknai Presiden bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR
bertanggung jawab kepada rakyat yang berdaulat, namun demikian tanggunggugat tetap
berada pada presiden, sebenarnya wewenang dimaksud cenderung wewenang delegasi.
Sebagaimana telah dibicarakan dimuka, kewenangan lahir karena kekuasaan yang sah.
Kekuasaan yang sah menciptakan hukum, sebaliknya hukum memberi legitimasi terhadap
kekuasaan sehingga dapat dikatakan sebuah kekuasaan itu sah. Maka berbicara tentang
sumber kewenangan membentuk undang-undang, tentu hukum harus dijadikan acuan. Oleh
sebab, di dalam negara hukum (rechtstaat) dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya
dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum
dengan sistem eropa kontinental.

Pertemuan Ke-Empat.
Asas-Asas Pembentukan dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan
A.Pengantar.

Asas-asas hukum (rechtbegin-selen) adalah dasar-dasaar yang menjadi sumber pandangan


hidup, kesadaran, cita-cita hukum dari masyarakat.
Thomas Aquino (1225-1274) dalam Budiman N.P.D.Sinaga dalam konsepsi mengenai
hukum alam membagi asas-asas hukum itu menjadi dua jenis sebagai berikut:
i. Prinsipia prima, atau asas-asas umum, yaitu asas-asas yang langsung dimiliki manusia
sejak kelahiran.
ii. Prinsipia Secundearia, yaitu asas-asas yang dijabarkan dari asas-asas umum yang tidak
berlaku mutlak dan dapat berubah karena pengaruh ruang dan waktu.
Beberapa pendapat tentang asas-asas hukum, sebagai berikut:
a. Bellefroid berpendapat, bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum ini merupakan pengendapan
hukum positif dalam suatu masyarakat.
b. Van Eikema Hommes mebngatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tertapi perlu dipandang sebagai
dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan
hukm praktis perlu berorientasi pada asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas
hukum ialah dasar-dasar atau penunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
c. Van der Velden mengatakan bahwa, asasa hukum adalah type putusan tertentu yang
dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai
pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau lebih yang
menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi.
d. Scholten, asas hukum adalah kecendrungan-kecendrungan yang disyaratkan oleh
pandangan kesusilaan pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala
keterbatasan sebagai pembawaan yang umum tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
e. Dari beberapa pendapat sebagaimana di atas, Sudikno Mertokusumo berkesimpulan
bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit nelainkan merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-
ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Asas-asas Peraturan Perundang-Undangan
Prof.Purnadi Purbacaraka dan Prof.Soerjono Soekanto, meperkenalkan enam asas sebagai
berikut :
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula;
c. UU yang bersifat khusus mengenyampingkan UU yang bersifat umum (lex
specialis derogat legi generalis);
d. UU yang berlaku belakangan mengenyampingkan UU yang berlaku terdahulu
(lex posterior derogat legi priori);
e. UU tidak dapat diganggu gugat;
f. UU sebagai saran untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu,melalui pembaharuan
atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Dalam kaitan ini, Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-
undangan, yaitu :
a. Asas tingkatan hierarki;
b. UU tidak dapat diganggu gugat;
c. UU yang bersifat khusus mengenyampingkan UU yang bersifat umum (lex
specialis derogat legi generalis);
d. Undang-undang tidak berlaku surut;
e. UU yang berlaku belakangan mengenyampingkan UU yang berlaku terdahulu
(lex posterior derogat legi priori).
Asas “undang-undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan lingkungan kuasa
waktu atau “temporal sphere”. Hal itu pernah dikemukakan oleh Hans Kelsen
maupun JHA Logemann, yang berhubungan dengan teori tentang lingkup atau
lingkungan berlakunya hukum (geldingsgebied van het recht). Menurut Logemann,
lingkungan kuasa hukum meliputi empat hal, yaitu :
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
Seperti diketahui,”daerah kekuasaan” berlakunya suatu Undang-undang dapat
meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau materi
tertentu hanya diberlakukan untuk suatu daerah tertentu (Daerah Tingkat I atau
Daerah Tingkat II).
b. Lingkungan kuasa persoalan (zekengebied atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian, maka persoalan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi
yang diatur, apakah persoalannya merupakan persoalan publik atau privat,
persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya.Materi tersebut menunjukkan
lingkup masalah atau persoalan yang diatur.
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied).
Dengan ditetapkannya subyek (orang) tertentu dalam peraturan perundang-
undangan,maka memperlihatkannya adanya pembatasan mengenai orangnya.
Misalnya, UU tentang Pegawai Negeri, UU tentang Tenaga Kerja, UU tentang
Pidana Militer, UU tentang Pajak Orang Asing, dan sebagainya menunjukkan
bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi
kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-undangan
tersebut.
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan
berlaku, berlaku untuk masa tertentu atau masa tidak tertentu,mulai berlaku sejak
ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan.Berlakunya suatu peraturan
hukum ditentukan oleh waktu.
Dalam teori tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan sebagaimana
ditentukan oleh Hans Kelsen, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip tata urutan,
yaitu bahwa :
a. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau
mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi,tetapi yang sebaliknya dapat.
b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut,diubah,atau ditambah oleh atau dengan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai tingkatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti,
atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
d. Materi yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih
rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.
Asas hukum sebagaimana yang dikenal oleh bangsa-bangsa di dunia, bagi bangsa Indonesia
bukan sesuatu yang baru karena ternyata sudah dikenal juga dalam hukum adat. Adapun
asas-asas hukum adat menurut Soepomo adalah sebagai berikut:
1) Asas gotong royong;
2) Asas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam masyarakat;
3) Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4) Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.

Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, asas
adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum sebagai basic truth , sebab melalui
asas hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum, dan menjadi
sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya. Menurut I. C. Van Der
Vlies dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada beberapa asas formal dan
material yang harus perhatikan antara lain sebagai berikut:
1. Asas Formal
A.asas tujuan yang jelas.
B.asas lembaga yang tepat.
C.asas perlunya pengaturan.
D.asas dapat dilaksanakan.
E.asas konsensus.
2. Asas Material
a. asas terminologi dan sistematika yang benar.
b.asas dapat dikenali
c.asas perlakuan yang sama di depan hukum.
d.asas kepastian hukum.
e.asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.

Berbeda lagi dengan A. Hamid S Attamimi menurutnya asas material terdiri:


1. asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundmental negara.
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3. asas sesuai dengan prinsip negara hukum.
4. asas sesuai dengan prinsip negara berdasar konstitusi.
5. asas keadilan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
6. asas ketertiban, perdamaian, pengayoman dan perikemanusiaan.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan


perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan
antara lain:
1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau
melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat
legi generalis);
5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-
undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil
masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van der Vlies
dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:
Asas-asas formil:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa
dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan
perundagundagan yang berwenang; peraturan perundangundangan tersebut dapat
dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi hukum(vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh
lembaga atau organ yang tidak berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan
bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di
masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis
sejak tahap penyusunannya;
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
Asas-asas materiil:
1) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologie en
duidelijke systematiek);
2) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).
Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada pembentuk undang-undang agar
selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan asas
materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:
1) “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang,
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
3) “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;
4) “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
5) “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
7) “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:


1) “asas pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
2) “asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
3) “asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) “asas kekeluargaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan;
5) “asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi muatan
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
6) “asas bhinneka tunggal ika”, bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7) “asas keadilan” , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara;
8) “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” , bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial;
9) “asas ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian;
10) “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara;
11) “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan”, antara lain:
1. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
2. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Untuk dapat memahami secara mudah dan komprehensif serta unntuk menghindari kesalahan
penafsiran terhadap substansi Undang-Unddang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan melalui beberapa Pengertian, berikut :
 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-Undangan yang mencakup tahapan, perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
 Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
Perundang-Undangan.
 Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
 Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
 Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintah.
 Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.
 Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrument
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
 Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrument
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
 Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
 Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perunang-Undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan.
 Hukum dasar adalah norma dasar bagi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
 Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau Pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang.
 Asas Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
Undangan.
 Asas Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
 Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
Undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Asas Kejelasan Rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam
pelaksanaannya.
 Asas Keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
 Asas Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
 Asas Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
 Asas Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Asas Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
 Asas Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh Wilayah Indonesia dan
materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus memperhatikan keseragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
 Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara.
 Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
 Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
 Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
Negara.
 Asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan Perundang-Undangan yang
bersangkutan antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah.
b. Dalam hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan
dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Semua asas di atas,
harus terpateri dalam diri penentu kebijakan yang akan membentuk peraturan
perundangundangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam
setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya membentuk peraturan ini?
Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen
lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh
penentu kebijakan, pembentuk peraturan perundang-undangan harus selalu bertanya, apakah
rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan penafsiran?
Di luar asas-asas di atas, dalam ilmu hukum atau ilmu perundangundangan, diakui adanya
beberapa teori atau asas-asas yang selalu mengikuti dan mengawali pembentukan peraturan
perundang-undangan dan secara umum teori dan asas-asas terserbut dijadikan acuan oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan.

Pertemuan Ke -Lima.
Program Legislasi dan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
Pengantar.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah hukum tertinggi di Indonesia, sekaligus norma
dasar/pokok yang mengatur hubungan antara lembaga negara baik secara horizontal maupun
vertikal dan jaminan akan hak-hak dasar warga negara serta hubungan antara negara dengan
warga negara. Atas dasar itu maka, UUD 1954 harus dijadikan pedoman untuk melihat
bagaimana mekanisme pelaksanaan kekuasaan negara dalam wujud organ (Lembaga) negara
yang sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga negara yang diberikan secara
atribusi ataupun delegasi oleh UUD 1945. Sehingga hal mana, sesuai dengan penegasan
bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat) hukum bukan negara kekuasaan
(machtstaat).
Berdasarkan UUD 1945 pasal 20 ayat (1) mengatakan DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif). Meski demikian DPR tidak secara terpisah
bisa membentuk undang-undang secara absolut tanpa persetujuan cabang kekuasaan lain.
Selanjutnya pasal 20 ayat (2) mengatakan setiap rancangan undang-undang di bahas bersama
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, ayat (3) jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang
mengatakan presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Disamping
itu terdapat lembaga negara lain dalam lingkungan legislatif yang mempunyai fungsi
legislasi, yaitu DPD. Menurut pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD dapat mengajukan kepada
DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Terkait kewenangan membentuk undang-undang, Maria Farida berpendapat bahwa ketentuan
dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945 tersebut mempunyai makna, bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang itu sebenarnya dipegang secara bersama-sama oleh DPR dan
Presiden. Pengertian DPR memegang “kekuasaan membentuk” undang-undang yang
ditetapkan dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 seharusnya dapat diartikan sebagai
“memegang kewenangan” karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini suatu kekuasaan
membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung makna kewenangan
membentuk undang-undang. Namun demikian rumusan pasal 20 ayat (1) tersebut dalam
kajian perundang-undangan tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dengan ketentuan pada
ayat-ayat selanjut.
Sementara Proffesor Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa fungsi legislasi oleh cabang
kekuasaan legislatif dalam bentuk konkretnya adalah fungsi pengaturan (regelende functie)
ini terwujud dalam pembentukan undang-undang (wetgevende functie atau law making
function). Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk
menentukan peraturan yang mengikat warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945. )
Selanjutnya, kewenangan pengaturan yang lebih operasional itu dianggap berasal dari
delegasi kewenangan legislatif, sehingga harus ada perintah atau pendelegasian kewenangan
(legislative delegation of rule-making power) kepada lembaga eksekutif untuk menentukan
pengaturan lebih lanjut. )
Lebih jauh menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menetukan
bahwa peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,
adalah kewenangan yang diberikan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat
itu dapat berbentuk kewenangan atributif, kewenangan delegatif, maupun mandat. ) Suatu
kewenangan atributif menunjuk kepada kewenangan yang asli yang di berikan konstitusi atau
diberikan undang-undang sesuai konteks hukum tata negara. Sedangkan kewenangan
delegatif harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang
lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan
tetapi pejabatlah yang diberi mandat. Artinya dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi
mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandatory (pemberi mandat).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat diatas, menurut penulis kewenangan membentuk
undang-undang (wetgevendemacht) ada pada kekuasaan legislatif. Sesuai dengan fungsinya
yaitu fungsi pengaturan (regelende functie) dan berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) UUD
1945. Dengan asumsi, kewenangan ini adalah kewenangan artibutif. Artinya kewenangan
orisinil yang diberikan oleh UUD tahun 1945.
Program Legislasi Nasional.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebelumnya harus mengacu kepada Prakarsa
Pengajuan Rancangan Undang-undang sebagai dasar konstitusionalnya setelah perubahan
UUD 1945 mengalihkan kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sebagaimana
pandangan Jimly Assihidiqie (2005:135), perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi
“Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR” yang diikuti dengan perubahan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang 8 Pasal 20 ayat (1),
UUD 1945. 9 Pasal 21, UUD 1945. 10 Pasal 25 huruf (a), UU MD3. 65 kekuasaan
membentuk undang-undang” telah mendorong pergeseran kekuasaan legislatif atau
kekuasaan pembentuk undang-undang dari tangan Presiden ke DPR. Dalam mewujudkan
negara hukum yang demokratis, pembangunan sistem hukum nasional perlu dilakukan
dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan partisipatif, berintikan
keadilan dan kebenaran untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan membagi mekanisme pembentukan undang-undang ke dalam beberapa
tahapan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
Perencanaan adalah suatu proses di mana DPR dan pemerintah menyusun rencana dan skala
prioritas undang-undang yang dibuat oleh DPR dalam jangka waktu tertentu. Proses ini
diwadahi oleh suatu program yang disebut Program Legislasi Nasional yang selanjutnya
disebut Prolegnas. Keberadaan Prolegnas adalah sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang yang terencana, terpadu, dan sistematis. Proses legislasi setelah
perubahan UUD 1945 berkonsekuensi pada penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan
Pemerintah yang dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. Dalam hal ini, pekerjaan dikoordinasi oleh Baleg DPR RI.
Adapun dalam tahapan koordinasi penyusunan.
Prolegnas menurut Ahmad Yani (2011:60) meliputi: a. Badan legislasi melakukan koordinasi
dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyusun dan menetapkan Prolegnas
jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek; b. Koordinasi Badan Legislasi dengan
pemerintahan dalam penyusunan Prolegnas dilakukan menurut tahap pembahasan, yaitu: 1.
Rapat Kerja (Raker) 2. Rapat Panitia Kerja (Panja) 3. Rapat Tim Perumus (Timus), dan/atau
4. Rapat Tim Sinkronisasi (Timsin) c. Dalam rapat koordinasi, Badan Legislasi bersama
dengan pemerintah membahas bersama daftar usulan dan RUU dari DPR dan daftar usulan
RUU dari pemerintah; d. Prolegnas Jangka Menengah dan hasil pembahasan disepakati
menjadi Prolegnas. Penetapan prioritas Prolegnas tahunan berkaitan erat dengan penentuan
arah kebijakan pembangunan politik hukum nasional. Ia menjadi dasar hukum penyusunan
Prolegnas keanggotaan DPR periode 2009-2014 dengan mengacu kepada UU No. 10/2004
sebelum diganti dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam setiap penyusunan prioritas Prolegnas sebagai pelaksanaan Prolegnas
jangka menengah, DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat
kelengkapan dewan yang khusus menangani 67 bidang legislasi. Dalam hal ini yang
melakukannya adalah Baleg DPR. Untuk penentuan skala prioritas program pembentukan
undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional salah satunya didasarkan
atas aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Adapun ketentuan penyusunan Prolegnas
periode 2009-2014 masih mengacu pada UU No. 10/2004 sebelum diberlakukan UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang melingkupi antara lain:
1. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi:
“Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Nasional”;
2. Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005
tentang Tata Cara Pengelolaan Program Legislasi Nasional yang menentukan
“Prolegnas ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.”
3. Pasal 106 ayat (6) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata
Tertib yang menyatakan bahwa “penyusunan dan penetapan Prolegnas
prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan
setiap tahun sebelum penetapan rancangan undang-undang tentang anggaran
pendapatan dan belanja negara.”
Program legislasi nasional sebagaimana dikenal saat ini merupakan tahapan paling awal dari
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni pada tahap perencanaan
sebagaimana diatur dalam ketentuan umum UU No. 10/2004 yang telah diubah UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam ketentuan tersebut
dinyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”. Namun, menurut M. Solly
Lubis (2011:89-90), program legislasi kedudukannya baru setingkat rencana atau keinginan.
Ia mempertanyakan mengapa banyak kalangan yang menganggapnya sebagai hal yang
penting dan perlu untuk dikelola dengan baik. Sebagaimana dikatakan pada umumnya,
kelemahan dalam aspek perencanaan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi cukup
besar atas tersendatnya pembangunan hukum di negara kita. Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU
No. 10/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengartikan Prolegnas sebagai suatu instrumen atau suatu
mekanisme. Apa yang dikatakan dalam pasal tersebut adalah “Program legislasi nasional
yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.”
Di samping itu, secara operasional Prolegnas sering dipakai ketika merujuk pada materi atau
substansi rencana pembentukan. Lihat dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU
No. 10/2004 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 12/2011. 69
peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, Prolegnas adalah daftar rencana
pembentukan peraturan perundangundangan yang disusun berdasarkan metode dan parameter
tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Rencana legislasi,
sebagaimana dimaksud M. Solly Lubis, adalah “Usulan-usulan berupa rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan, baik untuk jangka panjang, menengah, maupun pendek yang
akan dibuat atau disusun oleh departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dan lembaga
atau institusi-institusi pemrakarsa lainnya” (Lubis 2011:90). Untuk itu, penyusunan Prolegnas
sebagaimana diatur dalam UU No. 12/2012 Penyusunan Rancangan Undang-Undang
didasarkan atas: 1. Perintah UUD 1945; 2. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; 3. Perintah Undang-Undang lainnya; 4. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
5. Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional; 6. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah; 7. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan 8. Aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam pembentukan undang-undang, ada tiga prinsip yang perlu di perhatikan, yaitu:
1. Kesetian kepada cita-cita sumpah pemuda,proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pancasila serta nilai-
nilai konstitusional dalam Undang-Undang Dasar RI tahun 1945.
2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan
damai.
3. Dikembangkannya norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung
dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancer,dan damai, serta
mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.
Adapun visi pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya negara hukum yang
adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan
membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan
kebenaran yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan
bangsa,serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk mencapai visi tersebut, prolegnas disusun dengan misi sebagai berikut :
1. Mewujudkan materi hukum segala bidang dalam rangka penggantian terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang masih
tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian,
keadilan, dan kebenaran dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum.
3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan
berintegritas tinggi.
4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.
Kebijakan program legislasi nasional diarahkan untuk sebagai berikut :
1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik,
agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembagunan
daerah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan sebagai
pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Mengganti peraturan peundang-undangan peninggalan kolonial dan
menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman.
3. Mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam
proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh
Undang-Undang Dasar.
4. Membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat
informasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia, dan
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan kejahatan transnasional.
5. Meratifikasi secara selektif kondisi internasional yang diperlukan untuk mendukung
pembangunan ekonomi, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia serta
pelestarian lingkungan hidup.
6. Membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat
dan kemajuan zaman.
7. Memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas, professional, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan
gender.
8. Menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan di segala bidang
yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara yang mewujudkan
prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi, dan keadilan.
Dalam program legislasi nasional tahun 2005-2009, menurut Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, penentuan skala prioritas Rancangan Undang-Undang ditetapkan
beberapa pertimbangan,yakni :
1. merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945;
2. merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;
4. mendorong percepatan reformasi;
5. merupakan warisan prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang lainnya;
7. merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;
8. berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender;
9. mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan
meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.
Adapun maksud pengaturan program legislasi nasional adalah :
1. Memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum dibidang peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.
2. Menyusun skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang sebagai suatu
program yang berkesinambungan dan terpadu yang dijadikan pedoman bersama
dalam pembentukan undang-undang oleh lembaga yang berwenang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.
3. Menyelenggarakan sinergi antarlembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat.

Tujuan program legislasi nasional,yaitu :


2. mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
bagian dari pembentukan sistem hukum nasional;
3. membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan perekat
bidang pembangunan lainnya serta mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai
sarana rekayasa sosial pembangunan,instrumen pencegah/penyelesaian
sengketa,pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana pengintegrasian
bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum,terutama
penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat;
5. menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada,yang tidak
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat;
6. membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat.
Menurut Soehino, ada empat hal yang menjadi materi Undang-undang, yaitu :
1. Materi yang menurut UUD 1945 harus diatur dengan Undang-undang;
2. Materi yang menurut Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang
legislatif harus dilaksanakan dengan Undang-undang;
3. Materi yang menurut ketentuan Undang-undang Pokok atau Undang-undang
tentang Pokok-pokok, harus dilaksanakan dengan Undang-undang;
4. Materi lain yang mengikat umum, seperti yang membebankan kewajiban kepada
penduduk, yang mengurangi kebebasan warga negara,yang memuat keharusan
dan/atau larangan.
Menurut A.Hamid S Attamimi,butir-butir materi muatan Undang-undang Indonesia
adalah:
1. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD 1945 dan Ketetapan MPR;
2. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
3. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
4. Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara;
5. Yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
6. Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga negara;
7. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
8. Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan;
9. Yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
Bagir Manan, mengajukan empat ukuran untuk menetapkan materi atau obyek yang harus
diatur dengan Undang-undang, yaitu :
a. Materi yang ditetapkan dalam UUD 1945;
b. Materi yang oleh Undang-undang terdahulu akan dibentuk dengan undang-
undang;
c. Undang-undang dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah Undang-
undang yang sudah ada;
d. Undang-undang dibentuk karena menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hak-
hak dasar atau hak asasi manusia.
Di dalam pasal 1 UU RI No. 12. Tahun 2011, Berikut penjelasan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan.
 Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
 Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
 Program legislasi nasional yang selanjutnya disebutprolegnas adalah instrumen
perencanaan program pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah
kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis
 Program legislasi daerah yang disebut dengan progledaadalah instrumen
perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana
terpadu dan sistematis.
 Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaga
negara Republik Indonesia, berita negara Republik Indonesia, tambahan berita negara
Republik Indonesia, lembaga daerah, tambahan lembaran daerah atau berita daerah.
 Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki peraturan
perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan ini dikeluarkan oleh lembagaatau pejabat yang
berwenang atau legislatif atau eksekutif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata
perundang-undangan dalam sebuah negara. Pada peraturan perundang-undanga yang
dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah harus mengacu atau tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih
tinggi. Contohnya, perda provinsi yang mengatur tentang pendapatan daerah tidak
boleh bertentangan dengan UU yang ditetapkan lembaga perwakilan rakyat di pusat.

Sifat dan Ciri-Ciri Peraturan Perundang-undangan - Semua peraturan perundang-


undangan memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut :
 Peraturan perundang-undangan dalam wujud peraturan tertulis
 Peraturan perundang-undangan dibentuk, ditetapkan, dan di keluarkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun didaerah
 Peraturan perundang-undangan berisi aturan pola tingkah laku atau norma hukum.
 Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh

Pertemuan Ke-Enam
Prosedur dan Tatacara Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan

Landasan Peraturan Perundang-undangan.


Landasan Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan - Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di bentuk dalam 3 landasan hukum.
Landasan Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan adalah :

a. Landasan Filosofis, adalah peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki


landasan filosofis, apabila rumusannya atau normanya mendapatkan pembenaran dikaji
secara filosofis. Jadi, alasan sesuai dengan cita-cita pandangan hidup manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat dan sesuai cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan
(way of life), filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan.
Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa tidak lain berisi nilai-nilai moral atau
etika bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang
tidak baik, Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi.
Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang
dianggap baik. Hukum yang baik harus berdasarkan kepada semua itu. Semua nilai yang
ada di Indonesia terakumulasi dalam Pancasila.
Apapun jenis filsafat hidup bangsa,harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum
bangsa tersebut. Oleh karena itu,kaidah hukum yang dibentuk harus mencerminkan
filsafat hidup bangsa tersebut. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moral bangsa.Hukum harus berakar dari moral.
b. Landasan Sosiologis, adalah Suatu peraturan perundang-undangan dapat dikatakan
memiliki landasan sosiologis jika sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum
masyarakat, tata nilai, dan hukum yang hidup dimasyarakat agar peraturan yang dibuat
dapat dijalankan.
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis
apabila ketentuan-ketantuanya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh
masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf belaka. Hukum yang dibentuk harus sesuai
dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.
Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment
opname). Masyarakat berubah,nilai-nilai pun berubah, kecendrungan dan harapan
masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-
undangan yang berorientasi masa depan.
c. Landasan Yudiris, adalah Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki
landasan yudiris jika terdapat dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam
ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
Landasan yuridis ialah landasan hukum (yurisdicsche gelding),yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegdehid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat
diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan,seorang pejabat atau
suatu badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan.
Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan karena akan menunjukkan :
a. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peaturan perundang-undangan.
b. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diatur, terutama diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
c. Keharusan mengikuti tata cara tertentu.
d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
d.Landasan Politis, Landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pegarahan ketatalaksanaan
pemerintahan negara. Hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada masa Orde
Baru yang tertuang dalam GBHN atau pada masa Reformasi tertuang dalam Prolegnas dan
Prolegda. Ini memberikan pengarahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
yang akan dibuat oleh badan yang berwenang. Atau dapat juga tertuang dalam kebijakan
nasional sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan ditempuh selama pemerintahannya
ke depan. Kebijakan ini tertuang dalam kebujakan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Propenas). Semua itu dapat dikatakan sebagai pijakan atau landasan politik yang akan
ditempuh oleh negara.
Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-
undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku.
Ada tiga macam kekuatan berlaku peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai
berikut:
1. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai
pendapat dari ahli sebagai berikut:
a. Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
b. W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant
gekomen” (terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);
c. J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat,
apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya
2. Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah
efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal
dua teori:
a. Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya
menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila
dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-
warga masyarakat;
b. Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang
berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan
pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum
tadi tertuju.
3. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif
yang tertinggi, misalnya, Pancasila, mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur, dan
seterusnya.
Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang dari ilmu hukum yang secara khusus
objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan peraturan perundang-
undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat
yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku
mengikat umum. Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada
melakukan perbuatan dalam hal ini pembentukan peraturan Peraturan perundang-
undangan serta bersifat normatif.
Ilmu perundang-undangan terbagi atas:
a. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan
dalam pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan,
pelaksanaan, penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
b. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan
jenis norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya
kepada hal-hal yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu
ketentuan dalam norma seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi
norma.
c. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan
mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk
luar, bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.
Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu : Selain dalam rangka merubah masyarakat,
tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial
(law as tool of social enginering), kegunaan lain ilmu perundang-undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum
maupun pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang
baik.
Setiap peraturan perundang-undangan secara ilmu perundangan -undangan memiliki
prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan, yaitu :
1) Dasar Peraturan Perundang-Undangan.
Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu
Peraturan Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan
dasar yuridis kecuali Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun
Peraturan Perundang-Undangan harus ada landasan yuridis secara jelas.
Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-Undangan namun
hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan Perundang-
Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan
sebagainya.
2) Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan
Landasan Yuridis. Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan yaitu hanya Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan Peraturan Perundang-Undangan
yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan suatu Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam
menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-
Undangan yang tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis
Peraturan Perundang-Undangan.
3) Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus,
Dicabut, atau Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat
atau yang Lebih Tinggi. Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan
tata urutan atau hirarki Perundang-Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak
akan mengurangi para pengambil keputusan untuk melakukan penemuan
hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum maupun
penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4) Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-
Undangan Lama. Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-
Undangan yang sederajat, maka yang diberlakukan adalah Peraturan
Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya pada prinsip tersebut
temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-
Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun
malahan sering dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan.
5) Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan
Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Rendah. Apabila terjadi
pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dikesampingkan.
6) Peraturan Perundang-Undanga Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan
Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum. Apabila terjadi
pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat
tingkatannya, maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan
yang bersifat khusus (lex spesialis derogat lex generalis).
7) Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda.
Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling
berbeda satu sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali
di dalam materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas
mendelegasikan kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah.
Proses Pembentukan RUU
1. Lahirnya Undang-undang
Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari
perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut
dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif
(Presiden beserta jajaran kementriannya) dan legislatif (DPR). Tentang bagaimana
DPR itu, kewenangan serta strukturnya tidak perlu lagi kita bahas lagi karena telah
dibahas pada bab terdahulu. Yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagaimana
proses pembentukan sebuah undang-undang.
2. Perencanaan
Kita tentu bertanya dasar apa yang digunakan oleh DPR dan presiden untuk
menentukan Rancangan Undang-undang (RUU) apa saja yang akan dibahas pada
suatu periode tertentu. Sejak tahun 2000, DPR dan pemerintah telah menuangkan
indikator program mereka dalam apa yang disebut dengan Program Pembangunan
Nasional (Undang-undang N0. 25 tahun 2000). Di dalam Program Pembangunan
Nasional (Propenas) itu terdapat indikator pembangunan bidang hukum, salah satu
indikatornya adalah ditetapkannya sekitar 120 butir peraturan perundang-undangan.
Dari butir-butir Propenas tersebut disusun apa yang disebut dengan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), di mana di dalamnnya terdapat kurang lebih 200 undang-
undang yang rencananya akan diselesaikan dalam lima tahun. Kemudian dari
Prolegnas dibuat prioritas tahunan RUU yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR,
yang disebut Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta).
Prolegnas sendiri disusun melalui koordinasi antara DPR yang diwakili Badan
Legislasi dan pemerintah yang diwakili oleh Bappenas. Kemudian proses
pembahasannya sama dengan proses pembahasan undang-undang, hanya saja
melibatkan seluruh perwakilan komisi yang ada di DPR Penyusunan Repeta
dilakukan oleh pemerintah (yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM) dan
Badan Legislasi setelah mendapatkan masukan dari fraksi dan komisi serta dari
Sekretariat Jenderal. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menyusun daftar
RUU yang akan dimasukan dalam Repeta: (1) adalah yang diperintahkan langsung
oleh undang-undang, (2) yang ditetapkan oleh Ketetapan MPR, (3) yang terkait
dengan perekonomian nasional, dan yang (4) yang terkait dengan perlindungan
terhadap ekonomi sosial. Untuk merespon atas kondisi sosial yang terjadi di
masyarakat, ada batas toleransi 10-20 % untuk membahas RUU di luar yang
ditetapkan dalam Repeta. Pengajuan suatu RUU oleh DPR ataupun pemerintah
selanjutnya berpedoman pada Repeta yang bersangkutan.
3. Usulan Rancangan Undang-Undang
Sebuah RUU dapat berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) atau dari
pemerintah. Di dalam DPR sendiri ada beberapa badan yang berhak mengajukan
RUU, yaitu komisi, gabungan komisi, gabungan fraksi atau badan legislasi. Sebelum
sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses
penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh
Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).
Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki
kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif
DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (PPPI) yang
bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR
yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-
undang.
Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim
ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping
melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga
bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu
RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan
sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya
RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for
Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti
Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu
masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang
melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Sedangkan PPPI
yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg
maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-
undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas.
Selain itu PPPI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam
melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun
budgeter.
Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat dari
mukatamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang
RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.
Sementara itu, pada RUU usulan pemerintah, tata cara perumusannya diatur dalam
Keppres 188 tahun 1998. Prosesnya dimulai dengan penyusunan konsep dan naskah
akademis yang diikuti oleh permohonan prakarsa yang dilakukan oleh departemen
teknis atau lembaga non departemen yang terkait. Setelah mendapatkan persetujuan
dari presiden barulah dibentuk panitia perancang RUU. Ada model yang hampir sama
dalam setiap pembentukan tim perancang undang-undang ini. Ketuanya adalah
menteri dari departemen teknis terkait, kemudian tim intinya terdiri dari pejabat
eselon I (setingkat dirjen), pejabat dari instansi lain yang akan terkait dengan
substansi RUU, serta tokoh atau akademisi yang dianggap memiliki keahlian di
bidang tersebut. Sedangkan tim asistensi biasanya melibatkan banyak masyarakat sipil
seperti kalangan LSM. Tim perancang ini kemudian akan merumuskan sekaligus
mengonsultasikan rancangan tersebut kepada publik.
DPR maupun pemerintah tidak mengkavling-kavling RUU mana saja yang
akan diusulkan oleh pemerintah dan RUU mana yang akan diusulkan oleh DPR. Bisa
saja sebuah RUU dikerjakan oleh berbagai pihak, misalnya saja kasus yang pernah
terjadi pada paket undang-undang politik. Pada September 2000, pemerintah
(Departemen dalam Negeri) telah membentuk tim untuk menyusun paket RUU politik
tersebut. RUU tersebut juga telah disosialisasikan ke beberapa daerah di Indonesia.
Paralel dengan proses itu, DPR bekerjasama dengan RIDEP juga telah menyusun
Paket Undang-undang politik tersebut. Ironisnya pada saat pemerintah mengajukan
RUU tersebut ke DPR pada 29 Mei 2002 dengan Amanat Presiden No.
R.06/PU/V/2002 (untuk RUU Partai Politik) dan No. R.07/PU/V/2002 (untuk RUU
Pemilu) tidak satupun dari dua konsep tersebut yang diajukan. Depdagri malah
mengajukan konsep baru yang dibentuk oleh tim yang berbeda.
Pengusulan RUU Dari Pemerintah
RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang
berasal dari Pemerintah disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan
Surat Pengantar Presiden dengan menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah
dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna berikutnya,
setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada
Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh
Anggota. Pimpinan DPR menyampaikan RUU beserta penjelasan/keterangan,
dan/atau naskah akademis dari pengusul kepada media massa dan Kantor Berita
Nasional untuk disiarkan kepada masyarakat. RUU yang berasal dari Pemerintah
dapat ditarik kembali sebelum pembicaraan Tingkat I berakhir.
Pengusulan RUU Dari DPR
Sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang anggota dapat mengajukan usul
rancangan undang-undang. Usul RUU dapat juga diajukan oleh Komisi, Gabungan
Komisi, atau Badan Legislasi dengan memperhatikan program legislasi nasional. Usul
RUU beserta keterangan pengusul disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR
disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya.
Dalam rapat paripurna berikutnya setelah usul RUU tersebut diterima oleh
pimpinan DPR, ketua rapat memberitahukan kepada anggota masuknya usul RUU
tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. setelah RUU didesiminasikan
kepada anggota, rapat paripurna akan mengamanatkan kepada Badan Musyawarah
(Bamus) untuk mengagendakan waktu pembahasan untuk menentukan apakah RUU
tersebut diterima atau tidak.
Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum
dibicarakan dalam Bamus. Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama usul
RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh rapat paripurna. Pemberitahuan
tentang perubahan atau penarikan kembali usul, harus ditandatangani oleh semua
pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan
kepada seluruh Anggota.
Selanjutnya, rapat paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara
prinsip dapat diterima menjadi RUU usul DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah
diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan dan kepada
fraksi untuk memberikan pendapatnya.
Keputusan dapat berupa:
o Persetujuan tanpa perubahan
o Persetujuan tanpa perubahan;
o persetujuan dengan perubahan; atau
o penolakan.
Dari tiga kemungkinan keputusan penerimaan RUU usul DPR, keputusan
pertama relatif dapat dimengerti. Namun demikian dapat ditambahkan penjelasan
pada dua keputusan lain, sebagai berikut:
(1). RUU Disetujui dengan Perubahan
Apabila RUU disetujui dengan perubahan, DPR menugaskan kepada Komisi,
Badan Legislasi, atau Panitia Khusus untuk membahas dan menyempurnakan RUU
tersebut. Setelah disetujui menjadi RUU usul dari DPR, Pimpinan DPR
menyampaikan kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri
yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut
bersama-sama dengan DPR.
(2). RUU ditolak
Nah, bagaimana jika RUU ditolak? Pada kenyataannya, apabila suatu RUU
ditolak oleh DPR untuk menjadi usul inisiatif, tidak ada pengaturan apakah RUU
tersebut dapat diajukan lagi pada masa persidangan tersebut.
Tingkat Pembahasan dan Persetujuan
Dalam pembahasan dan persetujuan harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Pembahasan Tingkat Pertama
Pembicaraan Tingkat Pertama terjadi dalam arena rapat komisi, gabungan
komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran atau rapat panitia khusus
bersama-sama dengan pemerintah.
Tatib tidak menjelaskan proses dan kriteria penentuan badan atau alat
kelengkapan DPR mana (apakah komisi, gabungan komisi ataukah pansus) yang akan
membahas suatu rancangan undang-undang bersama pemerintah. Menurut keterangan
Zein Badjeber, proses tersebut dilaksanakan sepenuhnya oleh Bamus. Bamus juga
menetapkan sendiri kriteria penentuan apakah suatu RUU dibahas oleh Komisi,
Gabungan Komisi atau Pansus, antara lain berdasarkan pertimbangan:
(1). Substansi dari undang-undang
Apabila substansi undang-undang tersebut merupakan gabungan dari berbagai
bidang-bidang yang ada di komisi maka dibentuk Pansus atau gabungan
komisi. Sedangkan bila hanya mencakup satu bidang saja maka akan dibahas
oleh komisi.
(2). Beban kerja masing-masing komisi
Apabila jadual suatu komisi terlalu padat maka dibentuklah pansus, akan
tetapi bila terlalu banyak pansus dan orang habis dalam pansus-pansus maka
dibahas di komisi.
Dalam pembahasan rancangan, Komisi dibantu oleh Sekretaris Komisi untuk
merekam, mencatat dan mendokumentasi persidangan atau data, lain dan mengelola
dokumentasi korespondensi (termasuk aspirasi masyarakat) yang berhubungan
dengan Komisi tersebut. Permohonan untuk melakukan dengar pendapat dengan
Komisi diajukan kepada sekretaris Komisi yang meneruskan kepada rapat pimpinan
Komisi untuk mengagendakan rapat. Seharusnya Sekretaris Komisi mengelola dan
menyerahkan seluruh dokumentasi kepada Bidang Dokumentasi Sekretariat Jendral
DPR yang menyimpan seluruh dokumen kelembagaan. Namun sayangnya seringkali
dokumen itu tidak sampai ke Bidang Dokumentasi.
Selanjutanya, penting bagi kita untuk memahami proses pembicaraan tingkat
pertama. Ada tiga kegiatan yang ada dalam proses ini, yakni:
1. Pemandangan umum masing-masing fraksi terhadap RUU yang berasal dari
Pemerintah, atau tanggapan pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR.
Tatib tidak mewajibkan penyampaian dokumen pemandangan secara tertulis
sebelum agenda rapat, tetapi biasanya dokumen tersebut dibagikan pada saat
rapat.
2. Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau jawaban pimpinan
Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan
Panitia Khusus atas tanggapan Pemerintah. Tatib tidak mewajibkan penyampaian
dokumen pemandangan secara tertulis sebelum agenda rapat seperti halnya di
atas. Biasanya dokumen tersebut juga dibagikan pada saat rapat.
3. Pembahasan dan persetujuan bersama atas RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam
rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Pembicaraan Tingkat Dua


Pembicaraan tingkat dua adalah pengambilan keputusan dalam Rapat
Paripurna. Dalam rapat, Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia
Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus melaporkan hasil pembicaraan tingkat
pertama; lazimnya laporan ini dituangkan secara tertulis dan dibacakan dalam rapat.
Jika dipandang perlu (dan lazimnya dilakukan), masing-masing Fraksi melalui
anggotanya dapat menyertai catatan sikap Fraksinya.
Tidak jelas apakah masing-masing anggota (bukan Fraksinya) dapat
menyampaikan catatan sikap mereka, namun tetap ada peluang untuk menyampaikan
catatan individual berisikan catatan penting, keberatan dan perbedaan pendapat yang
lazim disebut [mijnderheadsnota]. Terakhir, Pemerintah dapat menyampaikan
sambutan Persetujuan DPR dituangkan dalam surat keputusan DPR dan disampaikan
oleh Pimpinan DPR pada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-undang] dengan
tembusan pada Menteri terkait.

Pertemuan Ke-Tujuh
Peraturan Perundangan-undangan Lokal
Pengantar.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas
inisiatif sendiri, maka kepada pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan
peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Keberadaan Peraturan Daerah
merupakan conditio sine quanonatau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka
melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti
dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, Peraturan Daerah harus dijadikan pedoman bagi
pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Disamping itu Peraturan
Daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Kewenangan
pemerintah daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Daerah berlandaskan pada Pasal 18
ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Peraturan Daerah merupakan bagian
integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Bagir Manan berpendapat bahwa, peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan
sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu
unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat
daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia,
Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan
definisi peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan
perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan di daerah”. Pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 mendefinisikan bahwa, “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda
adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”.
Mengenai ruang lingkup Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:
1. Perturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Jenis dan bentuk produk hukum daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, pasal
tersebut menyebutkan jenis dan bentuk produk hukum daerah terdiri atas:
1. Peraturan Daerah;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah;
5. Instruksi Kepala Daerah.
Menurut Mahendra Putra Kurnia, secara lebih jelas mengenai produk hukum daerah,
diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, yang menyatakan bahwa “Produk hukum
daerah bersifat pengaturan dan penetapan”. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006, bahwa produk hukum
daerah yang bersifat pengaturan meliputi:
1. Peraturan Daerah atau sebutan lain;
2. Peraturan Kepala Daerah; dan
3. Peraturan Bersama Kapala Daerah.
Ayat-ayatnya menjelaskan bahwa produk hukum yang bersifat penetapan meliputi:
1. Keputusan Kepala Daerah; dan
2. Instruksi Kepala Daerah.
Sedangkan menurut Abdul Latief, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah
terdiri dari peraturan daerah dan peraturan/keputusan kepala daerah yang mempunyai
sifat mengatur.
Potensi Kearifan Lokal.
Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Hukum Nasional Karl Mannheim menyatakan
bahwa pembangunan di bidang hukum berarti mengusahakan keserasian yang lebih mantap
antara ketertiban dengan ketentraman. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo (2009),
pembangunan hukum sekaligus mengandung dua makna, yaitu usaha memperbaharui hukum
positif sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat
perkembangannya yang mutakhir (modernisasi hukum) sekaligus sebagai usaha untuk
memfungsional hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan
perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang
membangun. Karl Mannheim dan Satjipto Rahardjo bersamaan pandangan bahwa
pembangunan hukum merupakan usaha yang tidak berdiri sendiri, melainkan perlu dilihat
kehadirannya dalam konteks perubahan sosial dan tata nilai (modernisasi). Pembangunan
hukum pada hakekatnya berkaitan pula dengan segi-segi kehidupan lainnya. Kaitan hukum
dengan segi-segi lainnya adalah sama-sama merupakan gejala sosial. Oleh karena itu, proses
pembangunan hukum selalu dibatasi oleh perubahan sosial yang terjadi. Pembangunan
hukum memiliki makna yang progresif sekaligus adaptif. Pembangunan bermakna progresif
karena sifatnya yang selalu aktif memperbaharui hukum menuju ke arah yang diinginkan oleh
masyarakat dan usahanya untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Sedangkan adaptif
karena usahanya untuk untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang
mutakhir. Sebagai bagian dari produk kebudayaan, hukum tidak hanya dipandang sebagai
bangunan norma peraturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas untuk membuat
hukum negara. Lebih dari itu, perspektif antropologi hukum memerlihatkan wujudnya
sebagai sistem pengendalian sosial (social control) untuk menciptakan keteraturan sosial
(social order) dan menjaga ketertiban dalam kehidupan bersama (legal order). Perubahan
sosial di era reformasi telah melahirkan politik hukum yang mempertegas diri bahwa ada
kemauan politik menuju ke arah negara maju yang bercirikan otonomi. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah segera memunculkan serangkaian kebangkitan daerah,
etnik, politik dan hukum. Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam
menopang pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak dalam proses pembangunan
hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah semestinya dijadikan komponen dan
sendi dari pembangunan hukum nasional. Tujuan-tujuan hukum sebagai pengendalian sosial,
penjaga keteraturan sosial dan menjaga ketertiban kehidupan bersama tersebut harus
ditempatkan pada bingkai besarnya yaitu kebudayaan. Setting sosial negara Indonesia yang
multi etnik, multi ras dan multi religi tidak boleh dilupakan oleh para pengambil kebijakan
pembangunan sehingga dapat memahami keinginan masyarakat dan sekaligus mengarahkan
pembangunan hukum ke tujuan yang lebih baik. Dalam konteks kebijakan pembangunan,
pembangunan hukum dalam masyarakat yang multikultural harus dimaknai sebagai
seperangkat kebijakan pemerintah yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat
dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku
bangsa. Hal ini beralasan karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku dan
bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa.
Pengertian peraturan daerah atau yang biasanya disebut dengan perda dapat dibagi menjadi
peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Pengertian peraturan
daerah tersebut dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah serta beberapa peraturan perundang-
undangan lainnya.
Pengertian Peraturan Daerah.
Secara umum, pengertian peraturan daerah dapat disebut juga sebagai instrumen aturan yang
diberikan kepada pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di
masing-masing daerah otonom. Menurut Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, SH., pengertian
peraturan daerah adalah sebagai salah satu bentuk aturan pelaksana undang-undang sebagai
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan peraturan daerah bersumber
dari kewenangan yang telah ditentukan suatu undang-undang. Meski demikian, peraturan
daerah juga dapat dibentuk untuk mengatur hal-hal yang kewenangan untuk mengatur hal-hal
tersebut tidak diatur secara eksplisit oleh suatu undang-undang. Hal tersebut dapat dilakukan
sesuai dengan ketentuan ketentuan UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(3) dan (4). Berikut ini beberapa pengertian peraturan daerah sebagaimana disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pengertian Peraturan Daerah dalam Permendagri No 1 Tahun 2014
1. Pengertian peraturan daerah dalam Permendagri No 1 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
“Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau
nama lainnya, yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.
2. Pengertian peraturan daerah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibagi dalam 2 pengertian, yakni peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
Pengertian peraturan daerah provinsi disebutkan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai
berikut :
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai berikut :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.
Kepala pemerintah daerah di tingkat provinsi adalah Gubernur, kepala pemerintah daerah di
tingkat kabupaten adalah Bupati dan Kepala Daerah di tingkat Kota disebut Walikota.
Demikian pula dengan DPRD, di tingkat Provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan di
tingkat kabupaten/kota disebut dengan DPRD Kabupaten/Kota.
Pengertian peraturan daerah dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah tidak disebutkan secara spesifik mengenai adanya peraturan daerah
provinsi dan kabupaten/kota. Hanya secara umum menyebutkan bahwa Peraturan Daerah
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah.
Ini berarti Peraturan Daerah di bentuk oleh DPRD, yang bila di tingkat provinsi disebut
dengan DPRD Provinsi dan bila di tingkat Kabupaten/Kota disebut dengan DPRD
Kabupaten/Kota, dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, yang bila di tingkat Provinsi
disebut dengan Gubernur, bila di tingkat kabupaten disebut dengan Bupati, dan bila di tingkat
kota disebut dengan Walikota.
Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang terkandung dalam suatu
peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi: ketentuan umum;
materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang diperlukan); ketentuan peralihan
(jika memang diperlukan); dan ketentuan penutup. Materi muatan peraturan daerah dapat
mengatur adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang
menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan
pidana berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda maksimal
Rp. 50.000.000,00.
Pasal 56 ayat 3 UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rancangan Peraturan Daerah
Provinsi mengenai:

 Angggaran pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;


 Pencabutan daerah provinsi;
 Perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi
harus "disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur

Penyebaran Luasan Peraturan Perundang-Undangan.


 Penyebarluasan dilakukkan oleh DPR dan Pemerintah sejaak penyusunan Prolegnas,
penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Ranvcangan Undang-Undang,
hingga pengunndangan Undang-Undang.
 Penyebarluasan dilakukan untuk memberi informasi dan/atau memperolah masukan
masyarakat serta para pemangku kepentingan.(Pasal 88 UU Nomor 12 Tahun 2011)
 Penyebarluasan prolegnas dilakukan oleh bersama oleh DPR ddan Pemerinttah yang
dikoordinasikan oleh alat kelengkappan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.
 Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh
Komisi/Panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
 Penyebarluasan RUU yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi
pemrakarsa.(Pasal 89 UU Nomor 12 Tahun 2011)
 Penyebarluasan UU yanng ttelah diunndangkkan dalam LN RI dilakukan secara
bersama-sama olleh DPR dan Pemerinttah. Penyebarluasan UU dapat dilakukan oleh
DPD sepanjang bberkaitan dengan otonomi ddaerah, hubunngan pusat daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnnya, serta yangg berkaitan dengan peribangan
keuangan pusat dan daerah. (Pasal 90 UU Nomo 12 Tahun 2011).
 Dalam hal peraturan perundang-unndangan perlu diterjemmahkan kedalam bahasa
asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yanng mmenyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang huukum. Terjemahan tersebut sebagai terjemahan resmi.
( Pasal 91 UU Nomor 12 Tahun 2011)

Penyebarluasan Produk Hukum Daerah.


 Penyebarluasan Prolegda dilakuukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak
penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan
Rancangan Perda, hingga pengunndangan Perda;
 Penyebarluasan dilakukkan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh
masukkan masyarakat dan para pemangku kepentingan.(Pasal 92 UU Nomor 12
Tahun 2011)
 Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemda Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang dikkoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani bidang legislasi.
 Penyebaran Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan
DPRD.
 Penyebarluasan Raperda yang berasal dari Gubernur atau Buapati/Walikota
dialksanakan olleh Sekretaris Daerah.(Pasal 93 UU Nomor 12 Tahun 2011)
 Penyebarluasan Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota yang telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota. (Pasal 94 UU Nomor 12 tahun 2011)

Pertemuan Ke-Delapan.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
A. Pengantar.
MERANGKUL ASPIRASI MASYARAKAT Pelibatan aspirasi masyarakat
dalam proses pembentukan undang-undang membutuhkan tahap perencanaan
karena diletakkan dalam konteks kebijakan (policy) publik yang tertulis (Riant
2003:121). Perencanaan, tentu saja, dilakukan karena kebijakan publik akan
mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia, dana, dan
waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan pengelolaan isu. Isu-isu
dari aspirasi yang berkembang harus dipilah dan dipilih dalam urutan prioritas
dan rencana implementasi yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan
mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan. Sebelum
dilakukan, penyusunan suatu RUU baik oleh DPR, DPD, maupun pemerintah
umumnya secara teknis diawali terlebih dahulu dengan (Handoyo 2008):
a. Seminar lokakarya, Focus Group Disccusion (FGD) maupun Expert
Meeting Forum yang diikuti para pakar yang spesifikasi keilmuannya
berkaitan atau sedikit bersinggungan dengan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan yang akan dibentuk. Cara ini oleh tim legal drafting digunakan
untuk menggali berbagai pandangan pakar terkait dengan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk. Pandangan atau pendapat
para pakar tersebut kemudian dirangkum untuk dijadikan bahan-bahan dalam
penyusunan draf RUU dan naskah akademik;
b. Diskusi internal tim legal drafting untuk menformulasikan pandangan dan
pendapat para pakar hasil pertemuan pertama untuk disusun dalam draf awal
draf RUU dan naskah akademik atau disesuaikan dengan kesepakatan tim;
c. Setelah draf awal RUU dan NA selesai, tim legal drafting selanjutnya
melakukan diskusi publik yang pesertanya adalah para pemangku kepentingan
(stakeholder) yang terkait dengan Rancangan Peraturan Perundangundangan
yang akan dibentuk dan pakar-pakar ilmu yang bidang kajiannya berdekatan
dengan materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk;
d. Setelah melakukan kegiatan, tim legal drafting kembali melakukan
kegiatan diskusi kelompok untuk menformulasikan masukan-masukan
pendapat atau pandangan dari pemangku kepentingan dan para pakar dalam
diskusi publik tersebut;
e. Jika pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh tim legal drafting
sudah dipandang cukup, maka tim menyepakati agar draf awal RUU dan NA
dijadikan RUU dan NA yang disempurnakan;
f. Draf RUU dan naskah akademik selanjutnya diajukan untuk memperoleh
tanggapan seperlunya;
g. Jika tanggapan sudah diperoleh (tentunya dengan berbagai usul perbaikan)
maka tim legal drafting melakukan perbaikan-perbaikan seperlunya seiring
menyusun draf RUU yang materi muatannya bersumber dari naskah
akademik.
h. Uji sahih atas draf Rancangan Peraturan Perundanngundangan dan naskah
akademik. Kegiatan ini dilakukan melalui forum-forum seperti pada saat
melakukan penjaringan aspirasi.

Dalam proses pembentukan atau perancangan peraturan perundang-undangan,


sering didapati harapan atau keinginan masyarakat, terutama yang disuarakan
ahli hukum yakni agar pembentukan peraturan perundangundangan didahului
dengan naskah akademik. Hal ini penting agar pembentukan UU dapat
dilakukan secara terencana menurut prioritas dan sesuai perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat, bukan karena kepentingan politik sesaat.
Sementara menurut Soehino (1990:6), undang-undang sendiri biasanya
dibedakan menjadi dua yaitu undangundang dalam arti formal (wet in formale
zin) dan undang-undang dalam arti material (wet ini materiele). Artinya,
pengertian undang-undang meliputi semua bentuk peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh penguasa berwenang dan mempunyai kekuatan
mengikat. Hukum yang sengaja dibuat oleh badan yang berwenang merupakan
kekuatan pengikat yang paling utama. Jadi menurut Soehino, pengertian
tersebut tidak terikat oleh bentuk dan siapa yang membentuknya. Undang-
undang dalam pengertian materiil ini disebut pula dengan istilah peraturan
perundang-undangan, meliputi peraturan yang mempunyai tingkat paling
tinggi yaitu Undang-Undang Dasar sampai dengan peraturan yang
tingkatannya paling rendah. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh
Baqir Manan (1992:3) yang mendifinisikan undang-undang dalam arti materiil
sebagai setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara
umum. dari badan perumus hukum disebut sebagai kegiatan perundang-
undangan yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi
keabsahannya (ipso jure). Proses pembentukan undang-undang seyogianya
diartikan dalam jangkauan yang lebih luas, mulai dari penelitian, pengkajian,
sampai dengan pengundangannya. Berdasarkan ketentuan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, kegiatan bersangkutan pada dasarnya dimulai
dari perencanaan, persiapan, teknik perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan. Tahapan-tahapan dalam pembuatan
undang-undang antara lain adalah sebagai berikut:44 a. Perencanaan
(Prolegnas); b. Persiapan (Penyusunan naskah akademik); c. Perumusan
(Drafting stage); d. Pembahasan (Tahapan di DPR); e. Pengesahan
(Penandatanganan Presiden atau berlaku otomatis); f. Pengundangan (Menteri
Hukum dan HAM); g. Penyebarluasan. Lihat ketentuan UU No. 10/2004.

Dalam mengambil prakarsa kewenangan penyusunan RUU, perlu diperhatikan


sejumlah aspek krusial dalam penyusunan sebuah RUU. Sebagaimana
disampaikan oleh H.A.S. Natabaya (2006:59-61), ia antara lain meliputi:
1). Urgensi tujuan penyusunan RUU yang diuraikan secara singkat mencakup
latar belakang filosofis, yuridis, dan sosiologis perlu disusunnya RUU serta
tujuannya apakah untuk mengatur, menetapkan, mengubah suatu UU,
mengarahkan untuk mengubah perilaku masyarakat, ataukah hanya
mengangkat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat;
2). Sasaran yang ingin diwujudkan berisi uraian ringkas apakah RUU (UU)
yang akan disusun ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan atau kesadaran
masyarakat atau memberikan beban kepada masyarakat; apakah RUU tersebut
ditujukan kepada semua lapisan masyarakat ataukah hanya untuk kelompok
masyarakat tertentu;
3). Yang dimuat dalam pokok-pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan
diatur dalam RUU adalah substansi atau sering disebut dengan materi muatan
atau isi dalam bentuk uraian singkat berupa pokok-pokok pikiran, lingkup, dan
obyek yang diatur; dan
4). Yang dimaksud jangkauan dan arah pengaturan adalah jangkauan dan arah
pengaturan RUU tersebut untuk 161 orang/masyarakat, yaitu apakah untuk
sekelompok masyarakat atau berlaku untuk umum (seluruh warga
negara/masyarakat).
B. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Peruuan.
Kesempatan masyarakat terlibat proses pelaksanaan partisipasi publik dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan pada saat ini sudah mulai
dikembangkan. Hal tersebut terlihat dengan mulai dilakukannya Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) atau rapat-rapat lainnya, kunjungan kerja,
pelaksanaan seminarseminar, atau kegiatan sejenis untuk mendapatkan
masukan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan wujud
demokrasi. Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi yang dijalankan di
Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Anggota DPR merupakan
representasi rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum. DPR sebagai organ
legislatif memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sebagai
pemangku kepentingan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan
perundangundangan dengan tata cara sesuai Peraturan DPR No. 1/2009
tentang Tata Tertib. Urgensi partisipasi publik (masyarakat) dalam
pembahasan peraturan perundang-undangan, menurut Sirajuddin (2006:119)
antara lain:
1) Menjaring pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga
UU yang dibuat memenuhi syarat UU yang baik;
2) Menjamin peraturan perundang-undangan dengan kenyataan yang ada
dalam masyarakat, menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa
bertanggung jawab (sense of responsibility), dan akuntabilitas (accountability)
UU tersebut;
3) Menumbuhkan adanya kepercayaan (trust), penghargaan (respect) dan
pengakuan (recognition) masyarakat terhadap DPR dan pemerintah. Ada dua
catatan penting yang dikemukakan Bavitri Susanti dkk. (2006:103-105)
sehubungan dengan kaitan antara partisipasi dan kualitas materi muatan suatu
undang-undang. Pertama, partisipasi dan transparansi ini bisa diartikan
berbeda oleh pihak yang berbeda. Hal ini pula yang menimbulkan kesulitan
untuk menilai apakah benar suatu pembahasan sudah partisipatif atau belum.
Kedua, partisipasi dan transparansi sering kali berupa tekanan dari luar bukan
kerelaan dari pembahasannya sendiri. Untuk itu, dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, selain dilandasi oleh hal-hal yang
bersifat yuridis proses ini seharusnya dilandasi pula oleh kajian-kajian yang
bersifat empiris, melibatkan partisipasi masyarakat terkait untuk terlibat dalam
pembuatan kebijakan (Farida 2013). Dengan demikian, diperlukan peraturan
perundangundangan yang mengatur pedoman pembentukan peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan bagaimana unsurunsur tersebut dapat
terpenuhi.
Dalam menyiapkan atau membahas perancangan peraturan perundang-
undangan DPR dan/atau pemerintah wajib meminta kepada masyarakat untuk
memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis. Partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan, sebagaimana
usulan catatan Koalisi Kebijakan Publik yang disampaikan A. Patra M. Zen
dkk. (2005:65- 66), antara lain dengan cara seperti: 1) Menyampaikan
pendapat baik secara lisan maupun tertulis secara langsung maupun tidak
langsung; 2) Menghadiri pertemuan-pertemuan yang bersifat terbuka dalam
proses pembentukan peraturan; 3) Mendapatkan dan menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan isi atau proses pembentukan peraturan; 4)
Mengajukan usulan rancangan peraturan dan; 5) Mengajukan
gugatan/permohonan uji formil terhadap peraturan yang sudah diundangkan
karena tidak melalui prosedur yang tidak ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.

Sebelumnya, perlu untuk diketahui latar belakang urgensi partisipasi


masyarakat dalam perancangan pembentukan peraturan perundang-undangan
meliputi (Halim dan Putera 2010:103-105):
1) Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memberikan masukan
kepada pemerintah tentang masalah yang dapat ditimbulkan oleh suatu
rencana tindakan DPR bersama pemerintah dengan berbagai konsekuensinya.
Dengan demikian, pemerintah dan DPR akan dapat mengetahui adanya
pelbagai kepentingan yang bersinggungan dan perlu diperhatikan. Masukan
dari masyarakat tentang masalah-masalah yang mungkin timbul, yang
merupakan partisipasi mereka bagi proses pengambilan keputusan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, akan dapat meningkatkan kualitas
keputusan dan dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut akan dapat
meningkatkan kualitas kebijakan negara di bidang bersangkutan.
2) Masyarakat yang telah memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan cenderung memperlihatkan kesediaan yang lebih
besar menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan bersangkutan.
Dengan demikian, hal ini akan menurunkan secara drastis kemungkinan
timbulnya pertentangan, asal partisipasi tersebut dilaksanakan pada waktu
yang tepat. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa suatu keputusan tidak pernah
akan memuaskan kepentingan semua golongan atau semua warga masyarakat.
Namun kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan dapat ditingkatkan.
3) Membantu perlindungan hukum apabila keputusan akhir diambil dengan
memperhatikan keberatankeberatan yang diajukan oleh masyarakat selama
proses pengambilan keputusan berlangsung. Dengan demikian, setelah
keputusan diambil keberatan dari warga masyarakat akan berkurang atau lebih
kecil kemungkinannya, pasalnya semua alternatif sudah dibicarakan setidak-
tidaknya sampai tingkatan tertentu. Apabila sebuah keputusan mempunyai
konsekuensi yang mendalam, sangat diharapkan setiap orang yang
terimplikasi keputusan ini diberitahukan dan diberi kesempatan mengajukan
keberatan-keberatannya sebelum keputusan diambil.
4) Mendemokratisasi pengambilan keputusan di dalam hubungan dengan
partisipasi masyarakat ini. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam
pemerintahan dengan sistem perwakilan, hak untuk melaksanakan kekuasaan
ada pada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, tidak
ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari partisipasi masyarakat. Dalam
sistem perwakilan, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan menimbulkan masalah keabsahan demokrasi, karena warga
masyarakat, kelompok, atau organisasi yang turut serta dalam proses
pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis.
Menurut Gundling seperti dikutip Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul
Putera (2010):
(1) Demokrasi dengan sistem perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi,
bukan satu-satunya;
(2) Sistem perwakilan tidak menuntut bentuk-bentuk demokrasi langsung;
(3) Bukanlah warga masyarakat, kelompok warga masyarakat, atau organisasi
yang sesungguhnya mengambil keputusan. Mereka hanya berperan
serta/berpartisipasi dalam tahap-tahap persiapan pengambilan keputusan;
(4) Monopoli lembaga negara dan lembaga-lembaganya untuk mengambil
keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat. Peran
serta masyarakat/partisipasi masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu
negara dan lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang
lebih dapat diterima dan berhasil guna.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundangundangan menjadi


penting karena menurut Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera
(1999:118-119) hal ini dapat diperoleh keunntungannya; Pertama, menjaring
pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan
perundangundangan benar-benar memenuhi syarat peraturan perundang-
undangan yang baik; kedua, menjamin peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial
dan lain); ketiga, menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa
bertanggung jawab (sense of responsibility dan sense of accuntability) atas
peraturan perundangundangan tersebut; keempat, akhir-akhir ini para anggota
DPR dalam pengambilan keputusan sering kali mengabaikan aspirasi publik
yang diwakilinya, mereka asyik dengan logika kekuasaan yang dimilikinya
dan cenderung menyuarakan dirinya sendiri.
Dalam hal peran serta masyarakat ini, penulis beranggapan bahwa masih
terdapat berbagai penafsiran tentang siapa yang dimaksudkan dengan istilah
“masyarakat.” Ada yang mengartikan setiap orang pada umumnya, setiap
orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat. Menurut
Maria Farida Indarti (2012:263), yang dimaksudkan masyarakat dalam hal ini
adalah termasuk semua pengertian di atas. Jadi pengertian masyarakat meliputi
setiap orang pada umumnya terutama masyarakat yang “rentan” terhadap
peraturan tersebut, setiap orang, lembaga yang terkait, atau setiap lembaga
swadaya masyarakat yang terkait. Keterlibatan partisipasi masyarakat dapat
tergantung pada keadaan dan pembentukan peraturan perundangundangan
sendiri, oleh karena UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan
telah menetapkan lembaga mana yang dapat membentuk undang-undang
tersebut. Permasalahannya adalah apakah para pembentuk peraturan
perundang-undangan tersebut telah memenuhi aspirasi masyarakat atau tidak.
Pembentukan undang-undang adalah hak DPR bersama Presiden, sedangkan
pembentukan peraturan pelaksanaannya menjadi hak Presiden dan lembaga-
lembaga pemerintah lainnya. Apabila pihak-pihak berwenang telah dapat
menampung aspirasi masyarakat luas, peran serta masyarakat tidak akan
terlalu dipaksakan pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu peningkatan kualitas
para anggota DPR, DPD, maupun seluruh jajaran pemerintah terutama yang
mempunyai tugas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Walaupun peran serta masyarakat telah diatur dalam undang-undang, namun
demikian jangan sampai hal itu diperalat oleh para pembentuk undang-undang
yang berasal dari masyarakat untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Apabila masyarakat sampai berlomba-lomba memberikan berbagai rancangan
undang-undang, maka seyogianya para pembentuk undang-undang juga
melakukan pengkajian dan penelitian kembali apakah rancangan undang-
undang bersangkutan memang diperlukan atau tidak. Dengan cara seperti itu,
diharapkan terbentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan
menampung aspirasi masyarakat, sehingga dalam penerapannya tidak
menimbulkan keresahan masyarakat (Farida 2012:264). Peran serta
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini telah
dirasakan dan mulai mendapat sambutan dari berbagai kalangan seperti DPR,
DPD, kementerian atau lembaga pemerintah nondepartemen, bahkan berbagai
perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil yang mempunyai perhatian
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari
terselenggaranya berbagai seminar, diskusi, pertemuan-pertemuan lainnya
dalam rangka mengkaji dan menindaklanjuti berbagai penelitian untuk
menyiapkan suatu rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah.
Dengan adanya kesungguhan dari berbagai kelompok menyiapkan suatu
rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, diharapkan
pembentukan peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang dapat
lebih baik daripada saat ini.
Berdasarkan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, penjaminan partisipasi masyarakat setidaknya memiliki empat
ukuran pokok yakni: 1. Penilaian terhadap kewajiban DPR dalam membuka
peluang dan kesempatan publik terlibat dalam membahas RUU; 2.
Pelaksanaan advokasi RUU menggunakan klausul jaminan hak partisipasi
masyarakat yang dinyatakan dalam UU tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan; 3. Sebagaimana keterlibatan publik dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan; 4. Kendala yang dihadapi dalam implementasi
hak masyarakat untuk terlibat dalam penyusunan dan pembahasan peraturan
perundang-undangan.

B. Pelembagaan Partisipasi Masyarakat.


Dalam sebuah negara demokrasi, sistem dan kelembagaan negara idealnya dibangun
atas dasar prinsip penyelenggaraan negara yang partisipatif. Hal ini berarti warga
negara tidak hanya memiliki hak, namun juga berkewajiban berpartisipasi dalam
struktur dan proses kenegaraan. Pasalnya, mengandalkan demokrasi perwakilan
sepenuhnya lewat pemilu dan percaya wakil rakyat akan bertindak sesuai dengan
kepentingan pemilih tidaklah cukup. Rakyat berhak memastikan bahwa para wakil
mereka terus terinformasikan mengenai permasalahan yang dihadapi rakyat dan
berbagi pandangan dengan rakyat tentang bagaimana permasalahan tersebut
seharusnya diselesaikan. Dalam konsep participatory governance, rakyat tidak
semestinya berdiam diri dan mengeluhkan pemerintahan yang tidak peduli persoalan
rakyat. Dalam konsep ini, rakyat juga punya hak dan bahkan kewajiban untuk
menyampaikan pesan pada pemerintah tentang kebutuhannya serta bagaimana
pemerintah seharusnya memenuhi kebutuhan mereka tersebut lewat kebijakan yang
diambil (Susanti 2006:59). Partisipasi bertujuan untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan suatu kebijakan. Tujuan ini berkenaan dengan efektivitas, pembagian
beban, dan efisiensi. Meningkatkan partisipasi akan membantu memastikan bahwa
kepentingan rakyat dapat lebih besar dipenuhi. Meningkatkan partisipasi juga dapat
menghasilkan titik temu kepentingan tersebut dengan solusi yang diambil, yang pada
akhirnya meningkatkan kepuasan banyak pihak akan suatu kebijakan. Banyak bukti
yang menunjukkan bahwa ketika kelompok-kelompok yang dituju suatu kebijakan
terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka, maka hasil
kebijakan yang lebih baik dapat dicapai. Paling tidak ada lima model yang bisa
dikembangkan dalam pelembagaan partisipasi masyarakat yakni (Brinkrehoff dan
Crosby dalam Susanti 2006:60):
1) Mengikutsertakan anggota masyarakat yang dianggap ahli dan independen di
dalam tim atau kelompok kerja dalam penyusunan peraturan perundang-undangan;
2) Melakukan public sharing (diskusi publik) melalui seminar, lokakarya, atau
mengundang pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam rapat-rapat
penyusunan peraturan perundang-undangan;
3) Melakukan uji sahih kepada pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan tanggapan;
4) Mengadakan kegiatan musyawarah atas peraturan perundang-undangan sebelum
secara resmi dibahas oleh institusi yang berkompeten dan;
5) Mempublikasikan rancangan peraturan perundangundangan agar mendapat
tanggapan dari masyarakat/ publik.

Rendahnya kemampuan lembaga negara dalam mengelola partisipasi akan berarti


bahwa sebagian tuntutan warga tidak mendapat perhatian memadai atau diabaikan
begitu saja. Prosedur kerja lembaga-lembaga negara yang bersifat top down dan
arogansi pejabat negara sisa-sisa kebiasaan sistem pemerintahan yang tertutup adalah
faktor yang paling mempengaruhi rendahnya kemampuan mereka mengelola
partisipasi publik. Selain itu, praktik administrasi yang bersifat rutin dan mekanistis
juga melemahkan kemampuan mengelola partisipasi. Sebagai contoh, jadwal yang
kaku dan waktu yang tidak memadai 225 dalam mengumumkan rapat-rapat
konsultasi publik, serta pembatasan untuk menerima masukan hanya dalam format
tertentu atau dalam bahasa resmi, dapat menjadi ganjalan bagi partisipasi
(Brinkrehoff dan Crosby dalam Susanti 2006:60). Sejak tahun 1970-an, sejumlah
organisasi nonpemerintah yang sadar diri dan mempunyai komitmen untuk
pembaharuan menyeluruh sudah mulai bermunculan. Sebagai implikasinya, mereka
berminat menggarap kembali tatanan politik yang ada. Digambarkan Daniel S. Lev
(2013:487) tentang peran organisasi nonpemerintah: Eksistensi organisasi-organisasi
ini mencerminkan argumen umum dan pernyataan sosial mengenai perlunya
pemisahan negara dan masyarakat dan legitimasi bagi diakuinya upaya-upaya
masyarakat yang dimobilisasi secara swasta baik dalam upaya pembangunan
pedesaan maupun perlindungan lingkungan, perjuangan intelektual ataupun dengan
melakukan pembaharuan hukum. Aspek lain yang mempengaruhi kemampuan
mengelola partisipasi publik adalah keterbatasan sumber daya manusia. Ketika
sebuah lembaga tidak punya dana memadai untuk mendiseminasikan informasi,
mengadakan rapat dengar pendapat umum, mengirim staf untuk menemui warga dan
mendengar pendapat mereka, maka kesempatan memuka ruang partisipasi menjadi
sangat problematik. Ketertutupan proses pengambilan kebijakan dan sempitnya
media yang tersedia bagi dialog dan debat atas suatu proses pengambilan kebijakan
menjadi hambatan berikutnya dalam melembagakan partisipasi. Ketika pengambilan
kebijakan dilakukan secara ketat dan terkonsentrasi pada segelintir orang, akses akan
menjadi sulit, dan partisipasi, terutama oleh kelompok yang tidak memiliki akses
khusus seperti kaum miskin, akan sangat terbatas. Partisipasi publik dalam proses
legislasi di DPR, khususnya pada rentang waktu tahun 2011 yang dilakukan oleh
organisasi masyarakat sipil seperti Perludem, PSHK, KRHN, CETRO dan individu
atau mereka yang hirau pada Penyelenggara Pemilu, kurang mendapat respons positif
dari lembaga legislatif. Berbagai usulan dan rekomendasi isu krusial yang
disampaikan tidak diakomodir. Berangkat dari pengalaman sebagaimana telah
diuraikan di atas, nampak bahwa partisipasi mengalami bagi pelembagaannya.
Aktivitas partisipasi dalam proses legislasi tertentu di tahun sidang tersebut dapat
dikatakan relatif setia pada tujuannya, meski pada akhirnya terbentur oleh hambatan-
hambatan klasik pelembagaan partisipasi. Ada pula hambatan partisipasi yang
sebenarnya relatif telah teratasi, namun muncul kembali ketika DPR harus
dihadapkan pada hambatan yang sifatnya lebih struktural, seperti batasan konstitusi
yang harus ditaati serta ketika ada pertemuan kepentingan yang sejalan antara DPR di
satu sisi dengan pemerintah di sisi lain. Terdapat pula kasus pengesampingan
partisipasi yang semata-mata terjadi karena dominannya cara pandang pengambil
kebijakan (legislator pada khususnya), bahwa partisipasi berikut tujuannya, tidak
disyaratkan atau tidak akan berpengaruh 227 signifikan terhadap proses legislasi
pembahasan RUU Penyelenggara Pemilu, yang dibahas Panitia Khusus bentukan
Komisi II DPR RI. Keberadaan Pasal 20 UUD 1945 yang kemudian diturunkan
dalam dalam UU tentang MD3 dan lebih spesifik lagi UU tentang Pembentukan
Peraturan Perundangundangan sebenarnya telah mengatasi salah satu hambatan bagi
pelembagaan partisipasi publik yaitu sempitnya ruang bagi dialog dan debat terhadap
proses pengambilan kebijakan. DPR selaku lembaga perwakilan diberi mandat tidak
hanya membuka peluang bagi partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-
undang namun juga memfasilitasinya. Dengan bergeraknya pendulum kekuasaan
legislasi ke parlemen, DPR telah berevolusi dari sekedar lembaga yang mengesahkan
keputusan eksekutif menjadi suatu organ yang berfungsi membuka debat kebijakan.
Dalam melaksanakan setiap proses pengambilan kebijakan, DPR seharusnya
melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan perlu dilakukan uji publik terhadap
produk kebijakan yang akan dikeluarkan berupa peraturan perundang-undangan.

Bagian Ke-Sembilan.
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengantar.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dalam kepustakaan disebut pula Teknik
Perundang-undangan. (Bagir Manan 1997) mengartikan Teknik Perundang-undangan adalah
rangkaian penge-tahuan dan kemampuan yang mencakup segala unsur yang diperlukan untuk
mewujudkan peraturan perundangundangan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang
baik dapat terwujud apabila memenuhi unsur-unsur antara lain: a. perumusannya tersusun
secara sistematis, bahasa sederhana dan baku; b. sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna
dan hasil guna baik dalam wujud ketertiban maupun keadilan; c. sebagai gejala sosial,
merupakan perwujudan pandangan hidup, kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat,
termasuk ke-mampuannya sebagai faktor pendorong kemajuan dan peru-bahan masyarakat;
dan d. sebagai sub-sistem hukum, harus mencerminkan satu rangkaian sistem yang teratur
dari keseluruhan sistem hukum yang ada Untuk mendapat peraturan perundang-undangan
yang baik tersebut diperlukan sejumlah kemampuan yang seharusnya dimiliki perancang,
yakni: a. kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah
yang berkenaan atau berkaitan dengan materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, yang mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis, dan yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan; b. asas, baik asas yang bersifat umum maupun asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang diperlukan da-lam penyusunan
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk; c. kaidah, yakni
kaidah hukum yang berkenaan atau berkaitan dengan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan, sehingga peraturan perundangundangan yang hendak dibentuk
memiliki dasar hukum, baik dasar hukum formal maupun dasar hukum materiil; dan d.
praktik-pengalaman, belajar dari praktik-pengalaman perancangan maupun pelaksanaan
peraturan perundangundangan ataupun pelaksanaan suatu urusan tertentu untuk direpleksikan
dalam penyusunan rancangan peraturan perun-dang-undangan yang kini dikerjakan, termasuk
untuk mendapat-kan pengetahuan mengenai kebutuhan hukum masyarakat dan pemerintahan
(Atmaja dkk 2017).
Kerangka peraturan perundang-undangan meliputu : judul; pembukaan; batang tubuh;
penutup; penjelasan (jika diperlukan); lampiran (jika diperlukan).
A. Judul
1. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor
tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
2. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi
Peraturan Perundang-undangan.
3. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah margin
tanpa diakhiri tanda baca. Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG.
4. Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase
perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN
2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
5. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, diantara kata
perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali
perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa memerinci perubahan sebelumnya.
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR . . .
TAHUN . . . TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR . . . TAHUN . . . TENTANG . . .
6. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat,
Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat
Peraturan Perundang-undangan yang diubah.Contoh : UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR . . . TAHUN . . . TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
7. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata
pencabutan didepan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN
1985 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1970 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN
PELABUHAN BEBAS SABANG
8. Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) yang
ditetapkan menjadi Undang-undang, ditambahkan kata penetapan didepan nama
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase
menjadi Undang-undang. Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2002
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI
UNDANG-UNDANG
9. Pada judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian Internasional,
ditambahkan kata pengesahan didepan nama perjanjian atau persetujuan
Internasional yang disahkan.
10. Jika dalam perjanjian atau persetujuan Internasional Bahasa Indonesia digunakan
sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa
Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf
cetak miring dan diletakkan diantara tanda baca kurung. Contoh :UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH
PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIAON MUTUAL LEGAL ASSISTENCE IN CRIMINAL MATTERS)
11. Jika dalam perjanjian atau persetujuan Internasional, Bahasa Indonesia tidak
digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam
Bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia yang diletakkan diantara tanda baca kurung.
Contoh :UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN
1997 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS
ILLICIT TRIFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCE
1998 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA, 1998)

B. Pembukaan Peraturan Perundang-undangan


Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
1. Frase dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
Pada pembukaan tiap-tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama
jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah margin.
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undang;
Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan ditengah margin dan diakhiri dengan tanda baca
koma.
3. Konsiderans;
a. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
b. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang
menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
c. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-undang atau peraturan daerah
memuat unsur filosofis, yuridis, dan/atau sosiologis yang menjadi latar
belakang pembuatannya.
d. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-
undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak
mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya Peraturan
Perundang-undangan tersebut.
e. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
f. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam
satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca
titik koma.
Contoh :
Menimbang : a. bahwa . . . ;
b. bahwa . . . ;
c. bahwa . . . ;
g. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir
pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut :
Contoh :
Menimbang : a. bahwa . . .;
b. bahwa . . .;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b perlu membentuk Undang-Undang
(Peraturan Daerah) tentang . . . ;
Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan dibawah Undaang-Undang atau
Peraturan Daerah :
Menimbang : a. bahwa . . . ;
b. bahwa . . . ;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
(Peraturan Presiden)
h. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu
pertimbangan yang berupa uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang yang
memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah.
i. Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pokok
pikiran yang isinya menunjukkan pasal (-pasal) dari Undang-Undang yang
memrintahkan pembuatannya.
Contoh :
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat;

4. Dasar Hukum;
a. Dasar Hukum diawali dengan kata Mengingat.
b. Dasar Hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan
Peraturan Perundang-undangan tersebut.
c. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hokum hanya
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
d. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-
undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan sudah
diundangkan tetapibelum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
e. Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari
satu, urutan pencatuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-
undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat
pengundangan atau penetapan.
f. Dasar Hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau
beberapa pasal yang berkait. Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua atau
huruf “u” ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
g. Dasar Hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama
judul Peraturan Perundang-undangan. Penulisan undang-undang, kedua huruf “u”
ditulis dengan huruf kapital.
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi
dengan mencantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan diantara tanda baca
kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. . . . . ;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 4316)
h. Dasar Hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan zaman Hindia
Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan
tanggal 27 Desember 1949, terlebih dahulu ditulis terjemahannya dalam bahasa
Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dilengkapi dengan tahun dan
nomor staatsblad yang dicetak miring diantara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel.
Staatsblad 1847 : 23);I
2. . . . ;
i. Cara penulisan sebagaimana dimaksud diatas berlaku juga untuk pencabutan
Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berasal dari Hindia Belanda atau
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27
Desember 1949.
j. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap
dasar hukum diawali dengan angka 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma.
Contoh :
Mengingat : 1. . . . ;
2. . . . ;
3. . . .;
5. Diktum.
a. Diktum terdiri atas :
1. Kata Memutuskan;
2. Kata Menetapkan;
3. Nama Peraturan Perundang-undangan.
b. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara
suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan ditengah
margin.
c. Pada Undang-Undang, sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
d. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH …..
(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA….. (nama daerah),
yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan ditengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH….(nama daerah)
dan
GUBERNUR …..(nama daerah)
MEMUTUSKAN :
e. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata memutuskan yang disejajarkan
kebawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan
ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
f. Nama yang tercantum dalam Judul Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Mnenetapkan dan didahului dengan pencantuman
jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN
DAERAH

Pertemuan Ke-Sepuluh.
Metode Penafsiran Peraturan Perundang-Undangan.
A.Pengantar.
Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Untuk ini ada beberapa
cara dan metode.
Cara penafsiran:
1. Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang. Sedangkan dalam pengertjan obyektif, apabila
Penafsirannya lepas dan pada pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan
adat bahasa sehari-hari.
2. Dalam pengertian sempit dan luas.
Dalam pengertian sempit (restriktif yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian yang sangat dibatasi misalnya mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)
Pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat dilihat
dan diraba saja.
Dalam pengerti secara luas (ekstentif), ialah apabila dalil yang ditafsjrkan diberi
pengertian seluas-luasnya. Contoh:
 Pasai 1756 KUHPerdata alinea ke 2 tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
 Barang (pasal 362 KUH Perdata) yang dulu hanya diartikan benda yang dapat dilihat
dan diraba sekarang juga termasuk aliran listrik (Arrest Floge Raad Belanda tanggal
23 Mei 1931).Yang termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis.
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat:
 Otentik ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-undang seperti
yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik
mengikat umum.
 Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain
hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai
teoretis.
 Hakim, penafsiran yang bersumber dan hakim (peradilan) hanya mengikat pihak-
pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (pasal 1917 ayat (1)
KUH Perdata).
Macam-macam metode penafsiran.
Di dalam ilmu hukum metode penafsiran adalah penafsiran menurut:
1. Tata bahasa dan arti kata-kata / istilah (grammaticale interpretatie, taalkundige
interpretatie).
2. Sejarah (historische interpretatie) yang meliputi penafsiran sejarah hukum
(rechtshistorische interpretatie) dan penafsiran sejarah pembuatan undang-undang
(wetshistorische interpretatie).
3. Sistem dan peraturan/undang-undang yang bersangkutan (sistematische,
dogmatisehe dananalogische interpretatie).
4. Keadaan masyarakat (sosiologische, atau teleologische interpretatie).
5. Otentik (penafsiran resmi, authentieke interpretatie, officieele interpretatie).

Cara penerapan metode-metode penafsiran


Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus di jadikan
pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang.Oleh karena itu hakim bebas dalam
melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsira
gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan
harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya.Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran
otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian dilanjutka
dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-
makna yang tepat.Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang
sama,maka wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-
tingginya,karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang
pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan .
Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan
pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya hakim bebas
dalam melakukanpenafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan Perundang-undangan pertama-tama selalu
dilakukan penafsiran gramatikal karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan
perundang undangan harus dimengerti lebih dahuju arti kata-katanya. Apabila perlu
dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat
undang-undang itu sendiri kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan Sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar didapat makna-makna
yang tepat. Apabija semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama, maka
wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya karena memang
keadilan itulah yang dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan
undang-undang yang bersangkutan.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a. Otentik,Ialah penafsiran yang seperti diberikan oleh pembuat undang-undang seperti
yang di lampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.Penafsiran ini mengikat
umum.
b. Doktrinair,Ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya
para ahli.hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c. Hakim, Penafsiran yang bersumber pada hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak
yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu(pasal 1917 ayat (1) KUH
Perdata.
C.Macam-Macam metode Penafsiran
Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat
menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat
menggunakan beberapa cara penafsiran (interpretative methoden) antara lain sebagai
barikut.
Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat
menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan social maka hakim dapat
menggunakan beberapa cara penafsiran (interpretatie methoden) antara lain sebagai berikut.
1.Penafsiran Undang-Undang Secara Tata Bahasa (Gramatikal)
Penafsiran undang-undang secara tata bahasa (grammatical), yaitu suatu cara
penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-
undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama
lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang. Dalam hal ini hakim
mencari arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Oleh karena itu
dipergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan dari para ahli bahasa. Sebagai contoh
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Suatu perundang-undangan melarang orang memberhentikan kendaraan di suatu
tempat. Peraturan tersebut tidak mengatakan apa yang dimaksud dengan kata kendaraan.
Orang boleh bertanya: apakah yang dimaksud dengan kata kendaraan itu? Apakah
kendaraan yang bermesin atau termasuk juga sepeda dan becak. Dalam hal ini sering
penjelasan dalam kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat
memberikan kejelasan tentang pengertian kata yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut. Oleh karena itu, hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan dengan
peraturan-peraturan lain. Jadi, interpretasi menurut bahasa tidaklah berarti bahwa hakim
itu terikat pada bunyi kata-kata dari undang-undang, tetapi hakim juga dapat menafsirkan
kata-kata itu secara logis menurut perkataan sehari-hari.
Pada hakikatnya penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata merupakan
suatu penafsiran awal yang pada akhirnya akan membimbing hakim ke arah cara penafiran
yang lain. Misalnya: penafsiran secara historis, juga ke arah penafsiran secara sistematis.
Alasannya karena bahasa merupakan alat utama oleh pembuat undang-undang untuk
menyatakan kehendaknya. Maka yang paling awal dihadapi hakim senantiasa penafsiran
menurut arti kata-kata dalam undang-undang. Tetapi tiap kata-kata yang dipakai pembuat
undang-undang mempunyai maksud tertentu yang sesuai dengan aliran-aliran yang ada
dalam masyarakat pada waktu itu. Maka dalam hal ini apa yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang ketika itu adaalah yang harus dicari oleh hakim. Di samping sejarahnya,
suatu kata juga mempunyai kedudukan dalam system hukum. Sistem hukum itulah yang
harus dicari oleh hakim untuk mendapatkan kejelasan akan maksud arti kata-kata yang ada
dalam undang-undang tersebut.
Contoh lain dalam yurisprudensi negeri Belanda adalah sebagai berikut. Pasal 1140
KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah
dengan segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal itu berarti
jika penyewa rumah menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa dan pada sewaktu-
waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut maka pemilik
rumah harus dibayar terlebih dahulu dari penagih-penagih utang lainnya dari uang
peendapat lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar.
Dalam kalimat terakhir dari Pasal 1140 ditegaskan: “Tidak peduli apakah sendiri atau
bukan”. Timbul pertanyaan, apakah Pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang
yang menyewakan rumah sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-
menyewa, sudah mengetahui bahwa orang itu bukan milik penyewa sendiri? Dalam kasus
itu, Mahkamah Agung Balanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 7 April 1938 telah
menjawab ya dengan mengambil pedoman arti perkataan-perkataansebagaimana dipakai
dalam undang-undang.
2.Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis (Dogmatis)
Penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-
pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun undang –undang lainnya. Dengan
penafsiran itu orang dapat memperoleh gambaran atau pandangan yang luas dan jelas
tentang arti suatu perkataan dalam undang-undang seluruhnya. Jadi, penafsiran sistematis
menitikberatkan paada kenyataan bahwa undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu
ada hubungannya antara yang satu dengan lainnya sehingga seluruh perundang-undangan
itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur.
Tafsiran itu mempunyai akibat. Suatu perkataan dapat diartikan secara luas (penafsiran
sistematis ekstensif) atau orang memeberi arti sempit kepada suatu perkataan (penafsiran
sistematis restriktif). Sebagai contoh penafsiran secara sistematis, misalnya peraturan
Undang-Undang Perkawinan yang menganut asas monogami sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 27 KUH Perdata. “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat
perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan
satu orang lelaki saja.”
Asas monogami yang terdapat dalam Pasal 27 KUH Perdata tersebut menjadi dasar
bagi beberapa pasal lainnya yaitu Pasal-pasal 34, 60, 64, 86 KUHS, dan 279 KUHS. Isi Pasal
tersebut sebagai berikut:
1. Pasal 34
Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu 300
hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.
2. Pasal 60
Barang siapa karena perkawinan masihlah terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak, seperti pun sekalian anak dilahirkan dari perkawinan itu, semua itu adalah
berhak mencegah perkawinan baru yang akan dilangsungkan, akan tetapi hanyalah
berdasar atas telah adanya perkawinan yang lama.
3. Pasal 64
Suami yang perkawinannya telah dibubarkan karena perceraian diperbolehkan mencegah
perkawinan bekas istrinya, apabila si yang terakhir ini hendak kawin lagi sebelum lewat
300 hari semenjak pembubaran perkawinan yang dulu.
4. Pasal 279
Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang sama pula seperti termuat
dalam pasal-pasal yang lalu, anak-anak yang telah meninggaldunia dan meninggalkan
keturunannya, boleh juga disahkan, pengesahan mana adalah demi kebahagiaan sekalian
keturunan.
Menurut Utrecht, antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungan. Suatu
peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Tiap peraturan hukum mempunyai tempatnya dalam
lapangan hukum. Tempat itu menjadi tempat tertentu. Inilah akibat atau konsekuensi
interdependensi (saling menghubungi) masing-masing gejala sosial.
Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan, anasir-anasir
sama atau bertujuan mencapai suatu objek yang sama, merupakan suatu himpunan peraturan-
peraturan yang tertentu, yang mengenal sesuatu saling berhubungan intern
(innerlijkesamenhang) antara peraturan-peraturan tersebut. Himpunan peraturan-peraturan
hukum tertentu yang mengenal suatu “innerlijkesamenhang” itu menjadi suatu lembaga
hukum (rechtsnistitut), misalnya, lembaga hukum mengenai perkawinan yaitu, suatu
kompleks tertentu dan tetap mengenai perkawinan.

3. Penafsiran Undang-Undang Secara Sejarah (Historis)


Penafsiran undang-undang secara historis adalah menafsirkan undang-undang
dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Tiap ketentuan
perundang-undangan mempunyai sejarah sendiri dan dengan sejarah pembentukan
undang-undang itu, hakim dapat meneliti dan mempelajari maksud dari pembuatan
undang-undang. Hakim juga dapat mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan di
dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat ketika undang-undang itu dalam proses
pembuatan.

Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie).


Penafsiran menurut sejarah hukum merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan
menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan
dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang
meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan
(wetshistorische interpretatie).
Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan merupakan
penafsiran yang sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang dengan
menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud
ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat diketahui dengan jalan melihat
laporan-laporan perdebatan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat
antara menteri-menteri yang bersangkutan dan komisi DPR yang bersangkutan
(kenbron) dan sebagainya.
Penafsiran undang-undang menurut sejarah hukum dapat dilakukan oleh hakim
dengan jalan menyelidiki asal usul peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Caranya ialah dengan melihat dari suatu system hukum yang dahulu pernah berlaku yang
sekarang tidak berlaku lagi. Atau dengan melihat asal peraturan itu, apakah dari suatu
system hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain. Misalnya Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikodifiksikan di Indonesia pada tahun
1848, menurut sejarahnya berasal dari kodofikasi Burgerlijk wetboek di negeri Belanda
pada tahun 1838 yang sejarahnya berasal dari Code Civil Prancis atau disebut juga Code
napoleon.
Penafsiran undang-undang menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-
undangan dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan menyelidiki sejarah peratuaran yang
bersangkutan yaitu melihat asas-asas hukum yang terkandunng dalam peraturan tersebut
sebelum penetapannya dalam undang-undang yang berlaku sekarang. Misalnya apabila
hakim hendak mengetahui arti dari beberapa pasal KUH Perdata tertentu maka hakim
harus mencari system apa yang dekehendaki oleh pembuat undang-undang dengan
melihat perbandingan antara beberapa ketentuan perundang-undangan yang diduga
mengandung kesamaan. Kesamaan yang dekehendaki oleh undang-undang itulah yang
merupakan asas hukum yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Contohnya perbandingan antara Pasal-pasal 27, 34, 60, 86 KUHS , dan
279 KUHS. Berdasarkan penyelidikan sejarah, penetapan ketentuan pasal-pasal tersebut
dapat diketahui hakim. Pengertiannya yang jelas dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-
pasal tersebut dengan berdasarkan asas hukum yang terkandung di dalamnya dan
menyesuaikannya denagn ketentuan undang-undang yanag berlaku sekarang.
4. Penafsiran Undang-Undang Secara Sosiologis (Teleologis)
Pada hakikatnya suatu penafsiran undang-undang yang dimulai dengan cara
gramatikal atau tata bahasa selalu harus diakhiri dengan penafsiran secara sosiologis.
Kalau tidak demikian maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu keputusan yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat. Bahasa maupun kata-
kata yang terdapar dalam perundang-undangan tidak selalu dengan jelas dapat
menggambarkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dari pembuat undang-undang. Hal
itu dilakukan dengan jalan penafsiran baik secara tata bahasa maupun secara sosiologis.
Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan jalan
mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat. Apabila
suatu peraturan perundang-undangan telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan dan
aliran-aliran berlainan sekali dengan paham yang ada dalam masyarakat sekarang, itu
harus dilakukan penafsiran secara sosiologis. Misalnya di Indonesia masih banyak
peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman kolonial. Maka untuk menjalankan
peraturan itu hakim harus dapat menyelesaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia
pada saat sekarang.
5. Penafsiran Undang-Undang Secara Autentik
Penafsiran undang-undang secara autentik merupakan suatu penafsiran resmi yang
diberikan oleh pembuat undang-undang. Misalnya dalam Bab 9 buku 1 KUH Pidana
disebutkan bahwa pembuat undang-undang telah memberikan penejelasan secara resmi
atau autentik arti dari beberapa sebutan dalam KUH Pidana. Beberapa contoh diantaranya
adalah yang berikut ini.
a) Pasal 97 KUHP : yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang
disebut bulan adalah waktu tigaa puluh hari.
b) Pasal 98 KUHP : yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari silam dan
matahari.
c) Pasal 99 KUHP : yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang
memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui lubang di dalam
tanah yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang
digunakan sebagai batas penutup.
d) Pasal 100 KUHP : yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang
tidak dimaksud untuk membuka kunci.
e) Pasal 101 KUHP : yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu,
binatang memamah biak, dan babi.
6. Penafsiran Undang-Undang Secara Ekstensif
Penafsiran undang-undang secara ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan
dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam, misalnya “aliran listrik” termasuk
juga atau disamakan dengan “benda”.
Perluasan arti kata-kata tersebut didalam penafsiran ekstensif ini erat kaitannya
dengan pasal 362 KUHPidana, yakni:
Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak 900
rupiah.
7. Penafsiran Undang-Undang Secara Restriktif
Penafsiran undang-undang secara restriktif adalah suatu penafsiran undang-undang
yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat
dalam peraturan undang-undang. Misalnya kerugian hanya terbatas kepada kerugian
materiil saja sedangkan kerugian imateril, termasuk di dalamnya.
8. Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis
Penafsiran undang-undang secara analogis adalah suatu penafsiran undang-undang
yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang
terdapat dalam undang-undang sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikan suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap atau diibaratkan sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut. Misalnya menyambung aliran listrik dianggap sama
dengan mengambil aliran listrik.
Penganalogian “menyambung” aliran listrik adalah “mengambil” aliran listrik erat
kaitannya dengan pasal 362 KUHPidana yakni:
Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak 900
rupiah.
9. Penafsiran Undang-Undang Secara A Contratio
Penafsiran undang-undang secara a contrario adalah suatu penafsiran undang-
undang yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa
konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan
berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang
dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar
ketentuan undang-undang tersebut.
Contoh: Pasal 34 KUH Perdata menetukan bahwa seorang perempuan tidak
dibenarkan menkah lagi sebelum lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari
suami pertama. Berdasarkan suatu penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki. Karena bagi seorang laki-laki tidak
perlu menunggu tenggang waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah
putusnya perkawinan pertama. Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdata
tersebut adalah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan anak,
berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah
perkawinannya putus atau bercerai. Jika anak itu dilahirkan setelah perkawinan yang
berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan
pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adalah anak dari
suami pertama.
e. Menghaluskan Hukum (Rechtsverfijning)
Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan ruang lingkup
yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum
agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan hukum
(rectsverfijning) dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Dalam hal ini peraturan
yang sifatnya umum diterapkan pada peristiwa atau hubungan hukum yang khusus atau
sesuai dengan kenyataan (werkelijkheid) sosial. Dengan demikian peristiwa itu dapat
diselesaikan secara adil dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai salah satu
penegak hukum, harus dilandasi dengan pertimbangan dari asas-asas penerapan hukum
positif, yang dilakukan dalam rangka :
1. Melaksanakan hukum sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan terhadap
kegiatan masyarakat .
2. Mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran atas suatu aturan hukum
seperti yang dilakukan oleh badan peradilan.
Dalam hal ini penafsiran hukum adalah tugas dari badan peradilan yang pada
hakekatnya merupakan tugas dan wewenang seorang hakim untuk dapat memutus suatu
perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Penjelasan diatas sedikitnya telah menggambarkan pentingnya suatu penafsiran
hukum yang dilakukan oleh hakim untuk dapat memutus suatu perkara dan menyelesaikan
suatu sengketa dalam proses penyelenggaraan peradilan, sehingga dengan demikian perlulah
kiranya penulis memahami mengenai manfaat dari penafsiran hukum dalam tulisan ini.

Landasan Teoritis Penafsiran Hukum.


 Interpretasi atau penafsiran.
Merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak
jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap
suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas,
seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
 Penafsiran hukum menurut R.Soeroso,SH. Adalah mencari dan menetapkan pengrtian
atas dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.(R.Soeroso:2002)
 Menurut Prof. J.H.A. Logemann[5] : “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang
ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-
undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh
pembuat undang-undang itu.”
 Penafsiran Hukum.
Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan
perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam
masyarakat secara gebonden vrijheid(kebebasan yang terikat) dan vrije
gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal
20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-
undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap).
Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut.
Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat
menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum
(rechtsverfijning dan argumentum a contracio.
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian
atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang.

Cara-cara atau metode penafsirannya ada bermacam-macam ialah sebagai berikut:


1). Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie).
2). Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie).
3).Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan
(sistematische interpretatie).
4). Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie).
5). Penafsiran otentik (authentieke interpretatie).
6.) Penafsiran analogis.
7). Penafsiran a contrario.
8). penafsiran ekstensif
9). Penafsiran restrictif
10). Penafsiran perbandingan
Dalam menghadapi kekosongan hukum, hakim melakukan konstruksi hukum atau
penafsiran analogis. Disini hakim mengadakan penafsiran atas suatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya. Dengan
demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut. misalnya, menyambung aliran listrik dianggap mengambil
aliran listrik.
1). Penafsiran gramatikal, adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam
undang-undang tersebut.
2). Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang
yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya.
Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-
undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum
(rechts historische interpretatie).
3). Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu dengang pasal
yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkakutan atau perundang-
undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudya.
4). Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam
masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum
berdasarkan asas keadilan masarakat.
5). penafsiran otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan oleh
pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh
menafsirkan,
6). Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias, sesuai dengan azas
hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya dianggap
sesuai dengan bunyi peraturan itu.
7). Penafsiran a contratrio yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertian antara soal
yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
8). Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan.
9). Penafsiran restriktif yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan.
10). Penafsiran perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan
penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.

Macam-macam cara penafsiran


1. Dalam pengertian subjektif dan obyektif
2. Dalam pengertian sempit dan luas

Ad.1Dalam pengertian subjektif dan obyektif


a. Dalam pengertian subjektif : apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang
b. Dalam pengertian objektif : apabila penafsirannya lepas dari pada pendapat pembuat
Undang-Undang dan sesuai dengan adat bahas sehari-hari

Ad.2 Dalam pengertian sempit dan luas


a. Sempit : yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi
b. Luas : ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi penafsiran seluas-luasnya.

Cara Penerapan metode-metode penafsiran.


Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang hasus dijadikan
pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya hakim bebas dalam
melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama dilakukan
penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks pertauran perundang-
undangan harusdimengerti lebih dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan
penafsiran otentik, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.

Bagian Ke – SeBelas.
Naskah Akademik
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengantar.
Pembentukan peraturan oerundang-undangan yang baik selalu diawali dengan penyusunan
Naskah Akademik terelebih dahulu. Naskah akademik merupakan hasil kajian dan penelitian
yang berkenaan dengan permaslahan hukum yang dihadapi dan untuk memecahkan
permaslahan tersebut diperlukan dasar dalam bentuk pperaturan perundang-undangan.
Suatu naskah akademik mempunyai sistematika baku, yang tterdiri dari:
A. PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.01.01
TAHUN 2008
B. SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK
JUDUL NASKAH AKADEMIK
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
D. METODE PENELITIAN
BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA
BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM
POSITIF
BAB IV PENUTUP
LAMPIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG

C. PENJELASAN SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK


D. JUDUL NASKAH AKADEMIK
Memuat jenis dan nama peraturan perundang-undangan

BAB I PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis,


yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
1. Landasan Filosofis Memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta
cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa
Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
2. Landasan Yuridis Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan
yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan
yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan
perundang-undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
3. Landasan Sosiologis Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-
politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah
Akademik. Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis
kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial itu
sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.

B. Identifikasi Masalah Memuat permasalahan apa saja yang akan dituangkan


dalam ruang lingkup naskah akademik.
Identifikasi masalah ini diperlukan untuk mengarahkan agar penelitian/kajian Naskah
Akademik ini dapat menjelaskan urgensi perlunya disusun Naskah Akademik peraturan
perundang-undangan tersebut. Identifikasi masalah dapat dirumuskan dalam bentuk
pointer-pointer pertanyaan atau deskripsi secara umum yang mencerminkan
permasalahan yang mana harus diatasi dengan norma-norma dalam suatu peraturan
perundangundangan.

3. Tujuan dan Kegunaan


Uraian tentang maksud/tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik.
1. Tujuan Memuat sasaran utama (tujuan) dibuatnya Naskah Akademik Peraturan
Perundang-Undangan, yakni sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan, yang memberikan arah, dan menetapkan ruang
lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.
2. Kegunaan Memuat pernyataan tentang manfaat disusunnya Naskah Akademik
tersebut, yakni selain untuk bahan masukan bagi pembuat Rancangan Peraturan
Perundang-undangan juga dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Contoh: Menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Undang-
Undang yang akan dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
penyusunan prioritas Prolegnas (untuk suatu Naskah Akademik RUU).
D. Metode Penelitian Uraian tentang metode penelitian yang digunakan dalam melakukan
penelitian sebagai bahan penunjang penyusunan naskah akademik. Metode ini terdiri dari
metode pendekatan dan metode analisis data.
Metode penelitan di bidang hukum dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun
Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer.
1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data
sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil
pengkajian dan referensi lainnya.
2. Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data primer
yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan
cara: pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar
pendapat narasumber atau para ahli, menyebarkan kuestioner dan sebagainya.
3. Pada umumnya metode penelitian pada Naskah Akademik menggunakan pendekatan
yuridis normatif yang utamanya menggunakan data sekunder, yang dianalisis secara
kualitatif. Namun demikian, data primer juga sangat diperlukan sebagai penunjang dan untuk
mengkonfirmasi data sekunder.

BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA


Memuat elaborasi berbagai teori, gagasan, pendapat ahli dan konsepsi yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam menentukan asas-asas (baik hukum maupun non hukum) yang
akan dipakai dalam peraturan perundangundangan.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
kehidupan terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari
hasil penelitian.
BAB III MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF.
Berisi materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan
kajian/analisis keterkaitan materi dimaksud dengan hukum positif, sehingga Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat tidak tumpang tindih dengan hukum positif.
A. Kajian/analisis tentang keterkaitan dengan hukum positif terkait dapat disajikan dalam
bentuk matriks atau secara deskriptif, dalam rangka mengharmonisasikan dengan hukum
positif yang telah ada, sehingga tidak tumpang tindih.
B. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan di antaranya mencakup:
1. Ketentuan Umum Memuat rumusan akademik mengenai batasan pengertian/definisi
beserta alternatifnya, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan.
2. Ketentuan Asas dan Tujuan Rumusan akademik mengenai pasal-pasal mengenai asas
dan tujuan.(sebagaimana yang telah dielaborasi pada BAB II).
3. Materi Pengaturan Berisi rumusan-rumusan akademik materi muatan peraturan perundang-
undangan yang perlu diatur serta pemikiran-pemikiran normanya yang dikemukakan
secara alternatif bila dimungkinkan. Penyajian rumusan-rumusan akademik disusun secara
sistematik dalam bab-bab sesuai dengan kelompok substansi yang akan diatur.
4. Ketentuan Sanksi (bila diperlukan). Memuat rumusan akademik mengenai ketentuan
sanksi administratif, perdata, pidana, sesuai dengan sifat pelanggaran atau kejahatan dalam
masing-masing bab substansi.
5. Ketentuan Peralihan (bila diperlukan). Bab ketentuan peralihan ini diperlukan apabila
materi hukum tersebut telah pernah diatur sebelumnya dan kemudian diatur kembali.

Ketentuan peralihan dapat memuat pokok pemikiran antara lain yang menyangkut:
1. Penerapan peraturan perundang-undangan baru terhadap keadaan yang terdapat pada
waktu peraturan perundang-undangan mulai berlaku.
2. Bagaimana seharusnya pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang baru itu.
3. Kemungkinan adanya penyimpangan.
Aturan khusus bagi keadaan hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan
yang baru dan sebagainya.
Ketentuan Penutup. Ketentuan Penutup dapat memuat rumusan norma beserta alternatifnya,
yang antara lain mengenai:
1. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan undang-undang.
2. Nama singkat undang-undang.
3. Status peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
4. Saat mulai berlakunya undang-undang tersebut.
Ketentuan tentang pengaruh undang-undang yang baru terhadap undang-undang yang lain.
Kedudukan peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan mengatur materi yang
sama.

BAB IV PENUTUP.
Berisi kesimpulan jawaban terhadap identifikasi masalah yang telah ditetapkan yang menjadi
pertimbangan penyusunan materi muatan dan rekomendasi terkait dengan pentingnya
penyusunan regulasi dimaksud.
A. Kesimpulan memuat antara lain:
1. Rangkuman pokok isi Naskah Akademik.
2. Bentuk pengaturan, yang dikaitkan dengan materi muatan, apakah materi muatan diatur
dalam bentuk undangundang atau bentuk peraturan lain yang lebih rendah.
3. dan sebagainya.
B. Saran memuat antara lain:
1. Apakah semua materi Naskah Akademik sebaiknya diatur dalam bentuk undang-undang
atau ada sebagian materi yang lebih baik diatur dalam peraturan pelaksanaan.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan
Perda dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan
naskah akademik lebih lanjut.
4. dan sebagainya.
III. SISTEMATIKA KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Konsep awal RUU yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan dengan didasarkan pada
uraian akademik.
Konsiderans:
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan rancangan undang-undang. Pokok-pokok pikiran memuat unsur filosofis,
yuridis, dan sosiologis.
Alas/Dasar Hukum:
Memuat dasar kewenangan pembuatan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
yang memerintahkan pembuatan undang-undang tersebut.
Ketentuan Umum:
 Memuat istilah-istilah yang dipakai dalam Naskah Akademik dan pengertiannya.
Materi:
 Memuat konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, serta rumusan
norma dan pasal-pasalnya yang disarankan; bila mungkin dengan mengemukakan
beberapa alternatif.
Ketentuan Pidana (jika diperlukan):
Memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang patut dilarang
dengan menyarankan sanksi pidananya.
Ketentuan Peralihan (jika diperlukan):
Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundangundangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan
tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan Penutup:
Pada umumnya memuat:
a. Saran tentang penunjukan lembaga/instansi atau alat perlengkapan Negara yang terkait dan
karena itu perlu diikutsertakan dalam penyusunan dan pelaksanaan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan;
b. Saran tentang pemberian nama singkat Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan;
c. Saran tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan setelah diundangkan;
d. Pendapat tentang pengaruh Peraturan Perundang-undangan yang baru terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang lain; baik yang sudah ada sebelumnya dan Peraturan Perundang-
undangan yang masih harus dibuat.

Proses Penyiapan RUU Berdasarkan Perpres 68 Tahun 2005


Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan
penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan
efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-
undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik
Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-
maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun
2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan
peraturan perundang-undangan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor : M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal
Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh
Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang
membawahi Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.
Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
meliputi:
1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Presiden mengenai:
1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan
internasional; dan
2) pernyataan keadaan bahaya.
4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya
ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia
meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Mahkamah Agung;
4. Mahkamah Konstitusi; dan
5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-
undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya
ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan.
Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai
dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy.
2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan
atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan.
3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan
mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani.
4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua)
naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
sebagai arsip.
5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-
undangan diundangkan.
6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan
1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak,
media elektronik, dan cara lainnya.
2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran
lepas maupun himpunan.
3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas
yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada
kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-
undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan.
4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang
dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara,
Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait.
5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website:
www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.
6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau
dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi
pers, dan cara lainnya

Pertemuan Ke-DuaBelas.
BAHASA HUKUM & PERATURAN PERUNDANG-UNDANGGAN
Pengantar.
Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri
yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
Bahasa merupakan: alat komunikasi bagi manusia untuk mengungkapkan perasaan,
menyampaikan buah fikiran kepada sesama manusia. Oleh sebab itu bahasa terbagi 3 :
1. LisaN
2. Tulisan
3. Pertanda atau lambang.
Bahasa Indonesia hukum yang berfungsi sebagai alat atau sarana untuk menyampaikan
informasi. Oleh karena bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
bahasa Indonesia. Kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia hukum juga berlaku
dalam bahasa Indonesia hukum, hanya saja antara bahasa hukum dan bahasa Indonesia
mempunyai cirri-ciri yang tegas yang berfungsi sebagai pembeda yaitu yang mencakup
dengan konsep bahasa itu sendiri.
Dalam bahasa Indonesia sesuai konsepnya satu kata dapat mempunyai beberapa arti,
sedangkan dalam bahasa hukum sedapat mungkin menghindarkan seperti hal tersebut.
Karena didalam bahasa hukum terdapat suatu konsep atau prinsip mono smantik atau
kesatuan makna. Hal ini dimaksudkan supaya jangan timbul hal yang berbedayang
menyangkut dengan kaidah hukum.
Tanpa kemampuan berbahasa manusia tidak bias mengembangkan budaya, sebab tanpa
kemampuan berbahasa hilang pola kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari
generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Disamping itu pula tanpa kemampuan
berbahasa manusia tidak dapat melakukan berfikir secara sistematisdan teratur. Dengan
melihat kemampuan berfikir manusia itu maka fungsi bahasa dapat dibagi 2, yaitu:
1. Sebagai alat komunikasi antara manusia
a. Sebagai alat untukmenyampaikan pesan
b. Sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan sikap
c. Sebagai alat komunikasi untuk berfikir
2. Sebagai sarana untuk mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa
tersebut.
Ungkapan fikiran tidak dapat dilakukan tanpa bahasa dalam kaitannya dengan pemahaman
hukum, perlu bahasa hukum itu sendiri oleh karena bahasa hukum tersusun dari symbol-
simbol yang mempunyai arti khusus.
Keistimewaan bahasa hukum adalah: orang selalu tidak merasa puas terhadap makna yang
dikandung dalam istilah hukum sehingga orang selalu mencari terus menerus makna yang
paling tepat.
Oleh karena itu bahasa yang dipelajari yang dipakai dalam ilmu pengetahuan:
1. Lugas dan eksat unuk menghindari ketak samaan dan ketak samara
2. Objektif dan menekankan perasangka pribadi
3. Memberikan definisi yang cermat tentang sifat dan kategori yang diselidikinya
untuk menghindari kesimpang siuran
4. Tidak beremosi dan menghindari tafsiran yng beresensi.
5. Cenderung membakukan makna, kata-katanya, ungkapannya, gayanya,
paparannya berdasarkan konfersi.
6. Tidak dogmatis atau fanaticberkembang terus
7. Bercorak hemat, hanya data yang diperlukan dipakai
8. Bentuk makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil, lebih dimiliki dari pada kata
biasa.
Bahasa hukum adalah: bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban dan keadilan untuk mempertahankan kepentingan pribadi dalam masyarakat.
Bahasa hukum sebagian bagian dari bahasa Indonesia modern maka penggunaannya harus
tetap.
1. Tenang
2. Mono smantik atau kesatuan makna (jangan memberikan penafsiran berbeda-beda)
3. Harus memenuhi syarat-syarat SP3 bahasa Indonesia yaitu:
a. Sintaktik: ilmu tentang makna kata
b. Smantik: seluk beluk
c. Prahmatik. (abc, untuk menyampaikan suatu komunikasi kepada pendengar
Kegiatan berfikir secara hukum dengan menggunakan bahasa hukum merupakan upaya untuk
menemukan pengertian yang esensial dari hukum itu sendiri
Menurut purnadi Purwacaraka dan sarjoeno Soekanto dalam buku (bahder johan
Nasution) judul buku bahasa hukum th 2001 hal 37 menyebutkan ada beberapa macam arti
hukum yang diberikan masyarakat yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan: merupakan suatu ilmu pengetahuan yang tersusun
secara sistematis berdasarkan kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai suatu disiplin: merupakan suatu system tentang ajaran kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah: merupakan sebagai pola atau pedoman atau petunjuk yang
harus ditaati.
4. Hukum sebagai tata hukum: melihat bagaimana struktur dan proses perangkat kaidah-
kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu dalam bentuk
tertulis.
Dari uraian sebagaimana di atas terlihat jelas bahwa hukum memiliki kaitan erat dengan cara-
cara berfikir hukum. Oleh sebab itu bahasa hukum dapat dibagi 3 kelompok yaitu:
1. Bahsa hukum yang bersumber pada aturan-aturan yang dibuat oleh Negara artinya
lebih bersifat pengaturan hak dan kewajiban. Ex: aturan tentang hukum pentensir
( membicarakan tentang hukumannya) Contoh: UU No 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak; UU No 3 tahun 1997 tentang peradilan anak. Yaitu anak yang
berusia 8-18 tahun atau yang belum menikah maka pertanggung jawabannya pidana.
Umur 12 tahun kebawa maka ada beberapa kemungkinan yaitu:
a. Kembalikan kepaada orang tuanya (dalam pengawasan lapas)
b. Diserahkan kepada departemen social untuk di didik
Hukuman anak adalah ½ dari hukuman orang dewasa:
a. Anak pidana dibina oleh Negara
b. Anak Negara dibina oleh Negara dengan biaya Negara
c. Anak sipil dibina oleh Negara tetapi biaya orang tuanya. UU No 12 tahun 1995
tentang lembaga kemasyarakatan
2. Bahasa hukum yang bersumber pada aturan-aturan hukum yang berlaku dimasyarakat.
Bahasa hukum seperti ini ditemui dalam hukum adat dan tidak bertentangan dengan
hukum Negara.Contoh: perkawinan, warisan
3. Bahasa hukum yang bersumber dari para ahli hukum, kelompok-kelompok yang
berprofesi hukum, Contoh: yurisprudensi, asas legalitas, exepsi.

Menurut Anton M.Moeliono, ada beberapa segi kesamaan antara bahasa dan hukum :
a. bahasa dan hukum tidak merupakan struktur yang monolistik;
b. bahasa dan hukum merupakan sistem lambing yang normatif, yang mengatur
perilaku sosial manusia;
c. pelanggaran terhadap aturan atau kaidah bahasa dapat dikenai sanksi sosial,
pelanggaran terhadap hukum dapat dikenai sanksi hukum;
d. lewat pengucapan penuturan performatif, orang dapat memberikan suatu perbuatan
dan dapat melaksanakannya. Di dalam bahasa hukum, tuturan performatif itu
menghasilkan suatu perbuatan hukum. Misalnya tuturan yang memuat verba
performatif, menghukum, memberi kuasa, menyatakan, dan melarang.
Selanjutnya Anton M.Moeliono dalam simposium bahasa dan hukum tahun 1974 di Medan
megemukakan ciri-ciri bahasa keilmuan termasuk bahasa hukum, adalah :
a. bahasa keilmuan adalah lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan
ketaksahan;
b. bahasa keilmuan adalah obyektif dan menekan prasangka pribadi;
c. bahasa keilmuan memeberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori
yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran;
d. bahasa keilmuan tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;
e. bahasa keilmuan cenderung memebakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan
gaya paparannya berdasarkan konvensi;
f. gaya bahasa keilmuan tidak dokmatis dan fanatik;
g. gaya bahasa keilmuan bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
h. bentuk, makna, dan fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki
kata biasa.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Montesquieu dalam bukunya :


”L’Espirit des Lois”, mengemukakan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas yakni sebagai
berikut :
a. gaya bahasa harus padat dan mudah, kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal
hanya merupakan tambahan yang membingungkan;
b. istilah yang dipilih hendaknya bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud
menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan pendapat yang individual;
c. hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil daan aktual, menghindarkan
sesuatu yang metaforik dan hipotetik;
d. hukum hendaknya tidak halus, karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan
pengertian yang sedang, bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk
pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata;
e. hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian,
pembatasan, atau pengubahan, gunakan semua itu hanya apabila benar-benar
diperlukan;
f. hukum hendaknya tidak bersifat argumentatis/dapat diperdebatkan, adalah berbahaya
merinci alas an-alasan hukum, karena hal itu akan lebih menumbuhkan pertentangan-
pertentangan;
g. lebih daripada semua itu, pembentukan hukum hendaknya mempertimbangkan
masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak menggoyahkan
sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakekat dasar permasalahan, sebab
hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil akan memebawa sistem perundang-
undangan kepada nama jelek dan menggoyahkan kewibawaan negara.

Selanjutnya, Jeremey Bentham mengemukakan ketidaksempurnaan yang dapat


mempengaruhi undang-undang, dan dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan perundang-
undangan. Ketidaksempurnaan tersebut dibaginya dalam dua derajat / tingkatan, yaitu sebagai
berikut :
1. Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan oleh hal-hal yang meliputi :
a. arti ganda (ambiquity);
b. kekaburan (obscurity);
c. terlalu luas (overbulkiness).
2. Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan oleh hal-hal yang meliputi :
a. ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of expression);
b. ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import);
c. berlebihan (redundancy);
d. terlalu panjang lebar (longwindedness);
e. membingungkan (entanglement);
f. tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in respect of helps to
intelecction);
g. ketidakteraturan (disoderlinness).
Sementara A. Hamid S. Attamimi, mengatakan dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
a. tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
b. harus menggunakan ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
c. jangan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak sempurna;
d. gaya bahasanya harus padat dan sederhana;
e. pergunakan istilah yang sudah mutlak / tetap;
f. jangan mengacaukan yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
g. hindarkan ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
h. jangan menggunakan kalimat yang terlalu panjang;
i. pertimbangan baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan suatu saat
hukum itu manjdi korban.
Bahasa peraturan perundang-undangan memgang peranan penting dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, sebab pesan-pesan yang terkandung didalam peraturan
perundang-undangan tidak mungkin akan sampai, apabila bahasa yang dipergunakan dalam
menyusun peraturan perundang-undangan itu sendiri tidak jelas atau mengandung multi
tafsir. Oleh sebab itu, menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, bahasa peraturan
perundang-undangan “merupakan ragam bahasa Indonesia dan karena itu tunduk kepada
kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut aturan pembentukan kata maupun yang
bertalian dengan penyusunan kalimat, serta yang berhubungan dengan cara pengejaannya.
Bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak dan gaya yang khas yang yang
mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
a. kejernihan pengertian; objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam
mengungkapkan tujuan atau maksud);
b. kebakuan; membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten;
c. keserasian dalam arti memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
d. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
e. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk
tunggal; dan
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau
diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga
pemerintah/ ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan
Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.

Sebagai sarana komunikasi bahasa peraturan perundang-undanganmempunyai beberapa


Fungsi bahasa hukum sebagai berikut :
a. Fungsi simbolik – Menurut Gustaf Robruch: Karakteristik bahasa hukum atas
peraturan perUUan bebas emosi, tanpa perasaan, datar dan kering, semuanya itu
ditujukan untuk kepastian dan menghindari dwi makna.
b. Fungsi emotif – Bahasa hukum sebagai sarana komunikasi ilmiah, hukum dapat
bersifat jelas dan objektif serta harus bebas dari emosi. Dengan adanya unsure
emotif dalam komunikasi ilmiah hukum akan menjadikan komunikasi tersebut
kurang sempurna, bahasa hukum yang dikomunikasikan bias saja kurang
beradaptasi sesuai dengan tujuan hukum
c. Fungsi efektif - Fungsi efektif dalam bahasa hkum berkaitan erat dengan sikap,
fungsinya yang diharapkan supaya norma-norma hukum yang dikomunikasikan
melalui bahasa hukum mampu
Mengubah dan mengembangkan kepribadian agar mentaati hukum, meningkatkan keselarasn
hukum serta bersifat tegas sesuai aturan hukum. Fungsi efektif yang tergambar dalam bahsa
hukum itu sangat menonjol untuk meningkatkan dan mengembangkan hukum, budaya hukum
itu sendiri merupakan suatu karakteristik yang hidup dan dipatuhi masyrakat.
Bahasa Hukum Perundang-Undanngan.
Setiap system hukum adalah hukum itu dapat dikomunikasikan terhadap masyarakat.
Apabila suatu aturan hukum dalam bentuk UU tidak bias dikomunikasikandengan baik
kepada masyarakatberarti uu tersebut dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat,
demikian pula halnya dengan ketentuan yang membatasi tingkah laku masyarakt. Apabila
tidak dapat dikomunikasikan maka ketentuan tersebut tidak mungkin berlaku secara efektif,
oleh karena itu bahasa hukum perUUan yang mengandung berbagai ketentuan yang bersifat
khusus apabila dilihat dari segi bahasa maka UU tersebut baru bias difahami apabila
dianalisis secara seksama. Hal ini disebabkan karena adanya factor-faktor yang
mempengaruhi antara lain
1. Adanya norma-norma yang disusun dalam bentuk pernyataan yang bersifat factual.
Contoh: pasal 154 KUHAP ayat 1: hakim memerintahkan terdakwa masuk dalam ruang
siding dalam keadaan bebas. Faktanya: hakim ketua siding. Normanya: memerintahkan
kepada jaksa membawa terdakwa masuk dalam ruang siding. Catatan: harus ada kepastian
hukum.
2. Ada norma yang disusun dibalik perumusan hukuman. Contoh: pasal 351 KUHP
penganiayaan penjara 2 tahun 8 bulan
3. Ada norma yang disebutkan dalam pasal tertentu atau yang bersangkutan dan ada norma
yang mengatur pada pasal lain. Contoh: pasal 284 (zina)  salah satunya terikat
perkawinan, pasal 362-367 KUHP: pencurian, pasal 364: pencurian ringan.
4. Ada norma yang bersifat procedural maksudnya dalam hal tertentu ia bersifat procedural,
norma-norma yang diatur dalam UU hanya bersifat Insidentil, artinya pada saat tertentu
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat abstrak diwujudkan dalam gerak yang konkrit,
barulah norma-norma itu muncul, hal ini disebabkan karena adanya pasal-pasal tertentu
dalam UU tidak mempunyai makna tersendiri. Contoh: Pasal 165 ayat 5 KUHAP
a. Hakim ketua siding dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala kekurangan
yang dipandang perlu untuk mendapat keterangan/kebenaran.
b. Penuntut umum terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.
5. Ada perluasan subyek hukum maksudnya ada aturan-aturan tertentu dalam UU yang
menuntut subyek hukum tertentu dengan perluasan pengertian untuk mengetahui makna
dari pengertian yang diperluas tersebut dengan ketentuan harus diperhatikan dalam
konteks apa UU itu berbicara. Contoh: UU 43 tentang kepegawaian (semua yang dilihat
oleh pemerintah)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat peraturan per-UU-an, adalah:
1. Bahasa: bahasa jelas, dapat dimengerti, singkat dan padat
2. Keseragaman istilah/ terminology: harus gampang dimengerti
3. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang
4. Penggunaan berbagai kata yang kurang perlu
5. Terlalu banyak menggunakan pengecualian karena didalam UU seringkali dijumpai
banyak istilah dengan tidak mengurangi pengertian, pengecualian.
6. Menggunakan bahasa asing mengenai istilah. Oleh karena itu harus menggunakan
ejaan yang resmi
7. Menunjuk pada pasal-pasal lain. Maksudnya adalah untuk menghindarkan
pengulangan dari isi pasal-pasal lain yang ditunjuk itu.

Pilihan Kata Atau Istilah dalam merumuskan ketentuan peraturan perunndang-undangan,


sebagai berikkut:
1. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam
menentukan ancaman pidana atau batasan waktu
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan.
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali
ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
4. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya
kata yang bersangkutan.
5. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
6. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila,
atau frasa dalam hal.
7. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di
masa depan.
8. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
9. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
10. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
11. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
12. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata
berwenang.
13. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada
seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
14. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.
15. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata
harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh
sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan
tersebut.
16. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa teori yang perlu dipahami
oleh perancang yakni teori jenjang norma. Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu
negara. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa
sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan
berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut
norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok. Nawiasky
mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :
1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2) Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3) Formell Gezetz (undang-undang formal);
4) Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum di setiap
negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma yang berbeda dalam setiap kelompoknya.
Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini harus dijadikan
bintang pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pertemuan Ke-Tiga Belas.
Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
A.Penganntar.
Secara teoritis, Pancasila merupakan falsafah negara (philosofische gronslag). Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara. Ada lima prinsip sebagai philosofische grondslag bagi Indonesia,
yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berbudaya.
Dari sudut sejarah, Pancasila sebagai dasar negara pertama-tama diusulkan oleh Ir.Soekarno
pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni
1945, yaitu pada waktu membahas Pancasila sebagai dasar negara. Sejak saat itu pula
Pancasila digunakan sebagai nama dari dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, meskipun untuk itu terdapat beberapa tata urut dan rumusan yang berbeda.
Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa setiap tindakan rakyat dan Negara
Indonesia harus sesuai dengan Pancasila. Secara historis, Pancasila diambil dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, sehingga mempunya fungsi dan peranan yang sangat luas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejarah membuktikan pada 1 Oktober 1965, persatuan dan kesatuan segenap kekuatan yang
setia kepada Pancasila mampu mematahkan pemberontakan G30S/PKI yang bertujuan
mengubah Pancasila dan meninggalkan UUD 1945. Peristiwa tersebut membuktikan usaha
mengganti Pancasila dengan ideologi lain akan mendapat perlawanan rakyat Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal, sehingga harus diinternalisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan hukum. Dalam kaitannya dengan
pembangunan, hukum mempunyai fungsi sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan,
sarana pembangunan, penegak keadilan dan pendidikan masyarakat.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari pembangunan hukum yang
diarahkan untuk mencapai tujuan negara harus berpijak kepada nilai-nilai Pancasila. Dibawah
ini akan membahas tentang negara hukum Pancasila dan nilai-nilai Pancasilan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan
Negara Hukum Pancasila
Negara hukum Pancasila mengandung lima asas, yaitu Pertama, asas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Asas ini tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, yaitu “…
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3] Berdasarkan
pernyataan ini, Indonesia merupakan negara yang ber-Tuhan, agama dijalankan dengan cara
yang berkeadaban, hubungan antar umat beragama, kegiatan beribadahnya dan toleransi
harus berdasarkan pada Ketuhanan. Kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan
pada tiga pilar, yaitu freedom (kebebasan), rule of law(aturan hukum)
dan tolerance (toleransi)
Kedua, asas perikemanusiaan universal. Asas ini mengakui danmemperlakukan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku,
keturunan, agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dan lainnya. Dalam Pembukaan UUD
1945 merupakan perwujudan dari asas perikemanusiaan dalam hukum positif Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk
menampung segala yang tidak seimbang dalam kehidupan sosial.
Ketiga, asas kebangsaan atau persatuan dalam kebhinekaan, yaitu setiap warga negara
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan, bahwa
bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri dan berdaulat, sehingga tidak
membolehkan adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam hal mengenai urusan
dalam negeri.
Keempat, asas demokrasi permusyawaratan atau kedaulatan rakyat. Penjelmaan dari asas ini
dapat dilihat pada persetujuan dari rakyat atas pemerintah itu dapat ditunjukkan bahwa
presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah, tetapi terlebih dahulu adanya
undang-undang artinya tanpa persetujuan rakyat Presiden tidak dapat menetapkan suatu
peraturan pemerintah.
Kelima, asas keadilan sosial. Asas ini antara lain diwujudkan dalam pemberian jaminan
sosial dan lembaga negara yang bergerak di bidang sosial yang menyelenggarakan masalah-
masalah sosial dalam negara.
Pemikiran negara hukum Indonesia, pada satu sisi berkiblat ke barat dan pada sisi lain
mengacu nilai-nilai kultural Indonesia asli. Pemikiran negara hukum inilah yang kemudian
mendorong pengembangan model negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum
berdasarkan Pancasila. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan
negara hukum. Pancasila merupakan falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka. Pancasila
menjadi sumber pencerahan, sumber inspirasi dan sebagai dasar menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
Sesuai dengan pendapat Daniel S Lev, maka negara hukum Pancasila menjadi paham negara
terbatas dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan
penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara
hukum. Konsep negara hukum Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara hukum formil
dan materiil, karena selain menggunakan undang-undang juga menekankan adanya
pemenuhan nilai-nilai hukum.
Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila menjadi
dasar dari setiap produk hukum. Konsep Negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi
sarana dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum
nasional dan tujuan Negara dimaksudkan sebagai pedoman dan dasar untuk
menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum Pancasila memiliki
beberapa nilai, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, hubungan
fungsional yang proporsional antarakekuasaan-kekuasaannegara, prinsip penyelesaian
sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir jika musyawarah
gagal. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ditransformasikan dalam cita
hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep hukum nasional
Indonesia dalam rangka mewujudkan nilai keadilan, melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Negara hukum Pancasila mengandung sifat kolektif, personal dan religius.
Implementasi dari sifat tersebut adalah keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara
merupakan nilai kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga dan hukum negara harus
disesuaikan apabila mengganggu keselarasan kehidupan bersama.
Indonesia sebagai negara hukum dalam perspektif Pancasila mensyaratkan kesediaan
segenap komponen bangsa untuk memupuk budaya musyawarah. Lintasan sejarah kehidupan
manusia telah memberikan bukti -bukti empiris bahwa elalui musyawarah, suatu bangsa
dapat meraih apapun yang dipandang terbaik bagi bangsanya.
Pada Sila keempat menyatakan bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pernyataan ini secara eksplisit telah
mengamatkan kepada bangsa Indonesia agar mengedepankan musyawarah. Dalam
melaksanakan amanat tersebut, lembaga permusyawaratan dihidupkan pada semua
jenjang/strata sosial dan negara. Lembaga permusyawaratan diberi wewenang untuk
merumuskan hukum yang terbaik bagi komunitasnya dan penerapannya dalam
bermusyawarah harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan etika yang tercakup
dalam Pancasila.
Konsep negara hukum Pancasila tidak bisa lepas dari konseprechsstaat. Hal ini nampak dari
pemikiran Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945. Negara hukum dipahami sebagai
konsep Barat, sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep modern yang
tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Dalam pandangan Soepomo, ada dua
cara pandang dalam melihat hubungan masyarakat, yaitu; pertama, cara pandang
individualistik atau asas perseorangan, di mana perseorangan lebih diutamakan dibandingkan
dengan organisasi atau masyarakat. Pola pemikiran ini berkembang di Eropa Barat dan
Amerika Serikat. Kedua, cara pandang integralistik atau asas kekeluargaan, dimana
masyarakat diutamakan dibandingkan dengan perseorangan. Dari kedua konsep ini, Indonesia
cenderung lebih sesuai dengan yang kedua, yaitu konsep integralistik.
Selaras dengan pandangan Soepomo, Muhammad Yamin menyatakan, ”Republik Indonesia
adalah suatu negara hukum tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau
negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula
negara kekuasaan (machsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan
sewenang-wenang”.
Pandangan para pendiri negara tersebut, menunjukkan ide rechtsstaatmempunyai pengaruh
yang cukup besar dan di sisi lain ada kecenderungan nasional untuk merumuskan suatu
konsep negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas tersebut terlontar dalam gagasan yang
disebut dengan negara hukum Pancasila atau negara hukum berdasarkan Pancasila.
Konsep negara hukum Pancasila memiliki karakter tersendiri yang pada satu sisi ada
kesamaan dan ada perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat dan rule of
law. Negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Negara
hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
yang mengedepankan asas kerukunan.
Menurut Sunaryati Hartono, agar supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa
keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan
dalam artinya yang materiil. Suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara
terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang.
Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli
hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.
Negara hukum Pancasila di samping memiliki elemen-elemen yang sama dengan
elemen negara hukum dalam rechtstaat mauapun rule of law. Pada sisi lain, negara hukum
Pancasila memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia
berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu terletak
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak adanya pemisahan antara negara dan
agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip
keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan
negara kesatuan Indonesia.
Nilai-Nilai Pancasila Dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia sebagai negara hukum, berarti segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasar atas
hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan
hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangka mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembangunan sistem hukum nasional diharapkan lahir produk hukum yang
demokratis, yaitu tercapainya keadilan, ketertiban, keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat
memberikan perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan dan ketenangan.
Dalam pembentukan sistem hukum nasional, termasuk peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan nilai negara yang terkandung dalam Pancasila, karena nilai tersebut
merupakan harapan-harapan, keinginan dan keharusan. Nilai berarti sesuatu yang ideal,
merupakan sesuatu yang dicita-citakan, diharapkan dan menjadi keharusan. Notonagoro,
membagi nilai menjadi tiga macam, yaitupertama, nilai materiil. Segala sesuatu yang berguna
bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material manusia. Kedua, nilai vital yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas. Ketiga,
nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian yang mengakui
adanya nilai material dan nilai vital.
Nilai yang terkandung dalam Pancasila bersifat universal, yang diperjuangkan oleh hampir
semua bangsa-bangsa di dunia. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila memiliki
daya tahan dan kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Nilai-nilai yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan wujud cita hukum Indonesia, yaitu
Pancasila.
1. Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah
satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan
beragama (freedom of religion). Mochtar Kusumaatdja berpendapat, asas ketuhanan
mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan
dengan agama atau menolak atau bermusuhan dengan agama. Dalam proses penyusuan
suatu peraturan perundang-undangan, nilai ketuhanan merupakan pertimbangan yang
sifatnya permanem dan mutlak.
Dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara,
karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila. Kebebasan beragama dalam arti
positif, ateisme tidak dibenarkan. Komunisme dilarang, asas kekeluargaan dan
kerukunan. Terdapat dua nilai mendasar, yaitu pertama, kebebasan beragama harus
mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha
Esa tidak dibenarkan; kedua, ada hubungan yang erat antara agama dan negara.
Negara hukum Pancasila berpandangan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya
atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Para pendiri negara menyadari bahwa
negara Indoneia tidak terbentuk karena perjanjian melainkan atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pertama dari dasar negara
Indonesia. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
menyatakan:
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad
SAW orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.

Pidato Soekarno tersebut merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para
anggota BPUPKI dalam pemandangan umum mengenai dasar negara. Para anggota
BPUPKI berpendapat pentingnya dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara. Pendapat
ini menunjukkan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat
yang menganut hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan.
Pada mulanya, sebagian para founding fathers menghendaki agar agama dipisahkan
dengan negara. Pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati mengenai Mukaddimah UUD atau
yang disebut Piagam Jakarta. Kesepakatan tersebut menyatakan dasar negara yang
pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para
pemeluk-pemeluknya”.
Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus
1945, tidak mencantumkan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”.
Berdasarkan nilai Ketuhanan yang Maha Esa, maka negara hukum Pancasila melarang
kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan anti agama, menghina ajaran agama atau
kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Elemen inilah yang menunjukkan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok
antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Dalam pelaksanaan pemerintahan
negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan
dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik
atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau hukum
yang tidak konstitusional.
 Nilai Ketuhanan yang maha Esa menunjukkan nilai bahwa negara mengakui dan
melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara mendorong warganya untuk
membangun negara dan bangsa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Sila pertama
dari Pancasila, secara jelas ditindaklanjuti Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini menjadi
dasar penghormatan dasar untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan.
 Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai adanya pengakuan adanya
kekuasaan di luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa
Indonesia, suatu nikmat yang luar biasa besarnya. Selain itu ada pengakuan bahwa
ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan
bangsa Indonesia dan adanya hubungan antara Tuhan manusia-bumi Indonesia itu
membawa konsekuensi pada pertanggung jawaban dalam pengaturan maupun
pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia,
melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan nilai tersebut, dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap
tenggang rasa dan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan, maka Indonesia menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh
satu bangsa terhadap bangsa lain, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh
manusia terhadap manusia lain, oleh penguasa terhadap rakyatnya.
Kemanusian yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
dan mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak
asasi manusia. Nilai ini didasarkan pada kesadaran bahwa manusia adalah sederajat, maka
bangsa Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
 Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung pemahaman hukum bahwa
setiap warga Indonesia lebih mengutamakan prinsip manusia yang beradab dalam
lingkup nilai keadilan. Kemanusiaan yang beradab mengandung bahwa pembentukan
hukum harus menunjukkan karakter dan ciri-ciri hukum dari manusia yang beradab.
Hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan setiap putusan hukum
harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan terhadap manusia dalam
Pancasila berarti menempatkan sekaligus memperlakukan setiap manusia Indonesia
secara adil dan beradab.
 Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab membawa implikasi bahwa negara
memperlakukan setiap warga negara atas dasar pengakuan dan harkat martabat
manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir kepada martabatnya.

3. Nilai Persatuan
Sila Persatuan Indonesia mengandung nilai bahwa Indonesia menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi
dan golongan. Persatuan Indonesia terkait dengan paham kebangsaan untuk mewujudkan
tujuan nasional. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan
memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam pandangan Mochtar
Kusumaatmadja, nilai kesatuan dan persatuan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus
merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, semangat persatuan yang bersumber pada Pancasila
menentang praktik-praktik yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, baik
karena alasan perbedaan suku, asal-usul maupun agama. Asas kesatuan dan persatuan selaras
dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman. Semangat persatuan
Indonesia menentang segala bentuk separatisme dan memberikan tempat pada kemajemukan.
Sila Persatuan Indonesia, mengandung pemahaman hukum bahwa setiap peraturan
hukum mulai undang-undang hingga putusan pengadilan harus mengacu pada terciptanya
sebuah persatuan warga bangsa. Dalam tataran empiris munculnya nilai baru berupa
demokratisasi dalam bernegara melalui pemilihan langsung harus selaras dengan sila
Persatuan Indonesia. Otonomi daerah yang tampaknya lebih bernuansa negara federal harus
tetap dalam bingkai negara kesatuan. Semangat untuk membelah wilayah melalui otonomi
daerah tidak boleh mengalahkan semangat persatuan dan kesatuan wilayah.
Persatuan Indonesia merupakan implementasi nasionalisme, bukanchauvinisme daan
bukan kebangsaan yang menyendiri. Nasionalisme menuju pada kekeluargaan bangsa-
bangsa, menuju persatuan dunia, menuju persaudaraan dunia. Nasionalisme dengan
internasionalisme menjadi satu terminologi, yaitu sosio nasionalisme

4. Nilai-Nilai Kedaulatan Rakyat


Nilai persatuan Indonesia bersumber pada asas kedaulatan rakyat, serta menentang
segala bentuk feodalisme, totaliter dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Nilai
persatuan Indonesia mengandung makna adanya usaha untuk bersatu dalam kebulatan rakyat
untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai
keadulatan rakyat menjadi dasar demokrasi di Indonesia. Nilai ini menunjuk kepada
pembatasan kekuasaan negara dengan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Nilai-
nilai demokratik mengandung tiga prinsip, yaitu pembatasan kekuasaan negara atas nama hak
asasi manusia, keterwakilan politik dan kewarganegaraan.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, menunjukkan manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama. Setiap warga negara dalam menggunakan hak-haknya harus menyadari perlunya
selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mendambakan terwujudnya masyarakat
yang demokratis, maka gerakan massa yang terjadi harus dilakukan dengan cara-cara yang
demokratis.
Kedudukan hak dan kewajiban yang sama, tidak boleh ada satu kehendak yang
dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini
diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Manusia
Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu
semua pihak yang bersangkutan menerima dan melaksanakan dengan itikad baik dan rasa
tanggungjawab.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga
perwakilan. Penyelenggaraan negara yang demokratis merupakan cita-cita dari negara
modern.
5. Nilai Keadilan Sosial
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukkan bahwa manusia Indonesia
menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam
masyarakat Indonesia. Keadilan sosial memiliki unsur pemerataan, persamaan dan
kebebasan yang bersifat komunal
Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap
sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak
orang lain. Nilai keadilan sosial mengamatkan bahwa semua warga negara mempunyai
hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
Dengan sikap yang demikian maka tidak ada usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain, juga untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan hidup bergaya
mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum. Demikian juga dipupuk sikap suka kerja keras dan sikap menghargai
hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai bahwa setiap
peraturan hukum, baik undang-undang maupun putusan pengadilan mencerminkan
semangat keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah semangat keadilan sosial bukan
keadilan yang berpusat pada semangat individu. Keadilan tersebut haruslah dapat
dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan oleh segelintir golongan
tertentu.
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar
sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara
lahiriah maupun batiniah.
Penegakan hukum dan keadilan ini ialah wujud kesejahteraan manusia lahir dan batin,
sosial dan moral. Kesejahteraan rakyat lahir batin, terutama terjaminnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, rasa keamanan dan keadilan, serta
kebebasan beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan sosial ini harus diwujudkan
berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang berlaku dan ditegakkan secara
melembaga berdasarkan UUD 1945.
Dalam pandangan Bagir Manan, kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki beberapa
karakter yang harus dipahami oleh hakim sehingga dapat mewujudkan nilai keadilan
sosial. Peradilan berfungsi menerapkan hukum, menegakkan hukum dan menegakkan
keadilan berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan; segala bentuk
campur tangan dari luar kekuasaan kehakiman dilarang. Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, tidak ada seorangpun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh undang-undang.
Pancasila dan Falsafah Hukum Indonesia
Dalam suatu Negara demokrasi suatu kesepakatan filosofis yaitu the general acceptance of
the same philosophy of government, harus seoptimal mungkin direalisasikan agar dalam suatu
Negara tercipta suatu keadilan dalam hidup bersama. Oleh karena itu core philosophy yang
terkandung dalam Pancasila, yang dalam kehidupan kenegaraan adalah merupakan norma
dasar yang fundamental dari Negara Indonesia atau sebagai staatsfundamentalnorm. Dalam
pengertian inilah maka pancasila dalam kehidupan kenegaraan merupakan
suatu philosofische grondslag. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dalam kedudukannya
sebagai staatsfundamentalnorm, maka Pancasila sebagai dasar fisafat hukum Indonesia
menurut Radbruch menentukan suatu dasar bagi tata hukum yang memberi arti dan makna
bagi hukum itu sendiri, dan dalam hubungan ini maka dasar filsafat Negara itu memiliki
fungsi konstitutif. Selain itu Pancasila yang merupakan staatsfundamentalnorm, juga
menentukan apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak adil, yaitu dalam fungsi regulatif.
Dalam undang-undang dasar 1945 hasil amandemen ditegaskan bahwa ‘negara Indonesia
adalah Negara hukum’ pasal (1) ayat(3). Berdasarkan ketentuan pada pasal (1) ayat (3)
tersebut maka Negara Indonesia yang berdasarkan atas tertib hukum dan bukan berdasarkan
suatu kekuasaan. Hal ini sebenarnya justru menegaskan akan fungsi konstitutif dan fungsi
regulatif pancasila dasar negara Republik Indonesia. Suatu Negara berdasarkan atas hukum
mengandung makna bahwa dalam suatu Negara Indonesia terdapat suatu tata hukum yang
mengaturnya. Hal itu ditegaskan dalam pembukaan bahwa disususnlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila). Hal ini dapat pula dijelaskan
dengan ungkapan lain bahwa dibentuklah suatu Negara Indonesia dalam suatu undang-
undang dasar Negara Indonesia dengan bedasar kepada dasar filsafat Pancasila.

Hukum yang merupakan wadah dan sekaligus merupakan suatu isi peristiwa penyusunan dari
kemerdekaan kebangsaan Indonesia atau kedaulatannya itu, menjadi dasar bagi kehidupan
kenegaraan bangsa dan Negara Indonesia. dalam rechtsstaat republik Indonesia, hukum
bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga tertinggi dan /atau lembaga tinggi Negara saja,
melainkan lebih dari itu, yaitu yang mendasari dan membimbing tindakan-tindakan lembaga
tinggi Negara tersebut. Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek
kehidupan dan kegiatan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan rakyat Indonesia,
dalam berbagai bidang kehidupan (Attamimi, 1990: 66). Dalam filsafat hukum pengertian
Negara yang disusun dalam suatu tertib hukum, diartikan bahwa suatu peraturan perundang-
undang itu disusun berdasarkan suatu sistem baik sumber formal maupun material hukum.
Keseluruhan sistem sebagaimana dijelaskan diatas adalah merupakan suatu keharusan
sistemik bagi derivasi peraturan perundang-undang lainya termasuk aspek pelaksanaannya.
Penyusunan dan penjabaran norma-norma hukum positif dalam pelaksaan dan
penyelenggaran Negara yang berdasarkan staatsfundamenalnorm adalah merupakan suatu
(das sollen). Namun dalam kenyataannya, setelah reformasi bangsa Indonesia melakukan
reformasi dalam berbagai bidang termasuk bidang hukum, realitasnya (das sein) tidaklah
senantiasa mendasarkan pada sumber nilai dan fakta melainkan berdasarkan kesepakatan
politik dan berdasarkan kepentingan kelompok. Selain itu dasar penyusunan peraturan
perundang-undangan ditentukan oleh faktor dari luar sistem hukum Indonesia, dalam arti
suatu kepentingan transnasional bahkan global. Hal ini nampaknya sejalan dengan analisis
Berger, bahwa di era global kapitalisme yang berakar pada liberalisme, akan mengubah
masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi
sebagian besar bangsa di dunia dan secara tidak langsung juga akan menentukan juga nasib
sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. (Berger, 1988; Pratedja 1996).
Oleh karena itu Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia dan kemudian dalam
kehidupan kenegaraan maka Pancasila merupakan core values, dasar filosofis, maupun
sumber nilai bagi peraturan perundang-undangan Negara Indonesia. Hukum bagi Pancasila
bukan hanya bersifat positif, empiris, formal dan logis belaka melainkan juga mendasarkan
pada nilai-nilai dan pandangan hidup yang berkembang pada masyarakat Indonesia .
berdasarkan realitas tersebut maka hukum pada hakikatnya bukan merupakan suatu realitas
empiris yang terlepas dari hakikat manusia sebagai subjek dan sekaligus objek hukum.
Munculnya peraturan hukum karena tuntunan hidup masyarakat yang semakin kompleks,
sehingga hukum pada hakikatnya dari, oleh, untuk masyarakat. Oleh karena itu menurut
filsafat Pancasila dengan sila keduanya adalah ‘kemanusian yang adil dan beradab’ ,
mengandung suatu konsekuensi bahwa hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya
sehingga antara hukum dan realitas masyarakat tidak dapat dipisahkan.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum,
penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai nilai Pancasila. Namun
dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm berarti menempatkannya di
atas Undang Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian
konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Dengan melacak pada norma dasar dan konstitusi
menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat Hans Nawiasky, serta melihat hubungan
antara Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.Memang hingga kini masih terjadi polemik
di kalangan ahli Proklamasi Kemerdekaan, sebenarnya yang dapat disebut sebagai sumber
dari segala sumber hukum.
Polemik ini mencuat ketika Moh.Yamin pada tahun 1959 menggunkan istilah sumber dari
segala sumber hukum tidak untuk Pancasila seperti yang lazim digunakan saat ini, melainkan
untuk Proklamasi Kemerdekaan 17 Agistus 1945 yang disebut dengan “ maha-sumber dari
segala sumber hukum “, the source of the source” ( Denny,2003 dalam Kurnisar ).
Sebagaimana telah ditemukan oleh pembentukan Negara bahwa tujuan utama dirumuskannya
Pancasila adalah sebagai dasar Negara republic Indonesia. Dengan terbentuknya UU No.10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 2 UU No.10 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “ Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum Negara “, dengan tegas menyebutkan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum sebagai berikut : “ Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang
menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa
dan Negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”
Dardji Darmodiharjo menyebutkan, bahwa Pancasila yang sah dan benar adalah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis konstitusional dan secara objektif ilmiah. Secara
yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar
mengatur menyeleggarakan pemerintah Negara. Secara onjektif ilmiah karena Pancasila
adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thinking system, sehingga uraiannya
harus logis dan dapat diterima akal sehat ( Natabaya;2006 ) .
Berkaitan dengan masalah diatas tentunya bahwa Pancasila secara historis memiliki suatu
dasar hukum dimana Pancasila sebagai ladasan atau arah dalam pembuatan hukum di
Indonesia. Secara yuridis Pancasila sudah jelas menjadi hukum dari segala sumber hukum di
Indonesia. Meskipun Pancasila dalam perjalannanya juga mengalami pasang surut, tetapi
Pancasila sampai saat sekarang masih menjadi landasan dalam setiap pembuatan peraturan.
Hal ini didalam setiap undang undang selalu mencantumkan nilai- nilai Pancasila.
Pembangunan hukum dimulai dari pondasi dan jiwa paradigma bangsa Indonesia. Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum yang tertegas dalam UU No.10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan terutama pasal 2 yang menyatakan
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum atau tertib hukum bagi kehidupan
hukum Indonesia, kama hal tersebut dapat diartikan bahwa “ Penempatan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar
dan idiologi Negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan Negara sehingga tiap materi
muatan peraturan perundang undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber hukum Negara merupakan grudnorm dalam system
hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta menjadi paradigma norma –norma
dalam pasal pasal UUD 1945. Cita hukum dan falsafah hidup serta moralitas bangsa yang
menjadi sumber segala sumber hukum Negara akan menjadi satu fungsi krisisi dalam menilai
kebijaksanaan hukum( legal policy) atau dapat dipergunakan sebagai pardigma yang menjadi
landasan perbuatan kebijaksanaan ( policy making) dibidang hukum dan perundang undangan
maupun bidang social, ekonomi, dan politik
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilaksanakan secara terpadu, terencana dan berkelanjutan dalam
sistem hukum nasional untuk menjamin perlindungan hak kewajiban setiap warga negara.
Pancasila sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara harus dapat diinternalisasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Pancasila merupakan
landasan filosofis yaitu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum.
Negara hukum berkembang sangat dinamis, mengikuti perkembangan politik, ekonomi dan
sosial Perkembangan negara hukum Indonesia mengarah pada penguatan unsur negara
hukum. Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang adalah negara
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut antara lain, ketuhanan
yang maha Esa, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,
prinsip musyawarah mufakat dan peradilan menjadi sarana mewujudkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang harus lebih bersifat
substansial, yaitu menjamin terwujudnya negara berdasar atas hukum dan perlindungan hak
asasi manusia, menjamin terwujudnya kehidupan kenegaraan yang demokratis, mempercepat
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjamin terwujudnya
pemerintahan yang layak. Dalam konteks pengembangan negara hukum yang demokratis
perlu dilakukan penataan kelembagaan negara agar mampu mewujudkan tujuan
bernegara,berdemokrasi dan hukum
Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka
Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian
dijelaskan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar
Negara tersebut menurut Kaelan ( 2013: 472 ) dapat diperinci sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai dasar Negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum
( sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas
kerokhanoian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan
lebih lanjut dalsam Empat Pokok Pikiran.
2. Meliputi suasana kebatinan ( Geistlicbenbintergrund) dari Udang Undang Dasar 1945.
3. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara ( baik hukum dasar tertulis
maupun tidak tertulis )
4. Mengandung norma yang mengharuskan Undang Undang Dasar mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain lain penyelenggara Negara ( termasuk para
penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya
sebagai berikut “ …..Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab “.
5. Merupakan sumber semangat bagi Undang Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara
Negara, para pelaksana pemerintahan ( juga para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksanaan
dan penyelenggaraan Negara karena masyarakat dan negara Indonesia senantiasa tumbuh
dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Dengan semangat yang bersumber pada asas kerokhanian Negara sebagai pandangan
hidup bangsa, maka dinamika masyarakat dan Negara akan tetap diliputi dan diarahkan
asas kerokhanian Negara.
Dalam suatu pelaksanaan kenegaraan suatu piranti yang harus dipenuhi demi tercapainya hak
dan kewajiban warga Negara, maupun Negara adalah perangkat hukum sebagai hasil derivasi
dan dasar filsafat Negara Pancasila. Dalam hubungan ini agar hukum dapat berfungsi dengan
baik sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka hukum seharusnya senantiasa
mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika aspirasi masyarakat. Oleh karena
itu hukum harus senantiasa diperbaharui , agar hukum bersifat actual sesuai dengan keadaan
serta kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini Pancasila merupakan sumber nilai bagi
pembaharuan hukum yaitu sebagai suatu cita hukum, yang menurut Notonagoro
berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam Negara Indonesia (Notonaggoro dalam
Kaelan 2013:466). Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak
derivasi ( sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia termasuk Undang Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945.
Sebagai philosofische grondslag Pancasila pada hakikatnya sebagai sumber tertib hukum
Indonesia. Dalam kedudukannya seperti ini pancasila merupakan pangkal otak derivasi atau
sumber penjabaran dalam proses penyusunan peraturan hukum di Indonesia. Dalam filsafat
hukum suatu sumber hukum meliputi dua macam pengertian, yaitu (1) sumber formal hukum
yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat
terhadap komunitasnya, dan (2) sumber material hukum, yaitu sumber hukum yang
menentukan materi atau isi suatu norma hukum. Sumber material hukum ini dapat berupa
nilai-nilai misalnya nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan, nilai keadilan, dan dapat pula berupa
fakta yaitu realitas perkembangan masyarakat, dinamika aspirasi masyarakat, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya (Darmodiharjo, 1996: 206)
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum moral, nilai hukum
kodrat, dan nilai religius merupakan merupakan suatu sumber hukum material bagi hukum
positif Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkhis. Dalam susunan yang
hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi diantara berbagai
peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horisontal. Hal ini mengandung suatu
konsekuensi jikalau terjadi ketidakserasian atau pertentangan norma hukum yang satu dengan
lainnya yang secara hierarkhis lebih tinggi, apalagi dengan pancasila sebagai sumbernya,
maka hal ini berarti terjadi ketidak sesuaian maka hal ini berarti terjadi suatu
inkonstitusionalitas (unconstitusionality) dan ketidaklegalan (illegality), dan oleh karenanya
maka norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum (Mahfud, 1999: 50)
Menurut Prasetyo (2013: 70) Pancasila merupakan norma tertinggi yang
kedudukannya lebih tinggi dari Konstitusi atau Undang Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan
teori dari Hans Nawiasky mengenai sususnan norma hukum. Susunan tersebut adalah :
1. norma fundamental Negara ( staatsfundamentalnorm),yaitu Pancasila;
2. Aturan dasar Negara ( staatsgrudgesetz) yaitu Undang Undang Dasar 1945;
3. Undang Undanag Formal ( Formal Gezetz) yaitu UU dan Perpu;
4. Peraturan pelaksana atau peraturan otonom ( verordnung enautonome satzung) yaitu :
mulai dari peraturan pemerintah sampai peraturan kepala bupati/walikota.
Dari pendapat diatas tentunya bahwa Pancasila merupakan sumber hukum tertinggi di
Indonesia sehingga segala aturan yang dibuat tidak boleh menyimpang dengan Pancasila.
Segala aturan yang dibuat harus mengandung cita-cita mulia Pancasila yakni keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara dalam proses revitalisasi nilai-nilai pancasila dalam berbagai bidang proses
legislasi hukum menjadi sangat penting, karena seluruh kebijakan dirumuskan melalui suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam hubungannya dengan kebijakan ekonomi misalnya
untuk melakukan revitalisasi tidak mungkin dapat dilaksanakan manakala tidak melakukan
revitalisasi nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Hal ini berdasarkan asumsi ilmiah bahwa suatu produk hukum itu bersumber pada realitas
objektif masyarakat (Indonesia), oleh karena itu produk hukum tidak dapat dipisahkan
dengan eksistensi bangsa Indonesia dengan filsafat hidunya Pancasila.
Bagi bangsa Indonesia dasar nilai welfare state terkandung dalam makna sila kelima
Pancasila ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. oleh karena itu ‘keadilan’
merupakan suatu corevaluesuntuk melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam bidang
ekonomi , sosial budaya dan hankam. Keadilan adalah merupakan prasarat bagi terwujudnyua
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Jikalau kita meninggalkan core values Negara hukum
material, maka esensi rule of law ditafsirkan menempatkan penafsiran hukum pada
kedudukan di bawah pembuat hukum. Artinya penafsiran hukum tidak boleh melampaui
batas batas yang dibuat oleh legistasi, sebagaimana pandangan pahamBegrriffsjuriprudenz,
dogmatic hukum, normative hukum, serta legal positivism, yang mengganggap tek hukum itu
memiliki otonomi yang mutlak
Pertemuan Ke-empat belas :
Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pengantar.
Negara Kesatuan Republik Indonesia di kalangan umat islam dikenal di seluruh dunia, karena
islam di Indonesia hamper semua masarakatanya menganut agama islam.islam juga kadang di
sebut juga dengan fiqih karena di dalam islam fiqih mengandung ayat atau isi yang
terkandung dalam aturan atau tatacara dalam islam dari segi penampilan ,aupum sikap dan
rukun rukun ang ada di islam.ada beberapa penerapan dalam mengartikan syariat islam yang
menimbulkan masalah dalam berbagai kehidupan di antaranya kehidupan pribadi,kehidupan
keluarga,kehidupan bernegara dan bermasyarakat.ada beberapa konsep hukum islam di
Indonesia di antaranya:
1.masi kuatnya anggapan bahwa taqlid(mengikuti pendapat ulama terdahulu)
2.hukum di Indonesia dalam konteks social politik mengandung polemic
3.persepsi sebagian masyarakat mengandung faham fiqih
Ada 4 konsep dalam Reformasi hukum di Indonesia di antaranya sebagai berikut:

1. Konsep syariat - Konsep syariat ialah konsep yang mengartikan bahwa hukun islam di
Indonesia menganut arti jalan yang jelas dan benar karena syariat sendiri berarti
tempat atau aliran islam yang benar.jadi menurut konsep ini islam lebih
menggambarkan norma norma kebenaran.
2. Konsep Fiqih - Konsep ini mengartikah bahwa fiqih bermakna mengetahui sesuatu
dan memahaminya secara baik dan mendalam.karena fiqih dalam islam berarti
sesuatu hal yang menjadikan islam dalam hukun Indonesia menjadi panutan yyang
harus di taati dan harus di lakukan karena islam fiqih menganut sebuah aturan yang
mendasar.
3. Konsep kanun - Ialah konsep yang di dalam nya trdapat hukum yang rasio atau hasil
pemikiran manusia dan kebiasaan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.di dalam
nya terdapat peraturan undang undang.kanun sendiri berarti produk manusia yang di
buatnya berdasarkan ikut campur tangan manusia.kanun di identik dengan undang
undang di Negara Negara islam karena undang undang juga memiliki hak yang
berwenang dalam hukum islam.
4. Konsep hukum islam - Dalam kitab `fiqih dan para pakar hukum islam tidak menulis
tentang hukum islam karena di dalam hukum islam di kenal dengan hukum
syariat.hukum islam di rangkai dari kata hukum dan islam sendiri terpisah dari
rangkaian kata hukum.ada beberapa ahli mengatakan bahwa hukum islam itu
merupakan pedoman moral,bukan dari hukum modern.

Pembaharuan Reformasi Hukum Islam Di Indonesia


Yang menyebabkan timbulnya reformasi ialah karena adanya perbedaan antara teologi,karena
teologi sendiri berarti pembaharuan yang berbeda keyakinan atas dasar hkum islam di
Indonesia.ajaran tersebut tidaknlah baik bagi penganut hukum islam karena ajaran tersebut
menyeleweng atau menimbulkan pro dan kontrak dalam islam.ada sebuah fakta yang harus di
akui bahwa hukum islam telah menjangkau ke seluruh dunia dan se luruh alam islami dengan
sebuah asepeknya keragaman dan peradabannya.ada beberapa sumber dalam hukum islam di
antaranya:
1.Alquran
Alquran di turunkan kepada malaikat jibrildan malaikat jibril menyampaikan
keda selurut umat islam untuk mengamalkannya dengan lafad bahasa arab,dengan
makna yang benar dan agar menjadi hujjah dalam pengakuannya,undang undang
di jadikan sebagai pedoman bagi umat manusiadan njuga sebai amalam untuk di
sampaikan kepada seluruh umat manusia untuk dipelajariumat islam sepakat
untuk mengamalkan alquran di dalam kehidupan sehari hari.
2.Al-Hadist
Kata hadist lebih banyak mengarah pada ucapan ucapan Nabi Muhammad SAW
karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan sehingga apa yang di
sunnahkannya mengikat seluruh umat islam. Hukum hukum yang bersumber dari
Al Hadist wajib di taati oleh kaum muslimin. Kedudukan Al Qur'an di tinjau dari
segi penggunaan Hujjah dan pengambilan hukum hukum syariat. Artinya,
seorang mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa tidak boleh
mencarinya dalam As sunnah terlebih dahulu.
3.Istihsan
Istihsan berarti mengikuti sesuatu yang menurut analisis nalar adalah baik. Kajian
teori istihsan berada dalam ruang lingkup teori kias, hanya saja dalam istihsan
kajian kiasnya lebih menyeluruh dengan melihat segala illat. Para ahli hukum islam
di kalangan mashab Hanafiah dalam mengembangkan teori istihsan ada tiga
pendekatan, yaitu”

a. Kias Jali kepada Kias Khafi;


b. Hukum Kulli kepada Hukum Jusi;
c. Tuntutan keumuman Nasha

Karakteristik Hukum Islam.


Di dalam hukum islam di indonesia memiliki karakteristik tersendiri karena sistem hukum
islam di indonesia berlaku di dunia ini dan berasal dari Allah SWT. Hukum islam yang paling
menonjol ada tiga.
1. Ketuhanan;
2. Universal;
3. Harmonis
Karakteristik hukum islam memberikan batasan agar manusia berperilaku yang baik agar
terarah dalam beribadah dan berperilaku jadi hukum islam di indonesia harus di patuhi oleh
semua ummat islam.

Keadilan Dalam Islam


Sejak zaman dahulu keadilan merupakan hal yang sangat esential dalam kehidupan manusia
karena dengan keadilan manusia merasakan kedamaian, aman dan sentosa. Keadilan
merupakan kebijakan tertinggi dan selalu ada dalam segala manifestasi yang beraneka ragam.
Agama islam menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hak yang dimiliki seseorang, termasuk hak asasi wajib
diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban sama dengan amanah, sementara amanah wajib
di berikan kepada yang berhak menerimanya.
Keadilan merupakan suatu kedilan hukum yang paling banyak di bicarakan karena
mengandung lebih dari satu arti kata adil yaitu yang semestinya. Disini menunjukkan bahwa
keadilan merupakan salah satu hal yang tertinggi dan terpenting bagi nusa dan bangsa. Tanpa
keadilan semua bangsa tidak akan bisa merasakan kehidupan yang nyaman dan harmonis.
Dalam menentukan suatu keadilan kita harus mengikuti hukum atau aturan yang ada di
Undang Undang dan sesuai dengan hukum islam di indonesia. Gagasan keadilan mempunyai
nilai sentral dalam budaya indonrsia modern. Keadilan merupakan katub setiap masyarakat
dimana keadilan ini mempunyai hubungan dengan hukum, kesaksian, akidah, tindakan,
kecintaan, kemarahan dan lain lain. Selama ada kata keadilan nusa dan bangsa akan pasti
hidup sejahtera, damai, dan tentram, sesuai dengan hukum islam yang berlaku di indonesia.
Keadilan lebih dipahami secara rasional dan konkret.
Definisi ini juga diperkuat oleh H. Soehino yang menyatakan bahwa peraturan Perundang-
undangan memiliki makna sebagai: pertama, proses atau tata cara pembentukan peraturan
Perundang-undangan negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undangundang sampai yang
terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan Perundang-undangan;
kedua, keseluruhan produk peraturanperaturan perundangan tersebut. Namun sebenarnya,
lebih sering menggunakan istilah ‘Peraturan Perundangan’. Bersamaan dengan Soehino,
Amiroeddin Syarief juga menggunakan istilah yang sama dengan alasan bahwa istilah itu
lebih pendek dan oleh karenanya sangat ekonomis. Istilah tersebut pernah digunakan dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagaimana tercantum pada judul ketetapan tersebut
yaitu Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia. Selain itu, beberapa Ketetapan MPR RI yang menggunakan istilah
‘Peraturan Perundang-undangan’ adalah sebagai berikut: “upaya penggantian peraturan
Perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Reformasi MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam
rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Hukum Negara, pada
huruf C Bidang Hukum yang menyebutkan, “Pembangunan hukum khusus yang menyangkut
peraturan Perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum
memadai. Oleh karena itu, perlu pengkajian terhadap fungsi lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Ketetapan MPR-RI No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004, antara lain:
a. Pasal 3 menyebutkan, “dengan adanya ketetapan ini, materi yang belum tertampung dalam
dan tidak bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 ini,
dapat diatur dalam peraturan Perundang-undangan.”
b. Dalam arah kebijakan bidang hukum, Pasal 7 menyebutkan, “mengembangkan peraturan
Perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Istilah ini juga digunakan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 setelah perubahan,
yaitu:
1. Dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-undangan
di bahwa undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undangundang.
2. Pasal 28I ayat (5) UUD NRI1945 menyebutkan untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
Perundang-undangan.
3. Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 menyebutkan “segala peraturan Perundang-
undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Istilah tersebut juga pernah digunakan dalam Konstitusi
RIS 1949 sebagaimana dimuat dalam Pasal 51 ayat (3) dengan rumusan
‘Perundangundangan federal’ dan dalam UUD Sementara 1950 sebagaimana dimuat
dalam Bagian II dengan judul ‘Perundang-undangan’ dan dalam Pasal 89 yang
menyebut ‘kekuasaan Perundang-undangan’.

Dalam Ilmu Perundang-undangan tentunya akan mempelajari mengenai peraturan


Perundang-undangan. Istilah ‘peraturan Perundang-undangan’ digunakan oleh A. Hamid S.
Attamimi, Sri Soemantri, dan Bagir Manan. Menurut A. Hamid S. Attamimi, istilah tersebut
berasal dari istilah wettelijke regels atau wettelijke regeling, namun istilah tersebut tidak
mutlak digunakan secara konsisten. Ada kalanya istilah ‘Perundang-undangan’ saja yang
digunakan. Penggunaan istilah ‘peraturan Perundang-undangan’ lebih relevan dalam
pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan (hukum), namun dalam konteks lain lebih
tepat digunakan istilah Perundang-undangan, misalnya dalam menyebut teori Perundang-
undangan, dasar-dasar Perundang-undangan, dan sebagainya. Sehubungan dengan definisi
Perundang-undangan, Bagir Manan memberikan gambaran umum tentang pengertian
Perundang-undangan sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan merupakan keputusan tertulis yang dikeluarkan Pejabat
atau lingkungan jabatan yang berwenang, berisi aturan tingkah laku yang bersifat
mengikat umum.
2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak,
kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan.
3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum,
artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau gejala konkret
tertentu.
Sehubungan dengan definisi tersebut, Bagir Manan juga menyatakan bahwa peraturan
Perundang-undangan memiliki peranan yang makin besar dari hari ke hari, khususnya di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenal
(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah
hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya.
2. Peraturan Perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata
karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali.
3. Struktur dan sistematika peraturan Perundang-undangan lebih jelas sehingga
memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segisegi formal maupun
materi muatannya.
4. Pembentukan dan pengembanan peraturan Perundang-undangan dapat direncanakan.
Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.
Selanjutnya, P.J.P. Tak dalam bukunya Rechtsvorming in Nederland mengartikan peraturan
Perundang-undangan (undang-undang dalam arti materiil) adalah “setiap keputusan tertulis
yang dikeluarkan Pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
mengikat umum”. Peraturan Perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari
pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan Perundang-undangan
merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum.Dari pengertian tersebut
dapat diartikan bahwa di luar peraturan Perundangundangan tidak ada sumber hukum yang
lain. Definisi tersebutlah yang dirujuk oleh Bagir Manan dalam memberikan penjelasan
mengenai Perundang-undangan sebagaimana dijelaskan di atas. Pertemuan Ilmiah tentang
Kedudukan
A. Hamid S. Attamimi juga memberikan batasan terhadap pengertian peraturan perundangan
sebagai semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk
tertentu, dengan prosedur tertentu, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat
rakyat. T.J. Buys memberikan pengertian peraturan Perundang-undangan sebagai
peraturanperaturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende voorschriften).
Kemudian, J.H.A. Logemann menambahkan definisi tersebut dengan istilah naar buiten
werkende voorschriften, sehingga definisinya menjadi peraturanperaturan yang mengikat
secara umum dan berdaya laku keluar. Berdaya laku keluar memiliki makna bahwa peraturan
tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum) tidak ditujukan kepada pembentuknya (ke
dalam). Dari beberapa definisi di atas, dapat diidentifikasikan ciri dan batasan peraturan
Perundang-undangan sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau
format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
Yang dimaksud dengan Pejabat yang berwenang adalah Pejabat yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan yang berlaku, baik berdasarkan atribusi ataupun delegasi. Seorang perancang
peraturan berkewajiban mengetahui secara benar jenis aturan tersebut dan bagaimana
konsekuensi logis pada hierarkinya. Pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut dapat
menghindarkan kesalahan pemilihan bentuk peraturan yang tidak sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum, wewenang yang diberikan oleh negara baik
diatur dalam konstitusi maupun peraturan di bawahnya selalu harus dapat
dipertanggungjawabkan oleh lembaga/ organ pelaksana. Oleh sebab itu, ada organ yang
secara langsung memperoleh wewenang dari konstitusi atau Perundang-undangan lainnya,
namun juga ada wewenang yang dilimpahkan oleh organ negara yang satu kepada organ
negara lainnya.
Peraturan Perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi, peraturan
Perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan (einmahlig).
Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum karena memang ditujukan pada
umum, artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat
individual). Di Indonesia, nomenklatur (istilah) ‘Perundang-undangan’ diartikan dengan
segala sesuatu yang bertalian dengan undang-undang, seluk beluk undang-undang. Misalnya:
ceramah mengenai Perundang-undangan pers nasional, falsafah negara itu dilihat pula dari
sistem Perundangundangannya. Nomenklatur ‘Perundang-undangan’ dapat didahului dengan
kata lain. ‘Peraturan’ misalnya, sehingga menjadi ‘peraturan Perundangundangan’, yang
tediri dari kata ‘peraturan’ dan kata ‘Perundang-undangan’. Nomenklatur ‘peraturan’ adalah
aturan-aturan yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu; misal peraturan gaji
pegawai, peraturan pemerintah, aturan-aturan (petunjuk, ketentuan dan sebagainya) yang
dibuat oleh pemerintah, yang salah satu bentuknya adalah undang-undang, sedangkan
‘aturan’ adalah cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah, dan sebagainya) yang telah
ditetapkan supaya diturut; misalnya, seseorang harus menurut aturan lalulintas, bagaimana
aturan minum obat ini, semuanya dikerjakan dengan aturan. Nomenklatur ‘aturan’ dalam
bahasa Arab disebut ‘kaidah’ dan dalam bahasa Latin disebut dengan ‘norma’. Dengan
demikian nomenklatur ‘peraturan Perundang-undangan’ mempunyai arti yang lebih terfokus
yakni aturan (kaidah, norma) yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan juga memberikan definisi berkaitan dengan hal di atas. Pasal 1 angka 1 dan angka 2
undang-undang yang bersangkutan memberikan definisi sebagai berikut: “Ilmu Perundang-
Undangan “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan, atau penetapan, dan pengundangan.” “Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau Pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Ilmu Perundang-undangan merupakan ilmu interdisipliner yang sangat berhubungan dengan
ilmu politik dan sosiologi. Mempelajari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ini penting
berdasarkan alasan praktis dan alasan teoretis yang meliputi:
1. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan pendidikan hukum terutama untuk latihan
keterampilan bagi mahasiswa di bidang Ilmu Perundangundangan, pendidikan klinik
hukum, dan legal drafting.
2. Mengetahui dan memenuhi kebutuhan tata cara perancangan dan pembentukan peraturan
Perundang-undangan di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah.
Mengacu pada pendapat Jujun S. Suriasumantri maka Perundangundangan sebagai ilmu
harus dapat menjawab beberapa pertanyaan, yakni: 1. Objek apa yang ditelaah? Bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia seperti berpikir, merasa, dan mengindera? 2. Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar ditemukan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? 3. Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/ profesional?.

Daftar Pustaka.
.
A.Hamid Attamimi., Peranan Keputiusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Jakarta:
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.

-----------------., Teori Perundang-undangan Indonesia, Makalah Pidato pada Upacara


Pengukuhan Jaabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992.

-----------------., Pancasila Sebagai Idiologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat,


Berbangsa, dan Bernegara, Jakarta : BP-7 Pusat, 1992.

Arifin P Soeria Atmadja., Mekanisme Pertanggungjawaban Keyangan Negara, Jakarta:


Gramedia, 1986.

Bagir Manan., Konvensi Ketaatanegaraan, Bandung: Armico,1982


---------------,. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut
UUD 1945, Disertasi , Disertasi, Bandung: Universitas Padjajaran, 1990.

---------------., Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta : IndHill.Co,1992.

--------------, dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan


Hukum Nasiolnal, Bandun g: Armico, 1987.

--------------,. Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundanng-undangan Tingkat


Daerah, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.

--------------,. Peranan Hukum Adminstrasi Negaara dalam Pem,nentukan Peraturan


Perunddang-undangan, Makalah pada Penataran Nasional Hukum Adminstrasi Negara,
Fakulktas Hukum UNHAS Makasar, 31 Agustus 1995.

Jimly Asshiddiqie.2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan


Pemikiran Hukum,Media dan Ham, Jakarta:Konstitusi Press (KONpress),
---------------, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia Revisi, Konstitusi Press.2005

--------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer,


2007.

--------------.Gagasan Konstitusi Sosial, Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan


Sosial Masyarakat Madani, Jakarta: Pustaka LP3ES Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.2015

--------------. Trajutisna Mustafa Ali. Hasbullah Muhammad Saad, ed, Sumber Daya Manusia
Untuk Indonesia Masa Depan, Jakarta : Mizan, 1997.

--------------, Hukum Tata Negara dan Oilar-pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran


Hukum,Media dan Ham, (Jakarta : Konstitusi Press (KONpress), 2005),

-------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta :PT.Bhuana Ilmu Populer,
2007)

-------------, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)


------------,. Perihal Undang-Unddang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
-------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)

--------------, Gagasan Konstitusi Sosial, Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan


Sosial Masyarakat Madani, (Jakarta: Pustaka LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), 2015).

-------------, Peradilan Etika dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru Tentang Rule of Law and
Rule of Ethiek, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2015)

--------------, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
--------------dan M..Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (karta: Konstitusi Press,
2006)
Pantja Astawa dan Suprin Na’a., Dinamika Hukum dan Peraturan Perundang-unddangan di
Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Bandung: Alumni. 2008

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto., Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni.
1978.
Poerwadarminta. W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976

Anton M.Moeliono dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Moh Mahfud MD.2008, Demokrasi dan Konsitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi
Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, cetakan ke dua.

-----------------------.2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


Jakarta:Rajawali Pers.

Pipin Syarifin, SH.,MH dan Dra. Dedah Jubaedah,M.Si , Ilmu Perundang-


undangan.,Cetakan I. Bandung : CV Pustaka Setia, 2012)

Maria Farida Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-undangan Jilid I

H. Rosjidi Ranggawidjaja, SH.,MH, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia.,


Cetakan I. Bandung : CV Mandar Maju, 1998)

Rahimahullah,SH.,M.Si , Hukum Tata Negara Ilmu Perundang-undangan. Jakarta : PT


Gramedia, 2006)

Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Negara di Indonesia. Cetakan I.


Yogyakarta : UII Press, 2010)

Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).
Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1981, hal 1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000, hal. 93.
Amiroeddin Syarief, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknis Membuatnya, Jakarta:
Penerbit Bina Aksara , 1987, hal 4-5 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-
undangan, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hal. 21.  HKUM4403/MODUL 1 1.5 Ketetapan
MPR-RI No IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indoneisa, Bandung: PT.
Mandar Maju, 1998, hal. 17.
12 Bagir Manan, “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada  HKUM4403/MODUL
1 1.7.
Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-
20 Oktober 1994), hal. 13. 13 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,
Jakarta: Ind. Hill, co. 1992, hal 8.
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1990, hal. 61.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1982, hal. 990. 19 Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico, 1987, hal. 65. 20 Ibid. 1.10

Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan

Dewan Perwakilan Rakyat RI.Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Tata Cara
Pembentukan Undang-undang

Rahimahullah,SH.,M.Si , Hukum Tata Negara Ilmu Perundang-undangan. Halaman 111.


Jakarta : PT Gramedia, 2006)

H. Rosjidi Ranggawidjaja, SH.,MH, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia.


Halaman 59, Cetakan I. Bandung : CV Mandar Maju, 1998)

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.,tentang Kaedah Hukum,


(Jakarta:Radjawali,1978).hlm.15

Sudikno Martokusumo., Teori Hukum (Edisi Revisi), (Yogjakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2012).hlm.16

Anda mungkin juga menyukai