Anda di halaman 1dari 19

MATERI BABAK PUTARAN I

Negara dan Pemerintah


A. Terbentuknya Negara
Menurut pendapat Aristoteles, manusia merupakan makhluk bermasyarakat
atau Zoon Politikon. Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri
dalam masyarakat tanpa berhubung dengan orang lain dan tetap secara individu
terlibat dalam suatu ikatan dengan kelompoknya. Semakin luas dan kompleksnya
masing-masing kelompok, maka makin besar dan
banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah internal antar individu dalam
kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok juga
memerlukansuatu aturan yang lebih terstruktur daripada sebelumnya. Hal tersebut
yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi yang lebih teratur
dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembagatersebut sangat
diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup
agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekusaan
seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.
Konsep dan pengertian Negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori
oleh J.H.A. Logemaan dalam bukunyayaitu “Over Detheorie Van Een Stelling
Staadrecht”, yaitu bahwa keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan
menyelenggarakan masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.
Agar negaradapat mengaturrakyatnya, maka negara diberi kekuasaan
(authority) yang dapat memaksa seluruh anggotanya untuk mematuhi
segalaperaturan/ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara. Kekuasaan tersebut
berhak dimiliki oleh negara, karena secara historis timbulnya negara adalah untuk
mengatur kehidupan yang lebih baik. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang
sewenang-wenang, disisi lain Negara juga menetapkan cara-cara dan batas- batas
sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama.

B. Fungsi Pemerintah
Menurut Miriam Budiardjo (1998), fungsi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi:

1) Melaksanakan penertiban (law and order) untuk emncapai tujuan bersama dan
mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus
melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai
stabilisator.
2) Mengusahakan kesejahtaraan dan kemakmuran rakyat. Dewasa ini fungsi ini
dianggap penting terutama bagi negara-negara baru.
3) Fungsi pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari
luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4) Fungsi menegakkan keadilan, hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.

Terdapat tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu:
a. Tindakan pemerintah yang menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk
memperbaiki kesalahan pasar. Misalnya monopoli.
b. Program pemerintah untuk meningkatkan keadilan. Misalnya pemerataan pendapatan
agar mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, termasuk golongan miskin.
c. Kebijaksanaan stabilisasi berusaha mengiki fluktuasi yang tajam dari siklus bisnis
dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi.

Dari fungsi ekonomi pemerintah yang berhubungan dengan pajak adalah fungsi
nomor 2 yakni keadilan masyarakat, di mana dengan pajak yang dipungut atas warga
negarayang memiliki kemampuan, akan dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh
masyarakat.

C. Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak


Negara membuat peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk
kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum di Indonesia jika diklasifikasikan
menurut wujudnya ada 2, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dengan hak dan
kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus diperintah dapat berperan aktif
dalam melaksanakankewajiban bernegara.Diantaranya adalah kewajibanmembayar Pajak.
Amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 23 A menyebutkan bahwapajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang- undang.
Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak
tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR . Asas ini
telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negaradalam memungut pajak.
Selanjutnya UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, menyebutkan bahwa
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun
2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai
pengertian “pajak” sebagai kontribusi wajib kepada Negara.

D. Pendelegasian Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak


Undang-Undang Pajak harus dapat menjamin bahwa pengenaan pajak harus
didasarkan kepada prinsip keadilan, kepastian, dan kemampuan membayar. Tidak adanya
pembatasan kekuasaan dan pendelegasian wewenang yang jelas dan ketat seperti yang
termaktub dalam Pasal 23A UUD 1945 kepada Pemerintah, membuat Pemerintah menjadi
pemegang kekuasaan besar yang powerful dalam mengenakan pajak dan bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Menurut Buchanan dan Milton Friedman sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu,
bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk
mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas, atau dengan kata lain kekuasaan
untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limit on taxing power) melalui undang-undang.
Sebagai negara konstitusional pengemban amanat Pasal 23A UUD 1945 dan yang
berkeadilansosial (sila kelima Pancasila), seyogianyalah DPR sebagai wakil rakyat serta
para petinggi dan penegak hukum di negara hukum ini me-review (kaji ulang)
pendelegasian wewenang yang telah diberikan kepada pemerintah untuk mengenakan
pajak (dalam hal menetapkan tax base dan tax rate) selain yang sudah ditetapkan dalam
Undang-Undang, secara selektif dan diawasi secara ketat, sehingga kebijakan-kebijakan
perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (dan disetujui oleh DPR) mencerminkan
keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia khususnya bagi wajib pajak yang
menjadi partner pembangunan negara yang kita cintai ini.

Pengertian Pajak

Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain dikemukakan oleh para sarjana,
yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H. (1982 : 2) yaitu :

a. Definisi Leroy Beaulieu yang berbunyi: “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung
maupun tidak,

yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk
menutup belanja Pemerintah”.

b. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) :

“Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak
ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara),
untuk mempeloreh pendapatan, dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran
pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak”.
c. Definisi Prof Edwin R.A. Seligman.
“Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to defray the
expenses incurred in the common interest of all, without reference to special
benefit conferred”.
Banyak terdengar keberatan atas kalimat “without reference” karena bagaimana
juga uang pajak tersebut digunakan untuk produksi barang dan jasa benefit
diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara
perorangan.

d. Philip E Taylor, mengganti “without reference” menjadi “With little reference”.

e. Definisi Mr. Dr. N. J. Feldmann :


“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada
Penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya
kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum”.

f. Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets :


“Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui norma- norma
umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran Pemerintah”.

g. Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja :

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
h. Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H. :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. Desinisinya yang lain (1974 : 8), menyatakan : “Pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai Public Investment.
i. Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU KUP:


Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Secara keseluruhan pengertian pajak baik yang disampaikan oleh ahli pajak maupun
perundang- undangan pajak hampir sama, yaitu pajak merupakan iuran wajib warga negara
kepada negara yang harus dilaksanakan, bersifat memaksa dan warga negara tersebut tidak
mendapat imbalan secara langsung, iuran wajib tersebut digunakan untuk keperluan negara
yang digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pajak
merupakan bentuk kedaulatan rakyat agar negara tersebut tetap dapat berdaulat.

Falsafah Pajak

Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk


menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan,
pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang
dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat. Negara memerlukan
dana untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat
dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan pajak.
Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-
undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan
pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang
biasa disebut “berdasarkan yuridis”. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas
akan hak Negaradalam memungut pajak.
Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa pajak adalah
kontribusi wajib kepadanegarayang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran
rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam
UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkansecara lugas mengenai pengertian “pajak”
sebagai kontribusi wajib kepada Negara. Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian
pajak tersebut, yaitu:
1) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2) Sifatnya dapat dipaksakan;
3) Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
4) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah;
5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi
kepentingan masyrakat umum.

Fungsi Pajak
Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak adadua yaitu fungsi
budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak tersebut dapat
dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi.
a) Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran Negara.
b) Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknyadi luarbidang
keuangan.
c) Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu
penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan pemerintahan dan
pembangunan demi kemaslahatan manusia.
d) Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat.

Pajak dan Pancasila


Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebagai alat
penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan
dengan Pancasila. Pancasilamerupakan tolok ukuruntuk menentukankebenaran substansi
hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak.
Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara harus
berdasarkan undang-undang.” Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang meletakkan
kewenangan padanegarauntuk memungut pajakapabilanegara membutuhkannya, tetapi
dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidakada pajak tanpapersetujuan
antararakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah
yang diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”.
Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami
perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yag
berbunyi “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.” Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanyapajak,
melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang. Hal
ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam
pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepadawarga negara.

Pemungutan Pajak sebagai Cara untuk Mencapai Politik Ekonomi dan Sosial
Pajak merupakan salah satu alat yang penting bagi pemerintah dalam mencapai
tujuan ekonomi, politik, dan sosial yang mengandung sasaran sebagai berikut :
1. Pengakuan sumber dana dari sektor swasta ke sektor pemerintah
2.Pendistribusian beban pemerintah secara adil dalam kelas-kelas penghasilan dan
secara merata bagi masyarakat yang berpenghasilan sama
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, dan perluasan kesempatan kerja

Netralitas Pajak
Netralitas pajak berarti bahwa pajak tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan
alokasi sumber daya. Dengan kata lain, kepitisan bisnis didorong oleh fundamental ekonomi,
seperti tingkat imbalan, dan bukan pertimbangan pajak. Keputusan semacam ini seharusnya
menghasilkan alokasi sumber daya yang optimal. Apabila pajak mempengaruhi alokasi
sumber daya, hasilnya mungkin tidak terlalu optimal. Namun demikian, dalam kenyataannya,
jarang sekali pajak bersifat netral.

Pembagian Hukum Pajak

Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak
Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata.
Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidan Formal
(Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara
Perdata.
Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi
PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal ada di dalam
Undang-undang pajak itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan perundang-undangan
perpajakan sejak awal 1984 Hukum
Pajak Material dan Hukum Pajak Formal sebenarnya terpisah dan diatur dalam
Undang-undang tersendiri,namun ada beberapa hal dalam undang-undang materil
sendiri yang mengatur mengenai hukum acaranya (ketentuan formilnya) sehingga tidak
seluruhnya dikatakan diatur secara terpisah.

1) Hukum Pajak Material

Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat norma-norma


yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-
peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, sisapa-siapa yang harus dikenakan
pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang
timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara
pemerintah dan wajib pajak. Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum
Pajak Material ialah :

a) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah


beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
b) Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.

c) Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.

d) Undang-undang No. 13 Taun 1985 tentang Bea Materai.

2) Hukum Pajak Formal

Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturan-


peraturan mengenai cara- cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum
ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara-cara
pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib
Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain- lain. Undang-undang
Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal ialah :

a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.

b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.


19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Asas-Asas Pemungutan Pajak


Berikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk
memungut pajak, antara lain adalah :

1) Teori Asuransi
Teori Asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang)
yang harus dilindungi negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan
dan keamanan jiwanyapadanegara. Dengan adanyakepentingan dari masyarakat itu
sendiri, maka masyarakat harus membayar „premi‟ pada negara. Namun istilah
premi sebenarnya kurang tepat jika disama artikan dengan pajak, sebab apabila
masyarakat membayar premi akan mendapat balas jasa secara langsung sedangkan
pajak tidak. Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak
negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga,
misalnyakebanjiran ataupun perampokan, negaramemberikan ganti rugi.
2) Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan
harta bendadan jiwawarga negaradengan memperhatikan pembagianbeban pajak
yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang
akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan
kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang
banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan
dari warga negarayang bersangkutan.Demikian sebaliknya, warga negara yang
memiliki harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi
kepentingan warga negaratersebut.

Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan


sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya
dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia
membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan
kenyataan. Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan
bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.
3) Teori Gaya Pikul
Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu
setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar
adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan
dan besarnya pengeluaran yang dilakukan.Yang harus diperlukan dalam kehidupan
seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gayapikul. Kekuatan(gaya pikul)
untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah
terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan
seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks
UU PPh, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghailan di bawah PTKP berarti
orang tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya pikulnyaadalah nihil.
Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk
membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
4) Teori Gaya Beli
Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandangsebagai gejala
dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitumengambil gayabeli dari
rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk
memeliharahidupmasyarakat dan untuk membawanyake arah tertentu.Teori ini
mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat
dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan kepentingan individu dan
juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi
keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan
ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerent).

5) Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)


Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul,
yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan
warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang
mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari
individu-individu (masyarakat) makatimbul hak mutlak negarauntuk memungut pajak.
Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat
(tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya
kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak
yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena
negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.

Syarat Pemungutan Pajak


a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-perundangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merat, serta disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing. Adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan
hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran
dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis)
Pajak diatur dalam UU Pajak pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan
hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya.
c. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)
Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Yurisdiksi Pemungutan Pajak


Negara, dalam melakukan pemungutan pajak, terikat pada yurisdiksi dari Negara
yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu
Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak
menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak.
1. Berdasarkan Asas Sumber
Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dari
sumber atau tempat objek pajak itu berada. Jika objek pajak itu berada di Negara
Indonesia, Negara Indonesia berwenang memungut pajak terhadap terhadap orang
pribadi atau badan yang memiliki objek pajak tersebut. Misalnya, terhadap objek Pajak
Bumi dan Bangunan yang berada di Indonesia, Negara Indonesia memiliki kewenangan
untuk mengenakan dan memungut pajak bagi wajib pajak yang memiliki,
menguasai, atau memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi
dan Bangunan.
2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan
Menurut asas ini, yurisdiksi pemungutan pajak dikenakan bukan
berdasarkan tempat objek pajak, melainkan berdasarkan status atau kedudukan
warga Negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari Negara yang mengenakan
pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal atau
berkedudukan pada Negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, tetapi orang
pribadi itu merupakan warga negara tersebut, maka tetap dapat dilakukan
pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia yang
juga menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak bukan hanya dilakukan
pada warga negaranya yang bertempat tiggal atau berkedudukan di Indonesia, tetapi
termasuk jugayang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia.

3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal


Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak dilakukan oleh Negara
berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan dari wajib pajak. Negara berwenang
memungut pajak pada wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada
Negara yang bersangkutan. Segala objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bertempat tinggal tau berkedudukan pada
Negara yang bersangkutan dikenakan pajak. Misalnya, warga Negara Australia yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia memperoleh atau mendapat
penghasilan di Indonesia, makaatas penghasilan tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan
Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam rangka
pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun pajak tidak
langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh ( UU No. 36 Tahun 2008)
menegaskan adanyabatasan waktu untuk bertempat tinggal atau beradadi Indonesia
yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh
jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak
kedatangannya di Indonesia. Untuk asas kewarnegaraan dan asas sumber yaitu bahwa
terhadap setiap warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak
oleh Negara Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia
namun memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak
untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang
memperoleh penghasilan dari sumber penghasiln tersebut berada.

REFORMASI PERPAJAKAN 1983


Latar belakang :
UU Perpajakan yang berlaku sebelum tahun 1983 memiliki landasan, pemikiran,
jiwa, sasaran, dan, tujuan yang tidak sesuai dengan harkat, martabat, hakikat, dan jiwa
bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat.

Sebelum reformasi Setelah reformasi


Hukum pajak warisan colonial Perpajakan sebagai wujud
dengan tujuan menghimpun dana kewajiban kenegaraan untuk
bagi penjajah untuk pembiayaan dan pembangunan
mempertahankan dan nasional
memperbesar kekuasaan
Official assesment Self assessment, masyarakat
diberikan kepercayaan untuk
mendaftar, mengitung,
memperhitungkan, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terhutang
Tanggung jawab pemungutan Tanggung jawab pelaksanaan
pajak terletak sepenuhnya pada kewajiban perpajakan berada di
penguasa pemerintahan tangan WP

Citra aparat kurang baik sehingga Pemungutan pajak merupakan


masyarakat berprasangka jelek perwujudan pengabdian dan peran
terhadap pajak serta WP

WP kurang mendapatkan Fiskus berperan aktif dalam


pembinaan kewajiban perpajakan pembinaan dan pengawasan
dan kurang ikut berperan dalam kewajiban perpajakan
memikul beban
negara (apatis)
Jumlah WP saat itu sangat sedikit Kepastian hukum mengenai hak dan
kewajiban WP lebih diperhatikan

Sejarah Hukum Pajak Indonesia


Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun
sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh
rakyat (masyarakat) kepada seorang rajaatau penguasa. Dalam perkembangannya, sifat
upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah
mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau
penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat,
memelihara jalan, membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta
kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula
dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu
aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur
keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat
diikutsertakan dalammembuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak,yang nantinya akan
dikembalikan jugahasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak
undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut :
✓ Ordonansi Pajak Rumah Tangga;

✓ Aturan Bea Meterai;


✓ Ordonansi Bea Balik Nama;
✓ Ordonansi Pajak Kekayaan;
✓ Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
✓ Ordonansi Pajak Upah;
✓ Ordonansi Pajak Potong;
✓ Ordonansi Pajak Pendapatan;
✓ Undang-undang Pajak Radio;
✓ Undang-undang Pajak Pembangunan I;
✓ Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antaralain :
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang- undang
No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat


mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas
ternyatadalam perkembangannyatidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-
unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama- sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang- undang perpajakan yang ada
dengan mencabut semuaundang- undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket
undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta
tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi
lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah :

▪ UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
▪ UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);

▪ UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;

▪ UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);

▪ UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami
perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-
undang, yaitu :
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang


berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah
ada, yaitu :
✓ UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
✓ UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
✓ UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
✓ UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
✓ UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk
memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000
pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu :
a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;UUNo. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
d. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
e. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
f. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian


Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung
makadibentuklah suatu Pengadilan Pajakdengan UUNo. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti
UU No. 17 Tahun 1997. Perubahan terakhirundang-undang perpajakan baru- baru ini
dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UUKUP No. 28 Tahun 2007 yang
berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009,
serta UU PPN No 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010. Namun, dilatarbelakangi
adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya
UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah
satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.

SIKLUS PAJAK

Beberapa fase yang akan dilalui oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Fase-fase tersebut antara lain:
A. Fase timbulnya hak dan kewajiban di bidang perpajakan
Fase ini dimulai dengan berlakunya Undang-Undang. “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-
Undang” (Pasal 23A UUD 1945).
B. Fase self assessment
Fase ini dimulai ketika suatu pihak berdasarkan UU PPh ditentukan sebagai WP
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan kemudian kepadanya diberikan
NPWP. Termasuk dalam fase ini antara lain; melakukan pembukuan atau
pencatatan, menghitung pajak terutang, melakukan pembayaran dan melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT).

C. Fase pengawasan
Fase ini dimulai pada saat SPT yang disampaikan WP dilakukan pemeriksaan pajak
sampai terbitnya ketetapan pajak
D. Fase sengketa
Fase ini dimulai pada saat WP merasa tidak puas dengan keputusan yang
diterbitkan oleh DJP. Termasuk dalam fase ini adalah proses pengajuan
keberatan atas suatu ketetapan pajak.

E. Fase penyelesaian sengketa


Fase ini bermuara ke lembaga yang menangani banding atau gugatan yaitu
Pengadilan Pajak.

Penggolongan Jenis Pajak


Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori,
antara lain :
1) Berdasarkan pihak yang menanggung, pajakt erdiri dari dua macam pajak yaitu :
a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Contoh: PPh, PBB.
b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan
kepadapihak lain dan hanyadikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa- peristiwa
tertentu saja. Contoh: Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai.

2) Berdasarkan sifatnya, pajak terdiridari duamacam, antara lain :


a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan
keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya
barulah diperhatikan keadaan objektifnyasesuai gayapikul apakah dapat dikenakan
pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan dapat
mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
b. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-
tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah
diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum
dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak
memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.

3) Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiridari dua macam, antara lain :
a. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam
hal ini sebagian dikelolaoleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan.
Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :
▪ Pajak Penghasilan (PPh)
▪ Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
▪ Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
▪ Bea Meterai

b. Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelolaoleh Pemerintah Daerah baik di


tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentan
PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antaralain :
- Pajak Provinsi
✓ Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
✓ Bea Balik Nama Kendaraan Bermotordan Kendaraan di Atas Air;
✓ Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
- Pajak Kabupaten/Kota
❖ Pajak Hotel,
❖ Pajak Restoran,
❖ Pajak Hiburan,
❖ Pajak Reklame,
❖ Pajak Penerangan Jalan,
❖ Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
❖ Pajak Parkir,
❖ Retribusi Daerah,
❖ Retribusi Jasa Umum,
❖ Retribusi Jasa Usaha,
❖ Retribusi Perizinan Tertentu.
Sistem Pemungutan Pajak
Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau diterapkan
dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi
Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan serta di
bidang pembiayaan pengelolaan Negara.
Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari sistem
pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung pada
kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-undang Pajak, sepanjang
masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukum yang responsif.
a. Sistem Self Assessment
Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh
diintervensioleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanyabersifat pasif dan wajib pajak bersifat
aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan,
dan menyetorjumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan
jumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan
hanyamengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimanawajib pajak memenuhi
kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum.
b. Sistem Official Assessment
Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak
dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa keterlibatan
pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan
bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak
merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki,
atau dimanfaatkan oleh wajib pajak. Undang-Undang PBB merupakan contoh
penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan
kepadapejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas
oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai,
atau dimanfaatkannya.
c. Sistem Withholding Tax
Menurut sistem withholding tax atau sistem pemungutan pajak,
pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk
melaksanakankewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang
dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas
negara.

Anda mungkin juga menyukai