Tujuh Aliran
Tujuh Aliran
Dosen Matakuliah :
H. ZAENAL ABIDIN , Drs.,M.Ag.
Disusun Oleh :
Nama NIM Prodi
Zarkasih Nur Hermawan 21110562 IF – S1
4 METODE TAFSIR
2.1 Tafsir Ijmali/Global
Secara etimologi tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti menyingkap maksud sesuatu lafadz
yang musykil. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya
diantaranya adalah:
1. Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) yang diturunkan kepada
nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
2. Al – Jurjaniy berkata:
“Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah
menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan
ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.”
3. Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan:
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa
yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata
yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti
jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah,
hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan
method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam
bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu
yang ditentukan.
Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan.
Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan
cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat
umum ( global ) tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak
dilakukan secara rinci.Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali
berarti menafsirkan ayat Al-Quran yang dilengkapi dengan penjelasan yang
mengatakan bahwa sistematika penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam
mushaf Al-Quran dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan
mencakup.Dengan demikian, metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk
menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya
dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas, tanpa
uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah
dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai
orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir ijmali adalah;
1. Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-
Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.
3. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4. Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan
Muhammad Ahmad Barmiq.
6. Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7. Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
8. Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.
Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode
penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metod e ijmali, tetapi boleh jadi jika
ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan
corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir
metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.
Sejarah Metode Tafsir Ijmali
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah
sebagai mubayyin ( pemberi penjelasan ) kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan
maksud dari kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya
dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam
kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal
( mufassir pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya
yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami
Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin
Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu mereka juga
tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul
kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-
lain.Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang
memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id
bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas,
Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin
Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada
Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil
Ma’tsur. Periode ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran
sampai sekitar tahun 150 H. Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi
berikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain Sufyan bin
Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin Humaid.
Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ), sesudah itu
Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian banyak
mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul :
Jami’al-Bayan.
Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah
jazirah arab maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai daerah-
daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan kuno,
seperti Persia, Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga
berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu
logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut
terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan
Al-Quran, para ahli tafsir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau
tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti
yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada penafsiran Al-
Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan
penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat ini
berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis
tafsir jenis ini antara lain :
Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf
al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
Imam Ar-Razi dengan karyanya Mafatih al-Ghaib
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya al-Bahr al-Muhith
Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll.
Berdasarkan uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya
dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad 4 H
) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru ( abad 13 H/19
M – sekarang ).
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw,
sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai
tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang
menerapkan metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan Al-
Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut
Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
Contoh tafsir al-Quran pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang
mengindikasikan dasar-dasar metode tafsir Ijmali adalah ketika Ibnu Abbas
menafsirkan kata “aulamastum” dalam surah An-Nisa [4] : 43 dengan jima’ (
bersetubuh ). Ayat tersebut adalah :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.
[8]
2.2 Tafsir Tahlili/Terperinci/berdasarkan urutan ayat
Perngertian Tafsir tahlili
Tafsir Tahlili merupakan metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Selain itu, ada juga yang
menyebutkan tafsir tahlili adalah tafsir yng mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala
segi dan maknanya. Seorang pengkaji dengan metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushhaf
Utsmany. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan
keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu
hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid,
perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, dan isti’arah. Di samping
itu juga mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum
dan sesudahnya . Dengan demikian sebab nuzul ayat atau sebab-sebab turun ayat,
Hadits-hadits Rosulloh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in sangat
dibutuhkan.
Maka, tafsir tahlili merupakan ilmu tafsr yang menafsirka ayat-ayat Al-Qur’an
secara berurutan dari ayat per ayat sesuai urutan pada mushaf utsmani, menjelaskan
setiap ayatnya secara detail yang meliputi beberapa hal antara lain, isi kandungan
ayatnya, asbab al nuzulnya, dan lain-lain.
Metode tafsir Tahlili ini sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa
dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan
kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr
Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan secara
singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid
Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan (musawah), seperti
Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dll. Semua ulama di
atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda.
Para ulama telah membagi wujud metode tafsir Tahlili menjadi tujuh macam, yaitu
tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi,
tafsir Adab al-ijtimi’i.
1. Tafsir Tahlili bentuk Ma’tsuri / tafir bi al-Ma’tsuri (riwayat)
Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain,
dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan dengan perkataan
tabi’in. Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat rentan terhadap
masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi, Parsi, dan
Parsi, dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.
2. Tafsir Tahlili Bentuk bir Ra’yi / tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari
mufasir itu sendiri. Mufasir dalam metode ini diberi kebebasan dalam berpikir untuk
menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran Al-
Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Tafsir Tahlily Bentuk Shufi
Tafsir Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan
pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seliruh pelosok dunia dan mengalami
kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada aspek dan dari
sudut esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para tasawuf. Metode
bentuk ini dibagi menjadi dua yaitu, teoritis dan praktis.Dalam bentuk teoritis, mufasir
menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan mazhabnya dan sesuai dengan ajaran-
ajaran mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penjelasan yang
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalili
Syar’i. Sedangkan dalam bentuk praktis, mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan berdasarkan isyarat-isyara tersembunyi.
4. Tafsir Tahlili Bentuk Fikih
Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang di
tafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh
imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda.
5. Tafsir Tahlili Bentuk Falsafi
Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah
pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat
dengan ayat-ayat Al-Qur’an, selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha
menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Tafsir Tahlili Bentuk ‘Ilmi
Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat,
sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan
almiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam tafsir ini
mufasir berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan dikaitkan dengan gejala atau fenomena-
fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Namun, yang sangat disayangkan adalah
pada tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-
ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama.
7. Tafsir Tahlili Bentuk Adab Al-Ijtima’i Adab Al Ijtima’i
Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat
Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-
usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah kemasyarakatan
berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti dan indah didengar.
Ciri-ciri Tafsir Tahlili
Metode Tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari metode tafsir
lainnnya, ciri-ciri tersebut adalah :
a. Mufasir menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf ustmani,
yaitu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri oleh surat An-Nas.
b. Mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara
komprehensif dan menyeluruh, baik makna harfiah setiap kata maupun asbabun
nuzulnya.
c. Bahasa yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai metode tafsir
ijmali.
Contoh-contoh Tafsir Tahlili
Ada cukup banyak contoh tafsir tahlili, antara lain:
Contoh tafsir tahlili dalam bentuk bi al-ma’tsuri yang menafsirka Al-Qur’an dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Rasullullah SAW untuk menjelaskan sebagian
kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah SAW masih hidup. Seperti
penafsiran hadits Rasulullah SAW terhadap pengertian الغضو ب عليهمdan ( الضا لينQ.S.
Al-Fatihah :7), penjelasan beliau tentang firman Allah ( الذ ين امنواولم يلبسواايمانهم بظلمQ.S.
Al-An’am :82) dan firman Allah ( يايهاالذين امنوااتقوهللاا حق تقاتهQ.S. Ali ‘Imran :102) dan
lain-lain.
Contoh yang dalam bentuk shufi, yaitu Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan
oleh firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut
Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-
orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally
Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-
orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya
kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan
mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka
tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha
Perkasa.Dari beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa tafsir tahlili itu
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau mempunyai karakter
tersendiri. Selain itu, masih ada banyak lagi contoh dari tafsir tahlili.
Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini, antara
lain:
A. Kelebihan
• Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada
pembaca bila dibandingkan metode yang lain.
• Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang
lain yang kadang-kadang jauh berbeda bahkan kontradiktif.
• Pintu pengetahuan semakin terbuka, metode ini menjanjikan berbagai
pengetahuan karena disajikannya berbagai pendapat. Metod e ini sangat
cocok bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu tafsir.
• Menuntut kehati-hatian mufassir, dengan metode ini mufassir didorong
untuk mengkaji berbagai ayat, hadits, serta pendapat mufassir lain
sehingga ia lebih berhati-hati dalam menafsirkan sehingga hasilnya
dapat lebih dipercaya.
B. Kelemahan
• Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada
pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasannya yang
dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim.
• Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih
mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
• Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran
yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini hanya
kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun menjadi suatu
kitab. [11]
DAFTAR PUSTAKA
References