Anda di halaman 1dari 7

Keutamaan bulan Ramdhan tidak diragukan lagi.

Banyak hadis-hadis Nabi, kisah


orang-orang shaleh, dan berbagai riwayat lainnya; berbicara soal keistimewaan bulan
mulia ini. Bulan Ramadhan juga tidak luput dari ‘tangan dingin’ para ulama; ada
banyak sekali ulama yang menuliskan pembahasan khusus seputar puasa, dari mulai
pendekatan fikih maupun tasawuf, juga dari mulai kitab risalah kecil sampai kitab
tebal dengan pembahasan lintas mazhab. Adalah kitab Is’afu Ahlil Iman bi Wadza’if
Syahri Ramadhan, sebuah kitab kecil yang secara khusus dijasikan untuk mengupas
hal-hal seputar puasa. Kitab ini ditulis oleh Syekh Hasan Al-Masyath, ulama kelahiran
Makkah yang dijuluki Syaikhul ‘Ulama (gurunya para ulama). Sekilas tentang Penulis
Kitab itu ditulis oleh Syekh Hasan Muhammad al-Masyath (1337-1399 H). Seorang
ulama besar kelahiran Mekah, 3 Syawal 1317 H. Beliau dijuluki sebagai Syaikhul
‘Ulama (gurunya para ulama). Sebagaimana julukannya, Syaikhul ‘Ulama, beliau
berhasil mencetak ulama-ulama besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antara
murid beliau adalah Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki (ulama pakar hadis yang
fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan), Maulana Syekh TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid (salah satu ulama besar Indonesia dari Lombok Timur, juga
pendiri Nahdlatul Wathan dan tarekat Hizib Nahdlatul Wathan), Syekh Yasin bin Isa
al-Fadani (ulama Indonesia yang dijuluki Musnid al-‘Ashr (pemegang sanad keilmuan
pada masanya), dan masih banyak lagi. Tentang Is’afu Ahlil Iman bi Wadza’if Syahri
Ramadhan Kitab setebal 127 halaman ini secara khusus membahas seputar puasa
Ramadhan. Sebagaimana kitab-kitab sejenis pada umumnya, kitab ini berisikan hadis-
hadis Nabi seputar puasa. Kitab ini terdiri dari 82 pembahasan. Menariknya, setiap
bab tidak hanya menyajikan hadis-hadis terkait, tetapi juga diberi catatan (ta’liq) yang
padat dengan penjabaran yang luas. Berikut beberapa kelebihan kitab ini: 1) Bab yang
disajikan lengkap Jika diklasifikasikan, dari 82 pembahasan seputar puasa, kitab ini
menjelaskan pembahasan puasa dengan pendekatan fikih dan keutamaan (fadha’il).
Dari kajian fikih, seperti penetapan tanggal satu Ramdahan dan satu Syawal; baik
dengan hisab ataupun ru’yatul hilal, larangan puasa wishsal (menyambung puasa
tanpa berbuka), ketentuan waktu sahur, dan lain-lain. Sementara kajian puasa dari
pendekatan keutamaan (fadha’il), seperti keutamaan sahur, keutamaan berpuasa
Ramadhan di Mekah, anjuran menyegerakan berbuka, dan lain-lain. 2) Penguraian
hadis yang padat dan berisi Dalam menjabarkan hadis yang termuat dalam setiap
babnya, Syekh Al-Masyath menjabarkannya dalam bentuk catatan (ta’liq) secara
padat dan berisi. Contoh saja saat menjelaskan salah satu keutamaan orang berpuasa
dengan mengutip hadis di bawah ini: ‫ُك ُّل َع َمِل اْبِن آَد َم ُيَض اَع ُف اْلَحَس َنُة َع ْش ُر َأْم َثاِلَها ِإَلى َس ْبِعِم اَئِة‬
‫ ِض ْع ٍف َقاَل ُهَّللا َع َّز َو َج َّل ِإَّال الَّص ْو َم َفِإَّنُه ِلى َو َأَنا َأْج ِزى ِبِه‬Artinya: “Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal
hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan
puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan
membalasnya.” Jika kita pahami hadis ini secara tekstual, tentu akan janggal.
Bukannya semua amal ibadah akan dibalas oleh Allah? Bukan hanya ibadah puasa.
Shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya pasti akan Allah balas. Mengapa redaksi hadis
di atas seolah menegaskan bahwa hanya puasa yang Allah balas? Menurut Syekh Al-
Masyath, hadis ini menunjukkan bahwa ibadah puasa lebih unggul dibanding ibadah
lainnya dengan beberapa argumen berikut: Pertama, puasa adalah ibadah yang tidak
terlihat secara gerakan, berbeda dengan ibadah pada umumnya. Jika kita misal shalat,
zakat ataupun haji, maka ibadah yang kita lakukan pasti terlihat orang; saat kita
melakukan shalat, gerakan shalat kita memperlihatkan kita sedang shalat. Saat sedang
menunaikan zakat, orang lain melihat kita melakukan zakat. Pun saat kita haji, orang
lain melihat bagaimana kita melakukan ibadah tersebut. Lain halnya dengan berpuasa.
Ketika seseorang berpuasa, tidak ada gerakan yang menunjukan kita sedang berpuasa.
Contoh sederhananya, saat kita melihat dua orang berdampingan duduk, mereka tidak
minum atau makan. Satu sedang berpuasa dan yang satu tidak. Apa kita bisa menebak
mana yang puasa dan mana yang tidak? Sulit, bukan? Karena ibadah puasa tidak
terihat secara eksplisit oleh orang lain, maka sulit untuk terjerumus dalam sifat pamer
ibadah (riya). Jika pun sengaja pamer puasa, hanya mampu diungkapkan dalam kata-
kata saja. “Saya sedang puasa. loh,” dengan tujuan pamer, misalkan. Tidak bisa
diungkapkan dalam sebuah gerakan. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lainnya.
Kedua, puasa adalah ibadah yang mampu mengekang syahwat dengan sebab
meninggalkan makan dan minum. Sementara syahwat adalah pintu utama bagi
syaitan. Hal ini menjadikan puasa memiliki nilai lebih dibanding ibadah umumnya.
Ketiga, hanya Allah yang mengetahui bobot pahala ibadah puasa. Berbeda dengan
ibadah lainnya, pahalanya sudah diberitahukan penggandaan 10 sampai 700 kali lipat,
sampai yang Allah kehendaki. Keempat, balasan orang yang berpuasa adalah
berjumpa dan berbincang langsung dengan Allah swt di akhirat kelak, tanpa ada
penghalang apapun. Sementara ibadah selain puasa, pahalanya adalah surga. Tentu,
berjumpa dengan Allah swt adalah nikmat paling agung, lebih agung daripada nikmat
mendapat surga dan seisinya. (hal. 33-34) 3) Menyampaikan Syair-Syair Kelebihan
lain yang dimiliki kitab Is’afu Ahlil Iman bi Wadza’if Syahri Ramadhan adalah
penyampaian syair yang berkaitan dengan bab yang dibahas. Tentu, ini menjadi
nuansa sastra tersendiri dan tidak tidak membuat jenuh pembaca. Tidak monoton
penjelasan dalam bentuk teks biasa saja. Contoh saja saat menjelaskan kutipan hadis
berikut: ‫َع ْن َأِبي هريرة َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلي ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُرَّب َص اِئٍم َلْيَس َلُه ِم ْن ِص َياِمِه َّإال اْلُجْو ِع َو ُرَّب َقاِئٍم‬
‫ (َلْيَس َلُه ِم ْن ِقَياِمِه ِإاَّل الَّس َهر (رواه النسائي‬Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw
bersabda, ‘Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapat pahala puasa kecuali
hanya lapar dan haus saja. Berapa banyak orang yang bangun malam, tidak mendapat
pahala kecuali hanya bangun malam.’” (HR An-Nasai). Syekh Al-Masyath mengutip
syair berikut: ‫ِإَذ ا َلم َيُك ْن ِفي الَّس ْم ِع ِم ِّني َتَص اُو ٌن َوِفي َبَص ِري َغٌّض َوِفي َم ْنِطِقي َصْم ُت َفَح ِّظي ِإَذ ْن ِم ْن‬
‫ َص وِم َي الُج وُع َو الَّظما َفِإْن ُقْلُت ِإِّني ُص ْم ُت َيوِم ي َفَم ا ُص ْم ُت‬Jika saat puasa, pendengaranku,
pandanganku dan ucapanku tidak dijaga. Maka tidak ada yang aku peroleh kecuali
lapar dan dahaga. Aku bilang aku puasa, padahal tidak. (hal. 45) Peresensi adalah
Muhammad Abror, Mahasantri Sa’idusshiddiqiyah Jakarta, alumnus Pondok
Pesantren KHAS Kempek, Cirebon Identitas Kitab Judul: Is’afu Ahlil Iman bi
Wadza’if Syahri Ramadhan Penulis: Syekh Hasan Muhammad Al-Masyath Tebal:
172 halaman Cetakan: Keempat, 1972

Sumber: https://www.nu.or.id/pustaka/bekal-puasa-ramadhan-dari-gurunya-para-
ulama-cJBk4

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

SHOLAT
Syekh M Khudhari Bek dalam karyanya, Tarikh Tasyri Al-Islami, mengawali
pembahasan shalat secara bahasa. “Shalat” bukanlah kata yang berasal dari agama
Islam. Kata “shalat” telah digunakan oleh masyarakat Arab pra-Islam dengan
pengertian doa dan istighfar. (M Khudari Bek, Tarikhut Tasyri Al-Islami, [Beirut,
Darul Fikr: 1995 M/1415 H], 25-26). Kata “shalat” bisa jadi bermakna tetap atau terus
menerus. Dari pengertian ini muncul kalimat “man yashla fin nar” atau orang yang
kekal di neraka. Pandangan ini, kata Khurdhari Bek, dipegang oleh Al-Azhari karena
shalat adalah ketetapan yang diwajibkan oleh Allah. Shalat merupakan kewajiban
terbesar yang diperintahkan untuk tetap dilaksanakan. Pandangan lain mengatakan,
“shalat” diambil dari dua urat yang menjaga tulang ekor unta atau hewan lainnya.
Shalat secara bahasa juga berarti awal dua persendian paha manusia yang mana
keduanya secara hakiki menjaga tulang ekor manusia. Adapun pandangan ketiga
mengatakan, kata “shalat” diadopsi dari kata “shaluta” yang dalam bahasa Ibrani
berarti tempat ibadah. Kata ini dipakai kemudian oleh Al-Qur’an dengan makna yang
sama, yaitu pada Surat Al-Hajj ayat 40. Bangsa Arab juga kemudian mengadopsi dan
menggunakan kata ini dengan makna doa dan istigfar. Setelah itu Al-Qur’an
menggunakan kata “shalat” dengan pengertian yang dipahami bangsa Arab, yaitu
pada Surat At-Taubah ayat 103 dan Surat Al-Ahzab ayat 56. Tidak pengertian khusus
yang dipahami bangsa Arab dari kata “shalat” selain seruan kepada Allah saat
masyarakat Arab pra-Islam bertalbiyah tanpa berpakaian sebagaimana keterangan
pada Surat Al-Anfal ayat 35. (M Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 26). Shalat pada
Masa Islam Ibadah shalat disyariatkan pada awal-awal Islam. ibadah shalat ketika itu
hanya berjumlah dua rakaat pada pagi dan sore hari sebagaimana keterangan Surat
Ghafir ayat 55. Adapun ibadah shalat pada malam hari ketika itu hanya terbatas pada
pembacaan Al-Qur’an secara tartil sebagai keterangan pada awal Surat Al-
Muzzammil. Sedangkan shalat lima waktu yang kita kenal sampai sekarang
diwajibkan beberapa waktu menjelang hijrah Nabi Muhammad SAW. Tidak ada
perintah yang diberikan perhatian secara lebih oleh Al-Qur’an selain shalat. Al-
Qur’an memerintahkan ibadah shalat dengan berbagai macam stilistika bahasa,
kadang dengan perintah secara eksplisit, kadang dengan memuji orang yang
melakukan shalat, dan kadang dengan mencela orang yang meninggalkannya sehingga
dari semua itu orang yang meneliti Al-Qur’an menyimpulkan bahwa shalat adalah
pilar agama Islam dan tidak ada bagian Islam bagi mereka yang meninggalkan,
mengabaikan, dan bersikap munafik terhadap shalat. Jumlah shalat dan jumlah rakaat
shalat secara rinci memang tidak disebutkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Waktu
shalat hanya disebutkan secara garis besar sebagaimana keterangan Surat Ar-Rum
ayat 17, Surat Al-Isra ayat 78, Surat Hud ayat 114, dan Surat Al-Baqarah ayat 238. (M
Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 27). Tata cara shalat hanya disebutkan sebagian oleh
Al-Quran pada Surat Al-Baqarah ayat 238 dan Surat Al-Hajj ayat 77. Tata cara shalat
secara rinci dapat ditemukan pada praktik shalat Rasulullah SAW (hadits fi’li).
Rasulullah melakukan shalat lima waktu secara berjamaah dengan para sahabat. Ia
bersabda, “Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku melakukannya.” Orang
yang melakukan shalat diharuskan untuk menghadap ke arah Masjidil Haram. Pada
awalnya, Rasulullah melakukan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis.
Tetapi Al-Qur’an kemudian memerintahkannya untuk menghadap ke arah Masjidil
Haram, yaitu rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia, yaitu rumah
ibadah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS sebagai bapak bagi bangsa
Arab sebagaimana keterangan pada Surat Al-Baqarah ayat 144. Manna’ Al-Qaththan
menceritakan, Al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa kewajiban ibadah shalat
disyariatkan pada awal pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul sebagaimana
keterangan enam ayat pertama Surat Al-Muzzammil. Dari sana kemudian sebagian
ulama berpendapat bahwa ibadah shalat semalam suntuk diwajibkan. Setelah berjalan
16 bulan, kewajiban shalat semalaman itu dirasa berat oleh sahabat. Kewajiban itu
kemudian diringankan sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil ayat 20 yang
mewajibkan ibadah shalat pada sebagian malam saja. (Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut
Tasyri Al-Islami: At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433
H], halaman 139). Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa kewajiban
ibadah shalat semalaman hanya berlaku khusus bagi Rasulullah SAW. Kewajiban itu
dilaksanakan oleh Rasulullah selama 10 tahun sebagaimana perintah Allah SWT.
Ibadah shalat semalaman diikuti oleh sekelompok sahabat. Karena dirasa berat, Allah
menurunkan Surat Al-Muzzammil ayat 20 sebagai bentuk keringanan bagi umat Islam
untuk melakukan ibadah shalat pada sebagian malam saja. Keringanan itu diturunkan
setelah kewajiban shalat semalaman itu berlangsung selama 10 tahun. Kewajiban
shalat malam pada gilirannya dihapus dengan datangnya perintah kewajiban shalat
lima waktu pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Al-Qaththan juga mengutip sebuah
riwayat yang mengatakan, Rasulullah SAW pada awal-awal pengutusannya sebagai
rasul melakukan ibadah shalat sebanyak dua rakaat pada pagi dan sore hari. Dua
rakaat pagi dan sore hari ini dapat dipahami juga dari Surat Al-Mukminun ayat 1-2
(ayat Makkiyyah) yang menyebutkan shalat orang yang khusyuk. Ulama, kata Al-
Qaththan, bersepakat bahwa shalat lima waktu dalam sehari diwajibkan pada malam
Isra’ dan Mi’raj, sekira satu tahun sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Kota
Madinah. Ibadah shalat awalnya diwajibkan sebanyak 50 waktu dalam sehari
semalam, tetapi kemudian terjadi negosiasi hingga akhirnya berjumlah lima waktu
sebagaimana diriwayatkan dalam Isra’ dan Mi’raj. Sayyidatina Aisyah RA
mengatakan perihal jumlah rakaat shalat, “Shalat lima waktu dilakukan sebanyak dua
rakaat setiap kalinya. Tetapi kemudian jumlah rakaatnya ditambah saat bermukim dan
tetap dua rakaat saat berperjalanan.” (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140). Adapun
waktu shalat lima waktu disebutkan oleh Al-Qur’an secara garis besar (mujmal) pada
Surat Ar-Rum ayat 17-18. Adapun keterangan waktu shalat secara rinci didapatkan
dari riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang asalnya juga
terdapat pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Rasulullah SAW pada riwayat
tersebut mengatakan, “Suatu hari Jibril mengimamiku shalat selama dua hari. Ia shalat
zuhur bersamaku… di akhir shalat Subuh Jibril kemudian menoleh kepadaku, ‘Wahai
Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelum kamu. Waktu shalat ada di antara
keduanya (awal dan akhir waktu).’” (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140). Ketentuan
shalat lima waktu dapat ditemukan keterangannya melalui hadits fi’li (al-bayanul
fi’li). Jibril mengimami Rasulullah SAW dalam ibadah shalat lima waktu selama dua
hari berturut-turut. Keduanya melakukan shalat pada awal waktu (zuhur, ashar,
maghrib, isya, dan subuh) pada hari pertama dan pada akhir waktu (zuhur, ashar,
maghrib, isya, dan subuh) pada hari kedua. “Wahai Muhammad, waktu shalat ada di
antara keduanya (awal dan akhir waktu tersebut).” (M Sulaiman Al-Asyqar, Af’alur
Rasul wa Dalalatuha alal Ahkamis Syar’iyyah, [Yordan, Darun Nafa’is: 2015 M/1436
H], juz I, halaman 93). Sya’ban M Ismail mengatakan, Rasulullah SAW dan
sahabatnya melakukan ibadah shalat sebelum ibadah shalat diwajibkan pada malam
Isra’ dan Mir’aj 10 Hijriyah. Al-Qur’an telah menyebutkan ibadah shalat di awal-awal
masa kerasulan seperti pada surat pertama, Surat Al-Alaq ayat 9-10 dan Surat Al-
Qiyamah ayat 31-32 yang diturunkan sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj. (Sya’ban M
Ismail, Tarikhut Tasyri Al-Islami Marahiluhu wa Mashadiruhu, [Kairo, Darus Salam:
2015 M/1436 H], halaman 57-58). Menurut Ismail, kata “shalat” sering disebutkan
dalam Al-Qur’an sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj. Kalau diteliti dari perjalanan
hidup Nabi Muhammad SAW, banyak sekali riwayat yang menyebutkan aktivitas
shalat Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sedangkan waktu dan tata cara shalat
sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj 10 Hijriyah tidak tercatat dalam sejarah. Bisa jadi
melacak jejaknya menjadi upaya sia-sia. Yang mungkin kita bayangkan bahwa shalat
adalah sarana bertawajuh kepada Allah. Kata “shalat” dalam pengertian bangsa Arab
adalah doa. Yang jelas, kata Ismail, shalat umat Islam sebelum Isra’ dan Mir’aj
dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan argumentasi bahwa orang-orang musyrik
Makkah mengejek shalat Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Sedangkan shalat
yang dikenal sekarang ini diwajibkan oleh Allah tanpa perantara malaikat pada
peristiwa Isra’ dan Mir’aj. Jibril kemudian menerangkan ketentuan waktu shalat
tersebut dengan melakukan shalat bersama Nabi Muhammad dan sahabatnya yang
menjadi ketentuan awal dan akhir waktu shalat hingga saat ini. Ismail juga mengutip
jumlah rakaat shalat pada awal-awal Islam, yaitu sebanyak dua rakaat setiap kalinya
selain maghrib yang berjumlah tiga rakaat sejak semula. Tetapi kemudian jumlah
rakaatnya ditambah menjadi 4 rakaat saat bermukim sehingga shalat zuhur, ashar dan
isya berjumlah empat rakaat dan tetap dua rakaat saat berperjalanan sebagaimana asal
tasyri’.” (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 58). Pada mulanya, tidak ada larangan
berbincang dan melakukan apa saja saat seseorang sedang melakukan shalat. Orang
itu dapat menyempurnakan shalatnya setelah bincang dan aktivitasnya selesai di
tengah shalatnya. Tetapi setelah terbiasa melakukan shalat dan telah merasakan
kebesaran Allah yang “diajak” munajat dalam shalat, para sahabat dilarang berbicara
dan melakukan aktivitas apapun sambil melakukan shalat. Kalau tetap melakukan itu,
shalat mereka dianggap batal. Perihal shalat sambil berbicara dan main-main, Surat
Al-Baqarah ayat 238 diturunkan. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 58-59). Imam
Ahmad dan Imam Bukhari meriwayatkan cerita sahabat Zaid bin Arqam yang
mengatakan, “Dulu kami bercakap-cakap pada saat melakukan shalat sampai ayat itu
turun dan kami diperintahkan untuk berdiam dan kami dilarang untuk berbicara.”
(Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59). Adapun pelajaran yang dapat diambil, kata
Ismail, adalah bahwa anak-anak yang mulai belajar membiasakan shalat, lalu
berbicara, dan main-main, tidak perlu ditegur. Kita, lanjut Ismail, perlu menyikapinya
dengan lemah lembut. Sikap yang sama terhadap anak-anak ditujukan kepada orang
yang baru memeluk agama Islam dan menganjurkan mereka untuk membiasakan
shalat dengan lemah lembut. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59). Wallahu a’lam.
(Alhafiz Kurniawan)

Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-shalat-dalam-islam-qkSQm

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

Anda mungkin juga menyukai