Sumber: https://www.nu.or.id/pustaka/bekal-puasa-ramadhan-dari-gurunya-para-
ulama-cJBk4
___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)
SHOLAT
Syekh M Khudhari Bek dalam karyanya, Tarikh Tasyri Al-Islami, mengawali
pembahasan shalat secara bahasa. “Shalat” bukanlah kata yang berasal dari agama
Islam. Kata “shalat” telah digunakan oleh masyarakat Arab pra-Islam dengan
pengertian doa dan istighfar. (M Khudari Bek, Tarikhut Tasyri Al-Islami, [Beirut,
Darul Fikr: 1995 M/1415 H], 25-26). Kata “shalat” bisa jadi bermakna tetap atau terus
menerus. Dari pengertian ini muncul kalimat “man yashla fin nar” atau orang yang
kekal di neraka. Pandangan ini, kata Khurdhari Bek, dipegang oleh Al-Azhari karena
shalat adalah ketetapan yang diwajibkan oleh Allah. Shalat merupakan kewajiban
terbesar yang diperintahkan untuk tetap dilaksanakan. Pandangan lain mengatakan,
“shalat” diambil dari dua urat yang menjaga tulang ekor unta atau hewan lainnya.
Shalat secara bahasa juga berarti awal dua persendian paha manusia yang mana
keduanya secara hakiki menjaga tulang ekor manusia. Adapun pandangan ketiga
mengatakan, kata “shalat” diadopsi dari kata “shaluta” yang dalam bahasa Ibrani
berarti tempat ibadah. Kata ini dipakai kemudian oleh Al-Qur’an dengan makna yang
sama, yaitu pada Surat Al-Hajj ayat 40. Bangsa Arab juga kemudian mengadopsi dan
menggunakan kata ini dengan makna doa dan istigfar. Setelah itu Al-Qur’an
menggunakan kata “shalat” dengan pengertian yang dipahami bangsa Arab, yaitu
pada Surat At-Taubah ayat 103 dan Surat Al-Ahzab ayat 56. Tidak pengertian khusus
yang dipahami bangsa Arab dari kata “shalat” selain seruan kepada Allah saat
masyarakat Arab pra-Islam bertalbiyah tanpa berpakaian sebagaimana keterangan
pada Surat Al-Anfal ayat 35. (M Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 26). Shalat pada
Masa Islam Ibadah shalat disyariatkan pada awal-awal Islam. ibadah shalat ketika itu
hanya berjumlah dua rakaat pada pagi dan sore hari sebagaimana keterangan Surat
Ghafir ayat 55. Adapun ibadah shalat pada malam hari ketika itu hanya terbatas pada
pembacaan Al-Qur’an secara tartil sebagai keterangan pada awal Surat Al-
Muzzammil. Sedangkan shalat lima waktu yang kita kenal sampai sekarang
diwajibkan beberapa waktu menjelang hijrah Nabi Muhammad SAW. Tidak ada
perintah yang diberikan perhatian secara lebih oleh Al-Qur’an selain shalat. Al-
Qur’an memerintahkan ibadah shalat dengan berbagai macam stilistika bahasa,
kadang dengan perintah secara eksplisit, kadang dengan memuji orang yang
melakukan shalat, dan kadang dengan mencela orang yang meninggalkannya sehingga
dari semua itu orang yang meneliti Al-Qur’an menyimpulkan bahwa shalat adalah
pilar agama Islam dan tidak ada bagian Islam bagi mereka yang meninggalkan,
mengabaikan, dan bersikap munafik terhadap shalat. Jumlah shalat dan jumlah rakaat
shalat secara rinci memang tidak disebutkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Waktu
shalat hanya disebutkan secara garis besar sebagaimana keterangan Surat Ar-Rum
ayat 17, Surat Al-Isra ayat 78, Surat Hud ayat 114, dan Surat Al-Baqarah ayat 238. (M
Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 27). Tata cara shalat hanya disebutkan sebagian oleh
Al-Quran pada Surat Al-Baqarah ayat 238 dan Surat Al-Hajj ayat 77. Tata cara shalat
secara rinci dapat ditemukan pada praktik shalat Rasulullah SAW (hadits fi’li).
Rasulullah melakukan shalat lima waktu secara berjamaah dengan para sahabat. Ia
bersabda, “Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku melakukannya.” Orang
yang melakukan shalat diharuskan untuk menghadap ke arah Masjidil Haram. Pada
awalnya, Rasulullah melakukan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis.
Tetapi Al-Qur’an kemudian memerintahkannya untuk menghadap ke arah Masjidil
Haram, yaitu rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia, yaitu rumah
ibadah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS sebagai bapak bagi bangsa
Arab sebagaimana keterangan pada Surat Al-Baqarah ayat 144. Manna’ Al-Qaththan
menceritakan, Al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa kewajiban ibadah shalat
disyariatkan pada awal pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul sebagaimana
keterangan enam ayat pertama Surat Al-Muzzammil. Dari sana kemudian sebagian
ulama berpendapat bahwa ibadah shalat semalam suntuk diwajibkan. Setelah berjalan
16 bulan, kewajiban shalat semalaman itu dirasa berat oleh sahabat. Kewajiban itu
kemudian diringankan sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil ayat 20 yang
mewajibkan ibadah shalat pada sebagian malam saja. (Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut
Tasyri Al-Islami: At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433
H], halaman 139). Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa kewajiban
ibadah shalat semalaman hanya berlaku khusus bagi Rasulullah SAW. Kewajiban itu
dilaksanakan oleh Rasulullah selama 10 tahun sebagaimana perintah Allah SWT.
Ibadah shalat semalaman diikuti oleh sekelompok sahabat. Karena dirasa berat, Allah
menurunkan Surat Al-Muzzammil ayat 20 sebagai bentuk keringanan bagi umat Islam
untuk melakukan ibadah shalat pada sebagian malam saja. Keringanan itu diturunkan
setelah kewajiban shalat semalaman itu berlangsung selama 10 tahun. Kewajiban
shalat malam pada gilirannya dihapus dengan datangnya perintah kewajiban shalat
lima waktu pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Al-Qaththan juga mengutip sebuah
riwayat yang mengatakan, Rasulullah SAW pada awal-awal pengutusannya sebagai
rasul melakukan ibadah shalat sebanyak dua rakaat pada pagi dan sore hari. Dua
rakaat pagi dan sore hari ini dapat dipahami juga dari Surat Al-Mukminun ayat 1-2
(ayat Makkiyyah) yang menyebutkan shalat orang yang khusyuk. Ulama, kata Al-
Qaththan, bersepakat bahwa shalat lima waktu dalam sehari diwajibkan pada malam
Isra’ dan Mi’raj, sekira satu tahun sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Kota
Madinah. Ibadah shalat awalnya diwajibkan sebanyak 50 waktu dalam sehari
semalam, tetapi kemudian terjadi negosiasi hingga akhirnya berjumlah lima waktu
sebagaimana diriwayatkan dalam Isra’ dan Mi’raj. Sayyidatina Aisyah RA
mengatakan perihal jumlah rakaat shalat, “Shalat lima waktu dilakukan sebanyak dua
rakaat setiap kalinya. Tetapi kemudian jumlah rakaatnya ditambah saat bermukim dan
tetap dua rakaat saat berperjalanan.” (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140). Adapun
waktu shalat lima waktu disebutkan oleh Al-Qur’an secara garis besar (mujmal) pada
Surat Ar-Rum ayat 17-18. Adapun keterangan waktu shalat secara rinci didapatkan
dari riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang asalnya juga
terdapat pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Rasulullah SAW pada riwayat
tersebut mengatakan, “Suatu hari Jibril mengimamiku shalat selama dua hari. Ia shalat
zuhur bersamaku… di akhir shalat Subuh Jibril kemudian menoleh kepadaku, ‘Wahai
Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelum kamu. Waktu shalat ada di antara
keduanya (awal dan akhir waktu).’” (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 140). Ketentuan
shalat lima waktu dapat ditemukan keterangannya melalui hadits fi’li (al-bayanul
fi’li). Jibril mengimami Rasulullah SAW dalam ibadah shalat lima waktu selama dua
hari berturut-turut. Keduanya melakukan shalat pada awal waktu (zuhur, ashar,
maghrib, isya, dan subuh) pada hari pertama dan pada akhir waktu (zuhur, ashar,
maghrib, isya, dan subuh) pada hari kedua. “Wahai Muhammad, waktu shalat ada di
antara keduanya (awal dan akhir waktu tersebut).” (M Sulaiman Al-Asyqar, Af’alur
Rasul wa Dalalatuha alal Ahkamis Syar’iyyah, [Yordan, Darun Nafa’is: 2015 M/1436
H], juz I, halaman 93). Sya’ban M Ismail mengatakan, Rasulullah SAW dan
sahabatnya melakukan ibadah shalat sebelum ibadah shalat diwajibkan pada malam
Isra’ dan Mir’aj 10 Hijriyah. Al-Qur’an telah menyebutkan ibadah shalat di awal-awal
masa kerasulan seperti pada surat pertama, Surat Al-Alaq ayat 9-10 dan Surat Al-
Qiyamah ayat 31-32 yang diturunkan sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj. (Sya’ban M
Ismail, Tarikhut Tasyri Al-Islami Marahiluhu wa Mashadiruhu, [Kairo, Darus Salam:
2015 M/1436 H], halaman 57-58). Menurut Ismail, kata “shalat” sering disebutkan
dalam Al-Qur’an sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj. Kalau diteliti dari perjalanan
hidup Nabi Muhammad SAW, banyak sekali riwayat yang menyebutkan aktivitas
shalat Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sedangkan waktu dan tata cara shalat
sebelum peristiwa Isra’ dan Mir’aj 10 Hijriyah tidak tercatat dalam sejarah. Bisa jadi
melacak jejaknya menjadi upaya sia-sia. Yang mungkin kita bayangkan bahwa shalat
adalah sarana bertawajuh kepada Allah. Kata “shalat” dalam pengertian bangsa Arab
adalah doa. Yang jelas, kata Ismail, shalat umat Islam sebelum Isra’ dan Mir’aj
dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan argumentasi bahwa orang-orang musyrik
Makkah mengejek shalat Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Sedangkan shalat
yang dikenal sekarang ini diwajibkan oleh Allah tanpa perantara malaikat pada
peristiwa Isra’ dan Mir’aj. Jibril kemudian menerangkan ketentuan waktu shalat
tersebut dengan melakukan shalat bersama Nabi Muhammad dan sahabatnya yang
menjadi ketentuan awal dan akhir waktu shalat hingga saat ini. Ismail juga mengutip
jumlah rakaat shalat pada awal-awal Islam, yaitu sebanyak dua rakaat setiap kalinya
selain maghrib yang berjumlah tiga rakaat sejak semula. Tetapi kemudian jumlah
rakaatnya ditambah menjadi 4 rakaat saat bermukim sehingga shalat zuhur, ashar dan
isya berjumlah empat rakaat dan tetap dua rakaat saat berperjalanan sebagaimana asal
tasyri’.” (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 58). Pada mulanya, tidak ada larangan
berbincang dan melakukan apa saja saat seseorang sedang melakukan shalat. Orang
itu dapat menyempurnakan shalatnya setelah bincang dan aktivitasnya selesai di
tengah shalatnya. Tetapi setelah terbiasa melakukan shalat dan telah merasakan
kebesaran Allah yang “diajak” munajat dalam shalat, para sahabat dilarang berbicara
dan melakukan aktivitas apapun sambil melakukan shalat. Kalau tetap melakukan itu,
shalat mereka dianggap batal. Perihal shalat sambil berbicara dan main-main, Surat
Al-Baqarah ayat 238 diturunkan. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 58-59). Imam
Ahmad dan Imam Bukhari meriwayatkan cerita sahabat Zaid bin Arqam yang
mengatakan, “Dulu kami bercakap-cakap pada saat melakukan shalat sampai ayat itu
turun dan kami diperintahkan untuk berdiam dan kami dilarang untuk berbicara.”
(Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59). Adapun pelajaran yang dapat diambil, kata
Ismail, adalah bahwa anak-anak yang mulai belajar membiasakan shalat, lalu
berbicara, dan main-main, tidak perlu ditegur. Kita, lanjut Ismail, perlu menyikapinya
dengan lemah lembut. Sikap yang sama terhadap anak-anak ditujukan kepada orang
yang baru memeluk agama Islam dan menganjurkan mereka untuk membiasakan
shalat dengan lemah lembut. (Sya’ban M Ismail, 2015 M/1436 H: 59). Wallahu a’lam.
(Alhafiz Kurniawan)
Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-shalat-dalam-islam-qkSQm
___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)