Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1 Pengalaman Auditor

2.1.2 Pengertian Akuntansi

Definisi Akuntansi Menurut asal kata akuntansi yaitu berasal

dari Accountancy / Accounting / Constituency yang diserap ke dalam bahasa

Indonesia Akuntansi yang berarti sebuah aktivitas atau proses dalam

mengidentifikasi, mencatat, mengklasifikasi, mengolah dan menyajikan data yang

berhubungan dengan keuangan atau transaksi agar mudah dimengerti dalam

mengambil keputusan yang tepat.

Definisi Akuntansi adalah suatu aktivitas jasa (mengidentifikasikan,


mengukur, mengkalsifikasikan dan mengikhtisarkan) kejadian atau transaksi
ekonomi yang menghasilkan informasi kuantitatif terutama yang bersifat
keuangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan (Amin. W, 1997)

2.1.1.1. Pengertian Pengalaman Auditor

Menurut Loehoer (2009) dalam Mabruri dan Winarna (2010:8),

pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui

berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam,

keadaan, gagasan, dan penginderaan. Sedangkan Knoers dalam Asih (2014:12)

menyatakan pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan penambahan

perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non

23
24

formal atau bisa juga diartikan sebagai suatu proses yang seseorangkepada suatu

pola tingkah laku yang lebih tinggi.

Pengalaman salah satu kunci keberhasilan auditor dalam melakukan audit

adalah bergantung kepada seorang auditor yang memiliki keahlian yang meliputi

dua unsur yaitu pengetahuan dan pengalaman. Dalam hal ini pengalaman kerja

telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor

terhadap kualitas audit yang dihasilkannya.

Pengertian pengalaman menurut Foster (2013:40) menyatakan bahwa:

―Pengalaman adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa kerjanya

yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan

telah melaksanakannya dengan baik‖. Dari definisi diatas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengalaman dapat memperdalam dan memperluas kemampuan

seeorang dalam melakukan suatu pekerjaan, Semakin berpengalaman seseorang

melakukan pekerjaan yang sama, maka akan semakin terampil dan semakin cepat

dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Sedangkan pengertian auditor menurut Mulyadi (2009 : 1) menyatakan

bahwa : ―Auditor adalah akuntan publik yang memberikan jasa audit kepada

auditan untuk memeriksa laporan keuangan agar bebas dari salah saji‖. Dari

definisi diatas dapat disimpulkan bahwa auditor adalah sesorang yang mempunyai

keahlian serta senantiasa memberikan jasa audit kepada auditee untuk memeriksa

laporan keuangan agar terhindar dari salah saji sehingga dapat tercapai tujuan

untuk menghasilkan hasil audit yang berkualitas.


25

Pengertian pengalaman auditor menurut Mulyadi (2012:24) menyatakan

bahwa: ―Pengalaman auditor merupakan akumulasi gabungan dari semua yang

diperoleh melalui interaksi‖. Maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman auditor

adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang audit yang senantiasa

melakukan pembelajaran dari kejadian-kejadian di masa yang lalu. Menurut Ida

Suraida (2012;9) Pengalaman auditor adalah: ―Pengalaman auditor dalam

melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun

banyaknya penugasan yang pernah dilakukan.‖ Menurut Marchant G.A (1989)

dan (Davis:1996) dalam Ida Suraida (2012:35) menemukan bahwa akuntan

pemeriksa yang mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai kesalahan-

kesalahan dalam telaah analitik. Akuntan pemeriksa yang berpengalaman juga

memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap informasi

yang relevan. Menurut Tubbs (1992) dalam Ida Suraida (2012:45) menemukan

dalam salah satu penelitiannya bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman

menjadi sadar mengenai kekeliruan-kekeliruan yang tidak lazim.

Mulyadi (2012:26) mendefinisikan bahwa: ―Pengalaman auditor

merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui

interaksi. ‖Ikatan Akuntan Indonesia (2012) menyatakan bahwa pengalaman audit

diperoleh akuntan publik mereka mengerjakan penugasan auditnya. Pengalaman

akan diperoleh jika prosedur penugasan dan supervisi berjalan dengan baik.

Menurut Mulyadi (2012:25) sesuai SK Menteri Keuangan No. 43/KMK.017/1997

tanggal 27 Januari 1997, jika seseorang memasuki karir sebagai akuntan publik, ia

terlebih dahulu mencari pengalaman profesi di bawah pengawasan akuntan senior


26

yang lebih berpengalaman. Agar akuntan baru selesai menempuh pendidikan

formalnya dapat segera menjalani pelatihan teknis dalam profesinya, pemerintah

mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai akuntan

dengan reputasi baik di bidang audit bagi akuntan yang ingin memperoleh izin

praktik dalam profesi akuntan publik.

Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengalaman kerja auditor

merupakan akumulasi gabungan yang diperoleh dari interaksi dan seorang auditor

paling tidak harus memiliki pengalaman minimal 2 tahun dan pengalaman

diperoleh jika prosedur penugasan dan supervisi berjalan dengan baik. Menurut

The Oxford English Dictionary (1978) pengalaman adalah pengetahuan atau

keahlian yang didapat dari pengamatan langsung atau partisipasi dalam suatu

peristiwa dan aktivitas yang nyata, sedangkan menurut Longman Advanced

American Dictionary (2008) pengalaman adalah kejadian dan pengetahuan

yang dialami atau dibagi kepada orang lain dalam kelompok tertentu. Dari dua

pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengalaman merupakan

pengetahuan, keahlian atau kejadian yange dialami sendiri atau orang lain

yang terjadi dalam suatu peristiwa dan aktivitas yang nyata.

Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan

perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non

formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang

kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Sedangkan menurut

Suraida (2005), pengalaman audit dapat diartikan sebagai pengalaman auditor

dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu
27

maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Pengalaman audit

akan membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan situasi

dan keadaan dalam setiap penugasan.

Herliansyah dan Ilyas (2014) menyatakan bahwa pengalaman kerja

telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan

publik sehingga faktor pengalaman dimasukkan sebagai salah satu persyaratan

dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik (SK Menkeu No.

43/KMK.017/1997). Pengalaman kerja dapat memperdalam dan memperluas

kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama,

semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan

semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang, pengalaman

kerjanya semakin kaya dan luas dan memungkinkan peningkatan kinerja auditor.

Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman auditor

yang dihitung berdasarkan satuan waktu. Sehingga auditor yang telah lama

bekerja sebagai auditor dapat dikatakan auditor yang berpengalaman. Karena

semakin lamanya bekerja menjadi auditor, maka akan dapat menambah dan

memperluas pengetahuan auditor di bidang akuntansi dan auditing. Begitu

pula dengan banyaknya jumlah penugasan yang telah dilakukan oleh

auditor dapat meningkatkan pengetahuan karena adanya kompleksitas transaksi

keuangan perusahaan yang diaudit. Pengalaman berdasarkan lama bekerja dan

banyaknya jumlah penugasan saling berkaitan erat, karena semakin lamanya

seseorang menjadi auditor, tentunya jumlah penugasan yang pernah dilakukan

pun akan semakin banyak.


28

Libby (1995) dalam Koroy (2014) menyatakan bahwa pekerjaan auditor

adalah pekerjaan yang melibatkan keahlian (expertise). Semakin berpengalaman

seorang auditor maka semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang lebih

baik dalam tugas-tugas yang semakin kompleks, termasuk dalam

mengungkap tindakan kecurangan (fraud) yang kerap terjadi dalam suatu

perusahaan. Menurut Mayangsari (2010) auditor yang berpengalaman memiliki

keunggulan dalam hal pendeteksian kesalahan, memahami kesalahan secara

akurat dan mencari penyebab kesalahan.

2.1.1.2. Unsur-unsur Pengalaman Auditor

Menurut Mulyadi (2012:34): ―Jika seorang memasuki karier sebagai

akuntan publik, ia harus lebih dulu mencari pengalaman profesi dibawah

pengawasan akuntan senior yang lebih berpengalaman. Di samping itu, pelatihan

teknis yang cukup mempunyai arti pula bahwa akuntan harus mengikuti

perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha dan profesinya, agar akuntan yang

baru selesai menempuh pendidikan formalnya dapat segera menjalani pelatihan

teknis dalam profesinya, pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja

sekurangkurangnya tiga tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di bidang

audit bagi akuntan yang ingin memperoleh izin praktik dalam profesi akuntan

publik

Indikator pengalaman auditor menurut Knoers dan Haditono (2013;99)

Menurut penelitian Singgih dan Bawono (2014) ada 2 indikator yang

berhubungan dengan pengalaman audit, antara lain;


29

1. Lamanya menjadi auditor : Lamanya bekerja sebagai auditor


menghasilkan struktur dalam proses penilaian auditor. Struktur ini
menentukan seleksi auditor, memahami dan bereaksi terhadap ruang
lingkup tugas. 2. Frekuensi pekerjaan pemeriksaan : Secara teknis,
semakin banyak tugas yang dia kerjakan, akan semakin mengasah
keahliannya dalam mendeteksi suatu hal yang memerlukan treatment atau
perlakuan khusus yang banyak dijumpai dalam pekerjaannya dan sangat
bervariasi karakteristiknya.

Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang jika melakukan pekerjaan yang

sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam

menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar memahami teknik

atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami berbagai hambatan

atau kesalahan dalam pekerjaannya tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan

berhati-hati menyelesaikannya.

2.1.1.3. Kriteria Pengalaman Auditor

Menurut Tubs (1992) dalam singgih dan Bawono (2010) kriteria

pengalaman tediri dari :

1) Kepekaan dalam mendeteksi adanya kekeliruan : Auditor yang


berpengalaman adalah auditor yang peka dan cepat tanggap dalam
mendeteksi adanya kekeliruan.
2) Ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas audit : Semakin
berpengalaman seorang auditor, maka akan dapat menyelesaikan
tugas audit tepat waktu.
3) Kemampuan dalam menggolongkan kekeliruan : Auditor yang
berpengalaman adalah auditor yang mampu mengolongkan
kekeliruan tujuan dan sistem akuntansi melandasinya.
4) Kesalahan dalam melakukan tugas audit : Semakin berpengalaman
seorang auditor, maka tingkat kesalahan dalam melaksanakan tugas
audit diminimalisasi.
30

2.1.1.4. Ciri-ciri Pengalaman Auditor

Menurut Carolita dan Rahardjo (2012) menyatakan bahwa auditor

dipandang sebagai suatu profesi karena memiliki ciri-ciri berupa:

1) Membutuhkan dasar pengetahuan tertentu untuk dapat melaksanakan


pekerjaan profesi tersebut dengan baik (common body of knowledge).
2) Memiliki syarat-syarat tertentu untuk menerima anggota (standard of
admittance).
3) Mempunyai kode etik dan aturan main (code of ethic and code of
conduct).
4) Memiliki standar untuk menilai pekerjaan (standar of perfomance).

Dalam hal ini, berarti di dalam diri seorang akuntan profesional terdapat

suatu sistem nilai atau norma yang mengatur perilaku mereka dalam proses

pelaksaan tugas. Pengembangan dan kesadaran etik atau moral memainkan perang

penting dalam semua era profesi akuntan (Louwers dkk., 1997 dalam Carolita,

dkk 2012) .

2.1.1.5. Keunggulan Pengalaman Auditor

Menurut De Angelo sebagaimana dikutip Mulyadi (2012), bahwa

keunggulan audit adalah probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan

melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi auditenya.

Dalam penelitiannya, Watkins dkk. (2013;34) telah mengidentifikasi empat buah

definisi kualitas audit dari beberapa ahli, yaitu sebagai berikut.

1. Kunggulan audit adalah probabilitas nilaian-pasar bahwa laporan


keuangan mengandung kekeliruan material dan auditor akan
menemukan dan melaporkan kekeliruan material tersebut.
2. Keunggulan audit merupakan probabilitas bahwa auditor tidak akan
melaporkan laporan audit dengan opini wajar tanpa pengecualian
untuk laporan keuangan yang mengandung kekeliruan material.
3. Keunggulan audit diukur dari akurasi informasi yang dilaporkan oleh
31

auditor.
4. Keunggulan audit ditentukan dari kemampuan audit untuk
mengurangi noise dan meningkatkan kemurnian pada data akuntansi.

Selanjutnya, istilah ―keungulan audit‖ mempunyai arti yang berbeda-beda

bagi setiap orang. Para pengguna laporan keuangan berpendapat bahwa

keunggulan audit yang dimaksud terjadi jika auditor dapat memberikan jaminan

bahwa tidak ada salah saji yang material (no material misstatements) atau

kecurangan (fraud) dalam laporan keuangan audit.

2.1.1.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Auditor

Mengingat pentingnya pengalaman bekerja dalam suatu perusahaan, maka

dipikirkan juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja.

Menurut Djauzak (2014:64), faktor- faktor yang dapat mempengaruhi pengalaman

auditor adalah waktu, frekuensi, jenis, tugas, penerapan, dan hasil. Dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a) Waktu : Semakin lama seseorang melaksanakan tugas akan

memperoleh pengalaman bekerja yang lebih banyak.

b) Frekuensi : Semakin sering melaksanakan tugas sejenis umumnya

orang tersebut akan memperoleh pengalaman kerja yang lebih baik.

c) Jenis tugas : Semakin banyak jenis tugas yang dilaksanakan oleh

seseorang maka umunya orang tersebut akan memperoleh

pengalaman kerja yang lebih banyak.


32

d) Penerapan : Semakin banyak penerapan pengetahuan, keterampilan,

dan sikap seseorang dalam melaksanakan tugas tentunya akan dapat

meningkatkan pengalaman kerja orang tersebut.

e) Hasil : Seseorang yang memiliki pengalaman kerja lebih banyak akan

dapat memperoleh hasil pelaksanaan tugas yang lebih baik.

Ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang

karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja menurut (Foster,

2010 : 34) yaitu :

a) Lama waktu/ masa kerja. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja
yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu
pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.
b) Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.Pengetahuan
merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain
yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup
kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada
tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada
kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan
suatu tugas atau pekerjaan.
c) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan
seseorang dalam pelaksanaan aspek – aspek tehnik peralatan dan
tehnik pekerjaan.

2.1.2. Pelatihan Auditor

2.1.2.1. Pengertian Pelatihan Auditor

Menurut beberapa ahli, telah dikemukakan definisi pelatihan adalah

sebagai berikut :

Pengertian Pelatihan menurut Soekijo (2011:87) adalah : ―Suatu proses

pengembangan kemampuan kearah yang diingikan oleh organisasi yang

bersangkutan.‖ Menurut H. John bernandian & Joyce E.A Russell (2013:197)

adalah : ―Setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu


33

pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau suatu pekerjaan

tertentu yang ada kaitan dengan pekerjannya.‖

Sedarmayanti (2013:198) mengatakan adalah :

Sebagai sarana yang ditunjukan pada upaya untuk lebih mengaktifkan


kerja para anggota organisasi yang kurang aktif sebelumnya, mengurangi
dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan,
pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari anggota
atau kelompok anggota tertentu.

Mangkunegara (2014 : 41) mengatakan pelatihan adalah:

―Suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur


sistematis dan terorganisir di mana pegawai non managerial mempelajari
pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas.‖ Samsudin
(2014 : 111) menyatakan bahwa pelatihan adalah: ―Usaha untuk
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan kerja dalam waktu yang
relatif singkat (pendek).‖

Ada lima faktor penyebab diperlukannya sebuah pelatihan, yaitu sebagai

berikut (Samsudin, 2014 : 141) adalah : ―Kualitas angkatan kerja, persaingan

global, perubahan yang cepat dan terus-menerus, masalah alih teknologi dan

perubahan demografi.‖

Dalam melaksanakan pelatihan ini ada beberapa faktor yang perlu

dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan menurut Veithzal Rivai

(2009:225) yaitu : ―Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dan berperan

dalam melaksanakan pelatihan yaitu : instruktur, peserta, materi (bahan), metode,

prinsip pembelajaran dan evaluasi pelatihan.‖

Antara lain dengan penjelasan dibawah ini :

1) Kemampuan Instruktur Pelatihan

Mencari sumber-sumber informasi yang lain yang mungkin

berguna dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan.


34

2) Peserta Pelatihan

Sangat penting untuk memperhitungkan tipe pekerja dan jenis

pekerja yang akan dilatih.

3) Materi yang Dibutuhkan

Materi disusun dari estimasi kebutuhan tujuan latihan, kebutuhan

dalam bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan pengetahuan yang

diperlukan.

4) Metode yang Digunakan

Metode yang dipilih hendak disesuaikan dengan jenis pelatihan

yang akan dilaksanakan.

5) Sarana atau Prinsip-Prinsip Pembelajaran

Pedoman dimana proses belajar akan berjalan lebih efektif.

6) Evaluasi Pelatihan

Setelah mengadakan pelatihan hendaknya dievaluasi hasil yang

didapat dalam pelatihan, dengan memperhitungkan tingkat reaksi,

tingkat belajar, tingkat tingkah laku kerja, tingkat organisasi, dan nilai

akhir.

Pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pelatihan merupakan

sebagai suatu aktifitas yang bertujuan untuk membuat pegawai lebih terampil dan

lebih produktif.

2.1.2.2. Jenis-jenis Pelatihan Auditor


35

Jenis-jenis pelatihan audit berdasarkan auditornya, Boynton, Johnson dan

Kell (2006:5) dalam Bayangkara (2008:2), yakni ;

1) Internal Audit (first party) : Audit yang dilaksanakan oleh perusahaan


sendiri. Tujuannya antara lain : Menjaga keefektifan sistem
manajemen mutu yang ada.
2) External Audit (second party) : Audit yang dilakukan perusahaan
terhadap vendor. Tujuannya yakni: Melihat sistem mutu vendor untuk
memastikan kemampuan vendor dalam mengirim produk yang baik
dan konsisten baik.
3) Extrinsic Audit (third party) : Audit yang dilaksanakan oleh suatu
badan yang independent (third party), e.g : KEMA, SGS, TUV, BVQI,
Lloyd‘s Register QA. dll. Tujuannya, yakni : Memeriksa kesesuaian ...

Boynton, Johnson dan Kell (2009:51) membagi jenis-jenis audit menjadi 3

bagian, yaitu:

1) Audit Laporan Keuanga (Financial Statement Audit)n: Audit Laporan

Keuangan (Financial Statement Audit) berkaitan dengan kegiatan

memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas

dengan maksud agar dapat memberikan pendapatapakah laporan-

laporan tersebut telah disajikan secara wajar sesuaidengan kriteria

yang telah ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip akuntansiyang berlaku

umum (Generally Accepted Accounting Principles).

2) Audit Kepatuhan (Compliance Audit) : Audit kepatuhan (compliance

audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan memeriksa bukti-

bukti untuk meneteapkan apakah kegiatan keuangan atau operasi suatu

entitas telah sesuai dengan persyaratan, ketentuan atau peraturan

tertentu. Kriteria yang ditetapkan dalam audit jenis ini berasal dari

berbagai sumber. Sebagai contoh, manajemen dapat mengeluarkan


36

kebijakan atau ketentuan yang berkenaan dengan kondisi kerja,

partisipasi dalam program pensiun, serta pertentangan kepentingan.

3) Audit Operasional (Operational Audit) : Audit operasional

(Operational Audit) atau audit manajemen (Management Audit) adalah

pengevaluasian terhadap efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan.

Dalam konteks audit manajemen, manajemen meliputi seluruh operasi

internal perusahaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada

berbagai pihak yang memiliki wewenang yang lebih tinggi

(Bayangkara, 2008:2)

2.1.2.3. Tujuan Pelatihan Auditor

Banyak ahli berpendapat tentang arti, tujuan dan manfaat pelatihan.

Namun dari berbagai pendapat tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Sikula

dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: ―proses pendidikan

jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan

terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan

keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu‖. Menurut Good, 1973

pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan

pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992 : 5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam

Moekijat (1991 : 2) menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap proses

untuk amengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai guna

menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Moekijat (2013: 16) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut :


37

1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat


diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif,
2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan secara rasional, dan
3) untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan
kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen
(pimpinan).

Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk

menyimpulkan bahwa yang dimaksud pelatihan dalam hal ini adalah proses

pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran dilaksanakan dalam jangka

pendek, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan,

sehingga mampu meningkatkan kompetensi individu untuk menghadapi pekerjaan

di dalam organisasi sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Dengan demikian

dapat simpulkan bahwa ―pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan

kinerja saat ini dan kinerja mendatang‖ (Veithzal Rifai: 2009:134).

Tujuan pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2012 :

222) adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan

serta meningkatkan kualitas dan produktivitas organisasi secara keseluruhan,

dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan kinerja dan pada

gilirannya akan meningkatkan daya saing. Tentang manfaat pelatihan beberapa

ahli mengemukakan pendapatnya Robinson dalam M. Saleh Marzuki (2009 : 36)

mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :

1) pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan-


individu atau kelompok dengan harapan memperbaiki performance
organisasi .... ;
2) keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan
tugas-tugas sesuai dengan standar yang diinginkan
3) pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan,
terhadap pimpinan atau karyawan .... ; dan
38

4) manfaat lain daripada pelatihan adalah memperbaiki standar


keselamatan.

Tujuan pelatihan menurut Tanjung dan Arep (2009) dalam Bulchia

(2013) adalah sebagai berikut: Pelatihan merupakan salah satu usaha untuk

mengembangkan sumber daya manusia, terutama dalam hal pengetahuan

(knowledge), kemampuan (ability), keahlian (skill) dan sikap (attitude).

Pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan yang tujuannya untuk

meningkatkan kemampuan dan keterampilan khusus seseorang atau kelompok

orang (Notoatmodjo, 2009 dalam Ayuni, 2010). Pelatihan adalah suatu proses

pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan

terorganisir dimana staf mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam

tujuan yang terbatas (Mangkunegara, 2013 dalam Ayuni, 2014).

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

pelatihan merupakan suatu proses pendidikan jangka pendek guna memperoleh

dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang khusus agar mampu

untuk melakukan sesuatu. Pengetahuan yang harus dimiliki dan didapat oleh

auditor tersebut yaitu pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

tindakan kecurangan (fraud), sehingga tindak kecurangan (fraud) yang kerap

terjadi dalam suatu organisasi dapat dicegah dan di deteksi keberadaannya.

Pelatihan di bidang fraud auditing merupakan salah satu kegiatan

pengembangan auditor untuk meningkatkan kualitas auditnya. Dengan adanya

pelatihan ini, diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan produktifitas auditor,

yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas Kantor Akuntan Publik


39

(KAP) secara keseluruhan. Sebaiknya pelatihan dan pengembangan auditor

dilakukan secara berkala dan teratur. Pelatihan perlu dibedakan dari pendidikan.

Menurut Notoatmodjo (1998) dalam Ayuni (2014) pendidikan adalah suatu proses

pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan. Pendidikan di sini adalah

pendidikan jangka panjang atau pendidikan formal yang telah didapat oleh

seorang auditor. Sedangkan pendidikan jangka pendek disebut dengan

pelatihan.

2.1.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelatihan Auditor

Mondy (2011:212) mengemukakan bahwa pelatihan dan pengembangan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagai berikut:

1) Dukungan Manajemen Puncak : Dukungan kepemimpinan dari atas

sangat berguna agar program-program pelatihan dan pengembangan

dapat berjalan dengan baik,

2) Komitmen Para Spesialis dan Generalis: Selain dukungan dari

manajemen puncak, keterlibatan seluruh manajer baik spesialis

maupun generalis sangat berpengaruh pada keberhasilan proses

pelatihan dan pengembangan. Tanggung jawab utama pelatihan dan

pengembangan merupakan tanggung jawab manajer lini, sedangkan

para profesional pelatihan dan pengembangan hanya memberikan

keahlian teknis.

3) Kemajuan Teknologi : Teknologi memberikan pengaruh yang sangat

besar terhadap pelatihan dan pengembangan terutama penggunaan


40

komputer dan internet yang secara dramatis mempengaruhi

berjalannya fungsi-fungsi bisnis.

4) Kompleksitas Organisasi: Struktur organisasi juga berpengaruh

terhadap proses pelatihan dan pengembangan. Struktur organisasi

yang lebih datar karena lebih sedikitnya level manajerial membuat

tugas-tugas individu dan tim semakin diperluas dan diperkaya.

Akibatnya para karyawan menghabiskan lebih banyak waktu untuk

menjalankan pekerjaan dan tugas-tugas yang lebih kompleks daripada

yang biasa dikerjakan sebelumnya

5) Gaya Belajar: Meskipun banyak hal yang belum diketahui mengenai

proses belajar, beberapa generalisasi yang dinukil dari ilmu-ilmu

keperilakuan telah mempengaruhi cara perusahaan-perusahaan

melaksanakan pelatihan.

2.1.3. Pengertian Kekeliruan

2.1.3.1. Pengertian Kekeliruan


Pengertian mengenai kekeliruan menurut Institut Akuntan Publik

Indonesia (IAPI) dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) paragraf 6,

dinyatakan bahwa kekeliruan (error) berarti salah saji (misstatement) atau

hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang tidak

disengaja.

Kekeliruan dapat berupa :

1. Kekeliruan dalam pengumpulan atau pengolahan data yan menjadi

sumber penyusunan laporan keuangan;


41

2. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari

kecerobohan atau salah tafsir fakta;

3. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berkaitan dengan

jumlah, klasifikasi dan cara penyajian atau pengungkapan.

Berdasarkan Standar Profesi Akuntan Publik Indonesia (IAPI 2011: PSA

no 25 : 312.2 ) menyatakan bahwa kekeliruan tidak mencakup dampak proses

akuntansi yang dipakai untuk kenyamanan, seperti penyelenggaraan catatan

akuntansi dengan basis kas atau basis pajak dan secara periodik dilakukan

penyesuaian terhadap catatan tersebut untuk membuat laporan keuangan sesuai

dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. Faktor utama yang

membedakan kecurangan dengan kekeliruan adalah apakah tindakan yang

mendasarinya yang berakibat pada salah saji dalam laporan keuangan merupakan

tindakan yang disengaja atau tidak disengaja.

Menurut Holmes dan Burns (1979) kekeliruan error klasifisikan sebagai

menjadi dua jenis yaitu acconting error dan system error , Acconting error

berpengaruh secara langsung terhadap laporan keungan adapun system

error terkait dengan lemahnya system pengendalian intern yang

menyebabkan meningkatnya dan bertambahnya ketidakdekteksian

kekeliruan laporan keuangan kekeliruan. Adapun acconting error

berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi dua hal yaitu kesengajaan

maupun ketidaksengajaan dimana masing-masing unsur (sengaja atau

tidak) dibagi menjadi klarifikasi utama yaitu : (1) error off omission ,(2)

error of commission atau (3) error of pricple. Adapun system error dibagi
42

menjadi dua tipe yaitu : (1) compliance error and (2) system design

deficiencies .

2.1.3.2. Jenis-jenis kekeliruan

C.A Mac Donald & Associates membagi kekeliruan (error) ke dalam dua

jenis financial dan non financial , financial error diwujudkan dalam bentuk

overpayment atau underpayment terhadap klien adapun non financial error tidak

dapat ditunjukan secara langsung terhadap terjadinya kelebihan atau kekurangan

pembayaran terhadap klien.

Menurut Barmadi (1994) sifat kekliruan audit yaitu:

1. Penaksiran terhadap komponen-komponen atas resiko Audit

mungkin perlu direvisi

2. Sifat, keberadaan dan ketepatan atas prosedur audit mungkin

perlu di pertimbngkan lagi

3. Berdasarkan sifat salah saji yang diindentifikasi ,memberikan

dorongan bahwa kekeliruan serupa mungkin terjadi dan

perlunya dilakkan prosedur audit yang relevan

4. Auditor harus memperoleh reveransi dari pihak manajemen

memberitahu mengenai laporan keuangan

5. Untuk salah saji yang disebabkan kekeliruan (error) auditor

seharusnya mengkomunikasikan salah saji tersebut pada

manajemen pada tingkatan yang sesuai.

6. Dalam hal terjadinya berbagai yang menimbulkan pertanyaan

terhadap kemampuan auditor untuk melanjutkan pelaksanaan


43

auditor ,auditor harus mempertimbangkan kewajiban legal dan

professional yang dipersyartkan untuk melaporkan pihak-pihak

yang membuat perikatan audit.

7. Ketika menerima permintaan keterangan dari auditor yang

diusulkan auditor yang ada seharusnya memberikan saran jika

terjadi keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan terhadap

terhadap akun-akun yang mungkin berpengaruh terhadap

keputusan untuk menerima tidak suatu perikatan

Menurut Sularso dan Na‘im jeni-jenis kekeliruan Auditor :

 Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor

mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam

laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima

menurut auditor.

 Angka yang telah diproyeksikan ( istilah statistiknya ―extrapolated‖) oleh

auditor berdasarkkan hasil-hasil dari prosedur ‗sampling‘—baik statistikal

atau non-statistikal—pada suatu populasi (data).

GAAS mempersyaratkan agar auditor berhati-hati mengevaluasi

rasionalitas atas estimasi akuntansi yang dikembangkan oleh manajemen

dan memberikan dorongan agar mempergunakan satu atau lebih

pendekatan berikut :

1. Melakukan riview dan menguji proses yang

dipergunakan oleh manajamen untuk mengembangkan


44

estimasi tersebut .

2. Membangunkan harapan yang independen terhadap

estimasi yang dikembangkan

3. Melakukan review terhadap subseqmen event atau

transaksi yang terjadi selama pelaksaan pekerjaan

lapangan

4. Melakukan riview menguji proses yang dipergunakan

oleh manajemen untuk mengembangkan estimasi

tersebut

5. Membangun harapan yang independen terhadap estimasi

yang digunakan

6. Melakukan riview terhadap subseqmen event atau

transaksi yang terjadi selama pelaksaan pekerjaan

lapangan

Audit dalam mendeteksi salah saji material baik

2.1.3.3.Jenis-jenis model resiko

Model risiko audit ada 4 (empat) jenis risiko audit, maasing-masing jenis

risiko audit tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Planned Detection Risk (PDR-Risiko Penemuan yang Direncanakan)

: Adalah risiko bahwa bukti yang dikumpulkan dalam segmen gagal

menemukan kekeliruan yang melampaui jumlah yang dapat ditolerir.


45

Jika kekeliruan semacam itu timbul. Ada dua hal penting yang harus

diperhatikan:

a) Planned Detection Risk (PDR) tergantung pada tiga unsur risiko

lainnya dalam model. Jadi risiko penemuan yang direncanakan

hanya akan berubah jika auditor mengubah salah satu unsur

lainnya.

b) PDR menentukan besarnya bukti yang akan dikumpulkan.

Hubungan antara PDR dengan bukti berbanding terbalik. Jika

nilai risiko penemuan yang direncanakan diperkecil, berarti

jumlah bukti yang harus dikumpulkan auditor dalam audit lebih

banyak.

2) Acceptable Audit Risk (AAR-Risiko Audit yang dapat diterima):

Adalah ukuran ketersediaan auditor untuk menerima bahwa laporan

keuangn mengandung salah saji aterial tanpa pengecualian telah

diberikan. Risiko ini ditetapkan secara subjektif bahwa auditor

bersedia menerima laporan keuangan tidak disajikan secara wajar

setelah audit selesai dan pendapat wajar tanpa pengecualian telah

diberikan. Kalau auditor menetapkan tingkat risiko audit yang dapat

diterima rendah, berarti ia ingin lebih memastikan bahwa tidak ada

kekeliruan yang material dalam laporan keuangan. Tingkat risiko nol

berarti kepastian penuh bahwa laporan keuangan tidak mengandung

kekeliruan yang materia dan tingkat risiko ini 100% berarti auditor
46

sangat tidak yakin kalau laporan keuangan tidak mengandung salah

saji atau kekeliruan yang material.

3. Inherent Risk (IR-Risiko Bawaan atau Risiko Melekat) ; Adalah

penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji)

dalam segmen audit yang melampaui batas toleransi, sebelum

memperhitungkan faktor efektivitas pengendalian intern. Risiko

bawaan menunjukkan faktor kerentanan laporan keuangan terhadap

kekeliruan yang material dengan asumsi tidak ada pengendalian

intern. Bila auditor berkesimpulan bahwa akan banyak kemungkinan

terjadi kekeliruan tanpa pengendalian intern, berarti risiko

bawaannya tinggi. Faktor pengendalian intern tidak diperhitungkan

dalam menetapkan inherent risk (risiko bawaan) karena dalam model

risiko audit hal itu akan diperhitungkan tersendiri sebagai risiko

pengendalian. Hubungan antara risiko bawaan (inherent risk) dengan

risiko penemuan (planned detection risk) serta rencana pengumpulan

bukti adalah bahwa inherent risk sifatnya berbanding terbalik dengan

planned detection risk rendah, maka planned detection risk tinggi

dan bukti yang harus dikumpulkan pun sedikit.

4). Control Risk (Risiko Pengendalian) : Adalah ukuran penetapan

auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam

segmen audit yang melampaui batas toleransi yang tidak terdeteksi

atau tercegah oleh struktur pengendalian intern klien. Risiko

pengendalian (control risk) mengandung unsur:


47

a) Apakah struktur pengendalian intern klien cukup efektif untuk

mendeteksi atau mencegah kekeliruan.

b) Keinginan auditor untuk membuat penetapan tersebut di bawah

nilai maksimum (100%) dalam rencana audit. Misalnya: auditor

menyimpulkan bahwa struktur pengendalian intern yang ada

sama sekali tidak efektif dalam mencegah atau mendeteksi

kekeliruan.

5). Ad hominem di mana yang diserang adalah orangnya dan bukan

mengarahkan pada masalahnya. Saat ini terjadi, pengkoreksian bisa

dilakukan dengan mengembalikan hubungan kembali pada masalah

6) Mengindahkan pertanyaan di mana alasan yang diberikan tidak

memiliki hubungan dengan masalah yang sedang didiskusikan.

koreksi dapat dilakukan dengan tetap memfokuskan terhadap

masalah yang didiskusikan.

7) Nonsequitur di mana kesimpulan yang diambil (bantahan) tidak

berdasarkan premis.

2.1.3.4 jenis-jenis kecurangan dalam laporan keuangan

Kecurangan laporan keuangan sering juga dikenal dengan istilah

kecurangan manajemen. Hal ini disebabkan karena secara umum kecurangan ini

dilakukan oleh pihak manajemen, kadang kala tanpa sepengetahuan para

karyawan. Manajemen berada pada posisi yang dapat membuat keputusan

akuntansi dan pelaporan tanpa sepengetahuan para karyawan. Sedangkan

menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) kecurangan laporan


48

keuangan merupakan salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau

pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan

keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan

seperti sebagai berikut :

1. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen

pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan

keuangan.

2. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan

peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan.

3. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan

jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

Adapun klasifikasi tindakan yang meliputi kecurangan laporan keuangan adalah

sebagai berikut :

 Pertama, sengaja distorsi laporan keuangan sebagai alat untuk bertindak

curang dengan mengecoh pemakai atau kelompoknya tentang hasil usaha

perusahaan. Dalam hal ini yang menerima keuntungan langsung adalah

pihak perusahaan atau pelaku kecurangan. Adapun tujuan khusus dari

tindakan ini adalah :

a) Mendapatkan kredit, modal jangka panjang, atau tambahan modal investasi

berdasarkan informasi keuangan yang di distorsi atau dihapus.

b) Menyembuyikan kinerja tidak baik dari perusahaan.


49

c) Menghapus hutang pajak.

d) Manipulasi harga saham.

e) Menyembunyikan kinerja tidak baik oleh manajemen.

 Kedua, sengaja distorsi laporan keuangan untuk penyamaran tindakan

kecurangan. dalam hal ini yang diuntungkan tetap pihak perusahaan atau

pelaku kecurangan. adapun tujuan khusus dari tindakan ini adalah:

a) Menyembunyikan penjualan fiktif atau harta milik dipalsukan.

b) Menyembunyikan pembayaran yang tidak benar.

c) Menyembunyikan tindakan penyelewangan dana atau harta.

Istilah lain yang tidak kalah populernya berkenaan dengan kecurangan laporan

keuangan yaitu Creative Accounting. Creative accounting bukan merupakan suatu

hal baru, dan untuk melakukannya membutuhkan biaya yang relative mahal.

Creative accounting ini dipicu oleh adanya tekanan bahwa badan usaha merasa

harus berada dalam posisi profit untuk menarik investor dan sumber daya. Tetapi

hal ini lebih mengarah pada penipuan atau kecurangan pada praktik akuntansi.

Apakah ini berarti bahwa creative accounting merupakan hal ilegal atau dapat

dibenarkan.

\2.1.3.5. Faktor-faktor kekeliruan


50

Fraud auditing atau audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan

mencegah kecurangan dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat

melakukan audit kecurangan terhadap pembukuan dan transaksi komersial

memerlukan gabungan dua keterampilan, yaitu sebagai auditor yang terlatih dan

kriminal investigator.

Sebelum kita bahas lebih lanjut ada baiknya kita bahas dulu mengenai

kecurangan itu sendiri. Kecurangan (fraud) perlu dibedakan dengan kesalahan

(Errors). Kesalahan dapat dideskripsikan sebagai ―Unintentional Mistakes‖

(kesalahan yang tidak di sengaja). Kesalahan dapat terjadi pada setiap tahapan

dalam pengelolaan transaksi terjadinya transaksi, dokumentasi, pencatatan dari

ayat-ayat jurnal, pencatatan debit kredit, pengikhtisaran proses dan hasil laporan

keuangan.

Kesalahan dapat dalam banyak bentuk matematis. Kritikal, atau dalam

aplikasi prinsip-prinsip akuntansi. Terdapat kesalahan jabatan atau kesalahan

karena penghilangan/kelalaian, atau kesalahan dalam interprestasi fakta.

―Commission‖ merupakan kesalahan prinsip (error of principle), seperti perlakuan

pengeluaran pendapatan sebagai pengeluaran modal. Sedangkan ―Omission‖

berarti bahwa suatu item tidak dimasukkan sehingga menyebabkan informasi

tidak benar.

Apabila suatu kesalahan adalah disengaja, maka kesalahan tersebut

merupakan kecurangan (fraudulent). Istilah ―Irregulary‖ merupakan kesalahan

penyajian keuangan yang disengaja atas informasi keuangan. Auditor terutama


51

tertarik pada pencegahan, deteksi, dan pengungkapan kesalahan-kesalahan karena

alasan berikut ;

a. Eksistensi kesalahan dapat menunjukan bagi auditor bahwa catatan

akuntansi dari kliennya tidak dapat dipercaya dan dengan demikian tidak

memadai sebagai suatu dasar untuk penyusunan laporan keuangan. Adanya

sejumlah besar kesalahan dapat mengakibatkan auditor menyimpulakan

bahwa catatan akuntansi yang tepat tidak dilakukan.

b. Apabila auditor ingin mempercayai pengendalian intern, ia harus

memastikan dan menilai pengendalian tersebut dan melakukan pengujian

ketaatan atas operasi. Apabila pengujian ketaatan menunjukan sejumlah

besar kesalahan, maka auditor tidak dapat mempercayai pengendalian intern.

c. Apabila kesalahan cukup material, kesalahan tersebut dapat mempengaruhi

kebenaran (truth) dan kewajaran (fairness) laporan tersebut. Istilah

kecurangan digunakan untuk berbagai perbuatan dosa yang termasuk :

d. Kecurangan yang melibatkan perlakuan penipuan untuk mendapatkan

keuntungan keuangan yang tidak adil atau ilegal.

e. Pernyataan salah yang disengaja dalam penghilangan suatu jumlah atau

pengungkapan dati catatan akuntansi atau laporan keuangan suatu entitas.

f. Pencurian (theft), apakah disertai dengan penyataan yang salah dari catatan

akuntansi atau laporan keuangan atau tidak.

2.1.3.3.1. Kompetensi dan Integritas Klien

Kaplan dan Reckers (1984) mengemukakan bahwa integritas klien tidak

berpengaruhsignifikan pada proses pengambilan keputusan auditor. Senada


52

dengan Kaplan dan Reckers (1984), Reckers dan Shultz (1993) juga

mengemukakan bahwa auditor tidak menjadi lebih berhati-hati ketika diketahui

adanya kecurangan yang potensial. Namun demikian, didalam literatur-literatur

auditing, standar auditing, dan harapan masyarakat menginginkan bahwa persepsi

auditor terhadap integritas klien seharusnya mempengaruhi tindakannya dalam

melaksanakan tugas.

Standar Auditing Seksi 316 (IAI,1994) secara spesifik menyatakan bahwa

integritas dan kompetensi klien (manajemen) seharusnya mempengaruhi penilaian

auditor terhadap tingkat risiko pengendalian. Berdasarkan Standar Auditing Seksi

316 tersebut, auditor harus menilai risiko audit dengan tingkat yang tinggi jika

integritas dan kompetensi klien rendah. Demikian sebaliknya auditor harus

menilai risiko audit dengan tingkat yang rendah jika integritas dan kompetensi

klien tinggi. Dalam melaksanakan tugasnya, auditor, bagaimanapun juga, tidak

memiliki data dan informasi yang lengkap, sehingga auditor hanya mampu untuk

memberikan tingkat kemungkinan terhadap estimasi kemungkinan munculnya

kecurangan (Joyce dan Biddle, 1981). Oleh karena itu, Pincus (1990), menyatakan

bahwa temuan auditor atas kecurangan periode sebelumnya merupakan faktor

signifikan dalam mendeteksi kecurangan.

2.1.3.3.2. Gaya Cognitive Auditor

Menurut Bernardi (1994), terdapat tiga gaya cognitive auditor yaitu (1)

sifat independen dan dependen, (2) moralitas, dan (3) locus of control. Sifat
53

Independen dan Dependen Independensi auditor bermakna bahwa auditor tidak

mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan

umum. Standar auditing mengharuskan auditor bersikap independen dalam

melaksanakan pekerjaannya. Dengan demikian sifat independensi auditor

mengimplikasikan bahwa auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan

siapapun, sebab bila tidak demikian, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis

yang dimilikinya, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru sangat

penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.

Untuk menjadi independen, auditor harus secara intelektual jujur. Untuk

diakui oleh pihak lain sebagai seorang yang independen, ia harus bebas dari setiap

kewajiban terhadap kliennya dan tidak mempunyai suatu kepentingan dengan

kliennya, apakah itu manajemen perusahaan maupun pemilik perusahaan. Sifat

independen dan dependen auditor, secara logis, merupakan variabel potensial

yang berhubungan dengan kemampuan untuk mendeteksi adanya kecurangan

(Pincus,1994). Sifat independensi yang dimiliki auditor merupakan sifat yang

penting dalam keberhasilan mendeteksi kecurangan, terutama pada lingkungan

informasi dan permasalahan yang kompleks (Bernardi, 1994). Moralitas Seorang

auditor harus peka terhadap permasalahan moralitas dan etika (Mautz dan Sharaf,

1961). Banyak kegagalan auditor untuk mendeteksi kecurangan disebabkan oleh

permasalahan moral dan etika auditor (Byington et al., 1990).

Standar Auditing mengharuskan auditor untuk peka terhadap tanda-tanda

atas munculnya risiko audit. Beberapa studi (Brabeck, 1984 Bebeu et al., 1985

Penemon dan Gabhart, 1990Trevino dan Youngblood, 1990 Shaub et al., 1993)
54

mengindikasikan bahwa auditor yang memiliki integritas moral tinggi akan lebih

sensitif dan peka terhadap permasalahan etika profesi. Rest (1986) menyatakan

bahwa masing-masing individu auditor memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda

terhadap permasalahan etika profesi.

Rest (1986), menyimpulkan bahwa seorang auditor, pertama kali, harus

mengenal lingkungan etika profesinya untuk kemudian baru dapat melakukan

evaluasi dampak situasi etis yang dilakukan oleh orang lain. Peningkatan

sensitivitas terhadap isu etika telah memotivasi beberapa penelitian dalam bidang

bisnis dan auditing. Trevino dan Youngblood (1990) menemukan bahwa

pengambilan keputusan etis berkorelasi dengan pengembangan moral (moral

development). Shaub et al. (1993) menemukan bahwa orientasi etika auditor

berhubungan dengan peningkatan sensitivitas terhadap isu-isu etika. Ponemon dan

Gabhart (1990) menyatakan bahwa pengembangan moral auditor dapat

mempengaruhi strategi dan efektivitas audit. Oleh karena itu, auditor yang

memiliki pengembangan moral tinggi akan lebih sensitif terhadap tanda-tanda

yang mengindikasikan adanya kecurangan.

2.1.3.3.3. Locus of Control

Locus of control mengacu pada keyakinan (believe) individu tentang

tingkatkendaliannya terhadap kejadian-kejadian yang muncul (Pincus, 1994).

Terdapat beberapa studi tentang hubungan antara locus of control terhadap

kesuksesan suatu usaha. DuCette dan Wolk (1973) menyatakan bahwa internal-

locus-of-control merupakan hal yang penting dalam pemrosesan informasi, dan


55

sangat bermanfaat digunakan untuk mengevaluasi data-data dan memecahkan

masalah.

2.1.3.3.4. Internal-locus-ofcontrol

Internal-locus-ofcontrol merupakan hal yang penting untuk suatu

pengambilan keputusan daln lingkungan kerja yang kompleks (Julian dan Katz,

1968). Oleh karena itu, auditor yang memiliki internal-locus-of-control yang

tinggi akan lebih besar kemungkinannya untuk dapat mendeteksi adanya

kecurangan yang terjadi.

2.1.3.4. Pentingnya pengetahuan tentang kekeliruan

Kebanyakan kesalahan dan penyelewengan (termasuk di dalamnya

kekeliruan) hanya dapat dideteksi dengan memeriksa catatan-catatan penting

secara detail, seperti: faktur, dokumen pengangkutan, dan dokumen lainnya

(Grovmann, 1995). Banyak kasus tentang kekeliruan kompleks yang tidak

terdeteksi oleh auditor (Wells, 1990). Ada kecenderungan pihak penyaji laporan

keuangan akan menyembunyikan kekeliruan dan ketidakberesan yang terjadi.

Banyak kekeliruan ditemukan secara tidak sengaja atau melalui pengaduan

(complain) dari pengguna laporan yang lain. Pengetahuan auditor dalam memori

sering digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan kerja. Pengetahuan

terdahulu tentang kekeliruan berguna untuk merencanakan probabilitas kondisi

kekeliruan (Nelson dkk., 1995). Dalam pengauditan, pengetahuan tentang

bagaimana bermacam-macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan


56

kekeliruan dalam laporan keuangan adalah penting untuk perencanaan secara

efektif (Christ, 1993). Seorang auditor yang memiliki banyak pengetahuan tentang

kekeliruan akan lebih ahli dalam melakukan tugas-tugas pemeriksaan, terutama

yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan. Ia akan lebih memiliki

pengetahuan tentang jenis-jenis kekeliruan yang berbeda, pelanggaran atas tujuan

pengendalian, dan departemen-departemen tempat kekeliruan terjadi.

2.1.3.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama dan Judul Variabel Dependen Variabel Independen Hasil
1. Ceacilia Sri Haryanti Auditor pengalaman - Pelatihan Hasil seorang auditor yang
(2013) lebih mampu meningkatkan memiliki banyak pengetahuan
―Pengaruh pengalaman dan menemukan item penegtahuan auditor tentang kekeliruan akan lebih
pelatiahn terhadap auditor tidak umum - pelatihan memliki ahli dalam melakukan tugas-
terhadap struktur fungsi edukatif tugas pemeriksanan, terutama
pengetahuan tentang - mendeteksi dan yang berhubungan dengan
kekeliruan auditor ― mencegah kecurangan pengungkapan kekeliruan. Ia
akan lebih memiliki
pengetahuan tentang jenis-
jenis kekeliruan yang
berbeda, pelanggaran atas
tujuan pengendalian, dan
departemen-departemen
tempat kekeliruan terjadi.
2. Lilik Subagiyo (2015) Tanggung jawab dan Kejadianya dimana Berdasarkan beberapa hasil
―Pengalama dan tanggung fungsi auditor dalam manajemen secara penelitian mengidentivikasi
jawab auditor sebagai dasar merencanakan sengaja mengeluarkan bahwa auditor yang
mendeteksi kekeliruan dan melaksanakan untuk informasi laporan yang mempunyai pengetahuan dan
kecurangan ― memperoleh secara material pengalaman dianggap lebih
keyakinan yang menyesatkan para berpotensi untuk dapat
memadai pemakain aksternal mendeteksi kekeliruan dan
ketidakberesan
3. Nyoman Adyani (2014) skeptisme skeptisme profesional Hasil keahlian
― Hubungan skeptisme professional auditor, auditor, independensi, Profesionalisme Terhadap
professional auditor independensi, dan dan pengalaman auditor Pencegahan dan Pendeteksian
independensi dan pengalaman auditor secara parsial Kecurangan Penyajian
pengalaman auditor terhadap variabel berpengaruh terhadap Laporan Keuangan‖.Hasil
pengetahuan mendeteksi dependen yaitu variabel dependen yaitu penelitiannya menunjukkna
kecurangan dan kekeliruan tanggungjawab tanggungjawab auditor bahwa pengalaman,
auditor dalam dalam mendeteksi independensi dan keahlian
mendeteksi kecurangan dan professional berpengaruh
kecurangan dan kekeliruan laporan terhadap pencegahan dan
kekeliruan laporan keuangan pendeteksian kecurangan.
keuangan. Hasil regresi menyatakan
bahwa independensi
57

berpengaruh signifikan
terhadap tanggungjawab
auditor.Auditor diharuskan
untuk selalu mempertahankan
sikap independensi dalam
melakukan audit, sehingga
opini yang diberikan oleh
audito tidak dianggap biasa
4. Erminta Riris Marito profesional dibidang Pengetahuan Seseorang yang profesional
(2014) auditing diharuskan Mendeteksi Kecurangan dibidang auditing diharuskan
―Hubungan skeptisme untuk selalu bersikap berhubungan terhadap untuk selalu bersikap
professional auditor ,situasi profesional dalam pertimbangan tingkat profesional dalam
auditor etika pengalaman melaksanakan materialitas dalam melaksanakan tugasnya
audit pengetahuan tugasnya dengan proses audit laporan dengan cermat dan seksama.
mendeteksi kekeliruan ― cermat dan seksama keuangan. Pernyataan ini didasarkan
pada standar umum ketiga
dari standar auditing yang
menyatakan dalam
pelaksanaan dan penyusunan
laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran
profesionalnya dengan cermat
dan seksama
5. Suzy Noviyanto (2013) sikap auditor yang Trust (kepercayaan), Hasil penelitian ini berusaha
― Skeptisme Profesional akan membawa pada fraud risk assessment untuk menjelaskan teori
auditor dalam mendeteksi tindakannya yang (penaksiran risiko disonansi kognitif dari
kecurangan dan kekeliruan selalu menanyakan kecurangan), dan tipe Festinger yang terjadi dalam
dan menaksir secara kepribadian. Definisi setting auditing yang dapat
kritis terhadap bukti trust (kepercayaan) mempengaruhi sikap
audit skeptisme profesional auditor.
Untuk itu dilakukan
pengujian empiris dengan
melihat pengaruh penaksiran
risiko kecurangan pada
auditor yang memiliki
berbagai tingkat kepercayaan
terhadap klien terhadap sikap
skeptisme profesional auditor.
Selain itu juga diuji apakah
tipe kepribadian auditor akan
mempengaruhi sikap
skeptismenya.

Sumber : diolah peneliti, 2017


2.2. Kerangka Pemikiran

2.2.1. Pengaruh Pengalaman Auditor terhadap kekeliruan

Perbedaan pengalaman yang dihubungkan dengan pengetahuan dapat

digunakan untuk mempengaruhi kinerja (Bonner, 1990). Hayes-Roth, dan

Hutchinson, dan Murphy dan Wright dalam Hartoko dkk. (1997) menyatakan

bahwa seseorang dengan pengalaman lebih pada suatu bidang tertentu mempunyai

lebih banyak item disimpan dalam ingatannya. Hal ini didukung pula dengan
58

penelitian Novita Friska Bayu Aji Kusumah (2012) yang menyatakan bahwa

auditor berpengalaman akan mengingat lebih banyak jenis item daripada item

yang sejenis, sedangkan auditor yang tidak berpengalaman lebih mengingat item

sejenis.

Ashton (2009), dalam penelitiannya tentang hubungan pengalaman dan

tingkat pengetahuan sebagai penentu keahlian audit menyimpulkan bahwa

perbedaan pengalaman auditor tidak bisa menjelaskan perbedaan tingkat

pengetahuan yang dimiliki oleh auditor tersebut. Auditor dengan tingkat

pengalaman yang sama dapat saja menunjukkan perbedaan yang besar dalam

tingkat pengetahuan yang dimiliki. Dihubungkan dengan pengalaman, hasil

penelitian Arleen Herawati (2013) yang didukung oleh penelitian Yulius Kurnia

Susanto (2013) menyatakan bahwa pengalaman seorang auditor berpengaruh pada

struktur pengetahuan auditor tentang jenis-jenis kekeliruan yang berbeda yang

diketahuinya dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perbedaan pengalaman

tidak berpengaruh terhadap jumlah pengetahuan tentang jenis-jenis kekeliruan

yang berbeda yang diketahuinya.

2.2.2. Pengaruh Pelatihan Auditor terhadap kekeliruan

Auditor memerlukan berbagai keterampilan dalam rangka meraih sukses,

kurikulum yang ada tidak cukup untuk membangun kesuksesan akuntan, masih

diperlukan pelatihan-pelatihan melalui kursus-kursus pendidikan profesional

lanjutan (Eynon dkk., 1994). Pelatihan adalah suatu kegiatan yang bertujuan

untuk meningkatkan kemampuan kerja peserta yang akhirnya akan menimbulkan

perubahan perilaku aspek-aspek kognitif, keterampilan dan sikap (Hamalik,


59

2010). Boner dan Walker (1994) menyatakan bahwa peningkatan pelatihan formal

sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus. Pelatihan yang

didapat dari program khusus tertentu mempunyai pengaruh yang lebih besar

dalam peningkatan keahlian daripada yang didapat dari program tradisional.

Kurikulum yang ada tidak cukup untuk membangun kesuksesan akuntan, untuk

itu diperlukan pelatihan melalui kursus-kursus pendidikan profesional, lanjutan

(Eynon dkk., 1994).

Dalam salah satu penelitian tentang pelatihan etika profesi menyimpulkan

bahwa pelatihan etika sangat diperlukan terutama bagi akuntan bebas yang

menyediakan jasa tidak semata-mata untuk kepentingan perusahaan tempat

mereka bekerja. Pelatihan bagi akuntan sangat diperlukan untuk meningkatkan

keahliannya, tidak hanya dalam bidang etika profesi saja namun juga dalam

bidang-bidang lain yang mendukung keahlian dan kinerja seorang akuntan.

2.3 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono (2012), dalam bukunya metode penelitian bisnis

meneybutkan hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam

bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan

baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta

empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat

dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum

jawaban yang empiris.


60

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka dapat dikemukakan hipotesis

penelitian sebagai berikut :

H1 : Pengalaman auditor berpengaruh terhadap kekeliruan pada Kantor

Akuntan Publik (KAP) di Bandung.

H2 : Pelatihan auditor berpengaruh terhadap kekeliruan pada Kantor Akuntan

Publik (KAP) di Bandung.

H3 : Pengalaman dan pelatihan auditor berpengaruh terhadap kekeliruan pada

kantor akuntan publik (KAP) di Bandung.

Anda mungkin juga menyukai