Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN POST


SECTIO CAESARIA ATAS INDIKASI POSTTERM DI RUANG
DAHLIA RSUD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:

Ismiatul Nurul Azmi, S.Kep.

NIM 232311101102

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN POST SECTIO
CAESARIA ATAS INDIKASI POSTTERM DI RUANG DAHLIA RSUD dr.
SOEBANDI JEMBER
Oleh: Ismiatul Nurul Azmi, S.Kep.

BAB 1. KONSEP NIFAS


1.1 Pengertian Nifas
Dalam bahasa latin, waktu tertentu setelah melahirkan anak disebur
puerperium yaitu kata puer yang artinya bayi dan parous yang artinya
melahirkan. Masa nifas merupakan suatu proses yang dimulai dari sejak plasenta
lahir dan berakhir dengan alat-alat bantu kandungan kembali pada keadaan
sebelum hami (Anggaraini, 2017). Masa nifas atau post partum adalah suatu
masa setelah persalinan selesai sampai dengan 6 minggu atau 42 hari. Masa nifas
dibagi menjadi 3 periode yaitu :
1. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
2. Puerperium intermedial yaitu kepulihan yang menyeluruh bagian alat genital.
3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan dapat sehat
secara sempurna terutama bila selama hami atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi.
1.2 Tahapan Masa Nifas
Masa nifas merupakan masa yang dibagi menjadi 3 tahapan menurut Bobak
(2012) yaitu :
1. Puerperium Early : Masa pemulihan dengan jangka waktu 0-24 jam post
partum yakni pada saat ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan.
2. Puerperium Intermedial : Masa pemulihan dalam jangka waktu 1-7 hari dengan
pemulihan yang menyeluruh dari organ-organ genetal kira-kira 6-8 minggu.
3. Remot Puerperium : masa pemulihan dalam jangka waktu 1-6 minggu post
partum yang diperlukan untuk dapat pulih dan sehat terutama pada ibu hami
dengan yang mempunyai komplikasi.
1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Perubahan pada masa nifas akan terjadi perubahan fisiologi yaitu :
1. Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan pada uterus merupakan suatu proses
kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil. Berdasarkan suherni dkk (2009)
tinggi fundus uterus dan berat uterus pada masa involusi sebegai berikut :
Involusi Tinggi Fundus Uterus Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Berdasarkan dewi (2013) proses involusi uterus adalah sebagai berikut :
a. Iskemia miometrium disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus
menerus.
b. Autolisis merupakan suatu proses penghancuran diri sendiri yang terjadi
di dalam otor uterus.
c. Efek oksitosin yang menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot
uterin sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan
berkurangnya suplai darah ke uterus.
2. Involusi tempat plasenta
Setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan maka akan terjadi konstriksi vaskuler
dan thrombosis. Setelah persalinan, tempat plasenta merupakan suatu tempat
permukaan kasar, tidak rata, dan kira-kira sebesar telapak tangan. Luka akan
mengecil pada akhir minggu ke 2 sebesar 3-4 cm dan pada akhir masa nifas 1-
2 cm
3. Serviks (mulut rahim)
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan 18 jam setelah post
partum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi padat dan kembali ke
bentuk semula.
4. Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi
basa dan lochea mempunyai bau yang amis meskipun tidak terlalu menyengat
dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Komposisi lochea adalah
jaringan endometrial, darah dan lifme. Lochea mengalami perubahan karena
proses involusi, tahap lochea yaitu:
a. Rubra (merah)
Lochea muncul pada hari pertama hingga hari ke tiga masa post partum.
Warnanya merah dan mengandung darah dari luka pada plasenta.
b. Sanguinolenta (merah kuning)
Lochea ini berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, pengeluaran
pada hari ketiga sampai kelima post partum.
c. Serosa (pink kecoklatan)
Lochea ini muncul pada hari kelima sampai kesembilan. Warnanya
kekuningan atau kecoklatan, terdiri atas sedikit darah dan lebih banyak
serum.
d. Alba (kuning-putih)
Terjadi pada 10-14 hari, warnanya lebih pucat, putih kekuningan, lebih
banyak mengandung leukosit, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan
yang mati.Lochea terus keluar sampai 3 minggu, bau normal seperti
menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri. Jumlah keluaran rata-rata 240-
270 ml.
e. Siklus menstruasi
Siklus mentruasi pada ibu menyusui dimulai 12-18 minggu post partum.
Menstruasi pada ibu post partum tergantung hormon prolaktin. Apabila ibu
tidak menyusui mentruasi mulai pada minggu 5-8 minggu.
f. Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam keadaan hamil mempunyai pembuluh-pembuluh darah yang besar,
tetapi karena setelah persalinan tidak diperlukan bagi peredaran darah
yang banyak, maka arteri tersebut harus mengecil lagi saat nifas.
g. Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut menjadi longgar karena teregang begitu
lama, tetapi biasanya pulih kembali dalam 6 minggu.
h. Nyeri setelah persalinan
Setelah persalinan uterus tetap berkontraksi dengan kuat pada interval
tertentu dan menimbulkan nyeri, yang mirip dengan pada masa persalinan
namul lebih rinan.
i. Laktasi
Keadaan payudara pada dua hari pertama nifas sama dengan keadaan
dalam masa kehamilan yang belum mengandung susu melainkan
colostrum. Colostrum adalah cairan kuning yang mengandung banyak
protein dan garam.
1.4 Adaptasi Psikologis Ibu
Berdasarkan Bobak (2012) banyak wanita merasa tertekan pada saat setelah
melahirkan. Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi yang harus
dijalani. Tanggung jawab menjadi seorang ibu semakin besar dengan lahirnya bayi
yang baru lahir. Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan ibu mengalami fase-
fase sebagai berikut:
1. Fase Taking in (0 – 2 hari) Fase ini merupakan periode ketergantungan yang
berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat
ini fokus perhatian pada diri sendiri. Gangguan fisiologis yang mungkin
dirasakan ibu pada fase ini:
a. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang
bayinya
b. Ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik, misalnya rasa mulas dan
payudara bengkak.
c. Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
d. Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayinya
dan cenderung melihat saja tanpa membantu.
2. Taking hold (hari 3 – minggu ke 5)
Fase taking hold adalah periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu merasa kawatir atas ketidakmampuannya dan rasa
tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Ibu memiliki perasaan yang sangat
sensitif sehingga mudah tersinggung dan gampang marah. Tugas sebagai
tenaga kesehatan adalah mengajarkan cara merawat bayi, cara menyusui yang
benar, cara merawat luka jahitan, mengajarkan senam nifas, memberikan
pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu.
3. Letting go (minggu ke 5 – 8)
Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat
menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya, serta kepercayaan dirinya sudah
meningkat. Pendidikan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan
bermanfaat bagi ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan
bayinya. Dukungan dari suami dan keluarga masih sangat diperlukan ibu.
Suami dan keluarga dapat membantu dalam merawat bayi, mengerjakan urusan
rumah tangga sehingga tidak terlalu terbebani.
1.5 Komplikasi
1. Perdarahan post partum (apabila kehilangan darah lebih dari 500 mL selama
24 jam pertama setelah kelahiran bayi).
2. Infeksi
a. Endometritis (radang edometrium)
b. Miometritis atau metritis (radang otot-otot uterus).
c. Perimetritis (rad ang peritoneum disekitar uterus).
d. Caked breast / bendungan asi (payudara mengalami distensi, menjadi keras
dan berbenjol-benjol).
e. Mastitis (Mamae membesar dan nyeri dan pada suatu tempat, kulit merah,
membengkak sedikit, dan nyeri pada perabaan. Jika tidak ada pengobatan
bisa terjadi abses).
f. Trombophlebitis (terbentuknya pembekuan darah dalam vena varicose
superficial yang menyebabkan stasis dan hiperkoagulasi pada kehamilan
dan nifas, yang ditandai dengan kemerahan atau nyeri.)
g. Luka perineum (Ditandai dengan : nyeri local, disuria, temperatur naik
38,3 °C, nadi < 100x/ menit, edema, peradangan dan kemerahan pada tepi,
pus atau nanah warna kehijauan, luka kecoklatan atau lembab, lukanya
meluas)
3. Gangguan psikologis
a. Depresi post partum
b. Post partum Blues
c. Post partum Psikosa
4. Gangguan involusi uterus
1.6 Penatalaksanaan
1. Observasi ketat 2 jam post partum (adanya komplikasi perdarahan)
2. 6-8 jam pasca persalinan : istirahat dan tidur tenang, usahakan miring kanan
kiri
3. Hari ke- 1-2 : memberikan KIE kebersihan diri, cara menyusui yang benar dan
perawatan payudara, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas,
pemberian informasi tentang senam nifas.
4. Hari ke- 2 : mulai latihan duduk
5. Hari ke- 3 : diperkenankan latihan berdiri dan berjalan
BAB 2. KONSEP DASAR SECTIO CAESAREA (SC)
2.1 Pengertian Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2011).
2.2 Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim.
Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya
jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta
previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio
caesarea dilakukan pada placenta previa walaupun anak sudah mati.
2.3 Etilogi
Berdasarkan Manuaba (2012) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah
ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor
sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai
berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan
kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban
pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36
minggu. Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung. Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetric
berkaitan dengan penyulit kelahiran premature dan terjadinya infeksi
khoriokarsinoma sampai sepsis, yang meningkatkaan morbiditas dan
mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Penatalaksanaan sectio
cesaria pada pasien yang mengalami KPD bila ketuban pecah kurang dari 5
jam dan skor pelvik kurang dari 5.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang
atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong
kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki
(Saifuddin, 2010).
7. Kelainan Letak lintang
Letak Lintang ialah jika letak anak di dalam rahim sedemikian rupa hingga
paksi tubuh anak melintang terhadap paksi rahim. Sesungguhnya letak lintang
sejati (paksi tubuh anak tegak lurus pada paksi rahim dan menjadikan sudut
90o) jarang sekali terjadi. (Eni Nur Rahmawati, 2011) Pada letak Lintang, bahu
biasanya berada diatas pintu atas panggul sedangkan kepala terletak pada salah
satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain. Pada keadaan ini, janin
biasa berada pada presentase bahu/ akromion. (Icesmi Sukarni, 2013).
2.4 Jenis-jenis Sectio Cesaria
1. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah :
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh
lebih sempurna.
2. Sectio caesaria klasik atau section cecaria korporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang
agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk
melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen atas uterus.
3. Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya
injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi
pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4. Section cacaria hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat
2.5 Penatalaksanaan Medis Post SC
Berdasarkan Manuaba (2012) penatalaksanaan pasien post SC sebagai berikut
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang
biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian
dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan
transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
5. Pemberian Obat -obatan
a. Antibiotik : cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
2) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c. Obat-obatan lain : untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum
penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
d. Perawatan luka : kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila
basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
e. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
2.6 Komplikasi
1. Infeksi Puerperali
2. Perdarahan
3. Luka kandung kemih
4. Embolisme paru – paru
5. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada
dinding uteru
BAB 3. KONSEP POSTTERM
3.1 Kasus
Masalah utama: Posterm
3.2 Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Kehamilan postterm merupakan kehamilan dengan waktu yang memanjang
melebihi akhir minggu 42 gestasi, atau 294 hari dari hari pertama periode
menstruasi terakhir. Pada umumnya kehamilan akan berlangsung antara 38-42
minggu dan ini merupakan periode persalinan normal (Sinaga, 2020). Kehamilan
postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan
lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, post date/pos datisme atau
pascamaturitas adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari)
atau lebih, dihitung dari haid terakhir (HPHT) dengan siklus haidrata-rata 28 hari
(Nurhidayati dkk., 2019).
Menurut Ratnawati dan Yusnawati, kehamilan postterm mempunyai resiko
lebih tinggi dari kehamilan aterm, terutama terhadap kematian perinatal
(antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium
dan asfiksia, kematian janin akibat persalinan postterm terjadi pada 30% sebelum
persalinan, 55% dalam persalinan, dan 15% pascanatal (Riska dkk., 2019).
b. Etiologi
Menurut Sastrawinata dalam Arianti dkk. (2020), ada beberapa hal yang
mempengaruhi kejadian postterm antara lain:
1. Faktor potensial adanya hormon adrenokortikotropik (ACTH) pada fetus atau
defisiensi enzim sulfatase plasenta. Kelainan sistem saraf pusat pada janin
sangat berperan, misalnya ada keadaan anensefal.
2. Semua faktor yang mengganggu mulainya persalinan baik faktor ibu, plasenta
maupun anak. Kehamilan terlama adalah 1 tahun 24 hari yang terjadi pada
keadaan anensefal.
Sedangkan menurut Wahid dalam Arianti dkk. (2020), kehamilan postterm
juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Usia Dimana ibu hamil pada usia muda kurang dari 20 tahun dari segi biologis
perkembangan alat – alat reproduksinya belum sempurna sedangkan ibu hamil
pada usia lebih dari 35 tahun segi biologis perkembangan alat – alat
reproduksinya sudah mengalami kemunduran yang dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi yang abnormal diantaranya adalah kehamilan dan
persalinan dengan serotinus.
2. Faktor psikologis Faktor psikologis yaitu stres dialami ibu hamil yang dapat
mempengaruhi perkembangan janin seperti cacat bawaan, stress juga dapat
menyebabkan kerentanan tidak timbulnya his, selain kurangnya air ketuban
karena penurunan hormone progesterone
3. Paritas Dimana pada multipara sering dijumpai kehamilan serotinus karena ibu
hamil dengan paritas lebih dari 3, memiliki uterus yang sudah sering meregang
sehingga uterus menjadi longgar dan menyebabkan kepala tidak cepat masuk
ke pintu atas panggul, sehingga kepala tidak menekan fleksus frankenhauser
yang bisa menimbulkan his rangsangan untuk terjadinya kontraksi.
4. Tingkat Pengetahuan Ibu Dimana pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku
didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebutkan bersifat lama (long
lastin).
c. Patofisiologi
Serviks yang akan mengalami persalinan normal secara bertahap akan
melunak, menipis, mudah berdilatasi, dan bergerak ke arah anterior mendekati
waktu persalinan. Serviks pada wanita multipara lebih cepat matang dibandingkan
nulipara, dan pemahaman mengenai paritas penting dalam menentukan saat yang
tepat untuk melakukan pemeriksaan serviks pada kehamilan lanjut. Kehamilan
lewat waktu yang disebabkan karena faktor hormonal, kurangnya produksi
oksitosin akan menghambat kontraksi otot uterus secara alami dan adekuat,
sehingga mengurangi respons serviks untuk menipis dan membuka. Akibatnya
kehamilan bertahan lebih lama dan tidak ada kecenderungan untuk persalinan
pervaginam. Pada kehamilan aterm (normal) progesteron turun dan oksitosin naik
kemudian terjadi kontraksi uterus, penipisan dan pembukaan serviks. Sedangkan
pada persalinan pervaginam serotinus (patologis) progesteron tidak turun,
oksitosin tidak naik, tidak ada kontraksi uterus, tidak ada penipisan dan pembukaan
sehingga tidak ada tanda-tanda persalinan (Nurhikmawati, 2018).
d. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala klinis pada kehamilan postmatur dikenal sebagai sindrom klinis
yang spesifik disebut sindrom postmatur. Sindrom postmatur meliputi difungsi
plasenta (penuaan plasenta) dan oligohidramanion yang dapat menimbulkan gawat
janin dan ibu (Armini dkk., 2016). Menurut Saifuddin dalam Arianti dkk. (2020),
kehamilan dapat di nyatakan sebagai kehamilan lewat waktu bila di dapat 3 atau 4
kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:
1. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamian positif
2. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama dengan doppler
3. Telah lewat 24 minggu sejak di rasakan gerakan janin pertama
4. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop
Leannec.
Menurut Swastawinata, serotinitas atau postdatism adalah istilah yang
menggambarkan sindrom dismaturitas yang dapat terjadi pada kehamilan
serotinus. Keadaan ini terjadi pada 30% kehamilan serotunus dan 3% kehamilan
aterm. Tanda- tanda serotinus sebagai berikut (Nurhikmawati, 2018):
1. Menghilangkan lemak subkutan
2. Kulit kering, keriput, atau retak- retak
3. Pewarnaan meconium pada kulit
4. Umbilicus dan seealaput ketuban
5. Kuku dan rambut panjang
6. Bayi malas
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
postterm antara lain (Armini dkk., 2016):
1. Tes tanpa tekanan (non stress test). Bila memperoleh hasil non reaktif maka
dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh hasil reaktif maka nilai
spesifisitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar janin baik. Bila
ditemukan hasil tes tekanan yang positif, meskipun sensitifitas relatif rendah
tetapi telah dibuktikan berhubungan dengan keadaan postmature
2. Gerakan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal ratarata
7 kali/20 menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal rata-rata 10
kali/20 menit), dapat juga ditentukan dengan USG
3. Penilaian banyaknya air ketuban secara kualitatif dengan USG (normal >1
cm/bidang) memberikan gambaran banyaknya air ketuban, bila ternyata
oligohidramnion maka kemungkinan telah terjadi kehamilan lewat waktu.
4. Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih mungkin
keadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit dan mengandung
mekonium akan mengalami risiko 33% asfiksia.
f. Ppenatalaksanaan
Menurut Armini dkk. (2016), setelah diagnosa kehamilan postmatur telah benar-
benar ditegakkan, maka tindakan yang harus dilakukan meliputi:
1. Monitor kondisi janin selama antenatal secara berkala setiap kunjungan ANC
setelah kehamilan melebihi 40 minggu untuk mendeteksi adanya kondisi
distress janin
2. Contraction stress test merupakan tindakan pemberian oksitosin yang diberikan
secara intravena untuk merangsang kontraksi pada ibu. Tes ini juga berfungsi
untuk mengetahui keadaan janin dalam rahim ketika ibu mengalami kontraksi.
3. Profil biofisik janin untuk melihat gerakan, tonus otot, pernafasan janin selama
di dalam rahim serta untuk mengevaluasi jumlah cairan ketuban dalam janin.
4. Induksi persalinan, dilakukan apabila ada indikasi distress janin. Induksi dapat
dilakukan dengan pemberian obat-obatan kimiawi untuk merangsang
persalinan atau dengan sectio caesaria.
g. Komplikasi
Menurut Armini dkk. (2016), komplikasi dari kehamilan postterm antara lain:
2. Pada ibu Persalinan postmatur dapat menyebabkan distosia karena kontraksi
uterus tidak terkoordinir, janin besar, molding kepala kurang, sehingga sering
dijumpai partus lama, kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu, perdarahan
post partum yag mengakibatkan meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas
3. Pada janin Fungsi plasenta terhadap janin mencapai puncaknya pada kehamilan
28 minggu kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu, hal ini dapat
dibuktikan dengan penurunan kadar estriol, kadar plasenta dan estrogen.
Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin
dengan risiko tiga kali. Akibat dari proses penuaan plasenta maka pasokan
makanan dan oksigen akan menurun disamping dengan adanya spasme arteri
spiralis. Janin akan mengalami pertumbuhan terhambat dan penurunan berat
dalam hal ini dapat disebut dismatur. Sirkulasi utero plasenter akan berkurang
50% menjadi 250 mm/menit. Kematian janin akibat kehamilan serotinus terjadi
pada 30 % sebelum persalinan, 50% dalam persalinan dan 15% dalam
postnatal. Penyebab utama kematian perinatal adalah hipoksia dan aspirasi
mekonium.
Bayi masuk
ke perin
(terpisah
dari ibu) APGAR <7

Bayi Sectio Caesarea Insisi dinding abdomen


Menyusui
Tidak APGAR ≥7
Efektif
Respon pengeluaran
histamin dan
Adaptasi prostaglandin
Bayi dan Adaptasi
fisiologis psikologis
ibu di rawat
gabung
Nyeri Akut

Perawatan luka post Rasa kekhawatiran


Menyusui sectio caesarea pada bayi yang baru
Efektif, dilahirkan
Persiapan
Menjadi
Orang Tua
Ansietas Menyusui Tidak
Intoleransi Risiko Infeksi Efektif
Aktivitas
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Asuhan keperawatan pada ibu bersalin dibagi ke dalam empat kala. Asuhan
keperawatan meliputi pengkajian, perencanaan keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan (Karjatin, 2016).
1. Pengkajian Kala I
b. Keluhan
Anda kaji alasan klien datang ke rumah sakit. Alasannya dapat berupa
keluar darah bercampur lendir (bloody show), keluar air–air dari kemaluan
(air ketuban), nyeri pada daerah pinggang menjalar ke perut/kontraksi
(mulas), nyeri makin sering dan teratur.
c. Pengkajian riwayat obstetric
Kaji kembali HPHT, taksiran persalinan, usia kehamilan sekarang. Kaji
riwayat kehamilan masa lalu, jenis persalinan lalu, penolong persalinan
lalu, kondisi bayi saat lahir. Kaji riwayat nifas lalu, masalah setelah
melahirkan, pemberian ASI dan kontrasepsi.
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, kesadaran, tanda–tanda vital (TTV) meliputi tekanan
darah, nadi, suhu, respirasi, tinggi badan, dan berat badan.
2) Kaji tanda–tanda in partu seperti keluar darah campur lendir, sejak
kapan dirasakan kontraksi dengan intensitas dan frekuensi yang
meningkat, waktu keluarnya cairan dari kemaluan, jernih atau keruh,
warna, dan jumlahnya.
3) Kaji TFU, Leopold I, II, II, dan IV (lihat kembali modul 2 atau
pedoman praktikum pemeriksaan fisik ibu hamil).
4) Kaji kontraksi uterus ibu. Lakukan pemeriksaan dalam untuk
mengetahui derajat dilatasi (pembukaan) dan pendataran serviks,
apakah selaput ketuban masih utuh atau tidak, posisi bagian terendah
janin.
5) Auskultasi DJJ.
2. Pangkajian Kala II
a. Periksa TTV (TD, nadi, suhu, respirasi), tanda–tanda persalinan kala II
dimulai sejak pukul, evaluasi terhadap tanda–tanda persalinan kala II
(dorongan meneran, tekanan ke anus, perineum menonjol, dan vulva
membuka).
b. Periksa kemajuan persalinan VT (status portio, pembukaan serviks, status
selaput amnion, warna air ketuban, penurunan presentasi ke rongga
panggul, kontraksi meliputi intensitas, durasi frekuensi, relaksasi).
c. DJJ, vesika urinaria (penuh/ kosong).
d. respon perilaku (tingkat kecemasan, skala nyeri, kelelahan, keinginan
mengedan, sikap ibu saat masuk kala II, intensitas nyeri).
Nilai skor APGAR dinilai pada menit pertama kelahiran dan diulang pada
menit kelima yang meliputi:
A (appearance/warna kulit),
P (Pulse/denyut jantung),
G (Grimace/respon refleks),
A (Activity/tonus otot),
R (respiration/pernapasan).
Nilai kelima variabel tersebut dijumlahkan.
Interpretasi hasil yang diperoleh:
a. Bila jumlah skor antar 7–10 pada menit pertama, bayi dianggap normal.
b. Bila jumlah skor antara 4–6 pada menit pertama, bayi memerlukan tindakan
medis segera seperti pengisapan lendir dengan suction atau pemberian
oksigen untuk membantu bernafas.
3. KalaIII
a. Kaji TTV (TD, nadi, pernafasan, nadi),
b. kaji waktu pengeluaran plasenta,
c. kondisi selaput amnion,
d. kotiledon lengkap atau tidak.
e. Kaji kontraksi/HIS,
f. kaji perilaku terhadap nyeri,
g. skala nyeri,
h. tingkat kelelahan,
i. keinginan untuk bonding attachment,
j. Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
4. Kala IV
Pengkajian kala IV, dikaji selama 2 jam setelah plasenta lahir. Pada satu jam
pertama, ibu dimonitoring setiap 15 menit sekali, dan jam kedua ibu dimonitoring
setiap 30 menit. Adapun yang dimonitoring adalah, tekanan darah, nadi, kontraksi,
kondisi vesika urinaria, jumlah perdarahan per vagina, intake cairan.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Masalah keperawatan yang mungkin muncul berdasarkan SDKI antara lain
(PPNI, 2016):
1. Pada ibu
a. Perfusi perifer tidak efektif b.dpenurunan konsentrasi Hb dan penurunan
aliran arteri /vena
b. Risiko pendarahan d.d komplikasi pasca partum
c. Risiko syok d.d kekurangan vilme cairan
d. Ansietas b.d krisis situasional
2. Pada janin
a. Pola nafas tidak efektif b.d depresi pusat pernafasan
b. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
c. Risiko infeksi d.d efek prosedur infasif

3.3 Rencana Tindakan


1. Pada ibu
Diagnose (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Tranfusi darah (I.02089)
efektif (D.0009) b.d perawatan selama ….. Observasi
penurunan konsentrasi jam perfusi perifer 1. Identifikasi rencana transfusi
hemoglobin (L.02011) meningkat 2. Monitor tanda-tanda vital
dengan kriteria hasil: sebelum, selama, dan setelah
a. Warna kulit pucat tranfusi
menurun 3. Monitor reaksi
b. Akral membaik transfusilakukan pengecekan
c. Pengisian kapiler ganda pada label darah
membaik Terapeutik
1. Lakukan pengecekan ganda
pada label darah
2. Pasang akses intravena, jika
belum terpasang
3. Beriakan NaCl 0,9% 50-100
ml sebelum transfuse
dilakukan
4. Atur kecepatan transfuse sesuai
prosuk darah 10-15 ml/KgBB
dalam 2 jam-4jam
5. Hentikan transfuse bila terjadi
reaksi tranfusi

Risiko pendarahan Setelah dilakukan


Pemantauan Respirasi (I.01014)
(D.0012) perawatan selama….. Observasi
Tingkat pendarahan 1. Monitor frekuensi, irama,
(L.01003) menurun kedalaman danupaya nafas
dengan kriteria hasil :
2. Monitor pola nafas
1. Pendarahan vagina (bradipnea, takipnea,
menurun hiperventilasi, kussmaul,
cheyne-stokes, biot, ataksik)
2. Pendarahan pasca 3. Monitor saturasi oksigen
operasi menurun
4. Monitor nilai analisa gas
darah (AGD)
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan
respirasisesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

Manajemen jalan napas


(I.01011)
Observasi
1. Monitor bunyi napas
tambahan
Terapeutik
1. Berikan posisi semi fowler
atau fowler
2. Berikan oksigen, jika perlu
Kolaborasi
1. Pemberian bronkodilator, jika
perlu
Risiko syok (D.0039) Setelah dilakukan Pencegahan syok (I.02068)
perawatan selama ….. Observasi
jam tingkat syok 1. Monitor kardiopulmonal
(L.03002) menurun 2. Monitor status
dengan kriteria hasil: oksigenasi
1. Kekuatan nadi 3. Monitor status cairan
meningkat 4. Monitor tingkat
2. Tingkat kesadaran kesadaran
meningkat Terapeutik
3. Saturasi oksigen 5. Berikan oksigen untuk
meningkat mempertahankan
4. Tekanan darah saturasi >94%
sistolik/distolik 6. Pasang jalur IV
membaik 7. Pasang kateter urine
Edukasi
8. Jelaskan
penyebab/faktor risiko
syok
9. Jelaskan tandan dan
gejala syok
10. Anjurkan
memperbanyak asupan
cairan oral
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian
IV
12. Kolaborasi pemberian
tranfusi darah
13. Kolaorasi pemberian
antiinflamasi
Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan Terapi relaksasi (I.09326)
perawatan selama ….. Observasi
jam tingkat ansietas 1. Identifikasi penurunan tingkat
(L.09093) menurun energy, ketidakmampuan
dengan kriteria hasil berkonsentrasi atau gejala lain
a. Perilaku yang mengganggu
gelisah kemampuan kognitif
menurun 2. Identifikasi teknik relaksasi
b. Perilaku tegang yang pernah tektif digunakan
menurun 3. Periksa ketegangan otot, nadi,
c. Tekanann dar tekanan darah dan suhu
menurun sebelum dan sesudah latihan
d. Pola tidur 4. Monitor respon terhadap
membaik terapi relaksasi
Terapeutik
5. Ciptakan lingkungan tenang
dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dansuhu ruang
nyaman
6. Gunakan pakaian longgak
7. Gunakan nada lembutdengan
irama yang lambat dan
berirama
8. Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgesic / tindakan medis
lain
Edukasi
9. Anjurkan mengambil posisi
yang nyaman
10. Anjurkan rilek dan merasakan
sensasi relaksasi.
11. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi

2. Pada janin
Diagnose (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Manajemen jalan nafas
(D.0005) b.d imaturitas perawatan selama….. Observasi
neurologis d.d Pola nafas (L.01004) 1. Monitor pola napas
dipsnea,penggunaan otot membaik dengan kriteria 2. Monitor bunyi napas
bantu pernapasan hasil: tambahan
a. Ventilasi semenit 3. Monitor sputum
meningkat Terapeutik
b. Dispnea menurun 1. Pertahankan kepatenan
c. Pernapasan cuping jalan napas
hidung meningkat 2. Posisikan semi fowler
atau fowler
3. Berikan oksigen
Kolaborasi
5. Kolaborasi pemberian
bronkodilatator,
mukolitik, dll. Jika
perlu
Nyeri akut (D.077) Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri
keperawatan selama
(I. 08238)
……… jam diharapkan
tingkat nyeri menurun Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri (L. 08066) karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri frekuensi, kualitas dan
menurun intensitas nyeri
2. Gelisah menurun
3. Kesulitan tidur 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respon nyeri
4. Nafsu makan non verbal
meningkat 4. Identidikasi faktor yang
5. Perilaku meningkat memberatkan dan
meringankan nyeri
5. Monitor keberhasilan
terapi komplementeryang
telah diberikan
Terapeutik
1. Berikan teknik non-
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan
yang memberatkan rasa
nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicunyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan menggunakan
analgetik secaratepat
Kolaborasi
Pemberikan analgetik, jika
perlu
Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.
asuhan keperawatan 3x24 14539)
jam diharapkan Tingkat Observasi
Infeksi (L.14137)
menurun dengan kriteria Monitor tanda dan gejala
hasil: infeksi local dansistemik
1. Kebersihan tangan
Terapeutik
meningkat
2. Kebersihan badan
1. Batasi jumlah
meningkat pengunjung
3. Nafsu makan 2. Cuci tangan sebelum
meningkat dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
3. Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
beresikotinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci
tanagan dengan ebnar
3. Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka operasi
4. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan dannutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Arianti, N. M. D. P., T. Sutriyani, Dan N. Daramita. 2020. Hubungan Usia Ibu


Dan Paritas Dengan Kejadian Kehamilan Post Date di Rumah Sakit
Bhayangkara Hasta Bhata Batu. Universitas Tribhuwana Tunggadewi.
14(6):8–15.
Armini, N. K. A., E. Yunitasari, M. Triharini, T. Kusumaningrum, R. Pradanie,
dan A. A. Nastiti. 2016. Buku Ajar Keperawatan Maternitas 2. Surabaya:
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Karjatin, A. 2016. Keperawatan Maternitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kurniarum, A. 2016. Asuhan Kebidanan Persalinan Dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Nurhidayati, T., B. Astyandini, dan S. Setiasih. 2019. Identifikasi Penanganan
Kehamilan Serotinus di RSUD Dr. H Soewondo Kendal. Midwifery Care
Journal. 1(1):10–18.
Nurhikmawati, E. 2018. Gambaran Kejadian Komplikasi Maternal Dan Neonatal
Akibat Kehamilan Serotinus di RSUD Majalaya Kabupaten Bandung Tahun
2017. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bhakti Kencana.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. D. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
PPNI, T. P. D. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
Rahmah, N. 2018. Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny. L di Wilayah Kerja
Puskesmas Pekauman Kecamatan Banjarmasin Selatan Provinsi Kalimantan
Selatan Tahun 2018. Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
Riska, E., A. M. Al-Kautsar, Dan A. S. Rahama. 2019. Asuhan Kebidanan
Intranatal Pada Ny “N” Dengan Persalinan Postterm di RSUD Syekh Yusuf
Gowa 17 Juli 2018. Jurnal Midwifery. 1(2):68–78.
Sinaga, E. B. 2020. Hubungan Usia Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan Kehamilan
Serotinus Di Klinik Bidan Suriani Kisaran Tahun 2020. Jurnal Maternitas
Kebidanan. 5(1):82–88.

Anda mungkin juga menyukai