Nuryanti, S.Pd
Prodi: 180- Matematika
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan
masalah yang sangat penting karena menjadi kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan.
Hampir semua sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang diperoleh melalui
pendidikan. sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
yakni:“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Sejalan dengan itu para pendidik (guru) mempunyai andil besar untuk mewujudkan pendidikan
ke arah yang lebih baik. Untuk itu diharapkan guru dapat mengarahkan proses pembelajaran yang
efektif dengan model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran dan materi diajarkan, terutama
pada mata pelajaran matematika. Untuk mengatasi masalah ini, guru perlu melakukan tindakan yaitu
menggunakan model pembelajaran yang lebih mengutamakan keaktifan siswa salah satunya adalah
model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran ini belum pernah
dilakukan guru mata pelajaran matematika dikelas dikarenakan guru berpikir bagaimana Kompetensi
Dasar (KD) bisa dituntaskan dalam 1 semester tanpa berpikir hasil belajar yang diperoleh siswa.
dengan menggunakan model coperative learning ini diharapkan siswa dapat berperan aktif dalam
pembelajaran dan nantinya hasil belajar siswa meningkat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang
“Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas X Pada Materi Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel
Melalui Model Cooperative Learning Tipe Stad Di Sma Negeri 3 Wonosari Kabupaten Boalemo”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu:
”Bagaimana model pembelajaran cooperative learning tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas X pada materi sistem persamaan linear tiga variabel di SMA Negeri 3 Wonosari Kabupaten
Boalemo?”
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, dengan penerapan model pembelajaran Cooperative learning tipe STAD ini di
harapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas X pada materi sistem
persamaan linear tiga variabel di SMA Negeri 3 Wonosari, Boalemo.
2. Bagi guru, dengan diterapkannya model pembelajaran Cooperative learning tipe STAD ini,
dapat dijadikan salah satu bahan masukan dalam hal merancang model pembelajaran agar
dapat mencapai hasil yang optimal.
3. Bagi sekolah, untuk dapat dijadikan salah satu bahan masukan dalam rangka meningkatkan
dan memperbaiki kualitas pendidikan.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan berpijak dalam rangka
menindaklanjuti penelitian ini dengan ruang lingkup yang lebih luas.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki
pembelajaran di kelas. Penelitian ini merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk
berbagai kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran
di kelas. PTK dapat diartikan sebagai proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas
melalui refleksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan
berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari
perlakuan tersebut (wikipedia).
Tindakan adalah kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, sedangkan kelas
adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari
seorang guru (Arikunto, 2006). Adapun menurut Kunandar (2008), PTK merupakan penelitian
tindakan yang dilakukan oleh guru sekaligus sebagai peneliti di kelasnya atau bersama-sama
dengan orang lain (kolaborasi) dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan
tindakan secara kolaboratif dan partisipatif yang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan
kualitas proses pembelajaran di kelasnya melalui suatu tindakan tertentu dalam suatu siklus.
Menurut Hopkins, “PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan
oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan–tindakannya dalam
melaksanakan tugas dan memperdalam terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran.” Kemmis dan
MC. Taggart berpendapat: “PTK adalah studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri,
pengalaman kerja sendiri, yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan dengan sikap mawas
diri.”
Penulis dapat menyimpulkan bahwa PTK adalah penelitian yang dilakukan guru terhadap
siswanya dengan menggunakan tindakan dalam suatu siklus yang dapat meningkatkan kemampuan
belajar siswa.
Melaksanakan PTK, memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang, agar hasil yang
diperoleh dari PTK yang dilaksanakan mencapai hasil yang optimal. Menurut Zainal Aqib dkk,
merumuskan langkah – langkah PTK sebagai berikut :
Langkah pertama pelaksanaan PTK adalah melakukan perencanaan secara matang dan
teliti. Dalam perencanaan PTK, terdapat tiga dasar, yaitu identifikasi masalah, merumuskan
masalah, dan pemecahan masalah. Pada masing-masing kegiatan, terdapat sub-sub kegiatan yang
sebaiknya dilaksanakan untuk menunjang sempurnanya tahap perencanaan. Dalam perencanaan
PTK, terdapat tiga dasar, yakni :
1) Identifikasi masalah
(a) Masalah Harus Rill, masalah yang diangkat adalah masalah yang dapat dilihat,
dirasakan, dan didengar secara langsung oleh guru.
(b) Masalah Harus Problematik
Banyak masalah di sekolah, tetapi, tidak semua masalah layak diangkat dalam PTK.
Hanya permasalahan yang problematiklah yang layak diangkat dalam PTK.
Permasalahan yang bersifat problematik adalah permasalahan yang bisa dipecahkan oleh
guru, mendapat dukungan literatur yang memadai, dan ada kewenangan untuk
mengatasinya secara penuh.
(c) Manfaatnya Jelas
Hasil penelitian harus bermanfaat secara jelas. Tentu, hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan dalam mengidentifikasi atau mendiagnosis masalah. Hasil PTK harus dapat
dirasakan, bagaikan obat yang menyembuhkan. Untuk mendapatkan manfaat PTK yang
maksimal, harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Apa yang akan terjadi jika
masalah tersebut dibiarkan? Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut berhasil diatasi?
Dan, tujuan pendidikan mana yang akan gagal jika masalah tersebut tidak teratasi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menuntun para pelaku PTK untuk dapat
menemukan hasil atau “obat” yang mujarab.
(d) Masalah Harus Fleksibel
Masalah yang hendak diteliti harus bisa diatasi dengan mempertimbangkan kemampuan
peneliti, waktu, biaya, tenaga, sarana prasarana, dan lain sebagainya. Jadi, tidak setiap
masalah yang riil, problematik, dan bermanfaat secara jelas dapat diatasi dengan PTK.
Akar masalah tersebut harus digali sedalam-dalamnya sehingga ditemukan akar masalah
yang benar-benar menjadi penyebab utama terjadinya masalah. Akar masalah inilah yang
nantinya akan menjadi tolok ukur tindakan. Dengan menemukan akar masalah, maka sama
halnya dengan si peneliti telah menemukan separuh dari solusi masalah. Sebab, solusi masalah
sebenarnya merupakan kebalikan dari akar masalah.
3) Pemecahan masalah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akar masalah menjadi tumpuan bagi rencana
tindakan untuk mengatasi masalah. Rencana tindakan sebagai langkah mengatasi masalah
inilah yang disebut dengan ide orisinal peneliti. Tetapi, sebelum memutuskan tindakan apa
yang akan dikenakan kepada siswa, peneliti harus mengembangkan banyak alternatif sebagai
pengayaan tindakan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peneliti harus mempunyai
dukungan teori atau referensi rujukan atas tindakan yang akan dikenakan kepada siswa. Sebab,
PTK adalah kegiatan ilmiah sehingga tanpa adanya dukungan teori yang memadai, sebaik apa
pun tindakan guru, maka hal itu tidak akan dianggap sebagai perilaku ilmiah. Setelah
identifikasi masalah, menemukan akar masalah, merumuskan masalah, dan menemukan
alternatif tindakan sebagai solusi masalah, maka peneliti dapat membuat judul penelitian.
Tahap kedua dari PTK adalah pelaksanaan. Pelaksanaan adalah menerapkan apa yang telah
direncanakan pada tahap satu, yaitu bertindak di kelas. Hendaknya perlu diingat bahwa pada
tahap ini, tindakan harus sesuai dengan rencana, tetapi harus terkesan alamiah dan tidak
direkayasa. Hal ini akan berpengaruh dalam proses refleksi pada tahap empat nanti dan agar
hasilnya dapat disinkronkan dengan maksud semula.
Tahap ketiga dalam PTK adalah pengamatan (observing). Prof. Supardi menyatakan bahwa
observasi yang dimaksud pada tahap III adalah pengumpulan data. Dengan kata lain, observasi
adalah alat untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran. Pada langkah
ini, peneliti harus menguraikan jenis data yang dikumpulkan, cara mengumpulkan, dan alat atau
instrumen pengumpulan data (angket/wawancara/observasi, dan lain-lain).
Jika PTK dilakukan secara kolaboratif, maka pengamatan harus dilakukan oleh kolaborator,
bukan guru yang sedang melakukan tindakan. Walaupun demikian, antara tindakan (dilakukan
oleh guru) dan pengamatan (dilakukan oleh kolaborator), keduanya harus berlangsung dalam
satu waktu dan satu tempat atau kelas. Inilah sebabnya, mengapa Suharsimi mengatakan kurang
tepat jika pengamatan disebut sebagai tahap ketiga. Sebab, antara tahap kedua dan tahap ketiga
itu berlangsung secara bersamaan. Walaupun demikian, tidak ada salahnya kita menyebut
“pengamatan” sebagai tahap ketiga dalam PTK. Hanya saja, sebutan ini hanya untuk
membedakan antara tindakan dan pengamatan, bukan menunjukkan suatu urutan.
Ketika guru sedang melakukan tindakan di kelas, secara otomatis seluruh perhatiannya
terpusat pada reaksi siswa dan tindakan selanjutnya yang akan diterapkan. Atas dasar ini, tidak
mungkin guru mengamati tindakannya sendiri. Di sinilah diperlukan seorang pengamat yang
siap merekam setiap peristiwa berkaitan dengan tindakan guru. Sambil merekam peristiwa yang
terjadi, pengamat sebaiknya juga membuat catatan-catatan kecil agar memudahkan dalam
menganalisis data.
d) Tahap 4 : Refleksi
Tahap keempat atau terakhir dalam PTK adalah refleksi (reflecting). Refleksi adalah
kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang telah dilakukan. Refleksi juga sering disebut
dengan istilah "memantul.” Dalam hal ini, peneliti seolah memantulkan pengalamannya ke
cermin, sehingga tampak jelas penglihatannya, baik kelemahan dan kekurangannya.
Jika penelitian dilakukan secara individu, maka kegiatan refleksi lebih tepat disebut sebagai
evaluasi diri. Evaluasi diri adalah kegiatan untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Ia
harus jujur terhadap dirinya sendiri dalam mengakui kelemahan dan kelebihannya. Dalam hal ini,
guru dan peneliti juga harus mengakui sisi-sisi mana yang telah sesuai dan sisi mana harus
diperbaiki. Refleksi atau evaluasi diri baru bisa dilakukan ketika pelaksanaan tindakan telah
selesai dilakukan. Refleksi akan lebih efektif jika antara guru yang melakukan tindakan
berhadapan langsung atau diskusi dengan pengamat atau kolabolator. Tetapi, jika PTK dilakukan
secara sendirian, maka refleksi yang paling efektif adalah berdialog dengan diri sendiri untuk
mengetahui sisi-sisi pembelajaran yang harus dipertahankan dan sisi-sisi lain yang harus
diperbaiki.
Siklus adalah putaran dari suatu rangkaian kegiatan, mulai dari perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, hingga pada evaluasi. Dalam hal ini, yang dimaksud siklus-siklus dalam PTK
adalah satu putaran penuh tahapan-tahapan dalam PTK, sebagaimana disebutkan di atas. Jadi,
satu siklus adalah kegiatan penelitian yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan,
dan refleksi.
Jika dalam PTK terdapat lebih dari satu siklus, maka siklus kedua dan seterusnya
merupakan putaran ulang dari tahapan sebelumnya. Hanya saja, antara siklus pertama, kedua,
dan selanjutnya selalu mengalami perbaikan setahap demi setahap. Jadi, antara siklus yang
satu dengan yang lain tidak akan pernah sama, meskipun melalui tahap-tahap yang sama.
Setiap akhir refleksi selalu menjadi babak baru bagi siklus berikutnya. Artinya, guru
dan pengamat harus selalu diskusi setiap akhir refleksi untuk merencanakan tindakan baru atau
memasuki siklus kedua. Dengan proses atau tahapan yang sama, guru dapat melanjutkan ke
siklus-siklus berikutnya, jika memang sampai pada siklus tertentu ia belum merasa puas atau
belum berhasil mendongkrak prestasi belajar siswa. Demikian seterusnya, sehingga semakin
banyak siklus yang dilalui, semakin baik hasil yang diperoleh. Hasilnya adalah, kepuasan guru
dan kepuasan siswa atas prestasi belajarnya.
Benyamin Bloom yang secara garis besar membagi klasifikasi hasil belajar menjadi tiga
ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris
a. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu
pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek
pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif
tingkat tinggi.
b. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban
atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak.
Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar,
kemampuan persektual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretatif.
Setelah memahami pengertian dari hasil belajar seperti yang telah diuraikan di atas,
selanjutnya kita juga perlu memahami tentang pengertian matematika. Istilah matematika berasal
dari kata Yunani mathein atau manthenein yang artinya mempelajari. Mungkin juga kata tersebut
erat hubungannya dengan kata Sansekerta medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan,
atau intelegensi.11 Matematika secara umum didefinisikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari
pola dan struktur, perubahan dan ruang. Secara informal, dapat pula di sebut sebagai ilmu bilangan
dan angka. Dalam pandangan formalis, matematika adalah penelaahan struktur abstrak yang
didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika simbolik dan notasi.
Menurut Galileo Galilei, seorang ahli matematika dan astronomi dari Italia, Alam semesta
itu bagaikan sebuah buku raksasa yang hanya dapat dibaca kalau orang mengerti bahasanya dan
akrab dengan lambang dan huruf yang digunakan di dalamnya, dan bahasa alam tersebut tidak lain
adalah matematika.
Merujuk pada pengertian di atas, maka matematika dapat dipandang sebagai bahasa, karena
dalam matematika terdapat sekumpulan lambang atau simbol dan kata (baik kata dalam bentuk
lambang, misalnya “ ” yang melambangkan kata “lebih besar atau sama dengan”, maupun kata
yang diadopsi dari bahasa biasa dari kata “fungsi”, yang dalam matematika menyatakan suatu
hubungan dengan aturan tertentu, antara unsur-unsur dalam dua buah himpunan).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa adalah
kemampuan yang dimiliki siswa terhadap pelajaran matematika yang diperoleh dari pengalaman-
pengalaman dan latihan-latihan selama proses belajar mengajar yang menggambarkan penguasaan
siswa terhadap materi pelajaran matematika yang dapat dilihat dari nilai matematika dan
kemampuannnya dalam memecahkan masalah-masalah matematika.
a. Faktor Internal
1) Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmaniah dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran
organ-organ tubuh dan sendisendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa
dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing
kepala berat dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang
dipelajarinyapun kurang atau tidak berbekas. Kelelahan fisik/fisiologis terjadi karena di dalam
badan manusia terdapat substansi yang meracun. Pada kesalahan mental terutama adanya
kelesuan dan kebosanan sehingga berakibat hilangnya minat dan dorongan untuk berprestasi.
2) Aspek Psikologis
a) Inteligensi siswa
Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk
mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.
Perkembangan inteligensi remaja ditinjau dari sudut perkembangan kognitif Jean
Piaget, telah mencapai tahap operasi formal. Tahap ini merupakan tahap perkembangan
terakhir menurut Piaget yang terjadi pada usia 11 atau 12 tahun ke atas. Pada tahap ini
remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan
proposisiproposisi dan hipotesis, serta dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang
dia amati saat itu.
Inteligensi pada manusia dipengaruhi faktor pembawaan yaitu inteligensi bekerja
dalam suatu situasi yang berlain-lainan tingkat kesukarannya. Sulit tidaknya mengatasi
persoalan ditentukan pula oleh pembawaan.
b) Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan
sebagainya, baik secara positif atau negatif
c) Bakat Siswa
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai
prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Menurut
William B. Michael bakat adalah kemampuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu tugas
dengan baik, meskipun latihan yang dialaminya sangat minimal, ataupun tidak pernah
mengalami latihan
d) Minat siswa
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat pada dasarnya adalah penerimaan
suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat
hubungan tersebut, semakin besar minatnya. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar,
karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak
akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Bahan pelajaran
yang menarik siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan, karena minat menambah
kegiatan belajar.
e) Motivasi Siswa
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun
hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Motivasi dapat dibedakan menjadi
dua macam yaitu : 1) Motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah
tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Sebagai contoh, seorang
siswa yang dengan sungguh-sungguh mempelajari mata pelajaran di sekolah karena ingin
memiliki pengetahuan yang dipelajarinya2) Motivasi ekstrinsik.Motivasi ekstrinsik
adalah tenaga pendorong yang di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi
penyertanya. Sebagai contoh, siswa belajar sungguh-sungguh bukan disebabkan ingin
memiliki pengetahuan yang dipelajarinya tetapi didorong oleh keinginan naik kelas atau
mendapat ijazah. Naik kelas dan ijazah adalah penyerta dari keberhasilan belajar.
B. Nyatakan salah satu variabel dalam bentuk dua variabel lain. Contohnya, variabel x
dinyatakan dalam variabel y atau z.
C. Substitusikan nilai variabel yang diperoleh pada langkah kedua ke persamaan lain yang
ada di SPLTV, sehingga diperoleh sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
5) Metode Eliminasi
Metode eliminasi adalah metode penyelesaian sistem persamaan linear dengan cara
menghilangkan salah satu variabel pada dua buah persamaan. Metode ini dilakukan sampai
tersisa satu buah variabel. Metode eliminasi dapat digunakan pada semua sistem persamaan
linear tiga variabel. Tapi metode ini memerlukan langkah yang panjang karena tiap langkah
hanya dapat menghilangkan satu variabel. Diperlukan minimal 3 kali metode eliminasi untuk
menentukan himpunan penyelesaian SPLTV. Metode ini lebih mudah jika digabung dengan
metode substitusi.
Langkah-langkah penyelesaian menggunakan metode eliminasi adalah sebagai berikut.
1. Amati ketiga persamaan pada SPLTV. Jika ada dua persamaan yang nilai koefisiennya
sama pada variabel yang sama, kurangkan atau jumlahkan kedua persamaan agar variabel
tersebut berkoefisien 0.
2. Jika tidak ada variabel berkoefisien sama, kalikan kedua persamaan dengan bilangan yang
membuat koefisien suatu variabel pada kedua persamaan sama. Kurangkan atau
jumlahkan kedua persamaan agar variabel tersebut berkoefisien 0.
3. Ulangi langkah 2 untuk pasangan persamaan lain. Variabel yang dihilangkan pada
langkah ini harus sama dengan variabel yang dihilangkan pada langkah 2.
4. Setelah diperoleh dua persamaan baru pada langkah sebelumnya, tentukan himpunan
penyelesaian kedua persamaan menggunakan metode penyelesaian sistem persamaan
linear dua variabel (SPLDV).
5. Substitusikan nilai dua variabel yang diperoleh pada langkah ke-4 pada salah satu
persamaan SPLTV sehingga diperoleh nilai variabel ketiga.
Keterampilan kooperatif merupakan keterampilan khusus yang dibutuhkan saat ini dan dapat
dikembangkan melalui pembelajaran kooperataif. Arends (2008) mengatakan, model cooperative
learning dikembangkan untuk mencapai paling sedikit 3 (tiga) tujuan penting: prestasi akademis,
toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Arends
melanjutkan bahwa meskipun cooperative learning mencakup beragam tujuan sosial, tetapi juga
dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademis yang penting. Para
pendukungnya percaya bahwa struktur reward kooperatif model ini meningkatkan penghargaan siswa
pada pembelajaran akademik dan mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi. Pembelajaran
kooperatif menekankan pada peran aktif siswa. Keaktifan siswa dalam kegiatan
pembelajaran akan membawa suatu perasaan baru bagi siswa yang akan merasa sangat
dihargai keberadaannya. Hal ini disebabkan siswa merasa terlibat di dalam memahami pengetahuan
dari materi yang dipelajarinya. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya
yang berinteraksi antarsesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu
masalah atau tugas. Dengan demikian, pembelajaran kooperatif menjadi suatu strategi pembelajaran
yang dapat memotivasi belajar siswa. Sintaksis model cooperative learning menurut Arends (2008)
terlihat pada Tabel 1.
E. Model Pembelajaran Cooperative learning tipe STAD
Model pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Salah satu model pembelajaran kooperatif yang
sering digunakan adalah Student Team Achievement Division (STAD). STAD merupakan model
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan pendekatan yang paling baik digunakan bagi guru
yang baru menerapkan pembelajaran kooperatif.
Tipe STAD dikembangkan oleh Slavin (2005), menurutnya proses pembelajaran kooperatif
tipe STAD dilaksanakan melalui 5 (lima) tahapan yang meliputi: 1) tahap penyajian materi; 2) tahap
kerja kelompok; 3) tahap tes individu; 4) tahap penghitungan skor perkembangan individu; dan 5)
tahap pemberian penghargaan kelompok.
Tahap penyajian materi, guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai
hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari. Kemudian
dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat
yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan disajikan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki. Mengenai teknik penyajian materi pelajaran dapat dilakukan secara
klasikal ataupun melalui audiovisual. Lamanya presentasi dan berapa kali harus dipresentasikan
bergantung pada kekomplekan materi yang akan dibahas.
Tahap Kerja Kelompok. Kelompok merupakan unsur yang paling penting dalam STAD.
Setiap anggota kelompok ditekankan melakukan yang terbaik untuk kelompok, dan kelompok pun
harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. Kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang
heterogen mewakili dari kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis. Dalam kerja kelompok setiap
siswa diberi lembar tugas berupa Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) sebagai bahan yang akan
dipelajari. Fungsi utama kerja kelompok adalah memastikan semua siswa saling berbagi tugas, saling
membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang
dibahas, dan lebih khusus lagi bahwa mempersiapkan anggotanya mampu menyelesaikan kuis dengan
baik. Di akhir kerja kelompok, hasil kerja kelompok satu lembar dikumpulkan kepada guru. Pada tahap
ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
Tahap Tes Individu (kuis): untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai,
diadakan tes secara individual, mengenai materi yang telah dibahas. Tes individual biasa diadakan pada
akhir pertemuan kedua dan ketiga, masingmasing selama 10 menit dengan maksud agar siswa dapat
menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama bekerja dalam kelompok. Dalam
mengerjakan kuis para siswa tidak dibenarkan untuk saling membantu. Setiap siswa ber-tanggung
jawab secara individual untuk memahami materi. Skor perolehan individu ini didata dan diarsipkan,
yang akan digunakan pada perhitungan perolehan skor kelompok.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD aktivitas belajar lebih banyak berpusat pada
siswa. Dalam penerapannya model kooperatif tipe STAD tidak hanya menginginkan kinerja akademik,
tetapi juga melatih siswa dalam mencapai tujuantujuan hubungan sosial yang pada akhirnya
berpengaruh pada prestasi akademik siswa.
Sintak model pembelajaran kooperatif tipe STAD
Seperti pada umumnya dari sebuah sistem, pasti ada sisi positif dan negatif. Begitu juga dengan
pembelajaran STAD ini. sisi kelebihan dan kekurangan pembelajaran ini berlandaskan pada Slavin
dalam Hartati (1997:21) Yakni:
Sementara untuk keuntungan atau kelebihan jangka panjang yang bisa diperoleh dalam model
STAD adalah:
Jika guru lalai meminta siswa untuk selalu proaktif dan saling bekerja sama dalam grup ini
bisa menyebabkan grup bahkan kelas akan pasif.
Pastikan bahwa grup memiliki 4 hingga 5 orang karena bila kurang dari 4 maka akan ada
siswa yang bisa terabaikan dan bila lebih dari 5 maka siswa akan ada yang menganggur.
Jika ketua grup belum mampu menanggulangi masalah yang timbul dalam grup secara solutif,
maka kerja grup akan tersendat.
Ada pula penjelasan lain dari kekurangan pembelajaran STAD, seperti yang dinukilkan Soewarso
(1998:23) yakni pembelajaran kooperatif bukanlah sebuah solusi instan yang memungkinkan siswa
untuk bisa belajar mandiri dan memecahkan masalah dalam grup kecil. Namun dalam grup kecil
juga bisa menimbulkan ketergantungan sehingga siswa yang malas akan bergantung pada yang
proaktif.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X IPA semester ganjil tahun pelajaran
2020/2021 dengan jumlah siswa 19 orang.
C. Desain penelitian
Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini menggunakan desain
yang terdiri dari dua siklus penelitian, siklus I diawali dengan perencanaan, tindakan, observasi,
dan refleksi. Jika pada siklus I ketuntasan hasil belajar siswa belum mencapai ketuntasan klasikal
maka akan dilaksanakan siklus II.
D. Pelaksanaan siklus
a) Siklus I
i. Tahap perencanaan
Sebagai langkah awal yaitu merumuskan masalah, membuat silabus, menyusun Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan dilaksanakan, membuat instrumen observasi guru
dalam mengajar, dan instrumen observasi aktivitas belajar siswa , merancang prosedur
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning tipe STAD yang
terdapat dalam Lembar Kerja Peserta didik (LKPD), dan membuat tugas siswa.
b) Siklus II
Siklus II dilakukan sebagai perbaikan dari pelaksanaan siklus I. Tahap Siklus II sama
dengan tahap yang dilakukan pada siklus I. Jika silkus II sudah sesuai yang diharapkan, maka
penelitian berhenti pada siklus II. Jika siklus II belum sesuai yang diharapkan maka akan
dilakukan siklus selanjutnya.
Pengumpulan data dilakukan selama pelaksanaan tindakan kelas pada siklus 1 dan siklus 2 ,
yang meliputi :
3). Penugasan.
Maka untuk menentukan berhasil tidaknya siswa dalam penguasaan materi dapat
ditentukan nilai minimal yaitu:
16.8
Nilai minimal siswa = ×10 0=70
24
Jadi, masing-masing siswa dikatakan berhasil jika tingkat capaian atau daya serap pada materi
paling sedikit 70% atau skor minimal 28 ataupun nilai minimal 70.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Siklus I
Hasil Pengamatan Kegiatan Guru Dalam Proses Pembelajaran Siklus 1
4. Menyajikan materi 3 B
Hasil pengamatan kegiatan guru dalam proses pembelajaran tersebut yang diamati dinilai 5
aspek diantaranya memperoleh nilai pengamatan dengan kriteria yang sangat baik (SB) dan 4
aspek lainnya memperoleh nilai pengamatan dengan kategori baik (B). Dan 4 aspek
memperoleh nilai pengamatan dengan kategori cukup (C).
Baik 4 30,78
Cukup 4 30,78
Kurang - -
Jumah 13
1. Kesiapan belajar 2 C
Dari 6 aspek yang diamati, 2 aspek diantaranya mencapai kriteria baik (B) dan aspek
mencapai kriteria cukup (C). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:
Sangat baik - -
Baik 2 33,33
Cukup 4 66,67
Kurang - -
Jumlah 6
Untuk mengukur tingkat daya serap siswa pada materi sistem persamaan linear tiga
variabel , maka diadakan penilaian tertulis dengan memberikan penugasan berbentuk essay
seperti sebanyak 1 nomor , penugasan pada siklus I terdiri atas 1 butir soal begitu juga untuk
siklus 2 jumlah soal essay sebanyak 1 nomor. dengan skor maksimum yang dapat dicapai siswa
adalah 24, serta rentang nilai 1 sampai dengan no 100. Data hasil belajar siswa dapat dilihat
pada tabel berikut
1 90 – 100 2 10,53 %
2 80 – 89 4 21,05 %
3 70 – 79 6 31, 58 %
4 50 – 69 5 26,32 %
5 ≤ 50 2 10,53 %
Data yang diperoleh dari hasil analisis yang tercantum dalam tabel di atas, terlihat bahwa:
Dari data yang ada menunjukkan bahwa dari 19 orang siswa yang dikenakan tindakan 12
orang (63%) memperoleh nilai hasil belajar lebih dari sama dengan 70.
Dari hasil belajar siswa pada siklus 1, maka perlu dilakukan siklus 2.
Siklus 2
Hasil Pengamatan Kegiatan Guru Dalam Proses Pembelajaran Siklus 2
4. Menyajikan materi 4 SB
Hasil pengamatan kegiatan guru dalam proses pembelajaran tersebut yang diamati dinilai 6
aspek diantaranya memperoleh nilai pengamatan dengan kriteria yang sangat baik (SB) dan 5
aspek lainnya memperoleh nilai pengamatan dengan kategori baik (B). Dan 2 aspek
memperoleh nilai pengamatan dengan kategori cukup (C).
Baik 6 46,15
Cukup - -
Kurang - -
Jumah 13
1. Kesiapan belajar 4 SB
Dari 6 aspek yang diamati, 1 aspek diantaranya mencapai kriteria sangat baik (SB), dan
5 aspek mencapai kriteria baik (B). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:
Baik 5 83,33
Cukup - -
Kurang - -
Jumlah 6
Untuk mengukur tingkat daya serap siswa pada materi sistem persamaan linear tiga
variabel , maka diadakan penilaian tertulis dengan memberikan penugasan berbentuk essay
seperti sebanyak 1 nomor , penugasan pada siklus 1 terdiri atas 1 butir soal begitu juga untuk
siklus 2 jumlah soal essay sebanyak 1 nomor. dengan skor maksimum yang dapat dicapai siswa
adalah 24, serta rentang nilai 1 sampai dengan no 100. Data hasil belajar siswa dapat dilihat
pada tabel berikut
1 90 – 100 5 26,3 %
2 80 – 89 6 31,6 %
3 70 – 79 8 42,1 %
4 50 – 69 - -
5 ≤ 50 - -
Data yang diperoleh dari hasil analisis yang tercantum dalam tabel di atas, terlihat bahwa:
5 orang siswa mendapat nilai 90 – 100
Dari data yang ada menunjukkan bahwa dari 19 orang siswa, semua sudah mencapai
ketuntasan atau mendapatkan nilai lebih ≤ 70.
B. Kesimpulan
Pada penelitin ini sudah dilakukan sebanyak 2 siklus. Pada silkus II sudah sesuai yang
diharapkan, yaitu seluruh siswa sudah mencapai nilai minimum. maka penelitian berhenti pada
siklus II.
DAFTAR PUSTAKA
Marsi, dkk. 2014. PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN
KEMAMPUAN ABSTRAKSI TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA.
Singaraja:Universitas Pendidikan Ganesha
Rasmini Ni Luh, 2010. Pengaruh Model Pembelajaran kooperatif STAD (Tipe Student Teams
Achievement Divisions) dan Kemampuan Abstraksi Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
SMP Wisata Sanur Denpasar (Tesis) ( tidak diterbitkan). Singaraja UNDIKSA.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI.
Jakarta: Rineka Cipta.
Akbar, Hairul. 2010. Peningkatan hasil belajar matematika melalui metode pembelajaran komidi Putar
diskusi pada siswa kelas X SMA negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Goa. Makassar: Fakultas
tarbiyah dan keguruan universitas negeri (UIN) alauddin
Narty. 2016. Pengertian PTK (Penelitian tindakan Kelas) dan langkah-langkah melaksanakan PTK.
Giunggah dilink: https://koreshinfo.blogspot.com/2016/02/pengertian-ptk-penelitian-
tindakan.html
Pintar, Kelas. 2020. Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel dan Metode Penyelesaiannya. Diunggah dilink:
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/sistem-persamaan-linear-tiga-variabel-dan-metode-
penyelesaiannya-3129/
Rajuita, Novia. 2018. Peningkatan hasil belajar matematika siswa melalui model pembelajaran think-
Talk-write (TTW) di kelas X SMAN 1 Pasie Raja. Aceh selatan: fakultas ilmu tarbiyah dan
keguruan universitas islam negeri ar-raniry
Sahaja, Irwan. 2016. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Cooperative Learning Tipe Stad/Pbl).
Diunggah dilink: https://irwansahaja.blogspot.com/2016/04/model-pembelajaran-berbasis-
masalah.html
Saragih, Sahat dan Rahmiyana. 2013. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sma/Ma
Di Kecamatan Simpang Ulim Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad. Medan:
Unimed