1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Diterbitkan Oleh
Nas Media Pustaka
Tahun 2022
PANDUAN LATIHAN FISIK PADA PASIEN DENGAN TB PARU
Dewi Sartiya Rini, M.Kep., Sp.Kep.MB
Copyright © Dewi Sartiya Rini 2022
All rights reserved
Layout : Rizaldi Salam
Desain Cover : Muh Taufik
Image Cover : Freepik.com
Cetakan Pertama, Juni 2022
viii + 46 hlm; 14.5 x 20.5 cm
ISBN 978-623-351-442-2
Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka
PT. Nas Media Indonesia
Anggota IKAPI
No. 018/SSL/2018
Jl. Batua Raya No. 3, Makassar 90233
Jl. Kenari Indah No. 2, Yogyakarta 55584
Telp. 0812-1313-3800
redaksi@nasmedia.id
www.nasmedia.id
Instagram : @nasmedia.id
Fanspage : nasmedia.id
Youtube: nasmedia entertainment
Dicetak oleh Percetakan CV. Nas Media Pustaka
Isi di luar tanggung jawab percetakan
PRAKATA
Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya
sehingga buku pertama saya yang berjudul “Panduan Aktivitas Fisik pada
Pasien Dengan TB Paru” dapat diselesaikan berkat dukungan, bimbingan dan
arahan dari banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan buku
ini. Tak lupa pula penulis menitipkan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan hingga buku ini dapat diselesaikan
walaupun masih jauh dari kesempurnaan.
Besar harapan penulis, buku ini dapat menjadi salah satu referensi bagi
dunia keperawatan terkait kebutuhan dasar manusia yang merupakan fokus
pemberian asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan
sistem pernapasan.
Akhir kata, buku ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis
berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi perbaikan buku ini.
Penulis
Dewi Sartiya Rini
daftar isi
PRAKATA v
DAFTAR ISI vi
BAB I.
PERKEMBANGAN TUBERKULOSIS PARU DI DUNIA 1
BAB II.
KONSEP TEORI TUBERKULOSIS PARU 7
BAB III.
PROSES KEPERAWATAN TB PARU 12
1. Pengkajian Keperawatan 12
2. Diagnosa keperawatan 12
3. Intervensi keperawatan 13
BAB IV.
KONSEP KAPASITAS FUNGSIONAL PASIEN TB PARU 15
BAB V.
KONSEP KUALITAS HIDUP PASIEN TB PARU 18
BAB VI.
KONSEP LATIHAN FISIK 24
BAB VII.
PROSEDUR LATIHAN FISIK 29
DAFTAR PUSTAKA 40
PERKEMBANGAN TUBERKULOSIS
PARU DI DUNIA
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksius yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dari tahun 1990 sampai saat
ini. Laporan World Health Organization (WHO) 2013 diketahui angka
kejadian terjangkit penyakit Tuberculosis (TB) paru tertinggi dunia adalah
negara India yaitu sebanyak 2-2,4 juta diikuti dengan negara Cina pada urutan
kedua mencapai 0,9-1,1 juta, Afrika Selatan pada urutan ketiga mencapai 0,4-
0,6 juta sementara Indonesia menduduki urutan keempat mencapai 0,4-0,5
juta. Prevalensi TB paru bervariasi di berbagai negara namun terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit TB paru meningkat jumlahnya
mulai dari tahun 1990 mencapai 7,5 juta dan terus mengalami peningkatan
yang signifikan setiap tahunnya.
Peningkatan jumlah penderita TB paru salah satunya disebabkan oleh
lingkungan. Penularan TB paru yang terjadi melalui udara tentunya akan
sangat cepat menular pada kondisi lingkungan yang tidak sehat. Kondisi
lingkungan rumah yang lembap, gelap, tidak memiliki ventilasi dan ruangan
yang terlalu padat penghuninya sangat berisiko bagi seseorang terjangkit
penyakit TB paru apalagi jika disertai dengan kondisi tubuh yang lemah dan
kurang gizi (1–3). Studi yang dilakukan di kota Kendari juga membuktikan
bahwa kepadatan hunian rumah, ventilasi rumah, jenis lantai, jenis dinding
rumah, dan kontak serumah dengan anggota keluarga yang menderita TB
memiliki risiko sebesar 18,96 kali terjangkit TB paru (4)
Individu yang rentan akan menghirup basil tuberkulosis dan menjadi
terinfeksi. Individu yang terinfeksi TB untuk pertama kalinya dikatakan
sebagai infeksi primer. Proses infeksi ini akan membentuk nekrosis kaseosa
yang memproduksi rongga seperti keju yang seiring waktu akan mencair dan
keluar ke saluran trakeobronkial sehingga terjadi akumulasi sekret di jalan
napas dan menstimulasi pasien untuk batuk(5,6). Adanya sekret di jalan napas
menyebabkan suplai oksigen dan kebutuhan oksigen tidak seimbang,
akibatnya pasien akan merasa sesak napas dan cepat lelah. Hal inilah yang
menyebabkan penderita TB paru mengalami penurunan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Umumnya keluhan malas beraktivitas atau
menurunnya kapasitas dalam bekerja dirasakan oleh pasien TB paru yang
berada pada kelompok usia produktif.
Riset yang dilakukan di Australia memberikan bukti bahwa mayoritas
pasien TB paru berada dalam kelompok usia dewasa, yaitu kelompok usia
produktif yang mampu bekerja dan menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup (7). Hal serupa juga ditemukan di RSUD Kota
Kendari. Berdasarkan data tahun 2015 diketahui rata-rata pasien TB paru di
RSUD Kota Kendari antara usia 20-60 tahun. Kelompok usia produktif yang
tentunya sangat rentan mengalami penurunan kapasitas dalam bekerja akibat
gejala penyakitnya ataupun stigma sosial yang melekat padanya. Kemampuan
bekerja pada pasien TB paru mengalami penurunan ditandai mudah lelah dan
merasa kehilangan energi. Selain itu penerimaan masyarakat terhadap pasien
TB paru masih kurang sehingga mayoritas pasien TB paru menghindar dari
orang-orang terdekat karena merasa terisolasi oleh lingkungan dan ketakutan
jika penyakit mereka menular(8).
Riset yang dilakukan di Malaysia pada 350 responden TB paru juga
mengemukakan hal yang sama. Berdasarkan riset tersebut ditemukan bahwa
mayoritas responden mengeluhkan perubahan kapasitas fisiknya yaitu mudah
lelah, kekurangan energi, dan merasa lemah untuk berjalan. Hal inilah yang
menyebabkan responden lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
berbaring dibandingkan harus beraktivitas. Sehingga dalam riset ini dikatakan
kelelahan otot merupakan dimensi yang signifikan mempengaruhi kapasitas
fungsional pasien TB paru dalam melakukan aktivitas sehari-hari (9).
Penanganan standar dalam meningkatkan kapasitas fungsional dan
kualitas hidup adalah program rehabilitasi paru yang bertujuan untuk
mengontrol, mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas fungsional secara
optimal sehingga pasien dapat mandiri saat kembali ke masyarakat. Hal ini
telah dibuktikan oleh beberapa riset, salah satunya adalah riset yang
dilakukan Khotimah (2013) yang mencoba membandingkan efek latihan
pernapasan dan latihan endurance terhadap kualitas hidup pasien paru
obstruksi kronik di Yogyakarta. Studi tersebut menggunakan dua kelompok
perlakuan yaitu kelompok latihan pernapasan yang meliputi diafragma
breathing dan pursed lip breathing dan kelompok latihan endurance. Efek
yang dihasilkan setelah diberikan latihan pernapasan dan latihan endurance
adalah adanya perbedaan kualitas hidup antara kedua kelompok perlakuan.
Kelompok yang diberikan latihan endurance lebih signifikan mengalami
peningkatan kualitas hidup dibandingkan dengan kelompok yang diberikan
latihan pernapasan(10).
Latihan endurance atau ketahanan merupakan latihan fisik yang
dilakukan secara teratur dan terstruktur sehingga dapat memperbaiki efisiensi
dan kapasitas sistem transportasi oksigen. Efek latihan endurance yang
dilakukan selain terjadi pembesaran serabut otot juga terjadi pembesaran
mitokondria yang akan meningkatkan sumber energi kerja otot sehingga otot
tidak mudah lelah (10–12). Latihan yang terstruktur tidak hanya dapat
dilakukan di Rumah Sakit tapi juga dapat dilakukan di rumah atau home
based exercise yaitu suatu program rehabilitasi yang murah, aman, dan efektif
dalam meningkatkan toleransi latihan serta kualitas hidup.
Beberapa latihan endurance yang dapat dilakukan di rumah antara lain
berjalan kaki, senam, bersepeda dan joging. Namun dari keempat jenis latihan
tersebut, berjalan kaki merupakan aktivitas yang paling murah, aman dan
tidak membutuhkan keterampilan khusus. Secara lebih rinci jalan kaki
mempengaruhi lima komponen kebugaran yaitu dapat mengurangi 18 pon
berat badan selama satu tahun tanpa harus melakukan diet, meningkatkan
ketahanan pembuluh darah jantung dengan melakukan jalan kaki 2-3 kali
dalam seminggu, mempengaruhi otot untuk meregang sehingga terhindar dari
kejang otot, setiap berjalan kaki otot akan terlatih sehingga memungkinkan
memiliki ketahanan otot meskipun berjalan dalam jangka waktu lama selain
itu gerakan berjalan memanfaatkan seluruh otot tungkai untuk menopang
seluruh berat badan dan memungkinkan otot-otot akan menjadi lebih kuat
(13).
Beberapa riset telah membuktikan efek home based exercise khususnya
berjalan kaki terhadap kapasitas fisik dan kualitas hidup seseorang. Salah
satunya adalah riset yang dilakukan oleh Junaidi (2011). Riset tersebut
dilakukan pada 33 lansia yang diberikan intervensi berjalan kaki selama 30
menit. Hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan kapasitas fungsional
lansia ditandai dengan meningkatnya kecepatan berjalan pada jarak tempuh
yang telah ditentukan oleh peneliti. Sehingga dalam riset ini dikatakan latihan
jalan kaki menggunakan intensitas rendah pada 60-75% dari denyut jantung
maksimal bermanfaat dalam meningkatkan kesegaran jasmani(13).
Riset lain yang juga meneliti efek latihan fisik dikaitkan dengan kapasitas
fungsional dilakukan oleh Weinsten et al (2013). Riset tersebut mencoba
membandingkan efektivitas pemberian edukasi dan exercise training yaitu
berjalan kaki selama tiga minggu pada dua kelompok perlakuan. Hasil yang
diperoleh setelah pemberian intervensi selama tiga minggu adalah terjadi
peningkatan kapasitas fungsional pada kelompok yang diberikan intervensi
berjalan kaki. Rata-rata jarak tempuh berjalan mengalami peningkatan dengan
menggunakan tes uji berjalan 6 menit. Grunig et al (2011) juga
mengemukakan hal yang sama dalam risetnya. Berjalan kaki yang dilakukan
responden selama 15 minggu memberikan efek terhadap kemampuan
responden dalam beraktivitas ditandai dengan peningkatan jarak tempuh
responden dalam tes uji berjalan 6 menit. Peningkatan jarak tempuh setelah
rutin berjalan kaki selama 15 minggu menjadi bukti adanya pengaruh yang
signifikan latihan fisik secara terstruktur terhadap kapasitas fungsional.
Gibala (2006) dalam risetnya juga mencoba melihat pengaruh latihan
endurance yang dilakukan dalam waktu singkat yaitu dua minggu dengan
frekuensi setiap hari terhadap kapasitas fisik responden. Hasil yang diperoleh
setelah dilakukan latihan endurance yaitu joging dan berjalan kaki selama dua
minggu diperoleh hasil adanya penurunan waktu tempuh responden. Hal ini
disebabkan saat seseorang melakukan latihan 5- 7 hari secara teratur dapat
menurunkan katabolisme glikogen dan mengurangi akumulasi asam laktat
sehingga kelelahan otot berkurang(14–16).
Latihan endurance yang dilakukan di rumah tidak hanya signifikan
meningkatkan kapasitas fungsional tapi juga mampu meningkatkan kualitas
hidup seseorang. Hal ini dibuktikan oleh Smolis et al (2015) dalam risetnya
yang menyatakan bahwa responden yang diberikan latihan endurance di
rumah yaitu berjalan kaki secara terstruktur selama tiga bulan mengalami
peningkatan energi dalam beraktivitas dan juga penurunan nyeri yang
dirasakan. Sehingga mayoritas kelompok intervensi latihan fisik di rumah
dalam riset ini mengalami peningkatan kualitas hidup. Pelaksanaan latihan
fisik tentunya tidak terlepas dari peran tenaga kesehatan khususnya perawat
sebagai edukator, supervisor dan konselor yang efektif dalam pelaksanaan
latihan fisik. Riset yang dilakukan di Cina mengenai peran perawat dalam
pelaksanaan home based exercise, diperoleh hasil dengan manajemen yang
baik oleh perawat dalam pelaksanaan latihan fisik di rumah maka terjadi
peningkatan kemampuan beraktivitas sehari-hari dan berefek dalam
memperbaiki kapasitas kerjanya (17). Riset lain juga menyebutkan dengan
edukasi dan terapi fisik yang tepat maka perawat dapat membantu pasien
meningkatkan kapasitas fungsional dan rasa percaya diri saat kembali
menjalankan peran sosialnya (8).
Riset terkait kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien dengan
penyakit paru telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun, umumnya riset
yang meneliti pasien TB paru lebih mengarah pada pengaruh psikososial
terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidupnya. Belum banyak riset yang
khusus membahas latihan endurance pada pasien TB paru. Padahal kualitas
hidup dan kapasitas fungsional pasien TB paru tidak hanya dikaitkan dengan
stigma sosial yang ada di masyarakat akan tetapi juga dikaitkan dengan
ketidakmampuan klien untuk beraktivitas karena kelelahan atau kelemahan
dihubungkan dengan penurunan energinya. Oleh karena itu, perlu adanya
latihan fisik yang diberikan secara terstruktur pada pasien TB paru yang dapat
dilakukan di rumah (home based exercise training) yang aman, murah dan
tidak memerlukan keterampilan khusus.
BAB
I
3. Patofisiologi TB paru
Droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel keluar saat
berbicara, batuk, tertawa atau bersin yang dapat terhirup oleh orang yang
rentan (inang). Bakteri masuk melalui jalan napas hingga mencapai
alveoli. Sistem tubuh akan melalukan pertahanan dengan memfagositosis
bakteri. Limfosit akan menghancurkan tuberkel dan jaringan normal.
Basil yang masih hidup dan yang telah mati akan membentuk gumpalan
granulomas yang dikelilingi oleh makrofag sebagai dinding protektif.
Granulomas akan diubah menjadi jaringan fibrosa yang bagian
sentralnya disebut tuberkel Ghon. Proses degenerasi nekrotik
membentuk massa seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Seiring
waktu, material ini akan mencair dan keluar dalam saluran
trakeobronkial dan dapat dibatukkan keluar. Umumnya pasien TB Primer
dapat sembuh dalam beberapa bulan dengan membentuk jaringan parut
dan lesi kalsifikasi yang disebut kompleks Ghon. Lesi-lesi tersebut dapat
teraktivasi jika klien mengalami penurunan imunitas (5).
BAB
II
1. Pengkajian Keperawatan
Pasien TB paru ditandai dengan manifestasi klinis demam, anoreksia,
penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari, keletihan, batuk,
dan pembentukan sputum. Sehingga sangat penting dilakukan
pemeriksaan fisik, khususnya fungsi pernapasan yang lebih menyeluruh
meliputi pola pernapasan dan frekuensi pernapasan yang berubah, bunyi
napas dan penurunan vibrasi saat pasien dilakukan taktil fremitus. Pada
saat auskultasi didapatkan suara krekels ataupun wheezing. Selain itu
perlu juga dikaji kondisi umum pasien TB paru seperti usia, lama
terpapar dan penampilan umum. Kesiapan emosional pasien terkait
penyakitnya, pengetahuan tentang tuberkulosis dan pengobatannya juga
perlu dikaji (2,26).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan pada kebutuhan pasien yang
perlu dibantu. Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan dapat
mencakup (27) :
a. Kebersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkopasme
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi
e. Risiko infeksi dibuktikan dengan organisme purulen
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan didasarkan pada Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) yang berfokus pada beberapa hal yaitu (28):
Airway management
Manajemen jalan napas dilakukan dengan cara memberikan
posisi yang tepat dan memungkinkan pasien melakukan ventilasi
secara maksimal, fisioterapi dada yang tepat, dan mengajarkan
batuk efektif untuk dapat mengeluarkan dahak. Humidifier atau
masker wajah dengan kelembaban tinggi dapat membantu dalam
mengencerkan sekresi dan lakukan monitor status respirasi (29).
a. Terapi oksigen
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
pada pasien TB paru adalah memberikan terapi oksigen
dengan menggunakan nasal atau masker wajah,
membersihkan akumulasi sekret di jalan napas dan
pertahankan kepatenan jalan napas (26,29).
Manajemen energi
Pengaturan energi untuk mencegah kelelahan dan
mengoptimalkan fungsi tubuh dalam melakukan aktivitas.
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan terkait
dengan manajemen energi adalah (29):
1. Monitor adanya kelelahan yang dirasakan klien
2. Pilih intervensi kombinasi farmakologi dan non
farmakologi dalam mengurangi kelelahan
3. Dorong klien melakukan latihan aerobik yang dapat
ditoleransi
4. Dorong klien memilih aktivitas yang dapat meningkatkan
ketahanan
5. Bantu pasien melakukan latihan fisik secara teratur
(ambulasi, transfers) sesuai kebutuhan.
Terapi aktivitas
Terapi yang bertujuan meningkatkan frekuensi dan durasi
individu atau grup dalam melakukan aktivitas. Beberapa tindakan
keperawatan terkait dengan terapi aktivitas adalah (29):
1. Kaji kemampuan pasien dalam berpartisipasi dalam
aktivitas yang spesifik
2. Berikan aktivitas motorik dalam meredakan ketegangan
otot
3. Fasilitasi penggantian aktivitas bagi klien yang mengalami
keterbatasan energi atau pergerakan
4. Berikan kesempatan keluarga untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang sesuai
5. Bantu pasien melakukan latihan fisik secara teratur
(ambulasi, pemindahan dan perawatan diri) sesuai
kebutuhan
6. Dorong pelaksanaan aktivitas yang dapat mengurangi
kecemasan (berjalan, berenang, tenis meja, bola voli dan
game sederhana)
7. Monitor respons emosional, fisik, sosial dan spiritual
dalam melakukan aktivitas.
BAB
III
PROSES KEPERAWATAN TB PARU
KONSEP KAPASITAS FUNGSIONAL
PASIEN TB PARU
BAB
IV
1. Definisi kualitas hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai kehidupannya dalam
konteks kemampuan individu menjalankan perannya untuk mencapai
tujuan hidup. Kualitas hidup ditinjau dari segi kesehatan adalah nilai
yang diperoleh individu selama hidup dan biasanya akan mengalami
perubahan karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial
yang dipengaruhi oleh penyakit dan pengobatan yang diungkapkan
secara subjektif oleh yang bersangkutan (36,37). Kualitas hidup
didasarkan pada domain fisik, psikologis dan sosial kesehatan pada
setiap individu. Setiap domain dapat diukur dengan penilaian status
kesehatan dari perspektif subjek kesehatan (38).
BAB
V
KONSEP KUALITAS HIDUP PASIEN
TB PARU
a. Tahap persiapan
1. Pada tahapan ini, mengajarkan responden cara menghitung
denyut nadi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Posisikan tangan kiri dengan posisi menengadah
Letakkan tiga jari yaitu jari manis, jari tengah dan jari
telunjuk tangan kanan Anda pada pergelangan tangan
kiri (lakukan sebaliknya jika melakukan di tangan
kanan)
1. Pada saat Anda menderita sakit. Sakit apa saja termasuk demam, Anda
tidak boleh melakukan latihan berjalan
2. Pada saat Anda semalam kurang tidur maka kemampuan fisik akan
menurun sehingga latihan dapat diundur keesokan harinya
Lembar Ceklis Latihan Berjalan Kaki
Nama :
Alamat :
Denyut nadi target latihan : x/menit s.d x/ menit
Minggu ke ..... latihan
No Hal yang diukur
Tgl ..... Tgl....... Tgl ......
1. Denyut nadi setelah pemanasan
2. Denyut nadi setelah 5 menit
3. Denyut nadi setelah 15 menit
4. Denyut nadi setelah pendinginan
5. Keluhan yang dirasakan saat latihan
6. Lama latihan (menit)
a. Peralatan
1. Stopwatch atau jam tangan
2. Dua buah tanda berwarna hitam untuk menentukan jarak (30
meter)
3. Kursi yang dapat dipindahkan selama tes berlangsung
4. Sphygmomanometer dan stetoskop
5. Lembar observasi
6. Lap counter
b. Persiapan pasien
1. Kenakan baju yang nyaman pada responden
2. Gunakan alas kaki/sepatu yang nyaman untuk jalan
3. Obat-obatan yang biasa digunakan responden harus
diteruskan
4. Makanan ringan boleh dikonsumsi 10 menit sebelum tes
dilakukan
5. Hindari aktivitas yang berlebihan 2 jam sebelum latihan
c. Persiapan tempat
1. Tes hendaknya dilakukan di ruang tertutup, namun jika
kondisi cuaca baik boleh dilakukan di ruang terbuka
(outdoor). Lokasi yang digunakan panjang, lurus, datar
dengan permukaan yang keras
2. Panjang rute jalan 30 meter
d. Persiapan pengukuran
1. Pasien sebaiknya tidak melakukan pemanasan sebelum tes
berjalan 6 menit
2. Pasien harus diposisikan duduk istirahat di kursi dekat
dengan garis start selama 10 menit sebelum tes dilakukan,
pantau adanya kontraindikasi, ukur TTV responden
(frekuensi pernapasan, nadi, tekanan darah) dan pastikan
pasien menggunakan baju serta alas kaki yang tepat.
e. Prosedur keamanan tes 6 menit berjalan
1. Tes ini dilakukan di lokasi yang jika terjadi
kegawatdaruratan dapat diberikan respons pertolongan yang
cepat dan tepat.
2. Saluran telepon hendaknya tersedia untuk melakukan
panggilan darurat.
f. Prosedur tes 6 menit berjalan
1. Ajarkan responden bahwa tes ini adalah berjalan cepat sesuai
dengan kemampuan sejauh mungkin pada bidang datar yang
telah disediakan dan diberi tanda hitam pada kedua ujungnya
(jarak bidang datar yang telah diberi batas adalah 30 meter).
Responden akan berjalan bolak balik selama 6 menit dan
dapat memperlambat jalannya atau beristirahat jika
responden mengalami kelelahan atau sesak napas saat tes
berlangsung. Responden dapat mulai berjalan lagi setelah
istirahat dan perlu mengingatkan responden berjalan secepat
mungkin sesuai dengan kemampuan responden.
2. Pemeriksa memberikan contoh berjalan di kedua tanda, tidak
berlari atau lari kecil
3. Tanyakan kembali kesiapan responden untuk melakukan tes.
4. Posisikan pasien pada garis start dan berdirilah di samping
responden. Mulai tekan tombol timer saat responden mulai
berjalan
5. Fokuslah menghitung putaran yang telah dilakukan oleh
responden
6. Setelah 1 menit pertama, Anda mengatakan ke responden “
Anda sudah melakukan dengan baik, Anda masih punya 5
menit lagi”
7. Saat waktu menunjukkan sisa 4 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 4 menit lagi”
8. Saat waktu menunjukkan sisa 3 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 3 menit lagi”
9. Saat waktu menunjukkan sisa 2 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 2 menit lagi”
10. Saat waktu menunjukkan sisa 1 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 1 menit lagi”
11. Saat waktu menunjukkan kurang 15 detik dari 6 menit maka
Anda mengatakan ke responden” saya akan segera
mengatakan berhenti berjalan dan saya akan mendatangi
Anda”
12. Ketika timer berdering, katakan “berhenti” kemudian
berjalanlah menuju responden dan berikan tempat duduk
pada responden. Kemudian beri tanda pada tempat responden
berhenti.
Catatan penting:
g. Setelah pengukuran
1. Ukur frekuensi pernapasan, nadi dan TD responden setelah
tes
2. Catat jumlah putaran yang berhasil dilalui oleh responden
3. Catat jika ada jarak tambahan yang dilalui oleh responden
saat putaran terakhir
4. Berikan selamat pada responden atas usahanya dan tawarkan
minuman