Anda di halaman 1dari 50

Sanksi Pelanggaran Hak Cipta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
Ketentuan Pidana
Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).

Diterbitkan Oleh
Nas Media Pustaka
Tahun 2022
PANDUAN LATIHAN FISIK PADA PASIEN DENGAN TB PARU
Dewi Sartiya Rini, M.Kep., Sp.Kep.MB
Copyright © Dewi Sartiya Rini 2022
All rights reserved
Layout : Rizaldi Salam
Desain Cover : Muh Taufik
Image Cover : Freepik.com
Cetakan Pertama, Juni 2022
viii + 46 hlm; 14.5 x 20.5 cm
ISBN 978-623-351-442-2
Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka
PT. Nas Media Indonesia
Anggota IKAPI
No. 018/SSL/2018
Jl. Batua Raya No. 3, Makassar 90233
Jl. Kenari Indah No. 2, Yogyakarta 55584
Telp. 0812-1313-3800
redaksi@nasmedia.id
www.nasmedia.id
Instagram : @nasmedia.id
Fanspage : nasmedia.id
Youtube: nasmedia entertainment
Dicetak oleh Percetakan CV. Nas Media Pustaka
Isi di luar tanggung jawab percetakan

PRAKATA

Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya
sehingga buku pertama saya yang berjudul “Panduan Aktivitas Fisik pada
Pasien Dengan TB Paru” dapat diselesaikan berkat dukungan, bimbingan dan
arahan dari banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan buku
ini. Tak lupa pula penulis menitipkan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan hingga buku ini dapat diselesaikan
walaupun masih jauh dari kesempurnaan.
Besar harapan penulis, buku ini dapat menjadi salah satu referensi bagi
dunia keperawatan terkait kebutuhan dasar manusia yang merupakan fokus
pemberian asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan
sistem pernapasan.
Akhir kata, buku ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis
berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi perbaikan buku ini.
Penulis
Dewi Sartiya Rini

daftar isi

PRAKATA v
DAFTAR ISI vi
BAB I.
PERKEMBANGAN TUBERKULOSIS PARU DI DUNIA 1
BAB II.
KONSEP TEORI TUBERKULOSIS PARU 7

1. Definisi Tuberkulosis (TB) 7


2. Penularan Tuberkulosis (TB) Paru 7
3. Patofisiologi TB paru 7
4. Manifestasi Tuberkulosis (TB) Paru 8
5. Klasifikasi Tuberkulosis (TB) Paru dan tipe pasien 8
6. Penanganan Tuberkulosis (TB) Paru 10

BAB III.
PROSES KEPERAWATAN TB PARU 12

1. Pengkajian Keperawatan 12
2. Diagnosa keperawatan 12
3. Intervensi keperawatan 13

BAB IV.
KONSEP KAPASITAS FUNGSIONAL PASIEN TB PARU 15

1. Definisi kapasitas fungsional 15


2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas fungsional 15
3. Pengukuran kapasitas fungsional 16

BAB V.
KONSEP KUALITAS HIDUP PASIEN TB PARU 18

1. Definisi kualitas hidup 18


2. Kualitas hidup TB paru 18
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien TB
paru 19
4. Pengukuran kualitas hidup pasien TB paru 21

BAB VI.
KONSEP LATIHAN FISIK 24

1. Definisi Latihan fisik 24


2. Tujuan latihan fisik 24
3. Pengaruh latihan fisik terhadap kapasitas fungsional dan kualitas
hidup 25
4. Jenis latihan fisik 26

BAB VII.
PROSEDUR LATIHAN FISIK 29

1. Prosedur berjalan kaki 29


2. Prosedur Tes Berjalan 6 Menit (6 Minute Walk Test) 35

DAFTAR PUSTAKA 40
PERKEMBANGAN TUBERKULOSIS
PARU DI DUNIA
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksius yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dari tahun 1990 sampai saat
ini. Laporan World Health Organization (WHO) 2013 diketahui angka
kejadian terjangkit penyakit Tuberculosis (TB) paru tertinggi dunia adalah
negara India yaitu sebanyak 2-2,4 juta diikuti dengan negara Cina pada urutan
kedua mencapai 0,9-1,1 juta, Afrika Selatan pada urutan ketiga mencapai 0,4-
0,6 juta sementara Indonesia menduduki urutan keempat mencapai 0,4-0,5
juta. Prevalensi TB paru bervariasi di berbagai negara namun terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit TB paru meningkat jumlahnya
mulai dari tahun 1990 mencapai 7,5 juta dan terus mengalami peningkatan
yang signifikan setiap tahunnya.
Peningkatan jumlah penderita TB paru salah satunya disebabkan oleh
lingkungan. Penularan TB paru yang terjadi melalui udara tentunya akan
sangat cepat menular pada kondisi lingkungan yang tidak sehat. Kondisi
lingkungan rumah yang lembap, gelap, tidak memiliki ventilasi dan ruangan
yang terlalu padat penghuninya sangat berisiko bagi seseorang terjangkit
penyakit TB paru apalagi jika disertai dengan kondisi tubuh yang lemah dan
kurang gizi (1–3). Studi yang dilakukan di kota Kendari juga membuktikan
bahwa kepadatan hunian rumah, ventilasi rumah, jenis lantai, jenis dinding
rumah, dan kontak serumah dengan anggota keluarga yang menderita TB
memiliki risiko sebesar 18,96 kali terjangkit TB paru (4)
Individu yang rentan akan menghirup basil tuberkulosis dan menjadi
terinfeksi. Individu yang terinfeksi TB untuk pertama kalinya dikatakan
sebagai infeksi primer. Proses infeksi ini akan membentuk nekrosis kaseosa
yang memproduksi rongga seperti keju yang seiring waktu akan mencair dan
keluar ke saluran trakeobronkial sehingga terjadi akumulasi sekret di jalan
napas dan menstimulasi pasien untuk batuk(5,6). Adanya sekret di jalan napas
menyebabkan suplai oksigen dan kebutuhan oksigen tidak seimbang,
akibatnya pasien akan merasa sesak napas dan cepat lelah. Hal inilah yang
menyebabkan penderita TB paru mengalami penurunan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Umumnya keluhan malas beraktivitas atau
menurunnya kapasitas dalam bekerja dirasakan oleh pasien TB paru yang
berada pada kelompok usia produktif.
Riset yang dilakukan di Australia memberikan bukti bahwa mayoritas
pasien TB paru berada dalam kelompok usia dewasa, yaitu kelompok usia
produktif yang mampu bekerja dan menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup (7). Hal serupa juga ditemukan di RSUD Kota
Kendari. Berdasarkan data tahun 2015 diketahui rata-rata pasien TB paru di
RSUD Kota Kendari antara usia 20-60 tahun. Kelompok usia produktif yang
tentunya sangat rentan mengalami penurunan kapasitas dalam bekerja akibat
gejala penyakitnya ataupun stigma sosial yang melekat padanya. Kemampuan
bekerja pada pasien TB paru mengalami penurunan ditandai mudah lelah dan
merasa kehilangan energi. Selain itu penerimaan masyarakat terhadap pasien
TB paru masih kurang sehingga mayoritas pasien TB paru menghindar dari
orang-orang terdekat karena merasa terisolasi oleh lingkungan dan ketakutan
jika penyakit mereka menular(8).
Riset yang dilakukan di Malaysia pada 350 responden TB paru juga
mengemukakan hal yang sama. Berdasarkan riset tersebut ditemukan bahwa
mayoritas responden mengeluhkan perubahan kapasitas fisiknya yaitu mudah
lelah, kekurangan energi, dan merasa lemah untuk berjalan. Hal inilah yang
menyebabkan responden lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
berbaring dibandingkan harus beraktivitas. Sehingga dalam riset ini dikatakan
kelelahan otot merupakan dimensi yang signifikan mempengaruhi kapasitas
fungsional pasien TB paru dalam melakukan aktivitas sehari-hari (9).
Penanganan standar dalam meningkatkan kapasitas fungsional dan
kualitas hidup adalah program rehabilitasi paru yang bertujuan untuk
mengontrol, mengurangi gejala dan meningkatkan kapasitas fungsional secara
optimal sehingga pasien dapat mandiri saat kembali ke masyarakat. Hal ini
telah dibuktikan oleh beberapa riset, salah satunya adalah riset yang
dilakukan Khotimah (2013) yang mencoba membandingkan efek latihan
pernapasan dan latihan endurance terhadap kualitas hidup pasien paru
obstruksi kronik di Yogyakarta. Studi tersebut menggunakan dua kelompok
perlakuan yaitu kelompok latihan pernapasan yang meliputi diafragma
breathing dan pursed lip breathing dan kelompok latihan endurance. Efek
yang dihasilkan setelah diberikan latihan pernapasan dan latihan endurance
adalah adanya perbedaan kualitas hidup antara kedua kelompok perlakuan.
Kelompok yang diberikan latihan endurance lebih signifikan mengalami
peningkatan kualitas hidup dibandingkan dengan kelompok yang diberikan
latihan pernapasan(10).
Latihan endurance atau ketahanan merupakan latihan fisik yang
dilakukan secara teratur dan terstruktur sehingga dapat memperbaiki efisiensi
dan kapasitas sistem transportasi oksigen. Efek latihan endurance yang
dilakukan selain terjadi pembesaran serabut otot juga terjadi pembesaran
mitokondria yang akan meningkatkan sumber energi kerja otot sehingga otot
tidak mudah lelah (10–12). Latihan yang terstruktur tidak hanya dapat
dilakukan di Rumah Sakit tapi juga dapat dilakukan di rumah atau home
based exercise yaitu suatu program rehabilitasi yang murah, aman, dan efektif
dalam meningkatkan toleransi latihan serta kualitas hidup.
Beberapa latihan endurance yang dapat dilakukan di rumah antara lain
berjalan kaki, senam, bersepeda dan joging. Namun dari keempat jenis latihan
tersebut, berjalan kaki merupakan aktivitas yang paling murah, aman dan
tidak membutuhkan keterampilan khusus. Secara lebih rinci jalan kaki
mempengaruhi lima komponen kebugaran yaitu dapat mengurangi 18 pon
berat badan selama satu tahun tanpa harus melakukan diet, meningkatkan
ketahanan pembuluh darah jantung dengan melakukan jalan kaki 2-3 kali
dalam seminggu, mempengaruhi otot untuk meregang sehingga terhindar dari
kejang otot, setiap berjalan kaki otot akan terlatih sehingga memungkinkan
memiliki ketahanan otot meskipun berjalan dalam jangka waktu lama selain
itu gerakan berjalan memanfaatkan seluruh otot tungkai untuk menopang
seluruh berat badan dan memungkinkan otot-otot akan menjadi lebih kuat
(13).
Beberapa riset telah membuktikan efek home based exercise khususnya
berjalan kaki terhadap kapasitas fisik dan kualitas hidup seseorang. Salah
satunya adalah riset yang dilakukan oleh Junaidi (2011). Riset tersebut
dilakukan pada 33 lansia yang diberikan intervensi berjalan kaki selama 30
menit. Hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan kapasitas fungsional
lansia ditandai dengan meningkatnya kecepatan berjalan pada jarak tempuh
yang telah ditentukan oleh peneliti. Sehingga dalam riset ini dikatakan latihan
jalan kaki menggunakan intensitas rendah pada 60-75% dari denyut jantung
maksimal bermanfaat dalam meningkatkan kesegaran jasmani(13).
Riset lain yang juga meneliti efek latihan fisik dikaitkan dengan kapasitas
fungsional dilakukan oleh Weinsten et al (2013). Riset tersebut mencoba
membandingkan efektivitas pemberian edukasi dan exercise training yaitu
berjalan kaki selama tiga minggu pada dua kelompok perlakuan. Hasil yang
diperoleh setelah pemberian intervensi selama tiga minggu adalah terjadi
peningkatan kapasitas fungsional pada kelompok yang diberikan intervensi
berjalan kaki. Rata-rata jarak tempuh berjalan mengalami peningkatan dengan
menggunakan tes uji berjalan 6 menit. Grunig et al (2011) juga
mengemukakan hal yang sama dalam risetnya. Berjalan kaki yang dilakukan
responden selama 15 minggu memberikan efek terhadap kemampuan
responden dalam beraktivitas ditandai dengan peningkatan jarak tempuh
responden dalam tes uji berjalan 6 menit. Peningkatan jarak tempuh setelah
rutin berjalan kaki selama 15 minggu menjadi bukti adanya pengaruh yang
signifikan latihan fisik secara terstruktur terhadap kapasitas fungsional.
Gibala (2006) dalam risetnya juga mencoba melihat pengaruh latihan
endurance yang dilakukan dalam waktu singkat yaitu dua minggu dengan
frekuensi setiap hari terhadap kapasitas fisik responden. Hasil yang diperoleh
setelah dilakukan latihan endurance yaitu joging dan berjalan kaki selama dua
minggu diperoleh hasil adanya penurunan waktu tempuh responden. Hal ini
disebabkan saat seseorang melakukan latihan 5- 7 hari secara teratur dapat
menurunkan katabolisme glikogen dan mengurangi akumulasi asam laktat
sehingga kelelahan otot berkurang(14–16).
Latihan endurance yang dilakukan di rumah tidak hanya signifikan
meningkatkan kapasitas fungsional tapi juga mampu meningkatkan kualitas
hidup seseorang. Hal ini dibuktikan oleh Smolis et al (2015) dalam risetnya
yang menyatakan bahwa responden yang diberikan latihan endurance di
rumah yaitu berjalan kaki secara terstruktur selama tiga bulan mengalami
peningkatan energi dalam beraktivitas dan juga penurunan nyeri yang
dirasakan. Sehingga mayoritas kelompok intervensi latihan fisik di rumah
dalam riset ini mengalami peningkatan kualitas hidup. Pelaksanaan latihan
fisik tentunya tidak terlepas dari peran tenaga kesehatan khususnya perawat
sebagai edukator, supervisor dan konselor yang efektif dalam pelaksanaan
latihan fisik. Riset yang dilakukan di Cina mengenai peran perawat dalam
pelaksanaan home based exercise, diperoleh hasil dengan manajemen yang
baik oleh perawat dalam pelaksanaan latihan fisik di rumah maka terjadi
peningkatan kemampuan beraktivitas sehari-hari dan berefek dalam
memperbaiki kapasitas kerjanya (17). Riset lain juga menyebutkan dengan
edukasi dan terapi fisik yang tepat maka perawat dapat membantu pasien
meningkatkan kapasitas fungsional dan rasa percaya diri saat kembali
menjalankan peran sosialnya (8).
Riset terkait kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien dengan
penyakit paru telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun, umumnya riset
yang meneliti pasien TB paru lebih mengarah pada pengaruh psikososial
terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidupnya. Belum banyak riset yang
khusus membahas latihan endurance pada pasien TB paru. Padahal kualitas
hidup dan kapasitas fungsional pasien TB paru tidak hanya dikaitkan dengan
stigma sosial yang ada di masyarakat akan tetapi juga dikaitkan dengan
ketidakmampuan klien untuk beraktivitas karena kelelahan atau kelemahan
dihubungkan dengan penurunan energinya. Oleh karena itu, perlu adanya
latihan fisik yang diberikan secara terstruktur pada pasien TB paru yang dapat
dilakukan di rumah (home based exercise training) yang aman, murah dan
tidak memerlukan keterampilan khusus.
BAB
I

KONSEP TEORI TUBERKULOSIS


PARU

1. Definisi Tuberkulosis (TB)


Tuberkulosis adalah penyakit yang menular secara langsung melalui
udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil yang
mencapai alveolus, sebagian besar kuman TB menyerang paru-paru
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (5,18).

2. Penularan Tuberkulosis (TB) Paru


TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri
aerob tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap sinar
ultraviolet. Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan
infeksi. Umumnya individu yang terserang infeksi adalah mereka yang
sering melakukan kontak dekat dan berulang dengan orang yang
memiliki TB aktif. Selain itu, individu yang tinggal di lingkungan yang
kumuh dan petugas kesehatan juga memiliki risiko yang sama untuk
terinfeksi (5,19).

3. Patofisiologi TB paru
Droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel keluar saat
berbicara, batuk, tertawa atau bersin yang dapat terhirup oleh orang yang
rentan (inang). Bakteri masuk melalui jalan napas hingga mencapai
alveoli. Sistem tubuh akan melalukan pertahanan dengan memfagositosis
bakteri. Limfosit akan menghancurkan tuberkel dan jaringan normal.
Basil yang masih hidup dan yang telah mati akan membentuk gumpalan
granulomas yang dikelilingi oleh makrofag sebagai dinding protektif.
Granulomas akan diubah menjadi jaringan fibrosa yang bagian
sentralnya disebut tuberkel Ghon. Proses degenerasi nekrotik
membentuk massa seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Seiring
waktu, material ini akan mencair dan keluar dalam saluran
trakeobronkial dan dapat dibatukkan keluar. Umumnya pasien TB Primer
dapat sembuh dalam beberapa bulan dengan membentuk jaringan parut
dan lesi kalsifikasi yang disebut kompleks Ghon. Lesi-lesi tersebut dapat
teraktivasi jika klien mengalami penurunan imunitas (5).

4. Manifestasi Tuberkulosis (TB) Paru


Umumnya pasien TB paru mengalami batuk menetap yang berdahak
disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat pada malam hari tanpa melakukan aktivitas fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan (18). Pada pasien TB paru juga
ditemukan adanya nyeri dada yang berupa pleuritik atau nyeri dada
tumpul, sesak napas dan crackles dapat ditemukan pada auskultasi.
Infeksi TB primer mungkin tetap tidak dikenali karena tanpa gejala. Lesi
kalsifikasi pada rontgen dada dan reaksi uji kulit positif sering kali
merupakan satu-satunya indikasi bahwa infeksi TB primer telah terjadi
(5,20).
5. Klasifikasi Tuberkulosis (TB) Paru dan tipe
pasien
a. Klasifikasi Tuberkulosis (TB) Paru
Klasifikasi TB paru didasarkan pada beberapa faktor yaitu
(18,21–23) :
1. Klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena
a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis
yang menyerang organ tubuh lain selain paru
misalnya selaput otak, kelenjar limfa, tulang,
persendian, kulit, usus, dan lain-lain.
2. Klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis
a. Tuberkulosis Paru BTA positif
1. Jika dua dari tiga spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil BTA positif.
2. Jika satu spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil BTA positif dan foto
toraks dada menunjukkan adanya
gambaran tuberkulosis
3. Satu atau lebih spesimen dahak
menunjukkan hasil yang positif setelah
pemeriksaan sebelumnya pada tiga
spesimen dahak SPS menunjukkan hasil
BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotik non OAT.
b. Tuberkulosis Paru BTA negatif
1. Jika pemeriksaan tiga spesimen dahak
SPS hasilnya BTA negatif
2. Hasil foto toraks abnormal menunjukkan
gambaran tuberkulosis
3. Tidak terjadi perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan
penyakit
1. Pasien TB paru dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif dan foto toraks
positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, mulai dari ringan
sampai berat ditinjau dari gambaran foto
toraks.
2. TB ekstra paru misalnya TB kelenjar
limfa, meningitis, perikarditis, peritonitis,
TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
b. Tipe pasien Tuberkulosis (TB) Paru
Beberapa tipe pasien Tuberkulosis yaitu (18) :
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat obat anti
tuberkulosis (OAT) atau sudah menjalani pengobatan
kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya telah dinyatakan
sembuh atau telah menjalani pengobatan lengkap
namun kembali terdiagnosa dengan BTA positif.
3. Kasus setelah putus obat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan
atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfer in)
Pasien yang dipindahkan dari unit pelayanan kesehatan
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6. Penanganan Tuberkulosis (TB) Paru
Umumnya pengobatan TB paru dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan yang
terbagi dalam dua fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif,
penderita TB paru mendapat OAT setiap hari selama dua bulan. Setelah
menjalani tahap intensif secara tepat maka penderita TB paru akan
melanjutkan pengobatan ke fase lanjutan 3 kali seminggu selama 4 bulan.
Jenis OAT yang digunakan terbagi menjadi lini pertama yaitu Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S) dan lini
kedua adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin,
etionamid, para-amino salisilat (PAS). Obat lini kedua hanya digunakan untuk
kasus resisten obat, terutama TB mulidrug resistant (MDR) (22,24).
Umumnya, pasien TB yang menjalani pengobatan tidak mengalami efek
samping terhadap obat TB yang dikonsumsi. Namun, pada sebagian kecil
pasien TB ditemukan adanya keluhan kemerahan kulit dengan atau tanpa
gatal, penurunan nafsu makan, nyeri perut, dan mual, penurunan jumlah
urine, urine berwarna kemerahan, rasa kebas pada daerah tangan atau kaki
dan nyeri sendi (2,18,25).

BAB
II
1. Pengkajian Keperawatan
Pasien TB paru ditandai dengan manifestasi klinis demam, anoreksia,
penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari, keletihan, batuk,
dan pembentukan sputum. Sehingga sangat penting dilakukan
pemeriksaan fisik, khususnya fungsi pernapasan yang lebih menyeluruh
meliputi pola pernapasan dan frekuensi pernapasan yang berubah, bunyi
napas dan penurunan vibrasi saat pasien dilakukan taktil fremitus. Pada
saat auskultasi didapatkan suara krekels ataupun wheezing. Selain itu
perlu juga dikaji kondisi umum pasien TB paru seperti usia, lama
terpapar dan penampilan umum. Kesiapan emosional pasien terkait
penyakitnya, pengetahuan tentang tuberkulosis dan pengobatannya juga
perlu dikaji (2,26).

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan pada kebutuhan pasien yang
perlu dibantu. Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan dapat
mencakup (27) :
a. Kebersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkopasme
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi
e. Risiko infeksi dibuktikan dengan organisme purulen

3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan didasarkan pada Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) yang berfokus pada beberapa hal yaitu (28):
Airway management
Manajemen jalan napas dilakukan dengan cara memberikan
posisi yang tepat dan memungkinkan pasien melakukan ventilasi
secara maksimal, fisioterapi dada yang tepat, dan mengajarkan
batuk efektif untuk dapat mengeluarkan dahak. Humidifier atau
masker wajah dengan kelembaban tinggi dapat membantu dalam
mengencerkan sekresi dan lakukan monitor status respirasi (29).
a. Terapi oksigen
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
pada pasien TB paru adalah memberikan terapi oksigen
dengan menggunakan nasal atau masker wajah,
membersihkan akumulasi sekret di jalan napas dan
pertahankan kepatenan jalan napas (26,29).
Manajemen energi
Pengaturan energi untuk mencegah kelelahan dan
mengoptimalkan fungsi tubuh dalam melakukan aktivitas.
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan terkait
dengan manajemen energi adalah (29):
1. Monitor adanya kelelahan yang dirasakan klien
2. Pilih intervensi kombinasi farmakologi dan non
farmakologi dalam mengurangi kelelahan
3. Dorong klien melakukan latihan aerobik yang dapat
ditoleransi
4. Dorong klien memilih aktivitas yang dapat meningkatkan
ketahanan
5. Bantu pasien melakukan latihan fisik secara teratur
(ambulasi, transfers) sesuai kebutuhan.
Terapi aktivitas
Terapi yang bertujuan meningkatkan frekuensi dan durasi
individu atau grup dalam melakukan aktivitas. Beberapa tindakan
keperawatan terkait dengan terapi aktivitas adalah (29):
1. Kaji kemampuan pasien dalam berpartisipasi dalam
aktivitas yang spesifik
2. Berikan aktivitas motorik dalam meredakan ketegangan
otot
3. Fasilitasi penggantian aktivitas bagi klien yang mengalami
keterbatasan energi atau pergerakan
4. Berikan kesempatan keluarga untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang sesuai
5. Bantu pasien melakukan latihan fisik secara teratur
(ambulasi, pemindahan dan perawatan diri) sesuai
kebutuhan
6. Dorong pelaksanaan aktivitas yang dapat mengurangi
kecemasan (berjalan, berenang, tenis meja, bola voli dan
game sederhana)
7. Monitor respons emosional, fisik, sosial dan spiritual
dalam melakukan aktivitas.

BAB
III
PROSES KEPERAWATAN TB PARU
KONSEP KAPASITAS FUNGSIONAL
PASIEN TB PARU

1. Definisi kapasitas fungsional


Kapasitas fungsional adalah kemampuan seseorang dalam melakukan
aktivitas sehari –hari yang meliputi aktivitas fisik dalam merawat diri,
kemampuan bergerak, kemampuan bekerja dan istirahat (30).
Kemampuan fungsional juga dapat diartikan perpaduan komponen
motorik, sensorik, psikososial dan kognitif yang berfungsi dengan baik
(31).

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kapasitas fungsional
a. Sosial demografi
Salah satu faktor sosial demografi yang mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas fisik adalah
usia. Riset yang dilakukan oleh Freitas et al (2014) diketahui
bahwa rata-rata usia < 40 tahun memiliki kemampuan
melakukan aktivitas secara mandiri, usia 40-60 tahun
memerlukan bantuan untuk beberapa aktivitasnya dan >60
tahun memerlukan bantuan untuk semua aktivitas yang
dilakukan. Selain usia, faktor lain yang dikemukakan dalam
riset tersebut adalah jenis kelamin. Mayoritas perempuan
memiliki risiko yang besar mengalami bantuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari ataupun aktivitas dasar
sedangkan pria memiliki kemampuan yang besar dalam
melakukan aktivitas secara mandiri.
b. Pendapatan
Salah satu riset yang dilakukan di Brazil ditemukan adanya
hubungan yang signifikan antara pendapatan per kapita dengan
kapasitas fungsional. Semakin tinggi pendapatan per kapita
maka kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas juga
semakin baik begitu pula sebaliknya, pendapatan per kapita
yang rendah menyebabkan menurunnya kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari atau melakukan aktivitas dasar
(32,33).
c. Aktivitas fisik
Pergerakan tubuh secara aktif memberikan efek yang signifikan
terhadap kapasitas fisik pasien ditandai dengan peningkatan
kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri (32).
d. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Seseorang dengan IMT normal memiliki peluang lebih besar
dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
dibandingkan dengan orang yang IMT-nya overweight dan
underweight (33).

3. Pengukuran kapasitas fungsional


Ada beberapa tes yang digunakan dalam menilai kapasitas fungsional pasien
antara lain tes berjalan enam menit (6 minute walk test), latihan 15 langkah,
tes memanjat tangga dan tes latihan kardiopulmonar. Tes latihan fisik
diterapkan dalam praktik klinik untuk mengoptimalkan manajemen pasien
dan memperoleh informasi serta prediksi kemampuan fungsional pasien (34).
Pada awal tahun 1960-an, Balke mengembangkan tes untuk mengevaluasi
kemampuan fungsional dengan mengukur jarak berjalan dengan jangka waktu
tertentu. Mulanya dilakukan tes berjalan 12 menit pada pasien PPOK dan
ternyata berjalan 12 menit begitu melelahkan sehingga ditemukan tes berjalan
6 menit yang lebih mudah dan dapat ditoleransi oleh pasien. Tes sederhana
dan praktis yang tidak memerlukan pelatihan karena berjalan merupakan
kegiatan yang dilakukan setiap hari. Tes ini mengukur jarak tempuh pasien
dalam waktu enam menit. Latihan ini melibatkan semua sistem termasuk
sistem paru, jantung dan neuromuskuler. Dari studi yang dilakukan pada
pasien penyakit paru-paru stadium akhir diketahui bahwa ada korelasi tes
berjalan 6 menit dengan inspirasi oksigen (r = 0,73) (35). Sampai saat ini
belum ada nilai mutlak yang digunakan dalam mengukur hasil 6 MWT.
Berdasarkan hasil penelitian terbaru, pengukuran hasil 6 MWT menggunakan
satuan meter (30).

BAB
IV
1. Definisi kualitas hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai kehidupannya dalam
konteks kemampuan individu menjalankan perannya untuk mencapai
tujuan hidup. Kualitas hidup ditinjau dari segi kesehatan adalah nilai
yang diperoleh individu selama hidup dan biasanya akan mengalami
perubahan karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial
yang dipengaruhi oleh penyakit dan pengobatan yang diungkapkan
secara subjektif oleh yang bersangkutan (36,37). Kualitas hidup
didasarkan pada domain fisik, psikologis dan sosial kesehatan pada
setiap individu. Setiap domain dapat diukur dengan penilaian status
kesehatan dari perspektif subjek kesehatan (38).

2. Kualitas hidup TB paru


Seseorang yang menderita TB paru biasanya mengalami perubahan
dalam seluruh aspek kehidupannya yaitu kehidupan sosial, emosi,
pekerjaan dan hubungan seksual. Sesak napas menjadi lebih progresif
ketika kondisi paru memburuk dan akhirnya mereka tidak dapat
melakukan aktivitas sebagaimana orang lain melakukan aktivitasnya
sehari-hari. Pasien TB paru umumnya mengalami intoleran aktivitas
dikarenakan sesak napas dan kelelahan yang berlebihan. Hal ini
ditunjukkan dengan penurunan kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas (9,11).
Tekanan psikologis seperti depresi dan kecemasan menjadi kontribusi
utama pada perubahan kualitas hidup pasien TB paru. Rasa cemas yang
dirasakan biasanya disebabkan karena sesak napas dan vitalitas tubuh
yang terus menurun (12). TB paru juga menyebabkan stigma sosial.
Masyarakat merasa bahwa pasien TB paru harus dijauhi sehingga ketika
kontak dengan pasien TB paru umumnya menutup mulut atau bahkan
menghindar sehingga pasien merasa terasingkan, menyalahkan dirinya
sendiri dan akhirnya menurunkan kemampuannya dalam beraktivitas
(11, 24).

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kualitas hidup pasien TB paru
a. Umur
Umur yang semakin bertambah akan diikuti dengan perubahan
fungsi tubuh sehingga proses penyembuhan lebih lama,
keterbatasan aktivitas semakin meningkat serta kualitas hidup
semakin menurun. Penyakit tuberkulosis paru umumnya
ditemukan pada usia dewasa yang memiliki tingkat mobilitas
dan interaksi sosial yang lebih tinggi pada usia 15-50 tahun,
yang harus bekerja untuk memperoleh pemasukan guna
memenuhi kebutuhan keluarga, memungkinkan mereka untuk
terinfeksi dari orang lain menjadi lebih tinggi (12,36,39).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu yang mempengaruhi
kualitas hidup. Laki-laki cenderung memiliki kualitas hidup
yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan
kebiasaan dalam mencari pertolongan medis yang
menyebabkan deteksi yang buruk terhadap kejadian penyakit di
kalangan wanita, stigma sosial yang buruk pada wanita yang
terdiagnosis positif tuberkulosis paru menyebabkan banyak
wanita yang akhirnya enggan mencari pengobatan, jadi mereka
tidak mencari pertolongan medis sampai penyakitnya menjadi
berat (40). Hal dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan
Masumoto et al (2014) yang mengemukakan bahwa mayoritas
pengguna pelayanan kesehatan yang menjalani program
pengobatan TB paru adalah laki-laki sebanyak 65,4% dari 561
responden TB paru.
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan individu tercermin dari perilaku sehari-
harinya. Pada individu dengan tingkat pendidikan rendah
umumnya kurang memahami tentang TB paru sehingga
kewaspadaan terhadap penularan TB sangat rendah akibatnya
sangat berisiko tinggi terjangkit tuberkulosis sedangkan
individu yang tingkat pendidikannya tinggi akan lebih waspada
terhadap TB paru bila dibandingkan dengan masyarakat yang
hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah. Selain
itu individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi tentunya
akan memiliki pengetahuan yang baik dalam memproteksi diri
dari penularan TB (40). Riset yang dilakukan di Filipina
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien TB paru diketahui bahwa umumnya pasien dengan
kualitas hidup baik ditemukan pada responden dengan tingkat
pendidikan tinggi sedangkan responden dengan tingkat
pendidikan rendah atau tidak bersekolah memiliki kualitas
hidup yang kurang baik (11).
d. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan secara kontinu untuk
menghasilkan materi yang digunakan memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarga. Individu yang tidak bekerja memiliki
aktivitas yang berbeda dengan individu yang bekerja setiap
harinya sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya. Beberapa
penderita TB paru mengatakan bahwa mereka kehilangan
pekerjaan saat teman-teman di tempat kerjanya mengetahui
mereka positif TB paru selain itu ada juga yang menyatakan
bahwa mereka kehilangan pekerjaan karena merasa sangat
lelah jika harus melaksanakan tugasnya(36). Kelelahan, merasa
tidak berenergi ataupun tidak semangat untuk bergerak menjadi
penyebab pasien TB paru membatasi aktivitasnya sehingga
umumnya mereka yang positif TB paru mengalami penurunan
kapasitas kerja dan penurunan kualitas hidup.
e. Dukungan sosial
Ketakutan terbesar penderita TB paru adalah stigma sosial yang
melekat padanya. Umumnya keluarga memiliki ketakutan
tersendiri jika ada anggota keluarga yang di diagnosa positif
TB paru sehingga saat berkomunikasi sering menutup mulut
atau bahkan mengisolasi anggota keluarga yang menderita TB
paru. Penelitian yang dilakukan di kota Baltimore diketahui
bahwa mayoritas penderita TB paru melaporkan adanya
perubahan interaksi sosial. Masyarakat menjauh dan membatasi
kontak. Bahkan ada yang dengan terang-terangan memberikan
pernyataan takut tertular jika berdekatan dengan penderita TB
paru (8).
f. Psikososial
Beragam respons yang timbul saat pertama kali terdiagnosa TB
paru. Marah, menolak dan depresi merupakan respons pertama
yang sering ditemukan pada pasien TB paru namun ada juga
yang menerima kondisinya karena memiliki pengalaman
sebelumnya dengan anggota keluarga TB paru dan dapat
sembuh kembali (8).

4. Pengukuran kualitas hidup pasien TB paru


Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
instrumen sebagai alat pengumpul data penelitian yang dapat berupa
kuesioner yang bersifat umum dan spesifik.

a. Instrumen kualitas hidup yang bersifat general


1. Sickness Impact Profile (SIP)
Instrumen kualitas hidup yang bersifat umum berisi 136 item
pertanyaan yang terbagi dalam 12 domain yaitu tiga domain
kondisi fisik, empat domain psikososial dan lima domain
independen (41).
2. Notingham Health Profile (NHP)
Alat ukur dalam perawatan kesehatan primer terkait perasaan
emosional pasien, masalah sosial dan fisik. NHP berisi 36
pertanyaan pada bagian pertama yang terdiri dari enam domain
yaitu mobilitas fisik, energi, tidur, sakit, isolasi sosial dan
reaksi emosional sedangkan bagian kedua berisi 7 item yang
terkait dengan kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh
status kesehatan (42).
3. Medical Outcome Study (Mos) 36 Item Short Form Health
Survey
Instrumen ini digunakan secara universal untuk mengukur
kualitas hidup pada berbagai penyakit. SF-36 terdiri dari dua
domain, yaitu domain kesehatan fisik dan domain kesehatan
mental. Setiap domain terdiri dari empat area dan setiap area
terdiri dari empat sub area yang masing-masing sub area terdiri
dari beberapa pertanyaan (43).
b. Instrumen kualitas hidup yang bersifat khusus
Kuesioner spesifik yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas TB
paru salah satunya adalah St. George Respiratory Questionnaire
(SGRQ). Instrumen ini telah teruji oleh beberapa riset. Riset yang
dilakukan di China pada pasien PPOK diperoleh hasil bahwa SGRQ
valid, reliabel dan responsif untuk mengevaluasi kualitas hidup pasien
yang menderita PPOK di China selain itu penelitian di Maroko juga
melakukan validasi SGRQ terhadap pasien yang menderita PPOK
dengan hasil bahwa SGRQ memiliki keandalan yang baik,
menghasilkan konsistensi skor selama periode waktu yang singkat.
Instrumen SGRQ terbukti valid digunakan untuk membedakan antara
berbagai tingkat kesehatan yang terganggu. Penelitian di Korea juga
melakukan validasi SGRQ terhadap pasien yang berbeda yaitu pasien
yang menderita Asma dan memberikan hasil yang valid serta dapat
diandalkan untuk mengevaluasi kualitas hidup pasien Asma.
Instrumen ini juga telah terbukti valid dalam mengukur kualitas hidup
pasien TB. Di Indonesia Validasi terhadap SGRQ yang telah
diterjemahkan ke versi Bahasa Indonesia dan dinyatakan bahwa
SGRQ versi Indonesia merupakan suatu instrumen yang valid dan
reliabel sebagai instrumen pengumpul data untuk mengukur kualitas
hidup pasien TB. Kesimpulannya dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa SGRQ valid dan reliabel untuk mengukur
kualitas hidup pasien dengan penyakit pernafasan(44).

BAB
V
KONSEP KUALITAS HIDUP PASIEN
TB PARU

1. Definisi Latihan fisik


Latihan fisik adalah kegiatan terstruktur dan teratur untuk meningkatkan
kebugaran dan kesehatan meliputi durasi, frekuensi, waktu, intensitas
dan disesuaikan dengan kondisi pasien (45). Latihan fisik merupakan
salah satu bagian dari program rehabilitasi paru-paru (Pulmonary
rehabilitation program) yaitu sebuah pendekatan multidisiplin yang
terbukti mampu mengatasi masalah pasien secara komprehensif, tidak
hanya masalah pada komponen parunya. Program rehabilitasi dirancang
untuk mengurangi gejala, mengoptimalkan status fungsional,
meningkatkan toleransi latihan dan meminimalkan biaya perawatan
kesehatan. Program ini melibatkan kolaborasi antara pasien, keluarga
dan petugas kesehatan yang mencakup pengkajian pasien, latihan fisik
yang diawasi, manajemen edukasi, dukungan psikososial dan konseling
nutrisi(46).

2. Tujuan latihan fisik


Mengembalikan kondisi optimal individu sehingga dapat beraktivitas
sehari-hari dan lebih produktif. Keadaan ini membuat individu kembali
mendapat penerimaan dari lingkungan sosial dan tidak menjadi beban
lagi untuk keluarga (36). Berdasarkan riset yang dilakukan di Perancis
diketahui rata-rata 71% pasien yang melakukan latihan ketahanan
(endurance exercise) mengalami penurunan sesak napas dan desaturasi
oksigen (47). Selain itu latihan fisik juga dapat meningkatkan kebugaran
jasmani sehingga dapat individu dapat melakukan aktivitas sehari-hari
dengan baik dan tidak cepat lelah.

3. Pengaruh latihan fisik terhadap kapasitas


fungsional dan kualitas hidup
Proses degenerasi nekrotik kaseosa yang biasanya terjadi pada daerah
lobus atas dan bawah pada paru-paru pasien TB, akan menimbulkan
gejala batuk produktif (batuk yang terus –menerus) disertai dengan
pembentukan sputum yang berlebihan sehingga pasien TB paru akan
mengalami ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai O2. Kondisi inilah
yang menyebabkan klien mengalami sesak napas. Ketika O2 tidak
tersedia dengan cukup menyebabkan fosforilasi oksidatif tidak terjadi.
Energi yang dihasilkan diperoleh dari glikogen yang disimpan di dalam
otot dapat dipecah menjadi glukosa. Tahap awal dari proses ini adalah
glikolisis yang terjadi tanpa penggunaan oksigen yang disebut sebagai
metabolisme anaerobik. Selama glikolisis, setiap molekul glukosa
dipecahkan menjadi dua molekul asam piruvat dan sebagian besar dari
asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat yang kemudian berdifusi
keluar dari sel otot dan masuk ke dalam cairan interstisial dan darah.
Kelebihan asam laktat dalam cairan tubuh menyebabkan klien
mengalami kelelahan(48).
Kelelahan yang dirasakan oleh pasien TB paru menyebabkan
menurunnya kemampuannya dalam beraktivitas. Beberapa pasien TB
paru dalam sebuah riset kualitatif yang dilakukan oleh Hansel et al
(2013) mengatakan bahwa mereka merasa malas beraktivitas karena
merasa kehilangan energi untuk bergerak. Padahal secara fisiologi,
bergerak secara teratur dan terstruktur meningkatkan ventilasi. Reseptor
sendi dan otot yang tereksitasi selama kontraksi otot secara refleks
merangsang pusat pernapasan dan meningkatkan ventilasi secara
spontan. Bahkan gerakan pasif anggota badan dapat meningkatkan
ventilasi beberapa kali lipat melalui pengaktifan reseptor-reseptor ini.
Oleh karena itu, proses-proses mekanis selama melakukan latihan
terstruktur atau olahraga berperan penting dalam mengkoordinasi
aktivitas pernapasan dengan peningkatan kebutuhan metabolik otot-otot
yang aktif (49).
Pada manusia, dikenal adanya serat otot berkedut cepat dan serat otot
berkedut lambat. Otot soleus mempunyai lebih banyak serat kedutan
lambat sehingga digunakan untuk aktivitas otot tungkai bawah yang
lama. Serat kedutan lambat terutama dibentuk untuk ketahanan
khususnya untuk pembentukan energi aerobik. Serat ini memiliki
mitokondria yang jauh lebih banyak daripada serat kedutan cepat. Selain
itu serat kedutan lambat mengandung lebih banyak mioglobin, suatu
protein mirip hemoglobin yang bergabung dengan oksigen dalam serat
otot; mioglobin tambahan ini meningkatkan kecepatan difusi oksigen di
seluruh serat dengan membawa oksigen pulang pergi dari satu moleku
mioglobin ke mioglobin yang lain. Selain itu, enzim sistem metabolik
aerob jauh lebih aktif dalam serat kedutan lambat daripada serat kedutan
cepat sehingga otot tidak mudah lelah (48).

4. Jenis latihan fisik


Berkurangnya aktivitas sehari-hari pada pasien TB paru akibat gejala
penyakitnya menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Tirah baring lama
menyebabkan adanya penurunan transport oksigen dan fungsi kardiovaskuler.
Pulmonary rehabilitation program memiliki manfaat dalam meningkatkan
toleransi latihan dan kualitas hidup. Program ini efektif dilakukan baik pada
pasien rawat inap (inpatient) maupun rawat jalan (outpatient) atau home
based exercise.

a. Program latihan rawat inap (inpatient)


secara umum membutuhkan biaya yang besar dan sangat cocok untuk
pasien dengan keterbatasan pergerakan atau pasien dengan kondisi
membutuhkan perawatan khusus.
b. Program latihan di rumah (home based exercise training)
Suatu program rehabilitasi yang murah, aman, dan efektif dalam
meningkatkan toleransi latihan serta kualitas hidup (46). Home Based
Exercise merupakan aktivitas fisik sederhana yang memiliki efek yang
sama baiknya dengan latihan yang dilakukan di Rumah Sakit bahkan
dampak positifnya bertahan dalam jangka waktu yang lama jika
dilakukan secara teratur (50). Beberapa latihan fisik yang termasuk
dalam home based exercise adalah:
1. Jalan kaki
Bentuk aktivitas fisik yang simple dan mudah dilakukan
dengan alat gerak dominan yaitu kedua kaki. Jalan kaki
dilakukan secara kontinu minimal 30 menit setiap hari dengan
perhitungan zona latihannya adalah 60-80 % dari denyut nadi
maksimal. Denyut nadi maksimal diperoleh dari 220 – umur.
Jadi, misalnya individu berusia 30 tahun, maka denyut nadi
maksimumnya adalah 220 – 30 = 190. Sehingga denyut nadi
latihan individu tersebut antara 60% x 190 = 114x/menit
sampai dengan 80% x 190 = 152x/menit (51).
Beberapa riset membuktikan latihan fisik terstruktur yang
dilakukan di rumah (home based exercise) memberikan efek
yang signifikan terhadap kapasitas fisik dan kualitas hidup,
salah satunya riset yang dilakukan di India. Hasil riset tersebut
membuktikan bahwa salah satu latihan home based exercise
yaitu jalan cepat dalam 15 -20 menit dengan frekuensi 3 kali
seminggu dalam waktu 6 minggu memiliki efek yang
signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan
jarak tempuh pasien.
Riset yang dilakukan oleh Smolis B K et al ( 2015) juga
memberikan hasil yang signifikan dalam peningkatan kualitas
hidup pasien dengan memberikan latihan di rumah atau home
based exercise yaitu berjalan kaki dan bersepeda. Setelah
dilakukan latihan, terjadi peningkatan jarak tempuh dalam uji
berjalan 6 menit ( 6 minute walk test). Berjalan kaki selama
kurang lebih 20 menit dapat membangun kekuatan tubuh dan
meningkatkan kapasitas dalam bekerja. Mayoritas penelitian
latihan fisik terstruktur dilakukan dalam periode 4 minggu
sampai dengan satu tahun. Meskipun belum ada ketentuan
waktu yang pasti namun periode waktu di atas dianggap
mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Semakin panjang
program latihan maka dapat menurunkan jumlah pasien yang
bisa mengikuti dan berimplikasi pada peningkatan biaya dalam
pelaksanaan program (25,53).
2. Bersepeda
Bersepeda merupakan salah satu latihan ketahanan yang
minimal dilakukan 2,5 jam dalam seminggu secara rutin.
Bersepeda termasuk olahraga yang dapat meningkatkan
sirkulasi dan kinerja jantung dan paru-paru (54).
3. Lari
Lari merupakan salah satu bentuk latihan aerobik yang tidak
memerlukan biaya besar dan dapat dilakukan semua kalangan
usia. Berdasarkan penelitian Jourbet et al (2011) diketahui
bahwa dengan melakukan latihan aerobik yaitu lari selama 30
menit dalam empat minggu mampu meningkatkan volume
oksigen maksimal (VO2).
BAB
VI
KONSEP LATIHAN FISIK

PROSEDUR LATIHAN FISIK

1. Prosedur berjalan kaki


Berjalan kaki merupakan salah satu terapi aktivitas fisik yang dapat dilakukan
oleh pasien TB paru dalam meningkatkan kapasitas fungsional parunya
sehingga kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas dapat meningkat.
Berjalan kaki yang dilakukan responden selama 15 minggu memberikan efek
terhadap kemampuan responden dalam beraktivitas ditandai dengan
peningkatan jarak tempuh responden dalam tes uji berjalan 6 menit.
Peningkatan jarak tempuh setelah rutin berjalan kaki selama 15 minggu
menjadi bukti adanya pengaruh yang signifikan latihan fisik secara terstruktur
terhadap kapasitas fungsional paru. Adapun tahapan berjalan kaki yang benar
sebagai berikut:

a. Tahap persiapan
1. Pada tahapan ini, mengajarkan responden cara menghitung
denyut nadi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Posisikan tangan kiri dengan posisi menengadah

Letakkan tiga jari yaitu jari manis, jari tengah dan jari
telunjuk tangan kanan Anda pada pergelangan tangan
kiri (lakukan sebaliknya jika melakukan di tangan
kanan)

Rasakan adanya denyutan


Hitung denyutan yang muncul dalam 15 detik lalu
dikalikan 4 hasil denyutan dalam 15 detik tersebut atau
dengan menghitung denyutan yang muncul dalam 1
menit. Maka itulah denyutan nadi saudara dalam 1
menit
Lakukan sampai saudara terampil
2. Hitung denyut nadi maksimum dengan cara : 220- umur
(tahun)
Misalnya : umur responden 30 tahun, maka nadi maksimum =
220- 30, sehingga denyut nadi maksimumnya 190 x/menit.
Denyut nadi target pada latihan adalah 60%-70% dari denyut
nadi maksimum sehingga responden 30 tahun memiliki denyut
nadi target : Anda/menit- Anda/menit
b. Tahapan pelaksanaan
1. Pemanasan
Berdiri tegak, kaki dibuka selebar bahu dan kedua
tangan di atas kepala sambil diregangkan sampai
hitungan ke 8 kemudian lakukan gerakan yang sama
dengan posisi tangan di depan dada lalu di belakang
punggung

Masih dengan posisi berdiri tegak, tangan direntangkan ke


samping kemudian memutar badan ke kiri sampai hitungan
ke 8 setelah itu memutar badan ke kanan dengan hitungan
yang sama

Berdiri tegak dan kaki dibuka lebih lebar lagi, kemudian


tekuk lutut kanan dan berat badan diarahkan ke sisi kanan
sedang kaki kiri tetap lurus. Lakukan sampai hitungan ke 8
kemudian lakukan gerakan yang sama ke arah sebelah kiri.
Berdiri dengan posisi tegak, kemudian angkat tumit kanan
sehingga ujung kaki masih menyentuh tanah, putar sendi
kaki kesatu arah sebanyak 8 kali hitungan, lalu ke arah yang
berlawanan dalam 8 kali hitungan. Lakukan gerakan yang
sama untuk tumit kiri.

Masih dengan posisi tegak, lakukan gerakan jalan di tempat


dalam 8 kali hitungan.

Setelah semua gerakan selesai, hitung denyut nadi setelah


pemanasan. Kemudian, setelah itu saudara sudah bisa
melakukan program berjalan kaki.
2. Berjalan kaki
Mulai berjalan kaki dengan kecepatan yang sama
dengan tes awal yang dilakukan di Rumah Sakit.
Jika keadaan stabil atau tidak ada keluhan pada 5 menit
pertama cobalah menghitung denyut nadi saudara. Jika
denyut nadi belum mencapai denyut nadi target maka
tingkatkan kecepatan berjalan.
Lanjutkan berjalan dan pada menit ke 15, cobalah
hitung denyut nadi.
Jika denyut nadi telah mencapai denyut nadi
target maka kecepatan berjalan dipertahankan.
jika denyut nadi belum mencapai denyut nadi
target maka kecepatan ditingkatkan
Terus berjalan sampai menyelesaikan program berjalan
kaki 30 menit.
Lakukan latihan yang sama pada hari berikutnya dan
hitung pula denyut nadi setelah pemanasan, 5 menit
pertama, 15 menit kemudian dan setelah pendinginan
Lakukan latihan ini secara teratur minimal 3 kali
seminggu
Jika ada keluhan sesak napas, nyeri dada atau kelelahan
selama latihan berlangsung maka segera hentikan
latihan
Catat denyut nadi setelah pemanasan, 5 menit pertama,
15 menit dan setelah pendinginan serta keluhan yang
dirasakan saat program berjalan kaki dilakukan pada
lembar observasi
3. Pendinginan
Gerakan yang sama dengan gerakan saat pemanasan
Hitung denyut nadi 1 menit setelah pendinginan

Responden tidak boleh berjalan kaki jika:

1. Pada saat Anda menderita sakit. Sakit apa saja termasuk demam, Anda
tidak boleh melakukan latihan berjalan
2. Pada saat Anda semalam kurang tidur maka kemampuan fisik akan
menurun sehingga latihan dapat diundur keesokan harinya
Lembar Ceklis Latihan Berjalan Kaki

Nama :
Alamat :
Denyut nadi target latihan : x/menit s.d x/ menit
Minggu ke ..... latihan
No Hal yang diukur
Tgl ..... Tgl....... Tgl ......
1. Denyut nadi setelah pemanasan
2. Denyut nadi setelah 5 menit
3. Denyut nadi setelah 15 menit
4. Denyut nadi setelah pendinginan
5. Keluhan yang dirasakan saat latihan
6. Lama latihan (menit)

2. Prosedur Tes Berjalan 6 Menit (6 Minute Walk


Test)
Tes ini mengukur jarak tempuh pasien dalam waktu enam menit. Latihan ini
melibatkan semua sistem termasuk sistem paru, jantung dan neuromuskuler.
Biasanya tes ini dilakukan setelah pasien melakukan Latihan fisik. Adapun
tahapan tes berjalan 6 menit sebagai berikut:

a. Peralatan
1. Stopwatch atau jam tangan
2. Dua buah tanda berwarna hitam untuk menentukan jarak (30
meter)
3. Kursi yang dapat dipindahkan selama tes berlangsung
4. Sphygmomanometer dan stetoskop
5. Lembar observasi
6. Lap counter
b. Persiapan pasien
1. Kenakan baju yang nyaman pada responden
2. Gunakan alas kaki/sepatu yang nyaman untuk jalan
3. Obat-obatan yang biasa digunakan responden harus
diteruskan
4. Makanan ringan boleh dikonsumsi 10 menit sebelum tes
dilakukan
5. Hindari aktivitas yang berlebihan 2 jam sebelum latihan
c. Persiapan tempat
1. Tes hendaknya dilakukan di ruang tertutup, namun jika
kondisi cuaca baik boleh dilakukan di ruang terbuka
(outdoor). Lokasi yang digunakan panjang, lurus, datar
dengan permukaan yang keras
2. Panjang rute jalan 30 meter
d. Persiapan pengukuran
1. Pasien sebaiknya tidak melakukan pemanasan sebelum tes
berjalan 6 menit
2. Pasien harus diposisikan duduk istirahat di kursi dekat
dengan garis start selama 10 menit sebelum tes dilakukan,
pantau adanya kontraindikasi, ukur TTV responden
(frekuensi pernapasan, nadi, tekanan darah) dan pastikan
pasien menggunakan baju serta alas kaki yang tepat.
e. Prosedur keamanan tes 6 menit berjalan
1. Tes ini dilakukan di lokasi yang jika terjadi
kegawatdaruratan dapat diberikan respons pertolongan yang
cepat dan tepat.
2. Saluran telepon hendaknya tersedia untuk melakukan
panggilan darurat.
f. Prosedur tes 6 menit berjalan
1. Ajarkan responden bahwa tes ini adalah berjalan cepat sesuai
dengan kemampuan sejauh mungkin pada bidang datar yang
telah disediakan dan diberi tanda hitam pada kedua ujungnya
(jarak bidang datar yang telah diberi batas adalah 30 meter).
Responden akan berjalan bolak balik selama 6 menit dan
dapat memperlambat jalannya atau beristirahat jika
responden mengalami kelelahan atau sesak napas saat tes
berlangsung. Responden dapat mulai berjalan lagi setelah
istirahat dan perlu mengingatkan responden berjalan secepat
mungkin sesuai dengan kemampuan responden.
2. Pemeriksa memberikan contoh berjalan di kedua tanda, tidak
berlari atau lari kecil
3. Tanyakan kembali kesiapan responden untuk melakukan tes.
4. Posisikan pasien pada garis start dan berdirilah di samping
responden. Mulai tekan tombol timer saat responden mulai
berjalan
5. Fokuslah menghitung putaran yang telah dilakukan oleh
responden
6. Setelah 1 menit pertama, Anda mengatakan ke responden “
Anda sudah melakukan dengan baik, Anda masih punya 5
menit lagi”
7. Saat waktu menunjukkan sisa 4 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 4 menit lagi”
8. Saat waktu menunjukkan sisa 3 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 3 menit lagi”
9. Saat waktu menunjukkan sisa 2 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 2 menit lagi”
10. Saat waktu menunjukkan sisa 1 menit maka Anda
mengatakan ke responden “Anda sudah melakukan dengan
baik, Anda masih punya 1 menit lagi”
11. Saat waktu menunjukkan kurang 15 detik dari 6 menit maka
Anda mengatakan ke responden” saya akan segera
mengatakan berhenti berjalan dan saya akan mendatangi
Anda”
12. Ketika timer berdering, katakan “berhenti” kemudian
berjalanlah menuju responden dan berikan tempat duduk
pada responden. Kemudian beri tanda pada tempat responden
berhenti.

Catatan penting:

1. Jika responden berhenti berjalan selama tes dan menginginkan


untuk istirahat, katakan “Anda dapat berjalan sambil berpegangan
di dinding kalau Anda mau” kemudian berjalan seperti biasa
ketika Anda merasa sudah mampu. Jangan menghentikan timer,
jika responden ingin berhenti sebelum 6 menit maka beri
responden tempat duduk. Catat jarak tempuh responden, waktu
dihentikan dan alasan tes dihentikan secara dini.
2. Jangan menggunakan kata-kata yang dapat memicu semangat
pasien atau gerakan tubuh untuk meningkatkan kecepatan.

g. Setelah pengukuran
1. Ukur frekuensi pernapasan, nadi dan TD responden setelah
tes
2. Catat jumlah putaran yang berhasil dilalui oleh responden
3. Catat jika ada jarak tambahan yang dilalui oleh responden
saat putaran terakhir
4. Berikan selamat pada responden atas usahanya dan tawarkan
minuman

LEMBAR OBSERVASI TES BERJALAN 6 MENIT


Post Latihan Fisik
Jarak
Jarak
TTV berdasarkan
tambahan
putaran JRK
Hari/tgl Waktu
Jml TEMPUH
(menit)
Jml putaran
TD Nadi RR
putaran x 30
meter
BAB
VII
DAFTAR PUSTAKA

Brown J, Capocci S, Smith C, Morris S, Abubakar I, Lipman M. Health status


and quality of life in tuberculosis. Int J Infect Dis [Internet]. 2015;32:68–
75. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijid.2014.12.045
Lawn SD, Zumla AI. Tuberculosis. Lancet [Internet]. 2011;378(9785):57–72.
Available from: http://linkin ghub
.elsevier.com/retrieve/pii/S0140673610621733
Kely P. Isolation and stigma: the experience of patients with active
tuberculosis. J Community Health Nurs [Internet]. 1999;16(4):233–41.
Available from: http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=c8h&AN=2000017776&site=ehost-live
Harfadhilah D, Noor NN, I Nyoman Sunarka. Analisa faktor risiko
lingkungan terhadap kejadian tuberkulosis paru. 2012;7–13.
Black, JM. & Hawks J. Keperawatan medikal bedah. 8th ed. Vol. edisi 1.
singapore: Elsevier; 2014. 441 p.
Potter PA, Perry AG. Buku Ajar Fundamental : konsep, proses, dan praktik.
Jakarta: EGC; 2006.
Negin J, Abimbola S, Marais BJ. Tuberculosis among older adults - time to
take notice. Int J Infect Dis [Internet]. 2015;32:135–7. Available from:
http:// dx.doi.org/10.1016/j.ijid.2014.11.018
Hansel, Albert, Chang B, Diette GB. Quality of life in tuberculosis: Patient
and provider perspectives. Qual Life Res An Int J Qual Life Asp Treat
Care Rehabil [Internet]. 2013;13(3):639–52. Available from: http:// search
.ebscohost .com /login.aspx?direct=true&db=psyh&AN=2004-12575-
006&site=ehost-live%5Cnnhansell@mail.jhmi.edu
Dujaili JA, Sulaiman SAS, Hassali MA, Awaisu A, Blebil AQ, Bredle JM.
Health-related quality of life as a predictor of tuberculosis treatment
outcomes in Iraq. Int J Infect Dis. 2015;31:4–8.
Khotimah S. Latihan endurance meningkatkan kualitas hidup lebih baik
daripada latihan pernapasan pada pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. J
Chem Inf Model. 2013;53(9):1689–99.
Masumoto S, Yamamoto T, Ohkado A, Yoshimatsu S, Querri AG, Kamiya Y.
Factors associated with health-related quality of life among pulmonary
tuberculosis patients in Manila, the Philippines. Qual Life Res.
2014;23(5):1523–33.
Louw J, Peltzer K, Naidoo P, Matseke G, Mchunu G, Tutshana B. Quality of
life among tuberculosis (TB), TB retreatment and/or TB-HIV co-infected
primary public health care patients in three districts in South Africa.
Health Qual Life Outcomes. 2012;10(1):77.
Junaidi S. Pembinaan fisik lansia melalui aktivitas olahraga jalan kaki. J
media Kesehat olahraga. 2011;1.
Gibala MJ, Little JP, van Essen M, Wilkin GP, Burgomaster K a, Safdar A, et
al. Short-term sprint interval versus traditional endurance training: similar
initial adaptations in human skeletal muscle and exercise performance. J
Physiol. 2006;575(Pt 3):901–11.
Weinstein AA, Chin LMK, Keyser RE, Kennedy M, Nathan SD,
Woolstenhulme JG, et al. Effect of aerobic exercise training on fatigue
and physical activity in patients with pulmonary arterial hypertension.
Respir Med. 2013;5:107.
Grunig, Ehlken, Ghofrani, Staehler, Meyer. Effect of exercise and respiratory
training on clinical progression and survival in patients with severe
chronic pulmonary hypertension. Respiration. 2011;5:81.
Tao X, Chow SKY, Wong FKY. A nurse-led case management program on
home exercise training for hemodialysis patients: A randomized
controlled trial. Int J Nurs Stud [Internet]. 2015;52(6):1029–41. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.03.013
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional
Penanggunalan Tuberkulosis. 2nd ed. Aditama D tjandra Y, Kamso D
sudijant., Basri DC, Dr Asik Surya, editors. Jakrat: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
A.Price S, Lorraine M.Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. 6th ed. Dr.Caroline Wijaya, editor. Jakarta: EGC; 2006.
W.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Siti setiati. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Motosomane SF, Peu MD. Nurses’ views about tuberculosis patients’
discharge plan at Moses Kotane in the North-West Province. Curationis.
2008;31(1):59–67.
Mulenga C, Mwakazanga D, Vereecken K, Khondowe S, Kapata N,
Shamputa IC, et al. Management of pulmonary tuberculosis patients in an
urban setting in Zambia: a patient’s perspective. BMC Public Health
[Internet]. 2010;10:756. Available from: http://www. ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/21138565
Kvale S. Doing interviews. Thousand Oaks: Sage publications; 2011.
Macq J, Solis A, Martinez G, Martiny P. Tackling tuberculosis patients’
internalized social stigma through patient centred care: an intervention
study in rural Nicaragua. BMC Public Health. 2008;8:154.
Riyanto BS, Hisyam B, Budiono E, Calmette A, Pasteur I. Hubungan antara
Derajat Sekuele Tuberkulosis dengan Uji Jarak Tempuh Jalan 6 Menit
pada Pasien dengan Sekuele Tuberkulosis Paru Test in Patients with
Pulmonary Tuberculosis Sequelae. 2013;34(3):127–31.
Smeltzer SC, Bare BG. Medical surgical nursing. Lippincott Williams &
Wilkins; 2010.
PPNI TPSD. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. 1st ed. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia;
2016.
PPNI TPSD. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st ed. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia;
2016.
M.bulechek G, Butcher HK, Dochterman JM. nursing interventions
classification (NIC). fifth edit. Elsevier; 2013.
Costa HS, Lima MMO, De Sousa GR, De Souza AC, Alencar MCN, Nunes
MCP, et al. Functional capacity and risk stratification by the Six-minute
Walk Test in Chagas heart disease: Comparison with Cardiopulmonary
Exercise Testing. Int J Cardiol [Internet]. 2014;177(2):661–3. Available
from: http:// dx. doi. org /10.1016/j.ijcard.2014.09.172
Santos DS, Dantas M, Helena M, Moreira R. Correlation of physical
aptitude ; functional capacity, corporal balance and quality of life ( QoL )
among elderly women submitted to a post-menopausal physical activities
program. 2011;53:344–9.
Freitas RS, Fernandes MH, Coqueiro R da S, Junior, Wanderley Matos Reis
Rocha Vasconcelos S, Brito TA. Functional capacity and associated
factors in the elderly: a population study. Acta paul enferm. 2012;25.
Brito TA, Fernandes MH, Coqueiro R da S, Jesus CS de, Freitas R.
Functional capacity and associated factors among longevous senior
individuals living in community: a population study in Northeastern
Brazil. Fisioter e Pesqui. 2014;21.
Bourahli M, Bougrida M, Martani M. 6-Min walk-test data in healthy North-
African subjects aged 16 – 40 years. Egypt J Chest Dis Tuberc [Internet].
2015;65(September):349–60. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejcdt.2015.08.003
Carbonell Baeza A, Ruiz JR, Aparicio VA, Ortega FB, Delgado Fernandez M.
The 6-Minute walk test in female fibromyalgia patients: Relationship
with tenderness, symptomatology, quality of life, and coping strategies.
Pain Manag Nurs. 2013;14(4):193–9.
Al-Qahtani MF, El.Mahalli AA, Al Dossary N, Al Muhaish A, Al Otaibi S, Al
Baker F. Health-related quality of life of tuberculosis patients in the
Eastern Province, Saudi Arabia. J Taibah Univ Med Sci [Internet].
2014;9(4):311–7. Available from: http: //linkinghub.
elsevier.com/retrieve/pii/S165836121400064X
Terok MP, Bawotong J, Untu FM. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas
hidup pada pasien tubekulosis paru di poli paru blu rsup prof. Dr. R. D
kandoumanado. Ejournal Keperawatan. 2012;1.
Gupta B, Kant S. Health related quality of life in COPD. J Pulm Med.
2009;11:1.
Nauli FA, Novayelinda R. Hubungan Antara Harga Diri Dengan Perilaku
Pada Penderita Tuberculosis ( Tb ) Paru. 2012;1–7.
Juliandari NM, Kusnanto, Hidayati L. Hubungan Antara Dukungan Sosial
Dan Coping Stres Dengan Kualitas Hidup Pasien Tb Paru Di Puskesmas
Perak Timur Surabaya Tahun 2014. Fak Keperawatan Univ Airlangga.
2014;
Prcic A, Aganovic D, Hadziosmanovic O. Sickness Impact Profile (SIP)
Score, a Good Alternative Instrument for Measuring Quality of Life in
Patients with Ileal Urinary Diversions. Acta Inf Med. 2013;21.
Uutela, Kautiainen, Hakala. Nottingham health profile questionnaire
incorporates important aspects of the patient perspective into outcome
assessment in rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol. 2008;26.
Samuel SR, Arun Maiya G, Babu AS, Vidyasagar MS. Effect of exercise
training on functional capacity & quality of life in head & neck cancer
patients receiving chemoradiotherapy. Indian J Med Res [Internet].
2013;137(3):515–20. Available from: http://www. scopus.
com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84876427150&partnerID=40&md5=6fc0a7de5eb7ee376a574e88e413bc6
1
Hendrik, Perwitasari DA, Mulyani UA, Thobari JA. Pengukuran Kualitas
Hidup Pasien Tuberkulosis Menggunakan Instrumen ST George
Respiratory Quetionnaire (SGRQ) Di Yogyakarta. Pros Semin Nas
Peluang Herb Sebagai Altern Med. 2015;
Balsamo S, Nascimento Dda C, Tibana RA, de Santana FS, da Mota LM, Dos
Santos-Neto LL. The quality of life of patients with lupus erythematosus
influences cardiovascular capacity in 6-minute walk test. Rev Bras Reum
[Internet]. 2013;53(1):75–87. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23588518
Bernard S, Ribeiro F, Maltais F, Saey D. Prescribing exercise training in
pulmonary rehabilitation: A clinical experience. Rev Port Pneumol.
2014;20(2):92–100.
Borel JC, Verges S, Pepin JL, Vivodtzev I, Levy P, Wuyam B. Home exercise
training with non-invasive ventilation in thoracic restrictive respiratory
disorders: A randomised study. Respir Physiol Neurobiol.
2009;167(2):168–73.
Guyton, Hall. Fisiologi kedokteran. 9th ed. Setiawan I, editor. Jakarat: EGC;
1997.
Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Dr Nella
Yesdelita, editor. Jakarta: EGC; 2009.
Regiane resqueti V, Gorostiza A, Gáldiz JB, López de Santa María E, Casan
Clarà P, Güell Rous R. [Benefits of a home-based pulmonary
rehabilitation program for patients with severe chronic obstructive
pulmonary disease]. Arch Bronconeumol [Internet]. 2013;43(11):599–
604. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17983543
Hasibuan R. Terapi Sederhana Menekan Gejala Penyakit Degeneratif. J Ilmu
Keolahragaan. 2010;8.
Smolis-B k E, D browski R, Piotrowicz E, Chwyczko T, Dobraszkiewicz-
Wasilewska B, Kowalik I, et al. Hospital-based and telemonitoring guided
home-based training programs: Effects on exercise tolerance and quality
of life in patients with heart failure (NYHA class III) and cardiac
resynchronization therapy. A randomized, prospective observation. Int J
Cardiol. 2015;199:442–7.
Burgess J, Physiotherapist S, Heart C, Team F, South NHS, Essex W.
Rehabilitation for patients with chronic heart failure : How do we deliver
it to all ? 2009;4(1):41–8.
Ikalius, Yunus F, Suradi, Rachma N. Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas
Fungsional Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis setelah Rehabilitasi
Paru. Kedokt Indones. 2007;57.

Anda mungkin juga menyukai