“Calcium Metabolism Serum Markers in Adult Patients with Epilepsy and the Effect
of Vitamin D Supplementation on Seizure Control”
Disusun Oleh:
Olyvia Ivana Catherine Lense
201670001
Pembimbing:
dr. Windi C. H. Marbun, Sp.N
Fakultas : Kedokteran
Mengetahui,
Pembimbing
A. Pendahuluan
Epilepsi merupakan penyakit yang terjadi akibat gangguan sinaps pada sel otak
dengan tampilan klinis berupa gerakan involunter berulang sebagian (kejang partial)
atau seluruh tubuh (kejang general), dan terkadang diikuti dengan kehilangan kesadaran
dan kontrol sistem otonom. Kasus epilepsi lebih sering dijumpai pada negara
berkembang dibandingkan negara maju, dengan total kasus epilepsi di Indonesia
mencapai 700.000-1.400.000 kasus dengan pertambahan 70.000 kasus per tahun. Dalam
kurun waktu beberapa tahun terakhir, telah banyak penelitian yang menemukan peran
vitamin D secara sistemik terkait modulasi fisiologis dan patologis termasuk
pencegahan dan tatalaksana bagi berbagai penyakit kardiovaskular dan neurologi.
Beberapa penelitian telah menemukan hubungan atau peran vitamin D terhadap
epilepsi, dimana diketahui bahwa prevalensi defisiensi vitamin D cukup tinggi pada
pasien dengan epilepsi.1,2
B.2.2 Metode
Desain studi pada penelitian ini adalah studi kohort cross-sectional. Penelitian
ini dilakukan pada tahun 2014 hingga 2016 di Pusat Epilepsi San Camillo Hospital di
Venice, Italia. Sampel pada penelitian ini berjumlah 160 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi yaitu pasien dengan epilepsi yang telah menjalani terapi antiepilepsi jangka
panjang (>6 bulan) dan 42 orang yang masuk ke dalam kelompok kontrol. Sampel yang
masuk dalam kelompok kontrol merupakan relawan dari keluarga pasien sehingga
memiliki kondisi lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi metabolisme vitamin
D yang serupa dengan pasien pada kelompok kasus seperti makanan dan paparan sinar
matahari. Kriteria eksklusi untuk sampel pada penelitian ini adalah memiliki penyakit
lain yang mempengaruhi metabolisme tulang selain epilepsi seperti gangguan hepar atau
ginjal, hipotiroidisme, obesitas, malabsorpsi, dan memiliki riwayat pengobatan yang
mempengaruhi metabolisme kalsium selain obat antiepilepsi seperti steroid dan tiazid.
Selama 4 bulan sebelum penelitian dimulai, atau disebut dengan periode awal,
sebanyak 63 pasien dinyatakan bebas kejang, sementara frekuensi median kejang pada
97 pasien lainnya selama 4 bulan tersebut adalah 4 kali. Durasi rata-rata penggunaan
obat antiepilepsi pada sampel adalah 15,7±16 tahun, dengan kisaran 6 bulan hingga 63
tahun. Obat-obatan antiepilepsi yang digunakan diklasifikasikan berdasarkan efeknya
terhadap enzim CYP-450, terdiri dari golongan enzyme-inducing (EIAEDs) seperti
fenitoin, fenobarbital, dan oxcarbazepine; golongan non-enzyme inducing (NEIAEDs)
seperti valproat, gabapentin, tiagabine, pregabalin, levetiracetam, clobazam, dan
vigabatrin. Sebanyak 39 pasien menjalani monoterapi dengan hanya obat golongan
EIAEDs saja, dan 87 pasien dengan hanya obat golongan NEIAEDs saja, sementara itu
sebanyak 34 pasien mendapatkan politerapi EIAEDs dan NEIAEDs.
Pengukuran kadar vitamin D, fosfat, hormon PTH, dan kalsium dilakukan
dengan sampel yang berasal dari sampel darah puasa yang diambil pada pagi hari pada
jam 8-9 pagi selama bulan Maret, April, dan Mei selama periode penelitian 3 tahun.
Kadar normal hormon PTH serum adalah 10-65 pg/mL, dan untuk vitamin D disebut
defisiensi bila kadarnya kurang dari 10 ng/mL dan kurang bila kadarnya antara 10-20
ng/mL.
Dilakukan juga penelitian untuk mengetahui efek suplementasi vitamin D
terhadap frekuensi kejang, yang terbatas pada subgrup pasien yang diketahui resisten
terhadap obat antiepilepsi, yang menurut guideline ILAE didefinisikan sebagai
kelompok yang gagal mencapai tahap bebas kejang setelah pemberian lebih dari 1 obat
antiepilepsi yang adekuat. Sebanyak 83 pasien dari kelompok kasus diikutkan, dan
mendapatkan suplementasi vitamin D oral selama 3 bulan tanpa modifikasi terapi
antiepilepsi, dan pada bulan ke 6 setelah awal pemberian supelementasi tersebut
dilakukan pengukuran kadar 25[OH]D dan dievaluasi kembali ada tidaknya perubahan
dalam frekuensi kejangnya.
Pada analisis statistik penelitian ini, variabel dengan distribusi normal
dinyatakan sebagai mean ± standar deviasi dan dievaluasi dengan analisis rerata dengan
uji Kolmogorov-Smirnov. Analisis perbandingan kadar serum 25[OH]D berdasarkan
terapi yang diberikan pada kelompok kasus dilakukan dengan uji Mann-Whitney U dan
Kruskal-Wallis, uji korelasi bivariat antara kadar serum 25[OH]D dan beberapa
parameter lain seperti usia, durasi terapi, dan frekuensi kejang dilakukan dengan uji
korelasi Spearman, serta dilakukan pula evaluasi efek terapeutik potensial dari vitamin
D terhadap perubahan frekuensi kejang selama 6 bulan. Semua data tersebut dianalisis
dengan menggunakan IBM SPSS Statistik versi 20.0, dimana nilai p <0,05 dianggap
signifikan atau bermakna secara statistik.
C. Telaah Kritis
Penelitian ini merupakan studi prognosis, sehingga telaah kritis dilakukan
menggunakan daftar pertanyaan atau worksheet yang sesuai dengan jenis penelitian
tersebut, untuk menilai layak tidaknya jurnal tersebut untuk diterapkan pada populasi
kita saat ini.
C.1 Validity (Validitas)
No Penilaian Keterangan
.
1. Apakah pasien direkrut Ya
pada periode tertentu Perekrutan pasien pada penelitian ini dilakukan
penyakitnya? (umumnya pada 4 bulan sebelum penelitian dimulai
pada fase awal)
2. Apakah follow-up pasien Ya
dilakukan cukup lama follow-up dilakukan selama masa penelitian yaitu
dan lengkap? 3 tahun
3. Apakah kriteria outcome Ya, kriteria outcome diterapkan secara tersamar.
diterapkan secara
tersamar/blinded?
4. Bila dilakukan analisis Ya.
sub-grup apakah Selain analisis pada kelompok kasus yaitu pasien
disesuaikan dengan dengan epilepsi dan kelompok kontrol, dilakukan
faktor prognosis? pula analisis pada kelompok pasien dengan epilepsi
yang resisten terhadap obat, dengan pemberian
suplementasi vitamin D oral selama 3 bulan tanpa
modifikasi terapi antiepilepsi, dan pada bulan ke 6
dilakukan pengukuran kadar 25[OH]D.
5. Apakah dilakukan Tidak
validasi pada kelompok
pasien yang lain?
No Penilaian Keterangan
.
1. Apakah karakteristik pasien Ya
kita mirip dengan pasien Jumlah kasus epilepsi di Indonesia cukup
penelitian? tinggi yaitu sekitar 1,5 juta kasus
pada pasien dengan kondisi klinis yang serupa,
penelitian ini dapat diterapkan
2. Apakah tersedia obat, Ya
fasilitas, keahlian, biaya
yang diperlukan?
3. Apakah evidence tentang Ya, jika bukti ilmiah ini disesuaikan dengan
prognosis ini mempunyai kondisi setempat, ketersediaan fasilitas
dampak yang berarti dalam termasuk SDM, serta keinginan dan persepsi
keputusan kita untuk pasien
menawarkan atau Dalam memberikan informasi terkait
memberikan informasi pada prognosis, lebih baik disampaikan risiko
pasien? absolut yang ada pada pasien, tanpa
membandingkan dengan risiko pada pasien
lain dengan karakteristik yang berbeda dari
pasien kita (risiko relatif)
D. Kesimpulan
E. Referensi
1. WHO. Epilepsy. World Health Organization [internet]. 2019 June [cited 2022
June]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy
2. Tombini M, Palermo A, Assenza G, Pellegrino G, Benvenga A, Campana C, et
al. Calcium metabolism serum markers in adult patients with epilepsy and the
effect of vitamin D supplementation on seizure control. Seizure-British Epilepsy
Association [internet]. 2018 Apr 7 [cited 2022 June 7];58:75-81. Available
from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29674238/